1
3. Penghambatan inhibitory neurotransmitter (glisin dan GABA) menyebabkan
kekakuan otot masseter atau yang disebut trismus.
4. LIL (lina imunisasi dasar lengkap): BCG, campak, polio, hepatitis B, dan
DPTHBHib.
5. Tata laksana pasien tetanus:
a. pembersihan luka;
b. pemberian ATS.;
c. pemberian antibiotik;
d. perawatan penunjang;
e. pasien diisolasi;
f. diet tinggi kalori dan protein; dan
g. mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
2
saraf motrik lalu ke saraf sensorik saraf otonom-toksin masuk
mempengaruhi neuron didekatnya efek neuron inhibitor akan memblokade
glisin dan GABA → menghambat neuron motoric alfa sehingga neuron
motoric kehilangan fungsi,terjadi spasme otot rahang wajah dan kepala
mempengaruhi neuron simpatik dan parasimpatik → hilangnya inhibisi
sentral terjadi hiperaktif otonom serta kontraksi otot yang tidak terkontrol.
2. Mekanisme demam: eksotoksin yang dihasilkan Clostridium tetani → sel-sel
imun menghasilkan zat pirogen endogen (IL-1, IL-6, dan TNF) → Pirogen
disebarkan melalui darah dan limfe → setelah sampai ke endotel hipotalamus,
terjadi metabolisme AA (asam arakdonat) → PGE 2 meningkat →
Hypothalamic setpoint menginstrusikan untuk meningkatkan suhu tubuh →
3. Tetanospasmin menghambat pelepasan inhibitory neurotransmitter, yaitu
glycine dan GABA (gamma-amino butyric acid). Sehingga aktifitas motor
neuron menjadi tidak terinhibisi dan memberikan gambaran kekakuan otot,
spasme dan paralisis spastik. Proses ini terjadi di semua sinaps, termasuk
neuromuscular junction (NMJ). Otot-otot yang memiliki jaras persarafan
(neuronal pathways) terpendek akan terkena lebih dahulu, seperti otot-otot
mastikasi. Sehingga pada awal gejala timbul trismus (kaku rahang) dan
disfagia.
4. Jadwal imunisasi
Tabel 1. Jadwal imunisasi
UMUR IMUNISASI
< 24 Jam Hepatitis B
1 Bulan BCG, Polio Tetes 1
2 Bulan Dpt, Hb Hib 1, Polio Tetes II
3 Bulan Dpt, Hb Hib 2, Polio Tetes III
4 Bulan Dpt, Hb Hib 3, Polio Tetes IV
9 Bulan Campak Rubella
18 Bulan Campak Rubella, DPT, Hb Hib
3
b. pemberian ATS.;
c. pemberian antibiotik;
d. perawatan penunjang;
e. pasien diisolasi;
f. diet tinggi kalori dan protein; dan
g. mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Jenis klinis tetanus: generalized tetanus, cephalic tetanus, neonatal
tetanus dan local tetanus.
MIND MAP
Tata laksana
&
Pencegahan
Etiologi Prognosis
TETANUS
Pemeriksaan
Patofisiologi penunjang &
Diagnosis
Manifestasi
Klinik
4
6. Perbedaan imunisasi aktif dan imunisasi pasif (HTIG, ATS, TT, dll) beserta
cara kerjanya.
7. Jenis-jenis tetanus.
8. Komplikasi tetanus dan mekanismenya.
PENJELASAN (STEP 7)
1. Mekanisme Kerja Tetanospasmin pada Neuromuscular Junction (NMJ)
a. Mekanisme normal di celah sinaps
Ada dua jenis sinaps: sinaps listrik dan sinaps kimia, bergantung pada
bagaimana informasi ditransfer antara kedua neuron. 1
1) Sinaps Listrik
Pada sinaps listrik, dua neuron dihubungkan oleh taut celah yang
memungkinkan ion-ion pembawa muatan mengalir secara langsung dari
sel pertama ke sel kedua, atau sebaliknya. Walaupun sinaps elektrik
menghasilkan transmisi sinyal listrik tanpa putus dan sangat cepat, jenis
hubungan ini pada hakikatnya bersifat "on" atau "off" dan tidak terkendali.
Potensial aksi pada sebuah neuron selalu memicu potensial aksi di neuron
sambungannya. Sinaps listrik relatif jarang pada sistem saraf manusia.
Sinaps listrik ditemukan di SSP, tempat sinaps ini menyelaraskan aktivitas
listrik pada kelompokan neuron yang saling terhubung melalui taut celah,
dan di sejumlah lokasi khusus, seperti pulpa gigi dan retina mata. Taut
celah lebih banyak pada otot polos dan otot jantung, tempat fungsinya
lebih mudah dipahami.1
2) Sinaps Kimia
Sebagian besar sinaps dalam sistem saraf manusia adalah sinaps
kimia, tempat zat kimia perantara menghantarkan informasi satu arah
melintasi celah yang memisahkan dua neuron. Sinaps kimia melibatkan
taut antara terminal akson sebuah neuron, yang dikenal sebagai neuron
prasinaps, dan dendrit atau badan sel neuron lain, yang dikenal sebagai
neuron pascasinaps. (Pra berarti "sebelum," dan pasca berarti "sesudah";
neuron prasinaps terletak sebelum sinaps, sementara neuron pascasinaps
5
terletak sesudah sinaps). Dendrit dengan jumlah lebih sedikit, dan badan
sel kebanyakan neuron menerima ribuan masukan sinaptik, yaitu terminal
akson dari banyak neuron lain. Sebagian neuron di SSP menerima hingga
100.000 masukan sinaptik (Gambar 1).1
6
melalui di antara kedua neuron. Alternatifnya, potensial aksi di neuron
prasinaps mengubah potensial neuron pascasinaps melalui cara-cara kimiawi.
Sinaps hanya bekerja satu arah yaitu neuron prasinaps menyebabkan
perubahan potensial membran neuronpascasinaps, tetapi neuron pascasinaps
tidak secara langsung memengaruhi potensial neuron prasinaps.1
Ketika potensial aksi di neuron prasinaps telah menjalar ke terminal
akson (Gambar 2, Langkah 1), perubahan potensial lokal ini memicu
terbukanya kanal ion kaisium (Ca2+) berpintu-listrik di synaptic knob.
Karena Ca2+ lebih banyak terkonsentrasi di CES, ion ini mengalir ke dalam
synaptic knob melalui kanal-kanal yang terbuka (langkah 2). Ion kalsium
memicu pelepasan neurotransmiter dari sebagian vesikel sinaps ke dalam
celah sinaps (langkah 3). Pelepasan neurotransmiter ini berlangsung melalui
eksositosis. Neurotransmiter yang dilepaskan berdifusi menyeberangi celah
dan berikatan dengan reseptor pspesifik di membran subsinaps, bagian
membran pascasinaps yang tepat di bawah synaptic knob (sub berarti "di
bawah") (langkah 4). Reseptor-reseptor ini merupakan bagian integral kanal
ion spesifik. Kombinasi unit reseptor dan kanal tersebut tepatnya dikenal
sebagai kanal reseptor. Terikatnya neurotransmiter ke kanal-reseptor
menyebabkan kanal membuka, mengubah permeabilitas ion pada neuron
pascasinaps (langkah 5). Kanal ini berupa kanal berpintu kimiawi, berbeda
dengan kanal berpintu-listrik yang bertanggung jawab atas potensial aksi dan
influks Ca2+ ke synaptic knob. Karena terminal prasinaps melepaskan
neurotransmiter dan membran subsinaps pada neuron pascasinaps memiliki
kanal-reseptor untuk neurotransmiter tersebut, sinaps hanya dapat bekerja
satu arah, dari neuron prasinaps ke neuron pascasinaps.1
Pengubahan sinyal listrik pada neuron prasinaps (potensial aksi)
menjadi sinyal listrik di neuron pascasinaps melalui cara-cara kimiawi
(dengan perantaraan kombinasi reseptor-neurotransmiter) memakan waktu.
Jeda sinaps ini biasanya sekitar 0,5-1 mdet. Pada jaras saraf, kelompokan
neuron sering kali harus menyeberang. Semakin kompleks jaras saraf,
semakin lama jeda sinaps dan semakin panjang waktu reaksi total (waktu
yang dibutuhkan untuk merespons kejadian tertentu).1
7
Gambar 2. Struktur dan fungsi sebuah sinaps.1
8
menyebabkan keluarnya sedikit ion K+ dari neuron pascasinaps bersamaan
dengan masuknya (lebih banyak) Na+ ke neuron ini. Hasilnya adalah
perpindahan neto ionion positif ke dalam sel. Hal ini membuat bagian
dalam membran sedikit kurang negatif daripada saat potensial istirahat,
menimbulkan depolarisasi kecil pada neuron pascasinaps.1
Meskipun jarang, aktivasi satu sinaps eksitatorik saja sudah cukup
untuk mendepolarisasi neuron pascasinaps menuju ambang. Terlalu sedikit
kanal yang terlibat di sebuah membran subsinaps untuk memfasilitasi
perpindahan ion yang adekuat dalam rangka menurunkan potensial hingga
ke ambang. Namun, depolarisasi kecil ini membawa neuron pascasinaps
lebih dekat ke ambang, menjadikan ambang lebih mungkin tercapai
(sebagai respons atas masukan eksitatorik selanjutnya) dan potensial aksi
tercetus dengan kata lain, membran kini lebih peka-rangsang (lebih mudah
dibawa ke ambang) dari pada saat potensial istirahat. Karena itu,
perubahan potensial pascasinaps yang terjadi di sinaps eksitatorik ini
disebut potensial pascasinaps eksitatorik (excitatory postsynaptic potential,
EPSP).1
2) Sinaps Inhibitorik
Di sebuah sinaps inhibitorik, terikatnya neurotransmiter ke kanal-
reseptornya meningkatkan permeabilitas membran subsinaps terhadap ion
kalsium (K+) atau ion klorida (C1-), bergantung pada sinapsnya.
Perpindahan ion yang dihasilkan menyebabkan hiperpolarisasi kecil pada
neuron pascasinaps yaitu bagian dalam membran lebih negatif. Pada kasus
peningkatan PK+, lebih banyak muatan positif keluar dari sel melalui
efluks K+, meninggalkan lebih banyak muatan negatif di bagian dalam sel.
Pada kasus peningkatan karena konsentrasi Cl- lebih tinggi di luar sel,
lebih banyak muatan negatif masuk ke sel dalam bentuk ion Cl-. Pada
kedua kasus, hiperpolarisasi kecil ini membawa potensial membran
semakin jauh dari ambang, menjadikan ambang sulit tercapai dan potensial
aksi boleh jadi tidak tercetusdengan kata lain, membran kini kurang peka-
rangsang (lebih sulit dibawa ke ambang oleh masukan eksitatorik)
dibandingkan saat potensial istirahat. Pada keadaan ini, membran
9
dikatakan terinhibisi, dan hiperpolarisasi kecil pada sel pascasinaps disebut
potensial pascasinaps inhibitorik (inhibitory postsynaptic potential, IPSP).1
Di sel-sel dengan potensial keseimbangan Cl- sama persis dengan
potensial istirahat, peningkatan PCI- tidak menyebabkan hiperpolarisasi
karena tidak terdapat gaya penggerak untuk memindahkan CI-
Membukanya kanal Cl- di sel-sel ini cenderung menahan membran pada
potensial istirahat, menjadikannya sulit mencapai ambang. Perhatikan
bahwa EPSP dan IPSP terjadi akibat membukanya kanal-kanal berpintu
kimiawi, tidak seperti potensial aksi yang tercetus karena membukanya
kanal-kanal berpintu-listrik. Banyak bahan kimia berfungsi sebagai
neurotransmiter (Gambar 3).1
10
pascasinaps yang berbeda. Meskipun demikian, respons di sebuah sinaps
yang dipengaruhi norepinefrin dalam satu kesempatan selalu eksitatorik saja
atau inhibitorik saja.1
Umumnya setiap terminal akson hanya membebaskan satu
neurotransmiter. Namun, bukti terkini mengindikasikan bahwa, pada
beberapa kasus, dapat terjadi pelepasan dua neurotransmiter berbeda secara
bersamaan dari satu terminal akson. Sebagai contoh, glisin dan GABA, yang
sama-sama menimbulkan respons inhibitorik, dapat dikemas dan dibebaskan
dari vesikel sinaps yang sama. Para ilmuwan berspekulasi bahwa glisin kerja
cepat dan GABA yang bekerja lebih lambat dapat saling melengkapi satu
sama lain dalam mengontrol aktivitas yang bergantung pada ketepatan waktu-
misalnya, koordinasi gerakan kompleks.1
b. Mekanisme patogenesis oleh tetanospasmin di celah sinaps
11
Tetanolisin merupakan suatu toksin yang dikode oleh plasmid. Toksin ini
secara serologis mirip dengan Streptolysin O (Streptococcus pyogenes) dan
hemolysin yang dihasilkan oleh Clostridium perfringens dan Listeria
monocytogenes. Tetanolisin mampu secara lokal merusak jaringan yang
masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi
yang memungkinkan multiplikasi bakteri.2
Tetanospasmin adalah toksin yang berperan dalam manifestasi klinis
dari tetanus. Begitu toksin ini terikat dengan saraf, toksin tidak dapat
dieliminasi. Penyebaran tetanospasmin dapat melalui hematogen ataupun
limfogen yang kemudian mencapai targetnya di ujung saraf motorik. Toksin
ini memiliki 2 subunit dan 3 domain, subunit A (light chain) dan subunit B
(heavy chain). Begitu toksin disekresikan, suatu protease endogen akan
memecah tetanospasmin mejadi 2 subunit. Reseptor untuk toksin ini adalah
gangliosida pada neuron motoris. Domain pengikat karbohidrat
(Carbohydrate-binding Domain) pada ujung carboxy-terminal subunit B
berikatan dengan reseptor asam sialat yang spesifik dan glikoprotein pada
permukaan sel saraf motorik. Kemudian toksin akan diinternalisasi oleh
vesikel endosome. Asidifikasi endosome akan menyebabkan perubahan
konformasi ujung N-terminus subunit B, kemudian terjadi insersi subunit B
kedalam membrane endosome, sehingga memungkinkan subunit A keluar
menembus membrane endosome menju ke sitosol. Toksin mengalami
retrograde axonal transport dari perifer kemudian menuju saraf presinaps,
tempat toksin tersebut bekerja. Subunit A merupaan suatu zinc-dependent
metalloprotease yang memecah vesicle-associated membrane protein-2,
VAMP-2 (atau sinaptobrevin). Protein ini merupakan komponen utama
SNARE-compleks yang berperan dalam endositosis dan pelepasan
neurotransmitter. Toksin ini menghambat pelepasan inhibitory
neurotransmitter, yaitu glycine dan GABA (gamma-amino butyric acid).
Sehingga aktifitas motor neuron menjadi tidak terinhibisi dan memberikan
gambaran kekakuan otot, spasme dan paralisis spastik. Proses ini terjadi di
semua sinaps, termasuk neuromuscular junction (NMJ). Otot-otot yang
memiliki jaras persarafan (neuronal pathways) terpendek akan terkena lebih
12
dahulu, seperti otot-otot mastikasi. Sehingga pada awal gejala timbul trismus
(kaku rahang) dan disfagia (Gambar 4).2
13
system saraf kranial, dengan gejala awal distorsi wajah dan punggung serta
kekakuan dari otot leher.3
Tetanospasmin pada sistem saraf otonom juga berpengaruh, sehingga
terjadi gangguan pernapasan, metabolisme, hemodinamika, hormonal, saluran
cerna, saluran kemih, dan neuromuscular. Spasme larynx, hipertensi,
gangguan irama janjung, hiperflexi, hyperhidrosis merupakan penyulit akibat
gangguan saraf otonom, yang dulu jarang karena penderita sudah meninggal
sebelum gejala timbul.3
Salah satu komplikasi yang sulit ditangani adalah gangguan otonom
karena pelepasan katekolamin yang tidak terkontrol. Gangguan otonom ini
meliputi hipertensi dan takikardi yang kadang berubah menjadi hipotensi dan
bradikardi. Walaupun demikian, pemberian magnesium sulfat saat gejala
tersebut sangat bisa diandalkan. Magnesium sulfat dapat mengontrol gejala
spasme otot dan disfungsi otonom.3
Ada beberapa jenis klinis tetanus, biasanya ditunjuk sebagai
generalized, local, dan cephalic:3
a. Generalized Tetanus ini adalah bentuk paling umum. Mungkin dimulai
sebagai tetanus lokal yang menjadi umum setelah beberapa hari, atau
mungkin menyebar dari awal. Trismus sering merupakan manifestasi
pertama. Dalam beberapa kasus didahului oleh rasa kaku pada rahang atau
leher, demam, dan gejala umum infeksi. Kekakuan otot lokal dan kejang
menyebar dengan cepat ke otot bulbar, leher, batang tubuh, dan anggota
badan. Timbul gejala kekakuan pada semua bagian seperti trismus, risus
sardonicus (Dahi mengkerut, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik ke
luar dan ke bawah), mulut mencucu, opistotonus (kekakuan yang
menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher, otot badan, trunk
muscle), perut seperti papan. Bila kekakuan semakin berat, akan timbul
kejang yang terjadi secara spontan atau direspon terhadap stimulus
eksternal.3
Pada tetanus yang berat terjadi kejang terus menerus atau kekuan
pada otot laring yang menimbulkan apnea atau mati lemas. Pengaruh
toksin pada saraf otonom menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan
14
irama jantung atau kelainan pembuluh darah seperti yang dijelaskan pada
Gambar 5). Kematian biasanya disebabkan oleh asfiksia dari
laringospasme, gagal jantung, atau shock, yang dihasilkan dari toksin pada
hipotalamus dan sistem saraf simpatik. Terdapat trias klinis berupa
rigiditas, spasme otot dan apabila berat disfungsiotonomik.3
b. Local Tetanus adalah bentuk yang paling jinak. Gejala awal adalah
kekakuan, sesak, dan nyeri di otot-otot sekitar luka, diikuti oleh twitchings
dan kejang singkat dari otot yang terkena. Tetanus lokal terjadi paling
sering dalam kaitannya dengan luka tangan atau lengan bawah, jarang di
perut atau otot paravertebral. Bisa terjadi sedikit trismus yang berguna
untuk menegakkan diagnosis. Gejala dapat bertahan dalam beberapa
minggu atau bulan. Secara bertahap kejang menjadi kurang dan akhirnya
menghilang tanpa residu. Prognosis tetanus ini baik. 3
c. Cephalic tetanus merupakan bentuk tetanus lokal pada luka pada wajah
dan kepala. Masa inkubasi pendek, 1 atau 2 hari. Otot yang terkena
(paling sering wajah) menjadi lemah atau lumpuh. Bisa terjadi kejang
wajah, lidah dan tenggorokan, dengan disartria, disfonia, dan disfagia.
Banyak kasus fatal.3
15
dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun, dalam
lingkungan yang anaerob dapat berubah menjadi bentuk vegetative
yang akan menghasilkan eksotoksin.
6) C. tetani menghasilkan dua eksotoxins, tetanolisin dan tetanospasmin.
Fungsi tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, diperkirakan tetanolisin
mampu secara lokal merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi
sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
multiplikasi bakteri. Tetanospasmin merupakan racun saraf dan
menyebabkan manifestasi klinis tetanus.4
Port d’entre tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga
melalui:4
1) luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka
bakar yang luas
2) Luka operasi, luka yang tak dibersihkan (debridemant) dengan baik
otitis media, karies gigi, luka kronik
3) Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat
dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan
adalah penyebab utama tetanus neonatorum.
b. Faktor risiko tetanus
Faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian tetanus adalah
tidak pernah mendapatkan vaksin tetanus atau orang-orang yang menurun
16
imunitas tubuhnya akibat usia lanjut. Orang-orang yang tidak mendapatkan
vaksin tetanus sama sekali dalam hidupnya atau dengan riwayat vaksinasi
yang kurang, sangat berisiko untuk terkena tetanus, terutama anak-anak dan
lansia.5
Para injection drug user (IDU) juga memiliki risiko yang lebih
tinggi untuk terkena tetanus akibat kontaminasi spora Clostridium
Tetani saat menyuntikkan obat, membuat irisan luka di kulit, dan bekas luka
yang tidak dirawat. Risiko terjadinya tetanus meningkat pada jenis luka
yang menimbulkan kerusakan jaringan yang dalam seperti misalnya luka
tusuk. Jaringan rusak di bagian dalam minim terpapar udara luar dan mudah
terbentuk kondisi anaerob. Pada penelitian di Amerika Serikat selama tahun
1998-2000, 73% kasus tetanus disebabkan oleh luka baru, 50% di antaranya
adalah luka tusuk dan 32% dari luka tusuk tersebut disebabkan oleh tusukan
paku. Luka kronis dengan jaringan nekrotik dan luka yang terinfeksi juga
merupakan jenis luka yang berisiko tinggi sebagai tempat berkembangnya
bakteri penyebab tetanus. Kasus tetanus juga ditemukan pada pasien sehabis
tindakan pencabutan gigi, perawatan saluran akar, serta trauma pada
jaringan lunak di daerah mulut. Bayi yang lahir melalui persalinan yang
tidak steril dan menggunakan alat-alat untuk memotong tali pusat yang
terdapat spora Clostridium Tetani, sangatlah berisiko untuk terkena tetanus
neonatorum. Faktor lain yang meningkatkan risiko tetanus neonatorum
antara lain persalinan yang dilakukan di rumah atau tempat dengan
permukaan yang kotor, persalinan yang tidak dibantu oleh tenaga medis
terlatih, penolong persalinan tidak mencuci tangan sebelum melakukan
tindakan, serta penggunaan alat dan bahan tradisional untuk mengikat dan
merawat tali pusat bayi. Di beberapa daerah di Asia dan Afrika masih ada
kepercayaan untuk mengoleskan kotoran hewan pada tali pusat bayi sebagai
simbol kekuatan dan pemurnian. Hal tersebut tentunya sangat berisiko untuk
menimbulkan tetanus pada bayi.5
17
4. Penegakan Diagnosa sampai Pemeriksaan Penunjang pada Pasien Tetanus
a. Anamnesis
Anamnesis terhadap pasien yang dicurigai menderita tetanus
meliputi riwayat kejadian luka yang meliputi kapan terjadinya, mekanisme
terjadinya luka, dan perawatan luka yang telah dilakukan. Selain daripada
itu, hal yang perlu ditanyakan adalah kapan gejala pertama kali muncul
sejak terjadinya luka, riwayat operasi atau prosedur medis
(misalnya: sirkumsisi, pencabutan gigi, persalinan, dan sebagainya),
dan port d’entree lain seperti penggunaan jarum suntik atau otitis
media supuratif kronis berulang. Riwayat vaksinasi tetanus sebelumnya juga
penting ditanyakan untuk menentukan apakah pasien memiliki imunitas
yang adekuat terhadap tetanus.6,7
Pada kasus dicurigai tetanus neonatorum, tanyakan dimana
persalinan dilakukan, siapa penolong persalinan, dan apa alat yang
digunakan untuk memotong dan mengikat tali pusat bayi. Pada kasus
tetanus neonatorum, tanda klinis yang muncul pertama kali adalah
kemampuan menghisap yang buruk (sebelumnya normal). Tanda klinis
tersebut dapat muncul di usia bayi 3-10 hari.6,7
Manifestasi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat,
trismus sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus
sampai kejang disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap
prognostik. Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:6,7
1) Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan
dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan
spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal
luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum. 6,7
2) Tetanus sefal
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi
1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media
kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi
18
nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi
tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.6,7
3) Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat
berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan
dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai,
rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi
dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan
kesadaran yang tetap baik.6,7
4) Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya
infeksi tali pusat,umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang
aseptik dan ibu yang tidakmendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang
sering timbul adalahketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable
diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik: trismus, kekakuan
pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis
lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan
tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal,
ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan
fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia,
pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.6,7
b. Pemeriksaan Fisik
Dapat ditemukan: kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang
yang hebat:6,7
1) Pada tetanus lokal ditemukan kekakuan dan spasme yang menetap.
2) Pada tetanus sefalik ditemukan trismus, rhisus sardonikus dan disfungsi
nervus kranial.
3) Pada tetanus umum/generalisata adanya: trismus, kekakuan leher,
kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta
ekstensi tungkai, kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan
ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
19
4) Pada tetanus neonatorum ditemukan kekakuan dan spasme dan posisi
tubuh klasik: trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan
opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan
ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada,
pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi
dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki.6,7
c. Penegakan Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan riwayat
imunisasi.6,7
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi
Ablett’s:6,7
1) Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada,
disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
2) Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar,
takipneu dan disfagia ringan
3) Derajat III (berat)
Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic
spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi
4) Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem
kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan
bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak
berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik. 6,7
Grading:6,7
1) Derajat 1 (kasus ringan), terdapat satu kriteria, biasanya Kriteria 1 atau 2
(tidak ada kematian)
2) Derajat 2 (kasus sedang), terdapat 2 kriteria, biasanya Kriteria 1 dan 2.
Biasanya masa inkubasi lebih dari 7 hari dan onset lebih dari 48 jam
(kematian 10%)
20
3) Derajat 3 (kasus berat), terdapat 3 Kriteria, biasanya masa inkubasi kurang
dari 7 hari atau onset kurang dari 48 jam (kematian 32%)
4) Derajat 4 (kasus sangat berat), terdapat minimal 4 Kriteria (kematian 60%)
5) Derajat 5, bila terdapat 5 Kriteria termasuk puerpurium dan tetanus
neonatorum (kematian 84%).
Temuan laboratorium:6,7
1) Lekositosis ringan.
2) Trombosit sedikit meningkat.
3) Glukosa dan kalsium darah normal.
4) Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat.
5) Enzim otot serum mungkin meningkat.
6) EKG dan EEG biasanya normal.
7) Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari
luka dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang
gram positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.
8) Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml).
d. Diagnosis banding
Diagnosis banding tetanus dapat berupa Meningoensefalitis,
Poliomielitis, Rabies, Lesi orofaringeal, Tonsilitis berat, Peritonitis, Tetani
(timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium dan
fosfat dalam serum rendah), keracunan Strychnine, reaksi fenotiazine.6,7
21
5. Penanganan Awal Tetanus Berdasarkan Stadium dan Usia
Prinsip pengobatan tetanus terdiri dari 3 upaya, yaitu mengatasi akibat
eksotoksin yang sudah terikat pada susunan saraf pusat, menetralisasi toksin
yang masih beredar di dalam darah, dan menghilangkan kuman penyebab.
Berikut penatalaksanaan pasien tetanus berdasarkan usia dan stadium:6,7
a. Pada pasien dewasa
Tabel 1. Manajemen luka tetanus.7
Luka Rentan Tetanus Luka yang Tidak Rentan Tetanus
> 6-8 jam < 6 jam
Kedalaman > 1 cm Superfisial < 1 cm
Terkontaminasi Bersih
Bentuk stelat, avulsi, atau hancur Bentuknya linear, tapi tajam
(irreguler)
Denervasi, iskemik Neurovaskular intak
Terinfeksi (purulen, jaringan Tidak infeksi
nekrotik)
22
5) Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu.
6) Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon klinis.
Diazepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari. Bila penderita datang dalam
keadaan kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5 mg/kgBB/kali i.v.
perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali
kejang. Kemudian diikuti pemberian Diazepam per oral (sonde lambung)
dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali. Dosis maksimal
diazepam 240 mg/hari. Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat),
harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat
ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik,
dengan atau tanpa kurarisasi. Magnesium sulfat dapat pula
dipertimbangkan digunakan bila ada gangguan saraf otonom.
7) Anti Tetanus Serum (ATS) dapat digunakan, tetapi sebelumnya diperlukan
skin tes untuk hipersensitif. Dosis biasa 50.000 iu, diberikan IM diikuti
dengan 50.000 unit dengan infus IV lambat. Jika pembedahan eksisi luka
memungkinkan, sebagian antitoksin dapat disuntikkan di sekitar luka.
8) Eliminasi bakteri, penisilin adalah drug of choice: berikan prokain
penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Untuk
pasien yang alergi penisilin dapat diberikan Tetrasiklin, 500 mg PO atau
IV setiap 6 jam selama 10 hari. Pemberian antibiotik di atas dapat
mengeradikasi Clostridium tetani tetapi tidak dapat mempengaruhi proses
neurologisnya.
9) Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika spektrum luas
dapat dilakukan. Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien tetanus yaitu
a) Saluran pernapasan: dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia,
atelektasis akibat obstruksi oleh sekret, pneumotoraks dan mediastinal
emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi; b)
Kardiovaskuler: komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat
antara lain berupa takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan
rangsangan miokardium; c) Tulang dan otot: pada otot karena spasme yang
berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat
terjadi fraktura kolumna vertebralis akibat kejang yang terus-menerus
23
terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga
dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta; dan d) Komplikasi yang
lain: laserasi lidah akibat kejang, dekubitus karena penderita berbaring
dalam satu posisi saja, panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau
toksin yang menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu. Obat
antibiotik spektrum luas dapat diberikan yaitu: Tetrasiklin, Eritromisin dan
Metronidazol dapat diberikan, terutama bila penderita alergi penisilin.
Tetrasiklin: 30-50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis. Eritromisin: 50
mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari. Metronidazol loading dose
15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam.
10) Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama, dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat
suntik yang berbeda. Pemberian dilakukan dengan dosis inisial 0,5 ml
toksoid intramuskular diberikan 24 jam pertama.
11) Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus
selesai.
12) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit. 6,7
13) Perawatan pasien tetanus dengan disfungsi otonom:
Untuk pasien tetanus yang berat sehingga membutuhkan ventilasi
mekanik, kontrol spasme dengan sedasi yang kuat dan obat-obatan dengan
batas keamanan yang sempit seperti magnesium sulfat, perawatan di ruang
terapi intensif (RTI) mutlak diperlukan. Magnesium sulfat merupakan
terapi tambahan yang efektif untuk memberikan sedasi, relaksasi dan
mengontrol gangguan otonom pada pasien tetanus.8
Tatalaksana umum untuk pasien di RTI adalah kecukupan cairan
dan nutrisi, menjaga saluran nafas tetap bebas (bila pasien terintubasi lebih
dari 10 hari trakeostomi sebaiknya dilakukan), analgesia yang adekuat,
mengurangi dan mengatasi spasme dengan pemberian sedasi (diazepam
atau midazolam) maupun magnesium sulfat (beberapa studi menyarankan
penggunaan propofol untuk sedasi), pencegahan tromboemboli, sandaran
kepala maupun profilaksis ulkus akibat stress (stress ulcer prophylaxis).8
24
Magnesium sulfat menghambat presinaps neuromuskular,
pelepasan katekolamin dari saraf dan medulla adrenal, serta mengurangi
respon reseptor terhadap katekolamin. Dengan mengantagonis
metabolisme kalsium, overdosis magnesium sulfat menyebabkan
kelemahan dan paralisis otot. Obat ini dapat digunakan dengan atau tanpa
kombinasi dengan benzodiazepine untuk mengontrol spasme dan disfungsi
otonom dengan dosis awal intravena 5 gram (75 mg/kg) diteruskan dengan
peningkatan 2-3 gram per jam hingga tercapai kontrol spasme. Untuk
menghindari overdosis maka diperlukan pemantauan refleks patella;
dimana hilangnya refleks patella akan terjadi pada batas atas kadar
magnesium yaitu 4 mmol/L, jika arefleksia ini terus terjadi, dosis terapi
harus diturunkan.8
Selain tatalaksana umum diatas, untuk pasien tetanus perlu
mendapatkan anti tetanus serum (100,000 IU) atau human tetanus
immunoglobulin (HTIG) (3,000-6,000 IU secara IM); intravenous
Immunoglonulin (IVIG) yang mengandung antitoksin tetanus dapat
digunakan jika HTIG tidak tersedia. Pemberian antibiotika berguna untuk
mengurangi kuman C. tetani. Antibiotika yang direkomendasikan adalah
metronidazole (15 mg/kgBB IV tiap 6 jam) selama 7-10 hari; dan sebagai
lini kedua, penisilin prokain 50,000-100,000 U/kgBB/hari dapat diberikan
selama 7-10 hari.8
14) Rencana tindak lanjut: a) Pemberian TT harus dilanjutkan sampai
imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. Pengulangan dilakukan 8 minggu
kemudian dengan dosis yang sama dengan dosis inisial; b) Booster
dilakukan 6-12 bulan kemudian; c) Subsequent booster, diberikan 5 tahun
berikutnya; dan d) Laporkan kasus Tetanus ke dinas kesehatan setempat.
b. Pada pasien neonatus
1) Eradikasi kuman
a) Tali pusat dibersihkan dengan alcohol 70% atau providon iodin.
b) Antibiotik
(1) Penisilin prokain 50.000 IU/kg/kali IM, tiap 12 jam, atau
(2) Ampisilin 50 mg/kg/dosis, atau
25
(a) Usia gestasi (UG) < 37 minggu
< 28 hari tiap 12 jam
> 28 hari tiap 8 jam
(b) UG > 37 minggu
< 7 hari tiap 12 jam
> 7 hari tiap 8 jam
(3) Metronidazole loading dose 15mg/kg/dosis, selanjutnya
7,5mg/kg/dosis, atau
(a) Interval
Usia < 28 hari tiap 12 jam
Usia > 28 hari tiap 8 jam
(b) Pemberian dosis rumatan
UG < 37 minggu 24 jam setelah loading dose
UG > 37 minggu 12 jam setelah loading dose
(4) Eritromisin 15-25 mg/kg/dosis tiap 8 jam
(5) Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan sefotaksim 50
mg/kg/dosis
(a) UG < 30 minggu
< 28 hari tiap 12 jam
> 28 hari tiap 8 jam
(b) UG > 30 minggu
< 14 hari tiap 12 jam
> 14 hari tiap 8 jam
2) Netralisasi toksin
a) ATS 50.000 – 100.000 IU, setengah dosis IM, setengahnya IV, dilakukan
uji kulit lebih dahulu.
b) Bila tersedia dapat diberikan HTIG 3000-6000 IU IM.
3) Memberikan pelemas otot untuk mengatasi spasme otot
Diazepam 20-40 mg/kgBB/hari, drip, dilarutkan dalam larutan
dekstrose 5% menggunakan syringe pump. Obat dibagi menjadi empat
sediaan untuk menghindari efek pengendapan obat diazepam. Hati-hati
terjadi henti napas dalam pemberiannya. Bila diazepam telah mencapai
26
dosis maksimal tetapi spasme tetap tidak teratasi dianjurkan pemberian
pelumpuh otot pankuronium 0,05-0,1 mg/kgBB/kali dang penggunaan
ventilator mekanik.
Tabel 2. Jenis obat pelemas otot.6,7
Jenis Obat Dosis Anak-anak Dosis Orang
Dewasa
Fenobarbital Mula – mula 60 – 100 mg IM, 3 x 100 mg IM
(Luminal) kemudian 6 x 30 mg per oral.
Maksimum 200 mg/hari
Klorpromazin 4 – 6 mg/kg BB/hari, mula – 3 x 25 mg IM
(Largactil) mula IM, kemudian per oral
Diazepam Mula – mula 0,5 – 1 mg/kg BB 3 x 10 mg IM
(Valium) IM, kemudian per oral 1,5 – 4
mg/kg BB/hari, dibagi dalam 6
dosis
Klorhidrat – 3 x 500 – 100 mg
per rectal
4) Terapi suportif
a) pemberian oksigen;
b) pembersihan jalan napas; dan
c) keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori.
5) Imunisasi
Diberikan imunisasi Tetanus Toksoid sesuai dengan jadwal
imunisasi diberikan pada saat penderita pulang. 6,7
6. Perbedaan Imunisasi Aktif dan Imunisasi Pasif (HTIG, ATS, TT, dll) beserta
Cara Kerjanya
a. Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT atau toksoid tetanus.
Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin
DPT diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia
27
18 bulan dan DPT V pada usia 5 tahun dan saat usia 12 tahun diberikan Td.
Toksoid tetanus ini diberikan pada setiap wanita usia subur, perempuan usia
12 tahun, dan ibu hamil. DPT/Td diberikan setelah sembuh dilanjutkan
imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh menimbulkan pasien karena
tetanus tidak kekebalan yang berlangsung lama.9
Keterangan
* : seri imunisasinya harus lengkap
+ : kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih
++ : kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih
Cara pemberian melalui Intramuskuler (ATS 1500
U/Imunoglobulin 250 U)
28
Pemberian imunisasi secara IM, jangan sekali-kali secara IV. Kerugian
hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan keuntungannya
pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.9
Pengobatan dengan ATS hingga saat ini belum jelas hasilnya,
karena itu, ada ahli yang menggunakan dan ada yang tidak
menggunakannya. Bila digunakan, keberatannya adalah mengenai harga,
tetapi bila digunakanpun tidak berbahaya kecuali pada penderita yang
hipersensitif. Kemampuan perlindungan ATS ini hanya berlangsung selama
2-3 minggu saja.9
Tes sensitivitas terhadap ATS dilakukan untuk mengetahui apakah
seorang penderita tahan terhadap ATS hewan atau tidak. Untuk melakukan
tes tersebut ada dua cara yaitu tes kulit (skin test dan tes mata/eye test):9
1) Tes kulit: sering dilakukan (lebih disukai dari pada tes mata). Caranya
yaitu 0,1 cc serum diencerkan dengan akuades atau cairan NaC1 0,9 %
menjadi 1 cc. Suntikkan 0,1 cc dari larutan yang telah diencerkan tadi
pada lengan bawah sebelah voler secara intrakutan, tunggulah selama 15
menit. Reaksi positif (penderita hipersensitif terhadap serum) bila terjadi
infiltrat / indurasi dengan diameter lebih besar dari 10 mm (1 cm), yang
dapat disertai rasa panas dan gatal.
2) Tes mata: caranya yaitu dengan meneteskan 1 tetes cairan serum pada
mata, tunggulah 15 menit. Reaksi positif bila mata merah dan bengkak.9
Penderita yang hipersensitif terhadap ATS Hewan. Pada penderita
ini terdapat 3 kemungkinan, yaitu: (1) pemberian hypertet (HTIG), (2)
pemberian ATS hewan secara desensitisasi (cara Bedreska), (3) ATS tidak
diberikan.9
Desensitisasi cara Bedreska adalah pemberian ATS pada penderita
yang hipersensitif terhadap penyuntikan langsung, tetapi tidak dapat diberi
HTIG karena suatu hal. Dalam hal ini wajib memberikan ATS dengan
pertimbangan kemungkinan terjadinya tetanus pada luka besar. Pada cara
Bedreska ini, pengawasan dilakukan bertahap. Bila timbul reaksi hebat,
pemberian tidak boleh diteruskan. Cara pemberiannya sebagai berikut:9
29
1) 0,1 cc serum + 0,9 cc akuades atau NaC1 0,9 % disuntikkan secara
subkutanm tunggulah selama 30 menit.
2) Sesudahnya, suntikkan 0,5 cc serum + 0,5 cc serum +0,5 cc akuades atau
NaC1 0,9 % secara subkutan, tunggulah 30 menit. Perhatikan reaksi. Bila
tampak tanda – tanda penderita hipersensitif (tanda profromalsyok
anafilaktik), hentikan pemberian, dan berikan antihistamin serta
kortikosteroid. Rawat penderita sesuai keadaannya.
3) Bila tidak ada reaksi berarti setelah 30 menit sisa serum dapat disuntikkan
secara intramuskuler.9
Desensitisasi ini bertahan selama 2 – 3 minggu, jadi bila keesokan
harinya atau hari – hari berikutnya (dalam masa 2 – 3 minggu tersebut)
perlu dilakukan suntikan ulangan, maka cara Bersredka tak perlu diiulangi.
Pada cara Besredka, sebaiknya perlengkapan P3K yaitu obat yag diperlukan
untuk menanggulangi syok anafilaktik tetap tersedia.9
7. Jenis-Jenis Tetanus
Tetanus memiliki gejala klinis yang beragam, namun dapat dibagi
menjadi empat tipe secara klinis, yaitu:5
a. Tetanus generalisasi (generalized)
Tetanus jenis ini adalah yang paling sering dijumpai, awalnyadapat
berupa tetaus loka yang berkembang luas setelah beberapa hari. Gejalanya
yang sering timbul:5
1) hipertonus otot;
2) spasme;
3) trismus: kaku pada rahang, leher, biasanya pasien suka sulit membuka
mulutnya;
4) kaku di leher, bahu, serta ekstremitasnya;
5) abdomen papan (abdomen terasa keras dan rata);
6) kontraksi pada otot wajah (otot bibir mengalami retraksi, mata tertutup
parsial karena kontraksi musculus orbicularis oculi, alis terelevasi karena
spasme otot frontalis);
30
7) opistotonus: kontraksi pada otot punggung sehingga menyebabkan
perubahan bentuk menjadi melengkung; dan
8) Spasme pada otot pernafasan.5
b. Tetanus local (localized)
Pada kondisi ini yang paling ringan dibandingkan tetanus lainnya.
Biasanya gejala yang muncul berupa rasa kaku, kencang dan nyeri pada otot
disekitar luka dan seringkali terjadi spasme. Bertahan beberapa bulan,
sembuh dengan sendirinya.5
c. Tetanus sefalik (cephalic)
Tetanus ini biasanya terjadi setelah adanya luka pada kepala atau
wajah. Periode inkubasi biasanya pendek hanya sekitar1-2 hari. Terjadi
kelemahan dan paralisis otot-otot wajah. Pada periode spasme, otot wajah
biasanya berkontraksi. Spasme dapat melibatkan lidah dan tenggorokan
sehingga terjadi disartria, disfonia, disfagia. Seringkali tetanus sefalik
berkembang menjadi tetanus generalisasi.5
d. Tetanus neonatal
Biasa terjadi karena proses bersalin yang tidak bersih/steril, seperti
pemotongan tali pusat menggunakan alat yang tidak steril. Biasa terjadi
pada minggu kedua kehidupan yang ditandai oleh kelemahan dan
ketidakmampuan menyusu kadang disertai opistotonus. Pada tetanus sering
juga disertai gangguan otonomik berupa tekanan darah yang labil (takikardi
maupun bradikardi) peningkatan respirasi serta juga hipereksia. 5
8. Komplikasi Tetanus
e. Komplikasi
1) Saluran pernapasan
Dapat terjadi asfiksia, aspirasi pneumonia, atelektasis akibat
obstruksi oleh sekret, pneumotoraks dan mediastinal emfisema biasanya
terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.7
Komplikasi yang berbahaya dari tetanus adalah hambatan pada
jalan napas sehingga pada tetanus yang berat, terkadang memerlukan
bantuan ventilator Sekitar kurang lebih 78% kematian tetanus disebabkan
31
karena komplikasinya. Kejang yang berlangsung terus menerus dapat
mengakibatkan fraktur dari tulang spinal dan tulang panjang, serta
rabdomiolisis yang sering diikuti oleh gagal ginjal akut. 7
2) Kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain
berupa takikardia, hipertensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan
miokardium.7
32
Infeksi nosokomial umum sering terjadi karena rawat inap yang
berkepanjangan. Infeksi sekunder termasuk sepsis dari kateter, pneumonia
yang didapat di rumah sakit, dan ulkus dekubitus. Emboli paru sangat
bermasalah pada pengguna narkoba dan pasien usia lanjut.
Pneumonia merupakan komplikasi akhir yang banyak ditemukan pada
kasus tetanus, ditemukan pada 50% -70% dari kasus diotopsi. Pneumonia
terjadi karena aspirasi paru yaitu masuknya makanan, asam lambung, air liur,
atau benda asing lainnya ke paru-paru yang dapat memicu infeksi paru. Pada
keadaan normal atau pada aspirasi dalam jumlah kecil, paru-paru memiliki
mekanisme pertahanan untuk mengeluarkannya, misalnya dengan batuk.7
Beberapa hal di bawah ini dapat meningkatkan risiko seseorang untuk
mengalami pneumonia aspirasi, di antaranya:7
1) Gangguan kesadaran: misalnya akibat penyalahgunaan alkohol dan obat
terlarang, kejang, menggunakan obat bius, stroke, cedera kepala,
epilepsi, demensia.7
2) Gangguan menelan, kondisi ini dapat terjadi akibat:7
a) Kelainan pada tenggorokan dan kerongkongan, seperti pada kanker
esofagus, kanker tenggorokan, atau luka pada kerongkongan akibat terapi
radiasi.
b) Kelainan saraf, seperti pada multiple sclerosis, penyakit Parkinson,
stroke, atau myasthenia gravis.
c) Kondisi lainnya. Misalnya terlalu lama berbaring, meningkatnya usia,
penyakit paru obstruktif kronis, dan penggunaan nasogastric tube (selang
yang dipasang di hidung untuk pemberian makan).7
33
DAFTAR PUSTAKA
1. Sherwood LZ. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 2014.
2. Ausubel FM, Bren R, Kingston RE, Moore DD, Seidman JG, Struhl K.
Current Protocols in Molecular Biology. New York: John Wiley & Sons Inc;
2013.
3. Farrar J, Hotez PJ, Junghanss T, Kang G, Lalloo D, White NJ. Manson’s
Tropical Diseases. Twenty-Third Edition. Philadelphia: ELSEVIER; 2014.
4. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi &
Pediatri Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015.
5. Kasper, Fauci, Hauser. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 19th
Edition. New York: Mc Graw Hill Education; 2015.
6. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing; 2017.
7. Kemenkes RI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. Jakarta: Pengurus Besar IDI; 2014.
8. Prajogi PA, Hartawan IU. Magnesium Sulfat pada Tatalaksana Tetanus
Generalisata di Ruang Terapi Intensif. Volume 50 Nomor 1. Denpasar:
MEDICINA 2019.
9. Darmadi, Ruslie RH. Terapi Tetanus pada Pasien Anak dengan Tetanus.
Lampung: Syifa’ MEDIKA; 2012.
34