Anda di halaman 1dari 32

PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO IPC

SEBAGAI PILAR PRAKTEK


GOOD CORPORATE GOVERNANCE

PT. PELABUHAN INDONESIA II (PERSERO)

BIDANG USAHA JASA KEPELABUHANAN

0
TIM PENYUSUN

1. ANDI ISNOVANDIONO
2. RIZQI WIJAYANTO
3. METTA RAJENDRA DEWI
4. ANDRE RIZKY BUDHITAMA

JAKARTA, OKTOBER 2012

PENANGGUNG JAWAB:

SM. MANAJEMEN RISIKO DAN JAMINAN MUTU


PT.PELABUHAN INDONESIA II (PERSERO)

ANDI ISNOVANDIONO
NIPP. 271116014

1
ABSTRAK

Penerapan manajemen risiko di PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) yang


selanjutnya disebut IPC dalam makalah ini sebagai salah satu pilar praktek Tata
Kelola Perusahaan Yang Baik / Good Corporate Governance (GCG) telah
dilaksanakan sejak tahun 2005 dengan ditetapkannya Surat Keputusan Direksi
Nomor : HK. 56/3/19/PI.II-05 tentang Penerapan Sistem Manajemen Risiko Di
Lingkungan PT. (Persero) Pelabuhan Indonesia pada tanggal 6 Juni 2005.
Undang – undang Pelayaran No. 17 Tahun 2008 yang membuka peluang adanya
kompetisi dalam bisnis kepelabuhanan turut menjadi alasan pentingnya praktek
GCG melalui implementasi Sistem Manajemen Risiko IPC.

Tujuan dari penerapan GCG dalam perspektif risiko oleh PT. Pelabuhan Indonesia
II (Persero) adalah untuk meningkatkan kepercayaan stakeholders kepada
perusahaan dengan memperkecil kerugian yang akan timbul (potential loss)
melalui penerapan sistem manajemen risiko secara konsisten, berkesinambungan
dan didukung profesionalisme, sumber daya serta sistem informasi yang handal
atas seluruh risiko yang timbul akibat kegiatan perusahaan.

Prinsip – prinsip GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas,


independensi dan fairness (kewajaran) menjadi spirit dalam praktek manajemen
risiko mengacu pada pendekatan proses manajemen risiko pada ISO 31000 yang
di dalamnya terdapat tahapan komunikasi dan konsultasi, penetapan konteks,
identifikasi risiko, analisa risiko, evaluasi risiko, penanganan risiko dan peninjauan
serta pemantauan secara berkesinambungan terhadap risiko.

Direksi IPC dalam pengambilan keputusan/tindakan telah mempertimbangkan


risiko usaha. Hal ini tercermin dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran /
Pendapatan (RKAP) dengan justifikasi analisa risiko. Direksi telah menyampaikan
laporan profil manajemen risiko dan penanganannya bersamaan dengan laporan
berkala perusahaan pada setiap triwulan kepada Dewan Komisaris sebagai
perwakilan pemegang saham c,q Komite Manajemen Risiko. Dari hasil identifikasi
risiko di Kantor Pusat dan seluruh Cabang Pelabuhan / Unit kerja / Satuan Kerja
pada tahun 2012, IPC mencatat adanya 1.680 risiko dalam Risk Register korporat.

Direksi memandang perlu dilakukan upaya penyempurnaan sistem manajemen


risiko yang dibangun secara swakelola dan diterapkan oleh IPC sejak tahun 2005
dengan maksud untuk membentuk Sistem Manajemen Risiko dengan standar ISO
31000 yang lebih efektif, tanggap dan cepat merespon perubahan strategi dan
tujuan perusahaan. Untuk mewujudkan hal tersebut Direksi IPC mengambil
langkah strategis yakni kebijakan investasi non fisik tahun 2012 berupa Pekerjaan
Konsultansi Pembangunan Enterprise Risk Management (ERM).

2
BAB 1
PENDAHULUAN

a) Latar Belakang
1. Penerapan Manajemen Risiko Sebagai Persyaratan GCG
Penerapan manajemen risiko di PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) yang selanjutnya
dalam makalah ini disebut dengan nama IPC dimulai sejak tahun 2005 dengan
ditetapkannya Surat Keputusan Direksi Nomor : HK. 56/3/19/PI.II-05 tentang
Penerapan Sistem Manajemen Risiko Di Lingkungan PT. (Persero) Pelabuhan
Indonesia pada tanggal 6 Juni 2005.
Dasar dari penerapan manajemen risiko tersebut adalah Keputusan Menteri BUMN
Nomor KEP-117/M-MBU/2002 tentang Penerapan Praktek Good Corporate
Governance Pada Badan Usaha Milik Negara pada tanggal 31 Juli 2002. Keputusan
Menteri tersebut mengalami penyesuaian dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri
BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang
Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara pada tanggal 1
Agustus 2011, yang kemudian kembali mengalami penyesuaian dengan terbitnya
Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-09/MBU/2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor PER-01/MBU/2011 tentang
Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada
Badan Usaha Milik Negara pada tanggal 6 Juli 2012.
Dalam Keputusan Menteri BUMN dimaksud, pasal-pasal yang terkait dengan
kewajiban penerapan manajemen risiko adalah :
Bagian Keenam
Manajemen Risiko (Risk Management)
Pasal 25
(1) Direksi dalam setiap pengambilan keputusan/tindakan, harus mempertimbangkan
risiko usaha.
(2) Direksi wajib membangun dan melaksanakan program manajemen risiko
korporasi secara terpadu yang merupakan bagian dari pelaksanaan program GCG.
(3) Pelaksanaan program manajemen risiko dapat dilakukan, dengan:
a. Membentuk unit kerja tersendiri yang ada di bawah Direksi; atau
b. Memberi penugasan kepada unit kerja yang ada dan relevan untuk
menjalankan fungsi manajemen risiko.

3
(4) Direksi wajib menyampaikan laporan profil manajemen risiko dan
penanganannya bersamaan dengan laporan berkala perusahaan.
Bagian Ketujuh
Sistem Pengendalian Intern (Internal Control System)
Pasal 26
(1) Direksi harus menetapkan suatu sistem pengendalian intern yang efektif untuk
mengamankan investasi dan aset perusahaan.
(2) Sistem pengendalian intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1), antara lain
mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Lingkungan pengendalian intern dalam perusahaan yang dilaksanakan dengan
disiplin dan terstruktur, yang terdiri dari:
1) Integritas, nilai etika dan kompetensi karyawan;
2) Filosofi dan gaya manajemen;
3) Cara yang ditempuh manajemen dalam melaksanakan kewenangan dan
tanggung jawabnya;
4) Pengorganisasian dan pengembangan sumber daya manusia; dan
5) Perhatian dan arahan yang dilakukan oleh Direksi.
b. Pengkajian terhadap pengelolaan risiko usaha (risk assessment), yaitu suatu
proses untuk mengidentifikasi, menganalisis, menilai pengelolaan risiko yang
relevan.
c. Aktivitas pengendalian, yaitu tindakan-tindakan yang dilakukan dalam suatu
proses pengendalian terhadap kegiatan perusahaan pada setiap tingkat dan
unit dalam struktur organisasi BUMN, antara lain mengenai kewenangan,
otorisasi, verifikasi, rekonsiliasi, penilaian atas prestasi kerja, pembagian
tugas, dan keamanan terhadap aset perusahaan.
d. Sistem informasi dan komunikasi, yaitu suatu proses penyajian laporan
mengenai kegiatan operasional, finansial, serta ketaatan dan kepatuhan
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan oleh BUMN.
e. Monitoring, yaitu proses penilaian terhadap kualitas sistem pengendalian
intern, termasuk fungsi internal audit pada setiap tingkat dan unit dalam
struktur organisasi BUMN, sehingga dapat dilaksanakan secara optimal.
Pasal 27
Direksi menyusun ketentuan yang mengatur mekanisme pelaporan atas dugaan
penyimpangan pada BUMN yang bersangkutan.
4
Bagian Kedelapan
Pengawasan Intern
Pasal 28
(1) Direksi wajib menyelenggarakan pengawasan intern.
(2) Pengawasan intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan, dengan:
a. Membentuk Satuan Pengawasan Intern; dan
b. Membuat Piagam Pengawasan Intern.
(3) Satuan Pengawasan Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dipimpin
oleh seorang kepala yang diangkat dan diberhentikan oleh Direktur Utama
berdasarkan mekanisme internal perusahaan dengan persetujuan Dewan
Komisaris/Dewan Pengawas.
(4) Fungsi pengawasan intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah:
a. Evaluasi atas efektifitas pelaksanaan pengendalian intern, manajemen risiko,
dan proses tata kelola perusahaan, sesuai dengan peraturan perundang-
undangan dan kebijakan perusahaan;
b. Pemeriksaan dan penilaian atas efisiensi dan efektifitas di bidang keuangan,
operasional, sumber daya manusia, teknologi informasi, dan kegiatan lainnya;
(5) Direksi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan fungsi pengawasan intern
secara periodik kepada Dewan Komisaris/Dewan Pengawas.
(6) Direksi wajib menjaga dan mengevaluasi kualitas fungsi pengawasan intern di
perusahaan.
2. UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran
UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran menjadi alasan pentingnya praktek
GCG melalui implementasi Manajemen Risiko IPC. Undang - undang hasil revisi
UU No. 212/1992 ini akan membawa dampak perubahan yang cukup signifikan
bagi perjalanan IPC. Sebab dalam hal kepelabuhanan, UU No 17 tahun 2008
memberikan peluang kepada pihak swasta untuk menjadi operator yang juga
disejajarkan dengan IPC. Disebutkan dalam pasal kepelabuhanan UU Pelayaran
ini bahwa yang menjadi operator adalah BUP (Badan Usaha Pelabuhan) dan
dibawah kendali Badan Otoritas Pelabuhan bentukan Departemen Perhubungan.
Dengan adanya potensi kompetisi di bidang kepelabuhanan inilah, kebutuhan IPC
akan pelaksanaan GCG dengan implementasi Manajemen Risiko yang sistematis
dan terukur semakin nyata adanya.

5
b) Tujuan
Tujuan dari penerapan GCG dalam perspektif risiko oleh IPC adalah untuk
meningkatkan kepercayaan stakeholders kepada perusahaan dengan memperkecil
kerugian yang akan timbul (potential loss) melalui penerapan sistem manajemen risiko
secara konsisten, berkesinambungan dan didukung profesionalisme, sumber daya serta
sistem informasi yang handal atas seluruh risiko yang timbul akibat kegiatan
perusahaan.
c) Sasaran
Sasaran yang ingin dicapai dari penerapan GCG dalam perspektif risiko oleh IPC
adalah :
1. Teridentifikasinya risiko yang melekat pada setiap kegiatan baik operasional,
penunjang maupun investasi dalam perusahaan ;
2. Ketepatan keputusan penanganan atas risiko yang telah teridentifikasi disertai
dengan pertimbangan manfaat biayanya ;
3. Tercapainya tujuan perusahaan dengan dukungan pengelolaan risiko yang
sistematis dan selaras dengan prinsip-prinsip GCG (transparency, accountability,
responsibility, independency, fairness) ;
4. Terciptanya budaya risiko dalam perusahaan yang ditandai dengan kepedulian
setiap pemangku kepentingan terhadap risiko yang mungkin muncul dalam setiap
aktivitas perusahaan yang dijalankan.
d) Manfaat
Manfaat dari penerapan manajemen risiko dalam rangka mewujudkan tata kelola GCG
oleh IPC adalah sebagai berikut :
1. Menghindarkan IPC dari potensi kerugian yang mungkin timbul karena terjadinya
risiko usaha ;
2. Meningkatkan fungsi pengendalian internal IPC ;
3. Meningkatkan efisiensi biaya dan peningkatan pendapatan bagi IPC ;
4. Meningkatkan produktivitas IPC dengan penciptaan efektivitas hasil dari proses
bisnis kepelabuhanan dalam rangka meningkatkan kepuasan pelanggan IPC;
5. Mencegah terjadinya musibah yang merugikan IPC dan atau mengurangi dampak
dari bencana / disaster yang mungkin timbul ;
6. Meningkatkan akurasi keputusan yang diambil oleh manajemen IPC dan
mengungkapkan potensi tidak tercapainya sasaran dari keputusan yang diambil ;
7. Mendukung proses pencapaian target dari Key Performance Indicators (KPI) IPC ;

6
8. Mengkomunikasikan profil risiko dari suatu aktivitas yang menjadi objek kajian
risiko kepada pihak – pihak yang berkepentingan ;
9. Memudahkan penyusunan prioritas anggaran dengan mempertimbangkan tingkat
risiko dan biaya yang dibutuhkan untuk menurunkan tingkat risiko tersebut.

7
BAB 2
PENERAPAN MANAJEMEN RISIKO IPC DALAM RANGKA PRAKTEK GCG

a) Kebijakan Manajemen Risiko IPC


Kebijakan manajemen risiko IPC adalah meningkatkan kepercayaan stakeholder
kepada perusahaan dengan memperkecil kerugian yang akan timbul (potential loss)
melalui penerapan sistem manajemen risiko secara konsisten, berkesinambungan dan
didukung profesionalisme, sumber daya serta sistem informasi yang handal atas
seluruh potensi risiko yang timbul akibat kegiatan perusahaan.
IPC dalam menjalankan usahanya harus mempertimbangkan risiko yang akan
dihadapi serta menetapkan cara-cara menangani risiko dengan memadai sehingga
kerugian yang akan timbul dapat diperkecil.
IPC menerapkan suatu proses manajemen dalam menghadapi risiko yang diakibatkan
terjadinya bencana alam atau sejenisnya dilingkungan unit kerjanya. Proses yang
menggambarkan secara sistematik identifikasi kerugian, analisa tingkat keparahan
kerusakan dan mekanisme penanganan paska bencana serta kesesuaian kemampuan
keuangan perusahaan.
Direksi dengan persetujuan Dewan Komisaris menetapkan risk tolerance, risk appetite
dan batasan minimal risiko yang akan diasuransikan. Penetapan dilakukan pada awal
setiap tahun. Kerugian dibawah batas minimal ketetapan Direksi akan ditanggung
perusahaan langsung sedangkan kerugian diatas nilai tersebut akan dipertimbangkan
untuk diasuransikan. Ketentuan nilai maksimum kerugian-kerugian yang tidak
diasuransikan akan ditinjau dan diterbitkan ulang setiap awal tahun berjalan oleh
Direktorat Keuangan dan sebagai bahan untuk peninjauan kembali oleh Dewan
Komisaris.
Pemilik Risiko (risk owner) bertanggung jawab untuk mengelola risiko pada unit kerja
yang menjadi tanggung jawabnya. Setiap pimpinan / manager bertanggung jawab atas
pelaksanaan pedoman, prosedur dan instruksi kerja risiko dibawah kendalinya dan
selalu berkoordinasi dengan Subdit Manajemen Risiko dan Jaminan Mutu, sedangkan
Biro Hukum bertanggung jawab untuk seluruh isi kontrak-kontrak atau Surat
Perikatan dengan Pihak Kedua.
IPC melindungi karyawan, pengguna jasa kepelabuhanan atau anggota masyarakat
yang secara hukum dapat diterima keberadaannya dan merupakan tanggung jawab

8
perusahaan, terhadap kerugian akibat kecelakaan kerja yang tidak dapat dihindari
dalam keadaan normal
b) Komitmen Manajemen IPC Dalam Pengelolaan Risiko
IPC telah menerapkan sistem Manajemen Risiko dengan pembagian tanggung
jawab sebagai berikut :
1. Komisaris bertanggung jawab atas pengawasan dan memberikan saran dan
nasehat terhadap Direksi atau Manajemen. Komisaris juga bertanggung jawab
untuk memastikan bahwa Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) dan
Rencana Kerja Anggaran Perusahaan (RKAP) telah memuat Enterprise Risk
Management (ERM) terhadap berbagai risiko perusahaan, Komisaris harus
berperan dalam merumuskan nilai-nilai integritas dan etika yang diharapkan
dan memastikannya hal tersebut diimplementasikan di lingkungan IPC. Dalam
pelaksanaan pengawasan, Komisaris dapat membentuk Komite Audit dan atau
Komite Manajemen Risiko. Bersama - sama dengan Direksi menetapkan Risk
Tolerance, Risk Appetite, Batas minimal risiko yang diasuransikan perusahaan,
Kriteria Tinggi dan Rendahnya dampak dan kemungkinan risiko yang akan
dijadikan rujukan dalam pemetaan risiko di seluruh perusahaan.
2. Manajemen eksekutif untuk Kantor Pusat meliputi, Direktur Utama, para
anggota Direksi lainnya, para Kepala Biro, dan para Senior Manager.
Manajemen eksekutif paling bertanggung jawab untuk membangun,
menerapkan, memelihara dan meningkatkan Sistem Manajemen Risiko serta
menjunjung tinggi nilai-nilai integritas dan etika yang telah dirumuskan oleh
Komisaris. Tanggung jawab Manajemen eksekutif terdiri dari perumusan
kebijakan Manajemen Risiko, fokus kepada risiko, penyusunan pedoman
(manual) Sistem Manajemen Risiko, penetapan struktur organisasi,
pemberian/penetapan wewenang tanggung jawab (job description),
penyelenggaraan tinjauan Sistem Manajemen Risiko secara berkala,
menyediakan dan meningkatkan sumber daya termasuk sumber daya keuangan,
personil-personil kunci untuk penerapan pemeliharaan dan peningkatan Sistem
Manajemen Risiko termasuk pelaporan atau pengungkapan risiko, serta
mengkomunikasikan semua risiko yang akan dihadapi oleh perusahaan kepada
pihak yang memerlukan. Kepala Satuan Pengawas Intern bertanggung jawab
atas pelaksanaan audit berbasis risiko di lingkungan IPC. Manajemen Eksekutif
untuk Kantor Cabang meliputi General Manager, Deputy General Manager,

9
para Manager dan para Asisten General Manager bertanggung jawab atas
penerapan Sistem Manajemen Risiko secara efektif di lingkungan yang menjadi
tanggung jawabnya.
3. Satuan Manajemen Risiko (SMR)
a) Dalam tahap pembangunan Sistem Manajemen Risiko, SMR membantu
Direksi dalam penyusunan Kebijakan Risiko, Pedoman Risiko, Prosedur
Risiko dan Instruksi Kerja Risiko ;
b) Dalam tahap implementasi Sistem Manajemen Risiko membantu Direksi
dalam pelaksanaan identifikasi risiko, pemetaan risiko dan menyiapkan
bahan-bahan untuk kepentingan review Manajemen Risiko.
4. Subdit Manajemen Risiko dan Jaminan Mutu
a) Bertanggung jawab dalam pelaksanaan koordinasi dengan manager-
manager lain dalam implementasi dan mengupayakan Manajemen Risiko
berjalan efektif secara menyeluruh ;
b) Memantau perkembangan penerapan Manajemen Risiko tingkat korporat
dan membantu unit lain dalam penyusunan laporan informasi mengenai
risiko yang relevan kepada Direksi, kepada Komite Manajemen Risiko dan
kepada pihak lain yang membutuhkan ;
c) Memastikan Sistem Manajemen Risiko terimplementasi secara efektif di
lingkungan IPC.
5. Karyawan
Para karyawan bertanggung jawab untuk mentaati prosedur-prosedur, dan
instruksi kerja-instruksi kerja yang terkait dengan pelaksanaan tugas sehari-hari.
d) Tahapan Proses Manajemen Risiko IPC
Secara umum penerapan prinsip-prinsip GCG yaitu transparansi, akuntabilitas,
responsibilitas, independensi dan fairness (kewajaran) menjadi spirit dalam praktek
manajemen risiko di IPC mengacu pada pendekatan proses manajemen risiko pada
ISO 31000 yang di dalamnya terdapat tahapan komunikasi dan konsultasi, penetapan
konteks, identifikasi risiko, analisa risiko, evaluasi risiko, penanganan risiko dan
peninjauan serta pemantauan secara berkesinambungan terhadap risiko.

10
2. Menetapkan Konteks

7. Monitoring & Review


Penilaian Risiko

1. Komunikasi &
3. Identifikasi Risiko

Konsultasi 4. Analisa Risiko

5. Evaluasi Risiko

6. Penanganan Risiko

Gb. 1 Proses Manajemen Risiko ISO 31000

1. Komunikasi dan Konsultasi Yang Transparan


Komunikasi risiko adalah proses interaktif dalam hal tukar menukar informasi
mengenai risiko dan pengelolaannya. Sedangkan konsultasi dimaksud dapat
dijelaskan sebagai proses komunikasi antara perusahaan dengan pemangku
kepentingan (stakeholder) mengenai hal - hal tertentu terkait dengan pengambilan
keputusan dalam suatu masalah. Komunikasi dan konsultasi dengan stakeholder
perlu dilakukan secara transparan untuk menyelaraskan persepsi terhadap risiko
yang bervariasi karena perbedaan nilai, kebutuhan, asumsi, konsep dan perhatian
para stakeholder tersebut.
Komunikasi dan konsultasi internal dilakukan di dalam perusahaan antara Subdit.
Manajemen Risiko dan Jaminan Mutu (untuk tingkat Cabang / Unit / Satker /
Anak Perusahaan : Divisi Pengendalian Kinerja & PFSO atau bagian yang
ditunjuk untuk menangani manajemen risiko) dengan unit kerja terkait sebagai
pemilik risiko dan atau unit kerja satu dengan yang lainnya.
Adapun komunikasi dan konsultasi eksternal dilakukan antara perusahaan dengan
stakeholder eksternal dengan didampingi oleh Subdit. Manajemen Risiko dan
Jaminan Mutu (untuk tingkat Cabang / Unit / Satker / Anak Perusahaan : Divisi
Pengendalian Kinerja & PFSO atau bagian yang ditunjuk untuk menangani
manajemen risiko)

11
2. Penetapan Konteks Dan Kriteria Risiko Yang Akuntabel
Konteks atau batasan risiko serta kriterianya ditetapkan agar dalam menganalisa
risiko terfokus pada objek yang akan dianalisa risikonya. Pada penetapan konteks
harus memuat objek yang akan diidentifikasi risikonya, latar belakang objek,
penanggungjawab risiko, major driver (pemicu utama), maksud dan tujuan objek,
lokasi, organisasi, unit kerja, proses usaha atau prosedur yang terkait dengan
pencapaian tujuan atau sasaran objek dan informasi penting lainnya yang relevan.
Perusahaan menetapkan kriteria risiko dengan menetapkan tingkat kemungkinan
dan tingkat dampak dimana keduanya akan menentukan tingkat risiko (besar atau
kecilnya risiko). Tingkat kemungkinan dan tingkat dampak risiko tersebut
dituangkan ke dalam matriks / peta risiko sebagai dasar pengambilan keputusan
risiko mana yang perlu didahulukan untuk ditangani dan menentukan strategi
penanganan risiko, yaitu apakah akan mengurangi kemungkinan atau dampak dari
risiko, atau keduanya.
3. Identifikasi Risiko Secara Rinci Berdasarkan Informasi Terbaik
Tujuan dari identifikasi risiko adalah untuk mengetahui risiko yang akan terjadi
agar dapat mengelola risiko secara tepat. Dalam mengidentifikasi risiko agar
dibuat daftar risiko yang akan terjadi termasuk perkiraan dampak dan
kemungkinan terjadinya risiko pada kegiatan atau objek yang tercantum dalam
konteks. Dari daftar risiko hasil identifikasi perlu dicermati agar risiko - risiko
yang kejadiannya saling berpengaruh salah satu atau lebih dapat di eliminir
risikonya. Daftar risiko disusun dengan mengacu kepada klasifikasi risiko yang
telah ditetapkan berdasarkan proses bisnis perusahaan.
4. Analisa Risiko Yang Akurat
Analisa risiko terdiri dari pengukuran dan pemetaan risiko. Tujuan dari analisa
risiko adalah untuk mengetahui tingkat risiko yang akan terjadi sehingga diperoleh
terlebih dahulu informasi tentang risiko mana yang perlu mendapatkan prioritas
penanganan mengingat keterbatasan sumber daya dan kemampuan perusahaan.
Pengukuran risiko dilaksanakan dengan menentukan berapa besar tingkat
kemungkinan dan dampak dari risiko yang teridentifikasi. Pernyataan besar atau
kecilnya tingkat kemungkinan dan dampak risiko ditetapkan dalam tabel tingkat
kemungkinan dan dampak risiko yang mengacu pada pendapatan rata - rata
Cabang / Unit Kerja / Satker / Anak Perusahaan pada tahun berjalan.

12
5. Evaluasi Risiko
Evaluasi risiko adalah proses untuk membandingkan hasil analisa risiko dengan
kriteria risiko dan kemudian ditentukan apakah peringkat risiko dapat diterima
atau harus ditindaklanjuti (dilakukan tindakan preventive & mitigasi/ dibuat
rencana penanganan risiko). Untuk risiko yang harus ditindaklanjuti ditentukan
pula risiko mana yang menjadi prioritas penanganan berdasarkan tingkat
risikonya. Cabang melaporkan perkembangan tindak lanjut atas risiko tersebut
kepada Direktorat Operasi c.q. SM. Manajemen Risiko dan Jaminan Mutu.
Laporan atas pengelolaan risiko tinggi dan sangat tinggi baik untuk risiko
operasional, non operasional dan investasi disusun oleh SM. Manajemen Risiko
dan Jaminan Mutu untuk selanjutnya disampaikan kepada Dewan Direksi dan
Dewan Komisaris.
6. Penanganan Risiko
Pada dasarnya penanganan risiko dilakukan dengan pilihan tindakan mengurangi
tingkat kemungkinan risiko atau mengurangi tingkat dampak risiko. Atau bahkan
apabila diperlukan, perusahaan yang memiliki sumber daya memadai akan
melakukan kedua-duanya. Peta risiko yang sebelumnya telah dibuat dapat
menggambarkan bagaimana risiko tersebut seharusnya ditangani.

13
Sangat
5 Besar

Kw. I Kw. II
Indeks Dampak (ID)
4 Besar

3 Sedang

2 Kecil
Kw. III Kw. IV
Sangat
1
Kecil

Sangat Mungkin Hampir


Jarang Mungkin
Jarang Sekali Pasti

1 2 3 4 5

Indeks Kemungkinan (IK)

Gb. 2 Pembagian Kwadran Pada Peta Risiko IPC

a. Tindakan Pengurangan Kemungkinan / Pencegahan Risiko (Preventive)

Kw. I Kw. II
Tingkat Dampak

Besar

Preventive

Kw. III Kw. IV


Kecil

Jarang Mungkin

Tingkat Kemungkinan
Gb. 3 Peta Strategi Penanganan Risiko Preventive IPC

Risiko yang berada pada kwadran II dan IV adalah risiko yang seharusnya
ditangani dengan strategi pencegahan risiko (preventive) dengan tujuan
menurunkan tingkat kemungkinannya. Dengan mengurangi tingkat
kemungkinan risiko diharapkan posisi risiko dapat digeser ke kwadran I

14
dan III. Tindakan pencegahan risiko untuk mengurangi tingkat kemungkinan
biasa dilakukan dengan upaya di antaranya sebagai berikut :
1) Menghindari risiko
Dilakukan dengan menolak untuk memiliki, menerima, atau
melaksanakan kegiatan yang mengandung risiko walau hanya sementara.
2) Menghilangkan sumber risiko
Dilakukan dengan cara menghentikan kegiatan setelah diketahui
mengandung risiko.
3) Merubah sifat atau tingkat kemungkinan terjadinya risiko
Dilakukan dengan cara menyerahkan kembali risiko yang sudah terlanjur
diterima.
4) Mengendalikan faktor pemicu / penyebab risiko.
Tindakan pengendalian faktor pemicu / penyebab terjadinya risiko
dilakukan dengan cara – cara sebagai berikut :
a. Membuat atau memperbaiki sistem dan prosedur ;
b. Mengembangkan sumber daya manusia ;
c. Melakukan investasi atau perbaikan fasilitas fisik (pendekatan
engineering).
b. Tindakan Pengurangan Dampak Risiko (Mitigasi)
Tingkat Dampak

Besar

Kw. I Kw. II
Mitigasi
Kecil

Kw. III Kw. IV

Jarang Mungkin

Tingkat Kemungkinan

Gb. 4 Peta Strategi Penanganan Risiko Mitigasi IPC

Risiko pada kwadran I dan II adalah risiko yang seharusnya ditangani


dengan strategi pengurangan dampak risiko (mitigasi) dengan tujuan

15
menurunkan tingkat dampaknya. Dengan mengurangi tingkat dampak risiko
diharapkan posisi risiko dapat digeser ke kwadran III dan IV.
Tindakan pengurangan dampak terjadinya risiko (mitigasi) dapat dilakukan
dengan cara – cara sebagai berikut :
1) Pemisahan / Diversifikasi
Adalah penempatan aset di beberapa tempat (misal : risiko bangkrut dalam
investasi dapat dikurangi apabila melakukan investasi di beberapa tempat).
2) Penggabungan (Merger / Kombinasi / Pooling)
Adalah strategi pengurangan dampak risiko dengan cara penggabungan
beberapa aset perusahaan agar untuk meningkatkan sumber daya
perusahaan dalam menghadapi dampak dari risiko tertentu.
3) Pemindahan / Pengalihan Risiko
Pengalihan risiko kepada pihak lain sehingga apabila terjadi kerugian,
pihak lainlah yang menanggung kerugiannya (contoh : asuransi, leasing,
outsourcing).
c. Tindakan Penerimaan Risiko (Risk Acceptance)
Memilih untuk mempertahankan tingkat risiko yang ada ( penerimaan /
penyerapan risiko ) sering dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut :
1) Perusahaan menilai bahwa tindakan tersebut lebih ekonomis dan
menguntungkan bagi perusahaan daripada melakukan tindakan
penanganan risiko yang membutuhkan biaya lebih besar.
2) Pilihan penanganan risiko yang lain memang tidak tersedia secara
memadai untuk menangani risiko.
3) Risiko yang dihadapi termasuk risiko dengan tingkat rendah ( masuk
dalam toleransi risiko ) yang tidak mempengaruhi pencapaian tujuan
perusahaan secara signifikan. Risiko ini dapat juga berupa risiko sisa
setelah dilakukan penanganan risiko sebelumnya.
Penyusunan rencana untuk menangani risiko dari setiap sumber risiko meliputi
tindakan pengurangan probabilitas / kemungkinan, pengurangan dampak / akibat
risiko , memindahkan risiko (risk transfer) kepada pihak lain, menghindari risiko
dan atau mempertahankan tingkat risiko agar tidak berkembang menjadi lebih
tinggi.
Rencana penanganan risiko memuat jenis kegiatan, rencana waktu kegiatan,
penanggung jawab kegiatan dan rencana biaya yang diperlukan. Rencana

16
penanganan risiko tersebut selanjutnya didistribusikan kepada pelaksana yang
bertugas untuk direalisasikan. Apabila diperlukan, Manager terkait / Asisten
Senior Manager dapat memberikan penjelasan secukupnya kepada pelaksana yang
bersangkutan
7. Pemantauan dan Peninjauan Secara Berkala
Pemantauan dan peninjauan secara terus menerus terhadap pelaksanaan
penanganan risiko bermaksud untuk mengetahui kemajuan atau progresnya secara
rinci dan hambatan yang terjadi sehingga dapat diambil langkah langkah yang
memadai. Pemantauan dan peninjauan risiko merupakan tanggung jawab
Manager/Asisten Manager dari divisi terkait. Setiap progres dan hambatan yang
terjadi serta langkah yang diambil harus didokumentasikan guna pelaporan dan
sebagai bukti (catatan risiko) pelaksanaan penanganan risiko.

e) Ruang Lingkup Penerapan Manajemen Risiko IPC


Pengelolaan risiko dilaksanakan pada kegiatan operasional, non operasional dan
usulan investasi di seluruh Cabang Pelabuhan, Unit Kerja dan Satuan Kerja.
Objek risiko operasional dimaksud mencakup kegiatan yang berkaitan langsung
dengan proses bisnis pokok kepelabuhanan yang terukur dalam Sasaran Mutu dan Key
Performance Indicators (KPI) tahun berjalan dengan sasaran objek risiko sebagai
berikut :
1) Pelayanan Pemanduan Kapal
a. Keselamatan Pemanduan
b. Waiting Time (WT)
c. Postpone Time (PT)
d. Approaching Time (AT)
e. Utilisasi Kapal Tunda
f. Utilisasi Kapal Pandu
g. Availability Kapal Tunda
h. Availability Kapal Pandu
i. Availability Kapal Kepil
2) Perencanaan & Operasi Pelayanan Kapal
a. Kesiapan Pelayanan Air Kapal
b. Effective Time (ET) / Berthing Time (BT)
c. Ketepatan Tambat Kapal Pelanggan

17
d. Ketepatan Alokasi Waktu Tambat (BT)
e. Berth Occupancy Ratio (BOR)
f. Postpone Time (PT)
3) Pelayanan Barang Non Petikemas
a. Produktivitas B/M General Cargo (GC)
b. Produktivitas B/M Bag Cargo (BC)
c. Produktivitas B/M Unitized Cargo (UC)
d. Produktivitas B/M Curah Cair (CC)
e. Produktivitas B/M Curah Kering (CK)
f. Tk. kerusakan / kehilangan / kesalahan barang di gudang
g. Tk. Kerusakan / kehilangan / kesalahan barang di lapangan
h. Tk. kerusakan / kehilangan / kesalahan dalam pelaksanaan bongkar muat
barang
i. Availability Alat B/M (Forklift)
j. Availability Alat B/M (Excavator)
k. Availability Alat B/M (Mobile Crane)
l. Availability Alat B/M (Pipa Curah Cair)
m. Availability Alat B/M (Side Loader)
n. Availability Alat B/M (Head Truck)
o. Availability Alat B/M (Tronton)
p. Availability Alat B/M (Chassis)
q. Availability Alat B/M (Conveyor Belt)
4) Pelayanan Petikemas
a. Yard Occupancy Ratio (YOR)
b. Produktivitas B/M Petikemas
c. Produktivitas Receiving Petikemas
d. Produktivitas Delivery Petikemas
e. Tk. Kerusakan / kehilangan / kesalahan dalam pelaksanaan bongkar muat
petikemas
f. Tk. Kerusakan / kehilangan / kesalahan dalam pelaksanaan receiving / delivery
petikemas
g. Availability Alat B/M (Container Crane)
h. Availability Alat B/M (Mobile Crane)
i. Availability Alat B/M (Top Loader)

18
j. Availability Alat B/M (Side Loader)
k. Availability Alat B/M (Transtainer/RTG)
l. Availability Alat B/M (Reach Stacker)
m. Availability Alat B/M (Head Truck)
n. Availability Alat B/M (Chassis)
5) Pelayanan Rupa rupa Usaha
a. Produktivitas Pas Pelabuhan
b. Waktu Penyelesaian Administrasi Pelayanan Pas Pelabuhan
c. Kesiapan Fasilitas Terminal Penumpang
d. Waktu Pelayanan Terminal Penumpang
e. Keselamatan Penumpang
f. Keamanan & Ketertiban Terminal Penumpang
g. Waktu Penyelesaian Administrasi Persewaan Bangunan
h. Waktu Penyeleisaian Administrasi Persewaan Tanah
i. Utilisasi Bangunan
j. Utilisasi Tanah
6) Dukungan Teknik
a. Availability Instalasi Listrik
b. Availability Alat Pembersih Limbah / Sampah
c. Availability Instalasi Air
d. Availability Dermaga
e. Availability Lapangan
f. Availability Kolam
g. Availability Alur
h. Availability Gudang
i. Availability Jaringan Komputer On - Line
Sedangkan objek risiko non operasional adalah kegiatan manajemen secara umum
yang mendukung proses bisnis antara lain sebagai berikut :
1) Pemasaran & Pelayanan Pelanggan
a. Penjaringan Komplain Pelanggan Secara Optimal
b. Ketepatan Waktu Penyelesaian Komplain Pelanggan
c. Pertumbuhan Pelanggan Baru
d. Pemenuhan SLA/SLG (terhadap harapan pelanggan)
2) Pengelolaan SDM

19
a. Ketersediaan SDM
b. Kompetensi SDM
c. Penerapan Reward & Punishment
d. Efektivitas Biaya Pegawai
3) Pengendalian Kinerja & ISPS Code
a. Pelaksanaan Assesstment/Review/ Audit Thd Penerapan Sispro Pelayanan
Sesuai Prioritas
b. Tindak Lanjut Hasil Temuan Audit Mutu
c. Tindak Lanjut Hasil Temuan Audit ISPS Code
d. Tindak Lanjut Hasil Temuan Audit SMK3
e. Availability Mobil unit Pemadam Kebakaran
f. Injury Frequency Rate (IFR) / Tingkat Frekuensi Kecelakaan Kerja
g. Injury Saferity Rate (ISR) / Tingkat Dampak Kecelakaan Kerja
4) Pengelolaan Keuangan
a. Return On Capital Employed (ROCE)
b. Operating Ratio
c. Efektivitas Cash Management
d. Kolektibilitas Piutang Usaha
e. Tingkat Penyaluran Program Kemitraan
f. Kolektibilitas Pengembalian Pinjaman Program Kemitraan
g. Efektifitas Pengendalian Biaya
h. Pertumbuhan Pendapatan Usaha
Adapun usulan investasi yang menjadi objek risiko adalah semua usulan investasi baik
murni maupun multiyears yang diusulkan oleh Cabang Pelabuhan serta Kantor Pusat.
f) Mekanisme Pencapaian
Rangkaian mekanisme pencapaian penerapan GCG dalam perspektif risiko yang
dilaksanakan oleh PT. Pelabuhan Indonesia II (Persero) adalah sebagai berikut :
1. Setiap tahun perusahaan menyusun laporan analisa risiko beserta rencana
penanganan risiko terhadap risiko – risiko pada kegiatan operasional, non
operasional, kerjasama usaha, pengembangan usaha, usulan investasi, kebijakan
strategis atau kegiatan lain yang berpotensi menimbulkan kerugian / menghambat
tujuan perusahaan.

20
2. Laporan sebagaimana disebutkan butir (1) disusun sebelum atau bersamaan dengan
penyampaian usulan RKAP. Untuk laporan analisa risiko usulan investasi dapat
diperbaharui seiring adanya perubahan usulan investasi terkait.
3. Pelaksanaan penanganan risiko secara berkala (Laporan Monitoring) harus
dilaporkan kepada Direktorat Operasi c.q. Subdit. Manajemen Risiko dan Jaminan
Mutu setiap triwulan pada minggu ke 2 dalam tahun berjalan.
4. Penyimpanan berkas laporan merupakan tanggung jawab para Manager terkait /
Asisten Senior Manager, tembusan kepada Asisten GM. Pengendalian Kinerja /
Senior Manager Manajemen Risiko dan Jaminan Mutu.
5. Penyiapan pelaporan tingkat Cabang kepada Direksi merupakan tugas Asisten GM.
Pengendalian Kinerja & PFSO / Advisor Pengendalian Kinerja & PFSO yang
berkoordinasi dengan seluruh Manager.
6. Penyiapan pelaporan unit kerja / satker / anak perusahaan kepada Direksi
merupakan tugas pejabat yang ditunjuk oleh masing-masing pimpinan
berkoordinasi dengan seluruh Manager.
7. Penyiapan pelaporan tingkat direksi kepada Dewan Komisaris secara tahunan
merupakan tugas Senior Manager Manajemen Risiko dan Jaminan Mutu.

21
BAB 3
PENCAPAIAN IMPLEMENTASI MANAJEMEN RISIKO IPC
DALAM RANGKA PRAKTEK GOOD CORPORATE GOVERNANCE

Tolok ukur keberhasilan penerapan GCG dalam perspektif risiko adalah perbandingan
antara hasil yang dicapai yaitu realisasi pengelolaan risiko yang dijalankan dengan
ketentuan dalam Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan
Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate Governance) Pada Badan Usaha
Milik Negara pada tanggal 1 Agustus 2011 pasal 25 yang antara lain menyebutkan bahwa :
(1) Direksi dalam setiap pengambilan keputusan/tindakan, harus mempertimbangkan
risiko usaha.
(2) Direksi wajib membangun dan melaksanakan program manajemen risiko korporasi
secara terpadu yang merupakan bagian dari pelaksanaan program GCG.
(3) Pelaksanaan program manajemen risiko dapat dilakukan, dengan:
c. Membentuk unit kerja tersendiri yang ada di bawah Direksi; atau
d. Memberi penugasan kepada unit kerja yang ada dan relevan untuk menjalankan
fungsi manajemen risiko.
(4) Direksi wajib menyampaikan laporan profil manajemen risiko dan penanganannya
bersamaan dengan laporan berkala perusahaan.
Implementasi pasal 25 ayat (1) oleh IPC salah satunya tercermin dalam penyusunan
Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). Pencapaian target laba yang diperoleh
dari selisih target pendapatan dan biaya dalam RKAP dimaksud menjadi sasaran awal
identifikasi risiko yang dilaksanakan setiap tahun. Keputusan / tindakan manajemen yang
ditetapkan dalam RKAP pada tahun berjalan telah mempertimbangkan risiko usaha yang
akan dihadapi. Penetapan kebijakan, komitmen dan kerangka kerja manajemen risiko IPC
seperti dijelaskan pada bab (3) makalah ini menggambarkan bagaimana pasal 25 ayat (2)
dan (3) direalisasikan secara konkrit. Untuk menyajikan profil risiko sebagaimana tersebut
dalam Pasal 25 ayat (4), setiap tahun IPC menyusun laporan analisa risiko operasional, non
operasional dan investasi secara bersama-sama dengan melibatkan seluruh divisi pada
cabang terkait sebagai pemilik risiko. Keterlibatan pemilik risiko dalam penyusunan
identifikasi dan analisa risiko merupakan upaya mewujudkan prinsip manajemen risiko
yaitu penerapan manajemen risiko berdasarkan pada informasi terbaik yang tersedia
dimana salah satu sumber informasi dimaksud adalah pemilik risiko itu sendiri.

22
a) Implementasi Peraturan Menteri BUMN PER-01/MBU/2011 Pasal 25 ayat (1) :
Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) Berbasis Risiko

RKAP
Target Target
Pendapatan Target Biaya
+ Laba - 4

1
Analisa
Manfaat
Biaya

Proses Bisnis Proses Bisnis Proses Bisnis


3

Target Target Target


2

Risiko Risiko Risiko


3

Mitigasi Mitigasi Mitigasi


4

Biaya Biaya Biaya


Mitigasi

Keterangan : tanda merupakan penjelasan dari tanda panah ( ↓ )

Gb. 5 Model Penyusunan RKAP Berbasis Risiko

Model di atas ingin menjelaskan hubungan antara risiko dengan Rencana Kerja dan
Anggaran Perusahaan (RKAP), bukan merupakan suatu bagan alir
(flowchart) sehingga tidak menggambarkan adanya alur proses. Tanda panah tidak
menunjukkan urutan proses namun sebagai ilustrasi adanya hubungan antar item /
perihal yang hendak dijelaskan.

23
Penjelasan ( ) dari model dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Target pendapatan dalam RKAP (baca : tujuan perusahaan dalam 1 tahun)
diejawantahkan oleh proses bisnis yang menjadi mesin produksi pendapatan
IPC.
2. Masing-masing proses bisnis memiliki target baik target kinerja operasional
maupun kinerja keuangan. Dalam perjalanannya perusahaan sedikit banyak
akan menghadapi potensi hambatan yang dapat mempengaruhi hasil
pencapaian tujuan perusahaan yang disebut dengan risiko baik karena faktor
internal maupun eksternal.
3. Penanganan atas risiko (mitigasi) dibutuhkan agar perusahaan mampu
mencapai tujuan / target pendapatan secara optimal.
4. Seringkali mitigasi risiko membutuhkan biaya dalam pelaksanaannya. Biaya
atas penanganan risiko tersebut seyogyanya menjadi perhatian dan dituangkan
dalam rencana anggaran pada tahun berjalan setelah melalui mekanisme
analisa manfaat biaya (cost benefit analysis) secara komprehensif.
Dari hasil kajian risiko operasional dan non operasional IPC, diperoleh urutan risiko
yang menjadi prioritas dalam penanganannya. Penanganan atas risiko tersebut dapat
berupa program pelatihan, sosialisasi, perbaikan sistem dan prosedur, asuransi asset
maupun program investasi.
Program investasi sebagai salah satu upaya penanganan risiko tersebut menjadi bagian
dalam usulan program yang disampaikan dalam usulan RKAP perusahaan baik pada
level cabang maupun korporat.
Berikut ini disampaikan beberapa contoh program investasi dalam RKAP yang
berbasis risiko di cabang pelabuhan kelas utama dan kelas I :
Tabel 1 Contoh Program Investasi Berbasis Risiko
Cabang Risiko Program Investasi
No.
Pelabuhan Teridentifikasi Dalam RKAP Tahun 2012
1 Tanjung Risiko kehilangan aset karena Sertifikasi Tanah HPL,
Priok belum adanya sertifikat atas termasuk biaya BPHTP, biaya
tanah di Ancol Timur seluas pengukuran, biaya panitia
75.000 m2 pemeriksa tanah, biaya
pendaftaran hak dan biaya jasa
notaris

24
Cabang Risiko Program Investasi
No.
Pelabuhan Teridentifikasi Dalam RKAP Tahun 2012
2 Panjang Risiko terhambatnya kegiatan Perbaikan Berat Dermaga B
operasional bongkar muat di Berikut Pendalaman termasuk
dermaga B karena berkurangnya SID dan Supervisi
daya dukung struktur plat &
balok bawah dermaga yang
diakibatkan rusaknya beton
dermaga / korosif besi
berdasarkan rekomendasi
konsultan Survei Investigasi
Design (SID) Dermaga B tahun
2010
3 Palembang Risiko terhambatnya kegiatan Perbaikan Berat Lapangan
operasional penumpukan Petikemas Blok A berikut
petikemas karena permukaan Saluran, termasuk biaya desain
lantai lapangan / overlay tidak dan supervise
rata (bergelombang) akibat
konstruksi tanah dasar tidak
stabil
4 Pontianak Risiko terhambatnya Pengerukan Kolam Di Depan
penambatan kapal yang Dermaga 01 s/d Dermaga 08
mempunyai draft dalam / GT Cabang Pelabuhan Pontianak
besar karena tidak bisa melewati
kolam akibat tingkat
sedimentasi yang cukup tinggi
5 Teluk Risiko sulitnya kapal - kapal Pengerukan kolam Pelabuhan
Bayur berukuran besar untuk masuk ke Teluk Bayur termasuk SID dan
pelabuhan karena kolam supervisi
pelabuhan mengalami
pendangkalan

25
b) Implementasi Peraturan Menteri BUMN PER-01/MBU/2011 Pasal 25 ayat (2)
dan ayat (3) : Kebijakan dan Komitmen Manajemen Risiko IPC
--- sudah dijelaskan dalam Bab (3) makalah ini ---
c) Implementasi Peraturan Menteri BUMN PER-01/MBU/2011 Pasal 25 ayat (4) :
Profil Risiko IPC Tahun 2012 dan Penanganan Risiko Prioritas
Dalam rangka penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good Corporate
Governance), IPC telah melakukan kajian risiko atas kegiatan bisnis kepelabuhanan
yang mencakup objek risiko operasional, non operasional (penunjang) dan investasi
pada tahun 2012. Output dari kajian risiko dimaksud adalah profil risiko perusahaan
dan program kerja strategis serta ide perbaikan sebagai upaya penanganan atas risiko
teridentifikasi. Dari hasil identifikasi risiko di Kantor Pusat dan seluruh cabang
pelabuhan / unit kerja / satuan kerja pada tahun 2012 diperoleh Risk Register korporat
sebanyak 1.680 risiko, sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini :
Tabel 2 Risk Register IPC Tahun 2012
Risiko Risiko Non Risiko Total
No Cabang Pelabuhan
Operasional Operasional Investasi Risiko
1 Tanjung Priok 74 50 151 275
2 Panjang 71 25 31 127
3 Palembang 45 25 30 100
4 Teluk Bayur 24 18 24 66
5 Pontianak 48 27 110 185
6 Cirebon 43 42 59 144
7 Banten 22 24 84 130
8 Sunda Kelapa 24 24 15 63
9 Jambi 52 24 47 123
10 Bengkulu 43 27 65 135
11 Pangkal Balam 29 21 68 118
12 Tanjung Pandan 22 20 85 127
13 KIPP Bojonegara 0 0 7 7
14 Satker PPTPK 0 0 73 73
15 Kantor Pusat 0 0 7 7
Total 497 327 856 1680

26
Dari ratusan risiko operasional dan non operasional yang teridentifikasi, Subdit.
Manajemen Risiko dan Jaminan Mutu memandang beberapa risiko yang penting untuk
menjadi perhatian, antara lain :
1. Lamanya waktu tunggu kapal pelanggan untuk sandar di dermaga pelabuhan ;
2. Tidak tercapainya target produktivitas bongkar muat barang karena faktor
eksternal, misal : menunggu muatan, tidak siapnya armada truk pengangkut, dll ;
3. Terjadinya keterlambatan pelayanan pemanduan dari waktu yang telah ditetapkan;
4. Belum optimalnya pola kerja 24/7 (24 jam selama 7 hari kerja) yang disebabkan
oleh kebijakan pemerintah daerah, kebiasaan masyarakat setempat, dll sehingga
menghambat kinerja bongkar muat ;
5. Terjadinya kerusakan atas aset IPC baik fasilitas maupun alat yang dimiliki ;
6. Penempatan petikemas di cabang tertentu cenderung berpindah-pindah tanpa
didukung dengan peralatan dan petugas yang memadai untuk kemudahan
pencatatan lokasi terakhir petikemas ;
7. Kapal terlalu lama berada di tambatan karena curah hujan yang tinggi dan crane
kapal rusak (biasanya terjadi pada cabang yang belum memiliki alat bongkar muat
yang memadai sehingga harus menggunakan crane kapal) ;
8. Kecelakaan yang dialami petugas operasional pada saat melaksanakan pelayanan
di lapangan ;
9. Tidak optimalnya utilisasi alat bongkar muat karena keterbatasan jumlah operator
alat bongkar muat dengan keterampilan yang memadai ;
10. Kenaikan piutang usaha karena masih terdapat pelanggan yang belum masuk
program CMS (untuk piutang instansi pemerintah pembayarannya per tahun
anggaran) ;
11. Pengguna jasa tidak menyampaikan data yang detail dan akurat karena pengguna
jasa memiliki beberapa perusahaan tanpa perijinan yang lengkap ;
12. Dicabutnya Sertifikat ISPS Code oleh Dirjen Perhubungan Laut sehingga kapal
dari luar negeri tidak diperbolehkan masuk ke pelabuhan karena ISPS Code tidak
diimplementasikan dengan baik ;
13. Pelayanan operasional terganggu karena jumlah SDM tidak memadai ;
14. Operator tidak memiliki Surat Ijin Operasi karena tidak pernah di dilaksanakan
pelatihan untuk tenaga non organik dari instansi yang berwenang.

27
Sedangkan pada kegiatan investasi, risiko-risiko yang mungkin timbul yaitu :
15. Kegagalan lelang karena beberapa sebab di antaranya : jumlah peserta yang tidak
memenuhi syarat, harga penawaran yang jauh di atas OE, dll ;
16. Kesalahan perencanaan seperti kesalahan desain fasilitas yang hendak dibangun,
ketidaktepatan spesifikasi peralatan, ketidaksesuaian fungsi fasilitas atau peralatan
dengan kebutuhan operasional ;
17. Mutu bangunan / fasilitas yang dibangun rendah (berpotensi roboh / umur
ekonomis lebih pendek) karena material yang digunakan tidak sesuai dengan
spesifikasi yang telah ditetapkan dalam RKS Teknis ;
18. Pada masa pemeliharaan fasilitas yang dibangun mengalami kerusakan karena
kontraktor tidak melakukan pemeliharaan / perbaikan dalam masa pemeliharaan
sesuai kontrak perjanjian ;
19. Surat perjanjian kontrak mengandung kelemahan sehingga penyelesaian pekerjaan
/ perbaikan fasilitas / gedung tidak tepat mutu, waktu dan biaya ;
20. Penyelesaian pekerjaan memakan waktu lama karena faktor eksternal misalkan :
penyelesaian pembebasan lahan, menunggu persetujuan / approval dari
pemerintah daerah setempat, dll ;
21. Pelaksanaan proyek tanpa backup area dapat menghambat kegiatan pelayanan
operasional ;
22. Kebijakan investasi pemerintah tidak sejalan dengan aktivitas investasi IPC
sehingga tidak tercapai tujuan dan manfaat dari investasi yang dilakukan.

Untuk mengurangi kemungkinan dan atau dampak dari risiko-risiko tersebut di atas,
dilaksanakan upaya penanganan baik oleh Cabang / Unit Kerja maupun Kantor Pusat
yaitu :
1. Pemberlakuan berthing window dan Service Level Agreement (SLA) serta Service
Level Guarantee (SLG) dengan prioritas kapal-kapal petikemas ;
2. Pelaksanaan rapat kapal untuk koordinasi kesiapan muatan, alat bongkar muat,
armada angkutan, personil, dll ;
3. Memastikan kesiapan tenaga pandu terutama jumlah pandu, availability motor
pandu, dll ;
4. Melakukan pendekatan kepada pemerintah dan masyarakat setempat untuk
memperoleh dukungan terkait dengan operasional kerja 24 jam ;

28
5. Pelaksanaan perawatan peralatan dan fasilitas secara rutin serta pengadaan
peralatan baru apabila memang diperlukan ;
6. Penggunaan handheld disertai dengan penempatan petugas yang melaksanakan
pencatatan secara memadai ;
7. Pengadaan alat bongkar muat untuk mendukung kinerja operasional seperti jib
crane, luffing crane, dsb ;
8. Pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) untuk petugas operasional di lapangan ;
9. Rekrutmen operator alat disertai dengan program pelatihan yang memadai ;
10. Melakukan penagihan piutang sesuai standar Average Collecting Period (ACP)
yang berlaku dalam perusahaan ;
11. Menerapkan aturan secara konsisten terkait dengan syarat kelengkapan data pada
saat pengajuan permohonan pelayanan di pelabuhan ;
12. Menerapkan ISPS Code secara konsisten ;
13. Melakukan rekrutmen pegawai sesuai dengan kebutuhan ;
14. Melaksanakan sertifikasi operator dan pelatihan untuk pegawai non organik ;
15. Memastikan harga dalam OE sudah sesuai dengan harga pasar paling baru ;
16. Melakukan pemeriksaan desain secara berjenjang (supervisor, asisten manager,
manager) secara teliti ;
17. Melakukan pengawasan / pemeriksaan material yang digunakan pada pelaksanaan
pekerjaan di lapangan ;
18. Memastikan Surat Perjanjian telah mengakomodir adanya penahanan pembayaran
sebesar 5 % untuk biaya pemeliharaan ;
19. Melibatkan divisi hukum dalam penyusunan kontrak / surat perjanjian pekerjaan ;
20. Melakukan pendekatan secara intensif kepada stakeholder yang terkait dalam
proyek yang akan dilaksanakan untuk memperoleh dukungan dan persetujuan
dengan menunjukkan secara jelas manfaat dari proyek dimaksud ;
21. Menyediakan backup area sebagai antisipasi berkurangnya kapasitas operasi
akibat dari pelaksanaan proyek ;
22. Melaksanakan koordinasi dengan pemerintah setempat terkait strategi
pengembangan daerah dan investasi yang akan dilakukan.
Upaya monitoring dan review terhadap penanganan risiko di atas dilaksanakan oleh
Subdit. Manajemen Risiko dan Jaminan Mutu pada setiap triwulan untuk memastikan
penanganan risiko yang direncanakan benar-benar direalisasikan oleh Cabang / Unit
Kerja dan pemilik risiko di Kantor Pusat.

29
BAB 4
PENUTUP

a) Poin Penting Pencapaian Manajemen Risiko IPC


Dari hal – hal yang telah disampaikan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa IPC telah
menerapkan praktek manajemen risiko sesuai dengan Peraturan Menteri BUMN Nomor
PER-01/MBU/2011 tentang Penerapan Tata Kelola Perusahaan Yang Baik (Good
Corporate Governance) Pada Badan Usaha Milik Negara tanggal 1 Agustus 2011
dengan bukti implementasi sebagai berikut :
1. Direksi IPC telah membangun dan melaksanakan program manajemen risiko
korporasi secara terpadu yang merupakan bagian dari pelaksanaan program GCG.
Hal tersebut ditunjukkan dengan disusunnya Pedoman Manajemen Risiko yang
ditetapkan dalam Surat Keputusan Direksi Nomor : HK. 56/3/19/PI.II-05 tentang
Penerapan Sistem Manajemen Risiko di Lingkungan PT. (Persero) Pelabuhan
Indonesia pada tanggal 6 Juni 2005 ;
2. Kebijakan dan Komitmen Manajemen serta Kerangka Kerja berikut Proses
Manajemen Risiko IPC telah dirumuskan dalam pedoman sebagaimana tersebut butir
1 (satu) ;
3. Direksi IPC dalam pengambilan keputusan/tindakan telah mempertimbangkan risiko
usaha. Hal ini tercermin dalam penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran /
Pendapatan (RKAP) dengan justifikasi analisa risiko ;
4. Pelaksanaan program manajemen risiko telah dilakukan dengan membentuk Sub.
Direktorat Manajemen Risiko dan Jaminan Mutu yang ada di bawah Direktorat
Operasi dan Sub. Divisi Manajemen Risiko dan Jaminan Mutu pada Divisi
Pengendalian Kerja dan PFSO di tingkat Cabang ;
5. Direksi telah menyampaikan laporan profil manajemen risiko dan penanganannya
bersamaan dengan laporan berkala perusahaan pada setiap triwulan kepada Dewan
Komisaris sebagai perwakilan pemegang saham c,q Komite Manajemen Risiko.
b) Kebutuhan Penyempurnaan Sistem Manajemen Risiko IPC
Tiada gading yang tak retak, begitupun dengan implementasi Sistem Manajemen Risiko
IPC pada saat ini. Beberapa hal yang membutuhkan penyempurnaan adalah sebagai
berikut :

30
1. Diperlukan sistem manajemen risiko yang lebih tanggap dan efektif merespon
perubahan strategi manajemen dalam bisnis kepelabuhanan yang berkembang begitu
cepat ;
2. Diperlukan peningkatan akurasi dalam penetapan risk appetite berikut risk tolerance
agar pengukuran risiko dapat dilakukan lebih cermat sebagai dasar pengambilan
keputusan korporat ;
3. Sangat penting untuk lebih mengembangkan budaya risiko dalam perusahaan dengan
meningkatkan risk awareness dimulai dari level top management ;
4. Untuk berubah menjadi pelabuhan kelas dunia, maka diperlukan pula Sistem
Manajemen Risiko yang mendukung pencapaian excellent performance berdasarkan
world best practices.
c) Rencana Tindak Lanjut
Dalam perkembangan penerapan manajemen risiko di IPC, Direksi memandang perlu
dilakukan upaya penyempurnaan sistem manajemen risiko yang dibangun secara
swakelola dan diterapkan oleh IPC sejak tahun 2005 dengan maksud untuk membentuk
Sistem Manajemen Risiko dengan standar ISO 31000 yang lebih efektif, tanggap dan
cepat merespon perubahan strategi dan tujuan perusahaan. Untuk mewujudkan hal
tersebut Direksi IPC mengambil langkah strategis yakni kebijakan investasi non fisik
tahun 2012 berupa Pekerjaan Konsultansi Pembangunan Enterprise Risk Management
(ERM). Jasa konsultansi pembangunan ERM tersebut diharapkan menghasilkan output
sebagai berikut :
1. Roadmap transformasi budaya manajemen risiko dan penyempurnaan implementasi
ERM ;
2. Arus kerja dan prosedur standar operasi penerapan ERM yang applicable dan sesuai
(khas) dengan bisnis kepelabuhanan berdasarkan world best practices ;
3. Adanya transfer knowledge & experience kepada pengelola manajemen risiko dan
pemilik risiko terkait dengan implementasi ERM yang efektif ;
4. Penjabaran konsep ERM ke dalam alur proses IT (input, process, output) serta
merekomendasikan pola pembangunan aplikasi ERM disertai dengan benchmarking
terhadap beberapa aplikasi ERM yang dipakai di dunia.

31

Anda mungkin juga menyukai