Anda di halaman 1dari 44

ISSU Dalam KEPERAWATAN MEDIKAL-BEDAH

ISSU Dalam KEPERAWATAN MEDIKAL-BEDAH Seluruh bidang pelayanan kesehatan


sedang berubah dan tidak satupun perubahan yang berjalan lebih cepat dibandingkan yang terjadi
di bidang perawatan akut. Di sini, perawat memberikan bantuan langsung baik untuk pasien
maupun keluarga yang menghadapi penyakit atau cedera. Hal ini memberikan suatu tantangan
yang sangat menyenangkan dan nyata bagi perawat. Tanggung jawab untuk mengkoordinasikan
perawatan ini membutuhkan perencanaan dan pencatatan yang yang dengan jelas
mengidentifikasi masalah-masalah dan intervensi-intervensi, juga perencanaan perawatan
kesehatan jangka pendek dan panjang untuk individu dan keluarga. Di bidang perawatan yang
tengah berubah ini, apakah yang bakal terjadi? Pada tahun 1989, kami mencatat tujuh trend
utama yang kami yakin akan mempunyai dampak berkepanjangan pada perawatan dan
perawatan pasien, yaitu: 1. Penurunan biaya perawatan kesehatan 2. Perhitungan biaya Asuhan
Keperawatan 3. Pengurangan lamanya dirawat 4. Peningkatan kepercayaan terhadap teknologi
tinggi 5. Kebutuhan akan pengetahuan keperawatan tahap lanjut 6. Kebutuhan akan kolaborasi
dan komunikasi 7. Inovasi dalam perencanaan perawatan melalui komputerisasi Mereka yang
memantau kecenderungan ini (juga staf perawat yang memberikan perawatan langsung) dapat
membuktikan bahwa kecenderungan ini telah benar-benar menimbulkan, dan akan terus
memiliki efek yang sangat mendalam pada profesi dan praktik keperawatan. Penurunan Biaya
Perawatan Kesehatan Implementasi dari kemungkinan reimbursemen (pengembalian uang) yang
dimulai dengan pasien Medicare yang menggantikan fokus pelayanan kesehatan menjadi
pembendungan biaya. Rumah sakit telah menanggapi pengurangan biaya perawatan dengan
mengurangi jumlah tempat tidur dan staf. Selain itu, meskipun perawatan pasien di rumah sakit
menjadi lebih singkat, namun pasiennya lebih parah, mengakibatkan peningkatan kebutuhan
Asuhan Keperawatan dan kelebihan beban kerja. Keadaan ini telah mewajibkan bahwa
keperawatan meninjau kembali standar minimum dari perawatan sementara tetap
mempertahankan dan memberikan Asuhan Keperawatan yang efektif. Sebagai akibat dari
perubahan ini, perawat harus berfungsi lebih efektif. Karena belum pernah sebelumnya, rencana
perawatan pasien harus mencerminkan persiapan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pasien
dan standar-standar perawatan di bawah tekanan-tekanan keterbatasan waktu dan sumber daya
yang lebih sedikit. Pada tahun 1989, kami mengajukan pertanyaan : “Bagaimana penentuan
pengalokasian dari sumber-sumber yang jumlahnya terbatas untuk banyak pemakai yang
mungkin? Jauh di luar hal tersebut, siapa yang akan memutuskan siapa yang akan
menerimakeuntungan dari pembelian dengan biaya yang langka ini?” Pada sebagian jawaban
terhadap pertanyaan itu, Asosiasi Perawat Amerika (ANA), yang berhubungan dengan lebih dari
60 organisasi perawat lain, mengeluarkan Nursing’s Agenda for Health Care Reform (1991),
sejenis agenda keperawatan untuk penyusunan pelayanan kesehatan. Dokumen ini
mengidentifikasiinti dasar dari pentingnya pelayanan asuhan kesehatan yang menurut keyakinan
keperawatan harus tersedia bagi semau individu dan menunjukkan kerangka kerja untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan perawatan kesehatandan di masa mendatang. Pembaca
dianjurkan untuk menghubungi ANA pada nomor telepon: 1-800-637-0323 untuk mendapatkan
salinan dari Agenda tersebut dan publikasi ANA dalam bidang lainnya. Perhitungan Biaya
Asuhan Keperawatan Perhatian profesi oleh karenanya terfokus pada biaya pemberian Asuhan
Keperawatan pada pasien dalam kondisi prospektif pengembalian uang, baiaya lebih sedikit,
waktu yang terbatas, dan pengurangan jumlah tempat tidur dan staf. Perhitungan kontribusi
keperawatan pada perawatan pasien dapat digunakan untuk menentukan biaya pemberian asuhan
pada pasien khusus. Dengan menghitung waktu keperawatan, membutuhkan pengidentifikasian
tingkat Asuhan Keperawatan yang diperlukan bagi setiap pasien, yang dapat digunakan untuk
“pajak” langsung dari sumbangan pelayanan. Pada rumah sakit-rumah sakit yang telah menarik
pajak untuk pelayanan keperawatan, rencana asuhan pasien sudah merupakan bagian integral
dari penyesuaian biaya Asuhan Keperawatan. Penjabaran tentang bidang keperawatan telah
menjadi tantangan yang berkelanjutan sejak awalanya profesi kita. Tentang apa dan bagaimana
dari bidang keperawatantelah dijelaskan pada bagian-bagian dalam sejumlah publikasi yang telah
adayang membantu operasionalisasi pekerjaan keperawatan. Publikasi ANA tahun 1980 Nursing:
A Social Policy Statement menggambarkan keperawatan sebagaidiagnosa dan tindakan dari
respons manusia terhadap masalah-masalahkesehatan aktual dan potensial. Asosiasi Diagnosa
Keperawatan Amerika Utara (NANDA) mengembangkan taksonomi (1989) yang memberikan
skema klasifikasi awal untuk mengkategorikan dan membuat penggolongan label-label diagnosa
keperawatan. Definisi NANDA tentang diagnosa keperawatan (1990) lebih lanjut memperjelas
tahap kedua proses keperawatan (mis., identifikasi masalah/diagnosa), Standar of Clinical Partice
ANA, (1991) menggambarkan proses Asuhan Keperawatan pasien dan mengidentifikasi standar-
standar untuk kinerja (performa) profesional (Tabel 1-1) Kemajuan ilmu pengetahuan diteruskan
dengan AHCPR (departemen kesehatan dan agensi pelayanan kemanusiaan untuk kebijakan dan
penelitian pelayanan kesehatan Amerika)yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kualitas,
ketepatan, dan keefektifan pelayan asuhan kesehatan dan akses untuk pelayanan ini. Yang pada
akhirnya, pertemuan multi disiplin dari para praktisi (termasuk perawat) telah memulai proses
yang sulit dalam pembatan pedoman-pedoman praktik klinik yang ditujukan untuk situasi khusus
perawatan pasien. Pedoman-pedoman ini dimaksudkan untuk membantu pemberian asuhan
kesehatan dalam pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan penatalaksanaan situasi klinik. Mereka
sumber daya yang memungkinkan perawatan pasien dievaluasi, pemberi asujhan kesehatan
menjalankan tanggung gugat, dan pembayaran jasa disesuaikan. Pada trbitan ini, 4 pedoman
praktik klinik diterbitkan dan tersedia gratis. Keempat terbitan tersebut adalah: 1.
Penatalaksanaan Nyeri Akut: Prosedur Operatif atau Medikal dan Trauma 2. Inkontinensia Urine
pada Orang Dewasa 3. Ulkus karena Tekanan 4. Anemia Sel Sabit Pada tahun 1992, Iowa
Intervention Project: Nursing Interventions Clasification (NIC) juga telah mengalihkan perhatian
kita pada isi dan proses Asuhan Keperawatan dengan mengidentifikasi dan menstandarisasi
beberapa aktifitas perawatan langsung yang dilakukan perawat
Masalah-masalah Etik Keperawatan

Masalah-masalah Etik Keperawatan Masalah-masalah “Etik Keperawatan” di Indonesia 1.


Dasar-dasar moral makin memudar 2. Dasar dan sendi agama 3. Perkembangan ilmu, penelitian
dan teknologi kedokteran serta keperawatan semakin berkembang sangat pesat. 4. Dokter dan
tenaga perawat tidak mungkin menguasai semua kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran dan
keperawatan yang berkembang pesat. Hal tersebut menyebabkan terjadinya peminatan khusus,
spesialisasi terhadap satu bidang dan penggusaan terhadap alat-alat khusus yang canggih serta
mutakhir. 5. Globalisasi yang ditandai dengan persaingan dan perang ekonomi di segala bidang.
Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan telah berubah orientasinya dari kegiatan social
kesehatan menjadi kegiatan social ekonomi dan kemudian mengarah ke kegaiatan bisnis dalam
industry kesehatan. 6. Berbagai kemajuan dan perkembangan masyarakat sebagai pengguna jasa
kesehatan, antara lain : a. Kesadaran masyarakat dan klien mengenai hak-haknya di bidang
kedokteran dan pelayanan kesehatan yang semakin meningkat. b. Tingkat kesehjateraan dan
ekonomi masyarakat yang meningkat yang memungkinkan mereka menuntut perawatan yang
lebih baik. c. Teknologi informasi dan komunikasi makin canggih. 7. Perubahan yang terjadi
dalam masyarakat perawat itu sendiri, seperti a. Kurangnya tenaga perawat b. Masuknya tenaga
perawat asing dan perawat lulusan dari luar negeri yang tentu saja membawa budaya dan
pengetahuan lain sehingga menambah persaingan antar perawat itu sendiri 8. Asuransi kesehatan
yang semakin dirasakan kebutuhannya baik oleh tenaga perawat maupun klien itu sendiri 9.
Meningkatnya kesadaran masyarakat dalam menggunakan jasa pengacara untuk menuntut hak-
hak mereka untuk mendapatkan pelayanan prima di bidang kesehatan Sumber Proses Dan
Dokumentasi Keperawatan(Konsep dan Teori)
DILEMA ETIKA KEPERAWATAN

1. Latar Belakang
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam hubungan dengan
orang lain. Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada
penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang.

Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan
moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian tentang
masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan
sekelompok orang atau kelompok tertentu.

Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik
merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup
moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik perawatan.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk
merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan seseorang
terhadap orang lain.

Nilai-nilai, keyakinan dan filosofi individu memainkan peranan penting pada pengambilan keputusan etik
yang menjadi bagian tugas rutin perawat. Peran perawat ditantang ketika harus berhadapan dengan
masalah dilema etik, untuk memutuskan mana yang benar dan salah; apa yang dilakukannya jika tak ada
jawaban benar atau salah; dan apa yang dilakukan jika semua solusi tampak salah.
Dilema etik dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema sulit dipecahkan bila memerlukan
pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis. Penetapan keputusan terhadap satu
pilihan, dan harus membuang yang lain menjadi sulit karena keduanya sama-sama memiliki kebaikan
dan keburukan apalagi jika tak satupun keputusan memenuhi semua kriteria. Berhadapan dengan dilema
etis bertambah pelik dengan adanya dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat
proses pengambilan keputusan rasional.

Pada pasien dengan kasus-kasus terminal sering ditemui dilema etik, misalnya kematian batang otak,
penyakit terminal misalnya gagal ginjal. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai dilema etik pada kasus
pasien dengan gagal ginjal terimnal yang menuntut haknya untuk dilakukan transplantasi ginjal.

II. Dilema Etik Keperawatan dan Penyelesaiyannya

Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau suatu
situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik tidak ada
yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seseorang harus tergantung pada
pemikiran yang rasional dan bukan emosional

Prinsip moral dalam menyelesaiakan masalah etik


Prinsip-prinsip moral yang harus diterapkan oleh perawat dalam pendekatan penyelesaian masalah /
dilema etis adalah :
a. Otonomi
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan memutuskan.
Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat keputusan sendiri, memilih dan
memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang dihargai. Prinsip otonomi ini adalah bentuk respek
terhadap seseorang, juga dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional.
Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek
profesioanal merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak hak pasien dalam membuat keputusan
tentang perawatan dirinya.

b. Benefisiensi
Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan juga memerlukan pencegahan dari
kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri
dan orang lain. Kadang-kadang dalam situasi pelayanan kesehatan kebaikan menjadi konflik dengan
otonomi.

c. Keadilan (justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung
prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan . Nilai ini direfleksikan dalam praktek profesional ketika
perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk
memperoleh kualitas pelayanan kesehatan
d. Nonmalefisien
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya / cedera secara fisik dan psikologik. Segala tindakan yang
dilakukan pada klien.

e. Veracity (kejujuran)

Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi layanan kesehatan
untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk meyakinkan bahwa pasien sangat
mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran.
Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprehensif dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan
penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien tentang segala sesuatu
yang berhubungan dengan keadaan dirinya salama menjalani perawatan. Walaupun demikian terdapat
beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan
prognosis pasien untuk pemulihan, atau adanya hubungan paternalistik bahwa “doctor knows best”
sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang
kondisinya. Kebenaran adalah dasar dalam membangun hubungan saling percaya

f. Fidelity
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain. Perawat
setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia pasien. Ketaatan, kesetiaan adalah
kewajiban seeorang untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan itu menggambarkan
kepatuhan perawat terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat
adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan
penderitaan.

g. Kerahasiaan (confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang klien harus dijaga privasi-nya. Apa
yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan
klien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijin kan oleh klien
dengan bukti persetujuannya. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikannya pada
teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dicegah.

h. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab pasti pada setiap
tindakan dan dapat digunakan untuk menilai orang lain. Akuntabilitas merupakan standar yang pasti yang
mana tindakan seorang professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.

C. Langkah-langkah penyelesaian masalah / dilema etik

Langkah penyelesaian dilema etik menurut Tappen (2005) adalah :


a. Pengkajian
Hal pertama yang perlu diketahui perawat adalah “adakah saya terlibat langsung dalam dilema?”.
Perawat perlu mendengar kedua sisi dengan menjadi pendengar yang berempati. Target tahap ini adalah
terkumpulnya data dari seluruh pengambil keputusan, dengan bantuan pertanyaan yaitu :
1. Apa yang menjadi fakta medik ?
2. Apa yang menjadi fakta psikososial ?
3. Apa yang menjadi keinginan klien ?
4. Apa nilai yang menjadi konflik ?
b. Perencanaan
Untuk merencanakan dengan tepat dan berhasil, setiap orang yang terlibat dalam pengambilan
keputusan harus masuk dalam proses. Thomson and Thomson (1985) mendaftarkan 3 (tiga) hal yang
sangat spesifik namun terintegrasi dalam perencanaan, yaitu :
1. Tentukan tujuan dari treatment.
2. Identifikasi pembuat keputusan
3. Daftarkan dan beri bobot seluruh opsi / pilihan.
c. Implementasi
Selama implementasi, klien/keluarganya yang menjadi pengambil keputusan beserta anggota tim
kesehatan terlibat mencari kesepakatan putusan yang dapat diterima dan saling menguntungkan. Harus
terjadi komunikasi terbuka dan kadang diperlukan bernegosiasi. Peran perawat selama implementasi
adalah menjaga agar komunikasi tak memburuk, karena dilema etis seringkali menimbulkan efek
emosional seperti rasa bersalah, sedih / berduka, marah, dan emosi kuat yang lain. Pengaruh perasaan
ini dapat menyebabkan kegagalan komunikasi pada para pengambil keputusan. Perawat harus ingat
“Saya disini untuk melakukan yang terbaik bagi klien”.
Perawat harus menyadari bahwa dalam dilema etik tak selalu ada 2 (dua) alternatif yang menarik, tetapi
kadang terdapat alternatif tak menarik, bahkan tak mengenakkan. Sekali tercapai kesepakatan,
pengambil keputusan harus menjalankannya. Kadangkala kesepakatan tak tercapai karena semua pihak
tak dapat didamaikan dari konflik sistem dan nilai. Atau lain waktu, perawat tak dapat menangkap
perhatian utama klien. Seringkali klien / keluarga mengajukan permintaan yang sulit dipenuhi, dan di
dalam situasi lain permintaan klien dapat dihormati.
d. Evaluasi
Tujuan dari evaluasi adalah terselesaikannya dilema etis seperti yang ditentukan sebagai outcome-nya.
Perubahan status klien, kemungkinan treatment medik, dan fakta sosial dapat dipakai untuk
mengevaluasi ulang situasi dan akibat treatment perlu untuk dirubah. Komunikasi diantara para
pengambil keputusan masih harus dipelihara.

Dilema etik yang sering ditemukan dalam praktek keperawatan dapat bersifat personal ataupun
profesional. Dilema menjadi sulit dipecahkan bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua
atau lebih prinsip etis. Sebagai tenaga profesional perawat kadang sulit karena keputusan yang akan
diambil keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan. Pada saat berhadapan dengan dilema
etis juga terdapat dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan
keputusan rasional yang harus dihadapi, ini membutuhkan kemampuan interaksi dan komunikasi yang
baik dari seorang perawat.
Masalah pengambilan keputusan dalam pemberian transplantasi ginjal juga sering menimbulkan dilema
etis karena sangat berhubungan dengan hak asasi manusia, pertimbangan tingkat keberhasilan tindakan
dan keterbatasan sumber-sumber organ tubuh yang dapat didonorkan kepada orang lain sehingga
memerlukan pertimbangan yang matang. Oleh karena itu sebagai perawat yang berperan sebagai
konselor dan pendamping harus dapat meyakinkan klien bahwa keputusan akhir dari komite merupakan
keputusan yang terbaik.
Dilema etik keperawatan

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini menghadapi pasien yang dalam kondisi antara hidup dan mati kadang
menimbulkan dilema. Meminta petimbangan keluarga pasien, seringkali tidak
menyelesaikan masalah justru menimbulkan masalah baru.
Pasien-pasien sakit berat yang mengandalkan bantuan ventilator dan alat -alat
penunjang hidup lainnya, seringkali membingungkan dokter yang merawatnya. Dari
sisi medis, pasien tidak ada harapan hidup karena hampir semua organ vital tubuhnya
sudah rusak. Namun di sisi lain, mencabut semua alat bantu hidup dianggap sebagai
tindakan pembunuhan´ yang tentunya bisa berbuntut peluang penuntutan oleh keluarga
pasien. Di luar itu, biaya perawatan ICU yang tidak murah semakin membengkak dan
bisa jadi keluarga pasien pun tak sanggup menanggungnya.
Situasi tersebut seringkali dialami oleh dokter yang bertugas di ICU. End -of life
decisions, atau keputusan untuk mengakhiri hidup pasien -pasien yang tidak ada harapan
hidup, dilihat dari pertimbangan etis dan medis. Pasien kritis yang memiliki harapan
hidup wajib masuk ICU. Namun hanya ada empat kemungkinan bagi pasien yang
masuk ICU: sembuh (getting better), meninggal, mengalami mati batang otak (brain
stem death), atau dalam kondisi tidak ada harapan hidup dan sepenuhnya bergantung
dengan bantuan ventilator.
Pasien jenis terakhir inilah yang terkadang menjadi dilema bagi dokter. Dari sisi
penilaian medis, pemberian ventilator tidak akan bermanfaat, hanya memperpanjang
proses kematian. Masalahnya di Indonesiabelum banyak dokter yang berani melakukan
end-of-life decision. Padahal, sudah ada fatwa IDI yang membolehkan hal itu. Ada
beberapa pilihan yang bisa dilakukan dokter terhadap pasien tanpa harapan hidup, yakni
with-holding atau with-drawing life supports, yakni penundaan atau penghentian alat
bantuan hidup.
Kedua tindakan ini bisa dilakukan pada pasien yang dalam kondisi vegetatif
(sindroma aplika atau mati sosial). Kondisi vegetatif bisa dijelaskan secara medis bila
terdapat kerusakan otak berat yang ireversibel pada p asien yang tetap tidak sadar dan
tidak responsive, tetapi pasien memiliki EEG aktif dan beberapa refleks yang utuh.Pada
pasien bisa saja terdapat daur antara sadar dan tidur. Ini harus dibedakan dari mati
serebral yang EEG-nya tenang atau dari mati batang otak (MBO), di mana tidak ada
refleks saraf otak dan nafas spontan. Meski sebagian masyarakat masih sulit menerima,
namun pasien yang sudah mati batang otak, dari sisi medis dinyatakan sudah
meninggal.
Normalnya, ventilator secara otomatis akan dilepaskan dari pasien dan jantung
akan berhenti tidak lama kemudian. Namun secara legal maupun moral, sebenarnya
tidak ada perbedaan di antara kedua tindakan tersebut.Tindakan ini berbeda dengan
eutanasia yang diartikan sebagai tindakan aktif dan langsung untuk mengakhiri
kehidupan. Sebagian besar negara termasuk Indonesia melarang tindakan eutanasia.

1.3 Rumusan Masalah


1. Apakah euthanasia itu?
2. Bagaimana hubungan mati batang otak dengan euthanasia?
3. Apa dasar hukum yang melandasi diperbolehkann ya tindakan euthanasia
di Indonesia?
4. Mengapa euthanasia menyebabkan dilemma bagi para dokter klinisi?
5. Mengapa euthanasia menjadi pro dan kontra di Indonesia?

1.4 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain :
1. Untuk mengetahui pengertian euthanasia dan keterkaitannya dengan kejadian mati
batang otak
2. Untuk mengetahui landasan hukum yang memperkuat tindakan euthanasia
3. Untuk memahami berbagai dilema yang terjadi pada kasus pasien mati batang otak
euthanasia terhadap para klinisi di Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian
Istilah “eutanasia” berasal dari bahasa Yunani: “eu” (baik) dan “thanatos” (kematian),
sehingga dari segi asalnya berarti “kematian yang baik” atau “mati dengan baik”. Istilah lain
yang hampir semakna dengan itu dalam bahasa arab adalah qatl
ar-rahmah (pembunuhan dengan kasih sayang) atau taisir al-maut (memudahkan kematian).
Eutanasia sendiri sering diartikan sebagai tindakan memudahkan kematian seseorang dengan
sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si
sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.

Kemudian jika jauh merujuk ke belakang. Menurut Philo (50-20 SM) eutanasia berarti mati
dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita
Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita” (dikutip dari 5). Sejak
abad 19 terminologi euthanasia dipakai untuk penghindaran rasa sakit dan peringanan pada
umumnya bagi yang sedang menghadapi kematian dengan pertolongan dokter.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan eutanasia dalam tiga arti, yaitu:

1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang
beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan pemberikan obat
penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien
sendiri dan keluarganya.

Dari pengertian pengertian di atas maka eutanasia mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.


2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien.
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.
4. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.
5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.
Jadi sebenarnya secara harafiah, eutanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau
upaya menghilangkan nyawa seseorang.

2.2 Jenis-jenis Eutanasia

Mengikuti J. Wunderli yang membedakan tiga arti etunasia:

1. Eutanasia
Tidak semua kemungkinan teknik kedokteran yang sebetulnya tersedia untuk
memperpanjang kehidupan seorang pasien dipergunakan.
2. Eutanasia tidak langsung

Usaha untuk memperingan kematian dengan efek sampingan bahwa pasien barangkali
meninggal dengan lebih cepat. Di sini termasuk pemberian segala macam obat narkotika,
hipnotika, dan analgetika yang barangkali de facto dapat memperpendek kehidupan walaupun
hal itu tidak disengaja.

3. Eutanasia aktif (mercy killing):

Proses kematian diperingan dengan memperpendek kehidupan secara terarah dan langsung.
Dalam eutanasia aktif masih perlu dibedakan apakah pasien menginginkannya, tidak
menginginkannya, atau tidak berada dalam keadaan di mana keinginannya dapat di ketahui.

2.3 Beberapa Aspek Dalam Eutanasia


1. Aspek Hukum

Undang-undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku
utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan
berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum,
dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar
belakang dilakukannya euthanasia tersebut.
Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau
keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau
rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya. Di lain pihak
hakim dapat menjatuhkan pidana mati bagi seseorang yang masih segar bugar yang
tentunya masih ingin hidup, dan bukan menghendaki kematiannya seperti pasien
yang sangat menderita tersebut, tanpa dijerat oleh pasal pasal dalam undang
undang yang terdapat dalam KUHP Pidana.

2. Aspek Hak Asasi

Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi
tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya
justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari
aspek hukum euthanasia, yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam
euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya,
secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila
dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas
lagi dari segala penderitaan yang hebat.

3. Aspek Ilmu Pengetahuan

Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis


untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu
kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun
pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak
diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat
dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga
yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

4. Aspek Agama

Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini
yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan
ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan
euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar
dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki
euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam
keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan
dihadapan Tuhan. Tapi putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar
bugar, dan tentunya sangat tidak ingin mati, dan tidak dalam penderitaan
apalagi sekarat, tidak pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini.
Aspek lain dari pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan
usaha medis bisa menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus kedokter dan
berobat untuk mengatasi penyakitnya, kalau memang umur mutlak di tangan Tuhan,
kalau belum waktunya, tidak akan mati. Kalau seseorang berupaya mengobati
penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau
menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai
melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan
standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum
hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung
pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang cocok
dengan hatinya, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.

2.4 Praktek Eutanasia di Negara YangMelegalkannya

Di beberapa tempat sudah pernah diadakan jajak pendapat bahkan referendum untuk
mengetahui pendapat masyarakat dalam hal eutanasia dan bunuh diri berbantuan. Tetapi
kalaupun mayoritas masyarakat menyetujui, dengan itu masalahnya belum selesai, karena
menurut hukum di hampir semua negara eutanasia tergolong tindakan kriminal menurut ukuran
“Kitab Hukum Pidana”. Yang menarik adalah, selama beberapa tahun terakhir ini, di bidang
hukum terjadi terobosan. Beberapa negara sudah memodifikasi hukumnya agar eutanasia atau
bunuh diri berbantuan diperbolehkan dan lebih banyak negara lagi sedang mengadakan
percobaan ke arah itu.

Belanda adalah negara pertama yang memungkinkan eutanasia. Tetapi perlu


ditekankan, dalam “Kitab Hukum Pidana” Belanda secara formal eutanasia masih
dipertahankan sebagai perbuatan kriminal. Hanya saja, kalau beberapa syarat
dipenuhi, dokter yang melakukan tidak akan dituntut di pengadilan. Tindakannya
akan dianggap sebagai force majeure atau “keadaan terpaksa”, di mana
hukum tidak bisa dipenuhi. Sejak akhir tahun 1993, Belanda secara hukum
mengatur kewajiban para dokter untuk melapor semua kasus eutanasia dan bunuh
diri berbantuan. Instansi kehakiman selalu akan menilai betul tidaknya
prosedurnya

Negara bagian Australia, Northern Territory, menjadi tempat pertama di


dunia dengan UU yang mengizinkan eutanasia dan bunuh diri berbantuan, meski
reputasi ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1995 Northern Territory
menerima UU yang disebut Right of the terminally ill bill (UU tentang
hak pasien terminal). Undang-undang baru ini beberapa kali dipraktikkan, tetapi
bulan Maret 1997 ditiadakan oleh keputusan Senat Australia, sehingga harus
ditarik kembali.

Saat ini satu-satunya tempat di mana hukum secara eksplisit mengizinkan


pasien terminal mengakhiri hidupnya adalah negara bagian AS, Oregon. Tahun 1997 Oregon
melegalisasikan kemungkinan ini dengan memberlakukan The death with dignity act (UU
tentang kematian yang pantas).

Belum jelas entah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa depan, sebab
dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara bagian ini. Mungkin saja nanti
nasibnya sama dengan UU Northern Territory di Australia. Bulan Februari lalu sebuah studi
terbit tentang pelaksanaan UU Oregon selama tahun 1999 (The New England Journal of
Medicine, 24-2-2000).[16]

Sebuah fakta eutanasia di AS yang telah dilakukan oleh dr. Jack Kevorkian. Kevorkian
yang dijuluki Doctor Death itu “menolong” pasien yang masih diragukan statusnya, sehingga
menjadi tanda tanya apakah yang dilakukannya itu benar-benar “menolong” pasien atau malahan
membunuhnya. Dari 69 pasien yang kematiannya “dibantu” oleh dr. Kevorkian antara 1990–
1998, hanya 25% yang didiagnosis sebagai terminally-ill berdasarkan hasil otopsi. Sebanyak
72% dari pasien itu diduga kuat semakin menurun kondisi kesehatannya, justru karena dorongan
keinginannya untuk mati. Hal yang juga patut diperhatikan ialah 71% dari pasien yang “dibantu”
oleh dr.
Kevorkian ternyata adalah wanita, suatu fakta yang bertentangan dengan data
epidemiologis di berbagai kawasan dunia yang justru menunjukkan bahwa kaum
wanita yang ingin mati karena penyakitnya jauh lebih sedikit dibanding kaum
laki-laki. Dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Doctor Death itu
sekarang menjadi perdebatan dari segi etika, sosial, dan hukum kedokteran,
pantaskah dokter menentukan “status” dan kemudian langsung “menolong” pasien
yang berkeinginan mati tersebut. Perlukah suatu badan atau dewan yang berwenang
menentukan atau memutuskan bahwa seseorang telah sampai pada tahap terminally-ill dan untuk
itu layak “ditolong” dengan euthanasia?

Di Indonesia seruan akan legalisasi eutanasia belum terdengar lantang.


Mungkin, Menteri Negara Urusan HAM kita belum pernah mendapat permintaan untuk menaruh
perhatian kepada “hak untuk mati”. Tetapi tidak mungkin diragukan,
perawatan pasien terminal juga merupakan suatu masalah medis yang mahapenting
di Tanah Air kita.
BAB III
TINJAUAN KASUS

2.1 Kasus pertama


Pasien Tn. M, umur 60 tahun dengan diagnose dokter suspek syok kardiogenik,
dirawat di icu RSUD “PB” baru beberapa jam, kesadaran koma, terpasang ventilator,
obat-obatan sudah maksimal untuk mempertahankan fungsi jantung dan organ vital
lainnya. Urine tidak keluar sejak pasien masuk icu. Keluarga menginginkan dicabut
semua alat bantu yang ada pada pasien. Penjelasan sudah diberikan kepada keluarga,
dokter meminta kesempatan kepada keluarga untuk mencoba menyelamatkan nyawa
pasien, tetapi keluarga tetap pada pendiriannya. Keluarga menandatangani surat
penolakan untuk diteruskannya perawatan di icu dan surat penolakan dilakukannya
tindakan. Akhirnya ventilator dimatikan oleh anak pasien dan semua alat dicabut dari
pasien dengan disaksikan oleh keluarga, dokter dan perawat icu dan pasien meninggal
dunia.

2.2 Kasus Kedua


Kasus ini benar-benar terjadi disuatu kota di Indonesia. Seorang pasien (72 tahun) sudah tidak
bekerja dan tidak mempunyai mata pencaharian lagi, jatuh sakit. Hidupnya tergantung dari para
saudara yang tidak bisa menolong banyak.
Suatu hari dia jatuh pingsan dan dibawa ke suatu rumah sakit dan dimasukkan ke High Care
Unit. Pasien diberikan oksigen. Pemeriksaan laboratorium menujukkan bahwa kedua ginjalnya
sudah tidak berfungsi, sehingga harus dipasang kateter. Setelah dilakukan observasi beberapa
jam, sang dokter menganjurkan memasukkan ke ICU karena perlu diberi bantuan pernafasan
melalui ventilator. Dokter jaga meminta persetujuan anggota keluarganya. Saudaranya
memutuskan untuk menolak menandatangani surat penolakan. Mengapa ? karena atas
pertimbangan manfaat dan finansial walaupun dirawat di ICU, belum tentu pasien tersebut akan
bisa disembuhkan dan bisa normal kembali seperti sedia kala. Apakah keputusan untuk menolak
ini salah ? Penolakan ini tentu sudah diperhitungkan dan dipikirkan matang-matang.

Suatu hari dirawat diruang HCU dengan obat-obat saja sudah menelan biaya beberapa juta.
Bagaimana jika harus diteruskan di ICU ? pembiayannya akan tidak bisa terbayar dan bagaimna
pemecahannya kelak ? Apakah saudara itu dapat dipersalahkan karena tega tidak mau menolong
saudaranya dengan memasukkan ke ICU ? masalah yang dipertimbangkan : apakah bisa terbayar
biaya-biaya ICU dan obat-obatannya yang mahal itu yang setiap hari harus dikeluarkan? Brapa
lama pasien itu harus dirawat ? Apakah masih bisa dikembalikan kesehatanya seperti semula,
sedangkan umurnya sudah 72 tahun ? seandainya bisa tertolong bagaimana selanjutnnya ? bukan
kah fungsi ginjalnya sudah tidak bekerja ? ini berarti ia harus dilakukan dialisis seminggu dua
kali yang perkalinya kurang lebih berjumlah beberapa ratus ribu rupiah. Bagaimana bissa
membiayainya terus-menerus, sedangkan saudaranya juga orang bekerja dan mana mungkin
membiayai cuci darah disamping mengongkosi rumah tangganya sendiri ?Apa salah jika ia
menolak saudaranya dirawat di ICU ? dan jika ia harus berbaring terus di tempat tidur, buang air
harus ditolong, siapa yang bias mengurusnya dan bagaimana membiayainya ? Rumusan dilema
etik dilema keluarga yang tidak setuju dengan pemasangan ventilator dilema pasien yang ingin
dimasukkan ke ICU dilema keluarga tentang biaya ICU dan obat-obatan yang mahal
dilema dokter tentang pemasangan ventilator dilema keluarga tentang masa depan pasien. Suatu
hari dia jatuh pingsan dan dibawa ke suatu rumah sakit dan dimasukkan ke High Care Unit.
Pasien diberikan oksigen. kedua ginjalnya sudah tidak berfungsi, sehingga harus dipasang
kateter. Sang dokter menganjurkan memasukkan ke ICU karena perlu diberi bantuan pernafasan
melalui ventilator.

Dokter jaga meminta persetujuan anggota keluarganya. ANALISIS: Pada kasus ini seorang
dokter ingin melakukan yang terbaik buat pasiennya dan tidak ingin lebih memperburuk keadaan
pasien dimana memasukkan pasien ke HCU dan memberikan bantuan oksigen serta memberikan
informasi tentang apa yang yang sebaiknya dilakukan pasien. Menurut JOHNSON SIEGLER
saudaranya memutuskan untuk menolak menandatangani surat penolakan. Apakah masih bisa
dikembalikan kesehatanya seperti semula, sedangkan umurnya sudah 72 tahun ? seandainya
bisa tertolong bagaimana selanjutnnya ? bukan kah fungsi ginjalnya sudah tidak bekerja ? ini
berarti ia harus dilakukan dialisis seminggu dua kali yang perkalinya kurang lebih berjumlah
beberapa ratus ribu rupiah.
BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien-pasien sakit berat yang mengandalkan bantuan ventilator dan alat-alat penunjang
hidup lainnya, seringkali membingungkan dokter yang merawatnya. Dari sisi medis, pasien tidak
ada harapan hidup karena hampir semua organ vital tubuhnya sudah rusak. Namun di sisi lain,
mencabut semua alat bantu hidup dianggap sebagai tindakan “pembunuhan” yang tentunya bisa
berbuntut peluang penuntutan oleh keluarga pasien. Di luar itu, biaya perawatan ICU yang tidak
murah semakin membengkak dan bisa jadi keluarga pasien pun tak sanggup menanggungnya.

Situasi tersebut seringkali dialami oleh dokter dan perawat yang bertugas di ICU. End-of
life decisions, atau keputusan untuk mengakhiri hidup pasien-pasien yang tidak ada harapan
hidup,dilihat dari pertimbanganetis dan medis, menjadi pembuka acara Simposium Nasional
ketiga yang diselenggarakan Perhimpunan Kedokteran Emergensi Indonesia (PDEI). Acara
berlangsung 26-27 Agutsus 2006 lalu di Hotel Milenium, Jakarta.

Dijelaskan oleh Dr. Sun Sunatrio SpAn-KIC, semua pasien kritis yang memiliki harapan
hidup wajib masuk ICU. Namun hanya ada empat kemungkinan bagi pasien yang masuk ICU:
sembuh (getting better), meninggal, mengalami mati batang otak (brain stem death), atau dalam
kondisi tidak ada harapan hidup dan sepenuhnya bergantung dengan bantuan ventilator. “Pasien
jenis terakhir inilah yang terkadang menjadi dilema bagi dokter. Dari sisi penilaian medis,
pemberian ventilator tidak akan bermanfaat, hanya memperpanjang proses kematian. Apa yang
akan Anda lakukan sebagai dokter?” Sunatrio bertanya pada peserta simposium.

Masalahnya di Indonesia, tambah dokter dari Departemen Anastesiologi FKUI/RSCM


ini, belum banyak dokter yang berani melakukan end-of-life decision. Padahal, sudah ada fatwa
IDI yang membolehkan hal itu. Ada beberapa pilihan yang bisa dilakukan dokter terhadap pasien
tanpa harapan hidup, yakni with-holding atau with-drawing life supports, yakni penundaan atau
penghentian alat bantuan hidup.
Kedua tindakan ini bisa dilakukan pada pasien yang dalam kondisi vegetatif (sindroma
aplika atau mati sosial). Kondisi vegetatif bisa dijelaskan secara medis bila terdapat kerusakan
otak berat yang ireversibel pada pasien yang tetap tidak sadar dan tidak responsive, tetapi pasien
memiliki EEG aktif dan beberapa refleks yang utuh. Pada pasien bisa saja terdapat daur antara
sadar dan tidur. “Ini harus dibedakan dari mati serebral yang EEG-nya tenang atau dari mati
batang otak (MBO), di mana tidak ada refleks saraf otak dan napas spontan,” ujar Sunatrio.

Meski sebagian masyarakat masih sulit menerima, namun pasien yang sudah mati batang
otak, dari sisi medis dinyatakan sudah meninggal. Normalnya, ventilator secara otomatis akan
dilepaskan dari pasien dan jantung akan berhenti tidak lama kemudian.

With-holding diartikan sebagai tindakan untuk tidak memberikan terapi baru walau ada
indikasi penyakit baru,namun tindakan yang sudah terlanjur diberikan tidak dihentikan.
Sedangkan with-drawing adalah menghentikan semua terapi yang sudah diberikan kepada
pasien sejak awal namun terbukti tidak bermanfaat. “Jadi with-drawing lebih bersifat aktif
dibandingkan with-holding yang cenderung pasif dalam mengakhiri hidup pasien. With-drawing
juga lebih cepat menghasilkan kematian secara cepat dan pasti.”

Namun secara legal maupun moral, sebenarnya tidak ada perbedaan di antara kedua
tindakan tersebut. Tindakan ini berbeda dengan eutanasia yang diartikan sebagai tindakan aktif
dan langsung untuk mengakhiri kehidupan. Sebagian besar negara termasuk Indonesia melarang
tindakan eutanasia. “With-holding maupun with-drawing dapat diterima dan dibenarkan
bilamana penanganan medis hanya memperpanjang proses kematian,” jelas Sunatrio lagi.

Yang tergolong life support yang bisa dihentikan adalah perawatan ICU, CPR, alat
pengontrol irama jantung, intubasi trakeal, ventilator, obat-obat vasoaktif, total nutrisi parenteral,
organ buatan, transfusi darah, serta monitoring secara intensif. Di Indonesia, untuk pemberian
antibiotik, nutrisi, dan cairan dasar bahkan termasuk life support yang dihentikan.

Sunatrio sendiri lebih menganjurkan tindakan with-drawing daripada with-holding.


Alasannya, jika tindakan with-drawing tidak dilakukan, maka ruang ICU akan dipenuhi oleh
pasien yang sebenarnya tidak ada harapan hidup. Dan jika hal ini dibiarkan justru akan
melanggar empat prinsip-prinsip etik.

Keempat pelanggaran etik uang dimaksud adalah dari sisi manfaat buat pasien. Selain itu
melanggar kewajiban untuk tidak menyiksa pasien dan melanggar hak pasien. “Siapapun tidak
ingin hidup seperti sayuran,” jelas Sunatrio. Dan terakhir dari sisi keadilan, maka akan
melanggar hak pasien lain. Artinya, pasien yang lebih memiliki harapan hidup seharusnya lebih
diprioritaskan. Dari segi finansial juga seharusnya biaya untuk perawatan yang sia-sia bisa
dialokasikan ke hal lain yang lebih berguna.

Sayangnya masih banyak dokter yang tidak berani melakukan tindakan with-drawing
maupun with-holding. Mungkin karena memberi kesan sengaja membunuh. “Padahal yang dituju
bukan mengakhiri nyawa pasien namun menghentikan prosedur sulit yang sia-sia,” jelas Sunatrio
yang merupakan pelopor tindakan with-drawing. Ia mengaku sudah melakukan tindakan ini sejak
1986.

Di Indonesia sendiri sudah ada aturan untuk melakukan tindakan with-holding dan with-
drawing. Antara lain fatwa IDI tahun 1988 yang disempurnakan tahun 1990 tentang penentuan
mati dan eutanasia pasif. Dalam waktu dekat bahkan akan keluar SK Menteri Kesehatan tentang
mati dan with-holding/with-drawing. Keputusan ini merupakan hasil diskusi dengan IDSAI,
PKGDI, Perdici, dan Organisasi Profesi Medis Klinis. Selain itu ada SK Direktur RSCM tahun
2006 tentang penentuan mati dan with-holding/with-drawing life support.

Menurut ketentuan baik fatwa IDI maupun SK Direktur RSCM, with-drawing/with-


holding adalah keputusan medis dan etis oleh sebuah tim yang terdiri dari tiga orang dokter yang
kompeten. Sebelum keputusan penghentian/penundaan bantuan hidup dilaksanakan, tim dokter
wajib menjelaskan kepada keluarga pasien tentang keadaan pasien dan keputusan tim dokter.
Dalam hal tidak dijumpai adanya keluarga pasien, maka harus diperoleh persetujuan dari
pimpinan Rumah Sakit atau Komite Medis Rumah Sakit.
Dipaparkan oleh Prof. Dr. Sjamsuhidayat SpB, KBD, persoalan End-of-life decisions
sempat diteliti dalam studi di enam negara di Eropa, yang dimuat dalamThe Lancet, tahun 2003
lalu. Menurut pelaku studi, perkembangan ilmu kedokteran yang sangat pesat menghasilkan
kemungkinan perbaikan yang berarti pada pasien sakit serius dan bisa memperpanjang usia
hidup. Namun belakangan ditemukan, bahwa memperpanjang hidup pasien tidak selalu menjadi
tujuan pengobatan yang diharapkan.

Studi ini menyimpulkan, kebanyakan keputusan medis dalam hal mengakhiri hidup
pasien, paling sering dilakukan pada pasien yang memang tidak ada harapan hidup
(sekarat/dying) di semua negara peserta studi. Dalam membuat keputusan, pasien dan
keluarganya kebanyakan dilibatkan.

Kesimpulan lain, keputusan medis yang dibuat untuk pasien-pasien kritis pada akhirnya
akan melibatkan pertimbangan dari sisi medis, etikal, psikologis, dan aspek sosial. Petimbangan-
pertimbangan ini, ditambah latar belakang hukum di masing-masing negara, pada akhirnya
menghasilkan keputusan medis tentang end of life decisions, yang bisa melibatkan dokter, pasien
dan keluarganya.
BAB VI
KESIMPULAN

Bagi seorang dokter maupun perawat, masalah eutanasia merupakan suatu dilema yang
menempatkannya pada posisi yang serba sulit. Di satu pihak, ilmu dan teknologi kedokteran
telah sedemikian maju sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang (walaupun yang
istilahnya hidup secara vegetatif); sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran
masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah.

Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkanpada
kontradiksi antara etika, moral, dan hukum di satu pihak, dengan kemampuan serta teknologi
kedokteran yang sedemikian maju (sehingga mampu mempertahankan hiduup vegetatif tadi) di
pihak lain.

Masalah eutanasia tidak akanpernah pergi. Sebab di era modern ini yang bentuk
kehidupannya sudah jauh dari kata “alamiah”. Menuntut agar manusia dibiarkan mati secara
“alamiah” nampak ilusoris. Dalam konteks eutanasia vis a vis dengan kemajuan ilmu dan
teknologi kedokteran. Masalah baru dalam etika kedokteran akan terus timbul seiring dengan
kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran itu sendiri, tetapi menjadi patut disayangkan dan
kemudian harus terus direnungkan secara mendalam. Bahwa sejauh ini solusi etis sangat jarang
ditawarkan.

Kenyataan menunjukkan bahwa seringkali para dokter dan tenaga medis lain harus
barhadapan dengan kasus-kasus yang dikatakan sebagai eutanasia itu, dan di situlah tuntunan
serta rambu-rambu etika, moral, dan hukum sangat dibutuhkan. Dan rambu-rambu itu harus
dibuat dengan berpegang pada keempat aspek eutanasia yang sudah saya paparkan sebelumnya,
yakni aspek hukum, hak asazi, ilmu pengetahuan dan agama.
ETIK, DILEMA ETIK DAN CONTOH KASUS DILEMA ETIK

DISUSUN OLEH :
Ns. DODY SETYAWAN, S.Kep.,CWCCA

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahhirrobbil’aalamiin, puji dan syukur saya panjatkan Kehadirat Allah SWT


berkat rahmat serta hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan salah satu tugas pada mata kuliah
Etika dan Hukum Keperawatan ini.
Makalah ini berisikan tentang konsep etik dan dilema etik. Selain itu didalamnya juga
terdapat contoh kasus dilema etik keperawatan beserta dengan cara penyelesainnya.
Penyusunan makalah ini tidak terlepas dari adanya dukungan dan bantuan dari berbagai
pihak. Pada kesempatan ini saya mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. DR. dr. Tri Wahyu Murni, Sp.B, Sp.BTKV (K), M.Hkes, selaku dosen mata kuliah Etika dan
Hukum Keperawatan
2. Seluruh rekan Angkatan IV Pasca Sarjana Ilmu Keperawatan UNPAD Bandung yang telah
banyak memberikan masukan dan diskusi-diskusi yang sangat membantu
Penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saran dan masukan yang
membangun sangat diharapkan untuk perbaikan baik dari segi isi materi maupun sistematika
penulisannya.
Akhir kata semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat dipergunakan sebagaimana
mestinya.

Bandung, Desember 2011

Dody Setyawan
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Keperawatan merupakan salah satu profesi yang berkecimpung untuk kesejahteraan manusia
yaitu dengan memberikan bantuan kepada individu yang sehat maupun yang sakit untuk dapat
menjalankan fungsi hidup sehari-harinya. Salah satu yang mengatur hubungan antara perawat
pasien adalah etika. Istilah etika dan moral sering digunakan secara bergantian. Sehingga
perawat perlu mengetahui dan memahami tentang etik itu sendiri termasuk didalamnya prinsip
etik dan kode etik.
Hubungan antara perawat dengan pasien atau tim medis yang lain tidaklah selalu bebas dari
masalah. Perawat profesional harus menghadapi tanggung jawab etik dan konflik yang mungkin
meraka alami sebagai akibat dari hubungan mereka dalam praktik profesional. Kemajuan dalam
bidang kedokteran, hak klien, perubahan sosial dan hukum telah berperan dalam peningkatan
perhatian terhadap etik. Standart perilaku perawat ditetapkan dalam kode etik yang disusun oleh
asosiasi keperawatan internasional, nasional, dan negara bagian atau provinsi. Perawat harus
mampu menerapkan prinsip etik dalam pengambilan keputusan dan mencakup nilai dan
keyakinan dari klien, profesi, perawat, dan semua pihak yang terlibat. Perawat memiliki
tanggung jawab untuk melindungi hak klien dengan bertindak sebagai advokat klien. Para
perawat juga harus tahu berbagai konsep hukum yang berkaitan dengan praktik keperawatan
karena mereka mempunyai akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakan profesional yang
mereka lakukan (Ismaini, 2001)
Dalam berjalannya proses semua profesi termasuk profesi keperawatan didalamnya tidak
lepas dari suatu permasalahan yang membutuhkan berbagai alternative jawaban yang belum
tentu jawaban-jawaban tersebut bersifat memuaskan semua pihak. Hal itulah yang sering
dikatakan sebagai sebuah dilema etik. Dalam dunia keperawatan sering kali dijumpai banyak
adanya kasus dilema etik sehingga seorang perawat harus benar-benar tahu tentang etik dan
dilema etik serta cara penyelesaian dilema etik supaya didapatkan keputusan yang terbaik. Oleh
karena itu penulis menyusun suatu makalah tentang etik dan dilema etik supaya bisa dipahami
oleh para mahasiswa yang nantinya akan berguna ketika bekerja di klinik atau institusi yang lain.
B. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu mengetahui konsep tentang etik dan dilema etik khususnya dibidang
keperawatan
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami definisi etik
b. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami tipe-tipe etika
c. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami teori etik
d. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami prinsip-prinsip etik
e. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami definisi dan kode etik keperawatan
f. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami dilema etik dan cara penyelesainnya
g. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami contoh kasus dilema etik dan penyelesainnya
BAB II
ISI

A DEFINISI ETIK
Etik adalah norma-norma yang menentukan baik-buruknya tingkah laku manusia, baik
secara sendirian maupun bersama-sama dan mengatur hidup ke arah tujuannya ( Pastur scalia,
1971 ). Etika juga berasal dari bahasa yunani, yaitu Ethos, yang menurut Araskar dan David
(1978) berarti ” kebiasaaan ”. ”model prilaku” atau standar yang diharapkan dan kriteria tertentu
untuk suatu tindakan. Penggunaan istilah etika sekarang ini banyak diartikan sebagai motif atau
dorongan yang mempengaruhi prilaku. (Mimin. 2002).
Dari pengertian di atas, etika adalah ilmu tentang kesusilaan yang menentukan bagaimana
sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat yang menyangkut aturan-aturan atau prinsip-
prinsip yang menentukan tingkah laku yang benar, yaitu : baik dan buruk serta kewajiban dan
tanggung jawab
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik
merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan
untuk merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan
seseorang terhadap orang lain. Sehingga juga dapat disimpulkan bahwa etika mengandung 3
pengertian pokok yaitu : nilai-nilai atau norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau
suatu kelompok dalam mengatur tingkah laku, kumpulan azas atau nilai moral, misalnya kode
etik dan ilmu tentang yang baik atau yang buruk (Ismaini, 2001)

B TIPE-TIPE ETIKA
1. Bioetik
Bioetika merupakan studi filosofi yang mempelajari tentang kontroversi dalam etik, menyangkut
masalah biologi dan pengobatan. Lebih lanjut, bioetika difokuskan pada pertanyaan etik yang
muncul tentang hubungan antara ilmu kehidupan, bioteknologi, pengobatan, politik, hukum, dan
theology. Pada lingkup yang lebih sempit, bioetik merupakan evaluasi etika pada moralitas
treatment atau inovasi teknologi, dan waktu pelaksanaan pengobatan pada manusia. Pada lingkup
yang lebih luas, bioetik mengevaluasi pada semua tindakan moral yang mungkin membantu atau
bahkan membahayakan kemampuan organisme terhadap perasaan takut dan nyeri, yang meliputi
semua tindakan yang berhubungan dengan pengobatan dan biologi. Isu dalam bioetik antara lain
: peningkatan mutu genetik, etika lingkungan, pemberian pelayanan kesehatan.
2. Clinical ethics/Etik klinik
Etik klinik merupakan bagian dari bioetik yang lebih memperhatikan pada masalah etik selama
pemberian pelayanan pada klien. Contoh clinical ethics : adanya persetujuan atau penolakan, dan
bagaimana seseorang sebaiknya merespon permintaan medis yang kurang bermanfaat (sia-sia).
3. Nursing ethics/Etik Perawatan
Bagian dari bioetik, yang merupakan studi formal tentang isu etik dan dikembangkan dalam
tindakan keperawatan serta dianalisis untuk mendapatkan keputusan etik. Etika keperawatan
dapat diartikan sebagai filsafat yang mengarahkan tanggung jawab moral yang mendasari
pelaksanaan praktek keperawatan. Inti falsafah keperawatan adalah hak dan martabat manusia,
sedangkan fokus etika keperawatan adalah sifat manusia yang unik (k2-nurse, 2009)

C TEORI ETIK
Dalam etika masih dijumpai banyak teori yang mencoba untuk menjelaskan suatu tindakan,
sifat, atau objek perilaku yang sama dari sudut pandang atau perspektif yang berlainan. Beberapa
teori etik adalah sebagai berikut :
1. Utilitarisme
Sesuai dengan namanya Utilitarisme berasal dari kata utility dengan bahasa latinnya utilis
yang artinya “bermanfaat”. Teori ini menekankan pada perbuatan yang menghasilkan manfaat,
tentu bukan sembarang manfaat tetapi manfaat yang banyak memberikan kebahagiaan kepada
banyak orang. Teori ini sebelum melakukan perbuatan harus sudah memikirkan konsekuensinya
terlebih dahulu.
2. Deontologi
Deontology berasal dari kata deon dari bahasa yunani yang artinya kewajiban. Teori ini
menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan baik jika didasari atas
pelaksanaan kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban sudah melakukan kebaikan. Teori ini
tidak terpatok pada konsekuensi perbuatan dengan kata lain teori ini melaksanakan terlebih
dahulu tanpa memikirkan akibatnya. (Aprilins, 2010)
D PRINSIP-PRINSIP ETIK
1. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan
mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan
membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang harus dihargai
oleh orang lain. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut
pembedaan diri. Praktek profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak
klien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
2. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan
peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi pelayanan kesehatan,
terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi
3. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang sama dan adil terhadap orang lain yang
menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam prkatek
profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan
keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
4. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
5. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi
pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien dan untuk meyakinkan
bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk
mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprensensif, dan objektif
untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang
sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya
selama menjalani perawatan.
6. Menepati janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap
orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia klien.
Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang perawat untuk mempertahankan komitmen
yang dibuatnya kepada pasien.
7. Karahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga privasinya.
Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam
rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali
jika diijinkan oleh klien dengan bukti persetujuan. (Geoffry hunt. 1994)

E DEFINISI DAN KODE ETIK KEPERAWATAN


Etik keperawatan adalah norma-norma yang di anut oleh perawat dalam bertingkah laku
dengan pasien, keluarga, kolega, atau tenaga kesehatan lainnya di suatu pelayanan keperawatan
yang bersifat professional. Perilaku etik akan dibentuk oleh nilai-nilai dari pasien, perawat dan
interaksi sosial dalam lingkungan. Tujuan dari etika keperawatan adalah :
1. Mengidentifikasi, mengorganisasikan, memeriksa dan membenarkan tindakan-tindakan
kemanusiaan dengan menerapkan prinsip-prinsip tertentu
2. Menegaskan tentang kewajiban-kewajiban yang diemban oleh perawat dan mencari informasi
mengenai dampak-dampak dari keputusan perawat.

Sedangkan Kode etik keperawatan merupakan suatu pernyataan komprehensif dari profesi
yang memberikan tuntutan bagi anggotanya dalam melaksanakan praktek keperawatan, baik
yang berhubungan dengan pasien, keluarga masyarakat, teman sejawat, diri sendiri dan tim
kesehatan lain. Pada dasarnya, tujuan kode etik keperawatan adalah upaya agar perawat, dalam
menjalankan setiap tugas dan fungsinya, dapat menghargai dan menghormati martabat manusia.
Tujuan kode etik keperawatan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Merupakan dasar dalam mengatur hubungan antar perawat, klien atau pasien, teman
sebaya, masyarakat, dan unsur profesi, baik dalam profesi keperawatan maupun
dengan profesi lain di luar profesi keperawatan.
2. Merupakan standar untuk mengatasi masalah yang silakukan oleh praktisi
keperawatan yang tidak mengindahkan dedikasi moral dalam pelaksanaan tugasnya.
3. Untuk mempertahankan bila praktisi yang dalam menjalankan tugasnya diperlakukan
secara tidak adil oleh institusi maupun masyarakat.
4. Merupakan dasar dalam menyusun kurikulum pendidikan kepoerawatan agar dapat
menghasilkan lulusan yang berorientasi pada sikap profesional keperawatan.
5. Memberikan pemahaman kepada masyarakat pemakai / pengguna tenaga
keperawatan akan pentingnya sikap profesional dalam melaksanakan tugas praktek
keperawatan. ( PPNI, 2000 )

F DILEMA ETIK
Dilema etika adalah situasi yang dihadapi seseorang dimana keputusan mengenai perilaku
yang layak harus di buat. (Arens dan Loebbecke, 1991: 77). Untuk itu diperlukan pengambilan
keputusan untuk menghadapi dilema etika tersebut. Enam pendekatan dapat dilakukan orang
yang sedang menghadapi dilema tersebut, yaitu:
1. Mendapatkan fakta-fakta yang relevan
2. Menentukan isu-isu etika dari fakta-fakta
3. Menentukan siap dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi dilemma
4. Menentukan alternatif yang tersedia dalam memecahkan dilema
5. Menentukan konsekwensi yang mungkin dari setiap alternative
6. Menetapkan tindakan yang tepat.
Dengan menerapkan enam pendekatan tersebut maka dapat meminimalisasi atau menghindari
rasionalisasi perilaku etis yang meliputi: (1) semua orang melakukannya, (2) jika legal maka
disana terdapat keetisan dan (3) kemungkinan ketahuan dan konsekwensinya.
Pada dilema etik ini sukar untuk menentukan yang benar atau salah dan dapat menimbulkan
stress pada perawat karena dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk
melakukannya. Dilema etik biasa timbul akibat nilai-nilai perawat, klien atau lingkungan tidak
lagi menjadi kohesif sehingga timbul pertentangan dalam mengambil keputusan. Menurut
Thompson & Thompson (1981 ) dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak
ada alternatif yang memuaskan atau situasi dimana alternatif yang memuaskan atau tidak
memuaskan sebanding. Kerangka pemecahan dilema etik banyak diutarakan oleh para ahli dan
pada dasarnya menggunakan kerangka proses keperawatan / Pemecahan masalah secara ilmiah,
antara lain:
1. Model Pemecahan masalah ( Megan, 1989 )
Ada lima langkah-langkah dalam pemecahan masalah dalam dilema etik.
a. Mengkaji situasi
b. Mendiagnosa masalah etik moral
c. Membuat tujuan dan rencana pemecahan
d. Melaksanakan rencana
e. Mengevaluasi hasil
2. Kerangka pemecahan dilema etik (kozier & erb, 2004 )
a. Mengembangkan data dasar.
Untuk melakukan ini perawat memerukan pengumpulan informasi sebanyak mungkin meliputi :
1) Siapa yang terlibat dalam situasi tersebut dan bagaimana keterlibatannya
2) Apa tindakan yang diusulkan
3) Apa maksud dari tindakan yang diusulkan
4) Apa konsekuensi-konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan yang diusulkan.
b. Mengidentifikasi konflik yang terjadi berdasarkan situasi tersebut
c. Membuat tindakan alternatif tentang rangkaian tindakan yang direncanakan dan
mempertimbangkan hasil akhir atau konsekuensi tindakan tersebut
d. Menentukan siapa yang terlibat dalam masalah tersebut dan siapa pengambil keputusan yang tepat
e. Mengidentifikasi kewajiban perawat
f. Membuat keputusan
3. Model Murphy dan Murphy
a. Mengidentifikasi masalah kesehatan
b. Mengidentifikasi masalah etik
c. Siapa yang terlibat dalam pengambilan keputusan
d. Mengidentifikasi peran perawat
e. Mempertimbangkan berbagai alternatif-alternatif yang mungkin dilaksanakan
f. Mempertimbangkan besar kecilnya konsekuensi untuk setiap alternatif keputusan
g. Memberi keputusan
h. Mempertimbangkan bagaimanan keputusan tersebut hingga sesuai dengan falsafah umum untuk
perawatan klien
i. Analisa situasi hingga hasil aktual dari keputusan telah tampak dan menggunakan informasi
tersebut untuk membantu membuat keputusan berikutnya.
4. Langkah-langkah menurut Purtilo dan Cassel ( 1981)
Purtilo dan cassel menyarankan 4 langkah dalam membuat keputusan etik
a. Mengumpulkan data yang relevan
b. Mengidentifikasi dilema
c. Memutuskan apa yang harus dilakukan
d. Melengkapi tindakan
5. Langkah-langkah menurut Thompson & Thompson ( 1981)
a. Meninjau situasi untuk menentukan masalah kesehatan, keputusan yang diperlukan, komponen
etis dan petunjuk individual.
b. Mengumpulkan informasi tambahan untuk mengklasifikasi situasi
c. Mengidentifikasi Issue etik
d. Menentukan posisi moral pribadi dan professional
e. Mengidentifikasi posisi moral dari petunjuk individual yang terkait.
f. Mengidentifikasi konflik nilai yang ada
BAB III
KASUS DILEMA ETIK

Suatu hari ada seorang bapak-bapak dibawa oleh keluarganya ke salah satu Rumah Sakit
di kota Surakarta dengan gejala demam dan diare kurang lebih selama 6 hari. Selain itu bapak-
bapak tersebut (Tn. A) menderita sariawan sudah 3 bulan tidak sembuh-sembuh, dan berat
badannya turun secara berangsur-angsur. Semula Tn. A badannya gemuk tapi 3 bulan terakhir ini
badannya kurus dan telah turun 10 Kg dari berat badan semula. Tn. A ini merupakan seorang
sopir truk yang sering pergi keluar kota karena tuntutan kerjaan bahkan jarang pulang, kadang-
kadang 2 minggu sekali bahkan sebulan sekali.
Tn. A masuk UGD kemudian dari dokter untuk diopname di ruang penyakit dalam karena
kondisi Tn. A yang sudah sangat lemas. Keesokan harinya dokter yang menangani Tn. A
melakukan visit kepada Tn. A, dan memberikan advice kepada perawatnya untuk dilakukan
pemeriksaan laboratorium dengan mengambil sampel darahnya. Tn. A yang ingin tahu sekali
tentang penyakitnya meminta perawat tersebut untuk segera memberi tahu penyakitnya setelah
didapatkan hasil pemeriksaan. Sore harinya pukul 16.00 WIB hasil pemeriksaan telah diterima
oleh perawat tersebut dan telah dibaca oleh dokternya. Hasilnya mengatakan bahwa Tn. A positif
terjangkit penyakit HIV/AIDS. Kemudian perawat tersebut memanggil keluarga Tn. A untuk
menghadap dokter yang menangani Tn. A. Bersama dokter dan seijin dokter tersebut, perawat
menjelaskan tentang kondisi pasien dan penyakitnya. Keluarga terlihat kaget dan bingung.
Keluarga meminta kepada dokter terutama perawat untuk tidak memberitahukan penyakitnya ini
kepada Tn. A. Keluarga takut Tn. A akan frustasi, tidak mau menerima kondisinya dan
dikucilkan dari masyarakat.
Perawat tersebut mengalami dilema etik dimana satu sisi dia harus memenuhi permintaan
keluarga namun di sisi lain perawat tersebut harus memberitahukan kondisi yang dialami oleh
Tn. A karena itu merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi.
BAB IV

PEMBAHASAN KASUS

Kasus diatas menjadi suatu dilema etik bagi perawat dimana dilema etik itu didefinisikan
sebagai suatu masalah yang melibatkan dua ( atau lebih ) landasan moral suatu tindakan tetapi
tidak dapat dilakukan keduanya. Ini merupakan suatu kondisi dimana setiap alternatif tindakan
memiliki landasan moral atau prinsip. Pada dilema etik ini sukar untuk menentukan yang benar
atau salah dan dapat menimbulkan kebingungan pada tim medis yang dalam konteks kasus ini
khususnya pada perawat karena dia tahu apa yang harus dilakukan, tetapi banyak rintangan untuk
melakukannya. Menurut Thompson & Thompson (1981) dilema etik merupakan suatu masalah
yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau situasi dimana alternatif yang
memuaskan atau tidak memuaskan sebanding. Untuk membuat keputusan yang etis, seorang
perawat harus bisa berpikir rasional dan bukan emosional.
Perawat tersebut berusaha untuk memberikan pelayanan keperawatan yang sesuai dengan
etika dan legal yaitu dia menghargai keputusan yang dibuat oleh pasien dan keluarga. Selain itu
dia juga harus melaksanakan kewajibannya sebagai perawat dalam memenuhi hak-hak pasien
salah satunya adalah memberikan informasi yang dibutuhkan pasien atau informasi tentang
kondisi dan penyakitnya. Hal ini sesuai dengan salah satu hak pasien dalam pelayanan kesehatan
menurut American Hospital Assosiation dalam Bill of Rights. Memberikan informasi kepada
pasien merupakan suatu bentuk interaksi antara pasien dan tenaga kesehatan. Sifat hubungan ini
penting karena merupakan faktor utama dalam menentukan hasil pelayanan kesehatan.
Keputusan keluarga pasien yang berlawanan dengan keinginan pasien tersebut maka perawat
harus memikirkan alternatif-alternatif atau solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan
berbagai konsekuensi dari masing-masing alternatif tindakan.
Dalam pandangan Etika penting sekali memahami tugas perawat agar mampu memahami
tanggung jawabnya. Perawat perlu memahami konsep kebutuhan dasar manusia dan bertanggung
jawab dalam memenuhi kebutuhan dasar tersebut tidak hanya berfokus pada pemenuhan
kebutuhan fisiknya atau psikologisnya saja, tetapi semua aspek menjadi tanggung jawab perawat.
Etika perawat melandasi perawat dalam melaksanakan tugas-tugas tersebut. Dalam pandangan
etika keperawatan, perawat memilki tanggung jawab (responsibility) terhadap tugas-tugasnya.
Penyelesaian kasus dilema etik seperti ini diperlukan strategi untuk mengatasinya karena
tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbedaan pendapat antar tim medis yang terlibat
termasuk dengan pihak keluarga pasien. Jika perbedaan pendapat ini terus berlanjut maka akan
timbul masalah komunikasi dan kerjasama antar tim medis menjadi tidak optimal. Hal ini jelas
akan membawa dampak ketidaknyamanan pasien dalam mendapatkan pelayanan keperawatan.
Berbagai model pendekatan bisa digunakan untuk menyelesaikan masalah dilema etik ini antara
lain model dari Megan, Kozier dan Erb, model Murphy dan Murphy, model Levine-ariff dan
Gron, model Curtin, model Purtilo dan Cassel, dan model Thompson dan thompson.
Berdasarkan pendekatan model Megan, maka kasus dilema etik perawat yang merawat
Tn. A ini dapat dibentuk kerangka penyelesaian sebagai berikut :
1. Mengkaji situasi
Dalam hal ini perawat harus bisa melihat situasi, mengidentifikasi masalah/situasi dan
menganalisa situasi. Dari kasus diatas dapat ditemukan permasalahan atau situasi sebagai berikut
:

 Tn. A menggunakan haknya sebagai pasien untuk mengetahui penyakit yang


dideritanya sekarang sehingga Tn. A meminta perawat tersebut memberikan informasi
tentang hasil pemeriksaan kepadanya.
 Rasa kasih sayang keluarga Tn. A terhadap Tn. A membuat keluarganya berniat
menyembunyikan informasi tentang hasil pemeriksaan tersebut dan meminta perawat
untuk tidak menginformasikannya kepada Tn. A dengan pertimbangan keluarga takut
jika Tn. A akan frustasi tidak bisa menerima kondisinya sekarang
 c. Perawat merasa bingung dan dilema dihadapkan pada dua pilihan dimana dia harus
memenuhi permintaan keluarga, tapi disisi lain dia juga harus memenuhi haknya
pasien untuk memperoleh informasi tentang hasil pemeriksaan atau kondisinya.

2. Mendiagnosa Masalah Etik Moral


Berdasarkan kasus dan analisa situasi diatas maka bisa menimbulkan permasalahan etik moral
jika perawat tersebut tidak memberikan informasi kepada Tn. A terkait dengan penyakitnya
karena itu merupakan hak pasien untuk mendapatkan informasi tentang kondisi pasien termasuk
penyakitnya.
3. Membuat Tujuan dan Rencana Pemecahan
Alternatif-alternatif rencana harus dipikirkan dan direncanakan oleh perawat bersama tim medis
yang lain dalam mengatasi permasalahan dilema etik seperti ini. Adapun alternatif rencana yang
bisa dilakukan antara lain :
a. Perawat akan melakukan kegiatan seperti biasa tanpa memberikan informasi hasil
pemeriksaan/penyakit Tn. A kepada Tn. A saat itu juga, tetapi memilih waktu yang tepat ketika
kondisi pasien dan situasinya mendukung.

Hal ini bertujuan supaya Tn. A tidak panic yang berlebihan ketika mendapatkan
informasi seperti itu karena sebelumnya telah dilakukan pendekatan-pendekatan oleh perawat.
Selain itu untuk alternatif rencana ini diperlukan juga suatu bentuk motivasi/support sistem yang
kuat dari keluarga. Keluarga harus tetap menemani Tn. A tanpa ada sedikitpun perilaku dari
keluarga yang menunjukkan denial ataupun perilaku menghindar dari Tn. A. Dengan demikian
diharapkan secara perlahan, Tn. A akan merasa nyaman dengan support yang ada sehingga
perawat dan tim medis akan menginformasikan kondisi yang sebenarnya.
Ketika jalannya proses sebelum diputuskan untuk memberitahu Tn. A tentang kondisinya
dan ternyata Tn. A menanyakan kondisinya ulang, maka perawat tersebut bisa menjelaskan
bahwa hasil pemeriksaannya masih dalam proses tim medis.
Alternatif ini tetap memiliki kelemahan yaitu perawat tidak segera memberikan informasi
yang dibutuhkan Tn. A dan tidak jujur saat itu walaupun pada akhirnya perawat tersebut akan
menginformasikan yang sebenarnya jika situasinya sudah tepat. Ketidakjujuran merupakan suatu
bentuk pelanggaran kode etik keperawatan.

b. Perawat akan melakukan tanggung jawabnya sebagai perawat dalam memenuhi hak-hak pasien
terutama hak Tn. A untuk mengetahui penyakitnya, sehingga ketika hasil pemeriksaan sudah ada
dan sudah didiskusikan dengan tim medis maka perawat akan langsung menginformasikan
kondisi Tn. A tersebut atas seijin dokter.

Alternatif ini bertujuan supaya Tn. A merasa dihargai dan dihormati haknya sebagai
pasien serta perawat tetap tidak melanggar etika keperawatan. Hal ini juga dapat berdampak pada
psikologisnya dan proses penyembuhannya. Misalnya ketika Tn. A secara lambat laun
mengetahui penyakitnya sendiri atau tahu dari anggota keluarga yang membocorkan informasi,
maka Tn. A akan beranggapan bahwa tim medis terutama perawat dan keluarganya sendiri
berbohong kepadanya. Dia bisa beranggapan merasa tidak dihargai lagi atau berpikiran bahwa
perawat dan keluarganya merahasiakannya karena ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS)
merupakan “aib” yang dapat mempermalukan keluarga dan Rumah Sakit. Kondisi seperti inilah
yang mengguncangkan psikis Tn. A nantinya yang akhirnya bisa memperburuk keadaan Tn. A.
Sehingga pemberian informasi secara langsung dan jujur kepada Tn. A perlu dilakukan untuk
menghindari hal tersebut.
Kendala-kendala yang mungkin timbul :
1) Keluarga tetap tidak setuju untuk memberikan informasi tersebut kepada Tn. A
Sebenarnya maksud dari keluarga tersebut adalah benar karena tidak ingin Tn. A frustasi
dengan kondisinya. Tetapi seperti yang diceritakan diatas bahwa ketika Tn. A tahu dengan
sendirinya justru akan mengguncang psikisnya dengan anggapan-anggapan yang bersifat
emosional dari Tn. A tersebut sehingga bisa memperburuk kondisinya. Perawat tersebut harus
mendekati keluarga Tn. A dan menjelaskan tentang dampak-dampaknya jika tidak
menginformasikan hal tersebut. Jika keluarga tersebut tetap tidak mengijinkan, maka perawat
dan tim medis lain bisa menegaskan bahwa mereka tidak akan bertanggung jawab atas dampak
yang terjadi nantinya. Selain itu sesuai dengan Kepmenkes 1239/2001 yang mengatakan bahwa
perawat berhak menolak pihak lain yang memberikan permintaan yang bertentangan dengan
kode etik dan profesi keperawatan.
2) Keluarga telah mengijinkan tetapi Tn. A denial dengan informasi yang diberikan perawat.
Denial atau penolakan adalah sesuatu yang wajar ketika seseorang sedang mendapatkan
permasalahan yang membuat dia tidak nyaman. Perawat harus tetap melakukan pendekatan-
pendekatan secara psikis untuk memotivasi Tn. A. Perawat juga meminta keluarga untuk tetap
memberikan support sistemnya dan tidak menunjukkan perilaku mengucilkan Tn. A tersebut.
Hal ini perlu proses adaptasi sehingga lama kelamaan Tn. A diharapkan dapat menerima
kondisinya dan mempunyai semangat untuk sembuh.

4. Melaksanakan Rencana
Alternatif-alternatif rencana tersebut harus dipertimbangkan dan didiskusikan dengan tim medis
yang terlibat supaya tidak melanggar kode etik keperawatan. Sehingga bisa diputuskan mana
alternatif yang akan diambil. Dalam mengambil keputusan pada pasien dengan dilema etik harus
berdasar pada prinsip-prinsip moral yang berfungsi untuk membuat secara spesifik apakah suatu
tindakan dilarang, diperlukan atau diizinkan dalam situasi tertentu ( John Stone, 1989 ), yang
meliputi :
a. Autonomy / Otonomi
Pada prinsip ini perawat harus menghargai apa yang menjadi keputusan pasien dan
keluarganya tapi ketika pasien menuntut haknya dan keluarganya tidak setuju maka perawat
harus mengutamakan hak Tn. A tersebut untuk mendapatkan informasi tentang kondisinya.
b. Benefesience / Kemurahan Hati
Prinsip ini mendorong perawat untuk melakukan sesuatu hal atau tindakan yang baik dan
tidak merugikan Tn. A. Sehingga perawat bisa memilih diantara 2 alternatif diatas mana yang
paling baik dan tepat untuk Tn. A dan sangat tidak merugikan Tn. A
c. Justice / Keadilan
Perawat harus menerapkan prinsip moral adil dalam melayani pasien. Adil berarti Tn. A
mendapatkan haknya sebagaimana pasien yang lain juga mendapatkan hak tersebut yaitu
memperoleh informasi tentang penyakitnya secara jelas sesuai dengan konteksnya/kondisinya.
d. Nonmaleficience / Tidak merugikan
Keputusan yang dibuat perawat tersebut nantinya tidak menimbulkan kerugian pada Tn.
A baik secara fisik ataupun psikis yang kronis nantinya.
e. Veracity / Kejujuran
Perawat harus bertindak jujur jangan menutup-nutupi atau membohongi Tn. A tentang
penyakitnya. Karena hal ini merupakan kewajiban dan tanggung jawab perawat untuk
memberikan informasi yang dibutuhkan Tn. A secara benar dan jujur sehingga Tn. A akan
merasa dihargai dan dipenuhi haknya.
f. Fedelity / Menepati Janji
Perawat harus menepati janji yang sudah disepakati dengan Tn. A sebelum dilakukan
pemeriksaan yang mengatakan bahwa perawat bersdia akan menginformasikan hasil
pemeriksaan kepada Tn. A jika hasil pemeriksaannya sudah selesai. Janji tersebut harus tetap
dipenuhi walaupun hasilnya pemeriksaan tidak seperti yang diharapkan karena ini
mempengaruhi tingkat kepercayaan Tn. A terhadap perawat tersebut nantinya.
g. Confidentiality / Kerahasiaan
Perawat akan berpegang teguh dalam prinsip moral etik keperawatan yaitu menghargai
apa yang menjadi keputusan pasien dengan menjamin kerahasiaan segala sesuatu yang telah
dipercayakan pasien kepadanya kecuali seijin pasien.

Berdasarkan pertimbangan prinsip-prinsip moral tersebut keputusan yang bisa diambil


dari dua alternatif diatas lebih mendukung untuk alternatif ke-2 yaitu secara langsung
memberikan informasi tentang kondisi pasien setelah hasil pemeriksaan selesai dan didiskusikan
dengan semua yang terlibat. Mengingat alternatif ini akan membuat pasien lebih dihargai dan
dipenuhi haknya sebagai pasien walaupun kedua alternatif tersebut memiliki kelemahan masing-
masing. Hasil keputusan tersebut kemudian dilaksanakan sesuai rencana dengan pendekatan-
pendekatan dan caring serta komunikasi terapeutik.

5. Mengevaluasi Hasil
Alternatif yang dilaksanakan kemudian dimonitoring dan dievaluasi sejauh mana Tn. A
beradaptasi tentang informasi yang sudah diberikan. Jika Tn. A masih denial maka pendekatan-
pendekatan tetap terus dilakukan dan support sistem tetap terus diberikan yang pada intinya
membuat pasien merasa ditemani, dihargai dan disayangi tanpa ada rasa dikucilkan.
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalam upaya mendorong kemajuan profesi keperawatan agar dapat diterima dan dihargai
oleh pasien, masyarakat atau profesi lain, maka perawat harus memanfaatkan nilai-nilai
keperawatan dalam menerapkan etika dan moral disertai komitmen yang kuat dalam mengemban
peran profesionalnya. Dengan demikian perawat yang menerima tanggung jawab, dapat
melaksanakan asuhan keperawatan secara etis profesional. Sikap etis profesional berarti bekerja
sesuai dengan standar, melaksanakan advokasi, keadaan tersebut akan dapat memberi jaminan
bagi keselamatan pasien, penghormatan terhadap hak-hak pasien, dan akan berdampak terhadap
peningkatan kualitas asuhan keperawatan. Selain itu dalam menyelesaikan permasalahan etik
atau dilema etik keperawatan harus dilakukan dengan tetap mempertimbangkan prinsip-prinsip
etik supaya tidak merugikan salah satu pihak.

B. SARAN
Pembelajaran tentang etika dan moral dalam dunia profesi terutama bidang keperawatan
harus ditanamkan kepada mahasiswa sedini mungkin supaya nantinya mereka bisa lebih
memahami tentang etika keperawatan sehingga akan berbuat atau bertindak sesuai kode etiknya
(kode etik keperawatan).
Dileme Etik Keperawatan

1. Latar Belakang
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar dan salah, baik dan buruk dalam hubungan dengan
orang lain. Etik merupakan studi tentang perilaku, karakter dan motif yang baik serta ditekankan pada
penetapan apa yang baik dan berharga bagi semua orang.
Secara umum, terminologi etik dan moral adalah sama. Etik memiliki terminologi yang berbeda dengan
moral bila istilah etik mengarahkan terminologinya untuk penyelidikan filosofis atau kajian tentang
masalah atau dilema tertentu. Moral mendeskripsikan perilaku aktual, kebiasaan dan kepercayaan
sekelompok orang atau kelompok tertentu.
Etik juga dapat digunakan untuk mendeskripsikan suatu pola atau cara hidup, sehingga etik
merefleksikan sifat, prinsip dan standar seseorang yang mempengaruhi perilaku profesional. Cara hidup
moral perawat telah dideskripsikan sebagai etik perawatan.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa etik merupakan istilah yang digunakan untuk
merefleksikan bagaimana seharusnya manusia berperilaku, apa yang seharusnya dilakukan seseorang
terhadap orang lain.

Nilai-nilai, keyakinan dan filosofi individu memainkan peranan penting pada pengambilan keputusan etik
yang menjadi bagian tugas rutin perawat. Peran perawat ditantang ketika harus berhadapan dengan
masalah dilema etik, untuk memutuskan mana yang benar dan salah; apa yang dilakukannya jika tak ada
jawaban benar atau salah; dan apa yang dilakukan jika semua solusi tampak salah.
Dilema etik dapat bersifat personal ataupun profesional. Dilema sulit dipecahkan bila memerlukan
pemilihan keputusan tepat diantara dua atau lebih prinsip etis. Penetapan keputusan terhadap satu
pilihan, dan harus membuang yang lain menjadi sulit karena keduanya sama-sama memiliki kebaikan
dan keburukan apalagi jika tak satupun keputusan memenuhi semua kriteria. Berhadapan dengan
dilema etis bertambah pelik dengan adanya dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut
saat proses pengambilan keputusan rasional.
Pada pasien dengan kasus-kasus terminal sering ditemui dilema etik, misalnya kematian batang otak,
penyakit terminal misalnya gagal ginjal. Pada tulisan ini akan dibahas mengenai dilema etik pada kasus
pasien dengan gagal ginjal terimnal yang menuntut haknya untuk dilakukan transplantasi ginjal.
II. Dilema Etik Keperawatan dan Penyelesaiyannya
Dilema etik merupakan suatu masalah yang sulit dimana tidak ada alternatif yang memuaskan atau
suatu situasi dimana alternatif yang memuaskan dan tidak memuaskan sebanding. Dalam dilema etik
tidak ada yang benar atau salah. Untuk membuat keputusan yang etis, seseorang harus tergantung pada
pemikiran yang rasional dan bukan emosional
Prinsip moral dalam menyelesaiakan masalah etik
Prinsip-prinsip moral yang harus diterapkan oleh perawat dalam pendekatan penyelesaian masalah /
dilema etis adalah :
a. Otonomi
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan memutuskan.
Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat keputusan sendiri, memilih dan
memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang dihargai. Prinsip otonomi ini adalah bentuk respek
terhadap seseorang, juga dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional.
Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek
profesioanal merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak hak pasien dalam membuat
keputusan tentang perawatan dirinya.

b. Benefisiensi
Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan juga memerlukan pencegahan dari
kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri
dan orang lain. Kadang-kadang dalam situasi pelayanan kesehatan kebaikan menjadi konflik dengan
otonomi.

c. Keadilan (justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung
prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan . Nilai ini direfleksikan dalam praktek profesional ketika
perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar
untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan
d. Nonmalefisien
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya / cedera secara fisik dan psikologik. Segala tindakan yang
dilakukan pada klien.

e. Veracity (kejujuran)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi layanan kesehatan
untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk meyakinkan bahwa pasien sangat
mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran.
Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprehensif dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman
dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya salama menjalani perawatan. Walaupun demikian
terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan
kesalahan prognosis pasien untuk pemulihan, atau adanya hubungan paternalistik bahwa “doctor knows
best” sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh
tentang kondisinya. Kebenaran adalah dasar dalam membangun hubungan saling percaya

f. Fidelity
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain.
Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia pasien. Ketaatan,
kesetiaan adalah kewajiban seeorang untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya. Kesetiaan itu
menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar
dari perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan
meminimalkan penderitaan.
g. Kerahasiaan (confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang klien harus dijaga privasi-nya. Apa
yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan
klien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijin kan oleh klien
dengan bukti persetujuannya. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikannya pada
teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dicegah.

h. Akuntabilitas (accountability)
Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab pasti pada setiap
tindakan dan dapat digunakan untuk menilai orang lain. Akuntabilitas merupakan standar yang pasti
yang mana tindakan seorang professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa
terkecuali.

C. Langkah-langkah penyelesaian masalah / dilema etik

Langkah penyelesaian dilema etik menurut Tappen (2005) adalah :


a. Pengkajian
Hal pertama yang perlu diketahui perawat adalah “adakah saya terlibat langsung dalam dilema?”.
Perawat perlu mendengar kedua sisi dengan menjadi pendengar yang berempati. Target tahap ini
adalah terkumpulnya data dari seluruh pengambil keputusan, dengan bantuan pertanyaan yaitu :
1. Apa yang menjadi fakta medik ?
2. Apa yang menjadi fakta psikososial ?
3. Apa yang menjadi keinginan klien ?
4. Apa nilai yang menjadi konflik ?
b. Perencanaan
Untuk merencanakan dengan tepat dan berhasil, setiap orang yang terlibat dalam pengambilan
keputusan harus masuk dalam proses. Thomson and Thomson (1985) mendaftarkan 3 (tiga) hal yang
sangat spesifik namun terintegrasi dalam perencanaan, yaitu :
1. Tentukan tujuan dari treatment.
2. Identifikasi pembuat keputusan
3. Daftarkan dan beri bobot seluruh opsi / pilihan.
c. Implementasi
Selama implementasi, klien/keluarganya yang menjadi pengambil keputusan beserta anggota tim
kesehatan terlibat mencari kesepakatan putusan yang dapat diterima dan saling menguntungkan. Harus
terjadi komunikasi terbuka dan kadang diperlukan bernegosiasi. Peran perawat selama implementasi
adalah menjaga agar komunikasi tak memburuk, karena dilema etis seringkali menimbulkan efek
emosional seperti rasa bersalah, sedih / berduka, marah, dan emosi kuat yang lain. Pengaruh perasaan
ini dapat menyebabkan kegagalan komunikasi pada para pengambil keputusan. Perawat harus ingat
“Saya disini untuk melakukan yang terbaik bagi klien”.
Perawat harus menyadari bahwa dalam dilema etik tak selalu ada 2 (dua) alternatif yang menarik, tetapi
kadang terdapat alternatif tak menarik, bahkan tak mengenakkan. Sekali tercapai kesepakatan,
pengambil keputusan harus menjalankannya. Kadangkala kesepakatan tak tercapai karena semua pihak
tak dapat didamaikan dari konflik sistem dan nilai. Atau lain waktu, perawat tak dapat menangkap
perhatian utama klien. Seringkali klien / keluarga mengajukan permintaan yang sulit dipenuhi, dan di
dalam situasi lain permintaan klien dapat dihormati.
d. Evaluasi
Tujuan dari evaluasi adalah terselesaikannya dilema etis seperti yang ditentukan sebagai outcome-nya.
Perubahan status klien, kemungkinan treatment medik, dan fakta sosial dapat dipakai untuk
mengevaluasi ulang situasi dan akibat treatment perlu untuk dirubah. Komunikasi diantara para
pengambil keputusan masih harus dipelihara.

Dilema etik yang sering ditemukan dalam praktek keperawatan dapat bersifat personal ataupun
profesional. Dilema menjadi sulit dipecahkan bila memerlukan pemilihan keputusan tepat diantara dua
atau lebih prinsip etis. Sebagai tenaga profesional perawat kadang sulit karena keputusan yang akan
diambil keduanya sama-sama memiliki kebaikan dan keburukan. Pada saat berhadapan dengan dilema
etis juga terdapat dampak emosional seperti rasa marah, frustrasi, dan takut saat proses pengambilan
keputusan rasional yang harus dihadapi, ini membutuhkan kemampuan interaksi dan komunikasi yang
baik dari seorang perawat.
Masalah pengambilan keputusan dalam pemberian transplantasi ginjal juga sering menimbulkan dilema
etis karena sangat berhubungan dengan hak asasi manusia, pertimbangan tingkat keberhasilan tindakan
dan keterbatasan sumber-sumber organ tubuh yang dapat didonorkan kepada orang lain sehingga
memerlukan pertimbangan yang matang. Oleh karena itu sebagai perawat yang berperan sebagai
konselor dan pendamping harus dapat meyakinkan klien bahwa keputusan akhir dari komite merupakan
keputusan yang terbaik.

Anda mungkin juga menyukai