Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

ACUTE DECOMPENSATION HEART FAILURE


(ADHF) dan TERPASANG VENTILATOR MEKANIK
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Medikal
di Ruang CVCU RSUD dr.Saiful Anwar Malang

Oleh :

FITRIA ISMA WATI


190070300111033

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


JURUSAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Jl. Veteran Malang – 65145, JawaTimur –

Indonesia Telp. (62) (0341) 551611 – Fax.

(62) (0341) 564755

http://fk.ub.ac.id/

LEMBAR PENGESAHAN

LP (Laporan Pendahuluan) dan ASKEP (Asuhan Keperawatan) ACUTE

DECOMPENSATION HEART FAILURE (ADHF) dan TERPASANG VENTILATOR

MEKANIK ini dibuat dalam rangka PRAKTIK DEPARTEMEN MEDIKAL mahasiswa

Pendidikan Profesi Ners Universitas Brawijaya Malang di Ruang CVCU Rumah Sakit

Daerah dr.Saiful Anwar Malang.

Malang,…………. 2019

Mahasiswa

……...………………………
………

NIM.

Mengetahui,

Pembimbing Institusi, Pembimbing Lahan,

__________________ __________________

NIP. NIP.
LAPORAN PENDAHULUAN ACUTE DECOMPENSATION HEART FAILURE
(ADHF) dan TERPASANG VENTILATOR MEKANIK

1. Definisi
ADHF merupakan singkatan dari Akut Decompensated Heart Failure yang berarti
gagal jantung akut. Istilah ini sama dengan gagal jantung atau ”Dekompensasi Cordis”.
Decompensasi cordis secara sederhana berarti kegagalan jantung untuk memompa
cukup darah untuk mencukupi kebutuhan tubuh. Dekompensasi kordis merupakan suatu
keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas yang berakibat
pada penurunan fungsi pompa jantung. Dari definisi di atas, diketahui bahwa kondisi
cardiac output (CO) yang tidak cukup terjadi karena kehilangan darah atau beberapa
proses yang terkait dengan kembalinya darah ke jantung. Suatu kondisi bila cadangan
jantung normal (peningkatan frekuensi jantung, dilatasi, hipertrophi, peningkatan isi
sekuncup) untuk berespon terhadap stress tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan
metabolik tubuh, jantung gagal untuk melakukan tugasnya sebagai pompa, dan
akibatnya gagal jantung.

Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) merupakan gagal jantung akut yang
didefinisikan sebagai serangan yang cepat (rapid onset) dari gejala – gejala atau tanda –
tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Disfungsi ini dapat berupa disfungsi sistolik
maupun diastolik, abnormalitas irama jantung, atau ketidakseimbangan preload dan
afterload. ADHF dapat merupakan serangan baru tanpa kelainan jantung sebelumnya,
atau dapat merupakan dekompensasi dari gagal jantung kronik (chronic heart failure)
yang telah dialami sebelumnya. ADHF muncul bila cardiac output tidak dapat memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh (Putra, 2012).

ADHF juga dapat didefinisikan sebagai perburukan keadaan dari simtom HF


yang biasanya disebabkan oleh edema pulmonal kardiogenik dengan akumulasi cairan
yang cepat pada paru (Pinto, 2012). Perbedaan ADHF dengan Heart Failure yaitu ADHF
merupakan gagal jantung yang masih akut, gejalanya muncul dengan cepat karena
untuk memenuhi kebutuhan metabolik.Sedangkan gagal jantung/HF adalah kondisi
permanen akibat kondisi jantung yang terus-terusan bekerja keras untuk memenuhi
kebutuhan tubuh.
2. Klasifikasi
Gagal jantung diklasifikasikan menurut American College of Cardiology
(ACC) dan American Heart Association (AHA) terbagi atas atas 4 stadium
berdasarkan kondisi predisposisi pasien dan derajat keluhannya yaitu :
1) Stage A : Risiko tinggi gagal jantung, tetapi tanpa penyakit jantung
struktural atau tanda dan gejala gagal jantung. Pasien dalam stadium ini
termasuk mereka yang mengidap hipertensi, DM, sindroma metabolik,
penyakit aterosklerosis atau obesitas.
2) Stage B : penyakit jantung struktural dengan disfungsi ventrikel kiri yang
asimptomatis. Pasien dalam stadium ini dapat mengalami LV remodeling,
fraksi ejeksi LV rendah, riwayat IMA sebelumnya, atau penyakit katup
jantung asimptomatik.
3) Stage C : Gagal jantung simptomatis dengan tanda dan gejala gagal
jantung saat ini atau sebelumnya. Ditandai dengan penyakit jantung
struktural, dyspnea, fatigue, dan penurunan toleransi aktivitas.
4) Stage D : Gagal jantung simptomatis berat atau refrakter. Gejala dapat
muncul saat istirahat meski dengan terapi maksimal dan pasien
memerlukan rawat inap.
Sedangkan menurut New York Heart Association (NYHA) dibagi menjadi 4
kelas berdasarkan tanda dan gejala pasien, respon terapi dan status fungsional.
1) Functional Class I ( FC I ) : asimptomatik tanpa hambatan aktivitas fisik
2) Functional Class II ( FC II ) : hambatan aktivitas fisik ringan, pasien
merasa nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue,
palpitasi atau angina dengan aktivitas biasa.
3) Functional Class III ( FC III ) : hambatan aktivitas fisik nyata, pasien
merasa nyaman saat istirahat tetapi mengalami gejala dyspnea, fatigue,
palpitasi atau angina dengan aktivitas biasa ringan
4) Functional Class IV ( FC IV ) : ketidaknnyamanan saat melakukan
aktivitas fisik apapun, dan timbul gejala sesak pada aktivitas saat istirahat.
3. Epidemiologi

Gagal jantung merupakan salah satu penyakit kardiovaskular dengan


prevalensi yang terus meningkat.Gagal jantung mempengaruhi lebih dari 5.2 juta
pernduduk amerika, dan lebih dari 550,000 kasus baru yang didiagnosis tiap
tahunnya.Tiap tahunnya gagal jantung bertanggung jawab terhadap hampir 1
juta hospitalisasi. Mortalitas rata – rata rawatan yang dilaporkan pada 3 hari, 12
bulan, dan 5 tahun pada pasien yang dirawat di rumah sakit masing –masing
adalah 12%, 33%, dan 50%. Rata – rata yang mengalami hospitalisasi kembali
adalah 47% dalam 9 bulan (Crouch,2006).
Beban ekonomi terhadap gagal jantung masih besar.Pada tahun 2007,
biaya langsung dan tidak langsung yang dialokasikan untuk gagal jantung adalah
33.2 juta dolar.Biaya hospitalisasi untuk bagian yang lebih besar sekitar
54%.Kurangnya kepatuhan terhadap rekomendasi diet atau terapi obat
merupakan penyebab paling umum dimana pasien gagal jantung masuk ke
instalasi gawat darurat. Sekitar sepertiga kunjungan ke instalasi gawat darurat
merupakan akibat ketidakpatuhan tersebut (Crouch,2006).
Data yang diperoleh dari beberapa studi mengenai beberapa
penggolongan klinis terhadap pasien gagal jantung yang dirawat di rumah sakit
dengan perburukan gagal jantung. Studi ini menunjukan bahwa mayoritas pasien
yang dirawat dengan gagal jantung memiliki bukti hipertensi sistemik pada saat
masuk rumah sakit dan umumnya mengalami left ventricular ejection fraction
(LVEF).

4. Etiologi
Penyebab umum ADHF biasaya berasal dari ventrikel kiri, disfungsi
diastolik, dengan atau tanpa Coronary Artery Disease (CAD), dan abnormalitas
valvular. Meskipun sebagian pasien ADHF adalah pasien dengan riwayat Heart
Failure (HF) dan jatuh pada kondisi yang buruk, 20% pasien lainnya yang
dinyatakan ADHF tidak memiliki diagnosa HF sebelumnya (Joseph, 2009).
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis
adalah keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau
yang menurunkan kontraktilitas miokardium.
Faktor presipitasi lainnya yang dapat memicu ADHF yaitu:
1) Dekompensasi pada gagal jantung kronik yang sudah ada (kardiomiopati)
2) Sindroma koroner akut
a. Infark miokardial/unstable angina pektoris dengan iskemia yang
bertambah luas dan disfungsi sistemik
b. Komplikasi kronik IMA
c. Infark ventrikel kanan
3) Krisis Hipertensi
4) Aritmia akut (takikardia ventrikuler, fibrilasi ventrikular, fibrilasi atrial,
takikardia supraventrikuler, dll)
5) Regurgitasi valvular/endokarditis/ruptur korda tendinae, perburukan
regurgitasi katup yang sudah ada
6) Stenosis katup aorta berat, Tamponade jantung, Diseksi aorta
7) Kardiomiopati pasca melahirkan
8) Faktor presipitasi non kardiovaskuler
a. Volume overload, Infeksi terutama pneumonia atau septikemia,
Severe brain insult
b. Pasca operasi besar
c. Penurunan fungsi ginjal
d. Asma
e. Penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol
f. Feokromositoma
(Putra, 2012)

5. Faktor resiko
Menurut Hanafiah (2006), faktor resiko tinggi tekena penyakit ADHF yaitu:
a. Orang yang menderita riwayat hipertensi
b. Obesitas
c. Pernah mengalami riwayat gagal jantung
d. Perokok berat
e. Aktifitas sangat berlebihan dan mengkonsumsi alkohol

6. Manifestasi klinis
Gejala utama ADHF antara lain sesak napas, konngesti, dan kelelahan yang
sering tidak spesifik untuk gagal jantung dan sirkulasi. Gejala – gejala ini juga dapat
disebabkan pleh kondisi lain yang mirip dengan gejala gagal jantung, komplikasi yang
diidentifikasikan pada pasien dengan gejala ini. variasi bentuk penyakit pulmonal
termasuk pneumonia, penyakit paru reaktif dan emboli pulmonal, mungkin sangat sulit
untuk dibedakan secara klinis dengan gagal jantung (Lindenfeld,2010).
Manifestasi Klinis yang umum pada gagal jantung (Dickstein,2008).

Gambaran Klinis
Gejala Tanda
yang Dominan
Edema Perifer, peningkatan
vena jugularis, edema
Edema perifer/ Sesak napas,
pulmonal, hepatomegaly,
kongesti kelelahan, Anoreksia
asites, overload cairan
(kongesti), kaheksia
Crackles atau rales pada paru-
Sesak napas yang
Edema pulmonal paru bagian atas, efusi,
berat saat istirahat
Takikardia, takipnea
Perfusi perifer yang buruk,
Syok kardiogenik (low Konfusi, kelemahan,
Systolic Blood Pressure (SBP)
output syndrome) dingin pada perifer
< 90mmHg, anuria atau oliguria
Tekanan darah tinggi Biasanya terjadi peningkatan
(gagal jantung Sesak napas tekanan darah, hipertrofi
hipertensif) ventrikel kiri
Bukti disfungsi ventrikel kanan,
Sesak napas, peningkatan JVP, edema
Gagal jantung kanan
kelelahan perifer, hepatomegaly, kongesti
usus.
Menurut The Consensus Guideline in The Management of Acute Decompensated
Heart Failure tahun 2006, manifestasi klinis acute decompensated heart failure antara
lain tertera dalam tabel berikut:

Volume Overload
- Dispneu saat melakukan kegiatan
- Orthopnea
- Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)
- Ronchi
- Cepat kenyang
- Mual dan muntah
- Hepatosplenomegali, hepatomegali, atau splenomegali
- Distensi vena jugular
- Reflex hepatojugular
- Asites
- Edema perifer
Hipoperfusi
- Kelelahan
- Perubahan status mental
- Penyempitan tekanan nadi
- Hipotensi
- Ekstremitas dingin
- Perburukan fungsi ginjal

7. Patofisiologi
ADHF dapat muncul pada orang yang sebelumnya menderita gagal
jantung kronik asimptomatik yang mengalami dekompensasi akut atau dapat
juga terjadi pada mereka yang tidak pernah mengalami gagal jantung
sebelumnya.Etiologi ADHF dapat bersumber dari kardiovaskuler maupun non
kardiovaskuler. Etiologi ini beserta dengan faktor presipitasi lainnya akan
menimbulkan kelainan atau kerusakan pada jantung yang diakibatkan oleh
proses iskemia miokard atau hipertropi remodeling otot jantung atau kerusakan
katup jantung yang dapat menyebabkan disfungsi ventrikel sehingga terjadi
gangguan preload maupun afterload sehingga menurunkan curah jantung. Bila
curah jantung menurun, maka tubuh akan mengeluarkan mekanisme
neurohormonal untuk mengkompensasi penurunan curah jantung. Mekanisme ini
melibatkan sistem adrenergik, renin angiotensin dan aldosteron sehingga terjadi
peningkatan tekanan darah akibat vasokonstriksi arteriol dan retensi natrium dan
air.
Pada individu dengan remodeling pada jantungnya, mekanisme
kompensasi akan menempatkannya pada keadaan gagal jantung asimptomatik
dimana jantungnya telah mengalami disfungsi terutama ventrikel tetapi masih
bisa dikompensasi agar tetap dapat mempertahankan metabolisme dalam tubuh.
Tetapi bila telah mencapai ambang batas kompensasi, maka mekanisme ini
akan terdekompensasi sehingga muncul gejala klinis tergantung dari ventrikel
yang terkena sehingga muncul ADHF. Proses remodeling maupun iskemia
miokard akan menyebabkan kontraksi miokard menurun dan tidak efektif untuk
memompa darah. Hal ini akan menimbulkan penurunan stroke volume dan
akhirnya terjadi penurunan curah jantung.
Penurunan kontraktilitas miokard pada ventrikel kiri (apabila terjadi infark
di daerah ventrikel kiri) akan menyebabkan peningkatan beban ventrikel kiri. Hal
ini disebabkan karena penurnan kontraktilitas miokard disertai dengan
peningkatan venous return (aliran balik vena). Hal ini tentunya akan
meningkatkan bendungan darah di paru – paru. Bendungan ini akan
menimbulkan transudasi cairan ke jaringan dan alveolus paru sehingga terjadilah
oedema paru. Oedema ini tentunya akan menimbulkan gangguan pertukaran
gas di paru – paru.
Sedangkan apabila curah jantung menurun, maka secara fisiologis tubuh
akan melakukan kompensasi melalui perangsangan sistem adrenergik dan RAA
untuk mempertahankan curah jantung ke arah normal. Sedangkan apabila tubuh
tidak mampu lagi melakukan kompensasi, maka penurunan curah jantung akan
memicu penurunan aliran darah ke jaringan berlanjut. Apabila terjadi penurunan
aliran darah ke ginjal, akan memicu retensi garam dan air oleh sistem renin
angiotensin aldosteron. Retensi ini akan menjadi lebih progresif karena tidak
diimbangi dengan peningkatan tekanan atrium kanan akibat proses
dekompensasi, sehingga terjadi kelebihan volume cairan yang berujung pada
oedema perifer.

PATHWAY (TERLAMPIR)

8. Pemerksaan diagnostik
a. Laboratorium
1. Hematologi : Hb, Ht, Leukosit
2. Elektrolit : K, Na, Cl, Mg
3. Enzim Jantung (CK-MB, Troponin, LDH)
4. Gangguan fungsi ginjal dan hati : BUN, Creatinin, Urine Lengkap, SGOT,
SGPT.
5. Gula darah
6. Kolesterol, trigliserida
7. Analisa Gas Darah
b. Elektrokardiografi, untuk melihat adanya :
- Penyakit jantung koroner : iskemik, infark
- Pembesaran jantung ( LVH : Left Ventricular Hypertrophy )
- Aritmia
- Perikarditis
c. Foto Rontgen Thorak, untuk melihat adanya :
- Edema alveolar
- Edema interstitiels
- Efusi pleura
- Pelebaran vena pulmonalis
- Pembesaran jantung
d. Echocardiogram
- Menggambarkan ruang –ruang dan katup jantung
e. Radionuklir
- Mengevaluasi fungsi ventrikel kiri
- Mengidentifikasi kelainan fungsi miokard
f. Pemantauan Hemodinamika (Kateterisasi Arteri Pulmonal Multilumen), bertujuan
untuk :
- Mengetahui tekanan dalam sirkulasi jantung dan paru
- Mengetahui saturasi O2 di ruang-ruang jantung
- Biopsi endomiokarditis pada kelainan otot jantung
- Meneliti elektrofisiologis pada aritmia ventrikel berat recurrent
- Mengetahui beratnya lesi katup jantung
- Mengidentifikasi penyempitan arteri koroner
- Angiografi ventrikel kiri (identifikasi hipokinetik, aneurisma ventrikel, fungsi
ventrikel kiri)
- Arteriografi koroner (identifikasi lokasi stenosis arteri koroner)

9. Diagnosa
Diagnosis gagal jantung ditegakkan berdasarkan pada kriteria utama dan atau
tambahan. Diagnosis ditegakkan atas dasar adanya 2 kriteria utama,atau 1
kriteria utama disertai 2 kriteria tambahan
A. Kriteria utama (mayor):
1) Ortopneu
2) Paroxysmal Nocturnal Dyspneu
3) Kardiomegali
4) Gallop S3
5) Peningkatan JVP
6) Refleks hepatojuguler
7) Edema pulmonal, kongesti visceral, atau kardiomegali saat autopsy
B. Kriteria tambahan (minor):
1) Edema ekstremitas
2) Batuk malam hari
3) Dyspneu on effort
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Takhikardi (>120.menit)
.
Menilai gejala dan tanda

EKG abnormal?

BGA abnormal?
Tidak
Bendungan di X-ray?

BPN meningkat? Pertimbangkan


Ya penyakit paru
Penyakit jantung atau gagal jantung
kronik?
Evaluasi dengan Normal
ekokardiografi
Abnorma
l
Gagal jantung
terkonfirmasi
Rencanakan
Menilai jenis, severitas dan strategi
etiologi menggunakan penatalaksanaan
investigasi pilihan

10. Penatalaksanaan
Tujuan dasar penatalaksanaan pasien dengan gagal jantung adalah :
a. Mendukung istirahat untuk mengurangi beban kerja jantung.
b. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan-
bahan farmakologis
c. Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi diuretik ,
diet dan istirahat.
d. Menghilangkan faktor pencetus (anemia, aritmia, atau masalah medis
lainnya )
e. Menghilangkan penyakit yang mendasarinya baik secara medis maupun
bedah.
Terapi non farmakologis meliputi :
a. Diet rendah garam ( pembatasan natrium )
b. Pembatasan cairan
c. Mengurangi berat badan
d. Menghindari alcohol
e. Manajemen stress
f. Pengaturan aktivitas fisik
Terapi farmakologis meliputi :
a. Digitalis, untuk meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan memperlambat
frekuensi jantung. Misal : digoxin.
b. Diuretik, untuk memacu ekskresi natrium dan air melalui ginjal serta
mengurangi edema paru. Misal : furosemide ( lasix ).
c. Vasodilator, untuk mengurangi impedansi ( tekanan ) terhadap penyemburan
darah oleh ventrikel. Misal : natrium nitropusida, nitrogliserin.
d. Angiotensin Converting Enzyme inhibitor ( ACE inhibitor ) adalah agen yang
menghambat pembentukan angiotensin II sehingga menurunkan tekanan
darah. Obat ini juga menurunkan beban awal ( preload ) dan beban akhir (
afterload ). Misal : captopril, quinapril, ramipril, enalapril, fosinopril,dll.
e. Inotropik ( Dopamin dan Dobutamin )
f. Dopamin digunakan untuk meningkatkan tekanan darah , curah jantung dan
produksi urine pada syok kardiogenik.
g. Dobutamin menstimulasi adrenoreseptor di jantung sehingga meningkatkan
kontraktilitas dan juga menyebabkan vasodilatasi sehingga mengakibatkan
penurunan tekanan darah. Dopamin dan dobutamin sering digunakan
bersamaan.
Menurut Heart Failure Society of America tahun 2010, terapi untuk pasien ADHF dapat
berangkat dari goal treatment di bawah ini :

Terapi untuk pasien acute decompensated heart failure tidak berubah secara
signifikan selama 30 tahun. Algoritma terhadap acute decompensated heart failure
yang digunakan untuk mengevaluasi diagnostik dan prognostik pasien dengan ADHF
antara lain yaitu :
Algoritma untuk stabilisasi awal pada acute decompensated heart failure di
instalasi gawatdarurat.
Algoritma penatalaksanaan pada Acute decompensated heart failure.
Pilihan pengobatan pasien dengan acute decompensated heart failure

Sedangkan, Algoritma ADHF menurut Empowering Physician with Evidence


Based Content, penatalaksanaan ADHF adalah seperti berikut :
Discharge Planning pada pasien ADHF dapat dilakukan jika pasien dapat
memenuhi kriteria di bawah ini :
1) Faktor eksaserbasi dapat ditangani.
2) Pemberian obat oral stabil dalam 24 jam
3) Pasien dan keluarga sudah di KIE
4) Fraksi ejeksi ventrikel kiri terdokumentasi.
5) Adanya konseling smoking cessation.
6) Kontrol ulang selama 7-10 hari setelah KRS.
7) Sudah menerima semua terapi.
8) Dokumentasi discharge planning sudah dibuat.

11. VENTILASI MEKANIK


Aplikasi klinik
- Resusitasi jantung paru
- Gagal nafas
- Paska aperasi besar yang
- memerlukan bantuan ventilasi untuk memperbaiki homeeostasis, gangguan
keseimbangan asam b sa serta keadaan anemia
- Sepsis berat dimana ps tidak dapat memenuhi peningkatan work of breathing
akibat tingginy produksi CO2
- Pengendalian kadar CO2 sebagai salah satu bagian dari pengelolaan TTIK
(misalnya akibat cedera kepala)
- Sebagai bantuan ventilasi pada penderita yang diintubasi atas indikasi
mempertahankan jalan nafas.
- Mengurangi beban jantung pada syok kardiogenik
Indikasi
Kriteria objektif untuk penggunaan ventilasi mekanik adalah:
Laju nafas > 35
Volume tidal < 5ml/kg
Kapasitas < 15ml/kg
Oksigenasi: PaO2 < 50mmHg dengan fraksi oksigen 60%
Ventilasi: PCO2 > 50mmHg
Perlu difahami bahwa penilaian klinis lebih penting dengan memperhatikan hal-
hal dibawah ini:
Sistem respirasi
Kesulitan bernafas, takipneu, mulut terbuka saat menarik nafas, pernafasan tidak
teratur,perubahan rasio inspirasi dan ekspirasi, batuk yang tidak efektif, ekspirasi
aktif, berpegangan pada pinggiran tempat tidur, mengangkat lengan atas saat
bernafas karena sesaknya, berkeringat, alis terangkat, pernafasan cuping
hidung, pursed mouth , bibir licking, toungue-jerking, sianosis, sulit bicara,
moaning, grunting, minta/ingin memakaiventilator, kepala terangkat dari bantal,
aktifitas otot pernafasan tambahan meningkat . tracheal tug, nafas berbunyi atau
wheezing
Sistem Susunan Syaraf Pusat
Nasal lines, pusing, tidak berdaya, cemas, apatis, kelelahan, disorientasi,
menarik-narik baju, weak smile
Sistem Kardiovaskular
extremitas , hidung ,telinga, teraba dingin, nadi meningkat, disritmia, tekanan
darah menurun , peningkatan tekanan nadi, diuresis menurun Bila ragu dengan
tanda-tanda yang tampak pada pasien, lebih baik diobservasi di ICU karena
sewaktu-walctu perlu ventilasi mekanik dapat dipenuhi daripada di ruangan.
Mode ventilasi
Controlled Minute Ventilation (CMV)
Mode ventilasi ini sangat mirip dengan mode yang dipakai diruang operasi
dimana laju nafas dan volume tidal ditentukan oleh klinisi. CMV digunakan bila
nafas spontan tidak ada atau minimal, misalnya pada penderita dengan hipoksia
yang berat.
Pressure Controlled Ventilasion (PCV)
Klinisi mengatur laju nafas dan rasio inspirasi dan ekspirasi. PCV digunakan
untuk melimitasi tekanan pada jalan nafas pada paru-paru dengan komplians
yang rendah atau resistensi yang tinggi untuk mencegah risiko barotrauma.
Dengan demikian akan diperoleh volume tidal dan minute volume yang bervariasi
sesuai dengan perubahan komplians dan resistensi.
Assist-control ventilation (ACV)
Bila penderita sudah mempunyai nafas spontan maka CMV atau PCV akan
menjadl ACV. Pada saat ini berisiko untuk terjadinya hiperventilasi.
Synchronised intermittent mandatory ventilation (SIMV)
Bila ada upaya nafas, maka mesin ventilator akan memberikan volume tidal, atau
jika tak ada upaya nafas maka mesin ventilator akan memberikan laju nafas.
Dengan demikian minute volume akan selalu terjamin keberadaannya.
Selanjutnya setiap nafas spontan tidak dibantu lagi, akan tetapi sirkuit akan
mengalirkan oksigen.
SIMV
Pd SIMV, pengaturan volume tidal disesuaikan dg usaha nafas spontan
penderita atau jika tdk ada nafas spontan volume tidal yg dikeluarkan oleh
ventilator akan disesuaikan dengan nengaturan frekwensi nafas (preset
rate).sehingga volume minimal terpenuhi. Bila pasien bernafas spontan maka
bantuan ventilator untuk memberikan volume tidal tidak ada, akan tetapi mesin
akan tetap mengalirkan oksigen. Dengan demikian dapat dihasilkan volume
semenit yang lebih tinggi. SIMV digunakan untuk menyapih pasien dari CMV
dengan mengurangi secara bertahap frekwensi nafas sehingga merangsang
ventilasi spontan. Pressure support dapat ditambahkan pada penderita yang
sudah bernafas spontan
Ventilasi dengan rasio terbalik (Inverse ratio ventilation)
Siklus respirasi adalah satuan waktu yang diperlukan untuk memasukkan dan
mengeluarkan udara pada setiap tarikan nafas yang dihasilkan oleh ventilator.
Siklus ini dibagi menjadi waktu inspirasi dan ekspirasi .Rasio inspirasi dan
ekspirasi yang normal adalah 1:2-3.Pemanjangan relatif waktu inspirasi [invers
rasio ventilasi ] sering digunakan untuk memperbaiki pertukaran gas pada pasen
dengan oksigenasi kurang. Umumnya dipakai ratio 1:1. Cara ini digunakan baik
pada mode pressure control maupun volume control ventilation
PRESSURE SUPPORT
Pada keadaan ini terdapat nafas spontan pasen dan tidak ada pengaturan
frekuensi nafas. Ventilator akan memberikan tekanan positif pada jalan nafas
sebagai respon terhadap upaya pernafasan. Volume tidal bervariasi sesuai
dengan komplain rongga dada dan resistensi jalan nafas . Biasanya dimulai
dengan tekanan 20-30 cm H2O dan diturunkan bila gerakan respirasi pasen
membaik. Kadang dapat dikombinasikan dengan SIMV untuk membantu
frekuensi pernafasan spontan. Sesuai dengan usaha inspirasi pasen, maka
ventilator akan memberikan bantuan tekanan inspirasi. Volume assured pressure
support adalah suatu modifikasi alternative dimana ventilator secara otomatis
dapat mpngatur tekanan inspirasi yang harus diberikan untuk mencapai tidal
volume minimal yang diinginkan.
Positive End Expiratory Pressure (PEEP) dan Continous Positive Airway
Pressure ( CPAP)
Pada mode ini tekanan jalan nafas dibuat selalu lebih tinggi dari based line baik
pada saat ventilasi mekanik (PEEP) maupun saat ventilasi spontan (CPAP).
Dengan cara ini oksigenasi dan pergerakan nafas dinding dada akan tetap baik
karena volume alveolus pada akhir expirasi tetap dipertahankan. Hal ini akan
memperbaiki volume paru yang tadinya berkurang pada saat akhir expirasi
menjadi normal kembali.

BANTUAN VENTILASI NON INVASIF


Saat ini telah tersedia berbagai modifikasi ventilator yang dapat memberikan
tekanan positif pada jalan nafas dengan cara menggunakan masker yang
melekat erat dengan wajah atau nasal. Masker ini dapat berupa masker nasal
atau full face masker. Dengan cara ini dapat digunakan CPAP atau tanpa
tambahan tekanan positif pada saat inspirasi. Penderita dapat juga memakai
semacam helm kemudian bantuan insprasi diberikan melalui mouthpiece.
Ventilator jenis ini ada yang dapat dipakai untuk penderita yang diintubasi tapi
dapat bernafas spontan. Tujuannya adalah untuk menghindari atau mencegah
penderita dari tindakan intubasi endotracheal.
Indikasi
Hipoksia sehingga kebutuhan laju nafas, upaya nafas dan FiO2 meningkat
Hiperkapni dan tampak kelelahan
Mencegah supaya jangan sampai diintubasi bila misalnya pada pasien dengan
yang mengalami keterbatasan aliran udara secara kronis, pemakaian
imunosupresi
Mengurangi beban otot pernafasan pada penderita dengan PEEPi yang tinggi
(asma, chronic airflow limitasi). Dipergunakan dengan hati2 dan pengawasan
ketat.
Tehnik fisioterapi untuk untuk meningkatkan Functional Residual Capasity
(FRC)
Sleep apnoea
Suatu tahapan dalam proses penyapihan.
Inspiratory support
Tekanan inspirasi yang di berikan oleh ventilator dicetuskan oleh nafas pasien.
Besarnya tekanan ini disesuaikan dengan upaya nafas yang dimiliki pasien .
Beberapa mesin akan memberikan frekuensi nafas dengan rasio I:E secara
otomatis sesuai dengan kebutuhan. Volume tidal yang dihasilkan tergantung dari
komplian paru2.
BiPAP (Bi-level Positif Airways Pressure)
Mesin ventilator ini dapat mengatur PS dan PEEP. Laju nafas bisa berasal dari
pasien dan/atau mesin. Beberapa mesin BiPAP menggunakan udara luar untuk
meningkatkan FiO2, sedangkan pemberian O2 dapat dilakukan melalui lubang
masuk yang berada pada masker.

Penatalaksanaan
Pilih tipe dan mode bantuan ventilasi yang sesuai
Gunakan masker yang paling sesuai ukurannya sehingga kedap udara dan
penderita merasa nyaman. Pada awal pemasangan dapat diberikan tekanan 10 -
15 cmH2O yang kemudian disesuaikan dengan respon pasien (laju nafas,
derajat kelelahan, kenyamanan pasien serta hasil AGD
Expiratory pressure support biasanya berkisar sekitar 5-12cmH2O
Pada awalnyn penderita dengan Resplratory Distress biasanya tidak toleran
dengan cara ini. Diperlukan pengamatan yang ketat dan terus menerus untuk
membiasakan pasien memakai masker. Sementara itu kita terus mencari mode
support dan rasio I : E yang paling optimal.
Dosis rendah opiat (diamorfin 2.5mg) untuk menenangkan pasien tanpa
menyebabkan depresi nafas harus diberikan secara hati2.
Pada beberapa pasien setelah memakai masker yang melekat erat selama
beberapa hari dapat timbul gejala clautrophobia . Hal ini dapat diatasi dengan
jalan mengistirahatkan beberapa saat secara berkala.
Daerah yang mendapat tekanan seperti batang hidung harus dilindungi untuk
mencegah perlukaan.

Weaning (menyapih) ventilasi mekanik


Pasen yang mendapatkan ventilasi mekanik dalam waktu singkat misalnya
setelah operasi besar sering kali dapat disapih dengan cepat seperti yang
dilakukan diruangan operasi yaitu mengakhiri sedasi, kemudian dengan cepat
memakai T-piece lalu diekstubasi.
Kondisi ini berbeda sekali dengan pasen sakit kritis yang kadang dalam proses
penyapihan ventilator mengalami hambatan.
Perubahan kondisi pasen dari hari kehari pada masa pemulihan fungsi organ
pernafasan sering kali secara temporer membutuhkan bantuan ventilasi mekanik
kembali.
Pengukuran fungsi sistem pernafasan sehubungan dengan keberhasilan
proses penyapihan dari ventilasi mekanik adalah:
1. Volume tidal > 5 ml/kg
2. Kapasitas vital > 10-15 ml/ kg
3. Fungsional Residual Capacity >50 % nilai prediksi
4. Kekuatan inspirasi maksimal > -25 cmH2O
5. Laju nafas < 30x/ menit
6. Minute Volume < 10 L/ menit
7. PH > 7,3
8. Peningkatan PaCO2 pada respirasi spontan < 1,5 kPa
9. PaO2 > 8 kPa pada kadar oksigen < = 40 %.
Yang paling penting pada penilaian ini adalah keberhasilan pertukaran gas. Oleh
karena itu penilaian klinis menjadi sangat penting dan dapat memberikan
petunjuk adanya kegagalan pernafasan yang memerlukan bantuan ventilasi.
Faktor-faktor yang berhubungan denga kesulitan saat menyapih dari ventilator
mekanik adalah :
1.Kelainan patologi primer yang menetap.
2.Gagal ginjal atau kardiovaskular yang tidak dapat diobati
3.Malnutrisi
4.Sepsis atau pireksia (peningkatan kebutuhan metabolik).
5.Kelebihan cairan
6.Residual dari zat sedative
7.Ketidakseimbangan elektrolit (terutama Ca, Mg, K, PO4)
8.Anemia
9.Nyeri
10.Distensi abdomen
Pada weaning, bantuan ventilator diturunkan secara perlahan mnggunakan
beberapa strategi ventilasi yang dapat berbeda dengan yang telah disebutkan
diatas. Contoh nya seperti di bawah ini :
1. Controlled ventilator dengan atau tanpa PEEP, dilanjutkan dengan
2.SIMV + Pressure Support dengan atau tanpa PEEP, dilanjutkan dengan
3. Pressure support dengan atau tanpa PEEP, dilanjutkan dengan
4. CPAP
Tracheostomi merupakan salah cara proses penyapihan , terutama pada pasien
yang telah lama sakit.
Keuntungan tracheostomi adalah:
Mengurangi kebutuhan zat sedatif. Kebanyakan pasien yang ditracheostomi
membutuhkan hanya sedikit atau tidak sama sekali sedatif dibandingkan dengan
pemasangan ETT (karena lebih mengakibatkan stimulasi).
Karena penderita menjadi lebih tenang maka metabolisme menjadi lebih
efisien dan nutrisi lebih mudah diperbaiki
Memperbaiki oropharingeal toilet sehingga dapat mengurangi kejadian infeksi
nosokomial.
Mengurangi resistensi jalan nafas.
Mempermudah pengeluaran sekret dari saluran nafas bagian bawah.
Memberikan kemudahan dalam mengganti sistem bantuan
pernafasan(misalnya penderita perlu ventilator lagi).

Komplikasi bantuan ventilasi


Kolaps dari sistem kardiovaskular: Biasanya terjadi pada awal pemakaian
ventilasi mekanik dengan tekanan positif. Penyebabnya adalah efek depresi dari
obat sedasi, hambatan pada daya dorong torak yang akan mengakibatkan
peningkatan venous return ,tamponade ventrikel kiri akibat tekanan intra torak
yang positif. Tinggi nya tekanan inflasi dan PEEP akan memperberat keadaan.
Perburukan akan terjadi pada penderita yang hipovolumia, sepsis atau syok
kardiogenik.
Ketidak seimbangan asam basa: Asidosis respiratoris atau alkalosis sangat
mungkin terjadi bila minute volume tidak tercapai. Hiperventilasi yang
berkepanjangan akan menyebabkan penurunan kapasitas sistem bufer di CSF ;
sehingga pada saat proses penyapihan setiap kenaikan PaCO2 akan
menyebabkan penurunan pH di CSF yang besar dan tak terprediksi. Penderita
tampak semakin sesak.
Atropi otot pernafasan: Cara kerja ventilator yang memang dl buat untuk
mengurangi beban kerja otot pernafasan akan menyebabkan disuse athropy.
Dan akan menyebabkan proses penyapihan menjadi lebih sulit.
Barotruama pada paru: Pemaparan pada paru dengan tekanan puncak (peak
airway pressure ) > 35 - 40cm H2O akan meningkatkan risiko pneumotorak.
Kerusakan ini disebabkan oleh karena shears forces yang terjadi bila alveolus
yang kolaps berulang kali mengembang kembali (reinflated) saat inspirasi. Disini
PEEP dapat membantu mengurangi kerusakan tersebut dengan menjaga supaya
alveolus tetap terbuka selama siklus pernafasan .
Ventilator lung : Regangan lama dan berkepanjangan pada paru dengan
volume tidal yang tinggi akan menyebabkan kerusakan paru
Komplikasi dari intubasi endotrakea:
- Kerusakan laring dan faring terjadi bila ETT terpasang selama > 3 minggu.
Pemasangan ETT akan menyebabkan kebersihan rongga mulut tidak dapat
terjaga dengan memadai sehingga terjadi mikro aspirasi dari cairan faring
yang infeksius; ini akan mengakibatkan infeksi nosokomial. Sering kali dl
perlukan pemberian obat sedasi untuk mempermudah proses intubasi
(terutama melalui oral).
- Intubasi melalui nasotrakea membawa risiko sinusitis

12. Asuhan keperawatan

1. PENGKAJIAN
a. Pengkajian Primer
1) Airway
Kepatenan jalan nafas meliputi pemeriksaan obstruksi jalan nafas, adanya
benda asing, adanya suara nafas tambahan.
2) Breathing
Frekuensi nafas, apakah ada penggunaan otot bantu nafas, retraksi dada,
adanya sesak nafas, palpasi pengembangan paru, auskultasi suara nafas, kaji
adanya suara nafas tambahan.
3) Circulation
Pengkajian mengenai volume darah dan cardiac output serta adanya
perdarahan.pengkajian juga meliputi status hemodinamik, warna kulit, nadi.
b. Pengkajian Sekunder
1. Aktivitas/istirahat
a. Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari, insomnia,
nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
b. Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital
berubah pada aktivitas.
2. Sirkulasi
a. Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit
jantung, bedah jantung , endokarditis, anemia, syok septik, bengkak pada
kaki, telapak kaki, abdomen.
b. Tanda : TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan), Tekanan Nadi ;
mungkin sempit, Irama Jantung ; Disritmia, Frekuensi jantung ; Takikardia
, Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah, posisi secara inferior
ke kiri, Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat, terjadi, S1
dan S2 mungkin melemah, Murmur sistolik dan diastolic, Warna ;
kebiruan, pucat abu-abu, sianotik, Punggung kuku ; pucat atau sianotik
dengan pengisian, kapiler lambat, Hepar ; pembesaran/dapat teraba,
Bunyi napas ; krekels, ronkhi, Edema ; mungkin dependen, umum atau
pitting , khususnya pada ekstremitas.
3. Integritas ego
a. Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan
penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
b. Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah, ketakutan
dan mudah tersinggung.
4. Eliminasi
a. Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari
(nokturia), diare/konstipasi.
5. Nutrisi
a. Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat badan
signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian/sepatu
terasa sesak, diet tinggi garam/makanan yang telah diproses dan
penggunaan diuretic.
b. Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites)
serta edema (umum, dependen, tekanan dn pitting).
6. Higiene
a. Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas Perawatan diri.
b. Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
7. Neurosensori
a. Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
b. Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan mudah
tersinggung.
8. Nyeri/Kenyamanan
a. Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas
dan sakit pada otot.
b. Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku melindungi
diri.
9. Pernapasan
a. Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa
bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis,
penggunaan bantuan pernapasan.
b. Tanda :
1) Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori
pernpasan.
2) Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus
menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum.
3) Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema
pulmonal)
4) Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar.
5) Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
6) Warna kulit ; Pucat dan sianosis.
10. Interaksi sosial
a. Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa
dilakukan.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Penurunan curah jantung berhubungan dengan Perubahan kontraktilitas
miokardial/perubahan inotropik.
b. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan reflek batuk,
penumpukan secret.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan edema paru
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus,
meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
3. INTERVENSI

Diagnosa Tujuan dan Kriteria


No. Intervensi
keperawatan hasil
1. Penurunan NOC : NIC :
curah jantung 1. Cardiac Pump Cardiac Care
berhubungan effectiveness 1. Evaluasi adanya nyeri dada (intensitas,lokasi,
dengan 2. Circulation durasi)
Perubahan Status 2. Catat adanya disritmia jantung
kontraktilitas 3. Vital Sign 3. Catat adanya tanda dan gejala penurunan
miokardial/peru Status cardiac output
bahan 4. Monitor status kardiovaskuler
Setelah diberikan
inotropik. 5. Monitor status pernafasan yang menandakan
asuhan
gagal jantung
keperawatan selama
6. Monitor abdomen sebagai indicator penurunan
….x…. diharapkan
perfusi
tanda vital dalam
7. Monitor balance cairan
batas yang dapat
8. Monitor adanya perubahan tekanan darah
diterima (disritmia
9. Monitor respon pasien terhadap efek
terkontrol atau
pengobatan antiaritmia
hilang) dan bebas
10. Atur periode latihan dan istirahat untuk
gejala gagal jantung.
menghindari kelelahan
Kriteria Hasil:
11. Monitor toleransi aktivitas pasien
1. Tanda Vital
12. Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu dan
dalam rentang
ortopneu
normal
13. Anjurkan untuk menurunkan stress
(Tekanan darah,
Nadi, respirasi)
Vital Sign Monitoring
2. Dapat
1. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
mentoleransi
2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
aktivitas, tidak
3. Monitor VS saat pasien berbaring, duduk, atau
ada kelelahan
berdiri
3. Tidak ada
4. Auskultasi TD pada kedua lengan dan
edema paru,
bandingkan
perifer, dan
5. Monitor TD, nadi, RR, sebelum, selama, dan
tidak ada asites
setelah aktivitas
4. Tidak ada
6. Monitor kualitas dari nadi
penurunan 7. Monitor adanya puls paradoksus
kesadaran 8. Monitor adanya puls alterans
9. Monitor jumlah dan irama jantung
10. Monitor bunyi jantung
11. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
12. Monitor suara paru
13. Monitor pola pernapasan abnormal
14. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
15. Monitor sianosis perifer
16. Monitor adanya cushing triad (tekanan nadi
yang melebar, bradikardi, peningkatan sistolik)
17. Identifikasi penyebab dari perubahan vital sign

2. Bersihan jalan NOC : NIC :


nafas tidak 1. Respiratory Airway suction
efektif status : 1. Pastikan kebutuhan oral / tracheal suctioning
berhubungan Ventilation 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah
dengan 2. Respiratory suctioning.
penurunan status : Airway 3. Informasikan pada klien dan keluarga tentang
reflek batuk, patency suctioning
penumpukan 3. Aspiration 4. Minta klien nafas dalam sebelum suction
secret. Control dilakukan.
Setelah diberikan 5. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk
asuhan keperawatan memfasilitasi suksion nasotrakeal
selama ….x…. 6. Gunakan alat yang steril sitiap melakukan
diharapkan klien tindakan
dapat menunjukkan 7. Anjurkan pasien untuk istirahat dan napas
keefektifan jalan dalam setelah kateter dikeluarkan dari
napas nasotrakeal
Kriteria Hasil : 8. Monitor status oksigen pasien
1. Mendemonstras 9. Ajarkan keluarga bagaimana cara melakukan
ikan batuk suction
efektif dan 10. Hentikan suksion dan berikan oksigen apabila
suara nafas pasien menunjukkan bradikardi, peningkatan
yang bersih, saturasi O2, dll.
tidak ada Airway Management
sianosis dan 1. Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau
dyspneu jaw thrust bila perlu
(mampu 2. Posisikan pasien untuk memaksimalkan
mengeluarkan ventilasi
sputum, 3. Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat
mampu jalan nafas buatan
bernafas 4. Pasang mayo bila perlu
dengan mudah, 5. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
tidak ada 6. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
pursed lips) 7. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
2. Menunjukkan tambahan
jalan nafas 8. Lakukan suction pada mayo
yang paten 9. Berikan bronkodilator bila perlu
(klien tidak 10. Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl
merasa Lembab
tercekik, irama 11. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
nafas, frekuensi keseimbangan.
pernafasan 12. Monitor respirasi dan status O2
dalam rentang
normal, tidak
ada suara nafas
abnormal)
3. Mampu
mengidentifikas
ikan dan
mencegah
factor yang
dapat
menghambat
jalan nafas

3. Gangguan NOC : NIC :


pertukaran gas 1. Respiratory Airway Management
berhubungan Status : Gas 1. Pasang mayo bila perlu
dengan edema exchange 2. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
paru 2. Respiratory 3. Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
Status : 4. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara
ventilation tambahan
3. Vital Sign 5. Lakukan suction pada mayo
Status 6. Berika bronkodilator bial perlu
Setelah diberikan 7. Berikan pelembab udara
asuhan 8. Atur intake untuk cairan mengoptimalkan
keperawatan keseimbangan.
selama ….x…. 9. Monitor respirasi dan status O2
diharapkan
gangguan Respiratory Monitoring
pertukaran gas 1. Monitor rata – rata, kedalaman, irama dan
teratasi usaha respirasi
Kriteria Hasil : 2. Catat pergerakan dada,amati kesimetrisan,
1. Mendemonstras penggunaan otot tambahan, retraksi otot
ikan supraclavicular dan intercostals
peningkatan 3. Monitor suara nafas, seperti dengkur
ventilasi dan 4. Monitor pola nafas : bradipena, takipenia,
oksigenasi kussmaul, hiperventilasi, cheyne stokes, biot
yang adekuat 5. Catat lokasi trakea
2. Memelihara 6. Monitor kelelahan otot diagfragma (gerakan
kebersihan paradoksis)
paru paru dan 7. Auskultasi suara nafas, catat area penurunan /
bebas dari tidak adanya ventilasi dan suara tambahan
tanda tanda 8. Tentukan kebutuhan suction dengan
distress mengauskultasi crakles dan ronkhi pada jalan
pernafasan napas utama
3. Mendemonstras 9. auskultasi suara paru setelah tindakan untuk
ikan batuk mengetahui hasilnya
efektif dan
suara nafas
yang bersih,
tidak ada
sianosis dan
dyspneu
(mampu
mengeluarkan
sputum,
mampu
bernafas
dengan mudah,
tidak ada
pursed lips)
4. Tanda tanda
vital dalam
rentang normal
4. Kelebihan NOC : NIC :
volume cairan 1. Electrolit and Fluid management
berhubungan acid base 1. Timbang popok/pembalut jika diperlukan
dengan balance 2. Pertahankan catatan intake dan output yang
menurunnya 2. Fluid balance akurat
laju filtrasi 3. Hydration 3. Pasang urin kateter jika diperlukan
glomerulus, 4. Monitor hasil Lab yang sesuai dengan retensi
Setelah diberikan
meningkatnya cairan (BUN, Hmt , osmolalitas urin )
asuhan
produksi ADH 5. Monitor status hemodinamik termasuk CVP,
keperawatan selama
dan retensi MAP, PAP, dan PCWP
….x…. diharapkan
natrium/air. 6. Monitor vital sign
keseimbangan
7. Monitor indikasi retensi / kelebihan cairan
volume cairan dapat
(cracles, CVP , edema, distensi vena leher,
dipertahankan
asites)
Kriteriahasil
8. Kaji lokasi dan luas edema
1. Terbebas dari
9. Monitor masukan makanan/cairan dan hitung
edema, efusi,
intake kalori harian
anaskara
10. Monitor status nutrisi
2. Bunyi nafas
11. Berikan diuretik sesuai interuksi
bersih, tidak
12. Batasi masukan cairan pada keadaan
ada dyspneu/
hiponatrermi dilusi dengan serum Na < 130
ortopneu
mEq/L
3. Terbebas dari
13. Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih
distensi vena
muncul memburuk
jugularis, reflek
hepatojugular
Fluid Monitoring
(+)
1. Tentukan riwayat jumlah dan tipe intake cairan
4. Memelihara
dan eliminasi
tekanan vena
sentral, tekanan 2. Tentukan kemungkinan faktor resiko dari
kapiler paru, ketidak seimbangan cairan (Hipertermia, terapi
output jantung diuretik, kelainan renal, gagal jantung,
dan vital sign diaporesis, disfungsi hati, dll )
dalam batas 3. Monitor berat badan
normal 4. Monitor serum dan elektrolit urine
5. Terbebas dari 5. Monitor serum dan osmilalitas urine
kelelahan, 6. Monitor BP, HR, dan RR
kecemasan 7. Monitor tekanan darah orthostatik dan
atau perubahan irama jantung
kebingungan 8. Monitor parameter hemodinamik infasif
6. Menjelaskan 9. Catat secara akutar intake dan output
indikator 10. Monitor adanya distensi leher, rinchi, eodem
kelebihan perifer dan penambahan BB
cairan 11. Monitor tanda dan gejala dari edema
12. Beri obat yang dapat meningkatkan output urin

5. Intoleransi NOC : NIC :


aktivitas 1. Energy Energy Management
berhubungan Conservation 1. Observasi adanya pembatasan klien dalam
dengan 2. Self Care : melakukan aktivitas
kelemahan ADLs 2. Dorong anal untuk mengungkapkan perasaan
terhadap keterbatasan
Setelah diberikan
3. Kaji adanya factor yang menyebabkan
asuhan
kelelahan
keperawatan selama
4. Monitor nutrisi dan sumber energi yang
….x…. diharapkan
adekuat
terjadi peningkatan
5. Monitor pasien akan adanya kelelahan fisik dan
toleransi pada klien
emosi secara berlebihan
setelah
6. Monitor respon kardiovaskuler terhadap
dilaksanakan
aktivitas
tindakan
7. Monitor pola tidur dan lamanya tidur/istirahat
keperawatan selama
pasien
di RS
Kriteria Hasil :
Activity Therapy
1. Berpartisipasi
1. Kolaborasikan dengan Tenaga Rehabilitasi
dalam aktivitas
Medik dalam merencanakan progran terapi
fisik tanpa yang tepat.
disertai 2. Bantu klien untuk mengidentifikasi aktivitas
peningkatan yang mampu dilakukan
tekanan darah, 3. Bantu untuk memilih aktivitas konsisten
nadi dan RR yangsesuai dengan kemampuan fisik, psikologi
2. Mampu dan social
melakukan 4. Bantu untuk mengidentifikasi dan
aktivitas sehari mendapatkan sumber yang diperlukan untuk
hari (ADLs) aktivitas yang diinginkan
secara mandiri 5. Bantu untuk mendpatkan alat bantuan aktivitas
seperti kursi roda, dll
6. Bantu untuk mengidentifikasi aktivitas yang
disukai
7. Bantu klien untuk membuat jadwal latihan di
waktu luang
8. Bantu pasien/keluarga untuk mengidentifikasi
kekurangan dalam beraktivitas
9. Sediakan penguatan positif bagi yang aktif
beraktivitas
10. Bantu pasien untuk mengembangkan motivasi
diri dan penguatan
11. Monitor respon fisik, emoi, social dan spiritual

4. IMPLEMENTASI
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah dilaksanakan.

5. EVALUASI
Dx 1 : tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol atau hilang)
Dx 2 : kepatenan jalan nafas pasien terjaga
Dx 3 : dapat mempertahankan tingkat oksigen yang adekuat
Dx 4 : keseimbangan volume cairan dapat dipertahankan
Dx 5 : terjadi peningkatan toleransi pada klien
DAFTAR PUSTAKA

1. Crouch MA, DiDomenico RJ, Rodgers Jo E. Applying Consensus Guidelines


in the Management of acute decompensated heart failure. [monograph on the
internet]. California : 41st ASHP Midyear Clinical Meeting; 2006 [cited 2016
Mar 05]. Available from
www.ashpadvantage.com/website_images/pdf/adhf_scios_06.pdf.
2. Dickstein K, Cohen SA, Filippatos G, McMurray JJV, Ponikowski P, Atar D et
al. ESC Guidelines for the diagnosis and treatment of acute and chronic heart
failure 2008. European Journal of Heart Failure [serial on the internet]. 2008
Aug [cited 2016 Mar 05]. Available from
http://eurjhf.oxfordjournals.org/content/10/10/933.full.pdf #page=
1&view=FitH.
3. Lindenfeld J. Evaluation and Management of Patients with Acute
Decompensated Heart Failure. Journal of Cardiac Failure [serial on the
internet]. 2010 Jun [cited 2016 Mar 05]; 16 (6): [about 23 p]. Available from
http://www.heartfailureguideline.org/assets/document/2010_heart_failure_guid
eline_sec_12.pdf.
4. Abraham WT, Adams KF, Fonarow GC, et al. In-hospital mortality in patients
with acute decompensated heart failure requiring intravenous vasoactive
medications: an analysis from the Acute Decompensated Heart Failure
National Registry (ADHERE). J Am Coll Cardiol. 2005;46:57–64.
5. Andrianto, Petrus. 1995. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskular. Jakarta
6. Forrester JS, Diamond G, Chatterjee K, et al. Medical therapy of acute
decompensation of heart failure by application of hemodynamic subsets. N
Engl J Med. 1976;295:1356-1362
7. Ganong William F.1999.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Edisi 17.Jakarta:
EGC
8. Hamidatul, Ulfiyah, 2015. Laporan Pendahuluan Acute Decompensated of
Heart Failure.
9. Heart Failure Society of America. Evaluation and management of patients
with acute decompensated heart failure: HFSA 2010 comprehensive heart
failure practice guideline. J Card Fail. 2010;16:e134-e156.
10. Joseph SM, Cedars AM, Ewald GA, et al. Acute decompensated heart failure:
contemporary medical management. Tex Heart Inst J. 2009;36:510–520.
11. Kirk JD. Acute Decompensated Hheart Failure: Nnovel Approaches To
Cclassification Aand Treatment. [monograph on the internet]. Philadelphia :
Departement of Emergency Medicine University of Pennsylvania; 2004 [cited
2011 Apr 10]. Available from www.emcreg.org.
12. Nasuution SA, Ismail D. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi
3.Jakarta: EGC
13. Price, Sylvia Anderson. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit.
Alih bahasa Peter Anugrah. Editor Caroline Wijaya. Ed. 4. Jakarta : EGC ;
1994.
14. Pinto DS, Lewis S. Pathophysiology of acute decompensated heart failure. In:
Basow DS, ed. UpToDate. Waltham, MA: UpToDate; 2012.
15. Semara, Putra, 2012. Asuhan Keperawatan pada Pasien ADHF.
16. Tallaj JA, Bourge RC. The Management of Acute Decompensated Heart
Failure. [monograph on the internet]. Birmingham : University of Alabama;
2003 [cited 2011 Apr 10]. Available from http://www.fac.org.ar

Anda mungkin juga menyukai