Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF PADA

NY. I P1A0H1 POST PARTUM NORMAL DENGAN RUPTUR


PERINEUM DERAJAT II ATAS INDIKASI CPD
DI IRNA MELATI RSUP AHMAD THABIB

Disusun Oleh:
Atik Etika NIM. PO7224217 1743
Aura Bella Gizta NIM. PO7224217 1702
Nur Haida NIM. PO7224217 1763
Ruzana NIM. PO7224217 1771

Pembimbing:
Rita Ridayani, M. Keb NIP. 19840323 200801 2 005
Reki Handayani, S.SiT NIP. 19861113 200904 2 001

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES TANJUNGPINANG
PRODI DIII KEBIDANAN
2020
LEMBAR PENGESAHAN

JUDUL LAPORAN : LAPORAN ASUHAN KEBIDANAN


KOMPREHENSIF PADA NY. I P1A0H1
POST PARTUM NORMAL DENGAN
RUPTUR PERINEUM DERAJAT II ATAS
INDIKASI CPD DI IRNA MELATI RSUP
AHMAD THABIB
JURUSAN : DIII Kebidanan

Tanjungpinang, 22 Januari 2020

Disetujui oleh :

PEMBIMBING AKADEMIK PEMBIMBING LAPANGAN

Rita Ridayani, M.Keb Reki Handayani, S.SiT


NIP. 19840323 200801 2 005 NIP. 19861113 200904 2 001

i
KATA PENGANTAR

Segala puji kita hanturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan judul “LAPORAN ASUHAN KEBIDANAN
KOMPREHENSIF PADA NY. I P1A0H1 POST PARTUM NORMAL DENGAN
RUPTUR PERINEUM DERAJAT II ATAS INDIKASI CPD DI IRNA MELATI
RSUP AHMAD THABIB”.
Dalam penyusunan laporan ini penulis banyak mendapatkan bantuan,
bimbingan serta pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Bapak Novian Aldo, SST, MM, selaku direktur Poltekkes Kemenkes
Tanjungpinang.
2. Ibu Fidyah Aminin, M. Kes, selaku ketua prodi DIII Kebidanan Poltekkes
Kemenkes Tanjungpinang
3. Ibu Reki Handayani, S.SiT, selaku CI di lapangan IRNA Melati RSUP Ahmad
Thabib, yang telah memberikan bimbingan pada penulis.
4. Ibu Rita Ridayani, M. Keb, selaku dosen pembimbing kami yang memberikan
ilmunya untuk penulis dalam menyelesaikan laporan ini.
5. Rekan penulis serta kakak kakak bidan di IRNA Melati RSUP Ahmad Thabib
yang juga telah banyak memberikan banyak dukungan ketika penulis dinas,
dan menyelesaikan laporan ini.
6. Ny. I yang bersedia menjadi klien dalam pembuatan laporan tugas ini.
Melalui kata pengantar ini, penulis mengharapkan segala kritik dan saran
demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini, dan untuk pelajaran bagi kita
semua dalam pembuatan di masa mendatang. Akhir kata semoga hasil laporan ini
memberikan manfaat yang berguna bagi yang membutuhkannya.

Tanjungpinang, 27 Januari 2020

ii
Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... i
KATA PENGANTAR .............................................................................. ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1


1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Tujuan ........................................................................................ 2
1.3 Manfaat ...................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN TEORITIS ............................................................ 5


2.1 Konsep Dasar Masa Nifas ......................................................... 5
2.1.1 Program dan Kebijakan Masa Nifas ............................... 5
2.1.2 Perubahan Fisiologis Masa Nifas .................................... 6
2.1.3 Kebutuhan Dasar Masa Nifas ......................................... 9
2.2 Cephalopelvic Disproportion ................................................... 10
2.2.1 Penyebab Cephalopelvic Disproportion ........................ 11
2.2.2 Etiologi Cephalopelvic Disproportion ........................... 11
2.2.3 Tanda Gejala, Diagnosa, dan Faktor Resiko
Cephalopelvic Disproportion ......................................... 12
2.2.4 Penanganan Cephalopelvic Disproportion .................... 14
2.2.5 Komplikasi Cephalopelvic Disproportion ..................... 16
2.3 Luka Perineum ......................................................................... 17
2.3.1 Syarat Melakukan Tindakan Episiotomi ........................ 17
2.3.2 Derajat dan Penanganan Luka Perineum ....................... 18
2.3.3 Cara Merawat Luka Perineum ...................................... 20

BAB III TINJAUAN KASUS .............................................................. 22

BAB IV PEMBAHASAN .................................................................... 37

iii
BAB V PENUTUP ............................................................................... 40
5.1 Kesimpulan .............................................................................. 40
5.2 Saran ......................................................................................... 41

DAFTAR PUSTAKA

iv
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Masa nifas adalah masa atau waktu sejak bayi dilahirkan dan plasenta
lepas dari rahim sampai enam minggu berikutnya disertai dengan pulihnya
kembali organ-organ yang berkaitan dengan kandungan, yang mengalami
perubahan seperti permukaan dan lain sebagainya berkaitan saat melahirkan.
Masa nifas merupakan masa yang kritis bagi ibu dan bayi karena
kemungkinan timbul masalah dan penyulit selama masa nifas, jika tidak
segera ditangani secara efektif akan membahayakan kesehatan, bahkan bisa
menyebabkan kematian dan 50% kematian masa nifas terjadi dalam 24 jam
pertama (Astuti, dkk, 2012).
Menurut laporan dari WHO, kematian ibu umumnya terjadi akibat
komplikasi saat, dan pasca kehamilan. Adapun jenis-jenis komplikasi yang
menyebabkan mayoritas kasus kematian ibu – sekitar 75% dari total kasus
kematian ibu – adalah pendarahan, infeksi, tekanan darah tinggi saat
kehamilan, komplikasi persalinan, dan aborsi yang tidak aman (WHO, 2014).
Angka Kematian Ibu (AKI) terdiri dari penyebab langsung dan tidak
langsung. Kematian ibu secara langsung yaitu perdarahan (25%), persalinan
macet (8%), sepsis (15%), komplikasi abortus tidak aman (13%), persalinan
lama dan persalinan dengan cephalopelvic disproportion (CPD) (8%) (WHO,
2014).
Cephalopelvic disproportion adalah kondisi yang terjadi ketika ukuran
tubuh bayi terlalu besar untuk masuk melewati panggul ibu. Dengan kata
lain, cephalopelvic disproportion ini bisa dipicu karena ketidakcocokan
antara ukuran panggul ibu dengan ukuran kepala bayi. Cephalopelvic
disproportion atau CPD merupakan satu dari berbagai komplikasi yang bisa
terjadi saat persalinan (dr. Damar didalam Hallosehat, 2020).

1
2

Angka kejadian cephalopelvic disproportion (CPD) setiap tahun terjadi


peningkatan, hal ini disebabkan faktor tenaga kesehatan dan faktor ibu
sendiri. Dari tenaga kesehatan, seharusnya dapat mengenal lebih jauh
perubahan yang mungkin terjadi ketika kelainan dapat dikenali lebih dini,
misalnya ukuran panggul ibu yang tidak normal dan tinggi fundus uteri (TFU)
yang tinggi. Faktor dari inu adalah karena kurangnya pengetahuan ibu tentang
kesehatan reproduksi, rendahnya status sosial ekonomi, pendidikan rendah,
dan akses terhadap pelayanan kesehatan (Prawirohardjo, 2010).
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko cephalopelvic
disproportion yakni tinggi badan ibu yang rendah. Ibu dengan tinggi badan
kurang dari 145 cm berisiko tinggi mengalami masalah saat melahirkan
normal. Ini karena tinggi badan bawah 145 cm, biasanya mempunyai ukuran
panggul yang lebih kecil dibandingkan dengan ukuran kepala bayi (dr. Damar
didalam Hallosehat, 2020).
Ibu bertumbuh pendek yang tetap ingin melahirkan secara normal,
biasanya terpaksa untuk mengalami proses episiotomi. Proses di mana dokter
akan melakukan pedah kecil dengan cara memberikan irisan melalui
perineum yang berguna untuk melebarkan vagina supaya membantu bayi
keluar pada saat persalinan berlangsung (Elizabeth didalam
BukaReview.com, 2019).
Berdasarkan uraian diatas maka penulis merasa tertarik untuk membuat
laporan dengan judul “Laporan Asuhan Kebidanan Komprehensif Pada Ny. I
P1A0H1 Post Partum Normal Dengan Ruptur Perineum Derajat II Atas
Indikasi CPD Di IRNA Melati RSUP Ahmad Thabib”.

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan masa nifas
pada Ny. I P1A0H1 Post Partum Normal Dengan Ruptur Perineum Derajat
II Atas Indikasi CPD Di IRNA Melati RSUP Ahmad Thabib.
3

2. Tujuan Khusus
a. Melakukan pengkajian data subjektif dalam asuhan kebidanan berupa
metode SOAP pada ibu nifas, Ny. I P1A0H1 Post Partum Normal
Dengan Ruptur Perineum Derajat II Atas Indikasi CPD Di IRNA
Melati RSUP Ahmad Thabib.
b. Melakukan pengkajian data objektif dalam asuhan kebidanan berupa
SOAP pada ibu nifas, Ny. I P1A0H1 Post Partum Normal Dengan
Ruptur Perineum Derajat II Atas Indikasi CPD Di IRNA Melati RSUP
Ahmad Thabib.
c. Melakukan penegakan diagnosa kehamilan berupa SOAP pada ibu
nifas, Ny. I P1A0H1 Post Partum Normal Dengan Ruptur Perineum
Derajat II Atas Indikasi CPD Di IRNA Melati RSUP Ahmad Thabib.
d. Melakukan perencanaan tindakan asuhan kebidanan berupa metode
SOAP pada ibu nifas, Ny. I P1A0H1 Post Partum Normal Dengan
Ruptur Perineum Derajat II Atas Indikasi CPD Di IRNA Melati RSUP
Ahmad Thabib.

1.3 Manfaat
1. Untuk Mahasiswa
a. Menambah pengetahuan tentang masa post partum normal.
b. Menambah pengetahuan tentang ruptur perineum derajat II atas
indikasi cephalopelvic disproportion.
2. Untuk Institusi
Melengkapi bahan ajar mengenai masa nifas dan ruptur perineum derajat
II atas indikasi cephalopelvic disproportion.
3. Untuk Lahan Praktik
Dapat menjadi pelaporan dan evaluasi tindakan dalam memberikan asuhan
kebidanan ibu post partum dengan ruptur perineum derajat II atas indikasi
cephalopelvic disproportion.
4

4. Untuk Klien
Mengetahui kebutuhan masa nifas, mengetahui keadaan umum diri pasien
dan bayinya, dan mengetahui apa yang harus dilakukan untuk menjaga
anaknya tetap sehat.
5

BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Konsep Dasar Masa Nifas


Ada beberapa pendapat terhadap pengertian masa nifas. Menurut
Widyasih, dkk (2013), masa nifas (puerperium) adalah masa atau waktu sejak
bayi dilahirkan dan plasenta lepas dari rahim sampai enam minggu
berikutnya, disertai dengan pulihnya kembali organ-organ yang berkaitan
dengan kandungan, yang mengalami perubahan seperti permukaan dan lain
sebagainya berkaitan saat melahirkan. Sedangkan Rukiyah, dkk (2010)
mengatakan bahwa masa nifas atau puerperium dimulai setelah kelahiran
plasenta, dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti keadaan
sebelum hamil, masa nifas berlangsung kira-kira 6 minggu.

2.1.1 Program dan Kebijakan Masa Nifas


Program dan kebijakan teknik masa nifas, dikutip dari Siti Saleha
(2013), kunjungan masa nifas dilakukan paling sedikit 4 kali.
Kunjungan ini bertujuan untuk menilai status ibu dan bayi baru lahir
juga untuk mencegah, mendeteksi, serta menangani masalah – masalah
yang terjadi.
a. Kunjungan I (6-8 jam setelah persalinan)
1) Mencegah terjadinya perdarahan pada masa nifas
2) Mendeteksi dan merawat penyebab lain perdarahan dan
memberikan rujukan bila perdarahan berlanjut
3) Memberikan konseling kepada ibu atau salah satu anggota
keluarga mengenai bagaimana mencegah perdarahan masa nifas
karena atonia uteri
4) Pemberian ASI pada masa awal menjadi ibu
5) Mengajarkan cara mempererat hubungan antara ibu dan bayi
baru lahir
6

6) Menjaga bayi tetap sehat dengan cara mecegah hipotermi


b. 6 hari setelah persalinan
5 berjalan normal, uterus berkontraksi,
1) Memastikan involusi uteri
fundus di bawah umbilicus tidak ada perdarahan abnormal, dan
tidak ada bau
2) Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi, atau kelainan pasca
melahirkan
3) Memastikan ibu mendapat cukup makanan, cairan dan istirahat
4) Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tidak ada tanda-
tanda penyulit
5) Memberikan konseling kepada ibu mengenai asuhan pada bayi,
cara merawat tali pusat, dan bagaimana menjaga bayi agar tetap
hangat
c. 2 minggu setelah persalinan
1) Sama seperti di atas (enam hari setelah persalinan)
d. 6 minggu setelah persalinan
1) Menanyakan pada ibu tentang penyulitpenyulit yang dialami
atau bayinya
2) Memberikan konseling untuk KB secara dini

2.1.2 Perubahan Fisiologis Masa Nifas


a. Uterus
Involusi merupakan suatu proses kembalinya uterus pada
kondisi sebelum hamil. Dengan involusi uterus ini, lapisan luar dari
desidua yang mengelilingi situs plasenta akan menjadi neurotic
(layu/mati). (Sulistyawati, 2010).
7

Sumber: Wulandari dan Handayani (2011)


b. Lochea
Lochea adalah cairan sekret yang berasal dari cavum uteri dan
vagina dalam masa nifas.
a) Lochea rubra berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban,
sel-sel desidua, verniks kaseosa, lanugo, mekonium, selama 2
hari pasca persalinan.
b) Lochea sanguinolenta berwarna merah kuning berisi darah dan
lendir, hari ke 3-7 pasca persalinan.
c) Lochea serosa berwarna kuning dan cairan ini tidak berdarah
lagi pada hari ke 7-14 pasca persalinan
d) Lochea alba cairan putih yang terjadinya pada hari setelah 2
minggu pasca persalinan
e) Lochea purulenta terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah
berbau busuk (Rukiyah, dkk. 2010).
c. Serviks
Segera setelah berakhirnya post partum, serviks menjadi
sangat lembek, kendur dan terkulai. Serviks tersebut bisa melepuh
dan lecet, terutama dibagian anterior. Serviks akan terlihat padat
yang mencerminkan vaskularitasnya yang tinggi, lubang servikas
lambat lautan mengecil, beberapa hari setelah persalianan diri retak
karena robekan dalam persalianan. Rongga leher serviks bagian luar
akan membentuk seperti keadaan sebelum hamil pada saat empat
minggu post partum (Saleha, 2013).
d. Vagina
8

Vagina dan lubang vagina pada permualaan puerperium


merupakan suatu saluran yang luas berdinding tipis. Secara
berangsur-angsur luasnya berkurang, tetapi jarang sekali kembali
seperti ukuran seorang nulipara. Rugae timbul kembali pada minggu
ketiga. Hymen tampak sebagai tonjolan jaringan yang kecil, yang
dalam proses pembentukan berubah menjadi karunkulae mitoformis
yang khas bagi wanita multipara (Saleha, 2013).
e. Payudara
Pada semua wanita yang telah melahirkan proses laktasi terjadi
secara alami. Proses menyusui mempunyai dua mekanisme
fisiologis, yaitu sebagai Produksi susudan Sekresi susu atau let
down. Selama 9 bulan kehamilan, jaringan payudara tumbuh dan
menyiapkan fungsinya untuk menyediakan makanan bagi bayi baru
lahir. Setelah melahirkan, ketika hormon yang dihasilkan plasenta
tidak ada lagi untuk menghambatnya kelenjar pituitari akan
mengeluarkan prolaktin (hormon laktogenik) (Saleha, 2013).
f. Sistem Pencernaan
Biasanya, ibu akan mengalami konstipasi setelah persalianan.
Hal ini disebabkan karena pada waktu persalianan, alat pencernaan
mengaami tekanan yang menyebabkan kolon menjadi kosong,
pengeluaran cairan berlebih pada waktu persalianan, kurangnya
aktivitas tubuh. Selain konstipasi, ibu juga mengalami anoreksia
akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan
mempengaruhi perubahan sekresi, serta penurunan kebutuhan kalori
yang menyebabkan kurang nafsu makan (Sulistyawati, 2010).
g. Sistem Perkemihan
Setelah proses persalianan berlangsung, biasanya ibu akan sulit
untuk buang air kecil dalam 24 jam pertama. Kemungkinan
penyebab dari keadaan ini adalah terdapat spasme sfinkter dan
edema leher kandung kemih sesudah bagian ini mengalami kompresi
(tekanan) antara kepala janin dan tulang pubis selam persalinan
9

berlangsung. Urine dalam jumlah besar akan dihasilkan dala 12-36


jam post partum. Kadar hormon estrogen yang bersifat menahan air
akan mengalami penurunan yang mencolok. Keadaan tersebut
disebut diuresis. Ureter yang berdilatasi akan kembali normal dalam
6 minggu. (Sulistyawati, 2010).

h. Sistem Muskuloskletal
Ligamen-ligamen, fasia, dan diafragma pelvis yang meregang
sewaktu kehamilan dan persalinan berangsur-angsur kembali seperti
sediakala. Tidak jarang ligamen rotundum mengendur, sehingga
uterus jatuh ke belakang. Fasia jaringan penunjang alat genitalia
yang mengendur dapat diatasi dengan latihan-latihan tertentu.
Mobilisasi sendi berkurang dan posisi lordosis kembali secara
perlahan (Saleha, 2013).

2.1.3 Kebutuhan Dasar Masa Nifas


a. Gizi
Kebutuhan gizi pada masa nifas terutama bila menyusui akan
meningkat 25% karena berguna untuk proses kesembuhan karena
sehabis melahirkan dan untuk memproduksi air susu yang cukup
untuk menyehatkan bayi. Semua itu akan meningkat tiga kali dari
kebutuhan biasa. Menu makanan seimbangan yang harus dikonsumsi
adalah porsi cukup dan teratur, tidak terlalu asin, pedas atau
berlemak, tidak mengandung alkohol, nikotin serta bahan pengawet
atau pewarna (Ambrawati dan Wulandari, 2011).
b. Ambulasi dini
Ambulasi Dini (Early Ambulation) adalah kebijaksanaan untuk
selekas mungkin membimbing pasien keluar dari tempat tidurnya
dan membimbingnya untuk berjalan. Menurut penelitian, ambulasi
dini tidak mempunyai pengaruh yang buruk, tidak meneyebabkan
10

perdarahan yang abnormal, tidak mempengaruhi penyembuhan luka


episiotomi dan tidak memperbesar kemungkinan terjadinya prolaps
uteri dan retro fleksi (Ambrawati dan Wulandari, 2011).
c. Eliminasi
Dalam enam jam pertama post partum, pasien sudah harus
dapat buang air kecil. Semakin lama urine tertahan dalam kandung
kemih maka dapat mengakibatkan kesulitan dalam organ
perkemihan, misalnya infeksi. Biasanya, pasien menahan air kencing
karena takut akan merasakan sakit pada luka jalan lahir. Bidan harus
dapat meyakinkan pada pasien bahwa kencing sesegera mungkin
setelah melahirkan akan mengurangi komplikasi post partum.
Berikan dukungan mental pada pasien bahwa ia pasti mampu
menahan sakit pada luka jalan lahir akibat terkena air kencing karena
ia pun sudah berhasil berjuang untuk melahirkan bayinya. Dalam 24
jam pertama, pasien juga sudah harus dapat buang air besar karena
semakin lama feses tertahan dalam usus maka akan semakin sulit
baginya untuk buang air besar secara lancar. Feses yang tertahan
dalam usus semakin lama akan mengeras karena cairan yang
terkandung dalam feses akan selalu terserap oleh usus (Ambrawati
dan Wulandari, 2011).

2.2 Luka Perineum


Ruptur perineum adalah robekan perineum yang terjadi pada saat bayi
lahir baik secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau
tindakan. Episiotomi adalah sayatan yang dibuat pada perineum (jaringan di
antara jalan lahir bayi dan anus) pada saat proses persalinan. Episiotomi pada
dasarnya adalah tindakan yang tergolong sederhana. Dokter atau bidan akan
menyuntikkan bius lokal ke area sekitar vagina agar Ibu tidak merasakan
sakit. Dokter kemudian akan membuat sayatan yang kemudian akan dijahit
setelah bayi dilahirkan. Tujuan utama dilakukan episiotomi adalah untuk
11

memperbesar jalan lahir agar bayi lebih leluasa dilahirkan (dr. Kevin didalam
AloDokter.com, 2018).
Episiotomi adalah pembedahan di daerah otot antara vagina dan anus
(perineum) pada saat ibu hamil melahirkan normal. Hal ini dilakukan untuk
memperbesar lubang vagina Anda sehingga proses melahirkan lebih mudah
dan cepat. Banyak yang menganggap bahwa episiotomi adalah prosedur yang
dapat mencegah vagina robek lebih besar ketika melahirkan. Selain itu,
episiotomi adalah prosedur pembedahan yang juga dapat mempercepat
penyembuhan bekas luka yang ditimbulkan dan dapat melindungi jaringan
otot di daerah panggul (dr. Damar didalam HalloSehat.com, 2016).

2.2.1 Syarat Melakukan Tindakan Episiotomi


Meski bisa membantu memudahkan proses persalinan, tapi
nyatanya tidak semua ibu hamil membutuhkan prosedur episiotomi saat
kelahiran. Dengan kata lain, episiotomi adalah prosedur yang hanya
dibutuhkan dalam kondisi tertentu. Beberapa kondisi yang mendorong
dilakukannya episiotomi pada saat melahirkan normal adalah:
1. Ukuran bayi sangat besar.
2. Bayi perlu dilahirkan secepat mungkin. Hal ini disebabkan kondisi
yang biasa disebut dengan gawat janin (fetal distress),
seperti denyut jantung bayi tidak stabil (meningkat atau menurun)
menjelang kelahiran. Pada kondisi ini, bayi mungkin tidak
mendapatkan cukup oksigen, sehingga bayi perlu dilahirkan
secepat mungkin untuk memastikan bayi lahir dengan selamat.
3. Bayi berada pada posisi tidak seharusnya, misalnya posisi
sungsang.
4. Kelahiran bayi Anda membutuhkan bantuan untuk memperlancar
prosesnya.
5. Kemungkinan vagina akan mengalami robek sangat panjang jika
tetap dipaksa melahirkan tanpa melakukan episiotomi. Hal ini bisa
12

terjadi karena ukuran bayi lebih besar daripada ukuran lubang


vagina ibu, sehingga lubang vagina butuh diperbesar.
6. Bayi mengalami kesulitan untuk lahir.
7. Proses kelahiran bayi Anda sudah berjalan dalam waktu yang
cukup lama
8. Ibu membutuhkan persalinan yang dibantu
dengan forceps atau vakum, sehingga episiotomi perlu dilakukan
pada ibu hamil untuk memperluas vagina atau jalan keluarnya bayi.
9. Ibu tidak mampu mengendalikan dirinya saat mengejan atau
mendorong bayinya keluar.
10. Waktu lahir sudah dekat tetapi perineum belum cukup melebar
(kaku).
11. Ibu memiliki kondisi kesehatan yang serius, seperti penyakit
jantung (dr. Damar didalam HalloSehat.com, 2016).

2.2.2 Derajat dan Penanganan Luka Perineum


Ruptur (luka) perineum dapat digolongkan menjadi derajat atau
tingkat 1-4. Ruptur perineum tingkat 1 merupakan kondisi kulit robek
di sekitar permukaan mulut vagina atau kulit perineum. Kondisi ini
dapat menyebabkan sedikit rasa nyeri atau sensasi perih atau terbakar
ketika buang air kecil. Ruptur perineum tingkat 1 umumnya tidak
memerlukan penanganan khusus atau hanya perlu sedikit jahitan (dr.
Allert didalam AloDokter.com, 2017).
13

Ruptur perineum tingkat 2 merupakan kondisi robek bagian otot-


otot perineum. Otot perineum berada di antara vagina dan anus, dan
berfungsi sebagai jaringan penyokong rektum, kandung kemih dan
rahim. Ruptur perineum tingkat 2 membutuhkan jahitan untuk
menutupnya. Yang perlu diperhatikan, seperti penyembuhan luka
jahitan pada umumnya, hasil jahitan pada ruptur perineum dapat
menyebabkan gatal dan terasa kencang di bagian sekitar vagina.
Namun, kondisi ini tergolong normal, dan akan berkurang setelah tubuh
beradaptasi (dr. Allert didalam AloDokter.com, 2017).
Untuk membantu meringankan rasa tidak nyaman karena
perineum robek, dapat dilakukan beberapa cara, yaitu pada ruptur
perineum tingkat 1, dapat dibantu dengan squeeze bottle yang diisi air
hangat. Lalu tuangkan air dari botol ke bagian vulva ketika buang air
kecil. Pada ruptur perineum tingkat 2, ada beberapa yang dapat
dilakukan untuk, antara lain:
1. Duduk di bantal atau alas bundar yang empuk,
2. Minum obat yang disarankan dokter, obat pereda nyeri dan
antibiotik,
3. Tuang air hangat ke vulva ketika buang air kecil dan cuci bersih.
Kemudian, saat buang air besar, tekan pelan-pelan kain lembut
14

bersih di daerah yang terluka (dr. Allert didalam AloDokter.com,


2017).
2.2.3 Cara Merawat Luka Perineum
Untuk mempercepat proses penyembuhan jahitan setelah
melahirkan, sekaligus meringankan rasa tak nyaman dan menghindari
komplikasinya, dapat dilakukan dengan beberapa cara berikut:
1. Kompres dingin area luka jahitan
Buatlah kompres dingin dari es batu yang dibungkus kain, dan
tempelkan kompres tersebut pada area jahitan selama sekitar 10
menit. Lakukan beberapa kali sehari. Suhu dingin dari kompres ini
dapat membantu meringankan bengkak dan nyeri pada area sekitar
jahitan. Namun ingat, berikan jeda sekitar 1 jam sebelum
menempelkan kompres kembali, dan hindari mengompres es batu
langsung pada kulit tanpa penghalang apapun.
2. Bersihkan luka dengan air hangat dan jaga tetap kering
Agar luka tidak infeksi, dianjurkan untuk mandi dan
membersihkan area luka jahitan dengan air hangat suam-suam kuku
setiap hari. Namun, pastikan area tersebut benar-benar kering
setelahnya. Selain itu, pastikan juga air yang digunakan tidak terlalu
panas. Untuk mengeringkan luka setelah dibersihkan, bisa menepuk-
nepuknya perlahan dengan kain atau handuk yang halus hingga
kering.
3. Gunakan air hangat saat buang air kecil
Saat buang air kecil, area jahitan mungkin akan terasa perih.
Agar tidak terlalu perih, basuhlah area vagina dengan air hangat
sambil buang air kecil. Selain mengurangi rasa perih, bilasan air
hangat tersebut juga dapat membersihkan area jahitan.
Wadah untuk menyemprotkan air hangat bisa berupa botol
plastik atau gelas. Penting untuk memastikan wadah dalam keadaan
bersih. Jangan lupa, keringkan vagina setelahnya dengan tisu dari
depan ke belakang, untuk mencegah infeksi.
15

4. Jaga kebersihan tangan


Selalu cuci tangan dengan sabun atau pembersih antibakteri
sebelum membersihkan area vagina dan perineum, termasuk saat
mandi, mengganti pembalut, serta buang air kecil maupun buang air
besar. Hal ini penting untuk menghindari infeksi.
5. Ganti pembalut secara berkala
Ibu yang baru melahirkan perlu rajin mengganti pembalut,
yaitu sekitar 2-4 jam sekali selama perdarahan nifas berlangsung.
Hal ini penting agar jahitan di vagina terhindar dari infeksi dan cepat
sembuh. Jenis pembalut yang memberi sensasi dingin boleh
digunakan, namun pastikan produk tidak menggunakan pewangi,
bersifat hipoalergenik (tidak menimbulkan alergi), dan memiliki pH
seimbang.
6. Perbanyak konsumsi serat
Ibu yang baru melahirkan biasanya memang tidak buang air
besar selama beberapa hari. Namun kalau tidak hati-hati, kondisi ini
bisa berlanjut menjadi sembelit. Untuk mencegahnya, konsumsilah
makanan berserat, seperti buah dan sayuran, serta perbanyak minum
air putih. Jika buang air besar lancar, kekhawatiran mengenai jahitan
lepas saat mengejan terlalu keras pun bisa berkurang. Meskipun pada
kenyataannya, jahitan setelah melahirkan jarang sekali terlepas.

Selain beragam cara di atas, juga perlu mengetahui kegiatan apa


saja yang perlu dihindari setelah melahirkan, misalnya mengangkat
benda berat atau naik turun tangga. Hindari melakukan kegiatan
tersebut supaya jahitan terjaga dengan baik.
Cobalah berbagai cara di atas untuk merawat jahitan setelah
melahirkan, agar cepat sembuh. Namun bila nyeri luka jahitan tidak
kunjung membaik, apalagi disertai demam atau munculnya bau tak
sedap dari luka, segeralah periksakan kembali ke dokter kandungan (dr.
Merry didalam AloDokter.com, 2019).

Anda mungkin juga menyukai