Anda di halaman 1dari 40

SKENARIO 4

BISUL PADA DAHI


Seorang perempuan berusia 32 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan
bisulan di dahi sejak 2 minggu yang lalu, bisulan dirasakan nyeri kadang-kadang
terasa gatal, sebelum timbul pasien sering menggaruk dahinya karena gatal
terutama saat suhu panas dan berkeringat, pada pemeriksaan fisik didapatkan
benjolan dengan pus di tengah, tipe hiperemis. Dokter mengatakan bahwa pasien
tersebut mengalami infeksi pada kulitnya.

KLARIFIKASI ISTILAH (STEP 1)


1. Pus : pembentukan nanah, sebutan untuk nanah cair yang disebabkan
infeksi dari sel darah putih dan sel darah mati.
2. Infeksi : proses invasi dan multiplikasi berbagai mikroorganisme kedalam
tunuh yang saat dalam keadaan normal, mikroorganisme tersebut
tidak terdapat dalam tubuh.
3. Bisul : infeksi kulit yang supuraktif dan bersifat setempat, terjadi apabila
bakteri melewati tempat/kulit yang pecah mengakibatkan luka dan
bengkak.

RUMUSAN MASALAH (STEP 2)


1. Apa saja macam-macam agen penyebab infeksi?
2. Bagaimana cara penyebaran mikroba dalam tubuh?
3. Bagaimana mekanisme agen infeksi menyebabkan penyakit?
4. Mengapa pada pasien timbul nanah?

ANALISIS MASALAH (STEP 3)


1. Agen penyebab infeksi:
a. Prion
b. Virus
c. Protozoa
d. Ektoparasit
e. Bakteri
f. Jamur

1
g. Cacing
h. Parasit
2. Cara penyebaran mikroba dalam tubuh:
a. Menginvasi langsung.
b. Menyebar dalam darah dan cairan limfe.
c. Menyebar secara lokal dari sel dan melalui saraf.
3. Mekanisme agen infeksi menyebabkan penyakit
a. Dengan cara kontak langsung dengan pejamu.
b. Mengeluarkan toksin yan dapat mematikan sel pada jarak tertentu.
c. Mengeluarkan enzim yang mendegradasi komponen jaringan/merusak
pembuluh darah.
4. Pada pasien timbul nanah karena akumulasi bakteri yang berlebih sehingga
cairan sebasea berlebih.

SISTEMATIKA MASALAH (STEP 4)


1. Agen penyebab infeksi:
a. Prion : terdiri dari protein penjamu yang bentuknya abnormal, oleh protein
PrP.
b. Virus : parasit yang hidup di intrasel, tersusun atas pembungkus kepala
(berisi DNA dan RNA), kapsid, dan ekor. Contoh virus yaitu virus polio.
c. Bakteri : prokariotik
1) Garam positif dan garam negatif.
2) Punya flagel : yang menarik sek kepada bakter.
3) Punya fili : yang menempel sel dan bakteri.
4) Hidup di intervase/ekstrasel.
d. Jamur : eukariotik
1) Endermis : spenes yang hanya terdapat di geografi tertentu.
2) Oportunistik : spenes yang terdapat di mana saja
e. Protozoa : eukariotik
f. Cacing : organisme multisel dengan deferansi tinggi.
1) Cacing bulat/nematode
2) Cacing pita/cestoda
3) Cacing pipih/trematoda

2
g. Parasit
1) Obligat
2) Pathogen
3) Fakultatif
4) Permanen
5) temporer
6) apatogen
h. Ektoparasit : serangga (berbagai kutu) atau arachnida
2. Cara penyebaran mikroba dalam tubuh:

Infeksi

Penyebaran Penyebaran
sel radang melalui saraf

Limfatik Aliran darah

Aliran darah

Medula
Ginjal
spinalis

Hati Kelenjar liur

Gambar 1. Penyebaran mikroba.

Tabel 1. Penyebaran mikroba.


Agen infeksi Cara penyebaran
Mensekresi enzim untuk yang merusak jaringan →
Beberapa bakteri ekstrasel memungkinkan infasi langsung
fungus dan helmint

Menyebar dalam darah/cairan limfe → bebas dalam


Mikroorganisme cairan ekstrasel di dalam sel kelenjar

Menyebar secara lokal dari sel ke sel dengan cara


Virus
berpindah atau melalui saraf

3
3. Mekanisme agen infeksi menyebabkan penyakit:
Virus mempunyai protein spesifik yang berikaitan dengan permukaan sel
pejamu

Masuk ke sel kelenjarmu

Replikasi genom virus, sintesa mRNA

Protein virus menyebabkan DNA, RNA, dan sintesis protein sel pejamu
direduksi dan terbentuk antigen virus

Antigen virus dapat dikendali oleh sistem imun terutama oleh TLCs
4. Pada pasien timbul nanah karena:
Terjadi radang purulen

Meningkatkan permeabilitas pembuluh darah

Neutrofil bergerak ketempat yang terinfeksi

Terjadi penumpukan sel darah putih (salah satunya neutrofil)

Pus
MIND MAP

INFEKSI

RESPON IMUN
AGEN PENYEBAB
YANG BERPERAN

CARA
MEKANISME
PENYEBARAN

Gambar 2. Mind Map.

4
SASARAN BELAJAR (STEP 5)
1. Antigen Penyebab Infeksi (definisi, perbedaan, mekanisme, contoh penyakit,
respon imunnya).
2. Cara Mikroba Menghindari Reaksi Imun

BELAJAR MANDIRI (STEP 6)

PENJELASAN SASARAN BELAJAR (STEP 7)


1. Antigen Penyebab Infeksi
a. Bakteri
Definisi
Infeksi bakteri merupakan penyebab penyakit tersering. Bakteri adalah
prokariotik, yang berarti bahwa bakteri tersebut mempunyai membran sel
tetapi tidak mempunyai membran pengikat inti dan organel lain yang dilapisi
membran. Pada umumnya bakteri dikelilingi oleh dinding sel yang terdiri atas
peptidoglikan, suatu polimer dari rantai gula yang panjang yang dihubungkan
oleh jembatan peptida yang mengelilingi membran sel. Dijumpai dua jenis
struktur dinding sel; suatu dinding tebal yang menyerap pulasan crystal-violet
(bakteri gram-positif) dan dinding sel yang tipis yang dilapisi oleh membran
luar (bakteri gram-negatif) (Tabel 1 dan Gambar 1). Bakteri mensintesa
DNA-nya sendiri, RNA dan protein, tetapi mereka bergantung pada kondisi
pertumbuhan pejamu. Banyak bakteri tetap dalam kondisi ekstrasel ketika
tumbuh di dalam pejamu, sedangkan bakteri lain akan bertahan hidup dan
bereplikasi di dalam atau di luar sel pejamu (bakteri intrasel fakultatif) dan
lainnya hanya bisa hidup dan berkembang di dalam sel pejamu (bakteri
intrasel obligatif).1
Tabel 1. Perbedaan bakteri gram-positif dan bakteri gram-negatif.1,2
Karakteristik Bakteri Gram-Positif Bakteri Gram-Negatif
Dinding Sel Homogen dan tebal (20-80 Peptidoglikan (2-7 nm) di
nm) serta sebagian besar antara membran dalam dan
tersusun dari peptidoglikan. luar, serta adanya membran
Polisakarida lain dan asam luar (7-8 nm) yang terdiri dari
telkoat dapat ikut menyusun lipid, protein, dan
dinding sel. lipopolisakarida.
Bentuk Sel Bulat, batang, atau filamen. Bulat, oval, batang lurus atau
melingkar seperti tand koma,
heliks atau filamen, beberapa
memiliki selubung atau kapsul.

5
Reproduksi Pembelahan biner Pembelahan biner atau kadang-
kadang pertunasan
Metabolisme Kemoorganoheterotrof Fototrof, kemolitoautotrof,
atau kemoorganoheterotrof.
Motilitas Umumnya immotil, bila motil Motil atau immotil, bentuk
tipe flagelnya adalah flagela dapat bervariasi-polar,
petritrikus (petritrichous). yaitu lopotrikus (lophtrichous)
atau petritrikus (petritrichous)
Anggota Tubuh Biasanya tidak memiliki Dapat memiliki pili, fimbriae,
apendase. atau tangkai.
Endospora Beberapa grup dapat Tidak dapat membentuk
membentuk endospora. endospora

Gambar 1. Molekul pada permukaan bakteri gram negatif dan bakteri gram
positif yang terlibat pada patogenesis infeksi.1

Orang sehat normal dapat mempunyai 1012 bakteri di kulit, 1010 bakteri
di mulut, dan 1014 bakteri di saluran cerna. Bakteri yang tinggal di kulit
termasuk Staphylococcus epidermidis dan Propionibacteriumacnes, yang
merupakan penyebab jerawat. Bakteri aerobik dan anaerobik di mulut,
terutama Streptococcus mutans, menyebabkan plak gigi, merupakan
penyebab utama dari kerusakan gigi. Dijumpai lebih dari 3.000 taxa bakteri
di dalam flora saluran cerna normal pada seorang manusia, tetapi hanya suatu
subset kecil, terutama anaerob, yang mayoritas.1
Bakteri berdasarkan tempat replikasinya dibagi menjadi bakteri
intraseluler dan bakteri ekstraseluler (Tabel 2). Klamidia dan Riketsia
merupakan bakteri intrasel obligatif yang melakukan replikasi di dalam
vakuol yang terikat pada membran sel epitel dan endotel. Bakteri ini
mendapatkan sebagian besar sumber energinya, yaitu ATP, dari sel pejamu.
Klamidia trakoma (Chlamydiatrachomatis) merupakan penyebab infeksi
tersering pada wanita yang steril (dengan menimbulkan jaringan parut dan

6
penyempitan tuba Fallopi) dan kebutaan (akibat radang kronik pada
conjunctiva yang mengakibatkan jaringan parut dan kelainan kornea).
Riketsia akan mengakibatkan kerusakan pada sel endotel tempat mereka
tumbuh, menyebabkan vaskulitis hemoragika, sering timbul sebagai ruam,
tetapi dapat juga mengakibatkan kerusakan pada sistem saraf pusat (CNS),
berpotensi untuk hasil yang fatal, seperti pada demam Rocky Mountain dan
epidemi tifus. Riketsia ditransmisi melalui vektor artropod, termasuk
berbagai jenis kutu (dalam epidemi tifus, demam Rocky Mountain dan
ehrlichiosis serta scrub tifus).1
Tabel 2. Perbedaan bakteri intraseluler dan bakteri ekstraseluler. 1,2
Perbedaan Bakteri Ekstraseluler Bakteri Intraseluler
Tempat Bereplikasi Mampu membelah diri di Hidup dan bereplikasi di
luar sel host, contohnya dalam sel-sel fagosit karena
pada sirkulasi, jaringan berhasil menemukan
ikat ektraseluler, dan tempat yang tidak dapat
berbagai macam ruang dijangkau oleh antibodi.
antar jaringan seperti
saluran gastrointestinal dan
genitourinaria.
Contoh Bakteri Bakteri gram-positif, Myobacteria, listeria
bakteri gram-negatif, basil monocytogenes, dan
gram-negatif, dan basil legionelle pneumophila.
gram-positif.
Cara Menyebabkan Bakteri menginduksi Beberapa bakteri memakai
Penyakit inflamasi atau respons imun pejamu untuk
menghasilkan toksin. memasuki makrofag.

Perbedaan dan Contoh Penyakitnya


Bakteri diklasifikasikan sesuai dengan pulasan Gram (positif atau
negatif), bentuk (bentuk sferis adalah kokus; bentuk tongkat adalah basil) dan
kebutuhan akan oksigen (aerobik atau anaerobik). Bakteri bergerak karena
mempunyai flagel, yang merupakan filamen panjang yang berasal dari
permukaan sel yang dapat berputar dan menggerakkan bakteri. Beberapa
bakteri mempunyai pili, suatu bentuk lain pertumbuhan dari permukaan yang
akan menempelkan bakteri tersebut pada sel pejamu atau matriks ekstrasel. 1

7
Gambar 2. Penyakit bakterial manusia tertentu dan agen patogennya.1
Mekanisme
1) Virulensi Bakteri
Kerusakan jaringan pejamu oleh bakteri tegantung pada kemampuan
bakteri untuk melekat pada sel pejamu, menginvasi sel dan jaringan atau
mengeluarkan toksin. Bakteri patogen mempunyai gen virulen yang
menyandi protein yang mempunyai kemampuan tersebut. Gen virulen
biasanya dijumpai berkelompok disebut pathogenicity islands. Sejumlah
kecil gen virulen akan menentukan apakah sebuah bakteri berbahaya. Strain
Salmonella yang menginfeksi manusia amat berdekatan sifatnya, sehingga
seperti satu spesies, tetapi sejumlah kecil gen virulen memastikan apakah
sebuah Salmonella mengakibatkan demam tifus yang membahayakan
nyawa atau gastroenteritis yang terbatas (self-limited).1
Plasmid elemen genetik yang tersebar di antara bakteri dan dapat
menyandi faktor virulen, termasuk toksin, atau enzim antibiotik.
Bakteriofag atau plasmid dapat mengubah bakteri yang non-patogen
menjadi yang virulen. Perubahan elemen antar bakteri dapat menyebabkan

8
penerima menambah ketahanan hidupnya dan/atau kapasitasnya untuk
menyebabkan penyakit. Plasmid atau transposons penyandi resistensi
antibiotik dapat mengubah bakteri yang peka antibiotik menjadi resisten
terhadap antibiotik, sehingga menyulitkan terapi. 1
Populasi bakteri dapat bekerja sama untuk meningkatkan
virulensinya:1
a) Banyak spesies bakteri mengatur bersama ekspresi gennya dalam populasi
yang besar dengan quorum sensing, di mana gen spesifik, seperti gen
virulen, akan terekspresi apabila konsentrasi bakteri mencapai konsentrasi
tinggi. Hal ini memungkinkan bakteri tumbuh pada tempat tertentu pada
pejamu, misalnya abses atau pneumonia yang terkonsolidasi, untuk
melawan pertahanan pejamu. S. aureus mengatur faktor virulensi dengan
mensekresi autoinducer peptides. Ketika bakteri berkembang sehingga
autoinducer peptide meningkat, yang menstimulasi produksi eksotoksin.
b) Kelompok bakteri dapat membentuk biofilms di mana organisme hidup
dalam lapisan kental polisakarida ekstrasel yang melekat pada jaringan
pejamu atau alat-alat seperti kateter intravaskular dan sendi artifisial.
Biofilms menyebabkan bakteri tidak dapat terkena mekanisme efektor
imun dan resistensinya terhadap obat antimikroba meningkat.
Pembentukan biofilm merupakan hal penting pada menetapnya dan
kekambuhan berbagai infeksi seperti endokarditis bakterialis, infeksi sendi
artifisial, dan infeksi jalan napas pada penderita fibrosis sistika. 1
2) Melekatnya Bakteri pada Sel Pejamu
Molekul permukaan bakteri yang terikat pada sel pejamu atau pada
matriks ekstrasel disebut adhesins. Berbagai struktur pada permukaan
terlibat dalam perlekatan bermacam bakteri (Gambar 1). Streptococcus
pyogenes mempunyai protein F dan asam teichoic yang menonjol dari
dinding sel yang mengikat fibronektin pada permukaan sel pejamu dan di
dalam matriks ekstrasel. Bakteri lain mempunyai protein berupa filamen
disebut pili pada permukaannya. Tangkai pili dikonservasi secara struktural,
sedangkan asam amino pada ujung pili bervariasi dan menentukan
spesifisitas ikatan dari bakteri. Strains E. coli yang menyebabkan infeksi

9
saluran kemih adalah unik mengekspresi suatu P pilue spesifik, yang
berikatan dengan gal(α1-4)gal moiety yang terekspresi pada sel urotelium.
Pili pada bakteri N. gonorrhoeae mengatur perlekatan bakteri dengan sel
pejamu dan juga menjadi target respons antibodi pejamu. Variasi dari tipe
pili yang diekspresikan merupakan mekanisme penting di mana bakteri N.
gonorrhoeae menghindari respons imun.1
3) Virulensi Bakteri Intrasel
Bakteri intrasel fakultatif biasanya menginfeksi sel epitel (Shigella
dan enteroinvasive E. coli), makrofag (M. tuberculosis, M. leprae), atau
keduanya (S. fyphi). Pertumbuhan bakteri dalam sel memungkinkan bakteri
tersebut menghindar dari mekanisme efektor imun tertentu, seperti antibodi
dan komplemen, atau memfasilitasi penyebaran bakteri dalam tubuh, seperti
saat makrofag membawa M. tuberculosis dari paru menuju tempat lain.1
Bakteri mempunyai berbagai mekanisme untuk memasuki sel
pejamu. Beberapa bakteri memakai respons imun pejamu untuk memasuki
makrofag. Adanya antibodi atau komplemen C3b (opsonisasi) yang
melapisi bakteri menyebabkan terjadinya fagositosis bakteri oleh makrofag.
Seperti banyak bakteri lain, M. tuberculosis mengaktifkan jalur komplemen
alternatif, menghasilkan opsonisasi dengan C3b dan uptake oleh makrofag
pejamu di mana mikobakteri hidup. Beberapa bakteri gram negatif memakai
sistem sekresi tipe III untuk memasuki sel epitel. Sistem ini terdiri atas
proyeksi struktur mirip jarum dari permukaan bakteri yang mengikat dan
membentuk pori pada membran sel pejamu melalui protein yang akan
memulai pengaturan kembali skeleton sel dan memfasilitasi masuknya
bakteri. Akhirnya, bakteri seperti Listeria monocyto genes dapat melakukan
manipulasi sitoskeleton sel agar dapat menyebar langsung dari sel ke sel
lain, yang mungkin mengizinkan bakteri untuk menghindari pertahanan
imun.1
Bakteri intrasel mempunyai strategi berbeda untuk berhubungan
dengan sel pejamu. Shigella dan E. coli menghambat sintesa protein pejamu,
bereplikasi dengan cepat, dan melarutkan sel pejamu dalam hitungan jam.
Walaupun hampir semua bakteri di dalam makrofag dimatikan ketika

10
fagosom melakukan fusi dengan lisosom yang bersifat asam untuk
membentuk fagolisosom, namun beberapa bakteri menghindar dari
pertahanan pejamu ini. Contoh, M. tuberculosis memblok fusi lisosom
dengan fagosom, sehingga bakteri dapat berproliferasi tanpa kendali di
dalam makrofag. Bakteri lain tidak mengalami destruksi dalam makrofag
dengan menghindari fagosom. L. monocytogenes memproduksi protein
yang membuat pori disebut listeriolysin O dan dua fosfolipase yang
mendegradasi membran fagosom, sehingga memungkinkan bakteri
melepaskan diri ke dalam sitoplasma.1
4) Toksin Bakteri
Semua substansi bakteri yang mengakibatkan penyakit dapat
dianggap sebagai toksin. Toksin diklasifikasi sebagai endotoksin, yang
merupakan komponen sel bakteri, dan eksotoksin, yang meru- pakan protein
yang disekresi oleh bakteri.1
Endotoksin bakteri adalah lipopolisakarida (LPS) yang merupakan
komponen dari membran luar bakteri gram-negatif (Gambar 1). LPS terdiri
atas jangkar asam lemak rantai panjang, disebut lipid A, berhu- bungan
dengan inti rantai gula, keduanya sangat mirip pada semua bakteri gram-
negatif. Terlekat dengan inti gula adalah beberapa rantai karbohidrat
(antigen O), yang dipakai untuk menentukan serotipe strain bakteri. Lipid A
mengikat CD14 pada permukaan leukosit pejamu dan kompleks tersebut
akan berikatan dengan Toll-like receptor 4 (TLR4), suatu reseptor dari
sistem imun bawaan yang berperan sebagai pengenal pola dan mengirim
sinyal untuk meningkatkan aktivitas sel dan respons radang. Respons
terhadap LPS dapat menguntungkan dan dapat juga merugikan bagi pejamu.
Respons yang menguntungkan ialah LPS akan mengaktifkan imunitas untuk
proteksi dengan beberapa cara termasuk induksi dari sitokin penting dan
kemokin dari sistem imun, juga terjadi peningkatan ekspresi molekul
kostimulator yang meningkatkan pengaktifan limfosit T. Namun, kadar LPS
yang tinggi mempunyai peran penting dalam syok septik, koa- gulasi
intravaskular diseminata (DIC), dan sindrom distres respirasi akut, terutama
melalui induksi dari kadar sitokin yang berlebihan seperti TNF.1

11
Eksotoksin merupakan protein yang disekresi yang mengakibatkan
jejas sel dan pernyakit. Mereka dapat diklasifikasi dalam kategori umum
menurut mekanisme dan lokasi kerjanya:1
a) Enzim. Bakteri mensekresi sejumlah enzim (protease, hyaluronidase,
koagulase, fibrinolisin) yang bekerja sesuai dengan substratnya in vitro,
tetapi perannya pada penyakit hanya diketahui pada beberapa kasus saja.
Contoh, toksin eksofoliativa merupakan protease yang dibuat oleh S.
aureus, yang membelah protein yang diketahui mengikat keratinosit,
menyebabkan epidermis terlepas dari kulit yang lebih dalam.
b) Toksin yang meningkatkan sinyal intrasel atau jalur regulasi. Sebagian
besar toksin mempunyai komponen aktif (A) dengan aktivitas enzimatik
dan komponen (B) yang bersifat mengikat reseptor permukaan sel dan
mengirimkan protein A ke dalam sitoplasma sel. Efek dari toksin ini
tergantung pada kemampuan mengikat yang spesifik dari domain B dan
jalur sel yang dipengaruhi oleh domain A. Toksin A-B dibuat oleh banyak
bakteri termasuk Bacillus anthracis,, V. cholerae, dan Corynebacterium
diphtheriae. Mekanisme kerja toksin antraks A-B telah diketahui
(Gambar 3). Toksin antraks mempunyai dua komponen alternatif A,
faktor edema (EF) dan faktor letal (LF), yang akan memasuki sel setelah
terjadinya ikatan dengan komponen B dan akan memulai beberapa efek
patologis yang berbeda.
c) Superantigen menstimulasi sejumlah besar limfosit T dengan mengikat
sisa dari reseptor sel T, dan mengakibatkan proliferasi limfosit T yang
masive serta pengeluaran sitokin. Kadar sitokin yang tinggi akan
mengakibatkan kebocoran kapiler dan diikuti syok. Superantigen yang
dibentuk oleh S. aureus dan S. pyogenes menyebabkan sindrom syok
toksik/toxic shock syndrome (TSS).
d) Neurotoksin diproduksi oleh Clostridium botulinum dan Clostridium
tetani akan mencegah pengeluaran neurotransmiter, dan mengakibatkan
kelumpuhan. Toksin ini tidak mematikan neuron; tetapi; domain A
menghasilkan protein yang terlibat dalam sekresi neurotransmitter pada
perbatasan sinapsis. Tetanus dan botulisme dapat berakibat kematian

12
karena kegagalan pernapasan disebabkan kelumpuhan otot dada dan
diafragma.
e) Enterotoksin mempengaruhi saluran cerna dengan berbagai cara dan
menyebabkan beragam efek, termasuk mual dan muntah (S. aureus), diare
encer berlebihan (V. cholerae), atau diare dengan darah (C. difficile).1

Gambar 3. Mekanisme kerja toksin antraks A-B.1


Respons Imun
Bakteri ekstraselular dapat hidup dan berkembangbiak di luar sel
pejamu misalnya dalam sirkulasi, jaringan ikat dan rongga-rongga jaringan
seperti lumen saluran napas dan saluran cerna. Banyak di antaranya
merupakan bakteri patogenik. Penyakit yang ditimbulkan bakteri
ekstraselular dapat berupa inflamasi yang menimbulkan destruksi jaringan di
tempat infeksi dengan membentuk nanah/infeksi supuratif seperti yang terjadi
pada infeksi streptokok (Gambar 4).2
1) Imunitas Nonspesifik
Komponen imunitas nonspesifik utama terhadap bakteri ekstraselular
adalah komplemen, fagositosis dan respons inflamasi. Bakteri yang
mengekspresikan manosa pada permukaannya, dapat diikat lektin ang
homolog dengan Clq, sehingga akan mengaktifkan komplemen melalui
jalur mengaktifkan lektin, meningkatkan opsonisasi dan fagositosis. Di
samping itu MAC dapat menghancurkan membran bakteri. Produk aktivasi
komplemen berperan sampingan dalam mengerahkan dan mengaktifkan

13
leukosit. Fagosit juga mengikat bakteri melalui berbagai reseptor
permukaan lain seperti Toll-like receptor yang semuanya meningkatkan
aktivasi leukosit dan fagositosis. Fagosit yang diaktifkan juga melepas
sitokin yang menginduksi infiltrasi leukosit ke tempat infeksi. Sitokin juga
tmenginduksi panas dan sintesis APP.2

Gambar 4. Antibodi sebagai efektor pada infeksi bakteri ekstraseluler.2

2) Imunitas Spesifik
a) Humoral
Antibodi merupakan komponen imun protektif utama terhadap
bakteri ekstraselular yang berfungsi untuk menyingkirkan mikroba dan
menetralkan toksinnya melalui berbagai mekanisme. Th2 mem- produksi
sitokin yang merangsang respons sel B, aktivasi makrofag dan inflamasi.2
Komplikasi lambat respons imun humoral dapat berupa penyakit
yang ditimbulkan antibodi. Contohnya infeksi streptokok di tenggorok
atau kulit yang menimbulkan manifestasi penyakit beberapa minggu-bulan
setelah infeksi terkontrol. Demam reuma merupakan sekuela infeksi faring
oleh beberapa streptokok hemolitik-B. Antibodi yang diproduksi terhadap
protein dinding bakteri (M- protein) dapat bereaksi silang dengan protein

14
sarkolema dan miosin miokard yang dapat diendapkan di jantung dan
akhimya menimbulkan inflamasi (karditis).2
Glomerulonefritis pasca infeksi streptokok merupakan sekuela
infeksi streptokok di kulit atau tenggorok oleh serotipe streptokok-B yang
lain. Antibodi terhadap bakteri tersebut membentuk kompleks dengan
antigen bakteri dan diendapkan di glomerulus ginjal yang menimbulkan
nefritis.2
b) Sitokin Respons utama pejamu terhadap bakteri ekstraselular adalah
produksi sitokin oleh makrofag yang diaktifkan yang menimbulkan
inflamasi dan syok septik. Toksin seperti superantigen mampu
mengaktifkan banyak sel T sehingga menimbulkan produksi sitokin dalam
jumlah besar dan kelainan klinikopatologi seperti yang terjadi pada syok
septik.2
Imunologi bakteri intraselular Ciri utama bakteri intraselular adalah
kemampuannya untuk hidup bahkan berkembang biak dalam fagosit.
Mikroba tersebut mendapat tempat tersembunyi yang tidak dapat ditemukan
oleh antibodi dalam sirkulasi, sehingga untuk eliminasinya memerlukan
mekanisme imun selular.2
1) Imunitas nonspesifik
Efektor imunitas nonspesifik utama terhadap bakteri intraselular
adalah fagosit dan sel NK. Fagosit menelan dan mencoba menghancurkan
mikroba tersebut, namun mikroba dapat resisten terhadap efek degradasi
fagosit. Bakteri intraselular dapat mengaktifkan sel NK secara direct atau
melalui aktivasi makrofag vang memproduksi IL-12, sitokin poten yang
mengaktifkan sel NK. Sel NK mem produksi IFN-y yang kembali
mengaktifkan makrofag dan meningkatkan daya membunuh bakteri dan
memakan bakteri. Jadi sel NK memberikan respons dini, dan terjadi
interaksi antara sel NK dan makrofag.2
2) Imunitas spesifik
Proteksi utama respons imun spesifik terhadap bakteri intraselular
berupa imunitas selular. Imunitas selular terdiri atas 2 tipe reaksi, yaitu sel
CD4+ Th1 vang mengaktifkan makrofag (DTH) yang memproduksi IFN-

15
dan sel CD8+/CTL, yang memacu pembunuhan mikroba serta lisis sel
terinfeksi. Makrofag yang diaktifkan sebagai respons terhadap mikroba
intraselular dapat pula membentuk granuloma dan menimbulkan kerusakan
jaringan seperti yang terjadi pada DTH terhadap protein PPD
M.tuberkulosis. Sel CD4+ dan CD8+ bekerja sama dalam pertahanan
terhadap mikroba. Bakteri intraselular seperti Listeria monositogenes
dimakan makrofag dan dapat hidup dalam fagosom dan masuk dalam
sitoplasma. CD4+ memberikan respons terhadap peptida antigen-MHC-II
asal bakteri intravesikular, memproduksi IFN- yang mengaktifkan
makrofag untuk menghan- curkan mikroba dalam fagosom. Sel CD4+ naif
dapat berdiferensiasi menjadi sel Th1 yang mengaktifkan fagosit untuk
membunuh mikroba yang dimakan dan sel Th2 yang mencegah aktivasi
makrofag. CD8 memberikan respons terhadap molekul MHC-I yang
mengikat antigen sitosol dan membunuh sel terinfeksi. Perbedaan dalam
respons sel T terhadap mikroba intraselular pada berbagai individu
merupakan determinan dalam perkem- bangan penyakit dan gambaran
klinis. Keseimbangan antara subset tersebut dapat mempengaruhi hasil dari
infeksi, seperti ditemukan pada infeksi lepra. Berbagai patogen dapat
menghindari efek sistem imun.2
b. Virus
Definisi
Virus merupakan parasit yang hanya bisa hidup intrasel dan untuk
kegiatan replikasinya bergantung pada proses metabolisme sel pejamu. Virus
terdiri atas genom asam nukleat yang dikelilingi oleh pembungkus protein
(disebut kapsid) dan kadang-kadang terbungkus di dalam membran lipid.
Virus diklasifikasikan menurut genom asam nukleat (DNA atau RNA namun
bukan keduanya), bentuk kapsid (icosahedral atau helical), ada atau tidak
adanyareplikasi (disebut tropisme), atau tipe kelainan patologi yang
diakibatkannya. Beberapa komponen virus dan partikel akan beragregasi di
dalam sel yang terinfeksi dan membentuk benda inklusi yang karakteristik,
yang dapat dilihat menggunakan mikroskop cahaya dan berguna untuk
diagnosis (Gambar 5). Sebagai contoh, sel yang terinfeksi cytomegalovirus

16
(CMV) akan diperbesar dan menunjukkan inklusi inti eosinofilik yang besar
dan inklusi sitoplasma basofilik yang lebih kecil; virus herpes membentuk
inklusi inti yang besar dikelilingi oleh halo yang jernih; virus cacar dan rabies
membentuk inklusi sitoplasmik yang khas. Namun, banyak virus (misalnya,
virus polio) tidak membentuk benda inklusi. Diperhitungkan sebagai
penyebab terbesar infeksi pada manusia, virus bisa mangakibatkan penyakit
dengan berbagai cara. Banyak virus mengakibatkan penyakit yang sementara
(misalnya, demam dan influenza).1
Virus lain tidak dapat dieliminasi dari tubuh dan tetap berada di
dalam sel pejamu selama bertahun-tahun, terjadi karena multiplikasi
berkelanjutan (misalnya, infeksi kronik pada virus hepatitis B [HBV]) atau
bertahan dalam bentuk non-replikasi (disebut infeksi laten) dengan potensi
bisa terjadi reaktivasi kemudian. Contoh, virus herpes zoster, yang
mengakibatkan cacar air, akan masuk melalui ganglion radiks posterior dan
tetap laten untuk kemudian secara periodik teraktivasi menyebabkan lepuh,
suatu kelainan kulit yang menyakitkan. Beberapa virus terlibat dalam sel
pejamu yang mengalami transformasi menjadi tumor jinak atau tumor ganas
(misalnya, human papillomavirus [HPV] akan mengakibatkan kutil jinak dan
kanker leher rahim).Berbagai spesies virus dapat memberikan gambaran
klinis yang sama (misalnya, infeksi saluran napas atas); sebaliknya, satu virus
dapat mengakibatkan terjadinya berbagai gambaran klinis tergantung pada
usia pejamu ataustatus kekebalannya.1

Gambar 5. Contoh benda inklusi virus. A, infeksi cytomegalovirus di paru.


B, infeksi virus varisela-zoster di kulit. C, infeksi virus hepatitis di hati.1

17
Perbedaan dan Contoh Penyakit
Struktur virus terdiri atas kapsid yang melindungi bahan genetik.
Bahan genetik dan kapsid disebut nukleokapsel. Peran kapsid adalah
melindungi bahan genetik virus terhadap nuklease asal pejamu. Kapsid terdiri
atas subunit protein yang dijadikan bentuk sederhana dan khas berbentuk
heliks, isometrik atau berbentuk kerucut dengan kekecualian kapsid virus pox
yang memiliki struktur yang lebih kompleks (Gambar 6).2
Pada beberapa virus, kapsid diselubungi oleh lapisan ganda
fosfolipid yang diperoleh dari sel pejamu bila virus membentuk budding.
Envelop memberikan proteksi terhadap protease. Envelop virus dapat berasal
dari sitoplasma atau membran nulkleus sel pejamu. Replikasi virus herpes
terjadi dalam nukleus tetapi nukleokapsid dibentuk atau diasembel di luar
nukleus. Bila virus melepaskan diri dari sel, akan membentuk envelop. Pada
beberapa virus, protein sel pejamu ditemukan pada permukaan envelop
virus.2

Gambar 6. Morfologi virus.2


Antigen envelop virus dapat dijadikan sasaran antibodi yang dapat
mencegah infeksi pejamu atau memacu pembunuhan virus bebas dengan

18
bantuan komplemen. Infeksi sel pejamu oleh virus akan menimbulkan
produksi protein virus dalam sel terinfeksi. Beberapa dari protein virus
tersebut diproses dan dipresentasikan ke sel Tc/CTC melalui MHC-I. Infeksi
dapat juga menginduksi produksi berlebihan protein pejamu seperti protein
respons stres atau mengubah produksi atau peptide yang diikat MHC-I yang
mengakibatkan matinya sel terinfeksi oleh sel Tc atau sel NK. Akhirnya,
protein envelop virus diekspresikan pada membran sel yang terinfeksi
sehingga sel menjadi sasaran ADCC atau dihancurkan melalui bantuan
komplemen. Pada Gambar 7 disebutkan contoh virus dan contoh
penyakitnya.1,2

Gambar 7. Penyakit virus manusia tertentu dan agen patogennya.1


Mekanisme
Virus dapat langsung merusak sel pejamu dengan memasukinya dan
melakukan replikasi atas beban pejamu. Manifestasi infeksi virus terutama
ditentukan oleh tropisme virus spesifisitas jaringan dan tipe sel:1
1) Determinan utama untuk tropisme jaringan ialah adanya reseptor virus pada
sel pejamu. Virus mempunyai protein spesifik permukaan selnya yang
mengikat protein permukaaan sel pejamu tertentu. Banyak virus memakai
reseptor sel normal pada pejamu untuk masuk ke dalam sel pejamu. Contoh,
HIV glycoprotein gp120 mengikat CD4 pada sel T dan pada reseptor
kemokin CXCR4 (terutama pada sel T) dan CCR5 (terutama makrofag).
Pada beberapa kasus, protease pejamu dibutuhkan untuk memungkinkan

19
ikatan virus dengan sel pejamu; misalnya, protease pejamu melepaskan dan
mengaktifkan hemaglutinin virus influenza.1
2) Kemampuan virus untuk bereplikasi di dalam beberapa sel tertentu dan
bukan di sel yang lain bergantung pada adanya faktor transkripsi spesifik sel
yang mengenali elemen enhancer dan promotor virus. Contoh virus JC yang
menyebabkan leukoencephalopathy akan melakukan replikasi spesifik
untuk oligodendroglia di sistem saraf pusat, karena promotor dan enhancer
sekuens DNA pengatur ekspresi gen aktif dalam sel glia tetapi tidak pada
neuron atau sel endotel.1
3) Lingkungan fisis, misalnya zat kimia dan suhu, berkontribusi pada tropisme
jaringan. Contoh, enterovirus melakukan replikasi di usus, karena dapat
tahan terhadap inaktivasi oleh asam, empedu dan enzim pencernaan.
Rhinovirus menginfeksi sel hanya pada saluran napas atas karena dapat
melakukan replikasi optimal pada suhu rendah yang karakteristik dijumpai
di tempat ini.1

Gambar 8. Mekanisme virus mengakibatkan kerusakan pada sel.1

Sekali virus berada dalam sel pejamu, mereka akan dapat merusak atau
mematikan sel dengan sejumlah mekanisme (Gambar 8 dan Gambar 9):1
a) Efek sitopatik langsung. Virus dapat membunuh sel dengan mencegah
sintesa makromolekul penting dari pejamu, dengan menghasilkan enzim
perusak dan protein toksik, atau menginduksi apoptosis. Contoh, virus

20
polio mencegah sintesa protein pejamu dengan menginaktifkan protein
penghubung utama/cap-binding protein, yang penting bagi translasi RNA
pesuruh/messenger (mRNA) sel pejamu, tetapi tidak mengganggu
translasi MRNA virus polio. HSV menghasilkan protein yang menahan
sintesa DNA sel dan MRNA serta protein lain yang mendegradasi DNA
pejamu. Beberapa virus dapat merangsang apoptosis dengan memproduksi
protein yang bersifat proapoptotik (misalnya, protein HIV vpr). Replikasi
virus juga akan memicu apoptosis sel pejamu melalui mekanisme sel
sendiri, seperti menghambat selama pembentukan virus, yang akan
mengaktifkan protease yang melakukan mediasi apoptosis (kaspase).
b) Respons imun anti virus. Protein virus pada permukaan sel pejamu dapat
dikenal oleh sistem imun pejamu sehingga limfosit dapat menyerang sel
yang terinfeksi virus. Sel limfosit T sitotoksik (CTLS) yang penting untuk
mekanisme pertahanan ter- hadap infeksi virus, tetapi CTLS juga berperan
pada merusak jaringan. Gagal hati akut selama infeksi hepatitis B dapat
dipercepat oleh CTL yang membantu merusak hepatosit yang telah
terinfeksi (respons normal untuk menghilangkan infeksi).
c) Transformasi sel yang telah terinfeksi menjadi sel tumor jinak atau ganas.
Virus onkogenik yang berbeda dapat menstimulasi pertumbuhan sel dan
ketahanan sel melalui berbagai mekanisme, termasuk ekspresi onkogen
yang disandi virus, strategi anti-apoptosis, dan mutagenesis insertional
(insersi DNA virus ke dalam genom pejamu akan mengubah ekspresi gen
pejamu).1

Gambar 9. Tahap infeksi virus pada sel pejamu.3

21
Respons imun
Virus merupakan organisme obligat, umumnya terdiri atas potongan
DNA atau RNA nya yang diselubungi mantel dari protein atu lipoprotein.
Respons imun terhadap protein virus melibatkan sel T dan sel B. Antigen
virus yang menginduksi antibodi dapat menetralkan virus dan sel T sitotoksik
vang spesifik merupakan imunitas paling efisien pada imunitas proteksi
terhadap virus.2
Virus merupakan obligat intraselular yang berkembang biak di dalam
sel, sering menggunakan mesin sintesis asam nukleat dan protein pejamu.
Dengan reseptor permukaan sel, virus masuk ke dalam sel dan dapat
menimbulkan kerusakan sel dan penyakit melalui berbagai mekanisme. Hal
tersebut disebabkan oleh replikasi virus yang mengganggu sintesis protein
dan fungsi sel normal serta efek sitopatik virus. Virus nonsitopatik dapat
menimbulkan infeksi laten dan DNA virus menetap dalam sel pejamu dan
memproduksi protein yang dapat atau tidak mengganggu fungsi sel. 2
1) Imunitas nonspesifik humoral dan selular
Prinsip mekanisme imunitas nonspesifik terhadap virus adalah
mencegah infeksi Efektor yang berperan adalah IFN tipe I dan sel NK dan
yang membunuh sel terinfeksi. Infeksi banyak virus disertai produksi RNA
yang merangsang sel terinfeksi untuk sekresi IFN tipe 1, mungkin melalui
ikatan dengan TLR. IFN Tipe I mencegah replikasi virus dalam sel
terinfeksi dan sel sekitarnya yang menginduksi lingkungan anti-viral. IFN-
a dan IFN-B mencegah replikasi virus dalam sel yang terinfeksi. 2
Sel NK membunuh sel yang terinfeksi oleh berbagai jenis virus dan
merupakan efektor imunitas penting terhadap infeksi dini virus, sebelum
respons imun spesifik bekerja. Sel NK mengenal sel terinfeksi yang tidak
mengekspresikan MHC-I. Untuk membunuh virus, sel NK tidak
memerlukan bantuan molekul MHC-I.2
2) Imunitas spesifik
a) Imunitas spesifik humoral
Respons imun terhadap virus tergantung dari lokasi virus dalam
pejamu. Antibodi merupakan efektor dalam imunitas spesifik humoral

22
terhadap infeksi virus. Antibodi diproduksi dan hanya efektif terhadap
virus dalam fase ekstraselular. Virus dapat ditemukan ekstraselular pada
awal infeksi sebelum virus masuk ke dalam sel atau bila dilepas oleh sel
terinfeksi yang dihancurkan (khusus untuk virus sitopatik). Antibodi dapat
menetralkan virus, mencegah virus menempel pada sel dan masuk ke
dalam sel pejamu.2
Antibodi dapat berperan sebagai opsonin yang meningkatkan
eliminasi partikel virus oleh fagosit. Aktivasi komplemen juga ikut
berperan dalam me- ningkatkan fagositosis dan menghancurkan virus
dengan envelop lipid secara langsung. IgA yang disekresi di mukosa
berperan terhadap virus yang masuk tubuh melalui mukosa saluran napas
dan cerna. Imunisasi oral terhadan bekerja untuk menginduksi imunitas
virus polio mukosa tersebut.2
b) Imunitas spesifik selular
Virus yang berhasil masuk ke dalam sel tidak lagi rentan terhadap
efek antibodi. Respons imun terhadap virus intraselular terutama
tergantung dari sel CD8+/CTL membunuh sel terinfeksi. Fungsi fisiologik
utama CTL ialah pemantauan terhadap infeksi virus. Kebanyakan CTL
yang spesifik untuk virus mengenal antigen virus yang sudah dicerna
dalam sitosol, biasanya disintesis endogen yang berhubungan dengan
MHC-I dalam setiap sel yang bernukleus. Untuk diferensiasi penuh, CD8+
memerlukan sitokin yang diproduksi sel CD4+ Th dan kostimulator yang
diekspresikan pada sel terinfeksi. Bila sel terinfeksi adalah sel jaringan dan
bukan APC, sel terinfeksi dapat dimakan oleh APC profesional seperti sel
dendritik yang selanjutnya memproses antigen virus dan
mempresentasikannya bersama molekul MHC-I ke sel CD8+ naif di KGB.
Sel yang akhir akan berproliferasi secara masif yang kebanyakan
merupakan sel spesifik untuk beberapa peptida virus. Sel CD8+ naif yang
diaktifkan berdiferensiasi menjadi sel CTL efektor yang dapat membunuh
setiap sel bernukleus yang terinfeksi. Efek antivirus utama CTL adalah
membunuh sel terinfeksi.2

23
Patologi yang diinduksi virus merupakan efek direk yang
menimbulkan kematian sel pejamu dan kerusakan jaringan. Hampir semua
virus tanpa envelop menimbulkan infeksi akut dan kerusakan. Lisis sel
terjadi selama terjadi replikasi dan penyebaran virus ke sel sekitar.
Kerusakan patologi sebetulnya sering lebih merupakan akibat respons
imun aktif terhadap antigen virus dan epitopnya pada permukaan sel
terinfeksi (Gambar 10).2

Gambar 10. Berbagai cara virus memasuki sel pejamu.2


Virus memasuki sel pejamu steleh menempel pada sel tersebut
melalui berbagai cara (Gambar 10): (1) Translokasi, virus menembus
membran sel yang utuh. (2) Insersi genom, virus yang menempel
menginjeksikan material genetik direk ke dalam sitoplasma. (3) Fusi
membran, isi genom virus dimasukkan ke dalam sitolasma sel pejamu. (4)
Endositosis yang diatur oleh reseptor permukaan yang mengikat dan
transpor melalui klatrin, kadang menimbulkan fusi ke dalam endosom
intraselular.2

24
c. Jamur
Definisi
Jamur adalah eukariotik yang mempunyai dinding sel tebal,
mengandungi kitin dan membran sel yang mengandungi ergosterol. Jamur
dapat tumbuh sebagai sel ragi bundar atau hifa ramping berbentuk filamen.
Hifa dapat berbentuk septat (dengan dinding sel yang memisahkan sel-sel
individu) atau aseptat, yang penting untuk membedakan karakteristik materi
klinis. Beberapa jamur patogen penting mempunyai sifat dimorfisme termal;
yaitu, jamur tersebut tumbuh sebagai bentuk hifa pada suhu kamar namun
akan berbentuk ragi pada suhu tubuh. Jamur dapat membentuk spora seksual,
atau lebih sering lagi berupa spora aseksual yang disebut konidia. Konidia
diproduksi pada struktur khusus atau struktur yang menyerupai buahbuahan
yang berasal dari filamen hifa.1
Jamur dapat menyebabkan infeksi pada permukaan tubuh atau
infeksi pada organ dalam tubuh.1
1) Infeksi permukaan tubuh meliputi kulit, rambut dan kuku. Spesies jamur
yang mengakibatkan infeksi permukaan disebutdermatophyta. Infeksi pada
kulit disebut tinea; karena itu, tineapedis adalah "athlete's foot" dan tinea
capitis adalah scalpringworm. Jenis jamur tertentu akan menginvasi
jaringan sub-kutis, menyebabkan abses atau granuloma dan kadang-kadang
disebut misetoma.
2) Infeksi jamur yang dalam dapat menyebar secara sistemik dan menginvasi
jaringan, merusak organ vital pada pejamu yang immunocompromised
(imunitas rendah), tetapi biasanya dapat di atasi atau tetap laten pada pejamu
normal. Jamur dibagi dalam spesies endemik dan oportunistik.
3) Jamur endemik adalah spesies yang invasif dan dijumpai terbatas pada
daerah geografik tertentu (misalnya, Coccidioides di barat daya Amerika
Serikat, Histoplasma di Ohio River Valley).
4) Sebaliknya, jamur oportunistik (misalnya, Candida, Aspergilus, Mucor,
Cryptococcus) merupakan organisme yang dijumpai dimana-mana yang
ditemukan pada manusia maupun dijumpai pada lingkungan. Pada individu
dengan imunodefisiensi, jamur oportunisakan mengakibatkan infeksi

25
invasif yang dapat mematikan dengan tanda nekrosis jaringan, pendarahan,
penyumbatan pembuluh, dengan sedikit respons radang atau tidak
memberikan responsradang. Pasien dengan AIDS sering terkena
jamuroportunis Pneumocystis jiroveci (sebelumnya disebut Pneumocystis
carinii).1
Perbedaan dan Contoh Penyakit
Kebanyakan jamur tidak berbahaya, namun sebagian kecil spesies jamur
dapat menimbulkan penyakit pada manusia yang disebut mikosis. Penyakit
tersebut, bervariasi antara relatif infeksi superfisial biasa sampai penyakit
sistemik yang membahayakan terutama pada pejamu imunodefisien. Hal
tersebut tergantung dari berbagai hal seperti kapsul yang sulit dicerna
(kriptokok), resistensi terhadap fagositosis (histoplasma) dan destruksi sel
polimorfonuklear (koksidiosis). Beberapa jamur mengaktifkan komplemen
melalui jalur alternatif, tetapi efeknya terhadap kelangsungan hidupnya
belum diketahui.2
Antibodi juga dapat ditemukan dan diduga mempunyai peran dalam
respons imun terhadap jamur. Spesies jamur terdiri atas molds, yeast dan
fungi yang lebih tinggi. Fungi memiliki struktur dinding sel kompleks yang
terutama terdiri atas kitin polisakarida, glukan, dan manan. 2,4

Gambar 11. Morfologi jamur.2

26
Membran terdiri atas 2 lapisan yang mengandung sterol yang
sebaliknya dengan kolesterol yang ditemukan pada membran eukariosit yang
lebih tinggi. Jamur mempunyai 2 bentuk, ragi (yeast) uniselular dan kapang
(mold) yang yang tumbuh bercabang yang disebut hife. Morfologi jamur
terlihat pada (Gambar 11). Pertumbuhan jamur, pada umumnya melibatkan
2 fase yaitu vegetatif dan reproduksi. Dalam fase vegetatif, sel berupa haploid
dan membagi secara mitosis. Kebanyakan jamur berupa molds dengan hife,
tetapi beberapa ditemukan dalam bentuk uniseluler yaitu sel yeast. Beberapa
jamur dapat mengubah morfologinya dan disebut dimorfik. Dalam fase
reproduksi, fungsi menunjukkan baik duksi aseksual atau seksual.
Reproduksi aseksual meliputi pembentukan spora.2,3
Yang paling patogenik adalah genus aspergilus dan genera dimorfik
kriptokok dan histoplasma yang tumbuh sebagai jamur dalam alam atau sel
dalam biakan tetapi dapat tumbuh bercabang dalam aringan manusia. Jamur
superfisial sering menginfeksi kulit (kurap), rambut dan kuku. Infeksi jamur
ini adalah kronis, relatif tidak berat. Dalam golongan ini juga termasuk infeksi
membran mukosa oleh Kandida albikans. Meskipun C. albicans dapat
ditemukan normal di mulut, vagina dan saluran cerna, namun pertumbuhan
berlebihan dapat terjadi pada individu dengan imunokompromais atau
mendapat antibiotik. Mikosis subkutan dapat ditimbulkan oleh luka akibat
tusukan jarum dan ditandai oleh abses.2
Mekanisme
Pada keadaan normal kulit memiliki daya tangkis yang baik terhadap
kuman dan jamur karena adanya lapisan lemak pelindung dan terdapatnya
flora bakteri yang memelihara suatu keseimbangan biologis. Akan tetapi bila
lapisan pelindung tersebut rusak atau keseimbangan mikroorganisme
terganggu, maka spora-spora dan fungi dapat dengan mudah mengakibatkan
infeksi. Terutama pada kulit yang lembab, misalnya tidak dikeringkan dengan
baik setelah mandi, karena keringat, dan menggunakan sepatu tertutup. 2,3
Penularan terjadi oleh spora-spora yang dilepaskan penderita mikosis
bersamaan dengan serpihan kulit. Spora ini terdapat dimana-mana, seperti di
tanah, debu rumah dan juga di udara, di lingkungan yang panas dan lembab,

27
dan di tempat dimana banyak orang berjalan tanpa alas kaki, infeksi dengan
spora paling sering terjadi misalnya di kolam renang, spa, ruang olahraga,
kamar ganti pakaian, dan kamar mandi.2,3
Setelah terjadi infeksi, spora tumbuh menjadi mycellium dengan
menggunakan serpihan kulit sebagai makanan. Benang-benangnya menyebar
ke seluruh arah sehingga lokasi infeksi meluas. Enzim yang fungi menembus
ke bagian dalam kulit dan mengakibatkan suatu reaksi peradangan.
Peradangan tersebut terlihat seperti bercak-bercak merah bundar dengan
batas-batas tajam yang melepaskan serpihan kulit dan menimbulkan rasa
gatal-gatal.2,3
Penyakit yang disebabkan oleh jamur disebut mikosis. Mikosis dapat
bersifat superfisial, profundus atau oportunistik. Mikosis superfisial terjadi di
dekat kulit atau pada membran mukosa, dan biasanya menyebabkan penyakit
yang ringan dan superfisial. Jamur yang menyerang jaringan kulit, rambut,
atau kuku biasanya disebut sebagai dermatofit. Penyakit yang disebabkan
oleh mikroorganisme ini disebut tinea (ringworm), contohnya tinea kapitis
(kulit kepala), tinea pedis (kaki), dan tinea kruris (selangkangan). Mekanisme
dermatofit menginfeksi manusia:5
1) Patogenesis Dermatofit
Terjadinya penularan dermatofitosis adalah melalui 3 cara:
a) Antropofilik, transmisi dari manusia ke manusia. Ditularkan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui lantai kolam renang dan udara
sekitar rumah sakit/klinik, dengan atau tanpa reaksi keradangan (silent
“carrier”).
b) Zoofilik, transmisi dari hewan ke manusia. Ditularkan melalui kontak
langsung maupun tidak langsung melalui bulu binatang yang terinfeksi dan
melekat di pakaian, atau sebagai kontaminan pada rumah / tempat tidur
hewan, tempat makanan dan minuman hewan. Sumber penularan utama
adalah anjing, kucing, sapi, kuda dan mencit.
c) Geofilik, transmisi dari tanah ke manusia. Secara sporadis menginfeksi
manusia dan menimbulkan reaksi radang.5

28
Untuk dapat menimbulkan suatu penyakit, jamur harus dapat
mengatasi pertahanan tubuh non spesifik dan spesifik. Jamur harus
mempunyai kemampuan melekat pada kulit dan mukosa pejamu, serta
kemampuan untuk menembus jaringan pejamu, dan mampu bertahan dalam
lingkungan pejamu, menyesuaikan diri dengan suhu dan keadaan biokimia
pejamu untuk dapat berkembang biak dan menimbulkan reaksi jaringan atau
radang.5
Terjadinya infeksi dermatofit melalui tiga langkah utama, yaitu:
perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta
pembentukan respon pejamu.5
2) Perlekatan dermatofit pada keratinosit
Perlekatan artrokonidia pada jaringan keratin tercapai maksimal
setelah 6 jam, dimediasi oleh serabut dinding terluar dermatofit yang
memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat menghidrolisis keratin dan
memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum korneum. Dermatofit juga
melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan mengeluarkan serine
proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen jaringan) yang
menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi pejamu.
Proses ini dipengaruhi oleh kedekatan dinding dari kedua sel, dan pengaruh
sebum antara artrospor dan korneosit yang dipermudah oleh adanya proses
trauma atau adanya lesi pada kulit. Tidak semua dermatofit melekat pada
korneosit karena tergantung pada jenis strainnya.5
3) Penetrasi dermatofit melewati dan di antara sel
Spora harus tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan
kecepatan melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan
sekresi proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi
jamur. Diperlukan waktu 4-6 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum
korneum setelah spora melekat pada keratin.5
Dalam upaya bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang
terbentuk tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa cara:5
a) Penyamaran, antara lain dengan membentuk kapsul polisakarida yang
tebal, memicu pertumbuhan filamen hifa, sehinggga glucan yang terdapat

29
pada dinding sel jamur tidak terpapar oleh dectin-1, dan dengan
membentuk biofilamen, suatu polimer ekstra sel, sehingga jamur dapat
bertahan terhadap fagositosis.
b) Pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan
imun pejamu atau secara aktif mengendalikan respons imun mengarah
kepada tipe pertahanan yang tidak efektif, contohnya Adhesin pada
dinding sel jamur berikatan dengan CD14 dan komplemen C3 (CR3,
MAC1) pada dinding makrofag yang berakibat aktivasi makrofag akan
terhambat.
c) Penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung
merusak atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi
toksin atau protease. Jamur mensintesa katalase dan superoksid dismutase,
mensekresi protease yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga
memudahkan proses invasi oleh jamur, dan memproduksi siderospore
(suatu molekul penangkap zat besi yang dapat larut) yang digunakan untuk
menangkap zat besi untuk kehidupan aerobik.5
Kemampuan spesies dermatofit menginvasi stratum korneum
bervariasi dan dipengaruhi oleh daya tahan pejamu yang dapat membatasi
kemampuan dermatofit dalam melakukan penetrasi pada stratum korneum.5
Respons imun
1) Imunitas spesifik
Infeksi jamur disebut mikosis. Jamur yang masuk ke dalam tubuh
akan mendapat tanggapan melalui respon imun. IgM dan IgG di dalam
sirkulasi diproduksi sebagai respon terhadap infeksi jamur. Respon cell-
mediated immune (CMI) adalah protektif karena dapat menekan reaktivasi
infeksi jamur oportunistik. Respon imun yang terjadi terhadap infeksi jamur
merupakan kombinasi pola respon imun terhadap mikroorganisme
ekstraseluler dan respon imun intraseluler. Respon imun seluler dilakukan
sel T CD 4+ dan CD 8+ yang bekerja sama untuk mengeliminasi jamur. Dari
subset sel T CD 4+, respon Th 1 merupakan respon protektif, sedangkan
respon Th 2 merugikan tubuh.2

30
Kulit yang terinfeksi akan berusaha menghambat penyebaran infeksi
dan sembuh, menimbulkan resistensi terhadap infeksi berikutnya. Resistensi
ini berdasarkan reaksi imunitas seluler, karena penderita umumnya
menunjukkan reaksi hipersensitivitas IV terhadap jamur bersangkutan. 2
2) Imunitas nonspesifik
Sawar fisik kulit dan membran mukosa, faktor kimiawi dalam serum
dan sekresi kulit berperan dalam imunitas nonspesifik. Efektor utamanya
terhadap jamur adalah neutrofil dan makrofag. Netrofil dapat melepas bahan
fungisidal seperti ROI dan enzim lisosom serta memakan jamur untuk
dibunuh intraselular. Galur virulen (kriptokok neofarmans) menghambat
produksi sitokin TNF dan IL-12 oleh makrofag dan merangsang produksi
IL-10 yang menghambat aktivasi makrofag.2
d. Parasit
Definisi
Istilah pejamu mati, patogen mati adalah istilah dalam parasitologi.
Parasit merupakan organsime yang berlindung dalam organisme dan
mendapatkan keuntungan dari pejamu. Golongan parasit atau di dari
untungan berupa protozoa (malaria, tripanosoma, toksoplasma, lesmania dan
amuba), cacing, ektoparasit (kutu, tungau) menunjukkan peningkatan angka
morbiditas dan mortalitasnya yang bermakna terutama di negara-negara yang
sedang berkembang.2
Perbedaan dan Contoh Penyakit
1) Protozoa
Protozoa adalah sel tunggal eukariotik yang merupakan penyebab
utama penyakit dan kematian pada negara berkembang Protozoa dapat
melakukan replikasi intrasel di dalam berbagai sel (misalnya, Plasmodium
dalam sel darah merah, Leishmania di makrofag) atau secara ekstrasel pada
sistem urogenital, saluran cerna atau darah. Organisme Trichomonas
vaginalis adalah parasit protozoa berflagela yang ditansmisi secara seksual,
hidup di vagina dan uretra laki-laki. Protozoa pada usus yang paling sering
dijumpai adalah Entamoeba histolytica dan Giardia lamblia, yang masuk
berbentuk kista nonmotil pada makanan atau air yang berubah menjadi

31
trofozoit motil yang menempel pada sel epitel saluran cerna. Protozoa yang
berasal dari darah (misalnya, Plasmodium, Tripanosoma, Leishmania)
ditransmisikan melalui vektor serangga, di mana protozoa tersebut akan
mengalami replikasi sebelum diteruskan ke pejamu manusia. Toksoplasma
gondii diperoleh melalui kontak dengan anak kucing yang mengandungi
oocyst atau dengan mengkonsumsi makanan/daging yang belum matang
yang mengandungi kista.1
Protozoa patogen meliputi malaria (plasmodium), amoeba (entamoeba
histolitica yang menyebabln disentri), dan flagelata (giardia lamblia, yang
menyebabkan diae tripanosoma, menyebabkan penyakit tidur). Meskipun
lebih di negara Amerika Serikat, parasit dan protozoa merupakan penyakit
yang sering dijumpai sebagai penyebab infeksi di seluruh dunia, dengan
efek yang cukup signifikan pada mortalitas dan morbiditas pasien di negara
berkembang (Gambar 12).3

Gambar 12. Jamur patogen yang umum dijumpai.3


2) Cacing
Cacing parasit adalah organisme multisel dengan diferensiasi tinggi.
Siklus kehidupannya sangat kompleks; sebagian besar terjadi bergantian
antara reproduksi seksual pada pejamu tertentu dan multiplikasi aseksual
pada pejamu perantara atau vektor. Oleh karena itu, tergantung pada
spesiesnya, manusia dapat mengandungi cacing dewasa (misalnya, Ascaris
lumbricoides), stadium imatur (misalnya, Toxocara canis), atau bentuk

32
larva aseksual (misalnya, Echinococcus spp.). Ketika cacing dewasa berada
dalam manusia, cacing tersebuttidak akan bermultiplikasi tetapi akan
menghasilkan telur atau larva yang akan dikeluarkan melalui tinja.
Seringkali, beratnya gejala penyakit sesuai dengan jumlah organisme yang
menginfeksi. Sebagai contoh, beban dari 10 ekor cacing tambang dikaitkan
dengan keluhan klinis ringan atau tanpa keluhan klinis, sedangkan 1000
ekor cacing tambang akan mengkonsumsi darah yang bisa mengakibatkan
anemia berat. Pada beberapa infeksi cacing, seperti schistosomiasis,
penyakit akan disebabkan oleh respons radang akibat adanya telur atau larva
dan bukan akibat cacing dewasa.1

Gambar 13. Larva Trichinella spiralis yang melingkar dalam sel otot
skeletal.1
Cacing terbagi atas tiga kelompok:1
a) Cacing bulat (nematoda) bentuknya bulat pada potongan melintang dan
tidak bersegmen. Yang termasuk nematoda intestinal adalah Ascaris
lumbricoides, Strongyloides stercoralis, dan cacing tambang. Nematoda
yang menginvasi jaringan adalah filariae dan Trichinella Spiralis
(Gambar 13).
b) Cacing pita (sestoda) mempunyai kepala (scolex) dan pita bersegmen
multipel yang rata (proglottids). Cacing ini akan menyerap nutrisi melalui
selaputnya/tegument dan tidak mempunyai saluran cerna. Termasuk di
dalam kategori ini adalah cacing pita pada ikan, sapi dan babi, serta
dijumpai pula pada saluran cerna manusia. Larva yang berkembang setelah
telur dari cacing pita tertentu tertelan akan mengakibatkan penyakit kista
di dalam jaringan (larva Echinoccus granulosus mengakibatkan kista
hydatid; larva cacing pita pada babi menimbulkan kista yang disebut
sistiserkus pada berbagai organ).

33
c) Cacing pipih/ Flukes (trematoda) adalah cacing berbentuk daun dengan
alat penghisap yang digunakan untuk menempel pada pejamu. Termasuk
dalam kategori ini adalah trematoda hati dan paru serta sistosoma. 1
3) Ektoparasit
Ektoparasit adalah serangga (berbagai kutu) atau araknida
(tungau/mites, kutu/ticks, laba-laba) yang akan melekat dan hidup pada atau
di dalam kulit. Penyakit-penyakit akibat langsung artropoda ditandai dengan
keluhan gatal dan ekskoriasi, misalnya pedikulosis yang diakibatkan oleh
kutu yang melekat pada rambut, atau skabies yang diakibatkan oleh kutu
yang menembus stratum korneum. Pada tempat gigitan, bagian dari mulut
dijumpai bersama dengan infiltrat limfosit, makrofag, dan eosinofil.
Artropoda dapat juga berfungsi sebagai vektor untuk patogen lain, seperti
Borrelia burgdorferi, penyebab penyakit Lyme, yang ditransmisi melalui
kutu dari rusa.1
Mekanisme
Malaria adalah salah satu infeksi yang sering terjadi di dunia. Pada
tahun 2012, WHO memperkirakan terdapat 207 juta kasus malaria dengan
perkiraan 627.000 kematian; 90 % ada di Afrika di mana 82% kematian
terjadi pada anak-anak berumur kurang dari 5 tahun.18 Malaria disebabkan
oleh plasmodium falciparum, suatu protozoa uniseluler.3
Siklus hidup malaria melibatkan pejamu manusia dan nyamuk
(Anopeles). Manusia terinfeksi oleh nyamuk pada saat nyamuk anopeles
tersebut menghisap darah. Selanjutnya sporozoit menginfeksi hepatosit.
Skizon yang matang akan memecah hepatosit melepas merozoit yang
selanjutnya akan menginfeksi sel darah merah (dari tahap cincin trofozoit
matang menjadi skizon). Trofozoit dapat juga menjadi gametosit yang dapat
dihisap nyamuk. Perkembangbiakan dalam nyamuk menimbulkan sejumlah
penrubahan morfologi yang menghasilkan pembentukan sporazot yang
dinfeksikan ke manusia, jadi melengkapi siklus hidupnya (Gambar 14).2,3

34
Gambar 14. Siklus hidup plasmodium (malaria).2
Banyak parasit protozoa ditularkan melalui vektor atau ingesti. Vektor
meliputi lalat tse-tse (Tripanosoma cruzi, menyebabkan penyakit chagas di
amerika selatan; Tripanosoma brucei, menyebabkan penyakit tidur di Afrika)
dan kutu pasir (Leishmaniasis). Makan dan minum dapat terkontaminasi
dengan parasit protozoa (contoh; E. hystolitica, G. lamblia). Penularan dari
plasmodium melalui gigitan dari nyamuk anopheles betina di mana parasit ini
tumbuh di kelenjar saliva nyamuk tersebut.3
Perlekatan pertama kepada sel-sel inang bergantung kepada keberadaan
dari mikroorganisme tersebut di sirkulasi darah atau pada saluran
gastrointestinal. Mikroorganisme di sirkulasi darah memiliki protein
permukaan yang dapat menempel pada berbagai macam reseptor dalam
rangka menginfeksi sel makrofag, sel darah merah, atau sel organ seperti
hepatosit. Sebagai contoh, multiplikasi dari plasmodium terjadi di eritrosit
dan akan menginfeksi eritrosit lainnya. Adanya lisis periodik (48-72jam) akan
menghasilkan anemia dan pejamusi dari sitokin-sitokin (contoh; TNF-a, IFN-
g, IL-1) yang dapat memicu terjadinya demam, menggigil, berkeringat, sakit
kepala, nyeri otot, dan muntah. Gejala yang berat dapat berupa anemia, edema
paru, dan komplikasi-komplikasi lain yang berujung pada kematian.

35
Komplikasi neurologis juga dapat dihasilkan oleh mekanisme dari sel darah
merah terinfeksi yang akan menempel pada endotel kapiler otak.3
Respons imun
1) Imunitas nonspesifik
Meskipun berbagai protozoa dan cacing mengaktifkan imunitas
nonspesifik lalui mekanisme yang berbeda, mikroha tersebut biasanya dapat
tetap hidup dan berkembang biak dalam pejamu oleh karena dapat
beradaptasi dan menjadi resisten terhadap sistem imun pejamu. Respons
imun nonspesifik utama terhadap protozoa adalah fagositosis, tetapi banyak
parasit tersebut hakterisidal makrofag, bahkan beberapa di antaranya dapat
hidup dalam makrofag. Fagosit juga menyerang cacing dan melepas bahan
mikrobisidal untuk mem- resisten terhadap efek bunuh mikroba yang terlalu
besar untuk dimakan. Beberapa cacing mengaktifkan komplemen melalui
jalur alternatif, tetapi ternyata banyak parasit memiliki lapisan permukaan
tebal sehingga resisten terhadap mekanisme sitosidal neutrofil dan
makrofag. Banyak parasit ternyata mengembangkan resistensi terhadap efek
lisis komplemen.2
2) Imunitas spesifik
a) Respons imun yang berbeda
Berbagai protozoa dan cacing berbeda dalam besar, struktur, sifat
biokimiawi siklus hidup dan patogenisitasnya. Hal menimbulkan respons
imun spesifik berbeda pula. Infeksi cacing biasanya terjadi kronik dan
kematian pejamu akan merugikan parasit sendiri. Infeksi yang kronik itu
akan menimbulkan rangsangan antigen persisten yang meningkatkan
kadar imunoglobulin dalam sirkulasi dan pembentukan kompleks imun.
Antigen-antigen yang dilepas parasit diduga berfungsi sebagai mitogen
poliklonal sel B yang T independen.2
b) Infeksi cacing
Respons pejamu terhadap infeksi cacing pada umumnya lebih kompleks
oleh karena patogen lebih besar dan tidak bisa ditelan oleh fagosit
(Gambar 15). Pertahanan terhadap banyak infeksi cacing diperankan oleh
aktivasi sel Th2. merangsang subset Th2 sel CD4 yang melepas IL-4 dan

36
IL-5. IL-4 merangsang produksi IgE dan IL-5 merangsang perkembangan
dan aktivasi eosinofil. IgE yang berikatan dengan permukaan cacing diikat
eosinofil. Selanjutnya eosinofil diaktifkan dan mensekresi Pertahanan
Cacing granul enzim yang menghancurkan parasit.
Eosinofil lebih efektif dibanding leukosit lain oleh karena eosinofil
mengandung granul yang lebih toksik dibanding enzim proteolitik dan
ROI yang diproduksi neutrofil dan makrofag. Cacing dan ekstrak cacing
dapat merangsang produksi IgE yang nonspesifik. Reaksi inflamasi yang
ditimbulkannya diduga dapat mencegah menempelnya cacing pada
mukosa saluran cerna (Gambar 7.12).2

Gambar 15. respons imun cacing.2


Parasit yang masuk ke dalam lumen saluran cerna, pertama dirusak
oleh IgG, IgE dan juga mungkin dibantu oleh ADCC. Sitokin yang dilepas
sel T dipacu antigen spesifik merangsang proliferasi sel goblet dan sekresi
bahan mukus yang menyelubungi cacing yang Hal itu memungkinkan
cacing dapat dikeluarkan dari tubuh melalui peningkatan gerakan usus
yang diinduksi mediator sel mast seperti LTD4 dan diare akibat
pencegahan absorbsi natrium yang tergantung glukosa oleh histamin dan
prostaglandin asal sel mast.2

37
Cacing biasanya terlalu besar untuk fagositosis. Degranulasi sel
mast/ basofil yang IgE dependen menghasilkan produksi histamin yang
menimbulkan spasme usus tempat cacing hidup. Eosinofil menempel pada
cacing melalui IgG/IgA dan melepas protein kationik, MBP dan
neurotoksin. PMN dan makrofag menempel melalui IgA/lgG dan melepas
superoksida, oksida nitrit dan enzim yang membunuh cacing. IgE parasit
diduga banyak ahli hana merupakan bagian dari peningkatan masif IgE
yang diinduksi IL-4 oleh sel Th2 dan eksesnya diduga untuk memenhui
IgER pada permukaan sel mast untuk dijadikan refrakter terhadap
rangsangan antigen parasit (Gambar 16).2

Gambar 16. respons imun terhadap cacing.2


2. Cara Mikroba Menghindari Reaksi Imun
Setelah dapat melalui mikroorganisme yang infektif juga harus menghindari
mekanisme imunitas alami dan adaptif agar berhasil berproliferasi dan dapat
ditransmisi pada pejamu berikutnya. Strateginya meliputi (Gambar 17):1
a. Variasi antigen.
b. Menonaktifkan antibodi atau komplemen.
c. Melawan fagositosis (misalnya, dengan pembentukan kapsul).
d. Menekan respons imun adaptif pejamu (misalnya, dengan inhibisi ekspresi
MHC dan presentasi antigen).1

38
Gambar 17. Mekanisme patogen virus dan bakteri untuk menghindari
imunitas nonspesifik dan spesifik.1

39
DAFTAR PUSTAKA
1. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9. Jakarta:
ELSEVIER; 2015.
2. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2018.
3. Huether SE, McCance KL. Patofisiologi Edisi Keenam Volume 1. Jakarta:
ELSEVIER; 2017.
4. Setiati S, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI Jilid I. Jakarta: Interna
Publishing; 2014.
5. Kurniati, Cita RSP. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Surabaya: Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit & Kelamin; 2010

40

Anda mungkin juga menyukai