Teori Psikologi Belajar
Teori Psikologi Belajar
1. Teori Konstruktivisme
http://www.fkip-unswagati.ac.id/ejournal/index.php/edunomic/article/view/199/191
https://journal.uny.ac.id/index.php/jpakun/article/viewFile/945/755
https://www.academia.edu/11999334/TEORI_PEMBELAJARAN_TEORI_PEMBELAJARAN_KONSTRUKTIVI
SME (sejarah konstruktivisme)
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9835/2/T1_202012053_BAB%20II.pdf sejarah
http://eprints.umm.ac.id/35592/3/jiptummpp-gdl-fungkyheri-49802-3-babii.pdf (pngertian)
http://digilib.uin-
suka.ac.id/8586/1/SUKIMAN%20TEOR1%20PEMBELAJARAN%20DALAM%20PANDANGAN%20KONSTRUK
TIVISME%20DAN%20PENDIDIKAN%20ISLAM.pdf pengertian jg
https://repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9835/2/T1_202012053_BAB%20II.pdf
1. Konstruktivisme
A. Definisi
Istilah constructivism (yang dalam Bahasa Indonesia diserap menjadi
konstruktivisme) berasal dari kata kerja Inggris “to construct”. Kata ini merupakan
serapan dari bahasa Latin “con struere” yang berarti menyusun atau membuat
struktur. Konstruktivisme adalah suatu pendekatan terhadap belajar yang
berkeyakinan bahwa orang secara aktif membangun atau membuat pengetahuannya
sendiri dan realitas ditentukan oleh pengalaman orang itu sendiri pula (Abimanyu,
2008: 22). Pembelajaran yang berciri konstruktivisme menekankan terbangunnya
pemahaman sendiri secara aktif, kreatif, dan produktif berdasarkan pengetahuan
terdahulu dan pengalaman belajar yang bermakna (Muslich, 2007: 44).
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
dalam teori belajar konstruktivisme, pengajar tidak hanya sekedar memberi
pengetahuan kepada peserta didiknya. Peserta didik harus membangun sendiri
pengetahuan di dalam benaknya dan. Pengajar dapat membawa peserta didiknya ke
pemahaman yang lebih tinggi, dengan memberi kesempatan kepada para peserta
didiknya untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri, dan mengajar
peserta didik menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri
untuk belajar.
Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat
dipindahkan begitu saja dari pikiran pengajar ke pikiran peserta didiknya. Artinya,
para peserta didik harus aktif secara mental untuk membangun struktur
pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya. Dengan kata
lain, peserta didik tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap diisi dengan
berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak pengajar.
B. Sejarah dan Perkembangan Teori Belajar Konstruktivisme
Revolusi konstruktivisme mempunyai akar yang kuat dalam sejarah
pendidikan. Perkembangan konstruktivisme dalam belajar tidak terlepas dari usaha
keras Jean Piaget dan Vygotsky. Kedua tokoh ini menekankan bahwa perubahan
kognitif ke arah perkembangan terjadi ketika konsep-konsep yang sebelumnya
sudah ada mulai bergeser karena ada sebuah informasi baru yang diterima melalui
proses ketidakseimbangan (Baharuddin, 2008). Menurut Glaserfeld dalam Suparno
(2012), pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark
Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun,
gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico,
seorang epistemologi dari Italia. Dialah cikal bakal dari munculnya
konstruktivisme. Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum
Sapientia, mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta
alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa
“mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Ini berarti bahwa
seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa
yang membangun sesuatu itu. Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada
struktur konsep yang dibentuk. Akan tetapi menurut banyak pengamat, Vico tidak
membuktikan teorinya (Suparno, 2012). Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui
orang dan seakan dipendam. Piaget menuliskan gagasan konstruktivisme dalam
teori tentang perkembangan kognitif dan juga dalam epistemologi genetiknya
(Suparno, 2012). Piaget mengungkapkan bahwa dalam pandangan konstruktivisme,
pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Gagasan Piaget ini
lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico. Konstruktivisme ini
dikritik oleh Vygotsky karena menurutnya siswa dalam mengkonstruksi suatu
konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Melalui proses interaksi yang
intensif, lingkungan sosial pembelajaran akan terbentuk dan memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk membentuk pengetahuannya secara
mandiri. Perspektif ini dikemukakan oleh Vygotsky dalam teori belajar
sosiokultural. Teori belajar tersebut menitikberatkan pada adanya bimbingan dari
seorang guru yang dianggap mampu melatih peserta didik untuk memperoleh
keterampilan dan pemahaman yang kompleks serta kompetensi yang mandiri.
C. Bentuk Teori Belajar Konstruktivisme
Konstruktivisme juga merupakan suatu epistemologi tentang perolehan
pengetahuan (knowledge acquisition) yang lebih memfokuskan pada pembentukan
pengetahuan daripada penyampaian dan penyimpanan pengetahuan. Dalam
pandangan konstruktivisme, peserta didik berperan sebagai pembentuk (construct)
dan pentransformasi pengetahuan. Adapun yang dimaksud pembentukan
pengetahuan dalam pandangan konstruktivisme meliputi tiga hal, yaitu: (1)
exogenous constructivism, (2) endogenous constructivism, (3) dialectical
constructivism.
Exogeneus constructivism memiliki ciri yang sama dengan filsafat realisme, yaitu
sesuatu dimulai dengan adanya realitas eksternal yang direkonstruksi menjadi
pengetahuan. Oleh karena itu, struktur mental seseorang akan berkembang untuk
merefleksikan keadaan dunia luar (realitas). Proses pembentukan pengetahuan
dalam aliran psikologi kognitif menekankan pada cara pandang pembentukan
pengetahuan (constructivism), yang dengannya skema dan alur (schemata and
networks) pengetahuan didasarkan atas realitas eksternal yang dialami.
Endogenous constructivism disebut juga konstruktivisme kognitif yang
memfokuskan pada proses internal individu dalam membentuk suatu pengetahuan.
Perspektif ini merupakan derivasi dari teori Jean Piaget (1896-1980) yang
menekankan pada kemampuan individu membangun pengetahuan yang distimulus
oleh konflik kognitif internal sebagai cara untuk mengatasi disekuilibirium mental.
Intinya adalah bahwa anak atau orang dewasa harus mampu bernegosiasi dengan
pengalaman dan fenomena yang berbeda dengan skema pengetahuan yang mereka
miliki. Dalam dunia pendidikan, para peserta didik harus mampu menciptakan
pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan struktur kognitif yang sudah mereka
miliki dengan cara merevisi dan mengkreasi pengetahuan baru selain dari
pengetahuan yang sudah ada pada struktur kognitif mereka.
Dialectical constructivism disebut juga konstruktivisme sosial yang memiliki
pandangan bahwa sumber konstruksi pengetahuan merupakan bagian dari interaksi
sosial yang meliputi berbagi informasi (sharing), melakukan pembandingan
(comparing), dan melakukan debat (debating) antara peserta didik dan guru.
Melalui proses interaksi yang intensif, lingkungan sosial pembelajaran akan
terbentuk dan memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk
membentuk pengetahuannya secara mandiri.
Ada empat karakteristik pembelajaran dalam teori konstruktivisme, yaitu:
a. Adanya pembelajaran yang dibentuk oleh para peserta didik secara mandiri.
b. Adanya hubungan antara pemahaman baru yang dimiliki para peserta didik
dengan pemahaman lama yang mereka miliki.
c. Adanya aturan yang jelas tentang interaksi sosial.
d. Adanya kebutuhan terhadap pembelajaran otentik untuk mewujudkan
pembelajaran yang bermakna (meaningful learning).
D. Tahapan Teori Belajar Konstruktivisme
Berikut merupakan tahapan-tahapan dalam proses pembelajaran menggunakan
model konstruktivisme.
1. Apersepsi
Pada tahap ini, peserta didik didorong untuk mengemukakan pengetahuan
awalnya mengenai konsep yang sedang dibahas. Bila perlu, pengajar dapat
memancing dengan cara memberikan pertanyaan-pertanyaan tentang fenomena
di sekitar dengan mengaitkan konsep yang sedang dibahas. Peserta didik diberi
kesempatan untuk mengemukakan gagasan dan menggambarkan
pemahamannya tentang konsep tersebut.
2. Eksplorasi
Pada tahap ini, peserta didik diberi kesempatan untuk mencari, menyelidiki, dan
menemukan konsep melalui pengumpulan data dalam suatu kegiatan yang telah
dirancang oleh pengajar dan kemudian didiskusikan secara berkelompok
maupun bersama di dalam kelas.
3. Diskusi dan penjelasan konsep
Pada tahap ini, siswa memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada
hasil pengamatannya ditambah dengan penjelasan dari pengajar, sehingga
siswa tidak lagi ragu tentang konsep tersebut.
4. Pengembangan dan aplikasi
Pada tahap ini, pengajar berusaha menciptakan iklim pembelajaran, dimana
memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konseptualnya, baik
melalui kegiatan atau pemunculan dan pemecahan masalah-masalah yang
berkaitan dengan isu-isu di lingkungan.
Berdasarkan tahapan-tahapan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penerapan
model konstruktivisme dalam proses pembelajaran dimana para peserta didik
sendiri aktif secara mental membangun pengetahuannya yang dilandasi oleh
struktur kognitif yang telah dimilikinya. Pendidik lebih berperan sebagai fasilitator
dan menyediakan pembelajaran. Penekanan tentang belajar mengajar lebih
berfokus pada suksesnya peserta didik dalam mengorganisasi pengalamannya.