Dacryoadenitis
Dacryoadenitis
Disusun oleh :
Elizah Yanti
(101001067)
Pembimbing
dr. DASRIL, SpM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM SUMATERA UTARA
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN MATA
RUMAH SAKIT UMUM dr.DJASAMEN SARAGIH
PEMATANG SIANTAR
2014
i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dengan mengucapkan puji dan syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa atas kehendakNya, saya telah menyelesaikan laporan co-ass poli mata ini.
Semoga penyusunan laporan ini dapat menjadi wadah pengembangan diri dan
kreatifitas.
Pada kesempatan ini, penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada Dr. Dasril, SpM, Dr. Januar H.M.Sitorus, SpM atas
bimbingannya, sehingga makalah berjudul “Dakrioadenitis” ini dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.
Layaknya sebagai mahasiswa/i yang masih dalam proses pembelajaran
tentunya makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, penulis mohon
maaf atas kekurangan dalam pembuatan makalah ini. Kritik dan saran yang dapat
membangun penulis sangat kami harapkan dan mudah-mudahan makalah ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi para pembaca
WassalamualaikumWr.Wb
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Peradangan kelenjar lakrimal atau dakrioadenitis merupakan penyakit
yang jarang di temukan dan dapat dalam bentuk unilateral ataupun bilateral.
Dakrioadenitis dapat berjalan akut ataupun kronis. Dakrioadenitis akut dan kronis
dapat terjadi akibat infeksi :
Virus : parotitis, herpes zoster, virus ECHO, dan virus sitomegali. Pada anak
dapat terlihat sebagai komplikasi infeksi kelenjar liur,campak, influenza.
Bakteri : Staphylococcus aureus, streptokokus gonokokus. Dakrioadenitis
dapat terjadi akibat infeksi retrograd konjungtivitis. Trauma tembus dapat
menimbulkan reaksi radang pada kelenjar lakrimal.
Jamur : histoplasmosis, aktinomises, blastomikosis, nokardiosis dan
sporotrikosis.
Sarkoid dan idiopati.
Dakrioadenitis menahun sekunder dapat terjadi akibat penyakit Hodgkin,
tuberkolosis, mononukleosis infeksiosa, leukimia limfatik dan limfosarkoma.
Patofisiologinya masih belum jelas, namun beberapa ahli mengemukakan
bahwa proses infeksinya dapat terjadi melalui penyebaran kuman yang berawal di
konjungtiva yang menuju ke ductus lakrimalis dan menuju ke kelenjar lakrimalis.
Pasien dakrioadenitis akut umumnya mengeluh sakit di daerah glandula lakrimal
Yaitu di bagian temporal atas rongga orbita disertai dengan kelopak mata yang
bengkak, konjungtiva kemotik dengan belek.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Selanjutnya, air mata akan dialirkan ke dua kanalis lakrimalis, superior
dan inferior, kemudian menuju ke punctum lakrimalis yang terlihat sebagai
penonjolan kecil pada kantus medial. Setelah itu, air mata akan mengalir ke
dalam sakus lakrimalis yang terlihat sebagai cekungan kecil pada permukaan
orbita. Dari sini, air mata akan mengalir ke duktus nasolakrimalis dan bermuara
pada meatus nasal bagian inferior. Dalam keadaan normal, duktus ini memiliki
panjang sekitar 12 mm dan berada pada sebuah saluran pada dinding medial
orbita.
2.2 Dakrioadenitis
1. Definisi
Dakrioadenitis ialah suatu proses inflamasi pada kelenjar air mata pars
sekretorik. Dibagi menjadi dua yaitu dakrioadenitis akut dan kronik, keduanya
dapat disebabkan oleh suatu proses infeksi ataupun dari penyakit sistemik lainnya.
2. Epidemiologi
Peradangan kelenjar lakrimal atau dakrioadenitis merupakan penyakit
yang jarang di temukan dan dapat dalam bentuk unilateral ataupun bilateral.
3. Klasifikasi
Dakrioadenitis dapat berjalan akut ataupun kronis:
a. Dakrioadenitis Akut
Pada dakrioadenitis akut sering ditemukan pembesaran kelenjar air
mata di dalam palpebra superior , hal ini dapat ditemukan apabila kelopak
mata atas dieversi , maka akan kelihatan tonjolan dari kelenjar air mata
yang mengalami proses inflamasi . Pada perabaan karena ini merupakan
suatu proses yang akut maka biasanya akan sangat nyeri dan dapat diikuti
oleh gejala klinis lainnya yaitu kemosis (pembengkakkan konjungtiva),
konjungtival injeksi, mukopurulen sekret, erythema dari kelopak mata,
lymphadenopati (submandibular), pembengkakkan dari 1/3 lateral atas
kelopak mata (S- shape), proptosis , pergerakan bola mata yang terbatas.
Diagnosis bandingnya :
4
1. Hordeolum internum biasanya lebih kecil dan melingkar
2. Abses kelopak mata terdapat fluktuasi
3. Selulitis orbita biasanya berkaitan dengan penurunan pergerakan
mata
b. Dakrioadenitis Kronik
Pada kronis darkrioadenitis gejala klinisnya lebih baik daripada
yang akut. Umumnya tidak ditemukan nyeri , ada pembesaran kelenjar
namun mobile, tanda-tanda ocular minimal, ptosis bisa ditemukan, dapat
ditemukan sindroma mata kering .
Diagnosis bandingnya :
1. Periostitis dari kelopak mata atas sangat jarang terjadi
2. Lipodermoid tidak ada tanda-tanda inflamasi
Semuanya diterapi secara kausatif dan kompres mata dengan rivanol.
5
Keterangan gambar : Tampak eritema dan odema pada kedua mata
6
c. Jamur : histoplasmosis, aktinomises, blastomikosis, nokardiosis dan
sporotrikosis.
d. Sarkoid dan idiopati.
Dakrioadenitis menahun sekunder dapat terjadi akibat penyakit Hodgkin,
tuberkolosis, mononukleosis infeksiosa, leukimia limfatik dan limfosarkoma.
5. Patofisiologi
Patofisiologinya masih belum jelas, namun beberapa ahli mengemukakan
bahwa proses infeksinya dapat terjadi melalui penyebaran kuman yang berawal di
konjungtiva yang menuju ke ductus lakrimalis dan menuju ke kelenjar lakrimalis.
6. Gejala Klinis
Pasien dakrioadenitis akut umumnya mengeluh sakit di daerah glandula
lakrimal Yaitu di bagian temporal atas rongga orbita disertai dengan kelopak mata
yang bengkak, konjungtiva kemotik dengan belek. Pada infeksi akan terlihat bila
mata bergerak akan memberikan sakit dengan pembesaran kelenjar preaurikel.
Dakrioadenitis akut perlu dibedakan dengan selulitis orbita, dengan
melakukan biopsi kelenjar lakrimal.
Bila kelopak mata di balik tampak pembengkakan bewarna merah di
bawah kelopak mata atas temporal.
Pada keadaan menahun terdapat gambaran yang hampir sama dengan
keadaan akut tetapi tidak disertai nyeri. Apabila pembengkakan cukup besar , bola
mata terdorong ke bawah nasal tetapi jarang terjadi proptosis.
7. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dakrioadenitis dibutuhkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Anamnesis dapat dilakukan
dengan cara autoanamnesis dan alloanamnesis. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan
fisik. Jika dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik masih belum bisa dipastikan
penyakitnya, maka boleh dilakukan pemeriksaan penunjang.
8. Terapi
7
Pengobatan pada dakrioadenitis biasanya dimulai dengan kompres dengan
air hangat, antibiotik sistemik dan bila terlihat abses maka dilakukan insisi. Bila
disebabkan oleh radang menahun maka diberikan pengobatan yang sesuai.
Jika penyebab dacryoadenitis adalah asal virus, seperti gondok, harus
cukup untuk beristirahat dan meletakkan kompres hangat dan kering pada kelenjar
inflammated. Untuk penyebab lain terapi spesifik sesuai dengan patogen.
Gondok dapat dicegah dengan vaksinasi. Bakteri gonokokus dapat dicegah
dengan menggunakan kondom. Penyebab lain tidak dapat dicegah, misalnya
dacryoadenitis akut (dacryoadenitis acut) - peradangan akut kelenjar air mata. Hal
ini terjadi tiba-tiba dengan tanda-tanda peradangan (kemerahan, pembengkakan,
nyeri, panas), yang terlokalisasi di sudut lateralis atas pintu masuk ke orbita.
Pembengkakan menyebabkan penurunan kelopak mata dalam setengah temporal.
Ada akibat meningkatnya periauricular kelenjar getah bening, jika pembengkakan
yang signifikan dan mobilitas bola mata menurun.
9. Komplikasi
Dakrioadenitis yang tidak diobati dapat menyebabkan fistula pada kelenjar
lakrimalis.
10. Prognosis
Jika di lakukan pengobatan yang baik dan tepat pada dakrioadenitis seperti
kompres dengan air hangat, diberikan antibiotik sistemik, dan dilakukan insisi
(bila ada atau terlihat abses) umumnya prognosisnya dubia ad bonam.
BAB III
KESIMPULAN
8
Dakrioadenitis ialah suatu proses inflamasi pada kelenjar air mata pars
sekretorik. Dibagi menjadi dua yaitu dakrioadenitis akut dan kronik, keduanya
dapat disebabkan oleh suatu proses infeksi ataupun dari penyakit sistemik lainnya.
Peradangan kelenjar lakrimal atau dakrioadenitis merupakan penyakit yang jarang
di temukan dan dapat dalam bentuk unilateral ataupun bilateral.
Dakrioadenitis dapat berjalan akut ataupun kronis. Dakrioadenitis akut dan
kronis dapat terjadi akibat infeksi :
a. Virus : parotitis, herpes zoster, virus ECHO, dan virus sitomegali. Pada anak
dapat terlihat sebagai komplikasi infeksi kelenjar liur,campak, influenza.
b. Bakteri : Staphylococcus aureous,streptokok gonokok. Dakrioadenitis dapat
terjadi akibat infeksi retrograd konjungtivitis. Trauma tembus dapat
menimbulkan reaksi radang pada kelenjar lakrimal.
c. Jamur : histoplasmosis, aktinomises, blastomikosis, nokardiosis dan
sporotrikosis.
d. Sarkoid dan idiopati.
Dakrioadenitis menahun sekunder dapat terjadi akibat penyakit Hodgkin,
tuberkolosis, mononukleosis infeksiosa, leukimia limfatik dan limfosarkoma.
Patofisiologinya masih belum jelas, namun beberapa ahli mengemukakan
bahwa proses infeksinya dapat terjadi melalui penyebaran kuman yang berawal di
konjungtiva yang menuju ke ductus lakrimalis dan menuju ke kelenjar lakrimalis.
Pasien dakrioadenitis akut umumnya mengeluh sakit di daerah glandula
lakrimal Yaitu di bagian temporal atas rongga orbita disertai dengan kelopak mata
yang bengkak, konjungtiva kemotik dengan belek. Pada infeksi akan terlihat bila
mata bergerak akan memberikan sakit dengan pembesaran kelenjar preaurikel.
Dakrioadenitis akut perlu dibedakan dengan selulitis orbita, dengan
melakukan biopsi kelenjar lakrimal.
Bila kelopak mata di balik tampak pembengkakan bewarna merah di
bawah kelopak mata atas temporal.
9
Pada keadaan menahun terdapat gambaran yang hampir sama dengan
keadaan akut tetapi tidak disertai nyeri. Apabila pembengkakan cukup besar , bola
mata terdorong ke bawah nasal tetapi jarang terjadi proptosis.
Pengobatan pada dakrioadenitis biasnya dimulai dengan kompres dengan
air hangat, antibiotik sistemik dan bila terlihat abses maka dilakukan insisi. Bila
disebabkan oleh radang menahun maka diberikan pengobatan yang sesuai.
10
DAFTAR PUSTAKA
3. Ilyas, Sidharta. 2011. Ilmu Penyakit Mata Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Eva. Roirdan Paul & Whitcher J.P. Oftalmologi Umum Vaughan &
Asbury, Ed. 17. EGC. Jakarta. 2007
11