Anda di halaman 1dari 20

KURANG BAIKNYA PENANGANAN INDONESIA KEPADA

PENDERITA AUTISME DI PANTI SOSIAL DI INDONESIA

LAPORAN FOCUS GROUP DISCUSION (FGD)

Ditujukan kepada
Panti Sosial di Indonesia
Untuk memperbaiki kualitas dan kuantitas pelayanan panti sosial di Indonesia

Disusun oleh:
1. Fatimatuzzahro 6. Maria Yovita Aldila
2. Filia Setyabudi 7. Ni Putu Candra Danayanti
3. Gigih Pambudi. M 8. Natalia Tesalonika
4. Hasti Oktavia Meidi 9. Selvi Faulia Prasasti
5. Hazar Alfanisha Wicaksono Putri 10. Theresa Evadelaneira

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAN
PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
SEPTEMBER 2018
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Eesa, karena berkat
dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas laporan Forum Group
Discusion (FGD)
Maksud dan tujuan dari penulisam laporan ini adalah untuk memberikan kritik
dan saran kepada pemerintah baik negeri maupun swasta untuk turut ambil bagian
dalam memperbaiki kualitas dan kuantitas pelayanan panti sosial di Indonesia.
Penulis merasa bahwa dalam penyusunan laporan ini masih menemui
beberapa kesulitan dan hambatan serta masih ada kekurangan-kekurangannya, dan
kami penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak.
Menyadari penyusunan laporan ini tidak lepas bantuan dari bebrbagai pihak,
maka pada kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa
2. Ibu dr. Desi Ariwinanti M.PH selaku dosen pembimbing
3. Kak Nayla selaku fasilitator dari HMJ Kesehatan Masyarakat
4. Kakak-kakak pendamping dan panitia BToPH 2018 dan HMJ
Kesehatan Masyarakat
5. Teman-teman Kesehatan Masyarakat angkatan 2018
6. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah
membantu selama ini
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rahmat-
Nya dan membalas segala amal budi serta kebaikan pihak-pihak yang telah
membantu penulis dalam penyusunan laporan ini dan semoga tulisan ini dapat
memberika manfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.
Malang, 20 September 2018

TIM PENYUSUN
DAFTAR ISI

COVER............................................................................................................. i
KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................ 2
1.2 Tujuan ..................................................................................... 2
1.3 Bentuk Kegiatan....................................................................... 2
1.4 Output....................................................................................... 2
BAB II METODE PELAKSANAAN
2.1 Desain dan Mekanisme ........................................................... 3
2.2 Analisis Data ............................................................................ 4
2.3 Peserta ...................................................................................... 8
2.4 Lokasi ....................................................................................... 8
2.5 Waktu ....................................................................................... 8
BAB III HASIL KEGIATAN
3.1 Pembukaan................................................................................. 9
3.2 Kegiatan .................................................................................... 10
3.2.1 Tahap Persiapan Focus Grup Discussion (FGD) ......... 10
3.2.2 Tahap Pelaksanaan Focus Grup Discussion..................15
3.2.3 Tahap Analisis Data..................................................... 22
3.2.4 Tahap Penyusunan Laporan Hasil Kegiatan
Focus Group Discussion ...........................................35
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan ...............................................................................36
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................38
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Autisme adalah gangguan perkembangan kompleks yang gejalanya harus
sudah muncul sebelum anak berusia 3 tahun. Gangguan neurologi pervasif ini terjadi
pada aspek neurobiologis otak dan mempengaruhi proses perkembangan anak. Akibat
gangguan ini sang anak tidak dapat secara otomatis belajar untuk berinteraksi dan
berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya, sehingga ia seolah-olah hidup dalam
dunianya sendiri.(Yayasan Autisme Indonesia). Autisme masih dipandang sebelah
mata oleh masyarakat, yang terkucilkam dan kurang diperhatikan oleh pemerintah
dan Lembaga kemasyarakatan.
Kehidupan masyarat saat ini mulai bersikap individu dan apatis, terutama
kepada penderita autism di Indonesia, sehingga menurunkan kualitas dan kuantitas
pelayanan di panti sosial di Indonesia. Salah satu contohnya ada kurangnya tenaga
pendidik untuk menangani anak yang autis di panti-panti sosial, kurangnya
penanganan kepada penderita autism, kurangnya kepedulian masyarakat kepada
penderita autism, dan masih banyak lagi. Dengan adanya permasalahan-permasalahan
yang terjadi dalam kehidupan di panti sosial, maka diperlukannya solusi untuk
mengatasi permasalahn tersebut. Oleh karena itu, untuk mendapatkan solusi sebagai
pemecahan dari masalah maka diadakanya Focus Group Discussion (FGD) tentang
pelayanan panti sosial di Indonesia.
1.2 Tujuan

1. Berbagi informasi tentang permasalahan autisme yang terjadi di Panti


Sosial di Indonesia
2. Menemukan dan memberikan solusi yang tepat untuk mengatasi
permasalahan autism yang terjadi di Indonesia
3. Membuat laporan dari akhir kegiatan Focus Group Discusion dari
permasalahan autism di Panti Sosial di Indonesia

1.3 Bentuk Kegiatan

Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan kegiatan Focus Group


Discussion (FGD) yang mampu menemukan dan memberikan solusi yang
tepat untuk menyelesaikan permasalahan tersebut
1.4 Output
Produk yang kami hasilkan adalah berupa laporan akhir dari Focus
Group Discussion (FGD)

BAB II
METODE PELAKSANAAN

2.1 Desain dan Mekanisme


Istilah autis diperkenalkan oleh Leo Kanner, seorang dokter kesehatan
jiwa anak, menulis makalah pada tahun 1943.Ia menjabarkan dengan sangat
rinci gejala-gejala aneh yang ditemukan pada 11 orang pasien kecilnya. Ia
melihat banyak persamaan gejala pada anak-anak ini, namun yang sangat
menonjol adalah anak-anak ini sangat asyik dengan dirinya sendiri, seolah–
olah mereka hidup dalam dunianya sendiri dan menolak berinteraksi dengan
orang disekitarnya. Oleh sebab itu Kanner memakai istilah autisme yang
artinya hidup dalam dunianya sendiri. Selanjutnya ia juga memakai istilah “
early Infantile Autism” atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai
autisme masa kanak-kanak atau autisme infantile untuk membedakan dari
orang dewasa yang menunjukkan gejala autisme seperti ini. Leo Kanner
beranggapan bahwa anak-anak ini menderita gangguan metabolisme yang
dibawa sejak lahir.Autis dari bahasa Yunani dari kata Auto yang berarti diri
sendiri.
Menurut teori dan pegertian autis di atas klompok kami dapat melakukan
(FGD). dalam klompok kami melakukan berbagai penelitian tentang peran
orang tua,fasilitas yang di dapatkan,dan peran masyarakat sekitar tentang para
penderita autis.
Cara kami adalah melakukan sesi tanya jawab kepada klompok kami yang
berasal dari berbagai daerah dan setiap daerah mempuyai cara masing- masing
untuk menanggani masalah autis,dan setiap daerah memiliki masalah yang
hamper sama sehingga kita klompok kami dapat melakukan penagana suatu
mekanisme yang dapat bermanfaat bagi para penderita autis.
2.2 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif. Analisis
kuantitatif adalah metode yang lebih menekankan pada aspek pengukuran secara
obyektif terhadap fenomena social. Untuk dapat melakukan pengukuran, setiap
fenomena social di jabarkan kedalam beberapa komponen masalah, variable dan
indicator. Setiap variable yang di tentukan di ukur dengan memberikan symbol –
symbol angka yang berbeda – beda sesuai dengan kategori informasi yang berkaitan
dengan variable tersebut. Dengan menggunakan symbol – symbol angka tersebut,
teknik perhitungan secara kuantitatif matematik dapat di lakukan sehingga dapat
menghasilkan suatu kesimpulan yang belaku umum di dalam suatu parameter. Tujuan
utama dati metodologi ini ialah menjelaskan suatu masalah tetapi menghasilkan
generalisasi. Generalisasi ialah suatu kenyataan kebenaran yang terjadi dalam suatu
realitas tentang suatu masalah yang di perkirakan akan berlaku pada suatu populasi
tertentu. Generalisasi dapat dihasilkan melalui suatu metode perkiraan atau metode
estimasi yang umum berlaku didalam statistika induktif. Metode estimasi itu sendiri
dilakukan berdasarkan pengukuran terhadap keadaan nyata yang lebih terbatas
lingkupnya yang juga sering disebut “sample” dalam penelitian kuantitatif. Jadi, yang
diukur dalam penelitian sebenarnya ialah bagian kecil dari populasi atau sering
disebut “data”. Data ialah contoh nyata dari kenyataan yang dapat diprediksikan ke
tingkat realitas dengan menggunakan metodologi kuantitatif tertentu. Penelitian
kuantitatif mengadakan eksplorasi lebih lanjut serta menemukan fakta dan menguji
teori-teori yang timbul
Dalam penelitian kuantitatif hipotesis dibuat terlebih dahulu, untuk kemudian
diuji dengan cara mengumpulkan data dan menganalisisnya dengan statistik. Hasil
dari analisis tersebut akan menunjukan apakah hipotesis diterima atau di tolak.
Langkah-Langkah Penelitian Kuantitatif

Untuk lebih jelasnya, perhatikan langkah-langkah metode penelitian kuantitatif.

1. Membuat rumusan masalah

Setiap penelitian harus bersumber dari adanya masalah. Seperti penjelasan di atas
tentang desain penelitian dengan metode kuantitatif. Maka penelitian dengan metode
kuantitatif memiliki maslah yang jelas.

Setelah selesai untuk mengidentitikasi dan membatasi masalah. Selanjutnya peneliti


membuat rumusan maslaah. Rumusan maslaah di tulis dalam bentuk kalimat tanya.
Baca cara membuat rumusan masalah yang baik pada proposal utnuk memahami cara
membuat rumusan masalah dengan lebih baik.

2. Menentukan landasan teori

Masalah yang sudah dirumuskan menjadi rumusan masalah. Selanjutnya dicarikan


jawabannya. Jawaban tersebut diperoleh dari pencarian terhadap teori-teori yang
relevan.
Bahasa sederhananya, kamu cari tau teori yang sekiranya mendukung jawaban kamu.
3. Merumuskan Hipotesis

Dari rumusan masalah tersebut, peneliti mencoba menjawab (memberikan solusi)


yang diperoleh dari pencarian teori-teori yang relevan. Jawaban yang diperoleh
selanjutnya disebut dengan jawaban sementara atau hipotesis.
Jawaban sementara adalah hipotesisi. Jadi hipotesis dirumuskan dengan cara
membaca atau mencari teori-teori yang cocok dengan solusi dari rumusan masalah
dalam penelitian.

4. Melakukan pengumpulan data

Sebelum melakukan pengumpulan data, seorang peneliti harus terlebih dahulu:


 Membuat instrumen penelitian berupa: kuisione, angket, test, lembar
observasi, wawancara terstruktu dan instrumen yang telah terstandar.
 Menguji instrumen dengan menguji validitas dan rebilitas dari instrumen
tersebut.
Bila instrumen sudah selesai dibuat selanutnya peneliti mengumpulkan data. Data
dalam penelitian kuantitatif dapat berupa data angka atau data deskribsi yang
dikuantitatifkan.

Mengumpulkan Data

5. Melakukan Analisis Data

Setelah data terkumpul, selanjutnya dilakukan analisis data. Analisis data dilakukan
untuk menjawab hipotesis yang sudah dibuat tadi.

Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian kuantitatif adalah statistik. Statistik
yang dapat digunakan adalah statistik deskribtif dan statistik induktif.
Data hasil analisis tersebut selanjutnya disajikan dan diberikan pembahasan.
Penyajian data dapat menggunakan tabel, grafi, dan diagram. dan pembahasan
merupakan pembahasan yang mendalam dari data-data tersebut.

Menyajikan data dalam bentuk grafik

6. Menyimpulkan

Setelah melakukan analisis data, maka tahap terakhir adalah menyimpulkan.


Kesimpulan adalah hasil dari pengujian hipotesis apakah diterima atau hipotesis di
tolek. Kesimpulan di tulis dengan singkat, padat dan jelas.

Tahapan Analisis Kuantitatif

Langkah-langkah Analisis Masalah


1. Setiap isu yang diperoleh dari masyarakat dikelompokkan sehingga diperoleh
masalah utama yang benar-benar terjadi.
2. Kemudian masalah-masalah yang telah dikelompokkan tersebut cari logika
keterkaitannya antar masalah. Dengan menyusun keterkaitan secara logis
antar masalah, kemudian dapat ditentukan mana yang sebenarnya menjadi
akar permasalahan dan fokus isu apa yang dianggap penting sebagai indikator
terjadinya suatu masalah.
3. Jumlah panah yang keluar dari suatu kotak opini menunjukan tingkat prioritas
akar masalah. Dengan arti lain, kotak opini masalah yang panah keluarnya
paling banyak merupakan akar masalah yang paling prioritas.
4. Sedangkan kotak opini yang merupakan arah masuk anak panah dengan
frekuensi yang besar dan jumlah panah keluar dari kotak tersebut sedikit atau
tidak ada merupakan isu pokok.
Skenario proses Menggali Solusi melalui FGD
Fasilitator menjelaskan tentang hasil FGD, berupa temuan akar masalah dan
isue masalah. Selanjutnya, menjelaskan tahapan apa pertama apa yang akan
dikerjakan dan untuk apa, serta memberikan arahan teknis tentang mekanisme
diskusi, serta memberikan pertanyaan kepada masingmasing peserta sesuai
peran dan kompetensinya terkait permasalahan mahasiswa.
Fasilitator memimpin jalannya diskusi untuk menentukan solusi dari 3
masalah tertinggi. Fasilitator mempersilahkan peserta FGD untuk menuarakan
pendapatnya berupa solusi untuk permasalahan yang sedang di bahas.
Fasilitator memastikan bahwa tiap peserta mengutarakan solusi yang mereka
dapat dari hasil diskusi.
Notulen mencatat seluruh solusi dari peserta untuk diambil kesimpulannya.

Langkah-langkah Analisis Solusi


1. Setiap solusi yang diperoleh dari peserta kelompokkan sehingga diperoleh
solusi utama yang benar-benar riil
2. Kemudian solusi-solusi yang telah dikelompokkan tersebut cari logika
keterkaitannya antar solusi. Dengan menyusun keterkaitan secara logis antar
solusi, kemudian dapat ditentukan mana yang sebenarnya menjadi solusi
utama/strategis dan solusi penunjang
3. Jumlah panah yang keluar dari suatu kotak opini menunjukan solusi
utama/strategis. Dengan arti lain, kotak opini solusi yang panah keluarnya
paling banyak merupakan solusi utama/strategis.
4. Sedangkan kotak opini yang merupakan arah masuk anak panah dengan
frekuensi yang besar dan jumlah panah keluar dari kotak tersebut sedikit atau
tidak ada merupakan solusi penunjang.

2.3 Peserta
Peserta yang ikut dalam pelaksanaan Focus Group Discussion (FGD) ini adalah
seluruh mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat Offering A dan B Angkatan 2018.

2.4 Lokasi
FGD dilaksanakan di Gedung Kuliah Fakultas Ilmu Keolahragaan.
2.5 Waktu
FGD dilaksanakan pada Hari Sabtu, 8 September 2018 sekitar pukul 14.00

BAB III
HASIL KEGIATAN
3.1 Pembukaan
Dalam kegiatan Focus Group Discussion oleh mahasiswa ilmu kesehatan
masyarakat 2018 ini akan membahas tentang isu “Kurang baiknya penanganan
Indonesia kepada penderita autisme di Panti Sosial di Indonesia”. Kegiatan ini
dilakukan pada tanggal 8 September 2018 pukul 10.00 WIB. Gigih Pambudi M.
selaku ketua kelompok kegiatan Focus Group Discussion menyampaikan terima
kasih kepada seluruh anggota kelompok yang telah ikut berpartisipasi dalam kegiatan
diskusi dalam menangani masalah penderita autisme di Indonesia. Dalam Focus
Group Discussion ini akan membahas tentang bagaimana kepedulian kita terhadap
penderita autisme yang ada di Indonesia. Kegiatan ini bertujuan untuk membantu
tumbuh kembangnya penderita autisme yang ada di Indonesia, agar para penderita
bisa merasakan seperti manusia yang normal seperti biasanya dan mereka tidak akan
merasa dikucilkan dengan masyarakat lainnya.
Untuk mewujudkan Kegiatan Focus Group Discussion (FGD) berjalan dengan
lancar dan baik, kelompok kami sudah membagikn tugas untuk tiap-tiap anggota.
Kelompok kami melaksanakan tugas dengan mendiskusikan bersama tentang isu
penanganan kepada penderita autisme di panti sosial di Indonesia. Setiap anggota
berpendapat tentang masalah penderita autisme yang pernah diketahuinya dalam
lingkungannya. Lalu kami semua menganalisis seluruh pendapat dari tiap-tiap
anggota dan memberikan solusi dari tiap-tiap permasalahan yang ada. Setelah
kegiatan menganalisis selesai kami melanjutkan dengan menyusun laporan dari hasil
kegiatan Focus Group Disscusion (FGD) yang dikerjakan secara berkelompok.
3.2 Kegiatan

3.2.1 Tahapan Persiapan Focus Group Discussion

1. Penyusunan Anggota tim kegiatan FGD


Dalam kegiatan FGD ini mahasiswa IKM 2018 dibentuk tiga tim dengan tugas
terstruktur sebagai berikut:
A. Tim A
Tim A ini yang bertugas untuk melakukan survey di panti sosial autism, kemudian
tim A ini juga menyusunnya beberapa kuisioner untuk pengumpulan data.
Kuisionernya diantara lain :
1. Apa kendala dalam penanganan keseharian anak ABK ini
2. Jenis terapi yang pernah diikuti
3. Selain terapi adakah kegiatan/program latihan lain
4. Cara termudah bagi anak untuk menyerap informasi
5. Kendala dalam mendapatkan dan menggunakan alat bantu visual
Anggota tim A sebanyak tiga orang diantaranya sebagai berikut:
1. Hazar Alfanisha w
2. Theresa Evadela
3. Fatimatuzzahro

B. Tim B
Tim B adalah tim yang memiliki tugas pengumpulan data melalui wawancara
kelompok dan pembahasan dalam kelompok sebagai alat/media paling umum yang
digunakan. Berikut adalah susunan anggota pada Tim B:
a. Moderator : Maria Yovita
b. Notulen : Filia Setyabudi
c. Anggota
1. Ni Putu Candra D.
2. Natalia Tesalonika

C. Tim C
Tim C adalah tim yang bertugas untuk melakukan analisis data yang telah terkumpul
melalui beberapa tahapan,
1) Tahap persiapan dengan pengecekan terhadap didentitas pengisi data,
kelengkapan data serta isian data.
2) Tabulasi, yaitu menggambarkan jawaban responden dengan suatu cara
tertentu.
3) Penerapan data sesuai dengan pendekatan yang digunakan (Setyowati, dkk,
2010).
Terdapat lima anggota dalam Tim D, yaitu:
1. Gigih P. M
2. Selvi F. P
3. Hasti

3.2.2 Tahap Pelaksanaan Focus Group Discussion


Dalam kegiatan focus group discususion tentang masalah kurang baiknya
penanganan indonesia kepada penderita autisme di panti sosial di indonesia yang
dilakukan oleh kelompok kami membahas mengenai penderita autisme yang
ternagkum menjadi 3 masalah utama yang dialami pengidap autisme saat ini.
Tahap awal kegiatan focus grup discusion ini untuk melengkapi informasi
awal tentang penderita autism, terkait dengan permasalahan yang dirasakan, maka
peserta menceritakan bagaimana kondisi autisme di daerahnya masing-masing .
Hasilnya terdapat banyak sekali permasalahan yang dirasakan oleh para pengidap
autisme. Dalam diskusi kelompok ini membahas mengenai tiap aspek 3 permasalah
yang umum . Sehingga didapat data sebagai berikut :

 Fasilitas
Masih sedikitnya sekolah khusus untuk anak autis dan sekolah umum yang
menerapkan sistem inklusi juga mahalnya pendidikan untuk penyandang autis
menjadi permasalahan paling utama
Apakah ada sekolah atau lembaga khusus bagi para penderita autisme?
Kalaupun ada mungkin masih sangat jarang ditemui di Indonesia, dan biaya
pendidikan anak autis sangat mahal daripada pendidikan untuk anak normal. Bagi
penyandang autis berat, mereka tidak mungkin bersekolah bersama-sama anak
dengan anak normal di sekolah umum. Mereka memerlukan metode pengajaran
khusus sehingga diperlukan sekolah khusus bagi mereka. Ketersediaan sekolah
khusus ini juga harus menjadi perhatian bagi pemerintah dan juga masyarakat, karena
masih minimnya jumlah sekolah khusus hingga saat ini. Jika keberadaan sekolah
khusus ini masih kurang, maka kemungkinan ABK ini harus bersekolah jauh dari
tempat tinggalnya. Hal ini tentu saja membuat mereka menjadi lelah dalam perjalanan
pergi dan pulang sekolah, serta biaya transport yang harus dikeluarkan oleh orang tua
mereka juga menjadi membengkak. Sedangkan bagi anak penyandang autis ringan,
mereka dapat bersekolah bersama-sama dengan anak umum, dengan sistem sekolah
inklusi. Akan tetapi masalahnya hingga saat ini masih sedikit sekolah umum yang
menerapkan sistem inklusi. Sehingga pada akhirnya anak penyandang autis ringan
banyak juga yang harus bersekolah jauh daru rumahnya.
Masalahnya berikutnya tidak semua penderita autis berasal dari keluarga yang
mampu. Bagi keluarga tak mampu tentunya akan kesulitan menyekolahan anak
mereka yang menyandang autis. Maka tak heran, jika banyak penderita autis yang
disekolahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB). Padahal penderita autis memerlukan
terapi tersendiri, serta memerlukan meotode pembelajaran yang berbeda dengan
anak-anak di SLB.
Adapula anak autis yang berasal dari keluarga kurang mampu menjadi tidak
bersekolah. Pemerintahan seharusnya lebih memperhatikan anak penyandang autis
dari keluarga yang kurang mampu ini. Salah satunya dengan adanya Kartu Indonesia
Pintar (KPI) khusus bagi ABK dan sekolah khusus atau lembaga khusus bagi
pendertita autisme, diharapkan dapat membantu kedua orangtua dalam mengobati
anak-anak mereka.

 Tenaga Kerja
Permasalahan berikunya adalah masih minimnya jumlah pengajar dan terapis
untuk anak autis. Hingga saat ini masih sedikit orang yang berprofesi sebagai
pengajar bagi ABK, khususnya untuk anak autis, padahai jumlah anak penyandang
autis makin tahun makin bertambah. Oleh karena itu pemerintah harus
memperhatikan ketersediaan tenaga pengajar untuk ABK.
Cara yang dapat dilakukan pemerintah adalah dengan membuka program studi
pendidikan ABK di universitas-unversitas negeri yang belum ada program studi
tersebut. Cara lain adalah dengan menambah kuouta kursi siswa pada program studi
pendidikan ABK.

 Lingkungan sosial
Lingkungan sosial pada penderita autisme perlu diperhatikan terutama pada
lingkungan keluarga dan masih banyak diluar sana yang memandang rendah dan
menjauhi anak autisme . Tak bisa dipungkiri, bagi keluarga yang memiliki anak autis,
tentu akan mendapat tekanan batin tersendiri. Bagaimana tidak, mungkin tetangga
sekitar atau orang lain akan menganggap anak mereka aneh, suka ngomong sendiri,
suka ketawa sendiri, susah diajak ngobrol, atau lebih kasarnya lagi, ada yang
menganggap anak mereka gila. Hal itu tentu sangat menyakitkan bagi keluarga si
penderita autis khususnya bagi kedua orangtuanya. Alangkah lebih baiknya jika
orang-orang memperlakukan penderita autis sebagaimana mestinya, tanpa ada
perasaan aneh, pandangan yang sinis, dan perkataan-perkataan yang menyakitkan.
Penderita autis sangat membutuhkan dorongan dan bantuan dari orang-orang
di sekitarnya agar dapat benar-benar terbebas dari penyakit ini. Jika sebagian orang
justru mencemooh atau bahkan mengucilkan si penderita autis ini, tentu saja si
penderita justru akan semakin larut dalam dunianya sendiri yang menyebabkan gejala
autismenya tak kunjung sembuh. Perlu diingat, penderita autisme ini sangat
memerlukan perhatian dan kasih sayang dari orang-orang di sekelilingnya agar ia
tidak terus menerus asyik dengan dunianya sendiri.

3.2.3 Tahap Analisis Data


Jumlah anak dengan Autisme di Indonesia terus mengalami peningkatan
setiap tahunnya.Saat ini belum ada data yang pasti mengenai jumlah anak
penyandang autis di Indonesia. Satu-satunya rujukan hanya berdasar rilis data
pemerintah pada tahun 2015, yang menyebutkan bahwa terdapat sekitar 112.000 jiwa.
Itupun masih bersifat asumsi. Dalam beberapa tahun terakhir, diperkirakan terjadi
peningkatan kasus penderita autis di Indonesia. Tahun 2015, diperkirakan 1 per 250
anak mengalami gangguan spectrum autis.
Dalam diskusi mengenai “Kurang Baiknya Penanganan Indonesia Kepada
Penderita Autisme di Panti Sosial di Indonesia” mahasiswa baru kesehatan
masyarakat angkatan 2018 memiliki pengalaman tersendiri. Ada yang tetangga
rumahnya terdapat anggota yang menderita autis sehingga dapat melihat langsung
bagaimana keseharian penyandang autis, ada yang diceritakan oleh temannya, ada
yang mendapat informasi dari sumber media masa seperti tv, koran, majalah,
internet, dll.
Sejauh ini, pemerintah dinilai kurang memberi perhatian terhadap masalah
autisme yang kian merebak disejumlah daerah. Pelayanan terapi bagi penyandang
autism masih sangat terbatas, sekalipun ada pelayanan ini dikelola oleh pihak-
pihakswasta, yang dimana biayanya relative mahal sehingga sulit dijangkau oleh
para orangtua, terlebih bagi masyarakat dengan ekonomi menengah kebawah. Hal ini
dikarenakan pemerintah Indonesia masih disibukkan dengan pengendalian penyakit
menular, penanganan autisme masih belum jadi prioritas utama. Sehingga salah satu
cara yang dapat dilakukan pemerintah ialah dengan memberikan penyuluhan-
penyuluhan dan menyediakan pelayanan kesehatan dasar di pukesmas-pukesmas.
Dalam UUD 1945 pasal 31 disebutkan bahwa setiap warga negara berhak
untuk mendapatkan pendidikan. Artinya setiap warga negara Indonesia berhat
mendapat pendidikan tanpa terkecuali anak autis sekalipun. Untuk anak berkebutuhan
khusus, hak ini diwujudkan lewat pendidikan inklusi. Pendidikan inklusi adalah
sebuah sistem pendidikan yang menggabungkan antara peserta didik biasa dengan
peserta didik berkebutuhan khusus. Menurut data dari UNESCO pada tahun 2007,
ranking Indonesia dalam pendidikan inklusi berada pada urutan ke-58 dari 130
negara. Ranking ini kemudian mengalami kemerosotan sehingga pada tahun 2008
turun ke ranking 63 dari 130 negara. Posisi Indonesia bahkan kian merosot sampai ke
peringkat 71 dari 129 negara. Padahal nyatanya pendidikan inklusi dibutuhkan di
Indonesia.
Meskipun sudah banyak terjadi perubahan namun masih terjadi hambatan
dalam proses pembelajaran antara anak dengan autisme dan guru di sekolah. Hal ini
menimbulkan kesenjangan antara apa yang dibutuhkan anak dengan autisme dan apa
yang diajarkan oleh guru. Dengan demikian, kebutuhan anak dengan autisme di
bidang pendidikan masih belum terpenuhi.Memasukkan anak dengan autisme ke
sekolah umum tentu merupakan perjuangan tersendiri bagi orang tua, guru, maupun
anak itu sendiri. Sebagai contohnya menyiapkan materi yang bisa diterapkan oleh
anak dengan autisme untuk proses pembelajarannya, metode dan strategi
pembelajaran, dan mempersiapkan anak dalam bersosialisasi dengan anak lainnya di
sekolah. Hal ini disebabkan karena anak dengan autisme memiliki kesukaran dalam
berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Bagi anak penyandang autis sedang dan
autis berat, mereka akan sulit untuk bersekolah bersama-sama dengan anak-anak
normal lainnya, sehingga diperlukan sekolah khusus. Dalam prakteknya memang ada
beberapa kendala bagi anak penyandang autis ini untuk mendapatkan pendidikan.
Adapun kendala-kendala yang dihadapi adalah sebagai berikut :
1. Masih Minimnya Jumlah Pengajar dan Terapis Untuk Anak Autis
Hingga saat ini masih sedikit orang yang berprofesi sebagai pengajar bagi
ABK, khususnya untuk anak autis, padahal jumlah anak penyandang autis makin
tahun makin bertambah.Oleh karena itu pemerintah harus memperhatikan
ketersediaan tenaga pengajar untuk ABK ini. Cara yang dapat dilakukan pemerintah
adalah dengan membuka program studi pendidikan ABK di universitas-universitas
negeri yang belum ada program studi tersebut. Cara lain adalah dengan menambah
kuota kursi siswa pada program studi pendidikan ABK pada universitas-universitas
negeri yang sudah ada jurusan / program studi tersebut.
Selain itu pemerintah juga dapat mendorong universitas –universitas swasta
untuk membuka program studi pendidikan ABK.Selain bersekolah, anak-anak
penyandang autis memerlukan terapi khusus untuk mendukung perkembangan
motorik, kognitif dan mental mereka. Untuk melakukan terapi, diperlukan terapis
yang memiliki kompetensi untuk menangani anak penyandang autis.Hingga saat ini
tenaga terapis untuk anak penyandang autis juga masih minim. Oleh karena itu
pemerintah ataupun pihak swasta juga harus meningkatkan jumlah program
pendidikan khusus untuk tenaga terapis ini. Selain itu jumlah lembaga terapi untuk
ABK harus ditambah, karena masih sedikitnya jumlah lembaga terapi ABK, terutama
di kota-kota kecil.
2. Masih Sedikitnya Sekolah Khusus Untuk Anak Autis dan Sekolah Umum Yang
Menerapkan Sistem Inklusi
Bagi anak penyandang autis sedang dan berat, mereka tidak mungkin
bersekolah bersama-sama dengan anak normal di sekolah umum. Mereka
memerlukan metode pengajaran khusus, sehingga diperlukan sekolah khusus bagi
mereka. Ketersediaan sekolah khusus ini juga harus menjadi perhatian bagi
pemerintah dan juga masyarakat, karena masih minimnya jumlah sekolah khusus
hingga saat ini. Jika keberadaan sekolah khusus ini masih kurang, maka kemungkinan
ABK ini harus bersekolah jauh dari tempat tinggalnya. Hal ini tentu saja membuat
mereka menjadi lelah dalam perjalanan pergi dan pulang sekolah, serta biaya
transport yang harus dikeluarkan oleh orang tua mereka juga menjadi
membengkak.Sedangkan bagi anak penyandang autis ringan, mereka dapat
bersekolah bersama-sama dengan anak umum, dengan sistem sekolah inklusi. Akan
tetapi masalahnya hingga saat ini masih minim sekolah umum yang menerapkan
sistem inklusi ini, sehingga pada akhirnya anak penyandang autis ringan banyak juga
yang harus bersekolah jauh dari rumahnya.
3. Mahalnya Pendidikan Untuk Anak Penyandang Autis
Biaya pendidikan bagi anak penyandang autis cukup mahal dibandingkan
dengan biaya pendidikan untuk anak normal. Selain itu biaya terapi bagi anak
penyandang autis juga cukup mahal. Masalahnya sekarang anak penyandang autis
tidak semuanya berasal dari keluarga mampu. Banyak pula anak penyandang autis
berasal dari keluarga kurang mampu.Bagi keluarga yang kurang mampu tentunya
akan kesulitan untuk menyekolahkan anak mereka yang menyandang autis.
Akibatnya banyak anak autis yang berasal dari keluarga kurang mampu menjadi tidak
bersekolah.Pemerintah harus memperhatikan anak penyandang autis yang berasal dari
keluarga kurang mampu ini. Salah satu caranya dengan menyediakan Kartu Indonesia
Pintar (KIP) khusus bagi ABK. Selain itu perlu juga dipikirkan adanya anggaran
khusus dari negara aagar anak penyandang autis dari keluarga tidak mampu dapat
menjalani terapi.
Sebelum masuk kedunia pendidikan, sikap orang tua kepada anaknya yang
berkebutuhan khusus lebih dibutuhkan. Kendala yang sering ditemukan yakni orang
tua bersikeras bahwa anaknya normal, anaknya sama seperti yang lain.Seringkali
orang tua tidak mengetahui apabila anaknya mengalami gejala autisme sehingga
banyak anak dengan autisme yang tidak tertangani sejak usia dini. Orang tua yang
telah mengetahui anaknya memiliki autisme mengalami konflik dari dalam diri yang
terkadang membuat orang tua sulit untuk menerima keadaan anaknya. Masih banyak
orang tua yang mengalami syok, sedih, khawatir dan bercampur cemas ketika
pertama kali mendengar anaknya yang didiagnosis memiliki autisme. Pengasuhan
sehari-hari merupakan beban tersendiri bagi orang tua dalam memberikan perhatian
terhadap anak dengan autisme. Hal ini disebabkan bahwa anak dengan autisme
membutuhkan pengawasan yang berbeda dari anak normal lainnya. Hal ini bisa
dikarenakan kurangnya pemahaman orang tua tentang anak berkebutuhan khusus.
Tetapi ada kasus dimana orang tua tidak mau mengakui bahwa anaknya berkebutuhan
khusus karena ia malu dengan tetangga dan kerabatnya sendiri. Hal ini yang sering
terjadi di kalangan masyarakat Indonesia, mereka malu memiliki anak berkebutuhan
khusus karena mereka dikucilkan oleh tetangganya, mereka dijadikan buah bibir,
mereka dipandang aneh dan sebagainya, sehingga tak jarang para orang tua lebih
memilih untuk mengurung atau membiarkan anaknya didalam rumah saja tanpa
mengajak mereka keluar mencari udara segar. Padahal anak berkebutuhan khusus ini
sebaiknya harus sering diajak berinteraksi dengan orang lain agar ia menjadi terbiasa
dengan lingkungan sekitar, agar ia menjadi nyaman. Tak jarang anak yang
berkebutuhan khusus ini juga mereka memiliki kelebihan tersendiri, mereka memiliki
potensi yang belum tentu dimiliki oleh anak normal. Kelebihan inilah yang
seharusnya lebih dipertimbangkan lagi oleh para orang tua, bahwa anak-anaknya
perlu berekspresi mereka juga butuh ruang untuk hidupnya. Dengan dikekangnya
penderita autis justru akan menambah tingkat kejenuhan mereka.
Jika saja para orang tua menyadari bahwa orang tua merupakan pihak pertama
yang diharapkan menjadi terapis yang baik untuk anaknya. Orang tua dapat
memercayakan pada lembaga terapis yang memang berkapasitas untuk melakukan
terapi pada anak-anak dengan autisme. Tidak hanya memercayakan pada terapis,
orang tua juga harus konsisten melatih anak dengan autisme di rumah.

3.2.4 Tahap Penyusunan Laporan Hasil Kegiatan Focus Group Discussion

Setelah melakukan Kegiatan Focus Group Discussion (FGD), dengan


hasil yang sudah dianalisis, langkah selanjutnya adalah membuat laporan hasil
kegiatan Focus Group Discussion (FGD). Hasil laporan kegiatan Focus
Group Discussion (FGD) ini ditulis dengan hasil yang sesuai dengan
kenyataan yang ada berdasarkan hasil diskusi dan pendapat setiap anggota.
Kegiatan menulis laporan ini dilakukan oleh anggota kelompok yang
bertanggung jawab dalam pembuatan laporan ini.
KESIMPULAN
Permasalahan yang kelompok kami bahas adalah “Kurang baiknya
penanganan Indonesia kepada penderita autisme di Panti Sosial di Indonesia”. Untuk
memperlancar diskusi maka kami sudah menyampaikan tanggapan dan juga saran
terhadap permasalahan tersebut. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 8 September
2018 pukul 10.00 WIB dengan ketua yaitu Gigih Pambudi M. Dari diskusi ini kami
menyimpulkan bahwa jumlah anak ang mengalami autism di Indonesia terus
mnegalami peningkatan setiap tahunnya. Autisme adalah gangguan perkembangan
kompleks yang gejalanya harus sudah muncul sebelum anak berusia 3 tahun.
Gangguan neurologi pervasif ini terjadi pada aspek neurobiologis otak dan
mempengaruhi proses perkembangan anak. Akibat gangguan ini sang anak tidak
dapat secara otomatis belajar untuk berinteraksi dan berkomunikasi dengan
lingkungan sekitarnya, sehingga ia seolah – olah hidup dalam dunianya sendiri.
Setelah semua anggota menyampaikan tanggapannya masing – masing dari itu semua
kami satukan untuk mendapat tanggapan yang utama dan inti dari pembahasan kami.
Kami menemukan bahwa sejauh ini pemerintah dinilai kurang memberi perhatian
terhadap masalah autisme yang kian merebak disejumlah daerah. Menurut data dari
UNESCO pada tahun 2007, ranking Indonesia dalam pendidikan inklusi berada pada
urutan ke-58 dari 130 negara. Ranking ini kemudian mengalami kemerosotan
sehingga pada tahun 2008 turun ke ranking 63 dari 130 negara. Posisi Indonesia
bahkan kian merosot sampai ke peringkat 71 dari 129 negara. Padahal nyatanya
pendidikan inklusi dibutuhkan di Indonesia. Ini membuktikan kurangnya ketersediaan
fasilitas pendidikan bagi penyandang autisme di Indonesia. Selain itu minimnya
jumlah pengajar atau terapis autisme juga menjadi halangan. Cara yang dapat
dilakukan pemerintah adalah dengan membuka program studi pendidikan ABK di
universitas-universitas negeri yang belum ada program studi tersebut. Yang paling
krusial adalah Biaya pendidikan bagi anak penyandang autis cukup mahal
dibandingkan dengan biaya pendidikan untuk anak normal. Hal ini bisa disiasati
dengan menyediakan Kartu Indonesia Pintar (KIP) khusus bagi ABK. Selain itu perlu
juga dipikirkan adanya anggaran khusus dari negara aagar anak penyandang autis dari
keluarga tidak mampu dapat menjalani terapi. Selain itu, cara pengasuhan sehari –
hari yang dilakukakan orang tua juga harus lebih diperhatikan. Jangan sampai timbul
rasa malu orang tua yang memiliki anak autis, sehingga nantinya dapat berpengaruh
kepada asuhan yang kurang diperhatikan. Jika saja para orang tua menyadari bahwa
orang tua merupakan pihak pertama yang diharapkan menjadi terapis yang baik untuk
anaknya. Maka orang tua harus konsisten melatih anak dengan autisme di rumah.
DAFTAR PUSTAKA
1. https://www.kompasiana.com/orykediolla/557703c2a623bdc70399fc86/pr
oblematika-penanganan-autisme-di-indonesia

Anda mungkin juga menyukai