Anda di halaman 1dari 10

Legal Opinion ( Pendapat Hakim )

PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN


2012 TENTANG PENDIDIKAN TINGGI PASAL 73 AYAT 2 TERHADAP
PASAL 28 I AYAT (2) UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945

Nomor Perkara 007/PUU-XII/2019

Bahwa dengan ini saya Muhammad Luthfi Setyaji Nugroho selaku Hakim
Anggota Mahkamah Konstitusi menyampaikan Pendapat Hukum (Legal Opinion)
terhadap pengujian materil pasal 73 ayat 2 Undang – Undang Nomor 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi terhadap Undang-Undang Dasar 1945 atas
permohonan dari pemohon yang bernama Aldo Ibrahim, S.H. yang mewakili
kepentingan Agus Ibrahim adapun pendapat hakim (legal opinion) adalah sebagai
berikut :

I. KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI

A. Bahwa menimbang berdasarkan rumusan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5226, selanjutnya disebut UU MK), Mahkamah berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap UUD 1945.
B. Bahwa berdasarkan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5076), yang berbunyi:
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji UU terhadap
UUD RI Tahun 1945.”
Menegaskan bahwasannya Mahkamah Konstitusi dalam sistem ketatanegaraan
memiliki kedudukan yang sah sebagai penguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945
C. Bahwa berdasarkan ketentuan yang ada pada pasal 7 Undang-Undang nomor 12
tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-udangan, mengatur
bahwa secara hierarkis kedudukan UUD 1945 lebih tinggi dari Peraturan
Perundang-undangan lainnya merupakan Gruundnorm atau aturan dasar negara
Indonesia. Oleh karena itu, setiap ketentuan Undang-Undang tidak boleh
bertentangan dengan UUD 1945. Jika terdapat ketentuan dalam UU yang
bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan terserbut dapat dimohonkan
untuk diuji melalui mekanisme pengujian Undang-Undang.
D. Bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan “Dalam hal
suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi”, maka dengan hal ini Mahkamah Konstitusi bewenang
untuk menyatakan suatu norma dalam undang-undang bertentangan dan
membatalkannya.
E. Bahwa berdasarkan uraian dalil-dalil diatas mengenai kewenangan-kewenangan
Mahkamah Konstitusi maka pemohon meminta kepada Ketua Mahkamah
Konstitusi untuk menetapkan Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili
permohonan Judicial Review mengenai Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi terkhususkan pasal 73 ayat 2
terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo.

II. KEUDUDKAN HUKUM PEMOHON ( LEGAL STANDING )


1. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 24
tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dinyatakan : “Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu : perorangan warga
negara Indonesia”.
2. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi j.o Pasal 3 Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam
Perkara Pengujian Undang-undang menyatakan bahwa : Pemohon adalah
pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya
dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam ndang-undang;
c. Badan hukum publik atau privat;
d. Lembaga negara.
3. Bahwa didalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun
2011 Tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah
Konstitusi dinyatakan bahwa “yang dimaksud hak konstitusional adalah hak-
hak yang diatur dalam UUD 1945”.
4. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005
tanggal 31 Mei 2005 danNomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September2007
serta putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang hadir berikutnya, Mahkamah
Konstitusi telah menentukan 5 syarat mengenai kerugian konstitusional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, yakni sebagai berikut
a. Harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
1. Bahwa pemohon memiliki hak konstitusional sebagaimana
termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945 sebagai berikut:
a. Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 menyatakan:
setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif
itu”.
b. Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 menyatakan:
1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan

b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah


dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan
pengujian;

1. Bahwa Pemohon dalam hak konstitusionalnya pasal 28 I ayat (2) dan


Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 telah dirugikan dengan berlakunya pasal
73 ayat (1) UU No 12 Tahun 2012 Tentang Dikti. Adanya frasa
“bentuk lain” menimbulkan diskriminasi dan membatasi hak
pemohon yang berprestasi untuk memperoleh pendidikan. Bahwa
kuota penerimaan mahasiswa baru secara nasional yaitu SNMPTN,
SBMPTN dengan pola penerimaan mahasiswa dengan “bentuk lain”
yaitu Seleksi Mandiri berbeda, didalam aturan pelaksananya yaitu
Pasal 7 Permen Ristekdikti No. 60 tahun 2018 tentang Penerimaan
Mahasiswa Baru Program Studi Sarjana Pada Perguruan Tinggi
Negeri (Bukti P-14) bahwa kuota setiap program studi bagi
mahasiswa baru jalur SNMPTN sebanyak 20%, SBMPTN 40% dan
Ujian Mandiri 30%. Bahwa pemohon merupakan

2. Bahwa Pemohon dalam hak konstitusionalnya pasal 28 I ayat (2)


UUD 1945 telah dirugikan dengan adanya frasa “secara nasional”
dalam pasal 73 ayat (2) UU No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan
Tinggi. Bahwa sebagai calon Mahasiswa baru Pemohon diberikan
pilihan untuk melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi Negeri,
dengan biaya seleksi yang ditanggung oleh Pemerintah, akan tetapi
dalam Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang Pendidikan Tinggi
sepanjang frasa “secara nasional” ketiadaan pengaturan mengenai
pembiayaan seleksi ujian mandiri dalam Undang-Undang
Pendidikan Tinggi berpotensi menimbulkan diskriminasi sehingga
dapat melahirkan ketidakadilan, kerugian, dan ketidakmampuan
melakukan pembayaran administrasi seleksi pendaftaran pendidikan
yang jumlah nominalnya ditentukan oleh masing-masing Perguruan
Tinggi Negeri.

c. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat


spesifik dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
1. Bahwa kerugian hak konstitusional Pemohon atas berlakunya pasal
73 ayat (1) dari segi kuota setiap program studi, didalam pasal 7
Permen Ristekdikti no 60 tahun 2018 tentang Penerimaan
Mahasiswa Baru Program Sarjana Pada Perguruan Tinggi Negeri
bahwa kuota setiap program studi bagi mahasiswa baru jalur
SNMPTN sebanyak 20%, SBMPTN 40%, dan Ujian Mandiri 30%,
perbedaan kuota setiap program studi ini telah mengandung unsur
diskriminasi karena adanya pembatasan dan ketidaksamaan setiap
orang untuk memperoleh hak dasarnya berupa pendidikan. Pemohon
merupakan siswa berprestasi, namun karena kuota 20% yang telah
ditetapkan oleh aturaan pelaksananya, maka pemohon tidak diterima
melalui pola penerimaan SNMPTN.
2. Bahwa kerugian hak konstitusional Pemohon dari segi biaya
perkuliahan pola penerimaan mahasiswa baru dalam “bentuk lain”,
berdasarkan aturan pelaksananya yaitu pasal 8 ayat (1) huruf “d”
Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 39
Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah
Tunggal, yang menyatakan “PTN dapat memungut uang pangkal
dan / atau pungutan lain selain UKT dari mahasiswa baru program
diploma dan program sarjana bagi:….d. mahasiswa yang melalui
seleksi jalur mandiri”.(Bukti P-17), bahwa Pemohon dinyatakan
tidak lolos dalam mengikuti Pola Penerimaan Mahasiswa Baru
SNMPTN (bukti P-5) dan dinyatakan tidak lolos dalam Pola
Penerimaan Mahasiswa Baru SBMPTN (Bukti P-8), namun
Pemohon masih memiliki kesempatan untuk melanjutkannya
melalui Pola Penerimaan Mahasiswa Baru dalam “bentuk lain” yaitu
Seleksi Ujian Mandiri dan Pemohon dinyatakan lolos (Bukti P-10).
Namun dalam Ujian Mandiri PTN dapat memungut uang pangkal
dari mahasiswa baru Jurusan Kedokteran Universitas Indonesia
dengan nominal yang sangat tinggi bagi Pemohon.
3. bahwa kerugian hak konstitusional Pemohon dengan adanya frasa
“secara nasional” dalam pasal 73 ayat (2) “Pemerintah menanggung
biaya calon Mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan
Mahasiswa baru secara nasional” dilihat dari Pemohon sebagai
Calon Mahasiswa yang melalui pola penerimaan secara nasional dan
pola penerimaan bentuk lain, dalam hal pemohon melalui pola
penerimaan bentuk lain diharuskan untuk membayar sejumlah uang
sebagai biaya untuk mengikuti seleksi yang diadakan oleh Perguruan
Tinggi Negeri. Pemohon merasa terdapat perbedaan perlakuan
antara calon Mahasiswa yang mengikuti pola penerimaan secara
nasional dengan yang mengikuti pola penerimaan dalam bentuk lain.
d. Ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak
dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang
dimohonkan pengujian; dan
1. Bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal Standing)
sebagai pemohon pengujian Undang-undang terhadap Undang-
undang Dasar 1945 karena keterkaitan sebab-akibat (causa verband)
dengan berlakunya pasal 73 Undang-undang nomor 12 tahun 2012
tentang Pendidikan Tinggi sehingga Pemohon dirugikan hak
konstitusionalnya.
e. Ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi.
1. Bahwa berdasarkan Pasal 73 ayat (1) Frasa “bentuk lain” jika
dihilangkan, maka sudah tidak ada Pola Menerimaan Mahasiswa
baru secara mandiri.

2. Bahwa berdasarkan Pasal 73 ayat (1) apabila sepanjang frasa “bentuk


lain” hilang, maka dari segi kuota setiap program studi pola
penerimaan yaitu SNMPTN sebanyak 20%, SBMPTN 40%, harus
dirubah serta disamakan kuota dari pola penerimaan mahasiswa baru
secara nasional. Sehingga peluang bagi mahasiswa yang melalui
pola penerimaan mahasiswa baru menjadi sama besarnya.

4. Bahwa berdasarkan Pasal 73 ayat (2) yang berbunyi “Pemerintah menanggung


biaya calon mahasiswa yang akan mengikuti Pola Penerimaan Mahasiswa Baru
secara Nasional” jika frasa “secara nasional” dihilangkan maka bunyinya
berubah menjadi “Pemerintah menanggung biaya calon mahasiswa yang akan
mengikuti Pola Penerimaan Mahasiswa Baru” sehingga kemungkinan
pemerintah akan menanggung biaya atau membiayai seluruh pola penerimaan
mahasiswa baru yang ada yaitu pola penerimaan secara nasional dan bentuk
lain.
5. Bahwa untuk memenuhi kualifikasi perorangan warga negara Indonesia yang
dirugikan hak konstitusionalnya oleh berlakunya undang-undang, maka para
Pemohon menguraikan hal sebagai berikut :
Pemohon Agus Ibrahim sesuai dengan Kartu Tanda Penduduk yang
diterbitkan Pemerintah Kota Bekasi bernomor 3173081805670008
(Bukti P-3) adalah perseorangan warga negara Indonesia yang
diberikan hak konstitusional oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang
berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum”.
6. Bahwa pemohon merupakan mahasiswa yang diterima di Perguruan Tinggi
Negeri Universitas Indonesia melalui jalur Mandiri tahun 2018.
7. Bahwa pemohon merupakan mahasiswa yang diterima di Perguruan Tinggi
Negeri Universitas Indonesia melalui jalur Mandiri tahun 2018.
III. KERUGIAN KONSTITUSIONAL PEMOHON
1. Bahwa Pemohon adalah perorangan warga Indonesia yang mana ia
memiliki Legal Standing dan berhak untuk menggunakan hak tersebut untuk
mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar 1945
2. Bahwa Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai
pemohon pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945
karena keterkaitan sebab-akibat(causa verband) dengan berlakunya pasal
73 Undang-undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
sehingga Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya
3. Bahwa Pemohon adalah benar warga negara Indonesia dibuktikan dengan
alat bukti P-1 Kartu Tanda Penduduk yang diterbitkan Pemerintah Kota
Bekasi bernomor 3173081805670008 (Bukti P-3)
4. Bahwa Pemohon telah dinyatakan lulus dari SMA N 1 Bekasi dengan nomor
Ijazah DN-03-MA0026327 (Bukti P-4)
5. Bahwa Pemohon telah dinyatakan gagal dalam mengikuti Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) dengan bukti dalam pengumuman
online di website resmi SNMPTN. (Bukti P-5)
6. Bahwa Pemohon adalah peserta Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi
dengan bukti pendaftaran yaitu Slip Pembayaran Biaya Seleksi SBMPTN
2018 (Bukti P-6), dan kartu tanda peserta SBMPTN dengan nomor 216-42-
22074. (Bukti P-7)
7. Bahwa Pemohon telah dinyatakan gagal dalam mengikuti Seleksi Bersama
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dengan bukti dalam
pengumuman online di website resmi SBMPTN. (Bukti P-8)
8. Bahwa Pemohon mengikuti ujian mandiri di Universitas Indonesia
dibuktikan dengan Kartu Peserta Ujian Mandiri (Bukti P-9) dan Pemohon
telah lulus seleksi Ujian Mandiri dengan bukti Surat Keterangan Lulus
Ujian Mandiri dengannomor peserta 112233445566 (Bukti P-10)

IV. NEBIS IN IDEM


1. Bahwa dalam pasal 60 Undang-undang No. 8 tahun 2011 jo pasal 42 Peraturan
Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 tahun 2005 berisi “(1) terhadap materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam UU yang telah diuji, tidak dapat
dimohonkan pengujian kembali. (2) terlepas dari ketentuan ayat (1) diatas,
permohonan pengujian UU terhadap muatan ayat, pasal, dan/atau bagian yang
sama dengan perkara yang pernah diputus oleh Mahkamah dapat dimohonkan
pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan
permohonan yang bersangkutan berbeda.”
2. Bahwa pasal 73 tersebut telah diuji oleh Mahkamah Konstitusi dan telah diputus
oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor 103/PUU-X/2012 yang
menolak seluruh permohonan dari pemohon. (Bukti P-11)
3. Bahwa berdasarkan pasal 42 ayat (2) PMK Nomor 6 tahun 2005 permohonan
yang memiliki objek yang sama dapat dimohonkan pengujian kembali dengan
syarat-syarat konstitusionalitas yang berbeda, dalam permohonan ini yang diuji
merupakan bagian dari pasal 73 dan bukan merupakan pasal 73 keseluruhan
seperti yang terdapat dalam Putusan Nomor 103/PUU-X/2012 sehingga kedua
Permohonan Pengujian Undang-undang ini adalah hal yang berbeda. Untuk itu
aturan pasal 60 Undang-undang No. 8 tahun 2011 jo pasal 42 Peraturan
Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 6 tahun 2005 yang berbunyi “(1) terhadap
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam Undang-Undang yang telah
diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.” adalah tidak berlaku
sehingga permohonan ini dianggap tidak Nebis In Idem dangan Putusan Nomor
103/PUU-X/2012.
4. Bahwa dalam permohonan ini pasal 73 ayat (1) dan ayat (2) diuji dengan
paramerter dalam Undang Undang Dasar 1945 sebagai berikut :
a. Pasal 73 ayat (1) Undang-Undang no. 12 tahun 2012 Undang-
Undang Tentang Pendidikan Tinggi sepanjang frasa “bentuk lain”
diuji dengan Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 31 ayat (1) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,
b. Pasal 73 ayat (2) Undang-Undang no. 12 tahun 2012 Undang-
Undang Tentang Pendidikan Tinggi sepanjang frasa “secara
nasional” diuji dengan pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945.
V. LEGAL OPINION

1. Menimbang bahwa menurut Pemohon, Ketentuan Pasal 73 Ayat (2) Undang –


Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi “ Pemerintah
menanggung biaya calon Mahasiswa yang akan mengikuti pola penerimaan
Mahasiswa baru secara nasional” . Menurut Mahkamah ketentuan Pasal a quo
merupakan pasal yang bersifat Tendensius atau keberpihakan terhadap pola
penerimaan secara nasional dan terindikasi adanya sifat diskriminasi terhadap
pola seleksi bentuk lain mandiri yang di bebankan kepada calon peserta didik.
Bahwa menurut pemohon frasa Pembiayaan yang dilakukan Secara Nasional
yakni pola SNMPTN DAN SBMPTN mempunyai sifat Special Concept karena
adanya campur tangan pemerintah terhadap pembiayaan yang dilakukan.
2. Menimbang bahwa pasal 73 ayat (2) frasa Secara Nasional merupakan tindakan
diskriminatif yang bertentangan dengan pasal 28 I ayat 2 “ bahwa setiap orang
berhak bebas dari perlakuan diskriminatif…” , Menurut Mahkamah tindakan
Diskriminatif terhadap pengembangan calon peserta didik dapat menghambat
perkembangan dalam memperoleh Pendidikan. Hal ini bertentangan dengan
pembukaan undang – undang Dasar Negara Republik Indonesia Alinea IV “
kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah Negara Indonesua
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social…”. Bahwa frasa Secara
Nasional mengakibatkan bagi calon mahasiswa mendapati diskriminasi
terhadap luaran biaya yang dibayarkan atau beban yang ditanggung bagi calon
mahasiswa dalam mengikui pola Secara MANDIRI.
3. Menimbang bahwa menurut pemohon dengan dihilangkannya frasa Secara
Nasional dapat menghilangkan ketidak adilan pada pola penerimaan nasional
maupun mandiri, Menurut Mahkamah Dalil diatas tidak bertentangan dengan
tujuan Negara Indonesia alinea IV pembukaan UUD1945 frasa Keadilan Sosial,
Sejatinya Indonesia mengarahkan kebijakan untuk Welfare State atau negara
kesejahteraan, dimana dengan memajukan kesejahteraan khususnya pada

kesejahteraan Pendidikan maka STUCK LEREN SEK

Anda mungkin juga menyukai