Anda di halaman 1dari 9

Pembuatan Abon Sapi Dengan Penambahan Kandungan

Serat Pangan Pada Jamur

Diva julia Fahrisa1 , Gea Azoya A1 , Jeni Manullang1 , Kevin Muhamad1 , Saara Hafidhah H1 ,
Salsabila Fitria Khansa1
1
Program Studi Pendidikan Teknologi Agroindustri Fakultas Pendidikan Teknologi dan Kejuruan

Universitas Pendidikan Indonesia

Salsabilafk@student.upi,edu

Abstrak

Abon sapi adalah salah satu bahan makanan yang terbuat dari serat daging sapi yang
dikeringkan. Penampilannya biasanya berwarna coklat terang hingga kehitaman. Abon tampak seperti
serat-serat kapas karena didominasi oleh serat-serat otot yang disuir-suir dan dikeringkan. Karena
proses pengeringan tersebut, abon sapi awet disimpan dalam jangka waktu yang lama. Jamur belum
dimanfaatkan secara maksimal sebagai makanan tambahan, dengan demikian peneliti mencoba
melakukan diversifikasi dan fortifikasi dengan abon sapi. Selain itu penambahan jamur dapat
meningkatkan kandungan nutrisi dan serat pada abon sapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh jumlah jamur yang merupakan varian dari abon sapi terhadap uji hedonik yaitu warna,
tekstur, rasa, aroma, dan filler. Selain itu supaya mahasiswa mampu mengidentifikasi kualitas daging
melalui pengamatan fisik terhadap warna, flavor, keempukan dan WHC (Water Holding Capacity).
Dan untuk mengetahui prosedur pengolahan abon sapi serta tahapan penting yang memerlukan
pengendalian untuk memperoleh produk berkualiatas.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang terdiri dari dua faktor yaitu abon sapi
dengan berat jamur 20% dari berat bahan pokok untuk kelompok ganjil dan abon sapi dengan berat
jamur 30% dari berat bahan pokok untuk kelompok genap. Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah metode angket untuk uji hedonik dengan jumlah panelis 6 orang setiap kelompok.

Hasil penelitian menunjukkan 1) jumlah penambahan jamur pada abon sapi berpengaruh nyata
terhadap warna, tekstur dan aroma. 2) jumlah penambahan jamur pada abon sapi tidak berpengaruh
nyata terhadap rasa. 3) Hasil perhitungan rendemen dari abon sapi dengan penambahan konsentrasi
jamur 20% adalah 25,65% dan hasil perhitungan rendemen dari abon sapi dengan penambahan
konsentrasi jamur 30% adalah 18,25%.

Kata kunci : Abon sapi, jamur, uji hedonik, rendemen


1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi kebutuhan gizi. Selain mutu
proteinnya yang tinggi, daging mengandung asam amino esensial yang lengkap dan seimbang
serta beberapa jenis mineral dan vitamin. Daging merupakan protein hewani yang lebih mudah
dicerna dibanding dengan protein nabati. Bagian yang terpenting yang menjadi acuan
konsumen dalam pemilihan daging adalah sifat fisik. Sifat fisik dalam hal ini antara lain warna,
keempukan, tekstur, kekenyalan dan kebasahan (Komariah et al, 2009).

Abon merupakan salah satu proses pengolahan daging yang melibatkan banyak proses, antara
lain perebusan daging, penyayatan, pembumbuan, penggorengan, dan pengepresan. Proses
pembuatan abon ini sudah lama dikenal oleh masyarakat karena dalam proses pembuatannya
dapat dibuat dengan cara yang tradisional. Pembuatan abon secara tradisional ini adalah
dengan menggunakan garpu untuk menyayat daging menjadi ukuran-ukuran yang lebih kecil
dan seragam.

Dalam SNI 01-3707-1995, abon adalah suatu jenis makanan kering berbentuk khas, dibuat dari
daging, disayat-sayat, dibumbui, digoreng, dan di press. Sedangkan menurut Direktorat
Evaluasi dan Standardisasi, Departemen Perindustrian (1980), yang dimaksud dengan abon
adalah hasil olahan yang berbentuk gumpalan serat daging yang halus dan kering yang dibuat
melalui proses penggorengan dan penambahan bumbu-bumbu.

Winarno et al. (1982) menyatakan bahwa “pembuatan abon merupakan salah satu cara
pengeringan dalam pengolahan bahan pangan yang bertujuan untuk memperpanjang masa
simpan, memperkecil volume dan berat bahan, sehingga dapat mengurangi biaya pengangkutan
dan pengepakan.”

Abon yang baik harus terbuat dari bahan yang baik pula mutunya, terutama bahan bakunya
yaitu daging. Daging harus baru dan segar, sebaiknya dipilih bagian daging yang berserat
panjang tebal dan tidak berurat (Soeparno, 1994). Menurut Teguh (1995), ciri-ciri daging yang
baik mempunyai penampakan yang mengkilap, berwarna merah dan tidak pucat, tidak berbau
asam atau busuk, keadaan masih elastis dan tidak kaku, jika dipegang masih terasa
kebasahannya namun tidak lengket ditangan, tidak mengandung jaringan ikat dan lemak.
Bagian penutup, paha depan, paha atas, dan paha belakang dari seekor sapi cocok digunakan
untuk pembuatan abon.

1.2 Tujuan

Praktikum ini dilakukan di Laboratorium TPHP dan Laboratorium Pengawasan Mutu


Pendidikan Teknologi Agroindustri Universitas Pendidikan Indonesia dengan tujuan agar
mahasiswa mampu mengidentifikasi kualitas daging melalui pengamatan fisik seperti warna,
keempukan dan WHC (daya menahan air), serta dapat mengetahui prosedur pengolahan abon
sapi dan tahapan penting yang memerlukan pengendalian untuk memperoleh produk
berkualitas.
2. Metode

2.1 Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam pengujiam kualitas daging adalah 6 g daging sapi
segar yang didapatkan dari pasar tradisional, kompor, kasa kawat, sentrifuse, beaker glass,
thermometer bimetal, incubator 0oC, gelas ukur 10 ml, tabung sentrifuse 50 ml, timbangan, kertas
nm, pH meter dan larutan buffer (pH 4 dan pH 7). Alat dan bahan yang digunakan dalam
pengolahan abon sapi adalah pisau, talenan, baskom, kompor, wajan, 100 gdaging sapi segar
yang didapatkan dari pasar tradisional, 10 ml santan, 27 g jamur , 3 g garam, 2,5 g gula halus , 1
g merica bubuk dan minyak goreng secukupnya.

2.2 Tempat dan Waktu

Praktikum dilakukan di lab TPHP Pendidikan Teknologi Agroindustri, Fakultas Teknologi


dan Kejuruan, Universitas Pendidikan Indonesia. Praktikum pembuatan bakso ini diakukan pada
hari selasa, 20 Februari 2018 dari pukul 07.00 hingga pukul 12.00 WIB.

2.3 Prosedur

Pembuatan abon sapi ini dilakukan pada hari selasa tanggal 20 Februari 2018 pukul 07.00 di
Laboratorium TPHP Agroindustri UPI. Proses pertama yang dilakukan adalah penimbangan.
Penimbangan 100 gram daging sapi segar dengan mutu baik dicuci bersih. Lalu pemotongan
daging sapi tersebut hingga beberapa bagian dan selama 20 menit pemasakan daging dengan air
mendidih hingga warnanya berubah dan teksturnya empuk, tiriskan lalu catat beratnya. Kemudian
tumbuk daging hingga pipih lalu suir-suir menjadi bagian yang tipis. Selanjutnya pemasakan
santan ke wajan sambil diaduk, masukan campuran bumbu tambahan seperti garam 4%, gula
halus 2,5%, merica 1% dan terakhir masukan suiran daging hingga semua tercampur rata.
Pengadukan campuran adonan hingga serat-serat daging tidak menggumpal, masukan minyak
goreng sedikit hingga abon menjadi kering. Lalu pengamatan sifat sensori dari abon tersebut dan
catat rendemennya.
2.3.1 Diagram Proses

Pencucian
Daging Penimbangan 100 gram
sapi

Pemotongan menjadi beberapa bagian

Catat beratnya

Air Perebusan daging hingga warna dan


Mendidih tekstur berubah

Tumbuk daging hingga pipih kemudiah


suir menjadi bagian kecil

Aduk hingga
homogen dan tidak
Masukan santan ke dalam wajan panas dan menggumpal
Daging
campurkan bumbu tambahan
suir

Minyak Goreng abon hingga menjadi kering


goreng

Pengamatan sifat sensori abon dan


mencatat rendemen
3. Hasil Pengamatan dan Pembahasan

Dalam pengolahan daging sapi menjadi abon metode yang digunakan adalah metode
seperti penyiangan, pengukusan, pemberian bumbu, dan penggorengan. Sebelum
membuat abon, daging diperiksa kualitasnya terlabih dahulu dengan memperhatikan pH ,
WHC (Water Holding Capacity), susut masak, dan pengamatan subjektif. Total rata-rata
pH daging yang digunakan untuk membuat abon ialah ±6 dan rata-rata nilai WHC (Water
Holding Capacity) ialah ±5. Menurut Aberle et al., (2001) laju penurunan pH daging
secara umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu :

1. Nilai pH menurun secara bertahap dari 7,0 sampai berkisar 5,6-5,7 dalam waktu 6-
8 jam setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5,3-5,7. Pola
penurunan pH ini ialah normal.
2. Nilai pH menurun sedikit sekali pada jam-jam pertama setelah pemotongan dan
tetap sampai mencapai pH akhir sekitar 6,5-6,8. Sifat daging yang
dihasilkan ialah gelap, keras dan kering atau dark firm dry (DFD).
3. Nilai pH turun relatif cepat sampai berkisar 5,4-5,5 pada jam-jam pertama
setelah pemotongan dan mencapai pH akhir sekitar 5,4-5,6. Sifat daging
yang dihasilkan ialah pucat, lembek, dan berair atau disebut pale soft exudatif
(PSE).
Dibawah ini adalah tabel hasil uji hedonik dan uji WHC

Uji Hedonik Abon

Kel Warna Tekstur Aroma Rasa Filler (%)


1 3 3 4 2 20%
2 3,16 4 3,5 3,3 30%
3 4 4,3 3,5 4,4 20%
4 3,16 2,67 3 2,83 30%
5 3,5 3,17 3,83 2,7 20%
6 1,7 2,7 2,3 2,7 30%
7 3,33 3,33 3,16 4,83 20%
8 3,6 3,5 3,5 2,5 30%

Uji WHC
Kel WHC (%) pH Rendemen (%)
Bakso Abon
1 4,6 mL 7,58 95,28% 32,09%
2 5,2 mL 6,51 108,3% 26,38%
3 6 mL 6,5 91,82% 32,84%
4 5 mL 6,3 114,97% 40,65%
5 6,25 mL 6,35 105% 25,65%
6 6 mL 5,85 118,125% 18,25%
7 8 mL 8,07 112,02% 41,7%
8 2,9 mL 6,75 103,43% 40,94%

Menurut pendapat Kramlich (1973) bahwa faktor yang menyebabkan tinggi nilai
WHC adalah kandungan air, protein, dan penggunaan garam. Meningkatnya penggunaan
daging diduga menyebabkan peningkatan kandungan protein yang selanjutnya semakin
banyak air yang terikat dan nilai WHC meningkat.

Susut masak dipengaruhi oleh temperatur dan lama pemasakan. Semakin tinggi
temperatur pemasakan maka semakin besar kadar cairan daging yang hilang sampai
mencapai tingkat yang konstan.

Susut masak dapat dipengaruhi oleh pH, panjang sarkomer serabut otot,
panjang potongan serabut otot, status kontraksi miofibril, ukuran dan berat
sampel daging serta penampang lintang daging (Soeparno, 2005). Penelitian
sunarlim (1992), menjelaskan jika susut masak rendah maka mempunyai kualitas yang
relatif lebih baik daripada susut masak yang lebih besar, karena kehilangan nutrisi selama
pemasakan. Sedangkan pada pengamatan subjektif, daging segar adalah daging yang baru
disembelih tanpa perlakuan apapun (SNI, 1999). Ciri-ciri daging segar yang baik
(LIPTAN, 2001) antara lain : (1) warna merah cerah dan mengkilat, daging yang mulai
rusak berwarna coklat kehijauan, kuning dan akhirnya tidak berwarna. (2) bau khas
daging segar tidak masam/busuk. (3) tekstur kenyal, padat dan tidak kaku, bila ditekan
dengan tangan maka bekas pijatan cepat kembali ke posisi semula. (4) penampakaannya
tidak berlendir, tidak terasa lengket ditangan dan terasa kebasahannya.

Pengolahan daging menjadi abon menggunakan dua jenis perlakuan yaitu


penambahan jamur tiram sebanyak 27% (P1) dan 30% (P2). Pada saat perebusan daging
dengan berat awal 100 gram menurun menjadi 61,2 gram sedangkan jamur dengan berat
awal 20 gram menjadi 16,2 gram. Warna daging yang merah berubah menjadi pucat
setelah melalui proses perebusan dan setelah dan sebelum direbus dipengaruhi oleh Jenis
kemasan, serta suhu dan lama waktu penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh terjadinya
perubahan kondisi oksidasi mioglobin yang menyebabkan perubahan warna daging.
Pemasakan daging pada suhu diatas 80oC menyebabkan pigmen terdenaturasi dan warna
daging berubah menjadi coklat keabuan yang merupakan warna khas daging segar yang
dimasak. . Keempukan merupakan salah satu indikator dan faktor utama
pertimbangan bagi konsumen dalam memilih daging yang berkualitas baik (Bredahl dan
Poulsen, 2002). Pemasakan dapat meningkatkan atau menurunkan keempukan daging,
tergantung pada suhu dan waktu pemasakan. Suhu pemasakan akan mempengaruhi
kealotan protein miofibrilar sementara lama waktu pemasakan akan mempengaruhi
proses pelunakan kolagen (protein didalam jaringan ikat). Selama pemasakan, denaturasi
dan pengkerutan protein miofibrilar yang terjadi pada suhu 40 – 45oC dan terus
meningkat pada suhu 60oC menyebabkan kekerasan daging meningkat. Sebaliknya,
protein kolagen yang ada didalam jaringan ikat akan mengalami pemecahan menjadi
gelatin dan meningkatkan keempukan daging pada pemasakan diatas suhu 65oC. Oleh
karena itu, untuk memperoleh daging yang empuk, perhatikan karakteristik daging yang
akan dimasak. Aberle et al., (2001) menambahkan bahwa komponen utama yang
mempengaruhi keempukan adalah kelompok jaringan ikat, kelompok serat daging, dan
kelompok lemak yang berhubungan dengan otot.

Hasil rendemen pada sampel P1 yaitu 25,65% sedangkan sampel P2 ialah 18,25%.
Perbedaan rendemen yang didapatkan dipengaruhi oleh jumlah jamur tiram yang
ditambahkan pada saat pengolahan. Dari hasil uji hedonik pada sampel abon filler 30%
dana bon filler 27%, tampak bahwa rasa yang dihasilkan sama namun warna, tekstur dan
aroma yang didapat dari abon filler 27% lebih baik daripada abon filler 30%. Warna abon
dipengaruhi oleh jumlah penggunaan gula dan lama penggorengan. Umumnya abon yang
baik akan dicirikan dengan warna coklat kekuningan, sehingga abon yang berwarna
selain itu kurang disukai. Rasa abon yang paling disukai adalah rasa manis yang terjadi
akibat adanya gula pada proses pengolahannya. Karna bumbu yang digunakan dalam
jumlah takaran yang sama, maka berdasarkan uji hedonik tidak terlalu berbeda nyata
hasilnya. Penggunaan rempah-rempah dalam pembuatan abon dapat meningkatkan
citarasa dari abon yang dibuat. Tekstur abon akan terasa kasar dan hal tersebut disukai,
sedangkan aroma yang dikeluarkan dari kedua sampel abon mempunyai ciri khas aroma
abon yang dihasilkan dari campuran bahan pengolahannya.

4. Kesimpulan
1. Daging diperiksa kualitasnya dengan memperhatikan pH, WHC (Water Holding

Capacity), susut masak, dan pengamatan subjektif. Total rata-rata pH daging yang

digunakan untuk membuat abon ialah ±6 dan rata-rata nilai WHC (Water Holding

Capacity) ialah ±5.

2. Kualitas daging yang digunakan (LIPTAN, 2001) antara lain: (1) warna merah cerah dan

mengkilat, daging yang mulai rusak berwarna coklat kehijauan, kuning dan akhirnya

tidak berwarna. (2) bau khas daging segar tidak masam/busuk. (3) tekstur kenyal, padat

dan tidak kaku, bila ditekan dengan tangan maka bekas pijatan cepat kembali ke posisi

semula. (4) penampakaannya tidak berlendir, tidak terasa lengket ditangan dan terasa

kebasahannya.

3. Pengolahan daging sapi menjadi abon metode yang digunakan adalah metode seperti

penyiangan, pengukusan, pemberian bumbu, dan penggorengan.

4. Dari hasil uji hedonik pada sampel abon filler 30% dan abon filler 27%, tampak bahwa

rasa yang dihasilkan sama namun warna, tekstur dan aroma yang didapat dari abon filler

27% lebih baik daripada abon filler 30%. Karakteristik abon yang disukai yaitu warna

coklat kekuningan, rasa manis, sedangkan bumbu yang digunakan dalam jumlah takaran

yang sama, berdasarkan uji hedonik tidak terlalu berbeda nyata hasilnya. Penggunaan

rempah-rempah dapat meningkatkan citarasa, tekstur abon akan terasa kasar, sedangkan

aroma yang dikeluarkan dari kedua sampel abon mempunyai ciri khas aroma abon.

References

Aberle, E.D., J.C. Forrest, H.B. Hendrick, M.D. Judge and R.A. Merkel. 2001.
Principles of Meat Science. W.H. Freeman and Co., San Fransisco.

Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Cetakan Keempat. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Bredahl, L. and C. S. Poulsen. 2002. Perception of pork and modern pig breeding
among Danish consumers. Project Paper No. 01/02. ISSN 09072101. The
Aarhus School of Business (MAPP). New York.

Kramlich, W. E., A. M. Pearson dan F. W. Tauber. 1973. Processed Meat. The AVI
Publishing, Connecticut.

Sunarlim, R. 1992. Karakteristik Mutu Bakso Daging Sapid an Pengaruh Penambahan


Natrium Klorida dan Natrium Tripolifosfat Terhadap Perbaikan Mutu. Disertasi.
Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

LIPTAN, 2001. Pemilihan dan Penanganan Daging Segar. Lembar Informasi Pertanian. BPTP
Padang Marpoyan-Riau.

Anda mungkin juga menyukai