Anda di halaman 1dari 80

Skenario 3

Jatuh Dari Pohon

Seorang laki-laki usia 45 tahun diantar ke UGD RS dengan keluhan tidak


bisa BAK dan terasa kesemutan di tungkai kiri setalah terjatuh dari pohon 8 jam
yang lalu. Pasien terjatuh dengan posisi punggung sebagai tumpuan pertama.
Pasien masih dapat menggerakan kakinya namun terasa berat dan sakit menjalar
hingga ke pinggang saat menggerakan kaki. Kesemutan dirasakan setiap saat dan
tisak menghilang saat dipijat maupun dengan istirahat. Pasien masih dapat
merasakan rasa ingin BAK namun urin tidak dapat keluar, pasien merasa perutnya
penuh karena tidak BAK dalam sehari. Pasien mengaku tidak pingsan, mual,
muntah, keluar cairan dari telinga dan hidung maupun kejang. Setelah dilakukan
pemeriksaan fisik dan penunjang, pasien diberikan penatalaksanaan awal lalu
dirujuk ke spesialis syaraf.

STEP I

1. Kesemutan : sensasi kebas, mati rasa, dan panas seperti tertusuk-tusuk


jarum. Dapat terjadi karena penekanan saraf yang
berlangsung lama, kurangnya suplai darah dalam tubuh
dan dehidrasi.

STEP II

1. Bagaimana pasien dapat mengalami keluhan tersebut?


2. Hubungan keluhan pasien dengan posisi saat terjatuh?
3. Bagaimana penegakan diagnosis pada kasus tersebut?
4. Bagaimana tatalaksana awal dan lanjutan pasien?

1
STEP III

1. Trauma:
- Langsung
- Tidak langsung

Terjadi gangguan supravesikel dan vesikel, dan saraf pada medulla spinalis
segmen S2-S4.
2. Trauma pada columna vertebra dapat menyebabkan trauma pada medulla
spinalis. Jika yang terkenanya area sacral dan menekan S1-S4 dapat
menyebabkan retensi urin, jika terjadi kerusakan akson maka dapat
menyebabkan parestesi.
3. Anamnesis : lokasi, nyeri
Pemeriksaan fisik : TTV, nyeri pada tulang belakang
Pemeriksaan Penunjang : CT Scan, MRI
4. Tatalaksana awal : airway, breathing, circulation, stabilisasi
pasien, status neurologis. Pemberian
analgetik dan kortikosteroid.

STEP IV

1. Jika terdapat lesi pada nervi splankhinici pelvici segmen S2, S3, dan S4,
maka ganglion parasimpatis di vesica urinaria dan di M. Sfingter uretra
internus akan terganggu. Seperti terjadi gagalnya kontraksi M. Detrusor,
dan gagalnya relaksasi M. Sfingter uretra internus sehingga dapat
menyebabkan tidak terjadinya miksi.
2. Etiologi : kompresi, edema, regangan jaringan, gangguan sirkulasi.
Hubungan posisi jatuh dengan keluhan pasien adalah ketika terjadinya
kerusakan medulla spinalis akan menumbulkan efek yang sesuai dengan
dermatom atau perjalanan dari saraf yang terkenanya.
3. Anamnesis:
- Mekanisme, jenis, dan waktu trauma
- Ada tidaknya nyeri

2
- Gangguan fungsi sensorik yang dialami
- Gangguan fungsi motorik yang dialami
- Gangguan miksi, defekasi, dan seksual yang dialami
Pemeriksaan fisik:
- Pemeriksaan fisik umum
- Tanda-tanda vital
- Pemeriksaan neurologis (sensorik, motorik, otonom, refleks fisiologis
dan patologis).
Pemeriksaan penunjang:
- Pemeriksaan Laboratorium (darah perifer lengkap, urinalisis, gula darah
sewaktu, ureum, kreatinin, analisis gas darah)
- Pemeriksaan radiologi (foto vertebra, CT-Scan, MRI)
- Pemeriksana lain (EKG, AGD)
4. Tatalaksana awal:
 Imobilisasi pasien (collar neck, fiksasi segmen lain)
 Periksa dan stabilkan ABC
 Pasang kateter foley
 Pasang selang nasogastric
 Pemberikan kortikosteroid
- Jika <3 jam metilprednisolon 30 mg/KgBB i.v (23 jam)
- Jika 3-8 jam metilprednisolon 30 mg/KgBB i.v (47 jam)

Tatalaksana lanjutan:
 Pemantauan tanda-tanda vital
 Medikamentosa
 Pencegahan ulkus decubitus
 Pemberikan antioksidan seperti vitamin E dan C.

Indikasi Operasi:
 Ada fraktur/ pecahan tulang menekan medulla spinalis
 Gambaran neurologis progresif memburuk
 Herniasi intervertebralis yang menekan medulla spinalis.

3
MIND MAP

CEDERA MEDULLA SPINALIS

ETIOLOGI TATALAKSANA

-Nontrauma -Farmako
-Trauma -Nonfarmako
(direct, indirect)

PATOFISIOLOGI PENEGAKAN KOMPLIKASI &


DIAGNOSIS PREVENTIF

STEP V

1. Etiologi dan faktor resiko kegawatdaruatan neurologis


2. Patomekanisme
3. Pendekatan klinis
4. Diferensial diagnosis
5. Tatalaksana awal dan lanjutan
6. Komplikasi

STEP VI

Belajar Mandiri

4
STEP VII

1. Etiologi dan faktor resiko kegawatdaruatan neurologis

ETIOLOGI
- Kecelakaan lalu lintas 45%
- Jatuh dari ketinggian 32%
- Tertimpa 16%
- Mengangkat beban berat 5%
- Menyelam 2%. 1

Letak cedera :
- Cervical 56%
- Thorakal 25%
- Lumbal 29%. 1

Cedera paling sering terjadi pada titik pertemuan antara bagian kolumna
vertebralis yang relatif sering bergerak dengan ruas yang relatif selalu
terfiksasi.2

Contoh :
- Daerah cervical bawah dan thorakal atas
- Daerah segmen thorakal bawah dan segmen lumbal atas
- Daerah segmen lumbal bawah dan sacral.2

Kerusakan medula spinalis (trauma tak langsung) :


- Dislokasi
- Rotasi
- Kompresi
- Hiperfleksi dan
- Hiperekstensi pada medula spinalis atau kauda ekuina.1

5
ETIOPATOGENESIS
- Fraktur/ dislokasi vertebra : dapat menekan medula spinalis
- Luka penetrasi/ tembus : dapat melukai secara langsung
- Perdarahan epidural/ subdural : dapat menekan radiks saraf,
sehingga timbul nyeri progresif dan paraparesis.2

FAKTOR RESIKO
 Jenis kelamin
- Laki-laki 86%
- Perempuan 14%
 Usia
- < 30 tahun 24%
- 30-50 tahun 41%
- > 50 tahun 25% 1

MEKANISME TRAUMA TAK LANGSUNG PADA MEDULA SPINALIS


a) Fleksi
Terjadi akibat fleksi dan kompresi pada vertebra

Vertebra tertekan

Kerusakan ligamen

Fraktur tidak stabil.3
b) Fleksi dan rotasi
Trauma fleksi bersama dengan rotasi

Dislokasi vertebra

Menyebabkan fraktur

Sering terjadi di C5-C6 dan T12-L1

6

Menimbulkan kerusakan yang luas pada medula spinalis.3
c) Kompresi vertical
Trauma vertical yang secara langsung mengenai vertebra

Kompresi aksial.3
d) Hiperekstensi
Tersering pada cervical dan thorakal

Ligamen alami kerusakan

Sering menyebabkan ligamentum spinalis anterior robek

Lokasi umum di C4-C5.3
e) Fleksi lateral
Kompresi atau trauma distraksi3

7
Gambar 1.1 Patofisiologi Trauma Medula Spinalis.1

8
MANIFESTASI KLINIS

 C1-C5 : Respirasi paralisis dan quadriplegi


 C5-C6 : Paralisis tangan, pergelangan, abduksi bahu dan fleksi siku yang
lemah, kehilangan refleks brachioradialis
 C6-C7 : Paralisis pergelangan, tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi bisa
dilakukan
 C7-C8 : Paralisis kaki dan tangan
 C8-T1 : Horner syndrome (ptosis, miosis pupil), paralisis kaki
 T2-T4 : Paralisis kaki, kehilangan sensasi dibawah mammae
 T5-T8 : Paralisis kaki, kehilangan sensasi
 T9-T10 : Paralisis kaki, kehilangan sensasi dibawah umbilicus
 T11-T12 : Paralisis otot-otot kaki diatas dan dibawah lutut
 T12-L1 : Paralisis dibawah lutut
 Cauda Equina : Hiporeflek atau paresis ekstremitas bawah, kehilangan
control bowel dan bladder
 S3-S5 (conus medularis) : Kehilangan control bowel dan bladder secara
total.3

TRAUMA MEDULLA SPINALIS.


Trauma medula spinalis (TMS) meliputi kerusakan medula spinalis
karena trauma langsung atau tak langsung yang mengakibatkan gangguan
fungsi utamanya, seperti fungsi motorik, sensorik, autonomik, dan refl eks,
baik komplet ataupun inkomplet. Trauma medula spinalis merupakan
penyebab kematian dan kecacatan pada era modern, dengan 8.000-10.000
kasus per tahun pada populasi penduduk USA dan membawa dampak
ekonomi yang tidak sedikit pada sistem kesehatan dan asuransi di USA.1

MEKANISME TRAUMA DAN STABILITAS FRAKTUR


Trauma medula spinalis dapat menyebabkan komosio, kontusio,
laserasi, atau kompresi medula spinalis. Patomekanika lesi medula spinalis
berupa rusaknya traktus pada medula spinalis, baik asenden ataupun

9
desenden. Petekie tersebar pada substansia grisea, mem besar, lalu
menyatu dalam waktu satu jam setelah trauma. Selanjutnya, terjadi
nekrosis hemoragik dalam 24-36 jam. Pada substansia alba, dapat
ditemukan petekie dalam waktu 3-4 jam setelah trauma. Kelainan serabut
mielin dan traktus panjang menunjukkan adanya kerusakan struktural
luas.1
1) Medula spinalis dan radiks dapat rusak melalui 4 mekanisme berikut:
Kompresi oleh tulang, ligamen, herniasi diskus intervertebralis, dan
hematoma. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang
dan kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke
posterior dan trauma hiperekstensi.
2) Regangan jaringan berlebihan, biasanya terjadi pada hiperfl eksi.
Toleransi medula spinalis terhadap regangan akan menurun dengan
bertambahnya usia.
3) Edema medula spinalis yang timbul segera setelah trauma
mengganggu aliran darah kapiler dan vena.
4) Gangguan sirkulasi atau sistem arteri spinalis anterior dan posterior
akibat kompresi tulang.1

MEKANISME KERUSAKAN PRIMER


Ada setidaknya 4 mekanisme penyebab kerusakan primer:
1) gaya impact dan kompresi persisten,
2) gaya impact tanpa kompresi,
3) tarikan medula spinalis.1
Laserasi dan medula spinalis terpotong akibat trauma. Sel neuron akan
rusak dan kekacauan proses intraseluler akan turut berdampak pada
selubung mielin di dekatnya sehingga menipis; transmisi saraf terganggu,
baik karena efek trauma ataupun oleh efek massa akibat pembengkakan
daerah sekitar luka. Kerusakan substansia grisea akan ireversibel pada satu
jam pertama setelah trauma, sementara substansia alba akan mengalami
kerusakan pada 72 jam setelah trauma. 1

10
MEKANISME KERUSAKAN SEKUNDER
Kerusakan primer merupakan sebuah nidus atau titik awal terjadinya
kerusakan sekunder. Kerusakan sekunder disebabkan, antara lain, oleh
syok neurogenik, proses vaskular, seperti perdarahan dan iskemia,
eksitotoksisitas, lesi sekunder yang dimediasi kalsium, gangguan Trauma
medula spinalis merupakan keadaan yang dapat menimbulkan kecacatan
permanen dan mengancam nyawa. Saat ini penggunaan kortikosteroid
masih menjadi perdebatan di samping obat-obat baru yang diharapkan
mampu memberikan pilihan terapi bagi pasien trauma medula spinalis.1

PROSES IMUNOLOGI PADA KERUSAKAN SEKUNDER


Sel glia berfungsi menjaga proses homeostasis melalui regulasi asam
amino eksitatorik dan derajat keasaman (pH). Sel glia menghasilkan
berbagai macam growth factor untuk menstabilkan kembali jaringan saraf
yang rusak, serta sprouting atau penyebaran ujung saraf; sel glia lain
berfungsi menghilangkan debris atau sisa sel melalui enzim lisosom.
Leukosit mempunyai peran bifasik saat trauma, awalnya didapatkan
predominasi infl itrasi neutrofi l yang melepaskan enzim lisis yang akan
mengeksaserbasi kerusakan sel saraf, sel glia, dan vaskular, tahap
berikutnya adalah proses rekruitmen dan migrasi makrofag yang akan
memfagositosis sel rusak.1
Proses rekrutmen sel imun pada lokasi trauma dimediasi oleh berbagai
golongan protein, seperti ICAM-1 (intercellular adhesion molecule-1).
Protein ini akan memodulasi infi ltrasi neutrofi l pada lokasi trauma;
penggunaan antibodi monoklonal ICAM-1 pada percobaan dapat
mensupresi mieloperoksidase, mengurangi edema medula spinalis, dan
meningkatkan aliran darah medula spinalis. Molekul protein sejenis yang
berfungsi mirip ICAM-1 antara lain P-selektin, sitokin interleukin-1,
interleukin-6, and tumor necrosis factor (TNF), sedangkan interleukin-10
mampu mengurangi TNF yang akan menurunkan juga monosit dan sel
imun lain pascatrauma. Faktor lain yang masih perlu dipahami lebih lanjut
adalah aktivasi faktor kappa-B; faktor nuklear kappa-B merupakan

11
kelompok gen yang meregulasi proses infl amasi, proliferasi, dan kematian
sel. Proses modulasi respons imun pada trauma medula spinalis
merupakan sasaran target terapi kerusakan sekunder.1

APOPTOSIS
Apoptosis dicetuskan banyak faktor, seperti sitokin, infl amasi, radikal
bebas, dan proses eksitotoksik. Apoptosis mikroglia menyebabkan respons
sekunder trauma, apoptosis oligodendrosit mengakibatkan demielinisasi
pascatrauma pada beberapa minggu berikutnya, apoptosis neuron akan
mengakibatkan hilangnya sel saraf. Proses apoptosis melalui dua jalur,
jalur pertama ekstrinsik yang dimediasi oleh ligan Fas dan reseptor Fas
dan inducible nitric oxide synthase (i-NOS) yang diproduksi makrofag,
sedangkan jalur intrinsik lewat aktivasi proenzim kaspase-3 oleh rusaknya
mitokondria, sitokrom-C, dan kaspase-9; studi menggunakan inhibitor
kaspase dapat mencegah kematian sel. Reseptor apoptosis dipengaruhi
oleh tumor necrosis factor (TNF). Tumor necrosis factor meningkat
pascatrauma dan mengaktifkan reseptor Fas di sel saraf, mikroglia, dan
oligodendrosit yang akan mengaktifkan pula beberapa kaspase, seperti
kaspase-8 sebagai inducer, kaspase 3 dan 6 sebagai kaspase efektor.
Produksi i-NOS mengaktifkan kaspase dengan cara yang serupa dengan
TNF. Faktor lain yang berkontribusi pada kerusakan sekunder Beberapa
peptida dan neurotransmiter terlibat pada kerusakan sekunder, antara lain
aktivasi reseptor μ dan δ opioid dapat memperlama proses eksitotoksik.
Aktivasi reseptor Kappa dapat berefek eksaserbasi penurunan aliran darah
dan menginduksi eksitotoksisitas. Kadar neurotransmiter tertentu, seperti
asetilkolin dan serotonin, juga akan meningkat dan memiliki efek
vasokonstriksi, aktivasi trombosit, serta peningkatan permeabilitas
endotel.1

12
2. SINDROM MEDULLA SPINALIS
Berdasarkan sindrom medulla spinalis, pola karakteristik cedera
neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien dengan cedera medulla
spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak membingungkan
pemeriksa.4
A. Complete Transaction
Kondisi ini menyebabkan semua traktus di medulla spinalis
terputus menyebabkan semua fungsi yang melibatkan medulla spinalis
di bawah level terjadinya transection semua terganggu dan terjadi
kerusakan permanen. Secara klinis menyebabka kehilangan
kemampuan motorik berupa tetraplegia pada transeksi cervical dan
paraplegia jika terjadi pada level thorakal. Terjadi flaksid otot,
hilangnya refleks dan fungsi sensoris dibawah level trabsseksi.
Kandung kemih dan susu atoni sehingga menyebabkan ileus paralitik.
Kehilangan tonus vasomotor area tubuh dibawah lesi menyebabkan
tekanan darah rendah dan tidak stabil. Kehilangan kemampuan
perspirasi menyebabkan kulit kering dan pucat, juga terjadi gangguan
pernapasan.4

Gambar 2.1. legia pada thoracal spinal transection; tetraplegia pada


cervical spinal transection.4

13
B. Incomplete Transaction
a) Central Cord Syndrom
Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih
banyak pada ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas
bawah, dengan kehilangan sensorik yang bervariasi. Biasanya
sindrom ini terjadi setelah adanya trauma hiperekstensi pada pasien
yang telah mengalami kanalis stenosis servikal sebelumnya. Dari
anamnesis didapatkanadanya riwayat jatuh kedepan dengan dampak
pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tulang
servikal atau dislokasi. 4

Gambar 2.2 Central Cord Syndrom.4

Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang


lebih prominen pada ekstremitas atas dibanding ektremitas bawah.
Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat, sementara
pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering
dijumpai disabilitas neurologic permanen. Hal ini terutama
disebabkan karena pusat cedera paling sering adalah setinggi C4-C5
dengan kerusakan paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi
LMN.4

14
b) Anterior Cord Syndrom
Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik
disosiasi dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna
posterior (posisi, vibrasi, dan tekanan dalam) tetap bertahan.
Biasanya anterior cord syndrome disebabkan infark pada daerah
medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior.
Prognosis sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit
lainnya. Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi
tetapi sensoris terhadap raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap baik.4

Gambar 2.3 Anterior Cord Syndrom.4

c) Posterior Cord Syndrome


Posterior cord syndrom terjadi pada bagian belakang spinal cord.
Posterior cord syndrome disebut juga sebagai contusio cervicalis
posterior. Posterior cord syndrome sangat jarang ditemukan pada tipe
incomplete spinal cord injury (SCI).

15
Gambar 2.4 Daerah cidera pada tipe posterior cord syndrome.4

PATOFISIOLOGI
Posterior cord syndrome terjadi bila sebuah objek ditekan ke
bagian belakang spinal cord. Posterior cord syndrome juga dihubungkan
dengan cedera hiperekstensi servical.

Gambar 2.5 Cidera hiperekstensi.4

Hiperekstensi jarang terjadi pada daerah torakolumbal terapi sering


ditemukan pada leher, pukulan pada muka atau dahi akan memaksa kepala
ke belakang dan tidak ada yang menyangga oksiput hingga kepala
membentur bagian atas punggung. Ligamen longitudinal anterior dan
diskus dapat rusak. Riwayat memar pada muka atau laserasi sering

16
menunjukkan mekanisme cedera. Pemeriksaan sinar x tidak
memperhatikan fraktur tetapi film yang luas memperlihatkan celah
diantara bagian depan kedua corpus vertebrae. Cedera ini stabil pada
posisi netral dimana cedera ini harus dipertahankan dengan ban leher
selama 6 minggu.4

Disebutkan bahwa posterior cord syndrome terjadi karena


kompresi atau kerusakan pada arteri spinal posterior. Sesuai dengan asas –
asas umum vaskularisasi susunan saraf pusat, arteri spinalis posterior
yang merupakan suatu arteri terminal (end artery) dalam arti fungsional
yang berarti penyumbatan pembuluh darah tersebut dapat menimbulkan
degenerasi jaringan saraf yang dilayaninya (dalam hal ini bagian posterior
medula spinalis), oleh karena tidak dapat terjadi pertumbuhan dan
perkembangan suatu peredaran darah kolateral secara efektif dan efisien.
Arteri spinalis posterior merupakan cabang langsung dari arteria
vertebrales yang hanya terlihat jelas pada segmen servikal bagian kranial
atau langsung memperkuat plexus pialis setempat.4

Gambar 2.6 vaskularisasi medula spinalis.4

17
Secara klinis pasien memiliki fungsi spinotalamikus yang masih
utuh tetapi kehilangan fungsi traktus kortikospinalis dan posterior column.
Pada posterior column terdapat fasciculus dorsalis. Fasciculus dorsalis
terdiri atas fasciculus gracilis (Goll) dan fasciculus cuneatus (Burdach).
Facikulus ini berfungsi menghantarkan impuls raba spesifik diskriminatif,
propioseptif dan kinestetik ke talamus dan akhirnya mencapai korteks
serebri. Reseptor rasa raba spesifik terdapat pada corpusculum Meissner.
Impuls – impuls proprioseptif timbul akibat rangsangan pada reseptor di
dalam otot lurik, tendon, sendi, atau copsula articularis. Impuls ini selain
berfungsi propriosepsi (tanpa disadari) juga memberikan keterangan –
keterangan kepada individu yang bersangkutan tentang posisi dan
pergerakan berbagai bagian tubuh (kinestesi). Serat yang menyusun
fasciculus dorsalis merupakan akson dari sel neuron besar unipolar
berselubung myelin yang tebal. Serat ini mengalami bifurcatio
(percabangan), satu cabang utama yang panjang berjalan ke arah kranial
dan satu canbang lainnya berakhir dalam substansia grisea setempat.
Cabang – cabang yang panjang ini berkumpul membentuk fasciculus
greacilis dan fasciculus cuneatus.4

Gambar 2.7 Pembentukan dan penjelasan fasciculus dorsalis4

18
GEJALA KLINIS
Pasien biasanya tetap memiliki kekuatan otot yang masih utuh dan
sensasi suhu dan nyeri, tetapi kesulitan dalam mengkoordinasikan alat
gerak. Tidak ada sensasi getaran getaran atau sensasi posisi. Propriosepsi
menghilang karena kerusakan pada dorsal column.4
Berjalan sangat sulit oleh karena kehilangan sensasi getaran. Pada
situasi ini pasien harus melihat ke kakakinya untuk memastikan bahwa
kakinya berada pada posisi yang tepat sehingga pasien tidak akan jatuh,
sumber lain menyebutkan bahwa posterior cord syndrome dapat
menimbulkan gejala nyeri dan parestesia (sering bersifat membakar) pada
leher, lengan atas, dada dan timbulnya gejala ataksia berat.4

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang disarankan meliputi pemeriksaan
laboratorik darah dan pemeriksaan radiologik, dianjurkan 3 posisi standar
(antero - posterior, lateral, odontoid) untuk vertebra servikal, serta posisi
AP dan lateral untuk vertebra torakhal dan lumbal. Jika tidak
menunjukkan kelainan radiologik, pemeriksaan lanjutan CT-Scan dan
MRI. MRI merupakan alat diagnostik yang paling baik untuk mendeteksi
lesi medula oblongata akibat cidera/trauma.4

PENATALAKSANAAN
Diberikan Metilprednisolon 30 mg/kg secara bolus intravena,
dilakukan pada saat kurang dari 8 jam setelah cedera. Jika terapi tersebut
dapat dilakukan pada saat kurang dari 3 jam setelah cedera, terapi tersebuit
dianjurkan dengan metilprednisolon intravena kontinu dengan dosis 5,4
mg/kgBB/jam selama 48 jam kemudian.4
Mekanisme kerja metilprednisolon ialah menurunkan respon
inflamasi dengan menekan respon inflamasi dengan menekan migrasi
netrofil dan menghambat peningktatan permeabilitas veskular.
Metilprednisolon menghambat kerja lipid peroksidase dan hidrolisis
sehingga dapat menghambat destruksi membran sel. Kerusakan membran

19
sel mencapat puncak sekitar 8 jam oleh karena itu, metilprednisolon harus
diberikan dalam rentang waktu tersebut.4

d) Brown-Séquard Syndrome
Brown-Séquard Syndrome adalah suatu kondisi neurologis yang
ditandai dengan kehilangan fungsi motorik, proprioseptif dan rasa getar
ipsilateral akibat disfungsi traktus kortikospinal dan kolumna dorsalis,
disertai dengan kehilangan sensasi nyeri dan suhu kontralateral sebagai
akibat dari disfungsi traktus spinothalamikus.4
Penyebab paling sering dari Brown-Séquard Syndrome adalah
cedera akibat trauma korda spinalis. Brown-Séquard Syndrome dapat juga
disebabkan tumor pada korda spinalis, trauma (misalnya pada pungsi di
leher dan tulang belakang), iskemia (pada obstruksi pembuluh darah) serta
infeksi atau inflamasi seperti tuberculosis atau multiple sclerosis. Herniasi
discus cervicalis yang disebabkan Brown-Séquard Syndrome merupakan
kasus yang jarang.4
Brown-Séquard Syndrome disebut juga Brown-Séquard’s
hemiplegia dan Brown-Séquard’s Paralysis.4
Brown-Séquard Syndrome didefinisikan sebagai sebuah lesi
inkomplit pada korda spinalis yang ditandai dengan paralysis upper motor
neuron ipsilateral dan kehilangan sensasi proprioseptif dengan kehilangan
sensasi rasa sakit dan suhu kontralateral.4

ETIOLOGI

Brown-Séquard Syndrome dapat disebabkan oleh segala macam


mekanisme yang mengakibatkan kerusakan pada satu sisi korda spinalis.
Penyebab paling sering adalah cedera akibat trauma, sering juga akibat
mekanisme penetrasi seperti tikaman atau tembakan pistol..4

Beberapa penyebab Brown-Séquard Syndrome lainnya:

 Tumor korda spinalis, metastasis atau intrinsic


 Trauma, tajam maupun tumpul

20
 Penyakit degeneratif seperti herniasi discus dan spondilosis servikal
 Iskemia
 Infeksi atau inflamasi yang disebabkan oleh :
o Meningitis
o Empyema
o Herpes zoster
o Herper simplex
o Myelitis
o Tuberkulosis
o Syphilis
o Multiple sclerosis
 Perdarahan, termasuk spinal subdural / epidural dan hematomyelia.4

EPIDEMIOLOGI

Angka insiden Brown-Séquard Syndrome di Amerika Serikat tidak


diketahui, begitu juga di seluruh dunia. Tetapi, insiden cedera spinal di
Amerika Serikat 11.000 kasus per tahun dan 2-4 % dari kasus tersebut
disertai Brown-Séquard Syndrome. Angka prevalensi cedera spinal di
Amerika Serikat mencapai 247.000. Angka kematian 5,7% jika tidak ada
tindakan operasi dan 2,7% jika disertai intervensi operasi.4
Angka kesakitan dapat terjadi pada setiap cedera spinal.
Komplikasi yang paling sering adalah ulkus peptikum, pneumonia, infeksi
saluran kemih, deep-vein thrombosis, emboli pulmonal dan infeksi pasca
operasi.4
Berdasarkan ras, 70,1 % kasus Brown-Séquard Syndrome terjadi
pada populasi kulit putih, 19,6% terjadi pada populasi Afro-Amerika,
1,2% pada populasi Asia, 1,3% pada populasi Indian-Amerika dan 7,8%
pada ras lain. Usia yang paling sering terkena adalah 16-30 tahun, dan usia
paling sering adalah diatas 30 tahun.4

21
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari Brown-Séquard Syndrome adalah kerusakan
traktus korda spinalis asenden dan desenden pada satu sisi korda spinalis.
Serabut motorik dari traktus kortikospinal menyilang pada pertemuan
antara medulla dan korda spinalis. Kolumna dorsalis asenden membawa
sensasi getar dan posisi ipsilateral terhadap akar masuknya impuls dan
menyilang diatas korda spinalis di medulla. Traktus spinotalamikus
membawa sensasi nyeri, suhu dan raba kasar dari sisi kontralateral tubuh.
Pada lokasi terjadinya cedera spinal, akar saraf dapat terkena.4

Gambar 2.8 Gambaran Brown-Séquard Syndrome pada Medulla Spinalis.4

GEJALA KLINIS

Brown-Séquard Syndrome ditandai dengan paresis yang asimetris


disertai hypalgesia yang lebih jelas pada sisi yang mengalami paresis.
Brown-Séquard Syndrome murni sering berhubungan dengan hal-hal
berikut :

 Gangguan traktus kortikospinal lateralis :


o Paralisis spastic ipsilateral dibawah letak lesi
o Tanda Babinski positif ipsilateral dari letak lesi

22
o Refleks patologis dan tanda Babinski positif (mungkin tidak
didapatkan pada cedera akut)
 Gangguan kolumna alba posterior : berkurangnya sensasi taktil untuk
diskriminasi, rasa getar dan posisi ipsilateral dibawah letak lesi.
 Gangguan traktus spinotalamikus lateralis : berkurangnya sensasi nyeri
dan sensasi suhu kontralateral. Hal ini biasanya terjadi pada 2-3
segmen dibawah letak lesi.4

DIAGNOSIS DIFERENSIAL

Diagnosis banding Brown-Séquard Syndrome antara lain fraktur


cervical, multiple sclerosis, infeksi korda spinalis, cedera korda
spinalis,stroke akibat iskemik, poliomielitis akut, Guillain-Barre
Syndrome, post-traumatic syringomielia.4

PEMERIKSAAN PENUNJANG

 Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis Brown-Séquard Syndrome ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan gejala klinis. Pemeriksaan laboratorium tidak terlalu
diperlukan untuk mengevaluasi kondisi pasien tetapi sangat membantu
dalam mengikuti perjalanan penyakit pasien. Pemeriksaan
laboratorium dapat berguna pada Brown-Séquard Syndrome yang
disebabkan keadaan nontraumatik.(2) seperti infeksi atau neoplasma.4

 Pemeriksaan Radiologis :
o Foto polos spinal dapat menggambarkan cedera tulang yang
disebakan trauma tajam maupun tumpul.
o Pemeriksaan MRI menunjukkan luasnya cedera korda spinalis
dan ini sangat membantu untuk membedakannya dengan
penyebab nontraumatik.
o CT_Mielogram dapat membantu jika MRI dikontraindikasikan
atau tidak tersedia.4

23
 Pemeriksaan lain :
o Pemeriksaan Bakteri Tahan Asam (BTA) dapat dilakukan jika
dicurigai disebabkan oleh tuberkulosis.4

PENATALAKSANAAN

Pasien dengan Brown-Séquard Syndrome akibat trauma perlu


dievaluasi kemungkinan adanya cedera lain, seperti halnya penderita
trauma. Evaluasi lain dapat meliputi :

- pemasangan kateter urin


- imobilisasi
- pemasangan naso-gastric tube
- Imobilisasi servikal, vertebra dorsal bawah, dan imobilisasi dengan
hard collar jika terjadi cedera servikal.
- Pasien dengan Brown-Séquard Syndrome mengalami kehilangan daya
sensasi. Untuk mengetahui adanya kemungkinan cedera
intraabdominal dapat dilakukan CT-scan atau peritoneal lavage.4
Pemberian medikamentosa (farmakoterapi) bertujuan untuk mencegah
komplikasi. Banyak penelitian menunjukkan penyembuhan yang lebih
baik pada penderita yang diberikan steroid dosis tinggi pada awal
pengobatan.4

Tabel 1.1 Kortikosteroid.4

Nama Obat Methylprednisolon (Solu-Medrol, Depo-Medrol)

Meningkatkan inflamasi dengan menekan leukosit


polimorfonuklear dengan meningkatkan permeabilitas kapiler

Dosis Dewasa 30 mg/ KgBB IV bolus dalam 15 menit

Dilanjutkan 5,4 mg/KgBB/jam dalam infus 23 jam

(harus dilakukan kurang dari 8 jam post trauma)

Kontraindikasi Riwayat alergi; infeksi virus, bakteri atau tuberculosis kulit

24
Interaksi Obat Penggunaan dengan digoxin dapat meningkatkan kadar
toksisitas digitalis; peningkatan kadar estrogen; dapat
meningkatkan fenobarbital, fenitoin dan rifampin jika
digunakan bersama.

Perhatian Secara perlahan dapat meningkatkan kejadian infeksi dan


perdarahan saluran cerna, komplikasi lain : hiperglikemia,
edema, osteonecrosis, ulkus peptikum, hipokalemia,
osteoporosis, euphoria, psikosis, gangguan tumbuh kembang,
miopati dan infeksi.

KOMPLIKASI
Dapat terjadi komplikasi yang berhubungan dengan cedera spinal.4

PROGNOSIS
Prognosis untuk Brown-Séquard Syndrome kurang baik dan
tergantung dari penyebabnya. Penatalaksanaan yang dini dengan steroid
dosis tinggi telah menunjukkan keuntungan.

3. Sindroma Guillain-Barre (SGB)


ETIOLOGI
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan penyebab kelumpuhan yang
cukup sering dijumpai pada usia dewasa muda. SGB ini seringkali
mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi pada usia produktif,
apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian, meskipun pada
umumnya mempunyai prognosa yang baik.5
Sindroma Guillain-Barre sampai saat ini masih belum dapat diketahui
dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa
keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan
terjadinya Sindroma Guillain-Barre, antara lain:
1) Infeksi
2) Vaksinasi
3) Pembedahan

25
4) Penyakit sistematik:
 Keganasan
 systemic lupus erythematosus
 tiroiditis
 penyakit Addison
5) Kehamilan atau dalam masa nifas.5
Sindroma Guillain-Barre sering sekali berhubungan dengan infeksi akut
non spesifik. Insidensi kasus Sindroma Guillain-Barre yang berkaitan dengan
infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala
neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi
gastrointestinal

Table 3.1 Infeksi akut yang berhubungan dengan Sindroma Guillain-Barre5

Infeksi Definite Probable Possible


Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella-zoster Measles
Vaccinia/smallpox Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Campylobacter Typhoid Borrelia B
Jejeni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
Pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria

26
PATOGENESA
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi.5
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1) didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi
mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2) adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3) didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf
tepi.5
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon
imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa
sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.5

PERAN IMUNITAS SELULER


Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting
disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang
(bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan
kedalam jaringan limfoid danperedaran.6
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus
dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah
menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan
imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen
presenting cell = APC).6
Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4).
Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan
pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi
sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk

27
mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan
mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping
menghasilkan TNF dan komplemen.6

PATOLOGI
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran
pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada
saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau
ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin
pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan
makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas.
Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara
progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf
tepi telah hancur. Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang
terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah
kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi
segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi
Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran
basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.6

KLASIFIKASI
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu :
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia.6

28
GEJALA KLINIS DAN KRITERIA DIAGNOSA
Diagnosa SGB terutama ditegakkan secara klinis. SBG ditandai dengan
timbulnya suatu kelumpuhan akut yang disertai hilangnya refleks-refleks
tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah mengalami
demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan
motorik perifer.7
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National
Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS),
yaitu:
1) Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
 Terjadinya kelemahan yang progresif
 Hiporefleksi.7
2) Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis SGB:
a. Ciri-ciri klinis:
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat,
maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2
minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
 Relatif simetris
 Gejala gangguan sensibilitas ringan
 Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering
bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang
mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain
 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti,
dapat memanjang sampai beberapa bulan.
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,
hipertensi dangejala vasomotor.
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis.7
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong
diagnosa:
 Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi
peningkatan pada LP serial

29
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
 Varian:
o Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
o Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3.7

PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
a. Kelemahan ascenden dan simetris
b. Anggota gerak bawah dulu baru menjalar ke atas
c. Kelemahan akut dan progresif yang ditandai arefleksia
d. Puncak defisit 4 minggu
e. Pemulihan 2-4 minggu pasca onset
f. Gangguan sensorik pada umumnya ringan
g. Gangguan otonom dapat terjadi
h. Gangguan saraf kranial
i. Gangguan otot-otot nafas.7

PEMERIKSAAN FISIK
 Kelemahan saraf cranial (III, IV, VI, VII, IX, X).
 Kelemahan anggota gerak yang cenderung simetris dan asendens.
 Hiporefleksia atau arefleksia.
 Tidak ada klonus atau refleks patologis.7

PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium (untuk menyingkirkan diagnosis banding lain): Pemeriksaan
darah lengkap, ureum/kreatinin, SGOT/SGPT, elektrolit, Creatinin kinase,
Serologi CMV/EBV/Micoplasma, Antibodi glycolipid, Antibodi GMI
 Pencitraan: MRI minimal potongan sagital untuk menyingkirkan diagnosis
banding lain
 Lumbal Pungsi.7

30
TATALAKSANA
 Pemberian IVIG 0,4 gram/ kg BB/ hari selama 5 hari atau plasma
exchange diguanakan sebagai lini pertama pengobatan (Level A)
 Pemberian IVIG memiliki efek samping yang lebih sedikit, sehingga lebih
banyak dipilih (Level B)
 Kombinasi methylprednisolone dosis tinggi dan IVIG memiliki manfaat
singkat (Level C)
 Pada anak-anak pemberian IVIG lebih direkomendasikan (Level C)
 Pemberian IVIG pada kasus yang relaps tetap harus dipertimbangkan
(GPP/ Good Practice Point)
 Tindakan rehabilitasi disesuaikan dengan derajat kelemahan dan
disabilitas pasien.7

TERAPI
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara
umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat
sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka
kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus
diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).7
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid
tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.7
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB
memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg
BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal
onset gejala (minggu pertama).7
Pengobatan imunosupresan:

31
 Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih
menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek
samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari
selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap
15 hari sampai sembuh.7
 Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a. 6 merkaptopurin (6-MP)
b. Azathioprine
c. cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit
kepala.7

DIAGNOSA BANDING
Gejala klinis SGB biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria
diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadang-kadang harus
dibedakan dengan keadaan lain, seperti:
 Mielitis akuta
 Poliomyelitis anterior akuta
 Porphyria intermitten akuta
 Polineuropati post difteri.7

EDUKASI
 Penjelasan Sebelum MRS (rencana rawat, biaya, pengobatan,
prosedur, masa dan tindakan pemulihan dan latihan, manajemen nyeri,
risiko dan komplikasi)
 Penjelasan mengenai GBS, risiko dan komplikasi selama perawatan
 Penjelasan mengenai faktor risiko dan pencegahan rekurensi
 Penjelasan program pemulangan pasien (Discharge Planning)
 Penjelasan mengenai gejala GBS, dan apa yang harus dilakukan
sebelum dibawa ke RS.7

32
4. MIASTENIA GRAVIS
DEFINISI
Miastenia gravis adalah penyakit yang menyerang hubungan antara sistem
saraf (nervus) dan sistem otot (muskulus). Penyakit miastenis gravis ditandai
dengan kelemahan dan kelelahan pada beberapa atau seluruh otot, di mana
kelemahan tersebut diperburuk dengan aktivitas terus menerus atau berulang-
ulang. Miastenia gravis adalah penyakit autoimun yang menyerang
neuromuskular juction ditandai oleh suatu kelemahan otot dan cepat lelah
akibat adanya antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AchR) sehingga jumlah
AchR di neuromuskular juction berkurang.8

EPIDEMIOLOGI
Prevalensi penderita dengan Miastenia gravis di Amerika Serikat pada
tahun 2004 diperkirakan mencapai 20 per 100.000 penduduk. Prevalensi pasti
mungkin lebih tinggi karena kebanyakan kasus Miastenia gravis tidak
terdiagnosis. Insiden Miastenia gravis mencapai 1 dari 7500 penduduk,
menyerang semua kelompok umur. Penelitian epidemiologi telah
menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi penyakit Miastenia
gravis dan angka kematian yang meningkat di atas umur 50 tahun. Pada umur
20-30 tahun Miastenia gravis lebih banyak dijumpai pada wanita. Sementara
itu diatas 60 tahun lebih banyak pada pria (perbandingan ratio wanita dan pria
adalah 3:2). 8

ANATOMI DAN FISIOLOGIS NEUROMUSCULAR JUNCTION


Sebelum memahami tentang Miastenia gravis, pengetahuan tentang
anatomi dan fungsi normal dari neuromuscular junction sangatlah penting.
Potensial aksi di neuron motorik merambat cepat dari badan sel di dalam SSP
ke otot rangka di sepanjang akson bermielin besar (serat eferen) neuron.
Sewaktu mendekati otot, akson membentuk banyak cabang terminal dan
kehilangan selubung mielinnya. Masing-masing dari terminal akson ini
membentuk persambungan khusus, neuromuscular junction, dengan satu dari
banyak sel otot yang membentuk otot secara keseluruhan. Sel otot, disebut

33
juga serat otot, berbentuk silindris dan panjang. Terminal akson membesar
membentuk struktur mirip tombol, terminal button yang pas masuk ke
cekungan dangkal, atau groove , di serat otot dibawahnya. Sebagian ilmuwan
menyebut neuromuscular junction sebagai “motor end plate”8
Pada neuromuscular junction, sel saraf dan sel otot sebenarnya tidak
berkontak satu sama lain. Celah antara kedua struktur ini terlalu besar untuk
memungkinkan transmisi listrik suatu impuls antara keduanya. Karenanya,
seperti di sinaps saraf, terdapat suatu pembawa pesan kimiawi yang
mengangkut sinyal antara ujung saraf dan serat otot. Neurotransmitter ini
disebut sebagai asetilkolin (ACh).8
Membran Pre Synaptic mengandung asetilkolin (ACh) yang disimpan
dalam bentuk vesikel-vesikel. Jika terjadi potensial aksi, maka Ca+ Voltage
Gated Channel akan teraktivasi. Terbukanya channel ini akan mengakibatkan
terjadinya influx Calcium. Influx ini akan mengaktifkan vesikel-vesikel
tersebut untuk bergerak ke tepi membran. Vesikel ini akan mengalami docking
pada tepi membran. Karena proses docking ini, maka asetilkolin yang
terkandung di dalam vesikel tersebut akan dilepaskan ke dalam celah synaptic.
ACh yang dilepaskan tadi, akan berikatan dengan reseptor asetilkolin (AChR)
yang terdapat pada membran post-synaptic. AChR ini terdapat pada lekukan-
lekukan pada membran post-synaptic. AChR terdiri dari 5 subunit protein,
yaitu 2 alpha, dan masing-masing satu beta, gamma, dan delta. Subunit-
subunit ini tersusun membentuk lingkaran yang siap untuk mengikat ACh.
Ikatan antara ACh dan AChR akan mengakibatkan terbukanya gerbang
Natrium pada sel otot, yang segera setelahnya akan mengakibatkan influx
Na+. Influx Na+ ini akan mengakibatkan terjadinya depolarisasi pada
membran post-synaptic. Jika depolarisasi ini mencapai nilai ambang tertentu
(firing level), maka akan terjadi potensial aksi pada sel otot tersebut. Potensial
aksi ini akan dipropagasikan (dirambatkan) ke segala arah sesuai dengan
karakteristik sel eksitabel, dan akhirnya akan mengakibatkan kontraksi. ACh
yang masih tertempel pada AChR kemudian akan dihidrolisis oleh enzim
Asetilkolinesterase (AChE) yang terdapat dalam jumlah yang cukup banyak
pada celah synaptic. ACh akan dipecah menjadi Kolin dan Asam Laktat.

34
Kolin kemudian akan kembali masuk ke dalam membran pre-synaptic untuk
membentuk ACh lagi. Proses hidrolisis ini dilakukan untuk dapat mencegah
terjadinya potensial aksi terus menerus yang akan mengakibatkan kontraksi
terus menerus. 8

Gambar 4.1 Anatomi Neuromuskular Junction 8

PATOFISIOLOGI
Dalam kasus Myasthenia Gravis terjadi penurunan jumlah Acetyl Choline
Receptor(AChR). Kondisi ini mengakibakan Acetyl Choline(ACh) yang tetap
dilepaskan dalam jumlah normal tidak dapat mengantarkan potensial aksi
menuju membran post-synaptic. Kekurangan reseptor dan kehadiran ACh
yang 6 tetap pada jumlah normal akan mengakibatkan penurunan jumlah
serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu, inilah yang kemudian
menyebabkan rasa sakit pada pasien. Pengurangan jumlah AChR ini dipercaya
disebabkan karena proses auto-immun di dalam tubuh yang memproduksi
anti-AChR bodies, yang dapat memblok AChR dan merusak membran post-
synaptic. Etipatogenesis proses autoimun pada Miastenia gravis tidak
sepenuhnya diketahui, walaupun demikian diduga kelenjar timus turut

35
berperan pada patogenesis Miastenia gravis. Sekitar 75 % pasien Miastenia
gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65% pasien menunjukan hiperplasi
timus yang menandakan aktifnya respon imun dan 10 % berhubungan dengan
timoma.9

GEJALA KLINIS
Penyakit Miastenia gravis ditandai dengan adanya kelemahan dan
kelelahan. Kelemahan otot terjadi seiring dengan penggunaan otot secara
berulang, dan semakin berat dirasakan di akhir hari. Gejala ini akan
menghilang atau membaik dengan istirahat. Kelompok otot-otot yang
melemah pada penyakit miastenis gravis memiliki pola yang khas. Pada awal
terjadinya Miastenia gravis, otot kelopak mata dan gerakan bola mata
terserang lebih dahulu. Akibat dari kelumpuhan otot-otot tersebur, muncul
gejala berupa penglihatan ganda (melihat benda menjadi ada dua atau disebut
diplopia) dan turunnya kelopak mata secaara abnormal (ptosis). 9

Gambar 4.2 Ptosis Pada Miastenia gravis Generalisata9

Miastenia gravis dapat menyerang otot-otot wajah, dan menyebabkan


penderita menggeram saat berusaha tersenyum serta penampilan yang seperti
tanpa ekspresi. Penderita juga akan merasakan kelemahan dalam mengunyah
dan menelan makanan sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi.
Selain itu, terjadi gejala gangguan dalam berbicara, yang disebabkan
kelemahan dari langit-langit mulut dan lidah. Sebagian besar penderita

36
Miastenia gravis akan mengalami kelemahan otot di seluruh tubuh, termasuk
tangan dan kaki. Kelemahan pada anggota gerak ini akan dirasakan asimetris .
Bila seorang penderita Miastenia gravis hanya mengalami kelemahan di
daerah mata selama 3 tahun, maka kemungkinan kecil penyakit tersebut akan
menyerang seluruh tubuh. Penderita dengan hanya kelemahan di sekitar mata
disebut Miastenia gravis okular. Penyakit Miastenia gravis dapat menjadi
berat dan membahayakan jiwa. Miastenia gravis yang berat menyerang otot-
otot pernafasan sehingga menimbuilkan gejala sesak nafas. Bila sampai
diperlukan bantuan alat pernafasan, maka penyakit Miastenia gravis tersebut
dikenal sebagai krisis Miastenia gravis atau krisis miastenik. Umumnya krisis
miastenik disebabkan karena adanya infeksi pada penderita Miastenia gravis.9
Secara umum, gambaran klisnis Miastenia yaitu:
 Kelemahan otot yang progresif pada penderita
 Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksis otot yang
berulang
 Pemulihan dalam beberapa menit atau kurang dari satu jam, dengan
istirahat
 Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam
 Otot mata sering terkena pertama ( ptosis , diplopia ) , atau otot faring
lainnya ( disfagia , suara sengau )
 Kelemahan otot yang berat berbeda pada setiap unit motorik
 Kadang-kadang , kekuatan otot tiba-tiba memburuk
 Tidak ada atrofi atau fasikulasi 9
Menurut Myasthenia Gravis Foundation of America (MGFA), Miastenia
gravis dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Tabel 4.1 Klasifikasi Myasthenia Gravis.9


Kelas I Adanya kelemahan otot-otot okular,
kelemahan pada saat menutup mata, dan
kekuatan otot-otot lain normal.
Kelas II Terdapat kelemahan otot okular yang
semakin parah, serta adanya kelemahan

37
ringan pada otot-otot lain selain otot okular.
Kelas IIa Mempengaruhi otot-otot aksial, anggota
tubuh, atau keduanya. juga terdapat
kelemahan otot-otot orofaringeal yang
ringan.
Kelas IIb Mempengaruhi otot-otot orofaringeal, otot
pernapasan atau keduanya. Kelemahan pada
otot-otot anggota tubuh dan otot-otot aksial
lebih ringan dibandingkan klas IIa.
Kelas III Terdapat kelemahan yang berat pada otot-
otot okular. Sedangkan otot-otot lain selain
otot-otot ocular mengalami kelemahan
tingkat sedang.
Kelas IIIa Mempengaruhi otot-otot anggota tubuh, otot-
otot aksial, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot
orofaringeal yang ringan.
Kelas IIIb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot
pernapasan, atau keduanya secara
predominan. Terdapat kelemahan otot-otot
anggota tubuh, otot-otot aksial, atau
keduanya dalam derajat ringan.
Kelas IV Otot – otot lain selain otot – otot okular
mengalami kelemahan dalam derajat yang
berat, sedangkan otot – otot okular
mengalami kelemahan dalam berbagai
derajat.
Kelas Iva Secara predominan mempengaruhi otot-otot
anggota tubuh dan atau otot-otot aksial. Otot
orofaringeal mengalami kelemahan dalam
derajat ringan.
Kelas Ivb Mempengaruhi otot orofaringeal, otot-otot

38
pernapasan atau keduanya secara
predominan. Selain itu juga terdapat
kelemahan pada otot-otot anggota tubuh,
otot-otot aksial, atau keduanya dengan
derajat ringan. Penderita menggunakan
feeding tube tanpa dilakukan intubasi.
Kelas V Penderita terintubasi, dengan atau tanpa
ventilasi mekanik.

Untuk menilai tingkat respon terhadap terapi dan prognosis, Osserman


membuat klasifikasi klinis sebagai berikut :
a. Kelompok I Miastenia Okular : hanya menyerang otot-otot okular, disertai
ptosis dan diplopia. Sangat ringan dan tidak ada kasus kematian (15-20 %)
b. Kelompok II A : Miastenia umum ringan : progres lambat, biasanya pada
mata , lambat laun menyebar ke otot-otot rangka dan bulbar. Sistem
pernafasan tidak terkena, respon terhadap terapi obat baik angka kematian
rendah (30 %)
c. Kelompok II B : Miastenia umum sedang : progres bertahap dan sering
disertai gejala-gejala okular, lalau berlanjut semakin berat dengan
terserangnya otot-otot rangka dan bulbar. Respon terhadap terapi obat
kurang memuaskan dan aktivitas pasien terbatas. (25 %)
d. Kelompok III: Miastenia fulminan akut : progres yang cepat dengan
kelemahan otot-otot rangka dan bulbar yang berat disertai mulai
terserangnya otot-otot pernafasan. Biasanya penyakit berkembang
maksimal dalam waktu 6 bulan. Dalam kelompok ini, persentase thymoma
paling tinggi. Respon terhadap obat bururk dan angka kematian tinggi.
(15%)
e. Kelompok IV : Miastenia Berat lanjut : timbul paling sedikit 2 tahun
sesudah progress gejala-gejala kelompok I atau II. Respon terhadap obat
dan prognosis buruk. (10 %). 9

39
DIAGNOSIS
Diagnosis Miastenia gravis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMG, serologi untuk
antibodi AchR dan CT-Scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma.
1. Anamnesis
Adanya kelemahan/ kelumpuhan otot yang berulang setelah aktivitas
dan membaik setelah istirahat. Tersering menyerang otot-otot mata (dengan
manifestasi: diplopi atau ptosis), dapat disertai kelumpuhan anggota badan
(terutama triceps dan ekstensor jari-jari), kelemahan/kelumpuhan otot-otot
yang dipersarafi oleh nervi cranialis, dpat pula mengenai otot pernafasan yang
menyebabkan penderita bisa sesak.9
2. Tes klinik sederhana:
a. Tes watenberg/simpson test : memandang objek di atas bidang antara
kedua bola mata > 30 detik, lama-kelamaan akan terjadi ptosis (tes
positif).
b. Tes pita suara : penderita disuruh menghitung 1-100, maka suara akan
menghilang secara bertahap (tes positif).9
3. Uji Tensilon (edrophonium chloride)
Endrofonium merupakan antikolinesterase kerja pendek yang
memperpanjang kerja acetilkolin pada nerumuscular juction dalam beberapa
menit. Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena selama
15 detik, bila dalam 30 detik tidak terdapat reaksi maka disuntikkan lagi
sebanyak 8-9 mg tensilon secara intravena. Segera setelah tensilon disuntikkan
kita harus memperhatikan otot-otot yang lemah seperti misalnya kelopak mata
yang memperlihatkan adanya ptosis. Bila kelemahan itu benar disebabkan
oleh Miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini
kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat. Efek sampingnya dapat menyebabkan
bradikardi dan untuk mengatasinya dapat digunakan atropin. 9

40
Gambar 4.3 Tes Edrophonium dan EMG pada myasthenia gravis.9

4. Uji Prostigmin (neostigmin)


Pada tes ini disuntikkan 3 cc atau 1,5 mg prostigmin methylsulfat
secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin 0,8 mg). Bila
kelemahan itu benar disebabkan oleh Miastenia gravis maka gejala-gejala
seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama kemudian
akan lenyap. 9
5. Laboratorium
Anti striated muscle (anti-SM) antibody
Tes ini menunjukkan hasil positif pada sekitar 85% pasien yang
menderita timoma dalam usia kurang dari 40 tahun.Sehingga merupakan 12
salah satu tes yang penting pada penderita Miastenia gravis. Pada pasien tanpa
timoma anti-SM Antibodi dapat menunjukkan hasil positif pada pasien dengan
usia lebih dari 40 tahun. 9
Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies.
Hampir 50% penderita Miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-
AChR Ab negatif (Miastenia gravis seronegatif), menunjukkan hasil yang
positif untuk anti-MuSK Ab. 9

41
Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu
Miastenia gravis, dimana terdapat hasil yang postitif pada 70%-95% dari
penderita Miastenia gravis generalisata dan 50% - 75 % dari penderita dengan
Miastenia okular murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor
antibodi yang positif. Pada pasien timoma tanpa Miastenia gravis sering kali
terjadi false positive anti-AChR antibody. 9
6. Elektrodiagnostik
Pemeriksaan elektrodiagnostik dapat memperlihatkan defek pada
transmisi neuro muscular melalui 2 teknik :
 Single-fiber Electromyography (SFEMG)
SFEMG mendeteksi adanya defek transmisi pada neuromuscular fiber
berupa peningkatan titer dan fiber density yang normal. Karena menggunakan
jarum single-fiber, yang memiliki permukaan kecil untuk merekam serat otot
penderita, sehingga SFEMG dapat mendeteksi suatu titer (variabilitas pada
interval interpotensial diantara 2 atau lebih serat otot tunggal pada motor unit
yang sama) dan suatu fiber density (jumlah potensial aksi dari serat otot
tunggal yang dapat direkam oleh jarum perekam).9
 Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Pada penderita Miastenia gravis terdapat penurunan jumlah reseptor
asetilkolin, sehingga pada RNS terdapat adanya penurunan suatu potensial
aksi. 9
7. Gambaran Radiologi
Chest x-ray (foto roentgen thorak)
Dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral. Pada
roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada
bagian anterior mediastinum.
Hasil roentgen yang negatif belum tentu dapat menyingkirkan adanya
thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest Ct-scan
untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus Miastenia gravis,
terutama pada penderita dengan usia tua. 9

42
MRI pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai
pemeriksaan rutin. MRI dapat digunakan apabila diagnosis Miastenia gravis
tidak dapat ditegakkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk
mencari penyebab defisit pada saraf otak. 9

PENATALAKSANAAN

a. Acetilkolinesterase inhibitor
Dapat diberikan piridostigmin bromida (mestinon) 30-120 mg/3-4
jam/oral. Dosis parenteral 3-6 mg/4-6 jam/ iv tiap hari akan membantu
pasien untuk mengunyah, menelan, dan beberapa aktivitas sehari-hari.
Pada malam hari, dapat diberikan mestinon long-acting 180 mg. Apabila
diperlukan, neostigmin bromida (prostigmine ): 7,5-45 mg/2-6 jam/oral.
Dosis parenteral : 0,5-1 mg/4 jam/iv atau im. Neostigmin dapat
menginaktifkan atau menghancurkan kolinesterase sehingga asetilkolin
tidak segera dihancurkan. Akibatnya aktifitas otot dapat dipulihkan
mendekati normal, sedikitnya 80-90% dari kekuatan dan daya tahan
semula. Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada
Miastenia gravis golongan IIA dan IIB. Efek samping pemberian
antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi parasimpatis, termasuk
konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat, lakrimasi,
dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek
samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan
pemberian propantelin bromida atau atropin. 9
b. Kortikosteroid
Dapat diberikan prednison dimulai dengan dosis rawal 10-20 mg,
dinaikkan bertahap (5-10 mg/minggu) 1x sehari selang sehari, maksimal
120 mg/6 jam/oral, kemudian diturunkan sampai dosis minimal efektif.
Efek sampingnya dapat berupa: peningkatan berat badan, hiperglikemia,
osteopenia, ulkus gaster dan duodenum, katarak. 9
c. Azatioprin

43
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan
hasil yang baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid
dan terutama berupa gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan
leukopenia. Obat ini diberikan dengan dosis 2-3 mg/kg BB/hari/oral
selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan pemeriksaan
darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium
dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama
dengan azatioprin sangat dianjurkan.9
d. Plasma Exchange (PE)
PE paling efektif digunakan pada situasi dimana terapi jangka pendek
yang menguntungkan menjadi prioritas.Dasar terapi dengan PE adalah
pemindahan anti-asetilkolin secara efektif.Respon dari terapi ini adalah
menurunnya titer antibodi. Dimana pasien yang mendapat tindakan berupa
hospitalisasi dan intubasi dalam waktu yang lama serta trakeostomi, dapat
diminimalisasikan karena efek dramatis dari PE.Terapi ini digunakan pada
pasien yang akan memasuki atau sedang mengalami masa krisis. PE dapat
memaksimalkan tenaga pasien yang akan menjalani timektomi atau pasien
yang kesulitan menjalani periode pasca operasi. Jumlah dan volume dari
penggantian yang dibutuhkan kadang-kadang berbeda tetapi umumnya 3-4
liter sebanyak 5x dalam 2 minggu. 9
e. Intravenous Immunoglobulin (IVIG)
Dosis standar IVIG adalah 400 mg/kgbb/hari pada 5 hari pertama,
dilanjutkan 1 gram/kgbb/hari selama 2 hari. 9
f. Timektomi
Timektomi umumnya dianjurkan pada pasien umur 10-55 tahun
dengan Miastenia gravis generalisata. Walaupun timektomi merupakan
terapi standar di berbagai pusat pengobatan namun keeefektivitasannya
belum dapat dipastikan oleh penelitian prospektif yang terkontrol.
Timektomi diindikasi pada terapi awal pasien dengan keterlibatan
ekstremitas bawah dan bulbar. 9

44
DIAGNOSIS BANDING
Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis Miastenia
gravis, antara lain :
a) Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III
pada beberapa penyakit selain Miastenia gravis, antara lain :
 Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
 Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
 Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
 Paralisis pasca difteri
 Pseudoptosis pada trachoma.9
b) Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya
suatu sklerosis multipleks. 9
c) Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome)
Penyakit ini dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan
kelelahan pada otot anggota tubuh bagian proksimal dan disertai dengan
kelemahan relatif pada otot-otot ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS,
terjadi peningkatan tenaga pada detik-detik awal suatu kontraksi volunter,
terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan sering kali dihubungkan dengan
suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma pada paru. EMG pada LEMS
sangat berbeda dengan EMG pada Miastenia gravis. Defek pada transmisi
neuromuscular terjadi pada frekuensi rendah (2Hz) tetapi akan terjadi
hambatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz). Kelainan pada
Miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan kelainan
pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan
asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang
akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi untuk
menimbulkan depolarisasi. 9

45
5. MIELOPATI
A. Etiologi
Mielopati dapat merupakan akibat dari karsinoma primer,
inflamasi, proses infeksi, radiasi, infeksi HIV, atau kelainan
neurodegeneratif. Penyebab intradural mencakup kista, pasca traumatik
progresif myelomalacic mielopati, dan neoplasma jinak (meningioma,
arachnoid, kista, kista epidermoid). Mielopati bisa disebabkan oleh
trauma pada medulla spinalis sehingga terjadi penururnan sensasi dan
paralisis. Trauma dapat terjadi akibat kecelakaan olahraga.10
Kondisi degeneratif dapat menyebabkan gangguan ini dengan
berbagai variasi derajat kehilangan sensasi dan kemampuan mobilisasi
atatu koordinasi. Penyebab lainnya antara lain herniasi diskus yaitu
pengurangan diameter kanal tulang belakang dan kompresi sumsum
tulang belakang, instabilitas spinal, stenosis kongenital dan lain-lain.
Degenerasi akibat penuaan tulang belakang dan sistem peredaran darah
juga menjadi penyebab mielopati. Iskemia pada spinal mungkin juga
memainkan peran dalam terjadinya mielopati. Aliran darah pada
spinalis yang kurang adekuat menyebabkan jaringan spinalis dan saraf
tidak mendapat nutrisi yang cukup, sehingga ligamen yang menahan
vertebra dapat menipis dan menekan saluran saraf serta terganggunya
fungsi saraf.10

B. Patofisiologi
Kadar air dari diskus intervertebralis dan anulus fibrosus
mengalami penurunan secara progresif seiring dengan usia lanjut.
Secara bersamaan, terjadi perubahan degeneratif pada diskus. Ruang
intervertebralis menyempit dan dapat menghilang, dan anulus fibrosus
menjorok ke kanalis spinalis. Osteofit pada pinggiran korpus vertebra,
berkumpul di anulus protrusi, dan dapat mengubahnya menjadi sebuah
tonjolan tulang. Tonjolan ini dapat memanjang secara lateral ke
foramen intervertebralis. Semua perubahan ini mempersempit kanalis

46
spinalis, sebuah proses yang dapat diperburuk oleh fibrosis dan
hipertrofi dari ligamentum flavum.10
Spondilosis dapat membentuk indentasi yang dalam (misalnya,
terlihat pada otopsi) pada permukaan ventral sumsum tulang belakang.
Pada beberapa tingkat lesi, ada degenerasi substansia grisea, kadang-
kadang dengan nekrosis dan kavitasi. Di atas kompresiterjadi
degenerasi kolumna posterior; di bawah kompresi, saluran
kortikospinalis mengalami demyelinisasi.10
Penulangan pada ligamentum longitudinal posterior adalah varian
dari spondilosis servikal yang juga dapat menyebabkan myelopati
progresif. Kondisi ini dapat bersifat fokal atau difus dan merupakan
yang paling umum pada orang dari warisan Asia. Salah satu teori
patogenesis menyatakan bahwa medulla spinalis rusak karena efek
tegangan tarik yang disebarkan dari dura, melalui ligamen dentale.10
Klasifikasi Sicard dan Forstier membagi mielopati menjadi dua
yaitu komprehensif dan non komprehensif berdasarkan hubungannyua
dengan obstruksi ruang subarachnoid. Etiologi mielopati dapat
dilasifikasikan pada tabe berikut:

Tabel 5.1 Etiologi Mielopati.10

MIELOPATI KOMPRESIF MIELOPATI NONKOMPRESIF

Myelitis transversal infeksius:


Virus: zoster,Eipstein Barr, herpex
simplex, sitomegalovirus, adenovirus,
enterovirus, Coxsackie

Degeneratif B. herpes virus tipe 6, HIV dan AIDS,


HTLV I and II
-Bakteri: staphylococcus aureus,
streptococcus, mycobacterium
-Spirosit: Sifilis
-Jamur: Cryptococcus, aspergillus

47
Ensefalitis akut: penyakit demyelinisasi,
Sklerosis multiple, Neuromyelitis optic,
Penyakit Eale Vaskuler: Trombosis arteri
spinalis, Vaskulitis sistem saraf pusat.
Trauma: Lesi tulang, Herniasi Substansi toksik: Arsenik, triortokresil
diskus, Perdarahan epidural fosfat, nitrit oksida, metotreksat, radiasi,
luka bakar listrik

Infeksi (abses) Degeneratif: Sklerosis lateral primer,


Paraparesis spastik familial, Atasia
spinoserebellar, Neurodegenerasi,
Ataksia Friedrich

Tumor: Metabolik:
-Extradural: benigna dan -Defisiensi vitamin B12
maligna -Intradural: intra dan -Defisiensi vitamin E
ekstra medular -Penyakit hati dan ginjal kronik
-Defisiensi heksosamidase
Malformasi arteri vena Paraneoplastik
Syringomyelia

C. Penegakan Diagnosis
Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan laboratorium darah
 Pemeriksaan radiologis
Dianjurkan melakukan pemeriksaan posisi standar
(anteroposterior, lateral) untuk vertebra servikal, dan posisi ap dan
lateral untuk vertebra thorakal dan lumbal.
 Pada kasus-kasus yang tidak menunjukkan kelainan radiologis,
pemeriksaan lanjutan dengan CT Scan dan MRI sangat dianjurkan.
Magnetic resonance imaging merupakan alat diagnostik yang paling
baik untuk mendeteksi lesi di medula spinalis akibat cedera/trauma.10

48
D. Klasifikasi
1) Mielopati Komprehensif
Penyakit kompresif sumsum tulang belakang dibagi menjadi
akut dan kronis, termasuk perubahan degeneratif, trauma, infiltrasi
tumor, malformasi vaskular, infeksi dengan pembentukan abses,
dan syringomyelia.Pasien dengan temuan klinis mielopatikompresif
yang menunjukkan hipersensitifitas fusiform sumsum tulang
belakang yang luas (lebih dari tiga segmen tulang belakang) di T2,
sering keliru dianggap sebagai neuritis optik, atau diklasifikasikan
sebagai penyakit idiopatik.Hal ini menyebabkan tertundanya
pengobatan bedah karena penyebab lain seperti stenosis kanalis
spinalistidak dipertimbangkan. Penyakit mielopati kompresif
adalah penyebab utama mielopati pada pasien usia tua.
Perlangsungan penyakit ini biasanya kronis.10
Pembedahan memperbaiki atau menstabilkankondisi pasien
dengan tmielopati kompresif, sejalan dengan hipotesis edema
sumsum tulang belakang atau iskemia reversibel dalam kompresi.
Temuan ini mendukung argumen bahwa temuan klinis dan
pencitraan dapat membedakan pasien yang akan mendapatkan
manfaat dari dekompresi bedah. Intensitas sinyal pada gambaran
T2 pra-operasi berkorelasi dengan usia pasien, kronisitas penyakit,
dan pemulihan pasca-operasi. Pasien dengan intensitas sinyal di T2
lebih besar prognosisnya lebih buruk. Dengan demikian, parameter
ini dapat digunakan sebagai prediktor prognosis bedah.10
 Mielopati Kompresif Degeneratif
Mielopati degeneratif kompresif dapat diklasifikasikan menurut
situs kompresi, sebagai berikut:
- Anterior (tonjolan diskus atau osteofit posterior).
- Anterolateral (sendi Luschka).
- Lateral (sendi facet).
- Posterior (ligamentum flavum).10

49
50
 Mielopati Kompresif Post Traumatik
Mielopati pasca-trauma terjadi empat kali lebih sering pada
laki-laki, khususnya yang berumur antara 16 dan 30 tahun.
Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab paling umum, dengan
angka kejadian sekitar 50%, diikuti dengan kekerasan (senjata
api atau luka tusuk), jatuh dari ketinggian, dan cedera olahraga
(menyelam, sepakbola dan berkuda). Segmen yang paling
mobile lebih sering terkena, khususnya C5-C7 dan T10-L2.
Secara klinis, akan bersifat lebih dominan quadriplegia dalam
30-40% kasus, dan paraplegia terjadi pada 6-10%.
Pencitraan MRI sangat penting dalam menilai sumsum
tulang belakang trauma karena menunjukkan lokasi, perluasan
dan keparahan dengan sangat jelas, menilai beratnya edema dan
perdarahan intramedulla. Beberapa studi telah menunjukkan
bahwa perdarahan memperlambat pemulihan motorik. Lebih
jauh lagi, kebocoran CSF, infeksi, kista dan syingomyelia dapat
terjadi.10
 Mielopati kompresif akibat Abses
Abses epidural jarang terjadi tetapi merupakan indikasi
bedah darurat karena dapat berkembang dengan cepat dalam
beberapa hari dan diagnosis dini sulit, sehingga
penatalaksanaantertunda. Insiden kelainan ini 0,2-2 kasus untuk
setiap 10.000 rawat inap. Mengenai terutama laki-laki, dengan
tidak ada rentang usia tertentu. Morbiditas dan mortalitas
penyakit ini tinggiyaitu antara 18% dan 31%.
Faktor risiko yang sama dengan yang untuk spondilodisitis,
termasuk diabetes mellitus, penggunaan obat intravena, gagal
ginjal kronis, penyalahgunaan alkohol, dan defisiensi kekebalan
tubuh. Trauma lumbar juga telah ditemukanpada sepertiga
pasien, sebagai penyebab epidural abses. Virus HIV belum
terbukti menjadi penyebab kejadian meningkat.10

51
Biasanya muncul sebagai nyeri lumbal subakut, demam
(mungkin tidak ditemukan pada fase subakut dan tahap kronis),
peningkatan nyeri lokal, radikulopati progresif atau mielopati.
Fase iritasi radikuler diikuti oleh defisit neurologis (kelemahan
otot, sensasi abnormal dan inkontinensia) dengan kelumpuhan
pada 34% kasus, dan bahkan kematian. Setiap segmen dari
sumsum tulang belakang mungkin akan terpengaruh, tetapi yang
paling sering adalah segmen toraks dan lumbar.10
Beberapa kelainan lain yang juga termasuk dalam mielopati
kompresif antara lain:
- Mielopati kompresif akibat tumor
- Mielopati akibat penyakit vaskuler
- Mielopati kompresif akibat syringomyelia.10

2) Mielopati Non Komperhensif


Setelah kompresi dikesampingkan sebagai etiologi mielopati,
riwayat klinis dianalisis secara mendalam dan hati-hati.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mencari proses inflamasi yang
menyebabkan. Diagnosis mielopati inflamasi membutuhkan bukti
peradangan sumsum tulang belakang. Pada saat ini, MRI dan
analisis CSF adalah pemeriksaaan yang tersedia untuk menentukan
adanya peradangan. Pada CSF ditemukan peningkatan gadolinium
sumsum tulang belakang, pleositosis dalam CSF atau Indeks
immunoglobulin di CSF tinggi, dengan perjalanan waktu mulai
antara empat jam dan empat minggu. Jika tidak ada temuan ini
pada saat timbulnya gejala, maka dibutuhkan pemeriksaan MRI.10
 Myelitis Transversa
Mielitis transversa akut adalah gangguan tulang belakang
yang ditandai dengan gangguan motorik bilateral, kelainan
sensorik dan otonom karena melibatkan traktus spinotalamikus
dan piramidal, kolom posterior dan funiculusanterior.Sekitar
sepertiga pasien sembuh dengan gejala sisa ringan atau tidak ada

52
gejala sisa, sepertiga sembuh dengan cacatringan, namun
sepertiga lainnya mengalami cacat serius.Orang dewasa
setengah baya yang yang paling sering terkena.Sebuah publikasi
mengusulan kriteria diagnosis untuk mielopati transversal yaitu:
disfungsi saraf tulang belakang bilateral selama periode empat
minggu dengan gangguan sensorik yang jelas dan tidak ada
riwayat penyakit, di mana kompresi telah dikesampingkan.10
Kriteria diagnosis lain yang diusulkan yaitu:
- Disfungsi sensorik, motoric, atau otonom dengan penyebab
spinal
- Gejala dan tanda bilateral
- Gangguan sensorik dengan batas jelas
- Inflamasi spinal (pleositosis CSF atau kadar IgG tinggi)
- Progresifitas maksimum selama periode empat jam sampai
empat minggu.10

Pada tahun 2002, Transverse Myelitis Consortium Working


Group mengusulkan kriteria CSF dan MRI untuk diagnosis
mielitis transversa, yaitu:
- Disfungsi motorik, sensorik, atau otonom spinal yang bersifat
bilateral
- Gejala dan gangguan sensorik bilateral
- Bukti peradangan tulang belakang pada MRI atau CSF
- Gejala dengan durasi berkisar antara beberapa jam sampai 21
hari
- Tidak Ada kompresi ekstra aksial.10

Beberapa kelainan lain yang termasuk mielopati non


kompresif antara lain:
- Ensefalomyelitis diseminata akut
- Mielopati akibat penyakit demyelinisasi
- Neuromyalitis optica atau sindrom Devic
- Myelopati akibat penyakit sistemik

53
- Post radiasi atau luka bakar listrik.10

6. RADIKULOPATI
A. Etiologi
Penyebab dari radikulopati bervariasi. Semua penyebab dari
radikulopati servikal ini menyebabkan kompresi dan gangguan dari
keluarnya akar saraf servikal. Radikulopati servikal lebih sering terjadi
karena.11
 Perubahan degeneratif yang terjadi pada tulang belakang seirin
bertambah usia
Radikulopati servikal biasanya terjadi seiring dengan
bertambahnya usia seperti artritis. Pada pasien usia tua, radikulopati
servikal lebih sering terjadi karena penyempitan foramen karena
pembentukan osteofit, berkurangnya ketinggian diskus, perubahan
degenerative.
 Cedera yang menyebabkan herniasi atau penonjolan diskus
intervertebral
Pada populasi muda, radikulopati servikal yang terjadi merupakan
akibat dari herniasi diskus intervertebralis (cedera akut). Herniasi
diskus lebih sering terjadi pada dewasa usia pertengahan. Hal ini
terjadi ketika terlalu besarnya gaya atau kekutan yang mendesak
diskus intervertebralis yang sehat. Mekanisme herniasi diskus di
servikal pada dasarnya sama seperti pada bagian lumbal. Namun
insidensinya 15 kali lebih jarang dibandingkan herniasi di daerah
lumbal.11

B. Patofisiologi
Ketika akar saraf keluar dari tulang belakang dan servikal, akar
saraf menjalar ke lengan. Selama perjalanan, setiap saraf mensuplai
sensasi terhadap bagian kulit dari bahu dan lengan. Saraf ini juga
mensuplai signal listrik terhadap beberapa otot untuk menggerakan
lengan atau tangan. Ketika sebuah saraf terganggu atau terjepit baik

54
karena penonjolan tulang abnormal atau tertekan oleh bagian dari
diskus intervertebralis, hal ini menimbulkan masalah (penekanan dan
iritasi) pada saraf sehingga saraf tidak dapat bekerja dengan baik. Hal
ini kemudian menyebabkan kelemahan pada otot yang dipersarafi, rasa
tebal pada kulit dan nyeri pada daerah tersebut. Pada leher, kondisi ini
disebut sebagai radikulopati servikal. Kombinasi faktor seperti mediator
inflamasi (substance P), perubahan respon vaskular, dan edema intra-
neural sebagai respon dari penekanan saraf berkontribusi terhadap
timbulnya nyeri radikuler.11
Herniasi Diskus
Herniasi diskus terjadi ketika nukleus pulposus yang memiliki
konsistensi seperti jelly mendorong cincin terluarnya (annulus
fibrosus). Diskus berespon terhadap tekanan sebagai absorber.
Meningkatnya tekanan pada diskus dapat menyebabkan diskus
menonjol ke kanal spinalis dan akar-akar saraf.11
Jika diskus mengalami cedera, nukleus dapat keluar. Cedera
terhadap diskus dapat terjadi ketika pergerakan leher memberikan
tekanan berlebih terhadap diskus. Pada cedera ini, robekkan yang parah
dari annulus menyebabkan keluarnya nukleus pulposus keluar dari
bagian tengah diskus. Annulus dapat robek atau ruptur dimanapun di
sekitar diskus. Jika annulus robek pada sisi dekat dengan kanal spinalis.
Ketika herniasi diskus menonjol keluar ke kanal spinalis, penonjolan ini
memberikan penekanan terhadap akar saraf yang sensitif, menyebabkan
nyeri, rasa tebal, dan kelemahan pada area yang dipersarafi. Beberapa
studi juga menemukan terdapat beberapa zat kimia yang keluar ketika
rupturnya diskus yang kemudian mengiritasi akar saraf, hal ini yang
juga menimbulkan beberapa gejala dari herniasi diskus, terutama
nyeri.11
Degenerasi dan Bone Spur
Perubahan degeneratif dari diskus lebih sering disebut sebagai
artritis atau spondilosis. Perubahan ini merupakan hal normal dan
terjadi pada semua orang. Pada usia pertengahan dan orang tua,

55
penyakit degeneratif terhadap diskus dapat menyebabkan penonjolan
tulang di sekitar akar saraf (bone spur). Seiring dengan usia diskus,
ketinggian diskus semakin menurun dan mulai untuk menonjol. Selain
itu komponen air pada diskus juga semakin berkurang, diskus mulai
mengering dan menjadi kaku. Hal ini menyebabkan kolapsnya celah
diskus dan ketinggian diskus juga berkurang.11
Dengan diskus yang ketinggiannya semakin berkurang, tulang
belakang semakin berdekatan satu sama lain. Tubuh berespon terhadap
kolapsnya diskus denngan membentuk tulang baru yang disebut sebagai
bone spur (penonjolan tulang baru yang abnormal) di sekitar diskus
untuk memperkuat diskus. Penonjolan tulang ini biasanya terjadi di sisi
dalam dari foramen (lubang pada servikal dimana akar saraf keluar dari
tulang belakang dan menjalar ke lengan). Terbentuknya tulang ini
kemudian menyebabkan kekakuan dari tulang belakang. Selain itu, hal
ini juga dapat menyebabkan semakin sempitnya foramen, semakin
kecilnya lubang keluarnya akar saraf pada kolom tulang belakang dan
akhirnya menyebababkan iritasi serta menjepit saraf yang keluar
tersebut. Hal ini menyebabkan gejala yang sama seperti pada herniasi
diskus. Iritasi yang terjadi menyebabkan nyeri menjalar ke arah bawah
dari lengan, rasa tebal yang terjadi di area dimana akar saraf yang
teriritasi menyediakan sensai, serta kelemahan dari otot yang disuplai
oleh saraf tersebut.11

C. Gambaran Klinis
Dalam kebanyakan kasus, rasa sakit dari radikulopati servikalis
dimulai pada leher dan bergerak ke bawah lengan di daerah yang
dilayani oleh saraf yang rusak. Nyeri ini biasanya digambarkan sebagai
rasa terbakar atau tajam. Gerakan tertentu seperti memutar kepala atau
mengejan leher dapat meningatkan rasa sakit. Gejala lain termasuk:
 Kesemutan di jari atau tangan
 Kelemahan pada otot-otot lengan, bahu, atau tangan
 Hilangnya sensasi

56
 Beberapa pasien mengatakan bahwa rasa sakit berkurang ketika
tangan mereka ditempatkan diatas kepala mereka. Gerakan ini
untuk sementara dapat mengurangi tekanan pada akar saraf.
 Leher terasa kaku, rasa tidak nyaman pada bagian medial skapula.
 Gejala diperburuk dengan gerakan kepala dan leher, juga dengan
regangan pada lengan yang bersangkutan. Untuk mengurangi gejala
tersebut, penderita seringkali mengangkat dan memfleksikan
lengannya di belakang kepala.
 Lesi pada C5 ditandai dengan nyeri pada bahu dan daerah
trapezius, berkurangnya sensorik sesuai dengan pola dermatomal,
kelemahan dan atrofi otot deltoid. Lesi ini dapat mengakibatkan
berkurangnya kemampuan abduksi dan eksorotasi lengan.
 Lesi pada C6 ditandai dengan nyeri pada trapezius, ujung bahu, dan
menjalar hingga lengan atas anterior, lengan bawah bagian radial,
jari ke1 dan bagian lateral jari ke-2. Lesi ini mengakibatkan
paresthesia ibu jari, menurunnya refleks biseps, disertai kelemahan
dan atrofi otot biseps.
 Lesi pada C7 ditandai dengan nyeri bahu, area pektoralis dan
medial aksila, posterolateral lengan atas, siku, dorsal lengan bawah,
jari ke-2 dan ke-3, atau seluruh jari. Lesi ini dapat mengakibatkan
paresthesia jari ke-2, ke-3, dan juga jari pertama, atrofi dan
kelemahan otot triseps, ekstensor tangan, dan otot pektoralis.
 Lesi pada C8 ditandai dengan nyeri sepanjang bagian medial
lengan bawah. Lesi ini akan mengganggu fungsi otot-otot intrinsik
tangan dan sensasi jari ke-4 dan 5 (seperti pada gangguan nervus
ulnaris).11

D. Diagnosis
 Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengamatan pasien. Hal yang
termasuk di dalam pemeriksaan ini adalah kepala, postur leher dan

57
gerakan selama percakapan normal. Biasanya, pasien memiringkan
kepala mereka jauh dari sisi cedera dan menahan leher merka yang
kaku. ROM yang aktif biasanya berkurang, terutama di ekstensi,
rotasi dan lateral bending, baik menuju atau jauh dari akar saraf yang
terkena. Peningkatan sakit dengan lateral bending yang jauh dari sisi
yang terkena didapatkan dari hasil peningkatan perpindahan herniasi
diskus ke akar saraf, sedangkan nyeri ipsilateral menunjukkan
pelampiasan dari akar saraf di lokasi foramen saraf. 11
Palpasi
Nyeri biasanya dicatat dari otot paraspinal serviks, dan biasanya
lebih terlihat di sepanjang sisi ipsilateral dari akar saraf yang terkena.
Nyeri otot dapat muncul di sepanjang otot dimana gejala tersebut
disebutkan (misalnya tulang belikat medial, lengan proksimal,
epikondilus lateral). Hipertonis atau kejang pada palpasi pada otot-
otot yang sakit mungkin saja terjadi.
- Terbatasnya range of movement leher
- Nyeri akan bertambah berat dengan pergerakan (terutama
hiperekstensi) dengan tes Lhermitte (foramina compression
test), tes distraksi.11
Pemeriksaan sensorik
Pasien dengan diagnosis radiculopathy menunjukkan penurunan
atau hilangnya sensasi dalam distribusi dermatom. Selain itu pasien
dengan radiculopathy biasanya hyperesthesia untuk sentuhan ringan
dan pemeriksaan pin-prick. Pemeriksaan sensorik cukup subjektif
karena membutuhkan respon dari pasien.11
 Pemeriksaan Penunjang
- Radiografi atau Foto Polos Roentgen. Tujuan utama foto polos
Roentgen adalah untuk mendeteksi adanya kelainan struktural.
- MRI dan CT-Scan
- Myelography, pemeriksaan ini memberikan gambaran anatomis
yang detail, terutama elemen osseus vertebra. Myelography
merupakan proses yang invasif, karena melibatkan penetrasi

58
pada ruang subarakhnoid. Secara umum myelogram dilakukan
sebagai tes preoperative dan seringkali dilakukan bersamaan
dengan CT-Scan.
- Nerve Conduction Study (NCS) dan Electromyography (EMG),
sangat membantu untuk membedakan asal nyeri atau untuk
menentukan keterlibatan saraf, apakah dari radiks, pleksus saraf,
atau saraf tunggal. Selain itu, pemeriksaan ini juga membantu
menentukan lokasi kompresi radiks saraf. Namun bila diagnosis
radikulopati sudah pasti secara pemeriksaan klinis, maka
pemeriksaan elektrofisiologis tidak dianjurkan.
- Laboratorium, Pemeriksaan darah perifer lengkap, laju endap
darah, faktor rematoid, fosfatase, alkali/asam, dan kalsium. Urin
analisis, berguna untuk penyakit nonspesifik seperti infeksi.11

E. Penatalaksanaan
Penting untuk dicatat bahwa mayoritas pasien dengan radikulopati
servikalis dapat menjadi lebih baik dari waktu ke waktu dan tidak
memerlukan pengobatan. Tujuan dari pengobatan yang dilakukan
adalah untuk menghilangkan rasa nyeri, memperbaiki fungsi
neurologis, dan mencegah kekambuhan.11
Pengobatan awal untuk radikulopati servikalis adalah non operasi.
Pilihan pengobatan non operasi meliputi:
 Soft Cervical Collar
Imobilisasi singkat dapat mengurangi gejala pada fase inflamasi.
Alat ini berbentuk seperti sebuah cincin empuk yang membungkus
di sekitar leher. Penggunaan alat ini bertujuan agar otot-otot di
leher beristirahat dan membatasi gerakan leher. Hal ini dapat
membantu mengurangi penekanan akar saraf yang menyertai
pergerakan leher. Soft cervical collar dipakai untuk jangka waktu
yang singkat (1 minggu), penggunaan jangka panjang dapat
menurunkan kekuatan otot-otot di leher.11

59
 Terapi Fisik
Terapi fisik membantu mengembalikan ROM (jangkauan gerak)
dan kekuatan otot leher. Terapi ini dapat membantu mengurangi
nyeri dan mencegah kekambuhan. Terapi fisik yang dilakukan
dapat berupa ROM ringan dan latihan peregangan yang
dikombinasikan dengan modalitas tambahan seperi panas, es, dan
stimulasi elektrikal. Dalam beberapa kasus, traksi dapat digunakan
untuk lembut meregangkan sendi dan otot leher.
Terapi manipulatif (traksi) dipergunakan untuk terapi jangka
pendek. Komplikasi yang dapat muncul adalah memperparah
radikulopati, mielopati, dan cedera medula spinalis. Namun
komplikasi-komplikasi ini jarang terjadi.11
 Farmakologi
Farmakoterapi berguna untuk penatalaksanaan dan mengobati
gejala. Farmakoterapi dapat berguna untuk mengurangi nyeri akut
yang berkaitan dengan radikulopati servikalis.11
o Obat Anti Inflamasi (NSAID)
NSAID dapat membantu mengurangi gejala akut yang
muncul. Pemberian NSAID selama 2 minggu pada dosis terapi
dapat efektif dalam mengurangi gejala dan mengurangi nyeri.
NSAID merupakan piihan yang baik sebagai terapi line pertama,
karena ketersediaanya dan keterjangakuannya. Beberapa hal
yang harus diperahatikan dalam pemberian NSAID adalah usia
pasien, interaksi terhadap pengobatan lain, dan faktor komorbid
lain. NSAID, yaitu aspirin, ibuprofen, dan naproxen, dapat
menjadi pilihan.
o Kortikosteroid
Kortikosteroid oral biasanya digunakan untuk mengatasi
episode akut dari radikulopati servikalis. Reaksi singkat
kortikosteroid oral dapat membantu mengurangi rasa sakit
dengan mengurangi pembengkakan dan peradangan di sekitar
saraf. Penggunaan steroid oral secara berulang dapat

60
menyebabkan nekrosis avaskuar, hiperglikemi, penambahan
berat badan, dan mood swings. Tingkatan dimana steroid oral
dapat memperbaiki gejala dapat menjadi indikator untuk
pengobatan lebih lanjut dengan menggunakan injeksi
kortikosteroid.11
o Muscle Relaxtant
Muscle relaxants seperti, cyclobenzaprine (Flexeril) dan
tizanidine (Zanaflex) dapat mengurangi nyeri leher akibat
peningkatan ketegangan otot. Obat ini paling efektif untuk
keadaan akut. Penggunaan jangka panjang dalam pengobatan
radikulopati servikalis masih belum diketahui secara jelas.
Tricyclic antidepressants dan venlafaxine dapat mengatasi nyeri
radikuler sedang pada pasien yang menolak untuk melakukan
tindakan pembedahan atau tetap merasa nyeri setelah intervensi
pembedahan.11
Jika setelah masa pengobatan nonbedah tidak meredakan gejala,
maka tindakan pembedahan dapat direkomendasikan. Ada beberapa
prosedur bedah untuk mengobati radikulopati srevikalis. Prosedur yang
direkomendasikan tergantung dari banyak faktor, termasuk gejala yang
dialami dan lokasi akar saraf yang terlibat.11
Tindakan pembedahan direkomendasikan bila muncul tanda-tanda
seperti:
- Nyeri yang tidak tertahankan
- Peningkatan kelemahan
- Peningkatan rasa tebal
- Menyebabkan masalah pada kaki.2

F. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk nyeri pada leher dan bahu sangat luas,
termasuk diagnosis yang berkaitan dengan neurologis, jantung, infeksi,
dan penyebab muskuloskeletal. Keganasan (seperti osteochondroma,
tumor esofagus, limfoma, meningitis karsinoma, tumor tiroid) yang

61
dapat menimbulkan gejala yang mirip dengan radikulopati servikalis
juga dapat menjadi diagnosis banding untuk nyeri pada leher dan
bahu.11

Tabel 6.1 Diagnosis Bnading Radikulopati servikalis11


KONDISI KARAKTERISTIK
Nyeri radikuler pada ektremitas atas, khas :
Nyeri kardiak
pada bahu dan lengan kiri
Kesulitan pada ketangkasan, perubahan gaya
Mielopati spondilotik
jalan, disfungsi usus dan kandung kencing,
servikalis
temuan pada UMN (Upper Motor Neuron)
Sindrom nyeri
regional kompleks / Rasa nyeri atau terbakar pada ektremitas,
distrofi refleks perubahan kulit, fluktuasi vasomotor, distimia
simpatetik
Kelemahan dan defisit sensoris yang konsisten
dengan distribusi saraf medianus dan ulnar,
Entrapment syndrome
stimulasi langsung pada saraf akan
memunculkan gejala
Nyeri radikuler sesuai dermatom yang berkaitan
Herpes Zoster
dengan reaktivasi infeksi virus
Gejala Red Flag, tumor intra- dan extraspinal,
Keganasan
gejala tergantung dari tumor primer
Nyeri dengan onset akut pada ektremitas atas,
Sindrom Parsonage-
biasanya disertai dengan kelemahan dan
Turner
gangguan sensoris
Rotator cuff Nyeri dan kelemahan pada bahu dan lengan sisi
impingement lateral
Disfungsi pleksus nervus brakialis bawah akibat
Thoracic Outlet
kompresi dari vaskular atau penyebab
Syndrom
neurologis

62
G. Prognosis
Untuk prognosis dari pasien dengan radikulopati sendiri baik
apabila pasien diobati dengan tepat. Penatalaksanaan non operatif
efektif dilakukan pada hampir 80-90% pasien. Penatalaksanaan dengan
pembedahan dilakukan bila penatalaksanaan non operatif tidak berhasil.
Lebih kurang 5-10% pasien gagal dalam penatalaksanaan konservatif
dan akan mengalami progresifitas penyakit, nyeri yang menetap,
kelemahan motorik yang progresif, dan hilangnya refleks. Secara
umum, radikulopati akan memburuk bila tertawa, menangis, bersin,
ataupun varian valsava manufer lainnya. Hal ini terjadi karena
meningkatnya tekanan intracranial.11
Pada beberapa pasien dengan radikulopati servikalis yang
diakibatkan oleh kompresi dari akar saraf ini, dapat membaik tanpa
pengobatan yang spesifik. Pada sebuah penelitian yang dilakukan di
Minnesota, 90% pasien dengan radikulopati servikalis sembuh tanpa
gejala klinis apapun atau hanya mengalami sedikit kelumpuhan.
Radikulopati servikalis juga dapat mengalami kekambuhan.11

7. STATUS EPILEPSI
A. Etiologi
Idiopatik epilepsi biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang
umum, penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi
mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan
umumnya predisposisi genetik.12
Kriptogenik epilepsi dianggap simptomatik tapi penyebabnya
belum diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi
tanpa disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahui.
Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan
epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.12
Simptomatik epilepsi pada simptomatik terdapat lesi struktural di
otak yang mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma
kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan kongenital, proses desak

63
ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol, obat),
gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif.12

B. Patofisiologi
Hampir semua bangkitan berhenti dengan sendirinya setelah
beberapa detik atau menit. Ini menunjukkan bahwa otak memiiki
mekanisme endogen untuk membatasi hipereksitabilitas dan
hipersinkronisitas. Status epileptikus merupakan akibat dari kegagalan
mekanisme tersebut sehingga bangkitan menjadi berlangsung terus
menerus dengan sendirinya akibat suatu pencetus.12
Signal ɣ-Aminobutyric acid. Terdapat sejumlah bukti yang
menunjukkan bahwa sinyal ɣaminobutyric acid (GABA) tidak berfungi
dengan baik dalam status epileptikus, baik sebelum onset maupun
selama status. Disfungsi inhibisi GABA menyebabkan keseimbangan
eksitasi-inhibisi dalam otak bergeser ke arah eksitasi berlebihan.12
Neuromodulasi. Neuromodulasi merujuk pada stabilisasi kronik
terhadap eksitabilitas neuronal oleh faktor eksogen. Implantasi alat
stimulus fokal, sistem pemberian obat dan modulasi via implan sel
punca atau terapi gen merupakan terapi masa depan yang mungkin bisa
digunakan untuk terapi status epileptikus. Obat GABAergic atau
neuropeptida inhibisi mungkin bisa diberikan melalui metode tersebut.
Obat lain yang mempunyai efek antikonvulsan seperti adenosin juga
bisa diberikan.12
Faktor Maturasi. Hubungan antara usia dan predileksi bangkitan
telah lama diketahui. Bangkitan dengan durasi apapun lebih sering
terjadi pada otak yang immatur, akan tetapi konsekuensi struktural dan
fungsional akibat bangkitan yang singkat maupun lama masih belum
jelas pada usia muda. Sekuel perilaku dan kognitif akibat bangkitan
pada otak yang sedang berkembang lebih ringan dan samar-samar
dibandingkan dengan otak yang matur. Meskipun banyak faktor
kerentanan bangkitan yang berhubungan dengan usia, korelasinya
dengan area klinis masih belum bisa disimpulkan seluruhnya.12

64
Perubahan Ekspresi Gen. Contoh akhir perkembangan neurobiologi
yang mungkin dapat membantu terapi status epileptikus di masa depan
adalah perubahan ekspresi gen. Status epileptikus merubah ekspresi
sejumlah gen yang berperan dalam eksitabilitas neuronal. Gen ini
berubah dalam waktu jam sampai hari setelah status epileptikus dan
sebagian berperan dalam perubahan struktural yang bersifat
prokonvulsan, seperti neurogenesis dan sprouting. Sel baru yang
muncul pada neurogenesis memiliki plastisitas sinaptik dan properti
elektrofisiologis yang berbeda dari sel normal, sehingga dapat
mengganggu aktivitas listrik di otak.12
Untuk patofisiologi terjadinya absence seizure yang merupakan
salah satu tipe dari NCSE telah diteliti pada hewan coba dengan general
spike wave discharge (GSWD) dikaitkan dengan adanya perilaku yang
terhenti. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa GSWD timbul karena
adanya sinkronisasi tinggi yang abnormal pada ritme oscilatori di jaras
thalamocortical yang melibatkan sel piramidal pada neokorteks,
nukleus retikuler thalamicum dan nukleus relay di thalamus. Jika hanya
korteks sendiri atau hanya thalamus saja yang mengalami kelainan tidak
dapat menyebabkan terjadinya discharge. Hal ini mengindikasikan
bahwa kedua struktur tersebut terlibat dalam munculnya discharge. 12

C. Klasifikasi
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat,
karena pe nanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status
epileptikus. Pada umumnya status epileptikus dikarakteristikkan
menurut lokasi awal bangkitan area tertentu dari korteks (Partial onset)
atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset) kategori utama
lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau
non-konvulsi. Tahun 1981 International League Against Epilepsy
(ILAE) membuat suatu klasifikasi internasional mengenai kejang dan
epilepsi yang membagi kejang menjadi 2 golongan utama yaitu

65
serangan parsial (partial onset seizures) dan serangan umum
(generalized-onset seizures).12
Serangan parsial dimulai pada satu area fokal di korteks serebri,
sedangkan serangan umum dimulai secara simultan di kedua hemisfer.
Serangan lain yang sulit digolongkan dalam satu kelompok dimasukkan
dalam golongan tak terklasifikasikan (unclassified). ILAE kemudian
membuat klasifikasi yang diperbarui menggunakan diagnosis
multiaksial pada tahun 1989, kemudian disempurnakan lagi pada tahun
2001, namun klasifikasi tahun 1981 tetap masih sering digunakan.12

Tabel 7.1 Klasifikasi ILAE 198112


Serangan parsial sederhana (gejala motorik,
sensorik, otonom, atau psikis)
Serangan Parsial Serangan parsial kompleks
Seranagn parsial dengan generalisasi
sekunder
Absens (petit mal)
Tonik-klonik (Grand mal)
Serangan Umum Tonik
Atonik
Mioklonik

D. Gambaran Klinis
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium
untuk mencegah keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum
(Generalized Tonic-Clonic) merupakan bentuk status epileptikus yang
paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan kira-kira 44-74 %,
tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.12

66
TANDA KHAS EPILEPSI PARSIAL SEDERHANA

Gambar 7.1 Manifestasi Epilepsi Parsial Sederhana.12

Aktivitas motorik merupakan gejala yang paling lazim pada


epilepsi parsial sederhana. Gerakan ditandai dengan gerakan klonik atau
tonik yang tidak sinkron, dan mereka cenderung melibatkan wajah,
leher dan tungkai. Kejang versify terdiri atas pemutaran kepala dan
gerakan mata gabungan adalah sangat lazim. Rata-rata kejang
berlangsung selama 10-22 detik. Kejang parsial sederhana dapat
terancukan dengan gerenjit (tic), namun gerenjit ditandai dengan
pengangkatan bahu, mata berkedip-kedip dan wajah menyeringai serta
terutama melibatkan wajah dan bahu. Gerenjit dapat tertekan sebentar,
tetapi kejang parsial tidak dapat dikendalikan. EEG dapat menunjukkan
gelombang paku atau gelombang tajam unilateral atau bilateral, atau
gambaran paku multifokal pada penderita dengan kejang parsial
sederhana, gelombang paku ombak di daerah temporal tengah (daerah
Rolandik).12

67
Jenis epilepsi ini mempunyai kekhususan tersendiri, yaitu
prognosisnya baik. Serangannya mudah diobati, dicegah dengan
antikonvulsan, dan umumnya akan sembuh pada umur 15 tahun. Ciri
dan jenis epilepsi ini adalah:
 Serangan pertama biasa terjadi antara usia 5-10 tahun.
 Serangan terutama terjadi sewaktu tidur.
 Respon terhadap obat antikonvulsan baik.
 Prognosis baik.
 Sumber epilepsinya adalah di daerah temporal tengah, pada satu sisi
atau pada kedua sisi di otak.
 Serangan- serangan kejang akan menghilang atau berhenti bila
mencapai usia remaja, demikian juga halnya dengan gelombang
paku di daerah temporal tengah yang terlihat pada pemeriksaan
EEG akan menghilang.
 Anak dengan jenis epilepsy ini mempunyai inteligensi, tingkah
laku, dan kemampuan bersekolah yang tidak berbeda dengan
populasi umum. Jenis epilepsy ini cukup sering dijumpai.12

Tanda Khas Epilepsi Parsial Kompleks


Kejang jenis ini disebut juga kejang psikomotor. Kejang ini dapat
didahului oleh kejang parsial sederhana dengan atau tanpa aura, disertai
dengan gangguan kesadaran atau sebaliknya, mulainya kejang parsial
kompleks ini dapat bersama dengan keadaan kesadaran yang berubah.
Aura terdiri dari rasa tidak enak, samar-samar, sedikit rasa tidak enak
epigastrium, atau ketakutan pada sekitar sepertiga anak. Kejang parsial
ini sukar didokumentasikan pada bayi dan anak, frekuensi hubungannya
dengan kejang parsial kompleks mungkin kurang terestimasi.
Kesadaran terganggu pada anak dan bayi sukar dinilai.12
Kejang parsial kompleks yang disertai gelombang tajam atau paku-
paku setempat EEG antar kejang lobus temporalis anterior, dan paku
multifokus merupakan temuan yang sering. Sekitar 20 % bayi dan anak
dengan kejang parsial kompleks mempunyai EEG antar kejang rutin

68
normal. Daerah yang terkena kejang parsial kompleks lebih luas
dibandingkan dengan kejang parsial sederhana dan biasanya didahului
dengan aura.12

TANDA KHAS EPILEPSI PARSIAL KEMUDIAN MENJADI


UMUM
Bentuk kejang ini disebut juga status epilepsy fokal atau epilepsy
parsial kontinu. Bentuk kejang biasanya kejang klonik (kelojotan). Tiap
bagian tubuh dapat terlibat, misalnya tangan, muka, dan kaki. Kejang
ini dapat terbatas dan dapat pula menjalar ke bagian tubuh lainnya. Bila
kejang bermula di ibu jari, ia dapat menjalar ke jari lainnya, kemudian
ke pergelangan tangan, ke lengan bawah, lengan atas, muka, kemudian
ke tungkai dan kaki. Sehabis kejang sesekali dijumpai bahwa otot yang
terlibat lemah. Kelemahan ini umumnya pulih setelah beberapa menit
atau jam.12

TANDA KHAS EPILEPSI TONIK KLONIK UMUM BANGKITAN


Disebut juga bangkitan tonik klonik umum atau bangkitan mayor.
Bangkitan grandmal merupakan jenis epilepsi yang sering dijumpai.
Serangan grandmal yang khas adalah sebagai berikut:
Penderita secara mendadak menghilang kesadarannya, disertai
kejang tonik (badan dan anggota gerak menjadi kaku), yang kemudian
diikuti oleh kejang klonik (badan dan anggota gerak berkejut-kejut,
kelojotan). Bila penderita sedang berdiri sewaktu serangan mulai, ia
akan jatuh seperti benda mati. Pada fase tonik badan menjadi kaku. Bila
kejang tonik ini kuat, udara dikeluarkan dengan kuat dari paru-paru
melalui pita suara sehingga terjadi bunyi yang disebut sebagai jeritan
epilepsy. Sewaktu kejang tonik ini berlangsung, penderita menjadi biru
(sianosis) karena pernafasan terhenti dan terdapat pula kongesti
(terbendungnya) pembuluh darah balik vena. Biasanya fase kejang
tonik ini berlangsung selama 20-60 detik.12

69
Kemudian disusul oleh fase klonik. Pada fase ini terjadi kejang
klonik yang bersifat umum, melibatkan semua anggota gerak. Semua
anggota gerak pada fase klonik ini berkejang klonik (kelojotan) juga
otot pernafasan dan otot rahang. Pernafasan menjadi tidak teratur,
tersendat-sendat, dan dari mulut keluar busa. Lidah dapat tergigit waktu
ini dan penderita dapat pula mengompol.12
Bila penderita terbaring pada permukaan yang keras dan kasar,
kejang klonik dapat mengakibatkan luka-luka karena kepala digerak-
gerakkan sehingga terantuk-antuk dan luka. Biasanya fase klonik ini
berlangsung kira-kira 40 detik, tetapi dapat lebih lama. Setelah fase
klonik ini penderita terbaring dalam koma. Fase koma ini biasanya
berlangsung kira-kira 1 menit. Setelah itu penderita tertidur, yang
lamanya bervariasi, dari beberapa menit sampai 1-3 jam. Bila pada saat
tidur ini dibangunkan ia mengeluh sakit kepala, dan ada pula yang
tampak bengong. Lama keadaan bengong ini berbeda –beda. Ada
penderita yang keadaan mentalnya segera pulih setelah beberapa menit
serangan selesai. Ada pula yang lebih lama, sampai beberapa jam atau
hari. Kelemahan umum, muntah, nyeri kepala hebat, pegal otot,
gelisah, mudah tersinggung, dan berbagai perubahan tingkah laku
merupakan gejala pasca serangan yang sering dijumpai. Gangguan
pasca serangan ini dapat berlangsung beberapa saat, namun dapat juga
sampai beberapa jam. Sesekali dijumpai keadaan dimana serangan
grandmal timbul secara beruntun, berturut-turut sebelum penderita
pulih dari serangan sebelumnya. Hal ini merupakan keadaan gawat
darurat, dan disebut status epileptikus. Dapat berakibat fatal,
memautkan dan dapat pula mengakibatkan terjadinya cacat pada
penderitanya.12

TANDA KHAS EPILEPSI TONIK UMUM


Kejang ini biasanya terdapat pada BBLR dengan masa kehamilan
kurang dari 34 minggu dan pada bayi dengan komplikasi perinatal berat
misalnya perdarahan intraventrikuler. Bentuk klinis kejang ini yaitu

70
berupa pergerakan tonik satu ekstremitas, atau pergerakan tonik umum
dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai sikap deseberasi
atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk
dekortikasi. Juga ditemukaan adanya epileptic cry. Bentuk kejang tonik
yang menyerupai deserebrasi harus dibedakan dengan sikap opistotonus
yang disebabkan oleh rangsang meningeal karena infeksi selaput otak
atau kernikterus.12

TANDA KHAS EPILEPSI KLONIK UMUM


Kejang klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan
permulaan fokal dan multifokal yang berpindah – pindah. Bentuk klinis
kejang klonik fokal berlangsung 1-3 detik, terlokalisasi dengan baik,
tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase
tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio serebri akibat
trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan, atau oleh ensefalopati
metabolic. Kejang klonik fokal sering diduga sebagai suatu keadaan
gemetar (jitteriness). Pada BBL dengan kejang klonik fokal hendaknya
dilakukan pemeriksaan USG dan penatahan kepala untuk mengetahui
apakah terjadi perdarahan otak. Apabila pemeriksaan tersebut normal
tetapi terdapat kelumpuhan salah satu tungkai setelah kejang berhenti,
penatahan kepala harus diulangi 1 minggu kemudian untuk mencari
kemungkinan terjadinya infark serebri. Bentuk kejang ini merupakan
gerakan klonik pada satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-
pindah atau terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri
diikuti dengan kejang klonik tungkai bawah kanan. Kejang yang satu
dengan yang lain sering berkesinambungan, seolah-olah memberi kesan
sebagai kejang umum.12

TANDA KHAS EPILEPSI ABSENCE


Jenis epilepsy ini dikenal juga dengan nama Petit mal. Jenis ini
jarang dijumpai. Nama lainnya ialah lena khas, lena sederhana (simple
absence) atau lena murni (pure absence). Serangan petit mal

71
berlangsung singkat hanya beberapa detik 5-15 detik. Pada serangan
petit mal terdapat hal berikut:
 Penderita tiba-tiba berhenti melakukan apa yang sedang ia lakukan
(misalnya makan, bermain, berbicara, membaca)
 Ia memandang kosong, melongo (staring). Pada saat ini ia tidak
bereaksi bila diajak bicara atau bila dipanggil, karena ia tidak sadar.
 Setelah beberapa detik ia kemudian sadar dan melanjutkan lagi apa
yang sedang ia lakukan sebelum serangan terjadi. Jadi pada serangan
petit mal didapatkan menghilangnya kesadaran yang berlangsung
mendadak dan singkat. Waktu serangan terjadi penderita tidak jatuh,
biasanya ia agak terhuyung. Tidak didapatkan aura, dan pasien tidak
ngompol sewaktu serangan.12

TANDA KHAS EPILEPSI ATONIK


Biasanya disebut juga dengan bangkitan akinetik (serangan jatuh).
Epilepsi ini biasanya mulai antara 2-5 tahun. Pada jenis ini sewaktu
serangan penderitanya tiba-tiba secara mendadak jatuh. Hal ini dapat
menyebabkan giginya patah dan kepalanya luka. Bila misalnya penderita
sedang duduk di depan meja sewaktu serangan datang, maka ia dapat
secara mendadak tidak berdaya dan kepala terbentur pada meja. Pada
serangan atonik ini didapatkan menghilangnya secara mendadak tenaga
otot-otot yang mempertahankan sikap. Pada serangan ini tenaga otot-otot
yang mempertahankan sikap secara mendadak hilang yang berlangsung
singkat. Bila penderita kebetulan sedang berdiri pada waktu serangan
datang, maka ia akan jatuh. Serangan ini disebut juga serangan jatuh.12

TANDA KHAS EPILEPSI MIOKLONIK


Epilepsi masa anak ditandai dengan kejang berulang yang terdiri dari
kontraksi otot sebentar, sering kontraksi otot simetris dengan kehilangan
tonus tubuh dan jatuh atau menelungkup ke depan.12
Untuk menentukan apakah seorang menderita bangkitan kejang atau
epilepsi biasanya tidak sukar, asal kita dapat menyaksikan sendiri

72
serangan tersebut atau dapat memperoleh anamnesis yang dapat
dipercaya. Kesukarannya ialah menentukan penyakit atau kelainan yang
menyebabkan terjadinya bangkitan kejang atau epilepsi. Tiap penderita
harus diperiksa secara teliti dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan
jasmani, dan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan.12

D. Penegakan Diagnosis
Untuk mempermudah anamnesis, berikut kesimpulan yang perlu
dintanyakan kepada pasien maupun saksi:
 Family history
 Past history
 Systemic history
 Alcoholic history
 Drug history
 Focal neurological symptoms and sign.12
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan
kejang dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai
pegangan. Pada pasien yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan
auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular.
pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali
serangan kejang itu muncul oleh karena banyak kejadian yang mirip
dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular seperti
sinkop kardiovaskular.12
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, gait, koordinasi, saraf
kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya
defisit neurologi seperti hemiparese, distonia, disfasia, gangguan
lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya
lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya
nystagmus, diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek toksis dari
obat anti epilepsi seperti karbamasepin, fenitoin, lamotrigin. Dilatasi
pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi Dysmorphism
dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran

73
progresif seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat
diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism
bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral
sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus
kontralateral dilobus temporalis.12
Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan
tipe epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama
pemriksaan EEG rutin. Namun kejang tetap dapat memberikan
konfirmasi tentang kehadiran aktifitas listrik yang abnormal, informasi
tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi spesifik kejang fokal. Pada
pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya terdapat 50% dari
seluruh pasien epilepsi yang akan terdeteksi dengan hasil yang abnormal.
Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan,
adalah bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di
beberapa kasus epilepsi tipe yang tidak menentu. Mungkin tidak begitu
penting pada pasien kejang umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG.
Pemeriksaan lainnya seperti glukosa, kalsium, dan ECG jarang
memberikan informasi yang dibutuhkan. Sulitnya menegakkan diagnosis
epilepsi dengan bantuan pemeriksaan di atas, memaksa seorang
pemeriksa harus meneliti gejala klinis secara seksama untuk menegakkan
diagnosa dengan tetap memperhatikan hasil dari pemeriksaan EEG.12

E. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan SE adalah menghentikan aktivitas kejang
baik klinis maupun elektroensefalografik (EEG). Penatalaksanaan SE
meliputi penggunaan obat intravena yang poten, sehingga dapat
menimbulkan efek samping yang serius. Oleh karena itu, langkah awal
adalah memastikan bahwa pasien sedang mengalami SE. Kejang
tunggal yang pulih tidak membutuhkan tatalaksana, namun jika
diagnosis SE ditegakkan harus ditatalaksana secepat mungkin.12
Penilaian awal jalan napas dan oksigenasi sangat penting. Jika
jalan napas telah bebas, intubasi tidak harus segera dilakukan, tekanan

74
darah dan nadi harus diobservasi. Pemeriksaan neurologis dilakukan
untuk mencari tanda lesi fokal intrakranial.12
Langkah selanjutnya mendapatkan akses intravena, pengambilan
sampel darah untuk penilaian serum elektrolit, ureum, glukosa, kadar
obat antiepilepsi dalam darah, skrining toksisitas obat, dan hitung darah
lengkap. Infus cairan isotonik harus sudah diberikan. Hipoglikemia
merupakan pencetus status epileptikus yang reversibel, glukosa 50 ml
50% dapat diberikan jika diduga suatu hipoglikemia. Tiamin dapat
diberikan untuk mencegah ensefalopati Wernicke.12
Setelah pemberian oksigen, kadar gas darah seharusnya diukur
untuk memastikan oksigenasi sudah adekuat. Asidosis, hiperpireksia,
dan hipertensi tidak perlu ditangani, karena merupakan keadaan umum
pada tahap awal SE dan akan membaik setelah penatalaksanaan umum
dilakukan.12
Pencitraan CT scan direkomendasikan setelah stabilisasi jalan
napas dan sirkulasi. Jika hasil pencitraan negatif, pungsi lumbal dapat
dipertimbangkan untuk menyingkirkan etiologi infeksi.12
Continuous EEG (cEEG) sangat berguna pada penatalaksanaan SE
di ruang intensive care unit (ICU), dilakukan dalam satu jam sejak
onset jika kejang masih berlanjut. Ini bermanfaat untuk
mempertahankan dosis obat antiepilepsi selama titrasi dan mendeteksi
berulangnya kejang. Indikasi penggunaan cEEG pada SE adalah kejang
klinis yang masih berlangsung atau SE yang tidak pulih dalam 10
menit, koma, postcardiac arrest, dugaan nonconvulsive SE pada pasien
dengan perubahan kesadaran. Durasi cEEG seharusnya paling sedikit
dalam 48 jam.3,9.12
Terapi, sampai saat ini belum ada konsensus baku penatalaksanaan
SE berkaitan dengan pemilihan obat dan dosis. Tidak ada obat yang
ideal untuk tatalaksana SE. Banyak penulis setuju bahwa lorazepam
(0,1 mg/kgBB) atau diazepam (0,15 mg/kgBB) dapat diberikan pada
tahap awal, disusul fenitoin (15-20 mg/ kgBB) atau fosfenitoin (18-20
mg/kgBB). Jika benzodiazepin dan fenitoin gagal, fenobarbital dapat

75
diberikan dengan dosis 20 mg/kgBB, namun harus mendapatkan
perhatian khusus karena dapat menyebabkan depresi pernapasan. Jika
kejang tetap berlanjut, pertimbangkan pemberian anestesi umum, dapat
digunakan agen seperti midazolam, propofol, atau pentobarbital.12
 Benzodiazepin
- Diazepam
Diazepam merupakan obat pilihan pertama (level evidence A
pada banyak penelitian). Obat memasuki otak secara cepat,
setelah 15-20 menit akan terdistribusi ke tubuh. Walaupun
terdistribusi cepat, eliminasi waktu paruh mendekati 24 jam.
Sangat berpotensi sedatif jika terakumulasi dalam tubuh pada
pemberian berulang.
Diazepam dengan dosis 5-10 mg intravena dapat
menghentikan kejang pada sekitar 75% kasus. Diazepam dapat
diberikan secara intramuskuler atau rektal. Efek samping
termasuk depresi pernapasan, hipotensi, sedasi, iritasi jaringan
lokal. Sangat berpotensi hipotensi dan depresi napas jika
diberikan bersamaan obat antiepilepsi lain, khususnya
barbiturat. Walaupun demikian, diazepam masih merupakan
obat penting dalam manajeman SE karena efeknya yang cepat
dan berspektrum luas.
- Lorezepam
Lorazepam merupakan pilihan golongan benzodiazepin untuk
menajemen SE. Lorazepam berbeda dengan diazepam dalam
beberapa hal. Obat ini kurang larut dalam lemak dibandingkan
diazepam dengan waktu paruh dua hingga tiga jam
dibandingkan diazepam yang 15 menit, sehingga mempunyai
durasi lebih lama. Lorazepam juga mengikat reseptor
GABAergic lebih kuat daripada diazepam, sehingga durasi
aksinya lebih lama. Efek antikonvulsan lorazepam berlangsung
6-12 jam pada rentang dosis 4-8 mg. Agen ini berspektrum luas
dan berhasil menghentikan kejang pada 75-80% kasus. Efek

76
sampingnya sangat identik dengan diazepam. Oleh karena itu,
lorazepam juga merupakan pilihan untuk manjemen SE.
- Midazolam
Midazolam merupakan golongan benzodiazepin yang
bereaksi cepat, penetrasi cepat melewati sawar darah otak, dan
durasi yang singkat. Midazolam dapat digunakan sebagai agen
alternatif untuk SE refrakter. Walaup un midazolam jarang
merupakan pilihan pert ama untuk kejang akut di Amerika
Serikat, obat ini sangat umum digunakan di Eropa.12

 Agen Antikonvulsan
- Fenitoin
Fenitoin merupakan salah satu obat yang efektif mengobati
kejang akut dan SE. Disamping itu, obat ini sangat efektif pada
manajemen epilepsi kronik, khususnya pada kejang umum
sekunder dan kejang parsial. Keuntungan utama fenitoin adalah
efek sedasinya yang minim. Namun, sejumlah efek samping
serius dapat muncul seperti aritmia dan hipotensi, khususnya
pada pasien di atas usia 40 tahun. Efek tersebut sangat
dihubungkan dengan pemberian obat yang terlalu cepat. Di
samping itu, iritasi lokal, fl ebitis, dan pusing dapat muncul pada
pemberian intravena. Fenitoin sebaiknya tidak dicampur dengan
dekstrosa 5%, melainkan salin normal untuk menghindari
pembentukan kristal.
- Fosfenitoin
Fosfenitoin adalah pro-drug dari fenitoin yang larut dalam air
yang akan dikonversi menjadi fenitoin setelah diberikan secara
intravena. Seperti fenitoin, fosfenitoin digunakan dalam
tatalaksana kejang akut tonik-klonik umum atau parsial.
Fosfenitoin dikonversi menjadi fenitoin dalam waktu 8 sampai
15 menit. Dimetabolisme oleh hati dan mempunyai waktu paruh
14 jam. Karena 1,5 mg fosfenitoin ekuivalen dengan 1 mg

77
fenitoin, maka dosis, konsentrasi, dan kecepatan infus intravena
digambarkan sebagai phenytoin equivalent (PE). Dosis awal 15
sampai 20 mg PE per kgBB, dan diberikan dengan kecepatan
150 mg PE per menit, kecepatan pemberian infus tiga kali lebih
cepat dari fenitoin intravena.
Fosfenitoin lebih disukai, karena bekerja lebih cepat dan
iritasi vena yang lebih minimal (menghindari risiko purple-glove
syndrome yang terjadi pada fenitoin). Efek samping dari
fosfenitoin termasuk parestesia dan pruritus, namun muncul jika
diberikan dalam pemberian yang terlalu cepat. Pemberian
intravena dihubungkan dengan hipotensi, sehingga monitoring
jantung dan tekanan darah yang ketat dilakukan. Walaupun
fosfenitoin lebih baik daripada fenitoin, namun kelemahannya
adalah harga yang mahal dan tidak terdapat di semua rumah
sakit.12

 Barbiturat
- Fenobarbital
Fenobarbital digunakan setelah benzodiazepin atau fenitoin
gagal mengontrol SE. Loading dose 15 sampai 20 mg per kgBB.
Karena fenobarbital dosis tinggi bersifat sedatif, proteksi jalan
napas sangat penting, dan risiko aspirasi merupakan perhatian
khusus. Fenobarbital intravena juga dihubungkan dengan
hipotensi sistemik. Jika dilakukan pemberian intramuskuler,
maka dilakukan pada otot besar, seperti gluteus maximus. Defi
sit neurolgis permanen dapat timbul jika diinjeksikan berdekatan
dengan saraf tepi. Saat ini, untuk penanganan SE refrakter lebih
sering digunakan agen lain (midazolam, propofol, pentobarbital)
daripada fenobarbital.
- Pentobarbital
Merupakan barbiturat kerja singkat yang bersifat sedatif,
hipnotif, dan besifat antikonvulsan. Digunakan hanya untuk SE

78
refrakter, jika agen lain gagal untuk menghentikan kejang.
Pasien membutuhkan intubasi dan dukungan ventilasi.
Dibandingkan fenobarbital, pentobarbital mempunyai penetrasi
yang lebih cepat dan waktu paruh yang lebih singkat, sehingga
dapat sadar lebih cepat dari koma ketika penyapihan (weaning).
Efektivitas pentobarbital lebih tinggi daripada propofol dalam
mengakhiri SE refrakter. Suatu studi mendapatkan tingkat
keberhasilan pentobarbital yang tinggi (92% dengan
perbandingan 80% untuk midazolam dan 73% untuk propofol).
Namun demikian, sangat dihubungkan dengan tingginya ke
jadian hipotensi dibandingkan midazolam dan propofol (77% vs
42% dan 30%).12

 Anestesi Umum
- Propofol
Propofol merupakan suatu senyawa fenolik yang tidak
berhubungan dengan obat antikonvulsan lain. Propofol sangat
larut dalam lemak, sehingga dapat bereaksi dengan cepat,
mempunyai sifat anestesi jika diberikan secara intravena dengan
dosis 1-2 mg/kgBB, sangat efektif dan nontoksik. Beberapa
publikasi melaporkan penggunaan infus jangka panjang
propofol dapat di terapkan pada SE.
Propofol dapat menyebabkan depresi napas dan depresi
serebral, sehingga membutuhkan intubasi dan ventilasi.
Hipotensi mungkin membutuhkan penatalaksanaan segera.
Penggunaan jangka panjang (atau dosis tinggi >5 mg/kg/jam
dalam 48 jam) dapat menyebabkan asidosis, aritmia jantung, dan
rabdomiolisis (propofol infusion syndrome) yang fatal,
khususnya pada anak usia muda, sehingga propofol sebaiknya
tidak digunakan digunakan pada kelompok ini.

79
- Tapering off
Pada pasien yang ditatalaksana dengan infus kontinu obat
antiepilepsi harus diteruskan 12 sampai 24 jam setelah kejang
berhenti. Jika selama periode tapering off terdapat kejang, maka
pengobatan dengan infus kontinu harus diperpanjang dengan
memperhatikan adanya kejang baik secara klinis maupun EEG.
Jika tidak ada kejang, maka tapering off dapat diteruskan.12

80

Anda mungkin juga menyukai