Anda di halaman 1dari 27

Referat

PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

HOLISTIK JUVENILE IDIOPATHIC ARTHRITIS

Oleh :

Fakhri Zuhdian Nasher 1110313088

Andika 1110312022

Diputra Prima Perkasa 1110313065

Tri Bakti Permana 1110312124

Ilhmi Fadhila 1010312015

Siti Khairani 1010313108

Marwah Nisa Hidayat 1210312044

Fitri Amelia Rizki 1210313065

Preseptor :

dr. Rusdi, Sp.A(K)

Ilmu Kesehatan Anak

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

RSUP DR.M.DJAMILPADANG

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul
”Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Holistik Juvenil Idiopatik Arthritis”.
Referat ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan
kepaniteraan klnik senior di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada dr. Rusdi, Sp.A(K) selaku
pembimbing referat. Penulisan referat ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga referat
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 12 April 2017

Penulis

7
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Juvenile idiopathic arthritis (JIA) didefinisikan oleh International League

of Associations for Rheumatology (ILAR) sebagai arhtritis dengan etiologi yang

tidak diketahui yang dimulai sebelum usia 16 tahun dan berlangsung selama

minimal 6 minggu dan merupakan pengecualian di antara semua kemungkinan

penyebab arthritis kronis pada anak anak.1

Juvenile idiopathic arthritisadalah penyakit kronis yang paling umum dari

masa kanak-kanak. Satu dari 1.000 anak-anak dipengaruhi oleh berbagai subtipe

Juvenile idiopathic arthritis .kejadian dilaporkan dan prevalensi pada populasi

Eropa dan Amerika Utara berkisar dari 2 – 20 dan dari 16 - 150 per 100.000 anak

anak pada daerah tersebut.2 Juvenile idiopathic arthritis sering berlanjut sampai

dewasa dan dapat mengakibatkan morbiditas jangka panjang yang signifikan,

termasuk cacat fisik.1

Pada awal Juvenile idiopathic arthritis, bengkak dan nyeri sendi dapat

membatasi gerakan. Kemudian, dapat terjadi kerusakan sendi yang progresif dan

kerukasan sendi permanen. Telah diperkirakan bahwa antara 7% dan 28% dari

pasien Juvenile idiopathic arthritis membutuhkan penggantian sendi. Sekitar 10-

20% pasien dengan Juvenile idiopathic arthritis mengalami gangguan

pertumbuhan. Juvenile idiopathic arthritis dapat menurunkan massa tulang dan

8
meningkatkan risiko osteoporosis. sekitar 30-50% anak dengan Juvenile idiopathic

arthritis memiliki komplikasi uveitis.2

Pediatric Rheumatology International Trial Organization (PRINTO) dan

North American and European research groups berkolaborasi dalam 20 tahun

terakhir untuk berbagai studi mengenai Juvenile idiopathic arthritis, termasuk

kriteria epidemiologi, diagnosis dan klasifikasi, genetik predisposisi penyakit,

patogenesis, hasil, dan protokol pengobatan dengan tujuan meningkatkan

perawatan klinis Juvenile idiopathic arthritis.3

Juvenile idiopathic arthritis merupakan diagnosis eksklusi dan memiliki

banyak sekali diagnosis banding. Ketika curiga orang anak menderita Juvenile

idiopathic arthritis, diperlukan anamnesis yang cermat mengenai perjalanan

penyakitnya serta pemeriksaan fisik yang rinci dan cermat. Dalam tatalaksana

Juvenile idiopathic arthritis diperlukan pendekatan optimal untuk pengelolaan

anakserta pemilihan terapi non-farmakologis dan farmakologis agar dapat

membantu perkembangan psikososial dan sosial yang normal dari anak dan untuk

mengatasi kemungkinan kesulitan-kesulitan yang disebabkan oleh penyakit atau

konsekuensinya pada kehidupan keluarga.1

1.2 Batasan Masalah

Makalah ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, faktor

risiko, patogenesis, patofisologi, manifestasi klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan

dan prognosis Juvenil Idiopatik Arthritis.

1.3. TujuanPenulisan

9
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui dan memahami

definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko, patogenesis, patofisologi, manifestasi

klinis, diagnosis, dan penatalaksanaan dan prognosis Juvenil Idiopatik Arthritis.

1.4. MetodePenulisan

Metode yang dipakai adalah tinjauan kepustakaan dengan merujuk pada

berbagai literatur.

1.5 Manfaat Penulisan

Makalah ini diharapkan akan bermanfaat dalam memberikan informasi dan

pengetahuan tentang penatalaksanaan Juvenil Idiopatik Arthritis.

10
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi dan Klasifikasi

Menurut International League of Associations for Rheumatology (ILAR),

Juvenile idiopatik artritis (JIA) merupakan peradangan sendi dengan penyebab

yang belum diketahui, muncul sebelum usia 16 tahun dan berlanjut selama 6

minggu. JIA sebelumnya bernama juvenile rheumatoid artritis (JRA) yang

digunakan di Amerika dan Juvenile chronic artritis (JCA) yang digunakan di Eropa.

Perubahan tersebut untuk membedakan artritis pada anak dan rematoid artritis pada

dewasa.4

2.2. Epidemiologi

Insiden JIA diseluruh dunia yakni 7-400 per 100.000 anak-anak (0,007%-

0,4%). Insiden JIA terbanyak pada wilayah Asia Timur (29.484-56.700) diikiuti

oleh Asia Selatan (27.872-53.600) dan Amerika Latin (9880-19000). Di Amerika

Utara dan Selatan, Eropa serta Australia jumlah anak perempuan 2 kali lebih banyak

daripada laki-laki namun di Afrika Selatan, India dan Turki perbandingan anak

perempuan dan laki-laki sama.5

2.3. Klasifikasi

JIA terbagi dalam beberapa klasifikasi yang berdasarkan usia saat awitan,

jumlah dan sendi yang terkena, terkait serologi, adanya tanda dan gejala sistemik

klasifikasi JIA yakni:4,6

Tabel 1. Klasifikasi JIA


Klasifikasi Kriteria diagnosis
Sistemik arthritis  Demam selama 2 minggu dan
arthritis lebih dari 1 sendi

11
dengandiikuti satu atau lebih
gejala:
 Erythematous rash
 Pembesaran KGB
 Hepatomegaly dan atau
splenomegaly
 Serositis
Oligoartritis  Artritis ≤ 4 sendi selama 6 bulan

Poliartritis dengan RF (-)  Artritis ≥ 5 sendi selama 6 bulan


 Hasil tes RF negative
Poliartritis dengan RF (+)  Artritis ≥ 5 sendiselama 6 bulan
 2 atau lebih hasil tes RF dalam 3
bulan selama 6 bulan sakit hasilnya
positif
Psoriatic arthritis  Artritis dan psoriasis atau arthritis
diikuti dengan minimal 2 gejala:
 Dactylitis
 Nail pitting atau onycholysis
 Psoriasis derajat 1
Enthesitisberkaitandenganartritis  Artritis dan enthesitis atau arthritis
atau enthesitis diikuti dengan
minimal 2 gejala:
 Adanya atau pernah nyeri pada
sendi sacroilika dan atau nyeri
pada lumbosacral
 Ditemukan antigen HLA-B27
 Pada pria onset muncul> 6 tahun
 Akut anterior uveitis
 Adanya riwayat ankilosis
spondylitis, enthesitis berkaitan
dengan arthritis, sakrolitis
dengan peradangan usus,
sindrom reiter, atau akut anterior
uveitis derajat 1
Artritis tidak terklasifikasi  Memenuhi criteria arthritis tapi
tidak masuk kedalam klasifikasi
arthritis diatas

2.4. Etiologi

Etiologi JIA masih belum diketahui secara pasti. Namun ada beberapa hal

yang dapat mempengaruhi terjadinya JIA yaitu:5,7

12
a. Faktor genetik

b. Infeksi virus (parvovirus B19 dan Epstein-bar virus/EBV) dan infeksi bakteri

(enteric bacteria, Chlamydophila pneumoniae, dan streptococus)

c. Faktor hormonal

Hormon androgen yang rendah, karena androgen berfungsi dalam

melindungi tulang rawan daari degredasi. Peningkatan hormone proklatin yang

akan menghambat apoptosis kondrosit.

d. Riwayat trauma

Trauma pada anak-anak merupakan faktor dalam memulai kronis inflamasi.

Namun, tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa trauma merupakan penyebab JIA.

2.5 Patofisiologi dan patogenesis

Etiopatogenesis dari JIA masih sedikit diketahui, dan terdapat keterlibatan

multifaktorial dalam perkembangan JIA ini, diantaranya faktor genetik, faktor

lingkungan, dan faktor abnormalitas imun.

1. Genetik

Meskipun terdapat heterogenitas dalam penyakit Juvenile Idiopatik Artritis,

ada kesamaan dalam genetic dari setiap subtipe dari JIA mengingat semuanya

memiliki klinis berupa inflamasi sendi. Tingkat kesamaan dalam fenotip penyakit

antara kembar monozigot (20%-40%) menunjukkan genetik sebagai komponen

yang kuat dalam patogenesis penyakit JIA.11 Temuan dari beberapa studi

menunjukkan terdapat beberapa kerentanan gentik yang dapat diidentifikasi yang

secara luas dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu HLA gen dan non HLA gen.

Non HLA gen diantaranya termasuk sitokin dan gen imun lainnya.8,9

13
Hubungan antara setiap subtipe JIA dan molekul HLA telah dikonfirmasi

dalam beberapa studi, seperti HLA kelas I (HLA A-2, dan HLA B27) dan HLA

kelas II (HLADRB1 dan HLA DP). Terdapat penurunan HLA-DRB1*04 dan HLA-

DRB1*07 pada oligoartritis. Sementara pada RF-positif JIA dapat dihubungkan

dengan HLA-DR4. Pada RF-negatif poliartritis beberapa studi menunjukkan

terdapat penigkatan dari HLA-DR8.10

2. Faktor Lingkungan

Hipotesis bahwa infeksi dapat memicu penyakit ini masih belum dapat

dibuktikan. Terdapat beberapa kesamaan antara JIA dengan artritis yang diinduksi

infeksi seperti Lyme artritis, artritis reaktif, arhritis yang diinduksi parvovirus B19

dan rubela. Onset awal pada oligoartritis mengesankan penyakit dapat merupakan

respon imunologis sekunder dari agen infeksi yang muncul pada awal kehidupan.

Selain itu, juga terdapat kesamaaan genetik alel HLA-DR antara JIA subtype

oligoartritis dengan peptide pada antigen virus seperti pada eipsten barr virus.12

3. Abnormalitas Imun

a. Auto antibody

IgM RF sama-sama ditemukan pada JIA poliartritis RF pada dewasa dan

anak. Antibodi anti siklik sitrulina ditemukan pada anak dengan poliartikular JIA

dengan Rheumatoid Factor (RF) tapi tidak ada pada JIA subtipe lain. ANA juga

dihubungkan dengan oligoartritis.8

b. Synovitis

Inflamasi synovial pada JIA ditemukan serupa dengan RA pada dewasa

dan tidak berbeda secara signifikan antara setiap subtipe. Sinovial menunjukkan

hyperplasia pada lapisan dan infiltrasi dari sel mononuclear pada lapisan tersebut,

14
termasuk sel T, sel B, makrofag, sel dendrit, dan sel plasma. Jaringan sinovial yang

hipertrofi banyak ditemukan pada pembuluh darah kecil. Faktor pro angiogenic

seperti Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) banyak ditemukan di jaringan

sinovial. Proses inflamasi berujung ke formasi panus dengan kartilago dan erosi

tulang yang dimediasi oleh degradasi enzim seperti metaloproteinase.13

c. Sel T regulator

Sel T regulator adalah limfosit T yang menekan aktivitas sel T yang lain.

Terdapat bukti yang nyata antara sel T regulator dengan ekspresi CD4 dan CD25

yang memegang peranan penting dalam mengontrol autoimun. Satu studi

menunjukkan bahwa pasien dengan persisten oligoartikular JIA memiliki frekuensi

CD4 dan CD25 yang lebih tinggi dengan kadar foxP3 yang tinggi pada darah tepi.14

d. Sitokin dan Kalgranulin

Beberapa studi telah meneliti tentang kadar sitokin pada darah dan sinovial

pada berbagai subtipe JIA. Dan selain pada sJIA, hasilnya masih inkonsisten. Kadar

TNF, IL-1, dan IL-6 masih bervariasi pada serum dan cairan sinovial antara

berbagai subtipe JIA. 13

IL-1 dan IL-6 paling berpengaruh pada patogenesis JIA. Pada inflamasi
sistemik, IL-1 menstimulasi penghancuran kartilago dan tulang dengan
menurunkan folisatatin related protein, sebuah produk inflamasi dari matriks sel
sendi dan menjadi biomarker dalam penyakit sJIA. Keterlibatan IL-1 dalam sJIA
juga dibuktikan dengan berhasilnya terapi menggunakan inhibitor IL-1 seperti
anakinra. IL-1 dan IL-18 dalam prosesnya memberikan feedback positif yang
selanjutnya berkontribusi dalam pemanjang respon inflmasi pada sJIA.14

15
Gambar 1. Pengaruh respon imun terhadap manifestasi JIA

16
Gambar 2. Keseimbangan antara toleransi dan inflamasi pada JIA

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala klinis utama yang terlihat secara objektif adalah artritis, dimana sendi

yang terkena teraba hangat dan biasanya tidak terlihat eritema. Secara klinis artritis

ditentukan dengan menemukan salah satu dari gejala pembengkakan atau efusi

sendi, atau dengan menemukan paling sedikit 2 gejala inflamasi sendi yaitu gerakan

sendi yang terbatas, nyeri atau sakit pada pergerakan dan panas. Rasa nyeri atau

sakit sendi pada pergerakan biasanya tidak begitu menonjol, namun gerakan aktif

atau pasif tertentu, terutama gerakan yang ekstrim dapat memicu nyeri.pada anak

kecil yang lebih jelas adalah kekakuan sendi terutama pada pagi hari.18

17
Tipe onset poliartritis terdapat pada penderita yang menunjukkan gejala

artritis pada lebih dari 4 sendi, sedangkan tipe onset oligoartritis bila mengenai 4

sendi atau kurang. Pada oligoartritis sendi besar lebih sering terkena dan biasanya

didaerah tungkai. Keterlibatan sendi kecil ditangan menunjukkan kearah

poliartritis. Pada tipe poliartritis lebih sering terdapat pada sendi-sendi jari dan

biasanya simetris, tetapi disamping itu dapat pula ditemukan pada sendi lutut, tetapi

disamping itu dapat ditemukan pula pada sendi lutut, pergelangan kaki dan siku.17

Gejala klinis yang lain dapat berupa tenosinovitis, yang biasanya terjadi

pada pembungkus tendon ekstensor dari dorsum manus, pembungkus tendon

ekstensor dari dorsum pedis, tendon tibia posterior, tendon peroneus longus dan

brevis disekitar pergelangan kaki.18

2.7. Pemeriksaan Penunjang

2.7.1. Pemeriksaan Laboratorium

Pada pemeriksaan darah tepi biasanya terdapat anemia ringan atau sedang

dengan kadar Hb 7-10 gr/dl dan leukositosis dengan predominasi neutrofil. Hitung

trombosit dapat meningkat hebat pada tipe sistemik berat atau poliartritis, dan

sering dipakai sebagai pertanda kekambuhan atau reaktivasi ARJ. 16

Untuk pertanda aktivitas penyakit dapat dilakukan pemeriksaan LED dan

CRP yang biasanya sesuai dengan peningkatan aktivitas penyakit. Pemeriksaan

LED juga dapat digunakan sebagai monitor keberhasilan terapi. Selain itu aktivitas

penyakit ARJ berhubungan pula dengan peningkatan fraksi β, γ, α2 globulin.

Hipergammaglobulin ekstrim terjadi pada anak yang sangat sakit dan kembali

normal seiring dengan perbaikan klinis. 16

18
Antibodi antinuklear (ANA) sering positif pada ARJ. Kekerapannya lebih

tinggi pada anak wanita yang lebih muda, terutama pada tipe ologoartritis dengan

komplikasi uveitis. Kadar ANA yang tinggi dapat menandakan perkembangan

penyakit reumatik lain seperti Lupus Eritematous Sistemik. 16

Pemeriksaan antigen HLA sering dilakukan untuk studi imunogenetik ARJ.

HLA-B27 berhubungan dengan ARJ tipe oligoartritis yang bisa menjadi spondilitis

angkilosis. Pemeriksaan analisis cairan sinovial dapat menunjukkan adanya

penurunan komplemen sinovial, warna kekuningan atau keruh, penurunan

visikositas dan bekuan musin, jumlah leukosit berkisar antara 15.000-20.000

dengan sel polimorfonuklear sebesar 75%.16

2.7.2. Pencitraan

Kelainan radiologik terlihat pada sendi biasanya adalah pembengkakan

jaringan lunak sekitar sendi, pelebaran ruang sendi, osteoporosis, dan kelainan yang

agak jarang seperti formasi tulang baru periosteal. Pada keaadan lebih dari 2 tahun

dapat terlihat erosi tulang persendian dan penyempitan daerah tulang rawan.16

2.8. Diagnosis Banding

Tabel 2. Diagnosis Banding Artritis17


Reaktif Poststreptokokus
Demam reumatik
Reiter syndrome
Inflamasi Juvenile idiopathic arthritis
Inflamatory bowel disease
Sarkoidosis
Infeksi Sepsis sendi
Posinfeksi: toxic synovitis
Virus (misal: Epstein-Barr virus, parvovirus)
Lyme disease
Osteomyelitis
Sacroilitis
Discitis
Sistemik Sistemik lupus eritematosus
Henoch-Schonlein purpura

19
Serum sickness
Dermatomiositis
Progressive systemik sclerosis
Periodic fever syndrom
Psoriasis
Kawasaki disease
Behcet disease
Keganasan Leukemia
Neuroblastoma
Tumor tulang (seprti: osteosarkoma, sarkoma ewing,
rabdosarkoma)
Tumor jinak Osteoid osteoma
tulang Osteoblastoma
Imunodefisiensi
Trauma

2.9. Tatalaksana

2.9.1. Tatalaksana JIA

1. Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)

Dahulu, tatalaksana JIA dan rheumatoid artritis menggunakan

OAINS dan obat anti analgetik lainnya dengan pemakaian ekstensif. Saat ini,

dalam pemakaian obat-obatan tersebut sangat perlu diperhatikan dalam

pemakaian jangka lama dan hasil keluaran pengobatan, rekomendasi terbaru

dalam penggunaan OAINS yaitu dengan cara monoterapi untuk pemakaian 2

bulan lebih bila artritis masih aktif.18

2. Oral kortikosteroid

Sama seperti OAINS, kortikosteroid oral masih digunakan untuk

terapi JIA dengan rekomendasi saat ini yaitu pemakaian dalam jumlah yag

besar. Pemakaian kortikosteroi oral masih dipakai untuk 3-22% kasus.

3. Kortikosteroid Intra-artikular (IACS)

IACS adalah mekanisme pemberian kortikosteroid lokal yang

efektif dan dapat bertahan lama utuk pasien JIA, sehingga tatalaksana ini

20
dapat mengatasi secara cepat untuk menghilangkan gejala JIA dan berpotensi

untuk mengurangi pemakaian terapi sistemik pada pasien dengan

oligoartikular artritis persisten. Pada uji coba kontro acak penggunaan IACS

pada aak-anak dengan artritis lutut bilateral, triamsolon hexacetonide

mengakibatkan remisi yag tahan lama dibandingkan dengan triamsolon

acetonide. Meskipun pengguaaan IACS masih belum banyak saat ini, pada

beberapa kasus terutama pada pasien yang memiliki keterkaitan sendi

temporomandibular (TMJ), artritis aktif pada TMJ dapat bertahan meskipun

sudah menggunakan terapi sistemik yag agresif. Tambahan terapi IACS ini

penting karena artritis TMJ sering menyebabkan mikrognatia dan

dismorfisme wajah.

4. DMARDs

a. Methotrexate (MTX)

MTX tetap merupakan terapi yang paling banyak digunakan dalam

penatalaksanaan JIA. MTX dianjurkan sebagai terapi awal dalam semua

subtipe JIA, menyusul percobaan OAINS dan IACS pada anak dengan JIA

oligoartikular ringan. MTX dapat diberikan secara oral dan subkutan. Sebuah

penelitian retrospektif baru-baru ini menunjuka tidak ada perbedaan

efektivitas antara rute pemberian pada psien yang mendapatkan MTX

monoterapi. Penelitian lain menunjukan terdpat peningkatan bioavaibilitas

MTX monoterapi pada rute subkutan dibandingkan rute oral, serta perbaikan

yang tampak saat pengalihan dari oral ke subkutan. Selain itu, dalam analisis

kohort, dosis MTX yang tinggi tidak signifikan memperbaiki jumlah sendi.

21
Namun demikian, MTX efektif dan biasanya pada anak-anak memiliki

tolerasnis yang baik terhadap MTX.18

b. Sulfasazaline (SSZ)

Sama seperti MTX, SSZ telah lama digunakan sebagai terapi untuk

JIA. Sebuah penelitian uji coba acak antara pemakainan SSZ dan placebo

pada anak-anak dengan atritis oligoartikular dan poliartikular menunjukan

bahwa anak-anak yang awalnya diobati dengan SSZ menunjuka keluaran

yang lebih baik dibandingka dengan pemakaina placebo. Belum ada

penelitian yang mebaningkan antara pemakaian MTX dengan SSZ. Namun,

MTX lebih baik dalam menatalaksana pasien tanpa artritis enthesitis-related

(ERA).

5. DMARDs konvensional lain

Beberapa DMARDs digunakan untuk mengobati orang dewasa

dengan rheumatoid arthritis, termasuk leflunomide, azathioprine,

cyclosporine, dan hydroxychloroquine, jarang digunakan dalam kasus anak.

Leflunomide mungkin memiliki efektivitas yang sama dan keamanan sebagai

MTX dan kemungkinan alternatif yang baik untuk pasien yang tidak dapat

mentolerir MTX, tapi teratogenik dan waktu paruh yang panjang merupakan

perhatian pada pasien anak.

6. Agen biologik

a) Tumor necrosis factor inhibitor (TNFi): etanercept dan monoclonal

antibodies

Sitokin TNF pertama kali terkait dengan RA pada 1980-an, dan

peningkatan kadar TNF telah dilaporkan pada pasien JIA juga. Lima TNFi

22
tersedia secara komersial, diantaranya tiga - adalimumab, etanercept, dan

infliximab - telah banyak digunakan pada anak-anak dengan JIA. Etanercept

adalah protein fusi yang terdiri dari domain ekstraseluler dari reseptor p75

TNF, terkait dengan wilayah Fc dari IgG1 manusia, sehingga berfungsi

sebagai perangkap bagi TNF larut. Sebaliknya, adalimumab dan infliximab

adalah antibodi monoklonal terhadap TNF. Di antara TNFi, infliximab

diberikan secara intravena, sedangkan sisanya diberikan secara subkutan.18

b) Interleukin-1 inhibitor

Interleukin-1 (IL-1) adalah sitokin yang sangat pro-inflamasi yang

muncul untuk memainkan peran dalam berbagai kondisi inflamasi. Tiga IL-1

antagonis saat ini diberikan subkutan (anakinra, canakinumab, dan

rilonacept). Anakinra adalah analog dengan antagonis reseptor interleukin-1

yang terjadi secara alamiah; rilonacept adalah protein fusi larut yang terdiri

dari IgG1 manusia terkait dengan reseptor IL-1 dan protein aksesori; dan

canakinumab adalah antibodi monoklonal yang ditujukan terhadap IL-1β.

Indikasi pertama bahwa blokade IL-1 dapat menjanjikan pada anak dengan

JIA diberikan oleh Verbsky dan Putih, yang berhasil mengobati dua anak

dengan anakinra. Anakinra tampaknya memiliki manfaat yang lebih besar

kepada sistemik, bukan artikular saja. Anakinra tidak efektif dalam uji coba

anak-anak dengan pJIA.

c) Abatacept

23
Abatacept adalah protein fusi larut yang terdiri dari sitotoksik sel T

Limfosit Antigen-4 menyatu dengan wilayah Fc dari IgG manusia. Alasan di

balik penggunaannya telah dijelaskan. Hanya satu uji coba random acak yang

melibatkan abatacept pada anak-anak dengan JIA, dengan studi yang

menunjukkan kemanjuran pada anak dengan JIA poliartikular.

d) Tocilizumab

IL-6 adalah sitokin yang sangat pro-inflamasi lain; tocilizumab adalah

antibodi monoklonal yang ditujukan terhadap IL-6 reseptor. Ini adalah satu-

satunya biologis untuk dievaluasi dengan uji coba acak dan ditemukan efektif

untuk kedua pJIA dan sJIA. Pada anak-anak dengan sJIA, tocilizumab efektif

baik di sistemik serta gejala artikular. Selain itu, uji coba acak pada anak-anak

dengan pJIA menunjukkan peningkatan yang substansial.

e) Rituximab

Rituximab adalah antibodi monoklonal chimeric yang diarahkan

terhadap reseptor CD20 manusia, yang hadir hanya pada sel B. Belum banyak

digunakan pada anak-anak dengan JIA, mungkin dari kekhawatiran bahwa hal

itu hanya akan efektif pada penyakit dengan antibodi yang dapat

diidentifikasi.

Anak-anak yang telah mendapatkan terapi kortikosteroid di usia muda dapat

menyebabkan gangguan pubertas daripada mereka yang mendapatkan rejimen

pengobatan lainnya. Di sisi lain, terapi biologi, seperti anti-TNF-α dan anti-IL-6

telah menunjukkan terhadap memulihkan pertumbuhan, baik dengan mengurangi

aktivitas penyakit dan membatasi penggunaan kortikosteroid. Studi lain

menunjukkan efek pertumbuhan memulihkan kuat anti-TNF-α pada anak dengan

24
polyarticluar JIA, yang berkorelasi dengan penurunan aktivitas penyakit. Namun,

pemulihan pertumbuhan dari pengobatan agen biologis tampaknya kurang

memuaskan. Di sisi lain, penggunaan hormon pertumbuhan telah menunjukkan

hasil yang baik dalam memulihkan pertumbuhan pasien JIA dan harus

dipertimbangkan dalam pengelolaan pasien JIA.19

2.9.2 Tatalaksana untuk komplikasi JIA

1. Sindroma aktivasi makrofag (MAS)

MAS, merupakan bentuk sekunder hemophagocytic lypmhohistiocytosis

(HLH), muncul dari peningkatan yang besar dari sitokin pro inflamasi, yang diduga

merupakan dari hasil terjadinya kecacatana pada sel T CD8 dan/atau kapasitas sel

sitolitik natural killer. MAS dapat menyebabkan pansitopenia, koaulopati, disfungsi

hati,disfungsi sistem saraf pusat, dan kematian bila terlamabat dikatahui dan diobati

secara cepat. Setelah MAS diketahui, penting untuk segera mulai memperlakukan

khusus untuk MAS. Hampir semua pasien menerima terapi kortikosteroid.

Siklosporin, juga digunakan dalam mengobati HLH, adalah intervensi terapi kedua

yang paling sering diresepkan. Efektivitas obat ini di sistemik MAS JIA terkait

pertama kali ditunjukkan pada pertengahan 1990-an, ketika ditemukan secara

dramatis berkhasiat pada pasien yaitu dosis tinggi kortikosteroid intravena. Obat

biologis yang diberikan kepada 15,2% dari pasien, dengan anakinra yang paling

sering dipilih, mungkin karena laporan terbaru dari efektivitas yang baik untuk

MAS. Etoposid, yang merupakan obat utama dalam protokol terapi HLH,

digunakan di 11% kasus. Namun, beberapa peneliti telah berpendapat bahwa

protokol HLH terlalu agresif untuk digunakan sebagai terapi lini pertama pada sJIA

MAS. Apakah atau tidak dosis yang lebih rendah dari etoposid akan bermanfaat

25
untuk mengobati MAS masih belum jelas. Khususnya, pasien yang menerima

etoposid memiliki manifestasi penyakit yang lebih parah dan lebih mungkin dirawat

di ICU daripada mereka yang tidak.20

2. Uveitis

Uveitis kronis tanpa gejala merupakan komplikasi yang sering dari JIA,

terjadi pada 30% anak dengan penyakit ANA +. MTX tampaknya menjadi agen lini

pertama yang paling banyak digunakan di samping kortikosteroid topikal, dan

penggunaannya bahkan dapat mencegah timbulnya uveitis. Di antara agen biologis,

TNFi telah menjadi yang paling banyak digunakan, meskipun antibodi monoklonal

lebih efektif daripada etanercept. Untuk mencegah efek samping steroid terkait

(misalnya katarak, glaukoma) dan untuk mempertahankan remisi penyakit, eskalasi

dosis setinggi 20 mg / kg infliximab kadang-kadang diperlukan. Untuk pasien yang

telah gagal terapi dengan baik MTX dan TNFi, ada data minimal untuk memandu

manajemen berikutnya. Ada laporan kasus berhasil dengan penggunaan

mikofenolat mofetil, abatacept, dan rituximab. Dengan skrining oftalmologi yang

tepat dan terapi yang cepat dengan steroid MTX dan agen biologis, risiko kebutaan

dari uveitis JIA terkait telah secara dramatis berkurang.18

2.10. Komplikasi

Komplikasi JIA terpenting adalah gangguan pertumbuhan dan

perkembangan akibat penutupan epifisis dini seperti yang sering terjadi pada

mandibula, metakarpal, dan metatarsal. Kelainan tulang dan sendi lain dapat pula

terjadi seperti ankilosis, luksasi, atau fraktur. Komplikasi ini biasanya berhubungan

dengan berat dan lamanya sakit, tetapi dapat pula akibat efek pengobatan steroid.

Adanya nyeri abdomen yang berhubungan dengan ulkus atau gastritis,

26
hepatotoksik, atau nefrotoksik menandakan perlunya pemeriksaan laboratorium

rutin. Kadang dapat juga terjadi vaskulitis atau ensefalitis pada JIA. Amiloidosis

sekunder jarang terjadi, tetapi dapat memberikan akibat lanjut yang berat sampai

gagal ginjal.16

Selain komplikasi di atas, artritis tipe onset sistemik mempunyai komplikasi

berupa anemia hemolitik dan perikarditis. Oligoartritis mempunyai komplikasi

uveitis yang sering asimptomatik. Komplikasi lainnya yang cukup penting adalah

masalah psikologi anak akibat penyakit ini, seperti depresi, ansietas, dan masalah

di sekolah.16

a) Amiloidosis

Serum amiloid adalah suatu reaktan fase akut yang meningkat melalui

proses inflamasi. Amiloidosis adalah salah satu dari komplikasi terberat artritis

sistemik pada anak. Untuk alasan yang tidak diketahui, amiloidosis cenderung

jarang terjadi di Amerika Utara dan memiliki persentase yang lebih sedikit

dibandingkan di Amerika Serikat dan Turki. Penumpukan protein memiliki efek

pada organ vital seperti ginjal, hati, saluran cerna, dan jantung. Amiloidosis dapat

diketahui dari hasil biopsi menggunakan pewarnaan merah Congo yang

menunjukkan deposisi eosinofilik, dan ketika menggunakan polarisasi cahaya

menunjukkan karakteristik permukaan berwarna hijau apel.21

Gejala klinis pertama pada amiloidosis adalah proteinuria, tetapi sering

tidak disadari hingga sindroma nefrotik terjadi. Gejala lainnya adalah hipertensi,

hepatosplenomegali, dan nyeri abdomen. 21

Studi terdahulu memeriksa luaran jangka panjang pada 24 penderita

amiloidosis dengan sistemik artritis dan didapatkan 11 dari 24 pasien (46%)

27
menderita amiloidosis. Pada 11 penderita ini, angka untuk kehidupan 5 tahun adalah

sebesar 88% dan angka kehidupan 10 tahun sebesar 75%. Dari 24 pasien dengan

JIA, didapatkan 10 pasien meninggal. Meskipun kematian untuk berbagai jenis JIA

tidak ditentukan, secara keseluruhan, kematian yang lebih tinggi terlihat pada

pasien yang diobati hanya dengan kortikosteroid, sementara mereka yang dirawat

dengan modifikasi pengobatan antirematik dan/atau sitotoksik memiliki

kelangsungan hidup yang lebih baik.21

b) MAS (Macrophage Activation Syndrome)

MAS adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan komplikasi

yang mengancam jiwa dari gangguan inflamasi sistemik, yang paling sering terjadi

pada juvenile idiopathic arthritis (JIA)sistemik. Komplikasi ini akan semakin

meningkat terjadinya pada kasus yang juga diikuti dengan kondisi autoimun

lainnya, seperti SLE onset dewasa dan anak, penyakit Kawasaki, dan sindrom

demam periodik. MAS ditandai dengan reaksi inflamasi berlebihan akibat respon

imun yang tidak terkendali yang melibatkan aktivasi terus-menerus dari limfosit T

dan makrofag yang menghasilkan hipersekresi dalam jumlah besar dari sitokin

proinflamasi.22

Karakteristik dari MAS adalah demam non-remiten, hepatosplenomgali,

limfadenopati generalisata, disfungsi sistems saraf pusat, dan manifestasi

perdarahan. Adapun kelainan laboratorium yang ditemukan adalah pansitopenia,

peningkatan kadar feritin, enzim hati, laktat dehidrogenase, trigliserida, D-dimer,

dan interleukin-2 (IL-2)soluble reseptor (juga dikenal sebagai larut CD25

[sCD25]), dan penurunan kadar fibrinogen. Sementara itu, ciri histopatologis khas

28
MAS adalah akumulasi makrofag yang menunjukkan aktivitas hemophagocytic

dalam spesimen biopsi sumsum tulang atau aspirasi.22

Meskipun prevalensi MAS antara pasien dengan sistemik JIA telah

diperkirakan sebanyak 10%, laporan terbaru menunjukkan bahwa MASsubklinis

dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan sistemik JIA. MAS dapat mengakibatkan

kegagalan multi-organ progresif dan dapat menjadi fatal jika tidak dikenal dengan

cepat. Studi terbaru menunjukkan tingkat kematian sebesar 8%. Membuat diagnosis

tepat waktu dan inisiasi pengobatan cepat dan tepat penting untuk dilakukan.22

2.11. Prognosis

Sebagian besar penderita JIA (70-90%) sembuh tanpa kecacatan yang

berarti, hanya 10% di antaranya yang membawa cacat sampai dewasa. Sebagian

kecil sekali akan kambuh menjadi bentuk artritis reumatoid dewasa. Pada

umumnya, prognosis JIA dapat diperkirakan dari pola klinis tipe onset penyakitnya.

Walaupun pada awal perjalanan penyakit masih sukar diduga, tetapi dari tipe onset

penyakit serta perjalanan gambaran klinis, prognosisnya dapat diperkirakan.16

Beberapa gambaran klinis yang dapat dijadikan sebagai petunjuk prognosis

JIA yang kurang baik adalah tipe onset sistemik atau poliartritis, uveitis kronik,

erosi sendi, fase aktif yang berlangsung lama, nodul reumatoid, dan ditemukannya

faktor reumatoid pada pemeriksaan laboratorium. Angka kematian yang terjadi

kemudian pada JIA sedikit rendah (2-4%) dan seringkali dihubungkan dengan gagal

ginjal akibat amiloidosis, serta infeksi ataupun disertai perkembangan penyakit

reumatik lainnya, seperti SLE dengan kadar ANA tinggi.16

Tabel 3. Hubungan antara tipe onset penyakit, gambaran klinis, dan prognosis
JIA13
Tipe Onset Subtipe Klinis Prognosis
Poliartritis RF + Wanita Buruk

29
Usia lebih tua
Tangan/pergelangan
Erosi sendi
Nodul
Non remisi
ANA + Wanita Baik
Usia muda
Seronegatif Bervariasi
Oligoartritis ANA + Wanita Sangat baik
Usia muda (kecuali mata)
Uveitis kronik
RF + Poliartritis Buruk
Erosi
Non remisi
HLA B27 + Laki-laki Baik
Seronegatif Baik
Sistemik Oligoartritis Baik
Poliartritis Erosi Buruk

Kepustakaan lain menyebutkan sekitar 50% anak dengan JIA memiliki

penyakit yang berlanjut saat dewasa. Pada pasien-pasien ini akan terdapat kondisi

disabilitas yang sangat signifikan, seperti kekakuan pada sendi, pertumbuhan yang

abnormal, gangguan penglihatan yang disebabkan oleh uveitis, keterbatasan

fungsional akibat nyeri, dan lainnya. Faktor-faktor yang mempengaruhi luaran

penyakit ini termasuk durasi, keterlibatan penyakit poliartritis, dan penggunaan

pengobatan kortikosteroid. Angka kematian pada JIA berdasarkan laporan dari

Amerika Serikat dan Kanada adalah 0,29 per 100 pasien dan kebanyakan kasus

kematian ini terjadi pada kelompok yang menderita JIA sistemik.17

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Kearsley-Fleet L, Davies R, Mark M, Southwood TR, Hyrich KL. Factors


associated with improvement in disease activity following initiation of
etanercept in children and young people with Juvenile Idiopathic Arthritis,
New York: Oxford University Press, 2015.
2. Dillon A. Abatacept, adalimumab, etanercept and tocilizumab for treating
Juvenile Idiopathic Arthritis, England: National Institute for Health and Care
Excellence, 2015.
3. Uziel Y. Juvenile Idiopathic Arthritis in the Era of International Cooperation,
Israel: Meir Medical Center, 2017.
4. Kim KH, Kim DS. 2010. Juvenile idiophaticartritis: diagnosis and differential
diagnosis. Korean journal of pediatrics. 2010;53(11):931-3
5. Petty RE, Laxer RM, Lindsley CB, Wedderburn LR. Textbook of pediatric
rheumatology, seventh edition. Elsevier: 2016. Pp:180-204
6. Harris JG, Kessler EA, vervsky JW. Update on the treatment of juvenile
idiopathic arthriris. 2013;13(4):337-46
7. Rigante D, Bosco A, Esposito S. The etiology of juvenile idiopathic arthritis.
Clinic Rev AllergImmunol. 2015;49:253-61
8. Frosch M, Roth J. New insights in systemic juvenile idiopathic arthritis—from
pathophysiology to treatment. Rheumatology (Oxford) 2008; 47: 121–25.
9. Prahalad S, Ryan MH, Shear ES, Thompson SD, Glass DN, Giannini EH. Twins
concordant for juvenile rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 2000; 43:
2611–12.
10.Saurenmann RK, Levin AV, Feldman BM, Laxer RM, Schneider R, Silverman
ED. Risk factors for development of uveitis diff er between girls and boys
with juvenile idiopathic arthritis. Arthritis Rheum 2010; 62: 1824–28.
11.Prahalad S, Ryan MH, Shear ES, Thompson SD, Glass DN, Giannini EH. Twins
concordant for juvenile rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 2000; 43:
2611–12.
12.Heijstek MW, Pileggi GC, Zonneveld-Huijssoon E, et al. Safety of measles,
mumps and rubella vaccination in juvenile idiopathic arthritis. Ann Rheum
Dis 2007; 66: 1384–87.
13.De Jager W, Hoppenreijs EP, Wulff raat NM, Wedderburn LR, Kuis W, Prakken
BJ. Blood and synovial fluid cytokine signatures in patients with juvenile
idiopathic arthritis: a cross-sectional study. Ann Rheum Dis 2007; 66: 589–
98.
14.Ronaghy A, de Jager W, Zonneveld-Huijssoon E, et al. Vaccination leads to an
aberrant FOXP3 T cell response in non-remitting Juvenile Idiopathic
Arthritis. Ann Rheum Dis (in press).Gattorno M, Gregorio A, Ferlito F, et al.
Synovial expression of osteopontin correlates with angiogenesis in juvenile
idiopathic arthritis. Rheumatology (Oxford) 2004; 43: 1091–96.
15.Vastert SJ, van Wijk R, D’Urbano LE, et al. Mutations in the perforin gene can
be linked to macrophage activation syndrome in patients with systemic onset
juvenile idiopathic arthritis. Rheumatology (Oxford) 2010; 49: 441–49.
16.Akib AAP. Artritis Rheumatoid Juvenil. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak.
Badan penerbit IDAI;2008;332-41.

31
17.Espinosa M, Gottlieb BS. Juvenile Idiopathic Artritis. Article collagen vascular
disorder. Pediatrics in Review 2012; 33(7).
18.Stoll ML, Cron RQ. Treatment of juvenile idiopathic arthritis: a revolution in
care. Pediatric rheumatology. 2014 Apr 23;12(1):13.
19.Alsulami RA, Alsulami AO, Muzaffer MA. Growth pattern in children with
juvenile idiopathic arthritis: a retrospective study. open journal of
rheumatology and autoimmune diseases. 2017 Jan 6 ;7(01):80.
20.Minoia F, Davì S, Horne A, Demirkaya E, Bovis F, Li C, Lehmberg K,
Weitzman S, Insalaco A, Wouters C, Shenoi S. Clinical features, treatment,
and outcome of macrophage activation syndrome complicating systemic
juvenile idiopathic arthritis: a multinational, multicenter study of 362
patients. Arthritis & Rheumatology. 2014 Nov 1;66(11):3160-9.
21.Gurion R, Lehman TJA, dan Moorthy LN. Systemic Arthritis in Children: A
Review of Clinical Presentation and Treatment. International Journal of
Inflammation. Article ID 271569. PP 1-16. 2012.
22.Ravelli A, Minoia F, Davi S, Horne AC, Bovis F, Pistorio A, et al. 2016
Classification Criteria for Macrophage Activation Syndrome Complicating
Systemic Juvenile Idiopathic Arthritis. Arthritis & Rheumatology. pp:
1-11. 2016.

32

Anda mungkin juga menyukai