Anda di halaman 1dari 24

Penatalaksanaan Resistensi Insulin

Pada Keguguran Berulang


Pendahuluan

Menurut Baziad (2011), abortus berulang atau keguguran berulang (recurrent

miscarriage) adalah kejadian keguguran paling tidak sebanyak 2 kali atau lebih

berturut-turut pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu dan/atau berat janin

kurang dari 500 gram.1 Sementara menurut Jauniaux (2006) dan Maryam (2012),

keguguran berulang adalah keguguran yang terjadi sebanyak 3 kali berturut-turut

atau lebih yang terjadi sebelum usia kehamilan mencapai 20 minggu. 2, 3 Menurut

Maryam pada tahun 2012, angka kejadian keguguran berulang telah mencapai 2-4%

pasangan.2

Saito (2005) menyatakan bahwa keguguran berulang berhubungan dengan kelainan

kromosom orang tua (7,7%), kelainan pembekuan darah maternal (28,3%), kelainan

struktur uterus (9%), disfungsi sistem imun maternal (19%), kelainan endokrin

maternal (1-3%) dan idiopatik (30%).3, 4 Kelainan endokrin yang dimaksud adalah

hipertiroidisme (2,8%), hipotiroidisme (2,9%), dan diabetes mellitus (1,2%).4

Saat ini kelainan endokrin telah dianggap sebagai salah satu penyebab keguguran

berulang, akan tetapi masih sedikit data yang mendukung pendapat ini.5 Belakangan

ini perhatian mulai tertuju pada kaitan antara Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK),

resistensi insulin, dan kejadian keguguran. Beberapa penelitian menyatakan bahwa

gambaran USG yang umum pada penderita keguguran berulang adalah ovarium

polikistik.1

SOPK merupakan kelainan endokrin yang paling sering ditemukan pada wanita usia

reproduksi, dengan karakteristik anovulasi kronik, hiperandrogenisme yang dapat

1
tampak sebagai hirsutisme, acne atau alopesia male pattern.6 Salah satu masalah

pada wanita dengan SOPK adalah infertilitas sebagai konsekuensi dari oligo atau

anovulasi kronik. Akan tetapi walaupun ovulasi telah diperbaiki, wanita dengan

SOPK cenderung memperlihatkan fungsi reproduksi yang potensial rendah dengan

angka kejadian keguguran spontan yang tinggi.6

Kejadian keguguran pada kehamilan awal pada wanita dengan ovarium polikistik

atau SOPK sebesar 30-50%. Ini adalah 3 kali lebih tinggi daripada wanita normal

yang mengalami kejadian keguguran sebesar 10-15%. Sebaliknya, 36-82% wanita

dengan keguguran berulang dilaporkan memiliki ovarium polikistik atau SOPK.6

Resistensi insulin seringkali ditemukan pada wanita dengan keguguran berulang dan

dianggap memainkan peranan penting dalam peningkatan angka kejadian

keguguran.1, 5, 7, 8

Ilmu pengetahuan saat ini memperlihatkan adanya bukti kejadian resistensi insulin

pada SOPK, dimana resistensi insulin akan menyebabkan hiperinsulinemia. Karena

wanita dengan SOPK (SOPK berhubungan dengan resistensi insulin) dilaporkan

mengalami peningkatan kejadian keguguran, maka para ahli mulai mencari kaitan

antara resistensi insulin dan kejadian keguguran berulang.6, 9

Craig dkk(2002) melakukan penelitian terhadap 74 wanita dengan keguguran

berulang yang tidak hamil dan tidak diabetik dibandingkan dengan 74 wanita fertil

yang tidak hamil dan tidak fertil, memiliki anak hidup minimal 1 dan keguguran tidak

lebih dari 1. Umur, ras dan indeks massa tubuh (IMT) semua subyek penelitian

disamakan. Ternyata sebanyak 20 orang (27%) dari kelompok keguguran berulang

mengalami resistensi insulin dibandingkan dengan hanya 7 orang (9,5%) dari

kelompok kontrol.10

2
Maryam pada tahun 2012 mempublikasikan hasil penelitiannya (case control

prospektif) pada 100 orang wanita di Iran tahun 2007 -2008, dimana hasil penelitian

ini mendapatkan angka kejadian resistensi insulin pada wanita dengan keguguran

berulang sebesar 16%.2

Suatu pendapat yang senada dengan hal ini, pernah diungkapkan oleh Mills JL dan

Rosenn B kemudian dikutip oleh Rai R (2006) sebagai berikut : “Diabetes yang

terkontrol dengan baik, bukan merupakan faktor resiko keguguran berulang”. 5

Data-data di atas memberi kesan bahwa resistensi insulin berhubungan dengan

keguguran berulang, walaupun mekanismenya masih belum jelas. Penelitian lebih

lanjut sangat diperlukan untuk mengetahui apakah dengan mengatasi resistensi

insulin dapat mengurangi risiko keguguran berulang.9

Patofisiologi Resistensi Insulin

Resistensi insulin tampaknya menjadi suatu hal yang sering terjadi dan dapat

berkontribusi pada berbagai penyakit, seperti diabetes melitus tipe 2, sindrom

ovarium polikistik, dislipidemia, hipertensi, obesitas, penyakit kardiovaskuler dan

keguguran berulang.2, 11 Resistensi insulin merupakan suatu kondisi dimana insulin

yang diproduksi oleh tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik di jaringan perifer. 12

Pada resistensi insulin, sel hepar, otot, dan lemak tidak berespon dengan baik

terhadap insulin. Akibatnya tubuh memerlukan insulin dalam jumlah yang lebih

banyak untuk membantu glukosa memasuki sel-sel tersebut. Pankreas berusaha

mengatasi hal ini dengan meningkatkan produksi insulin, akan tetapi pankreas gagal

untuk bertahan lama dalam kondisi ini. Akhirnya terjadi peningkatan kadar glukosa

dalam darah dan terjadilah diabetes. Pada resistensi insulin, biasanya peningkatan

kadar glukosa dan insulin dalam darah terjadi bersamaan.12, 13

3
Beberapa penelitian prospektif belakangan ini melaporkan peranan TNF-α dalam

memediasi terjadinya resistensi insulin pada kehamilan. TNF-α adalah sitokin yang

diproduksi di monosit, makrofag, sel T, neutrofil, fibroblast dan adiposit. Barbour

(2007) melaporkan peningkatan kadar TNF-α pada kehamilan, diduga bahwa

plasenta juga memproduksi TNF-α dalam jumlah tertentu.14 Pada hewan percobaan

dan manusia yang obesitas, ditemukan bahwa kadar TNF-α meningkat dengan

signifikan. Beberapa peneliti menyimpulkan bahwa TNF-α ini berhubungan dengan

indeks massa tubuh (IMT), resistensi insulin dan hiperinsulinemia. 14 Peningkatan

jumlah jaringan lemak berhubungan dengan peningkatan sekresi sitokin proinflamasi

dari jaringan adiposa, salah satunya adalah TNF-α. Peningkatan kadar TNF-α akan

menghambat transkripsi adiponektin dan secara tidak langsung menghambat

signaling insulin. Adiponektin adalah hormon endogen yang meningkatkan

sensitivitas insulin. Dalam kondisi normal, adiponektin akan mengaktivasi AMPK (5-

AMP-activated protein kinase), yang kemudian mengaktifkan PKC (Protein kinase C)

dan akhirnya mengaktifkan GLUT-4 (glucose transporter-4) untuk meningkatkan

glukosa uptake di otot skelet. Penghambatan adiponektin oleh TNF-α pada akhirnya

akan menghambat uptake glukosa di otot skelet dan dengan demikian

mengakibatkan terjadinya resistensi insulin.14

Resistensi Insulin & Keguguran Berulang

A. Resistensi Insulin dan Maturasi Oosit

Perkembangan oosit merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi

kelangsungan hidup embrio, terjadinya kehamilan, kelangsungan kehamilan dan

perkembangan janin. Kualitas perkembangan oosit ditentukan pada saat

folikulogenesis, dimana terjadi pertumbuhan dan maturasi oosit. Kualitas oosit

4
yang jelek akan menyebabkan gangguan pertumbuhan embrionik, pembentukan

blastokist abnormal, hambatan pertumbuhan janin dan kematian janin.6

Insulin sebagai faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan oosit bekerja

melalui reseptor insulin di sel granulosa. Insulin, bersama-sama dengan Insulin

Like Growth Factor 1 dan 2 (IGF 1 dan 2), LH, FSH, dan Growth Factor

intraovarian lainnya mempengaruhi steroidogenesis, aktivitas mitosis, dan

metabolisme glukosa di sel granulosa yang kemudian akan membantu

perkembangan dan maturasi folikel. Fosforilasi IRS-1 (Insulin receptor substrate-

1) oleh insulin merupakan faktor kunci pengaruh insulin terhadap sel granulosa,

mencakup uptake glukosa, sintesis glikogen, sintesis piruvat dan laktat (suatu

substrat yang baik untuk perkembangan oosit). Efek mitogenik insulin yang

mencakup aktivasi meiosis pada kompleks kumulus oosit, aktivasi proses

diferensiasi sel pada sel granulosa, dan maturasi oosit di mediasi oleh stimulasi

terhadap IRS-2.

Defek pada metabolisme glukosa akibat resistensi insulin pada tingkat ovarium

dapat menimbulkan gangguan distribusi glukosa, laktat, piruvat, purin dan cAMP

ke oosit yang kemudian akan mengakibatkan gangguan proses meiosis dan

maturasi oosit. Semua defek tersebut akan berakibat pada gangguan ovulasi,

dan keguguran pada kehamilan awal.6

B. Resistensi Insulin dan Apoptosis Blastokist

Insulin dan IGF-1 sangat penting dalam mempertahankan kehamilan karena

mereka menstimulasi uptake glukosa pada blastokist yang akan berimplantasi,

sehingga pertumbuhan blastokist tetap berlangsung. Efek ini dimediasi oleh

reseptor IGF-1 yang akan menyebabkan translokasi GLUT 8 (suatu transporter

glukosa di blastokist) ke membran sel.

5
Saat ini telah diketahui bahwa kadar insulin dan atau IGF-1 yang tinggi pada

blastokist yang akan berimplantasi akan mengurangi kinerja reseptor IGF-1

sehingga menyebabkan penurunan uptake glukosa dan gangguan pertumbuhan

sel. Gangguan uptake glukosa ini kemudian akan berakibat pada peningkatan

kejadian apoptosis dan kematian sel yang terprogram.6 Telah dilaporkan juga

bahwa kondisi hiperinsulinemia dan hiperglikemia dapat menginduksi ekspresi

“caspase”, suatu enzim yang menyerang sel blastokist dan memicu kaskade

kematian sel yang terprogram.6

Suatu transporter glukosa lainnya yang cukup penting adalah GLUT 4 yang

ditemukan pada sel epitel endometrium, terutama pada fase proliferasi. Insulin

yang berikatan pada reseptor GLUT 4 akan menginduksi translokasi GLUT 4 ke

permukaan sel endometrium, dan kemudian menfasilitasi uptake glukosa ke

dalam sel. Ternyata ekspresi GLUT 4 ini sangat berkurang pada kondisi

hiperinsulinemia dan obesitas.6

Sebagai kesimpulan, kadar insulin, glukosa, dan IGF-1 yang tinggi akan

menyebabkan gangguan pada fase embrionik dan bertanggung jawab terhadap

kejadian keguguran pada awal kehamilan.6

C. Resistensi Insulin dan Implantasi, peranan integrin αvβ3

Fungsi utama endometrium adalah mempersiapkan dan mempertahankan

kehamilan. Fungsi endometrium dalam proses implantasi dipengaruhi oleh

ovarium, endometrium dan embrio itu sendiri. Proses implantasi dimediasi oleh

beberapa molekul adhesi sel pada permukaan endometrium. Salah satu molekul

adhesi sel tersebut adalah integrin αvβ3 yang menfasilitasi adhesi embrio pada

permukaan apikal endometrium.

6
Hiperinsulinemia dapat menyebabkan peningkatan kadar androgen sehingga

terjadi penurunan ekspresi integrin αvβ3 yang kemudian mempengaruhi

kemampuan endometrium untuk menfasilitasi implantasi hasil konsepsi. 6

D. Peranan Gen HOXA10 dan Implantasi

Faktor lain yan memainkan peranan penting pada implantasi dan kelangsungan

kehamilan adalah gen yang disebut “home box genes” atau gen HOXA10.

Ekspresi gen ini yang adekuat membantu mempertahankan plastisitas

endometrium yang diperlukan pada proses diferensiasi endometrium di setiap

siklus haid. Ekspresi gen ini penting untuk mempertahankan kemampuan uterus

untuk menerima implantasi embrio. Estrogen dan progesteron menginduksi

ekspresi gen ini sementara testosteron menghambat. Pada penderita SOPK

ekspresi gen HOXA10 menurun secara signifikan. Tampaknya hiperinsulinemia

mempengaruhi endometrium secara tidak langsung melalui peningkatan kadar

androgen serum, yang kemudian berkontribusi pada penurunan kemampuan

uterus dalam menerima implantasi sehingga terjadi peningkatan kejadian

keguguran spontan.6

E. Peranan Glycodelin dan IGF-Binding Protein-1

Salah satu peranan resistensi insulin dalam menyebabkan keguguran pada

SOPK adalah pengaruh insulin dalam menurunkan kadar glycodelin dan IGF-

binding protein-1 (IGFBP-1), suatu protein yang disekresi oleh endometrium

yang penting untuk proses implantasi dan kelangsungan kehamilan.6, 15

Glycodelin adalah glikoprotein yang diproduksi oleh kelenjar endometrium pada

fase luteal. Glycodelin ini menfasilitasi implantasi melalui penghambatan respon

imun sel natural killer (NK) endometrium terhadap embrio. Sehingga glycodelin

sangat penting untuk melindungi embrio dari respon imun maternal pada saat

7
implantasi. Penelitian memperlihatkan bahwa wanita dengan infertilitas yang

tidak dapat dijelaskan (unexplained infertility), keguguran berulang, dan

hambatan maturasi endometrium mengalami penurunan kadar gylcodelin

endometrium yang signifikan pada fase luteal dibandingkan dengan wanita fertil

normal.

IGFBP-1, suatu protein endometrium, menfasilitasi proses adhesi pada

permukaan feto-maternal, mempertahankan aliran darah uteroplasenta, dan

dengan demikian memainkan peranan penting pada periode peri-implantasi.

Selama kehamilan IGFBP-1 diproduksi oleh stroma desidua. Diduga bahwa

protein ini bekerja lokal melalui aktivasi integrin α5β1, mempengaruhi invasi

trofoblast pada arteri spiralis terutama pada trimester pertama kehamilan. Hal ini

mengakibatkan remodelling arteri uteroplasenta (dilatasi, resistensi rendah, tidak

elastis, dan tanpa kontrol vasomotor maternal) sehingga terjadi peningkatan

aliran darah maternal dan perfusi uteroplasenta yang sangat dibutuhkan oleh

janin.6

Gambar 1

Kadar glycodelin dan IGFBP-1 menurun drastis pada wanita dengan SOPK

dibandingkan dengan wanita normal pada 3-5 minggu, 6-8 minggu, dan 9-11

minggu usia kehamilan.6

8
F. Resistensi Insulin dan Plasminogen Activator Inhibitor (PAI-Fx)

Pasquali (2003) dan Sangraula dkk (2009) menyatakan adanya kaitan antara

hypofibrinolytic plasminogen activator inhibitor (PAI-Fx) dan polimorfisme

hypofibrinolytic 4G4G dari gen PAI-1 dengan kejadian abortus spontan dan

berbagai komplikasi kehamilan. Peningkatan kadar PAI-Fx dan polimorfisme gen

PAI-1 lebih sering terjadi pada wanita dengan SOPK dibandingkan dengan

wanita tanpa SOPK. PAI-Fx menyebabkan insufisiensi plasenta melalui

penurunan proses lisis trombus di arteri spiralis. Diduga bahwa insulin

memainkan peranan penting dalam regulasi sistem ini. 15-17

Diagnosis Resistensi Insulin

Terminologi yang saat ini digunakan untuk menjelaskan resistensi insulin di berbagai

belahan dunia kadang membingungkan dan saling tumpang tindih. Istilah sindrom

metabolik seringkali dipertukarkan dengan resistensi insulin atau bahkan sindrom

resistensi insulin. Sebenarnya semua istilah ini merupakan konsep yang berbeda.

Resistensi insulin merupakan suatu respon subnormal terhadap kadar insulin dalam

tubuh. Hal ini bukan merupakan suatu penyakit tetapi lebih ke kondisi patofisiologi.

Sindrom resistensi insulin merupakan istilah yang menyatakan sekelompok

abnormalitas yang seringkali muncul pada kondisi resistensi insulin. Termasuk

dalam sindrom ini adalah diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskuler, hipertensi,

sindrom ovarium polikistik, perlemakan hati, beberapa bentuk keganasan dan sleep

apnea. Konsep yang terbaru saat ini adalah sindrom metabolik yang mencakup

resistensi insulin, intoleransi glukosa, hiperinsulinemia, peningkatan low density

lipoprotein (LDL) dan hipertensi. Akan tetapi dalam berbagai literatur, konsep ini

seringkali dikacaukan dan saling dipertukarkan. Resistensi insulin dianggap sebagai

9
masalah utama yang menimbulkan sindrom metabolik, dimana gejala-gejala yang

lain timbul sekunder akibat resistensi insulin.18

Pemeriksaan HbA1C cukup akurat dan murah, sehingga dapat dipertimbangkan

untuk menjadi suatu evaluasi rutin pada pasien dengan keguguran berulang. 3

Kriteria diagnosis resistensi insulin sebagaimana yang dikatakan Maryam dalam

penelitiannya pada tahun 2012 dan Craig (2002) sebagai berikut :2, 10

 Kadar insulin puasa ≥ 20 µu/ml dan/atau

 Rasio antara gula darah puasa dan insulin puasa kurang dari 4,5

Menurut Baziad (2011) rasio gula darah puasa dan insulin puasa kurang dari 10,1

dianggap sebagai resistensi insulin.1

Penatalaksanaan Keguguran Berulang

Wanita dengan keguguran berulang berada dalam situasi yang sangat kompleks,

dimana tatalaksana keguguran berulang seringkali memberi hasil yang tidak

memuaskan (sekitar 50% kasus) dan stress psikososial yang ditimbulkan terhadap

penderita terutama mengenai hasil luaran kehamilan.19

Berbagai pemeriksaan tambahan diperlukan guna mencari dan mengatasi penyebab

keguguran berulang, mencakup : pemeriksaan kromosom orang tua, evaluasi

anatomi uterus, profil hormonal ibu (TSH, Prolaktin dan glukosa), dan evaluasi

pembekuan darah ibu. Kebanyakan wanita dengan keguguran berulang mungkin

memiliki lebih dari 1 faktor resiko keguguran di atas.3 Sehingga sampai saat ini

penatalaksanaan keguguran berulang masih diperdebatkan. Berbagai rekomendasi

pengobatan misalnya penggunaan antikoagulan, preparat progesteron,

10
imunomodulator dan imunosupresan, serta suplementasi multivitamin masih

membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Beberapa data belakangan ini melaporkan dukungan psikologis berupa kasih

sayang (Tender Loving Care/ TLC) dapat mengurangi kejadian keguguran pada

wanita dengan keguguran berulang yang tidak dapat dijelaskan.3

Beberapa penelitian melaporkan manfaat pengobatan resistensi insulin dalam

mengatasi keguguran berulang. Jakubowicz (2002), Pasquali (2003), Palomba

(2006), Rai R (2006), dan Morin-Papunen (2008) misalnya, melaporkan perbaikan

yang cukup signifikan dalam penggunaan obat sensitiser insulin untuk mengurangi

risiko kejadian keguguran berulang.5, 6, 17, 20, 21

Clark (1998) dan Morikawa (2004) sebagaimana yang dikutip oleh Jauniaux (2006)

merekomendasikan bahwa penurunan berat badan pada wanita dengan keguguran

berulang dijadikan sebagai terapi pertama terutama pada wanita yang kelebihan

berat badan.3 Pasquali (2003) dan Jauniaux (2006) melaporkan pentingnya

modifikasi gaya hidup termasuk penurunan berat badan dan olahraga dalam

mengatasi resistensi insulin dalam kaitannya dengan kejadian keguguran berulang

disamping penggunaan obat insulin sensitiser.3, 17

Walaupun manfaat terapi endokrinologi dalam mengatasi keguguran berulang telah

banyak dilaporkan, banyak jenis terapi masih kontroversial. Hal ini disebabkan

karena seleksi pasien yang sangat bervariasi dan protokol pengobatan yang tidak

seragam.3 Pembahasan berikut ini akan berfokus pada penatalaksanaan resistensi

insulin sebagai salah satu pilihan terapi pada keguguran berulang.

11
Penatalaksanaan Resistensi Insulin

Berbagai strategi telah dibuat untuk mengatasi kelebihan berat badan dan resistensi

insulin sehingga dengan demikian dapat memperbaiki fertilitas wanita, terutama

wanita dengan obesitas. Terapi dititikberatkan pada usaha mengurangi berat badan

dahulu, baru kemudian dilanjutkan dengan terapi farmakologis. 17

A. Non farmakologis

Kenyataan yang tampak saat ini bahwa mayoritas orang mendapatkan resistensi

insulin sebagai akumulasi dari gaya hidup yang tidak sehat dalam jangka waktu

lama. Faktor-faktor yang dapat berkontribusi pada kejadian resistensi insulin

adalah diet, kebiasaan merokok, olahraga dan stress. Walaupun terdapat faktor

genetik yang mungkin juga berperanan pada kejadian resistensi insulin, tetapi

faktor-faktor yang sebelumnya merupakan faktor yang dapat di modifikasi. 11

Manajemen diet dan modifikasi gaya hidup yang sedenter merupakan lini

pertama untuk mengatasi resistensi insulin dan sindrom metabolik, sedangkan

terapi farmakologis ditempatkan di lini kedua apabila usaha menurunkan berat

badan dan modifikasi gaya hidup terbukti tidak berhasil. 22 Manajemen non

farmakologis biasanya dilaksanakan selama 2-4 minggu, apabila tidak berhasil

baru dilanjutkan dengan terapi farmakologis.13

1. Diet

Diet yang ideal untuk mengatasi resistensi insulin adalah diet yang

mengurangi berat badan, menurunkan kadar lemak, dan mempertahankan

jaringan otot sehingga dapat memperbaiki sensitivitas insulin. Data

epidemiologis menyatakan bahwa resistensi insulin dapat terjadi karena

peningkatan konsumsi lemak dan penurunan konsumsi serat.11 Jauniaux

(2006) menganjurkan pengurangan berat badan sebagai lini pertama

12
penatalaksaan infertil dan keguguran berulang pada wanita yang kelebihan

berat badan.3 Diet yang dianjurkan adalah diet dengan kadar asam lemak

omega-3 yang tinggi, banyak sayuran dan buah, serat (oat), kacang-

kacangan dan karbohidrat dengan indeks glikemik rendah. 18 Beberapa

peneliti menganjurkan diet rendah energi ala Mediteranean (Mediterranean

Style), tinggi serat, biji-bijian (grain), tinggi protein dan rendah karbohidrat

untuk menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin.11, 22

2. Kebiasaan merokok

Penelitian belakangan ini menemukan bahwa kebiasaan merokok dalam

jangka waktu lama dapat menimbulkan resistensi insulin, hiperinsulinemia dan

dislipidemia.11 Dengan mengurangi merokok atau bahkan berhenti merokok

akan memperbaiki sensitivitas insulin di perifer.11

3. Olahraga

Olahraga merupakan pola hidup yang paling penting dalam mencegah dan

mengobati resistensi insulin. Kelley dan Goodpaster (2000) menyimpulkan

bahwa aktivitas fisik dapat mengurangi resistensi insulin dan memperbaiki

intoleransi glukosa terutama pada individu dengan obesitas. 11 Aktivitas fisik

dapat membantu perubahan dalam konsumsi energi tubuh, perubahan

komposisi tubuh, dan meningkatkan pembakaran lemak tubuh. Olahraga

teratur dapat membantu mengurangi tumpukan lemak di abdomen dan dapat

mengembalikan kehilangan massa otot sehingga dapat memperbaiki

sensitivitas insulin di otot dan jaringan lemak.11 Perkeni (2011) menganjurkan

kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali

seminggu selama kurang lebih 30 menit). Kegiatan sehari-hari seperti berjalan

kaki ke pasar, menggunakan tangga, berkebun harus tetap dilakukan. Latihan

13
jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti

jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Hindarkan kebiasaan

hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan.13

4. Stress

Peranan stress dalam kejadian resistensi insulin masih belum jelas.

Tampaknya stress dan respon fisiologis terhadap stress mempengaruhi

usaha tubuh untuk memperbaiki sensitivitas insulin. Beberapa peneliti

menyatakan bahwa hormon stress yakni kortisol memainkan peranan dalam

kejadian resistensi insulin karena hormon ini menghambat kerja insulin. 11

B. Farmakologis

Belakangan ini, penggunaan obat-obat sensitiser insulin memperlihatkan hasil

yang baik dalam menurunkan konsentrasi androgen, memperbaiki ovulasi,

konsepsi dan mengurangi angka kejadian keguguran pada wanita. 16 Beberapa

penelitian menggunakan metformin (biguanide) dan thiazolidinedion.17

1. Metformin

Metformin merupakan obat yang paling banyak digunakan dalam dekade

terakhir ini dan merupakan obat pilihan pertama untuk mengatasi resistensi

insulin.17, 22-24 Hampir semua penelitian melaporkan efektivitas obat ini dalam

mengatasi hiperinsulinemia, memperbaiki hiperandrogenisme terutama pada

wanita dengan SOPK (salah satu penyebab keguguran berulang adalah

SOPK). Dimana pada SOPK, kejadian keguguran 3 kali lebih tinggi

dibandingkan dengan populasi normal.17, 24

Pada suatu penelitan terhadap wanita obesitas dengan SOPK ditemukan

bahwa metformin (850mg, 2 kali sehari) memiliki efek yang signifikan dan

sinergistik dengan diet rendah kalori terhadap perbaikan fungsi metabolisme

14
dan endokrin dan terutama terhadap gangguan menstruasi.17, 22, 24 Palomba

(2006) dalam penelitiannya tentang penggunaan metformin dalam terapi

keguguran berulang pada pasien dengan SOPK mendapatkan bahwa obat ini

efektif mengatasi resistensi insulin untuk mengatasi keguguran berulang pada

penderita SOPK.21 Glueck et al (2001) sebagaimana dikutip oleh Morin-

Papunen melaporkan bahwa metformin dapat mengurangi risiko keguguran

pada wanita SOPK dari 62% menjadi 26% (p<0,0001).20

Jakubowicz dkk meneliti tentang efek metformin terhadap kadar glycodelin

dan IGFBP-1 serum. Dimana terjadi peningkatan kadar glycodelin dan

IGFBP-1 sebanyak 3 kali lipat. Peningkatan kadar glycodelin dan IGFBP-1 ini

akan mengurangi risiko kejadian keguguran.6

Gambar 2

Efek metformin terhadap peningkatan kadar glycodelin serum (p<0,001) dan

IGFBP-1 serum (p<0,001) dibandingkan dengan plasebo.6

Pasquali (2003) dan Sangraula dkk (2009) menyatakan bahwa penurunan

kadar insulin oleh metformin dapat mengurangi PAI-Fx dan dengan demikian

dapat mengurangi kejadian keguguran pada wanita dengan SOPK. 16, 17

15
Jakubowicz dkk dalam penelitiannya tentang pengaruh metformin terhadap

keguguran pada SOPK mendapatkan hasil yang cukup signifikan. Pada 65

orang wanita yang kemudian menjadi hamil setelah diberikan metformin, 6

(8,8%) berakhir dengan keguguran. Sementara pada kelompok kontrol, yakni

31 wanita SOPK yang tidak diberikan metformin yang kemudian menjadi

hamil, 13 (41,9%) berakhir dengan keguguran.6

Effect Of Metformin On Early


Pregnancy Loss In PCOS
50

40

30
20 P<0.001 Early pregnancy Loss Rate %
10
0

Control (N=31)
Metformin
(N=65)

Gambar 3

Grafik yang menunjukkan efek metformin terhadap keguguran pada wanita

dengan SOPK.6

Metformin diklasifikasikan sebagai kategori B dalam kehamilan (tidak

ditemukan risiko teratogenik berdasarkan pada data penelitian terhadap

hewan).22 Beberapa penelitian melaporkan obat ini aman digunakan selama

kehamilan untuk mengatasi keguguran spontan, diabetes gestasional, tidak

teratogenik, dan tidak mempengaruhi hasil luaran bayi baik berat lahir,

panjang lahir, maupun perkembangan motorik dan sosial bayi pada usia 3

dan 6 bulan.22

16
Ketertarikan terhadap fungsi terapeutik metformin dimulai ketika

ditemukannya efek obat ini pada beberapa jaringan yang dipengaruhi oleh

resistensi insulin atau hiperinsulinemia. Walaupun hepar merupakan target

organ utama, obat ini juga bekerja pada otot skelet, jaringan lemak, endotel,

dan ovarium.23

Gambar 4

Kerja metformin di hepar. Metformin memiliki efek langsung terhadap kadar

glukosa hepar dan metabolisme lemak. Metformin menekan glukoneogenesis

melalui aktivasi enzim AMPK (5-AMP-activated protein kinase) yang

kemudian meningkatkan uptake glukosa dan glikolisis melalui aktivasi

hexokinase dan piruvat kinase. Metformin juga menekan enzim lipogenik dan

aktivitas ACC (acetyl CoA carboxylase) yang menyebabkan penurunan

lipogenesis dan peningkatan oksidasi asam lemak. Sehingga secara

keseluruhan, kerja metformin di hepar adalah menurunkan gula darah puasa

dan kadar trigliserida, serta menurunkan kadar lemak hepar.23

17
Gambar 5

Kerja metformin pada otot skelet. Metformin meningkatkan uptake glukosa

baik basal maupun yang distimulasi oleh insulin. Uptake glukosa basal

dimediasi oleh aktivasi AMPK yang kemudian diikuti oleh aktivasi PKC

(protein kinase C) dan aktivasi GLUT-4 (glucose transporter-4). Hal ini akan

menghambat lipogenesis dan meningkatkan oksidasi asam lemak di otot

skelet. Uptake glukosa yang distimulasi oleh insulin mencakup aktivasi

signaling insulin dan penghambatan efek glukotoksisitas, lipotoksisitas dan

inflamasi. Secara keseluruhan, metformin akan menurunkan resistensi insulin

sistemik dan menurunkan kadar glukosa postprandial.23

18
Gambar 6

Kerja metformin pada jaringan lemak. Metformin menghambat proses lipolisis

pada jaringan lemak melalui inhibisi fosforilasi ERK1/2. Melalui stimulasi

AMPK, metformin meningkatkan oksidasi asam lemak dan menghambat

lipogenesis di jaringan lemak subkutan. Efek antiadipogenik ini memainkan

peranan penting pada pengurangan massa lemak. Sifat antilipolitik metformin

berkontribusi terhadap perbaikan sensitivitas insulin melalui penurunan kadar

asam lemak bebas (FFA), selain itu penurunan glukotoksisitas dan

lipotoksisitas oleh metformin dapat pula memperbaiki sensitivitas insulin di

jaringan lemak. Aktivitas AMPK juga dapat meningkatkan uptake glukosa oleh

jaringan lemak di saluran pencernaan.23

19
Gambar 7

Kerja metformin pada ovarium. Metformin dapat menghambat efek kelebihan

insulin terhadap steroidogenesis dan pertumbuhan folikel. Di sel teka,

metformin menghambat CYP17 (17,20 lyase/17-hydroxylase) baik secara

langsung maupun tidak langsung melalui reduksi kadar insulin yang kemudian

menghambat aktivitas PI3K (phosphatidylinositol-3 kinase) yang diinduksi

oleh insulin. Melalui penurunan kadar insulin, metformin menghambat

ekspresi reseptor LH dan juga menghambat aktivitas StAR (StAR protein),

HSD3-b (3b hydroxysteroid dehydrogenase) dan CYP11A1 (P450 side-chain

cleavage (P450scc)) di sel granulosa. Metformin juga meningkatkan

mekanisme perlindungan antioksidan terhadap jaringan ovarium. Semua

mekanisme ini berkontribusi terhadap penghambatan over produksi hormon

seks steroid dan luteinisasi prematur (karena ekspresi reseptor LH prematur)

yang akhirnya menurunkan kelebihan androgen dan memperbaiki ovulasi. 23

Metformin sebaiknya mulai diberikan dengan dosis 500 mg sekali sehari pada

saat makan, kemudian dapat dinaikkan 500 mg setiap minggu jika diperlukan.

Dosis maksimal adalah 2500 – 2550 mg per hari terbagi dalam 3 dosis pada
20
saat makan.23 Pada beberapa literatur dikatakan bahwa dosis efektif

metformin bagi wanita dengan resistensi insulin dan keguguran berulang

adalah 1000 – 2550 mg per hari.22

Saat ini metformin dianggap terbukti aman, efektif dan bebas efek teratogenik

untuk digunakan dalam kehamilan dan menyusui.17, 22 Pada wanita yang telah

mendapat terapi dengan metformin dan kemudian menjadi hamil, maka

metformin harus tetap dilanjutkan selama kehamilan untuk mencegah risiko

keguguran pada trimester pertama dan untuk mencegah terjadinya diabetes

gestasional.22

Efek samping metformin yang paling sering adalah gangguan gastrointestinal,

misalnya diare, mual, kembung, nyeri perut, flatus, dispepsia, metallic taste

dan anoreksia. Efek ini muncul pada 10-50% pasien dan akan hilang sendiri

setelah beberapa hari sampai beberapa minggu sejak terapi dimulai. Efek ini

dapat dikurangi dengan memulai terapi dengan dosis rendah yang kemudian

dinaikkan perlahan atau meminum obat pada saat makan.23

2. Thiazolidinedion

Seperti halnya metformin, golongan thiazolidinedion (troglitazone,

rosiglitazone, dan pioglitazone) memiliki efek memperbaiki sensitivitas insulin,

menurunkan kadar testosteron, meningkatkan ovulasi spontan dan

memperbaiki konsepsi pada wanita terutama penderita SOPK.17, 22 Golongan

thiazolidinedion merupakan agonis PPAR-ϫ yakni bersifat mengaktivasi

PPAR-ϫ (peroxisome proliferator activated receptor gamma) di inti sel. PPAR-

ϫ terdapat dalam jumlah besar di jaringan lemak, dimana fungsi PPAR-ϫ ini

adalah memediasi diferensiasi jaringan lemak. Diduga bahwa agonis PPAR-ϫ

dapat memperbaiki kerja insulin di jaringan otot melalui pemecahan lipid dari

21
jaringan adiposa (jaringan lemak) sehingga mengurangi akumulasi lipid di

jaringan otot dan dengan demikian memperbaiki sensitivitas insulin di otot. 22

Golongan obat ini termasuk dalam kategori C untuk kehamilan. Akan tetapi,

beberapa penelitian terakhir tentang troglitazone melaporkan adanya efek

samping yang cukup berat pada pemakaian obat ini, mencakup malaise,

gangguan fungsi hati, dan mual muntah. Oleh karena efek samping ini, maka

FDA (Food and Drug Administration) merekomendasikan pemeriksaan fungsi

hati secara berkala pada pemakai troglitazone, dan akhirnya obat ini ditarik

dari pasaran pada tahun 2000.22 Sampai saat ini belum ada data yang akurat

mengenai penggunaan rosiglitazone dan pioglitazone. Beberapa penelitian

pada hewan percobaan melaporkan terjadinya gangguan pertumbuhan janin

pada penggunaan rosiglitazone dan pioglitazone selama kehamilan. Sehingga

penggunaan obat-obat ini belum direkomendasikan sampai terbukti aman dan

efektif pada manusia.17

Take home messages :

1. Resistensi insulin memainkan peranan kompleks dalam patomekanisme

kejadian keguguran berulang

2. Salah satu terapi untuk keguguran berulang adalah mengatasi resistensi

insulin

3. Mengatasi resistensi insulin dimulai dengan mengubah pola hidup dan pola

makan

4. Obat pilihan untuk resistensi insulin adalah metformin

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Baziad A, Sumapraja K, Santoso B. Panduan Tatalaksana Keguguran Berulang. HIFERI-


POGI 2011.
2. Maryam K, Bouzari Z, Basirat Z, Kashifard M, Zadeh MZ. The comparison of insulin
resistance frequency in patients with recurrent early pregnancy loss to normal
individuals. BioMed Central Ltd; Infertility and Reproductive Health research center,
Babol University of Medical Science, Babol, Iran 2012;5 No 133.
3. Jauniaux E, G.Farquharson R, B.Christiansen O, Exalto N. Evidence-based guidelines
for the investigation and medical treatment of recurrent miscarriage. Human
Reproduction 2006;21(9).
4. Saito S. The Causes and Treatment of Recurrent Pregnancy Loss. journal of Japan
Medical Association 2009;52 No 2.
5. Rai R, Regan L. Recurrent Miscarriage. The Lancet London 2006;368.
6. Jakubowicz D, Sharma ST, editors. Insulin Resistance and Early Pregnancy Loss in
Polycystic Ovary Syndrome. Totowa: Humana Press Inc.
7. Kiwi R. Recurrent pregnancy loss: Evaluation and discussion of the causes and their
management. Cleveland Clinic Journal of Medicine 2006;73 No 10(Medical Problems
In Pregnancy).
8. Ang C, Howe D, Lumsden M, editors. Diabetes. USA: Elsevier Saunders; 2006.
9. Rebar RW. Recurrent Pregnancy Loss Linked with Insulin Resistance. Journal Watch
General Medicine October 2002.
10. Craig LB, Ke RW, Kutteh WH. Increased prevalence of insulin resistance in women
with a history of recurrent pregnancy loss. Fertil Steril September 2002;78(3):487-
490.
11. Kelly GS. Insulin Resistance: Lifestyle and Nutritional Interventions. Alternative
Medicine Review 2000;5 No 2.
12. Bray GA, Hamman RF. Insulin Resistance And Prediabetes. National Diabetes
Information Clearinghouse, National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney
Diseases 2008;09–4893.
13. PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di
Indonesia. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia 2011.

23
14. Barbour LA, Mccurdy CE, Hernandez TL, Kirwan JP, Catalano PM, Friedman JE.
Cellular Mechanisms for Insulin Resistance in Normal Pregnancy and Gestational
Diabetes. The American Diabetes Association 2007.
15. Essah PA, Cheang KI, Nestler JE. The Pathophysiology of Miscarriage in Women with
Polycystic Ovary Syndrome. Review and Proposed Hypothesis of Mechanisms
Involved. Hormones 2004;3(4):221-227.
16. Sangraula H, Paudel K, Sharma M. Metformin and Troglitazone in The Treatment of
Female Infertility Associated with Polycystic Ovarian Syndrome. Journal of Nepal
Medical Association 2009;48(176).
17. Pasquali R, Pelusi C, Genghini S, Cacciari M, Gambineri A. Obesity and reproductive
disorders in women. Human Reproduction Update 2003;9 No 4.
18. Barth RJ. Insulin Resistance, Obesity and the Metabolic Syndrome. Obesity in South
Dakota: an Expanding Epidemic 2011.
19. Bashiri A, Gete S, Mazor M, Gete M. Recurrent pregnancy loss--evaluation and
treatment. PubMed 2011;150(11).
20. Morin-Papunen L. Metformin in early pregnancy and abortions. Dept. of Obstetrics
and Gynecology University Hospital of Oulu, Finland 2008.
21. Palomba S, Falbo A, Jr FO, Russo T, Tolino A, Zullo F. Metformin hydrochloride and
recurrent miscarriage in a woman with polycystic ovary syndrome. Fertil-Steril.
PubMed 2006;85(5).
22. M.A.Checa, A.Requena, C.Salvador, R.Tur, J.Callejo, J.J.Espino´s, et al. Insulin-
sensitizing agents: use in pregnancy and as therapy in polycystic ovary syndrome.
Human Reproduction Update 2005;11 No 4.
23. Diamanti-Kandarakis E, Christakou CD, Kandaraki E, Economou FN. Metformin: an
old medication of new fashion: evolving new molecular mechanisms and clinical
implications in polycystic ovary syndrome. European Journal of Endocrinology
2010;162.
24. Jakubowicz DJ, Iuorno MJ, Jakubowicz S, Roberts kA, Nestler JE. Effects of Metformin
on Early Pregnancy Loss in the Polycystic Ovary Syndrome. The Journal of
Endocrinology & Metabolism 2002;87(2).

24

Anda mungkin juga menyukai