SKRIPSI
PATRICIA SIMON
0806327963
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Farmasi
PATRICIA SIMON
0806327963
ii
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan
penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan
skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi di Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Universitas Indonesia.
Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, mulai dari
masa perkuliahan sampai pada penulisan skripsi ini, sulit bagi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya. Pada kesempatan ini, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Pharm. Dr. Joshita Djajadisastra, M. S., Ph.D. sebagai dosen Pembimbing
yang telah memberikan bimbingan, pengarahan, saran, dan ilmu selama masa
penelitian hingga penulisan skripsi ini.
2. Ibu Prof. Dr. Effionora Anwar, M.S. selaku Pembimbing Akademik yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulis menempuh
pendidikan di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UI.
3. Ibu Prof. Dr. Yahdiana Harahap, M.S. selaku Kepala Departemen Farmasi
FMIPA UI yang telah memberi kesempatan dan fasilitas selama masa
perkuliahan, penelitian, dan penulisan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Mahdi Jufri, M.Si. selaku Koordinator Penelitian serta seluruh
Bapak dan Ibu Dosen Departemen Farmasi UI yang telah banyak membantu
dan membimbing penulis selama masa pendidikan hingga penelitian.
5. Keluargaku yaitu papa dan mama atas segala dukungan, motivasi, perhatian,
kasih sayang, doa dan dana yang diberikan kepada penulis.
6. PT. Kimia Farma dan BPOM yang telah bersedia memberikan bantuan bahan
baku yang digunakan pada penelitian ini
7. Mbak Devfha, Mbak Lia, Bapak Imi, Bapak Surya, Bapak Dadang, serta
laboran lainnya atas segala bantuan dan kerja samanya selama masa
perkuliahan hingga penulis menyelesaikan pendidikan di Departemen Farmasi
UI.
vi
Penulis
2012
vii
Natrium diklofenak adalah obat AINS yang banyak digunakan menjadi bentuk
sediaan transdermal. Obat AINS yang diberikan secara transdermal mempunyai
konsentrasi obat di plasma yang lebih rendah daripada pemberian secara oral.
Peristiwa itu mungkin disebabkan karena adanya interaksi antara natrium
diklofenak dengan stratum korneum kulit. Dalam penelitian ini, digunakan bentuk
sediaan mikroemulsi. Mikroemulsi diharapkan dapat meningkatkan penetrasi obat
karena mengandung konsentrasi surfaktan yang tinggi. Kemampuan berpenetrasi
natrium diklofenak dari sediaan mikroemulsi diuji secara in vitro menggunakan
sel difusi Franz dan metode tape stripping. Hasil uji penetrasi dengan sel difusi
Franz menunjukkan bahwa selama 8 jam, natrium diklofenak telah terpenetrasi
sebesar 9,3185%. Hasil uji penetrasi dengan metode tape stripping menunjukkan
bahwa obat tidak tertahan di kulit dalam jumlah besar. Jumlah konsentrasi obat
yang terdapat di kompartemen reseptor, membran kulit dan kompartemen donor
sel difusi Franz mendekati 100%.
Kata kunci : mikroemulsi, natrium diklofenak, penetrasi, sel difusi Franz, tape
stripping
xv + 112 hal. : 39 gambar; 22 tabel; 19 lampiran.
Daftar pustaka : 59 (1978 - 2012)
ix
1. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan Penelitian ...................................................................................... 2
1.3 Batasan Penelitian .................................................................................... 3
1.4 Metode Penelitian ..................................................................................... 3
xi
xii
xiii
xiv
xv
1 Universitas Indonesia
sediaan. Uji penetrasi dilakukan secara in vitro dengan metode sel difusi Franz
dan metode tape stripping.
Universitas Indonesia
2.1 Kulit
2.1.1 Struktur Kulit
Kulit adalah organ tubuh terbesar yang menempati 10 % massa tubuh.
Kulit terdiri dari tiga lapisan, yaitu epidemis, dermis dan jaringan subkutan.
Universitas Indonesia
2.1.2 Fungsi Kulit (Mitsui, 1997; Sherwood, 2001; Tabor & Blair, 2009)
a. Pelindung
Serat elastis dermis dan jaringan lemak subkutan berfungsi melindungi organ
internal tubuh dari goncangan mekanik. Pada beberapa bagian tubuh tertentu
mempunyai lapisan tanduk lebih tebal untuk melindungi tubuh terhadap
stimuli eksternal. Lapisan tanduk terluar dan lipid berfungsi sebagai pencegah
hilangnya cairan tubuh dan pelindung tubuh terhadap toksin. Kulit juga
mempunyai pH asam lemah yang dapat menetralkan toksin kimia. Asam
lemak tidak jenuh di kulit mempunyai aktivitas bakterisidal dan mencegah
pertumbuhan bakteri di kulit. Selain itu, juga terdapat sel-sel melanosit
penghasil pigmen melanin yang dapat melindungi tubuh dari pengaruh buruk
sinar ultraviolet.
b. Indra sensori
Di bagian dermis terdapat reseptor di ujung perifer serat saraf aferen yang
mampu mendeteksi tekanan, suhu, nyeri dan rangsangan somatosensorik lain.
c. Pengaturan suhu tubuh (termoregulasi)
Termoregulasi dilakukan dengan mengubah volume darah yang mengalir
melalui peristiwa vasodilatasi, vasokonstriksi dan proses evaporasi keringat.
Bila suhu tubuh tinggi, kelenjar keringat akan menghasilkan keringat yang
dikeluarkan melalui pori-pori keringat. Selanjutnya akan terjadi vasodilatasi
yang akan mempercepat penguapan panas dari dalam tubuh.
d. Imunitas
Sel-sel di kulit yang berperan untuk imunitas adalah sel keratinosit, sel
langerhans dan sel granstein. Fungsi sel keratinosit adalah menghasilkan
interleukin-1 yang mempengaruhi pematangan sel T di kulit. Fungsi sel
langerhans adalah mengolah dan menyajikan antigen ke sel T penolong.
Fungsi sel granstein adalah mengolah dan menyajikan antigen ke sel T
penekan.
e. Sintesis vitamin D
Dengan bantuan sinar matahari, epidermis mampu mensintesis vitamin D yang
diperlukan tubuh.
Universitas Indonesia
f. Fungsi absorbsi
Kulit mempunyai fungsi absorbsi yang memungkinkan masuknya zat dari luar
tubuh ke dalam sirkulasi darah. Fungsi ini diaplikasikan ke pembuatan obat
transdermal untuk obat yang mempunyai sifat mengiritasi saluran cerna atau
untuk obat yang memiliki absorbsi lama melalui saluran cerna. Fungsi
absorbsi kulit tergantung pada ketebalan dan luas epidermis kulit. Daerah
yang memiliki kulit tipis akan lebih mudah mengabsorbsi zat daripada daerah
yang memiliki kulit tebal.
Universitas Indonesia
2.1.4 Senyawa Peningkat Penetrasi Perkutan (Smith & Maibach, 2006; Pathan
& Setty, 2009)
Salah satu cara untuk meningkatkan penetrasi zat perkutan adalah dengan
menggunakan zat peningkat penetrasi (penetration enhancer). Zat yang dapat
berperan sebagai penetration enhancer adalah
a. Asam lemak
Keefektifan asam lemak sebagai zat peningkat penetrasi ditentukan dari
panjang rantai karbon. Panjang rantai karbon C7 - C12, akan meningkatkan
penetrasi obat, tetapi bila panjang rantai karbon di atas 12 akan menurunkan
penetrasi zat. Efektivitas optimal asam lemak sebagai peningkat penetrasi terjadi
pada asam lemak dengan panjang rantai karbon C9 - C12 karena mempunyai
koefisien partisi dan afinitas yang sesuai terhadap kulit. Asam lemak yang
mempunyai panjang rantai karbon yang lebih pendek tidak mempunyai
lipofilisitas yang sesuai untuk penetrasi. Asam lemak yang mempunyai panjang
rantai karbon yang lebih panjang akan mempunyai afinitas terhadap lemak
Universitas Indonesia
stratum korneum sehingga memperlambat penetrasi sendiri dan obat lain. Asam
lemak yang banyak digunakan sebagai zat peningkat penetrasi adalah asam oleat.
b. Minyak esensial dan terpen.
Senyawa ini bekerja dengan memodifikasi sifat alami pelarut stratum
korneum. Senyawa ini juga dapat menurunkan waktu lag penetrasi.
c. Pirolidon
Alkil pirolidon bekerja dengan interkalasi gugus alkil ke dalam struktur
bilayer mempengaruhi organisasi lipid dan meningkatkan fluiditas stratum
korneum.
d. Urea
Urea bekerja dengan menghidrasi stratum korneum dan dengan
pembentukan kanal difusi hidrofilik. Urea siklik mengandung gugus polar dan
non polar sehingga mekanisme peningkat penetrasi disebabkan oleh aktivitas
hidrofilik dan organisasi lipid di stratum korneum.
e. Oksazolidindion
Oksazolidindion bekerja dengan mempengaruh lipid sfingosin dan
seramida yang secara alami ditemukan di lapisan kulit bagian atas.
f. Azon
Azon bekerja dengan mempengaruhi domain lipid stratum korneum.
Molekul azon terdispersi di antara susunan lipid bilayer dan mengubah organisasi
struktur lipid.
g. Surfaktan
Surfaktan bekerja dengan meningkatkan fluiditas, melarutkan dan
mengekstraksi lipid stratum korneum.
Universitas Indonesia
(DMSO), surfaktan, dan alkohol. Senyawa yang bercampur dengan baik seperti
DMSO dan etanol mungkin akan mengekstraksi lipid di stratum korneum
b. Mempengaruhi struktur protein
Senyawa seperti surfaktan ionik, desilmetilsulfoksida dan DMSO dapat
membuka keratin yang tersusun rapat. Keratin yang telah terususun longgar ini
menyebabkan peningkatan permeabilitas dan koefisien difusi .
2.2. Mikroemulsi
2.2.1 Sejarah, Definisi dan Karakteristik Mikroemulsi (Kumar, 1999; Cosgrove,
2010; Kulkarni, 2010)
Mikroemulsi awalnya terbentuk karena dua orang peneliti yang bernama
Hoar dan Schulman menambahkan alkohol rantai sedang ke dalam emulsi yang
terbentuk oleh surfaktan ionik. Awalnya emulsi terlihat keruh, tetapi dengan
penambahan alkohol, emulsi terlihat menjadi lebih transparan.
Danielsson dan Lindman mendefinisikan mikroemulsi sebagai suatu
sistem yang terdiri dari air, minyak dan amfifilik yang isotropik dan stabil secara
termodinamika. Radius ukuran droplet mikroemulsi yaitu kurang dari 100 nm.
Mikroemulsi mempunyai karakteristik mempunyai tegangan permukaan yang
sangat rendah < 10-3 N/m, mempunyai viskositas rendah, isotropik (transparan)
dan bersifat stabil secara termodinamika. Emulsi biasa yang tidak stabil secara
termodinamika sehingga ukuran dropletnya dapat meningkat dan memungkinkan
terjadinya pemisahan fase. Sistem ini stabil karena mengandung surfaktan dan
kosurfaktan yang mampu menurunkan tegangan antarmuka air dan minyak
menjadi sangat rendah.
Mikroemulsi terbentuk spontan tanpa pengadukkan dengan kecepatan
tinggi karena tegangan antar muka yang sangat rendah (mendekati nol) antara fase
air dan fase minyak sehingga energi bebas menjadi negatif. Mikroemulsi hanya
terbentuk bila tersedia surfaktan yang cukup. Pembentukkan mikroemulsi
membutuhkan konsentrasi surfaktan yang lebih tinggi daripada emulsi biasa.
Pembentukkan mikroemulsi tergantung dari struktur dan tipe surfaktan. Bila
surfaktan yang digunakan tipe ionik dan hanya mengandung rantai hidrokarbon
tunggal seperti sodium dodesil sulfat (SDS), mikroemulsi hanya terbentuk bila
Universitas Indonesia
ada penambahan kosurfaktan seperti alkohol dan atau elektrolit. Surfaktan ionik
rantai ganda dan surfaktan non ionik tidak memerlukan penambahan kosurfaktan
untuk membuat mikroemulsi.
2.2.2 Tipe Mikroemulsi (Cosgrove, 2010; Kulshreshtha, Singh & Wall, 2010)
Winsor membagi mikroemulsi menjadi empat tipe yaitu tipe I, tipe II, tipe
III, dan tipe IV. Tipe I terbentuk mikroemulsi tipe m/a karena surfaktan yang
digunakan lebih larut dalam fase air dan jumlah fase air lebih banyak daripada
fase minyak. Tipe II terbentuk mikroemulsi tipe a/m karena surfaktan yang
digunakan lebih larut dalam fase minyak dan jumlah fase minyak lebih banyak
daripada fase air. Tipe III terbentuk sistem tiga fase karena surfaktan yang
digunakan larut dalam fase air dan fase minyak. Tipe IV terbentuk sistem satu
fase (isotropik) karena digunakan surfaktan dan alkohol dalam formula.
Universitas Indonesia
b. Senyawa tersulfatasi
Contoh senyawa tersulfatasi sebagai surfaktan adalah sodium lauril sulfat, sodium
setil sulfat dan sodium stearil sulfat.
c. Senyawa tersulfonasi
Contoh senyawa tersulfonasi sebagai surfaktan adalah sodium setil sulfonat
d. Garam asam empedu
Contoh senyawa garam empedu sebagai surfaktan adalah sodium glikokolat.
e. Gom arab
Gom arab adalah campuran garam kalsium, magnesium dan kalium dari asam
poliarabat.
Universitas Indonesia
2.5 Sel Difusi Franz (Walters, 2002, Witt & Bucks, 2003; Sinko, 2011)
Sel difusi Franz adalah suatu sel difusi tipe vertikal untuk mengetahui
penetrasi zat secara in vitro. Sel difusi Franz mempunyai komponen berupa
kompartemen donor, kompartemen reseptor, tempat pengambilan sample, cincin
O, dan water jacket. Kompartemen donor berisi zat yang akan diuji penetrasinya.
Kompartemen reseptor berisi cairan berupa air atau dapar fosfat pH 7,4 yang
mengandung albumin. Fungsi albumin yaitu untuk meningkatkan kelarutan zat
yang sukar larut dalam cairan kompartemen reseptor yang digunakan. Tempat
pengambilan sample adalah tempat pada sel difusi Franz untuk mengambil cairan
dari kompartemen reseptor dengan volume tertentu. Water jacket berfungsi untuk
menjaga temperatur tetap konstan selama sel difusi Franz dioperasikan.
Di antara kompartemen donor dan kompartemen reseptor diletakkan
membran yang digunakan untuk sel difusi Franz. Cincin O menjaga posisi
membran supaya tidak berubah. Membran bisa berupa membran sintesis,
membran kulit manusia ataupun membran kulit hewan. Membran kulit hewan
yang digunakan telah dihilangkan bulu dan lapisan lemak subkutannya.
Cairan di kompartemen reseptor perlu diaduk secara optimal dan efisien
untuk menjamin cairan dalam kompartemen reseptor homogen. Volume
kompartemen reseptor sebesar 2-10 ml dan luas yang terpapar membran sebesar
0,2-2 cm2. Dimensi sel difusi harus diukur secara akurat karena terkait dengan
perhitungan kadar zat.
Kondisi di kompartemen reseptor yang ideal harus bisa untuk
memfasilitasi penetrasi zat seperti pada keadaan in vivo. Konsentrasi zat di
kompartemen reseptor seharusnya tidak boleh melebihi 10% konsentrasi zat untuk
mencapai kejenuhan. Konsentrasi zat di kompartemen reseptor yang tinggi dapat
menyebabkan penurunan laju penetrasi zat.
Cara melakukan uji penetrasi dengan sel difusi Franz adalah sejumlah
tertentu zat diaplikasikan pada membran dan dibiarkan berpenetrasi secara difusi
pasif melalui membran. Untuk mengetahui jumlah zat yang berpenetrasi dan laju
penetrasi zat dilakukan sampling cairan di kompartemen reseptor selama waktu
tertentu sampai keadaan mencapai keadaan tunak. Cairan dari kompartemen
reseptor yang diambil digantikan dengan cairan awal sesuai volume yang diambil.
Universitas Indonesia
Hal ini bertujuan untuk menjaga volume dalam cairan reseptor tetap konstan dan
untuk menjaga supaya cairan di kompartemen reseptor tetap dalam keadaan tunak.
. ∑
.
(2.1)
Keterangan
Q = Jumlah kumulatif zat per luas difusi (µg/cm2)
Cn = Konsentrasi zat (µg/ml)
∑
= Jumlah konsentrasi zat (µg/ml) pada sampling pertama (menit
ke-30 hingga sebelum menit ke-n)
V = Volume sel difusi Franz (ml)
S = Volume sampling (ml)
A = Luas membran (cm2)
Universitas Indonesia
Pada keadaan tunak, dapat dihitung fluks zat yang berpenetrasi melalui
membran dengan rumus
(2.2)
Keterangan
J = laju penetrasi zat (fluks) (µg cm-2 jam-1)
Q = jumlah kumulatif zat yang berpenetrasi melalui membran (µg cm-2)
t = waktu (jam)
Cl ONa
H
N
Cl
Universitas Indonesia
asam lambung yang terus menerus pada lambung menyebabkan dinding lambung
mengalami ulkus.
Dosis diklofenak per oral sebesar 100-150 mg sehari terbagi menjadi dua
atau tiga dosis. Diklofenak diabsorbsi cepat dan lengkap di saluran cerna. Obat ini
terikat 99 % pada protein plasma dan mengalami metabolisme lintas pertama
sebesar 40-50 %. Waktu paruh diklofenak yaitu 1-3 jam.
Kelarutan natrium diklofenak yaitu dalam akuadest (1: > 9), dalam
metanol (1: > 24), dalam aseton (1: 6), dalam asetonitril, sikloheksana dan HCl
(1:< 1), dan dalam dapar fosfat pH 7,2 (1: 6).
asam salisilat dan fluorourasil. Asam lemak tinggi yang terdapat dalam VCO juga
berperan dalam meningkatkan penetrasi piroksikam.
(OCH2CH2)x OH
HO w(H2CH2CO)
(OCH2CH2)y OH
O
CH2O(CH2CH2O)z --1 CH2CH2OCOCH2(CH2)6(CH=CH)(CH2)6CH3
Keterangan: w + x + y + z = 20
[Sumber : Wuelfing, Kosuda, Templeton, Harman, Mowery & Reed, 2006]
Gambar 2.6 Struktur polisorbat 80 (telah diolah kembali)
Polisorbat 80 mempunyai sifat larut dalam etanol dan air tetapi tidak larut
dalam minyak mineral dan minyak sayur. Dalam formula, polisorbat berfungsi
sebagai emulgator, agen pensolubilisasi atau agen pembasah. Seperti polisorbat
lain, polisorbat 80 bersifat stabil terhadap elektrolit, asam dan basa lemah.
Namun, inkompatibel dengan basa kuat karena dapat terjadi saponifikasi. Selain
itu dapat terjadi pengendapan atau perubahan warna dengan adanya fenol, tanin,
tar dan antimikroba golongan paraben. Polisorbat dapat menurunkan akivitas
antimikroba paraben.
H2
H3C C OH
peningkat penetrasi obat. Pada suasana asam, etanol akan bereaksi kuat dengan
oksidator. Campuran dengan basa akan memberikan warna lebih gelap karena
terbentuknya aldehida.
OH
OH
H3C
OCH3
HO
Universitas Indonesia
CH3
O
HO
Universitas Indonesia
OH
C(CH 3) 3
(H 3C) 3C
CH 3
BHT mempunyai pemerian berupa kristal putih atau kuning pucat dengan
bau fenol yang lemah. Kelarutan BHT yaitu praktis tidak larut dalam air, gliserin,
propilen glikol, larutan alkali hidroksida dan asam mineral encer tetapi agak
mudah larut dalam aseton, etanol, benzena. BHT lebih mudah larut dalam lemak
daripada BHA. Dalam formula sediaan farmasi, BHT digunakan sebagai
antioksidan.
Pemajanan BHT terhadap cahaya, kelembapan dan panas akan
menyebabkan perubahan warna dan hilangnya aktivitas antioksidan BHT. BHT
inkompatibel dengan agen oksidator kuat seperti peroksida dan permanganat.
Garam besi dapat menyebabkan perubahan warna dan hilangnya aktivitas
antioksidan BHT.
Universitas Indonesia
O COOH O
H2 H2
HO C C C C C OH
H
Universitas Indonesia
3.2 Alat
Timbangan analitik AFA-210 LC (Adam, Amerika Serikat), timbangan
gram (O’Haus), homogenizer (Omni-Multimix, Malaysia), pH meter tipe 510
(Eutech, Singapura), spektrofotometer UV-Vis V-630 (Jasco, Jepang), sel difusi
Franz (Bengkel Gelas ITB, Indonesia), sentrifugator Kubota-5100 (Kubota,
Jepang), mikroskop cahaya, oven (Memmert, Jerman), Zetasizer Nano S
(Malvern), viskometer Brookfield (Brookfield, Amerika Serikat), piknometer,
ultrasonik (Branson 3200), tensiometer du Nuoy model 21 (Cole Parmer),
pengaduk magnetik (IKA, Jerman), termometer, pengering rambut (Tritone,
Cina), dan alat-alat gelas.
3.3 Bahan
Natrium diklofenak (Yung Zip Chemical Ind, Co.Ltd.), natrium diklofenak
(BPFI), VCO (Vermindo Internasional, Indonesia), tween 80 (Brataco, Indonesia),
etanol 96% (Brataco, Indonesia), propilen glikol (Brataco, Indonesia), nipagin
(Brataco, Indonesia), nipasol (Brataco, Indonesia), BHT (Brataco, Indonesia),
aquadest (Indonesia), asam sitrat (Indonesia), kalium dihidrogen fosfat (Merck,
Jerman), natrium hidroksida (Merck, Jerman), tikus (IPB, Bogor), filter membran
Milipore, metanol (Mallinckrodt, Jerman) dan bahan perekat polypropylene tape
(Goldtape, Indonesia).
28 Universitas Indonesia
3.4.1.2 Pengukuran Bobot Jenis VCO (Departemen Kesehatan RI, 1995; Lide &
Haynes, 2010)
Bobot jenis VCO diukur dengan piknometer. Cara kerjanya yaitu suhu
ruangan tempat pengukuran bobot jenis diukur dengan termometer. Selanjutnya
piknometer yang bersih dan kering ditimbang dan dicatat massanya (A g).
Kemudian piknometer diisi dengan air, ditimbang dan dicatat massanya (A1 g).
Air dikeluarkan dari piknometer dan piknometer dibersihkan. VCO diisikan ke
dalam piknometer, ditimbang dan dicatat massanya (A2 g).
Bobot jenis = x ρ air pada suhu tersebut (3.1)
Universitas Indonesia
berhenti pada suatu angka yang akan menunjukkan tegangan permukaan VCO.
Pengukuran ini dilakukan sebanyak dua kali.
Rumus perhitungan tegangan permukaan
S=PxF (3.2)
S = tegangan permukaan
P = angka yang ditunjukkan oleh alat
F = faktor koreksi
Universitas Indonesia
Mikroemulsi ini dibuat dengan membuat fase air dan fase minyak secara
terpisah. Fase air adalah aquadest dan tween 80. Sebagian aquadest dipakai untuk
melarutkan asam sitrat. Sisa aquadest dan tween 80 dipanaskan sampai suhu
40OC. Fase minyak yaitu BHT didispersikan ke dalam VCO dan dihomogenkan.
Fase minyak ditambahkan ke dalam fase air dan diemulsikan dengan homogenizer
dengan kecepatan 1000 rpm. Nipagin dan nipasol ditambahkan ke dalam etanol
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
η dr x f (3.3)
Keterangan
η = viskositas sediaan
dr = dial reading (angka yang ditunjukkan oleh jarum merah)
f = faktor koreksi
S=PxF (3.4)
S = tegangan antarmuka
P = angka yang ditunjukkan oleh alat
F = faktor koreksi
Universitas Indonesia
Bobot jenis = x ρ air pada suhu tersebut (3.5)
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
b. Metode Tape Stripping (Jui Chen Tsai, Cappel, Weiner, Flynn & Ferry
1991; Pellett, Robert, & Hadgraft, 1997; Klang, et.al. 2012)
Setiap waktu penyamplingan cairan dari kompartemen reseptor, membran
kulit tikus diambil dari sel difusi Franz dan ditempelkan bahan perekat. Bahan
perekat diratakan pada membran kulit tikus dan dicabut. Langkah ini dilakukan
sebanyak hasil yang diperoleh pada percobaan pendahuluan. Bahan perekat pada
penempelan ke-2 sampai akhir dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam wadah
ekstraksi. Ekstraksi dilakukan dengan sonikasi bahan perekat dalam dapar fosfat
pH 7,4 sebanyak 80 mL selama 30 menit. Hasil ekstraksi dikocok homogen dan
diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-Vis pada λ maksimum. Kadar
natrium diklofenak yang terdapat dalam larutan ditentukan dengan persamaan
kurva kalibrasi.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
4.3.2 Pengukuran pH
Pengukuran pH mikroemulsi perlu dilakukan untuk kenyamanan pengguna
sediaan. Bila pH sediaan terlalu asam, maka akan mengiritasi kulit dan akan
memberikan rasa perih. Bila pH sediaan pH sediaan terlalu basa, maka akan
memberikan rasa gatal. pH sediaan yang ideal yaitu sebesar 4,5-6,5.
Supaya sediaan mempunyai pH yang sesuai dengan rentang pH kulit,
maka digunakan asam sitrat sebagai pengatur pH. Konsentrasi asam sitrat sebesar
0,3% dalam formula sudah cukup untuk membuat sediaan mempunyai pH sebesar
pH kulit. pH mikroemulsi pada minggu ke-0 adalah 5,56. pH sediaan sesuai
dengan pH kulit sehingga tidak akan memberikan rasa kurang nyaman saat
penggunaan.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
0.16
0.14
Rate of shear
0.12
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0 100 200 300 400 500
Shearing stress (dyne/cm2) kecepatan menurun
kecepatan menaik
0.16
0.14
0.12
Rate of shear
0.1
0.08
0.06
0.04
0.02
0
0 50 100 150 200 250 300 350
Shearing stress (dyne/cm2)
kecepatan menaik
kecepatan menurun
Universitas Indonesia
4.3.7.1 Uji Kestabilan terhadap Penyimpanan Suhu Rendah, Sedang dan Tinggi.
a Pengamatan organoleptis
bekunya (Syah, 2005). Ketika sediaan dikeluarkan dari tempat penyimpanan suhu
rendah dan dikeluarkan ke suhu ruang, maka sediaan akan mencair kembali,
berwarna kuning sesuai dengan standard warna kartu Pantone 101 C dan memiliki
viskositas seperti ketika belum dimasukkan ke dalam tempat penyimpanan suhu
rendah.
Sediaan yang disimpan pada ketiga suhu berbeda selama 8 minggu tidak
mempunyai bau tengik. Hal ini menandakan bahwa BHT dalam sediaan berhasil
menjaga VCO supaya tidak tengik akibat teroksidasi.
Selain itu pada penyimpanan ketiga suhu berbeda tidak terjadi pemisahan
fase dan tetap jernih sehingga bisa disimpulkan bahwa dalam formula
mengandung surfaktan dan kosurfaktan dengan konsentrasi yang cukup. Selain itu
sediaan juga tetap jernih karena konsentrasi antimikroba dalam sediaan cukup
sehingga tidak ada kontaminasi mikroba yang dapat mengganggu stabilitas fisik
sediaan.
b Pengukuran pH
Sediaan yang disimpan pada suhu rendah, suhu kamar, dan suhu tinggi
diukur pH setiap 2 minggu sekali. Hasilnya adalah sediaan tidak mengalami
perubahan pH yang berarti pada suhu rendah dan suhu kamar. Pada suhu rendah
Universitas Indonesia
dan suhu kamar, pH cenderung mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena
kontaminasi CO2 pada sediaan. Adanya CO2 pada sediaan akan menyebabkan
terbentuknya H2CO3 yang akan melepaskan H+. pH yang menurun juga mungkin
disebabkan karena hidrolisis tween 80 dalam sediaan yang melepaskan asam
lemak (Kishore et.al., 2011). Pada suhu tinggi, pH cenderung mengalami
peningkatan. Hal ini disebabkan karena adanya lepasnya ion Na+ dari natrium
diklofenak. Ion Na+ yang lepas akan bereaksi dengan air yang terdapat dalam
sediaan mikroemulsi sehingga membentuk NaOH yang akan meningkatkan pH
sediaan mikroemulsi.
Hasil penyimpanan mikroemulsi pada suhu rendah, suhu kamar, dan suhu
tinggi tidak menyebabkan sediaan mempunyai pH di luar rentang pH 4,5-6,5
sehingga tetap sesuai untuk penggunaan secara transdermal.
6
pH
0
0 2 4 6 8 10
minggu Suhu Tinggi
Suhu Rendah
Suhu Kamar
0.35
0.3
0.25
Serapan
0.2
0.15
0.1
0.05
0
0 5 10 15
y = 0.027x - 0.001
Konsentrasi (ppm) R² = 0.999
Gambar 4.4. Kurva kalibrasi natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4
Universitas Indonesia
0.7
0.6
0.5
Serapan
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 5 10 15 20 25
y = 0.031x + 0.002
Konsentrasi (ppm)
R² = 0.999
Gambar 4.5. Kurva kalibrasi baku pembanding natrium diklofenak dalam dapar
fosfat pH 7,4
Universitas Indonesia
1
0.9
0.8
0.7
Serapan
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 10 20 30
Konsentrasi (ppm) y = 0.037x - 0.038
R² = 0.999
tinggi dari yang dimasukkan dalam formula (1%) karena menguapnya etanol
dalam sediaan mikroemulsi sehingga konsentrasi natrium diklofenak menjadi
lebih tinggi dari seharusnya.
4.4.5 Uji Penetrasi Mikroemulsi Natrium Diklofenak dengan Metode Sel Difusi
Franz
Uji penetrasi dengan sel difusi Franz menggunakan kulit tikus sebagai
membran antara kompartemen donor dan kompartemen reseptor. Tikus yang
digunakan adalah tikus betina galur Spraque Dawley berumur 2-3 bulan.
Permeabilitas kulit tikus ini sesuai dengan permeabilitas kulit manusia yaitu
sebesar 103,08 x 10-5 cm2/jam (Walters, 2002). Umur tikus yang digunakan yaitu
2-3 bulan karena semakin tua umur tikus, maka ketebalan stratum korneum kulit
akan semakin besar sehingga permeabilitasnya akan semakin rendah (Walters,
2002).
Supaya bisa digunakan sebagai membran sel difusi Franz, tikus yang telah
dikorbankan harus dicukur bulunya dengan hati-hati. Hal ini bertujuan untuk
mencegah robeknya kulit yang akan digunakan. Selanjutnya lemak subkutan
dihilangkan karena lemak dapat mengganggu penetrasi obat melalui kulit. Kulit
yang sudah dihilangkan lemak subkutan dapat langsung digunakan atau bisa
disimpan dahulu dalam lemari es pada suhu 4OC selama maksimal 24 jam.
Sebelum kulit digunakan sebagai membran, kulit harus dihidrasi dulu dengan
cairan di kompartemen reseptor yaitu dapar fosfat pH 7,4 selama minimal 30
menit pada suhu ruang.
Selama uji penetrasi dengan sel difusi Franz, kompartemen reseptor alat
dijaga suhunya dengan termostat sebesar 37±0,5OC yang melambangkan suhu
tubuh. Untuk menjamin homogenitas cairan, kompartemen reseptor diaduk
dengan pengaduk magnetik dengan kecepatan 250 rpm. Kecepatan ini digunakan
karena dianggap kecepatan yang sesuai. Kecepatan yang lebih tinggi dari 250 rpm
akan menimbulkan gelembung udara pada perbatasan antara membran kulit dan
cairan kompartemen reseptor sehingga menghalangi kontak langsung antara
membrane kulit dengan cairan di kompartemen reseptor. Kecepatan yang lebih
Universitas Indonesia
rendah dari 250 rpm akan sulit untuk menghomogenkan cairan di kompartemen
reseptor.
Kompartemen reseptor mempunyai volume yang besar bila dibandingkan
dengan jumlah zat yang berpenetrasi. Volume yang besar ini bertujuan agar dapat
menampung volume cairan yang besar sehingga menciptakan kondisi sink.
Kondisi sink adalah suatu keadaan dimana volume cairan untuk melarutkan zat
sangat besar sehingga tidak akan menghambat penetrasi obat. Hal ini terjadi
karena volume cairan yang besar tidak akan menyebabkan terjadinya kejenuhan di
kompartemen reseptor. Selain itu volume cairan yang besar akan menyebabkan
konsentrasi obat yang berada di kompartemen reseptor menjadi sangat kecil
sehingga gradien konsentrasi obat di kompartemen donor dan reseptor menjadi
besar. Gradien konsentrasi ini yang besar ini harus tetap dijaga karena penetrasi
obat dari kompartemen donor ke kompartemen reseptor berdasarkan prinsip difusi
pasif yang menggunakan gradien konsentrasi obat sebagai gaya dorong penetrasi
obat.
Sediaan mikroemulsi ditimbang sebanyak ±1,0 gram dan dimasukkan ke
kompartemen donor secara hati-hati dan tidak menyentuh dinding kompartemen
donor karena dapat mengurangi jumlah sediaan yang akan diuji. Selanjutnya
kompartemen donor ditutup dengan plastik untuk menghindari kontaminasi
sediaan di kompartemen donor.
Cairan reseptor yang digunakan yaitu dapar fosfat pH 7,4 yang sesuai
dengan pH cairan plasma darah (Sherwood, 2001). Natrium diklofenak yang telah
meninggalkan sediaan mikromulsi akan terlarut di dalam cairan reseptor.
Untuk mengetahui konsentrasi obat di kompartemen reseptor dilakukan
pengambilan sample sebanyak 0,5 mL pada menit ke 30, 60, 90, 120, 180, 240,
300, 360, 420 dan 480. Waktu pengambilan sample pada menit-menit awal lebih
rapat daripada waktu pengambilan sample menit-menit pertengahan hingga akhir.
Hal ini karena pada menit-menit awal merupakan waktu lag (Sinko, 2011).
Cairan sample yang diambil dari kompartemen reseptor dimasukkan ke
dalam labu tentukur 5,0 mL, dicukupkan volumenya hingga batas dan dikocok
homogen sehingga diperoleh pengenceran sebesar 10 kali. Setiap kali
pengambilan sample sebesar 0,5 mL harus segera digantikan dengan cairan
Universitas Indonesia
obat antara kompartemen donor dan reseptor mulai berkurang. Hal ini terjadi
karena natrium diklofenak sudah mulai berpenetrasi ke dalam kompartemen
reseptor. Grafik fluks tiap waktu yang mendatar menandakan bahwa kondisi
sudah mencapai kondisi tunak. Pada kondisi ini, kenaikan jumlah kumulatif
terpenetrasi sudah konstan tiap waktu.
Jumlah kumulatif obat yang terpenetrasi ke kompartemen reseptor sel
difusi Franz dikalikan dengan faktor koreksi sebesar 1,2158 karena kadar natrium
diklofenak yang digunakan di sediaan hanya sebesar 82,46% terhadap baku
pembanding dengan kemurnian 99,74%. Hasil menunjukkan bahwa selama 8 jam
jumlah kumulatif obat yang terpenetrasi sebesar 9,3185%.
Jumlah kumulatif terpenetrasi natrium diklofenak terpenetrasi dari sediaan
ini lebih rendah dari mikroemulsi yang dibuat oleh Dewi (2007) dan Widiastuti
(2010). Dewi (2007) membandingkan jumlah kumulatif natrium diklofenak
terpenetrasi yang dibuat dengan fase minyak isopropil palmitat dan minyak kelapa
sawit. Surfaktan yang digunakan yaitu tween 80 sebesar 40% dan lesitin sebesar
5%. Kosurfaktan yang digunakan yaitu etanol 96% sebesar 2%. Fase minyak
yang digunakan sebesar 5%. Mikroemulsi yang dibuat dari fase minyak berupa
isopropil palmitat mempunyai jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 706,63 ±
32,73 µg cm-2 dan fluks pada jam ke-8 sebesar 88,33 ± 4,09 µg cm-2 jam-1 .
Mikroemulsi yang dibuat dari fase minyak berupa minyak kelapa sawit
mempunyai jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 1058,67 ± 73,12 µg cm-2 dan
fluks pada jam ke-8 sebesar 132,33 ± 9,14 µg cm-2 jam-1 . Hasil jumlah kumulatif
natrium diklofenak yang dibuat oleh Dewi (2007) lebih tinggi dari yang dibuat
dalam penelitian ini (jumlah kumulatif sebesar 626,12 ± 3,88 µg cm-2 dan fluks
dan fluks pada jam ke-8 sebesar 78,27 ± 0,48 µg cm-2 jam-1) karena di dalam
formula digunakan lesitin sebagai surfaktan. Lesitin dapat berperan untuk
meningkatkan penetrasi obat karena lesitin adalah golongan fosfolipid yang dapat
meningkatkan penetrasi obat dengan cara mengoklusi permukaan kulit sehingga
dapat menghidrasi kulit (Williams & Barry, 2004).
Widiastuti (2010) membandingkan jumlah kumulatif natrium diklofenak
terpenetrasi yang dibuat dengan fase minyak isopropil laurat dan minyak VCO.
Surfaktan yang digunakan yaitu tween 80 sebesar 40%. Kosurfaktan yang
Universitas Indonesia
digunakan yaitu etanol 96% sebesar 3%. Fase minyak yang digunakan sebesar
3%. Mikroemulsi yang dibuat dari fase minyak berupa isopropil laurat
mempunyai jumlah kumulatif terpenetrasi sebesar 929,81 ± 15,36 µg cm-2 dan
fluks pada jam ke-8 sebesar 123,73 ± 0,2 µg cm-2 jam-1. Mikroemulsi yang dibuat
dari fase minyak berupa minyak VCO mempunyai jumlah kumulatif terpenetrasi
sebesar 969,68 ± 51,91 µg cm-2 dan fluks pada jam ke-8 sebesar 121,23 ± 10,02
µg cm-2 jam-1. Hasil jumlah kumulatif dan fluks natrium diklofenak yang dibuat
oleh Widiastuti (2010) lebih tinggi dari yang dibuat dalam penelitian ini (jumlah
kumulatif sebesar 626,12±3,88 µg cm-2 dan fluks pada jam ke-8 sebesar 78,27 ±
0,48 µg cm-2 jam-1) karena hanya menggunakan tween 80 sebesar 40%. Arrelano,
Santoyo, Martn & Ygartua menyatakan bahwa tween 80 dapat menurunkan laju
penetrasi natrium diklofenak karena peristiwa solubilisasi. Peristiwa ini adalah
terperangkapnya obat di dalam misel karena konsentrasi tween 80 yang digunakan
lebih tinggi daripada konsentrasi misel kritik. Terperangkapnya obat di dalam
misel dapat menurunkan laju penetrasi obat karena obat yang dapat berpenetrasi
hanya yang berada dalam bentuk bebas.
Universitas Indonesia
700
500
400
y 2 = 61.57x + 149.5
300 R² = 0.968
200
100
y 1 = 211.4x + 6.203
0 R² = 0.989
0 2 4 6 8 10
Waktu (jam)
700
Jumlah natrium diklofenak (µg cm-2)
600
300
200
100
y 1 = 175.4x + 12.56
0 R² = 0.942
0 2 4 6 8 10
Waktu (jam)
Universitas Indonesia
300
250
200
150
100
50
0
0 2 4 6 8 10
cara B
Waktu (jam)
cara A
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
0.8
0.7
Jumlah Natrium Diklofenak (%)
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 2 4 6 8 10
Waktu (jam)
110
Jumlah Natrium Diklofenak (%)
100
90
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 2 4 6 8 10
Waktu (jam)
4.4.6 Penentuan Hubungan Antara Hasil Uji Penetrasi dengan Metode Sel
Difusi Franz dan Metode Tape Stripping
Hubungan antara hasil uji penetrasi kedua metode dilakukan dengan
menjumlahkan persentase obat yang terpenetrasi di kompartemen reseptor,
persentase obat yang tertinggal di kulit dan persentase obat yang masih tertinggal
di sediaan di kompartemen donor. Penjumlahan persentase kadar obat yang
terdapat di kompartemen donor, di kulit dan di kompartemen reseptor mendekati
100%. Hasil persentase yang lebih besar dari 100% disebabkan karena
menguapnya etanol di dalam sediaan mikroemulsi.
Universitas Indonesia
100
90
80
70
Jumlah Natrium Diklofenak (%)
60
50
40
30
20
10
0
0 2 4 6 8 10
waktu (jam)
kompartemen reseptor
kompartemen donor
kulit
Gambar 4.13. Grafik persentase jumlah natrium diklofenak di kompartemen donor, kulit
dan kompartemen reseptor
Universitas Indonesia
5.1 Kesimpulan
1. Mikroemulsi natrium diklofenak dapat dibuat dengan konsentrasi tween 80
sebagai surfaktan sebanyak 45%, konsentrasi VCO sebagai fase minyak
sebanyak 5%, konsentrasi etanol sebagai kosurfaktan sebanyak 10%,
konsentrasi propilen glikol sebagai kosolven sebanyak 5% dan konsentrasi
natrium diklofenak sebanyak 1%. Hasil uji penetrasi natrium diklofenak
dengan metode sel difusi Franz menunjukkan bahwa selama 8 jam, obat
hanya terpenetrasi sebesar 9, 3185%. Hasil uji penetrasi mikroemulsi
natrium diklofenak dengan metode tape stripping menunjukkan bahwa
obat tidak tertahan dalam jumlah besar di lapisan stratum korneum kulit.
2. Terdapat korelasi antara hasil uji penetrasi antara metode sel difusi Franz
dan metode tape stripping. Hal ini dibuktikan dengan penjumlahan
konsentrasi natrium diklofenak di kompartemen donor, kulit dan
kompartemen reseptor yang berkisar sebesar 100%.
3. Interaksi natrium diklofenak dengan stratum korneum bukan interaksi
yang bermakna karena hanya sedikit natrium diklofenak yang menembus
stratum korneum. Hal ini terjadi karena adanya interaksi antara natrium
diklofenak dengan tween 80 yang jumlahnya sangat banyak di dalam
formula melalui peristiwa solubilisasi miselar.
5.2 Saran
Perlu dilakukan perbaikan formula berupa penurunan konsentrasi
tween 80 pada penelitian selanjutnya. Penurunan konsentrasi tween 80
dalam formula mikroemulsi akan dapat meningkatkan jumlah obat yang
lepas dari sediaan.
67 Universitas Indonesia
DAFTAR ACUAN
Ansel, Howard. (2005). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi (Ed ke-4.) (Farida
Ibrahim, Penerjemah.). Depok : UI Press. 492-494.
Arellano A., Santoyo S., Martn C. & Ygartua P. (1998). Surfactant Effects on the
in Vitro Percutaneous Absorption of Diclofenac Sodium. European Journal
of Drug Metabolism and Pharmacokinetics, 23, 307-312.
Au, Wai Lin; Skinner, Michael & Kanfer, Isadore. (2010). Comparison of Tape
Stripping with the Human Skin Blanching Assay for the Bioequivalence
Assessment of Topical Clobetasol Propionate Formulations. Journal of
Pharmaceutical Sciences, 13, 11-20.
Barakat, Nahla; Fouad, Ehab & Elmedanny, Azza. (2011). Formulation Design of
Indomethacin-Loaded Nanoemulsion For Transdermal Delivery.
Pharmaceutical Analytica Acta, 3, 155-162.
Belitz, H-D; Grosch W. & Schieberle P. (2010). Food Chemistry (4th ed.). Jerman
: Springer. 460.
Benson, Heather A.E. & Watkinson, Adam C. (2012). Topical and Transdermal
Drug Delivery : Principal and Practice. New Jersey : John Wiley & Sons.
Bosman, Lawant A.L., Avegaart S.R., Ensing K., Zeeuw, R.A. (1996). A Novel
Diffusion Cell for In Vitro Transdermal Permeation, Compatible with
Automated Dynamic Sampling. Journal of Pharmaceutical and Biomedical
Analysis, 1015 – 1023.
Universitas Indonesia
Dhikav, Vikas; Singh, Sindhu; Pande, Swati, Chawla, Atul, & Anand, Kuljeet
Singh. (2004). Non-Steroidal Drug-Induced Gastrointestinal Toxicity:
Mechanisms and Management. Journal, Indian Academy of Clinical
Medicine, 4 ,315-322.
Fisher Scientific. (2006). Fisher Surface Tensiomat Model 21. Iowa : Fisher
Scientific.
Jui-Chen Tsai ; Cappel, Markus; Weiner, Norman; Flynn, Gordon & Ferry,
James. (1991). Solvent Effects on the Harvesting of Stratum Corneum from
Hairless Mouse Skin through Adhesive Tape Stripping In Vitro.
International Journal of Pharmaceutics, 68, 127-133.
Universitas Indonesia
Jui-Chen Tsai ; Cappel, Markus; Weiner, Norman; Flynn, Gordon & Ferry,
James. (1991). Properties of Adhesive Tapes Used for Stratum Corneum
Stripping. International Journal of Pharmaceutics, 72, 227-231.
Kishore, Ravuri et.al. (2011). The Degradation of Polysorbates 20 and 80 and its
Potential Impact on the Stability of Biotherapeutics. Pharmaceutical
Research, 28, 1194-1210.
Klang, Victoria, et.al. (2012). In Vitro vs. In Vivo Tape Stripping: Validation of
the Porcine Ear Model and Penetration Assessment of Novel Sucrose
Stearate Emulsions. European Journal of Pharmaceutics and
Biopharmaceutics, 80, 604-614.
Kulkarni, Vitthal. (2010). Handbook of Non Invasive Drug Delivery System. USA
: Elsevier. 13.
Lachman, L; H.A. Lieberman, J.L. Kanig. (1994). Teori dan Praktek Farmasi
Industri (Ed ke-3). (Siti Suyatmi, Penerjemah.). Jakarta : UI Press. 1081.
Lademann, Jacobi, Surber, Weigmann & Fluhr. (2008). The Tape Stripping
Procedure – Evaluation of Some Critical Parameters. European Journal of
Pharmaceutics and Biopharmaceutics, 72, 317-323.
Lide, David R. & Haynes, William M. (2010). CRC Handbook of Chemistry and
Physics (Ed ke-90) . Florida : CRC Press.
Lucida, Henny; Salman, & Hervian, Sukma. (2008). Uji Daya Penetrasi Virgin
Coconut Oil (VCO) dalam Basis Krim. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi,
13, 23-30.
Universitas Indonesia
Mitsui, Takeo. (1997). New Cosmetic Science (1st ed.). Amsterdam : Elsevier. 20-
21.
Moffat, Anthony; Osselton, David & Widdop, Brian. (2011). Clarke’s Analysis of
Drug and Poison (4th ed.). Itali : Pharmaceutical Press. 1238-1239.
Shahidi, Fereidoon. (2005). Bailey’s Industrial Oil and Fat Products (Ed ke-6).
New York : John Wiley & Sons. 440-441.
Sherwood, Lauralee. (2001). Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem (Ed ke-2).
(Brahm Pendit ,Penerjemah.). Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
512.
Syah, Andi Nur Alam. (2005). Virgin Coconut Oil : Minyak Penakluk Aneka
Penyakit. Jakarta : Agro Media Pustaka.
Tabor, Aaron & Blair, Robert. (2009). Nutritional Cosmetics : Beauty from Within
(1st ed.). USA : Elsevier. 43.
Touitou, Elka & Barry, Brian. (2007). Enhancement in Drug Delivery. New York
: CRC Press. 217-221.
Williams, Adrian & Barry, Brian. (2004). Penetration Enhancers. Advanced Drug
Delivery Reviews, 56, 603– 618.
Witt, Krista & Bucks, Daniel. (2003). Studying In Vitro : Skin Penetration and
Drug Release to Optimize Dermatological Formulations. Dalam:
Pharmaceutical Technology. USA : Advanstar Communication.
Universitas Indonesia
Wuelfing, Peter; Kosuda, Kathryn; Templeton, Allen C.; Harman, Amy; Mowery,
Mark & Reed. Robert A. (2006). Polysorbate 80 UV/vis Spectral and
Chromatographic Characteristics – Defining Boundary Conditions for Use
of The Surfactant in Dissolution Analysis. Journal of Pharmaceutical and
Biomedical Analysis, 41, 774–782.
Zetasizer Nano Series User Manual. (2004). Zetasizer Nano Series User Manual.
England : Malvern Instruments.
Universitas Indonesia
Tanpa pemanasan Pemanasan 35OC Tanpa pemanasan Pemanasan 35OC Pemanasan 40OC
74
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
75
Gambar 4.15. Spektrum serapan natrium diklofenak dalam dapar fosfat pH 7,4
dengan konsentrasi 10,14 ppm pada panjang gelombang 276 nm.
Gambar 4.18. Grafik hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi pada minggu
ke-0.
Gambar 4.19. Grafik hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi pada minggu
ke-8
Gambar 4.20. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu rendah
(4±2OC) selama 8 minggu.
Gambar 4.21. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu kamar
(28±2OC) selama 8 minggu.
Gambar 4.22. Foto hasil pengamatan organoleptis mikroemulsi pada suhu tinggi
(40±2OC) selama 8 minggu
Gambar 4.25. Foto hasil pengamatan mikroskop preparat kulit tanpa penempelan
bahan perekat
Tabel 4.3. Hasil pengukuran tegangan antarmuka sediaan pada minggu ke-0 dan
ke-8
Tegangan Antarmuka
(dyne/cm) F S
1 2 Rata-rata
41,5 42 41,75 0,9828 410,315
42 42 42 0,9831 412,924
Tabel 4.7. Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu rendah
(4±2OC) selama 8 minggu
Minggu pH sediaan pada penyimpanan
ke suhu 4±2OC
0 5,56
2 5,51
4 5,53
6 5,49
8 5,43
Tabel 4.8. Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu kamar
(28±2OC) selama 8 minggu
Minggu pH sediaan pada penyimpanan
ke suhu 28±2OC
0 5,56
2 5,48
4 5,49
6 5,52
8 5,38
Tabel 4.9. Hasil pengukuran pH sediaan pada penyimpanan dengan suhu tinggi
(40±2OC) selama 8 minggu
Tabel 4.12. Hasil pengukuran ukuran globul mikroemulsi dengan Zetasizer Nano
Malvern S
Tabel 4.13. Serapan natrium diklofenak dengan pelarut dapar fosfat pH 7,4 pada
pembuatan kurva kalibrasi pada λ = 276 nm.
Konsentrasi (ppm) Serapan
0,24336 0,0062
0,32448 0,0095
0,6084 0,0148
1,014 0,0251
2,028 0,052
4,056 0,1091
6,084 0,1616
10,14 0,2788
12,168 0,33
Tabel 4.14. Serapan baku pembanding natrium diklofenak dengan pelarut dapar
fosfat pH 7,4 pada pembuatan kurva kalibrasi pada λ = 276 nm
Tabel 4.15. Serapan natrium diklofenak dengan pelarut metanol pada pembuatan
kurva kalibrasi pada λ = 282 nm
Konsentrasi (ppm) Serapan
10,16 0,349
12,192 0,4153
14,224 0,491
16,256 0,5796
22,352 0,807
24,384 0,876
Tabel 4.17. Hasil uji penetrasi mikroemulsi natrium diklofenak dengan sel difusi
Franz dengan metode 1 dan metode 2
menit menit menit menit menit menit menit menit menit menit
Penjumlahan (mg)
30 60 90 120 180 240 300 360 420 480
K. reseptor (mg) 0,205187 0,351005 0,366191 0,448272 0,594245 0,685578 0,736658 0,760139 0,998259 1,037631
Kulit (mg) 0,033909 0,041811 0,071663 0,063761 0.052932 0,078394 0,063468 0,050006 0,052932 0,054688
K.donor (mg) 10,39834 10,65701 10,58936 10,59731 10,64639 10,79231 10,61986 10,51507 10,52303 10,50711
Total 10,63744 11,04982 11,02721 11,10935 11,29357 11,55628 11,41999 11,32522 11,57422 11,59943
Teoretis
Ditimbang (mg) 992,3 995,6 982,6 982 978,2 988,1 988,4 993,3 996,1 988,2
Jumlah natrium
diklofenak (mg) 11,14274 11,17979 11,03381 11,02707 10,9844 11,09557 11,09894 11,15396 11,18541 11,0967
Selisih (mg) -0,5053 -0,12997 -0,0066 0,082273 0,309169 0,460709 0,321049 0,171251 0,388816 0,502736
Persentase
Persentase di
K.reseptor 1,841442 3,139637 3,318808 4,065194 5,409902 6,178841 6,637189 6,814967 8,92466 9,350808
Persentase di kulit 0,304317 0,373988 0,649483 0,578221 0,481886 0,706534 0,57184 0,448322 0,473227 0,492834
Persentase di
K.donor 93,31945 95,32384 95,97187 96,10268 96,92283 97,26681 95,68358 94,27205 94,07821 94,68686
Total Persentase 95,46521 98,83747 99,94016 100,7461 102,8146 104,1522 102,8926 101,5353 103,4761 104,5305
90
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
Formulasi dan..., Patricia Simon, FMIPA Ui, 2012
91
OH
OH
Lampiran 1. (Lanjutan).
Diketahui
A= 13,6235 g
A1 = 24,2163 g
A2 = 23,3671 g
Bobot jenis VCO
,,,*),.*,'
G.*,,.*,'
x 0,9959486 g/mL
2,)G,*
+,'2H
x 0,9959486 g/ml
0,91610573 g/mL
Keterangan :
S = tegangan permukaan absolut (dyne /cm)
P = tegangan permukaan yang ditunjukkan pada alat
F = Faktor koreksi yang dihitung dari persamaan
+,+G' T U ,*)2 T [
F = 0,7250 Q RS V T VSWXY Q 0,04534 Z \
Y
Keterangan :
F : faktor koreksi
P: tegangan permukaan yang ditunjukkan oleh alat
D : bobot jenis fase cair yang berada di bawah
d : bobot jenis fase cair yang berada di atas
c : keliling cincin
=2xπxR
= 2 x 3,14 x 3 cm
= 18,84 cm
F = 0,91715936
Lampiran 3. (Lanjutan)
y = 0,0029 + 0,0319 x
Disaring dengan Milipore (ukuran pori 0,45 µm) ke dalam labu tentukur 50,0 mL
Keterangan
Q = Jumlah kumulatif zat per luas difusi (µg cm-2)
Cn = Konsentrasi zat (µg/ml)
∑
= Jumlah konsentrasi zat (µg/mL) pada sampling pertama (menit ke-30
Keterangan
Q = Jumlah kumulatif zat per luas difusi (µg cm-2)
Cn = Konsentrasi zat (µg/mL)
∑
= Jumlah konsentrasi zat (µg/mL) pada sampling pertama (menit ke-30
Keterangan
J (n) = fluks pada jam ke-n (µg cm-2 jam-1)
Q (n) = jumlah kumulatif terpenetrasi pada jam ke-n (µg cm-2 )
t (n) = waktu (jam)
Data 2.
Q = 623,3814 µg/cm2
J=
Jumlah fluks natrium diklofenak pada jam ke-8 dari mikroemulsi sebesar 78,2655
± 0,4849 µg cm-2 jam-1
Data 1
Sample yang diaplikasikan pada kulit sebesar 988,2 mg
Dalam sample mengandung 11096,6954 µg natrium diklofenak
bc
Jumlah kumulatif terpenetrasi = 628,8671 kVdf n
pq
*H,H*) k nT ,*'SVdf Y
rsf
% jumlah kumulatif terpenetrasi = 9,3508 %
+2*,*2'G bc
Data 2
Sample yang diaplikasikan pada kulit sebesar 986,4 mg
Dalam sample mengandung 11076,4829 µg natrium diklofenak
bc
Jumlah kumulatif terpenetrasi = 623,3814 kVdf n
pq
*,,,HG k nT ,*'SVdf Y
rsf
% jumlah kumulatif terpenetrasi +)*,GH2 bc
= 9,2862 %
Disaring dengan Milipore (ukuran pori 0,45 µm) ke dalam labu tentukur 50,0 mL