Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

TRAUMA REN

Pembimbing:

dr. Bangun Oktavian Harrie, Sp. U, MKK

Oleh :

Mochammad Yusuf Bahtiar

201910401011059

SMF UROLOGI

RSUD Dr. H. SLAMET MARTODIRDJO PAMEKASAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020
REFERAT

LEMBAR PENGESAHAN

TRAUMA REN

Disusun Oleh :

Mochammad Yusuf Bahtiar (201910401011059)

Hari, Tanggal : Senin, 17 Februari 2020

Mengetahui dan menyetujui untuk dilakukan presentasi

Pembimbing

dr. Bangun Oktavian Harrie, Sp. U, MKK


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, Referat Urologi yang berjudul “Trauma Ren” dapat saya selesaikan.

Referat ini disusun sebagai bagian dari proses belajar selama kepaniteraan klinik

di bagian SMF Urologi dan saya menyadari bahwa referat ini tidaklah sempurna.

Untuk itu saya mohon maaf atas segala kesalahan dalam pembuatan referat ini.

Saya berterima kasih kepada dokter pembimbing dr. Bangun Oktavian

Harrie, Sp. U, MKK atas bimbingan dan bantuannya dalam penyusunan referat

ini. Kami sangat menghargai segala kritik dan saran sehingga referat ini bisa

menjadi lebih baik dan dapat lebih berguna bagi pihak-pihak yang membacanya di

kemudian hari.

Pamekasan, 17 Februari 2020

Penulis
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN i

KATA PENGANTAR ii

DAFTAR ISI iii

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1 Pendahuluan 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2

2.1 Anatomi Ginjal 2

2.1.1 Struktur di Sekitar Ginjal 3

2.1.2 Struktur Ginjal 4

2.1.3 Vaskularisasi Ginjal 6

2.1.4 Persarafan Ginjal 7

2.1.5 Fungsi Ginjal................…………………………………….. 7

2.2 Trauma Ginjal 8

2.2.1 Definisi 8

2.2.2 Epidemiologi 8

2.2.3 Etiologi 8

2.2.4 Klasifikasi 9

2.2.5 Manifestasi Klinis 12

2.2.6 Diagnosis 12

2.2.7 Tatalaksana 14

2.2.8 Komplikasi 16

2.2.9 Prognosis 16
BAB 3 KESIMPULAN 17

DAFTAR PUSTAKA 18
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan

Sebagian besar organ urogenitalia terletak di rongga ekstraperitoneal kecuali

genitalia eksterna dilindungi oleh otot-otot dan organ-organ lain. Saat terjadi

cedera organ urogenitalia, maka harus diperhitungkan pula kemungkinan adanya

kerusakan organ lain disekitarnya. Cedera yang mengenai organ urogenitalia

dibagi menjadi beberapa penyebab, bisa merupakan cedera dari luar berupa

trauma tumpul maupun trauma tajam serta cedera iatrogenik akibat tindakan

dokter pada saat operasi atau petugas medik yang lai (Purnomo, 2012).

Trauma ginjal merupakan trauma pada sistem urologi yang paling sering

terjadi. Ginjal mendapat proteksi dari otot lumbar, thoraks, badan vertebra dan

viscera, tetapi ginjal mempunyai mobilitas yang besar yang bisa mengakibatkan

kerusakan parenkim dan cedera vaskular. Pada banyak kasus, trauma ginjal selalu

dibarengi dengan trauma organ penting lainnya. Insiden cedera traktus urinarius

yang disertai dengan trauma abdominal adalah 10%. Trauma ginjal sendiri terjadi

2-5% dari semua kasus trauma. Sekitar 80% trauma ginjal terjadi akibat trauma

tumpul yang biasanya diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas (Kodama, 2019).

Penatalaksanaan pada trauma ginjal disesuaikan pada derajat traumanya.

Secara umum pada trauma tajam, contohnya pada luka tusuk maupun luka tembus

oleh peluru, harus dieksplorasi sedangkan pada trauma tumpul sebagian besar

bersifat penatalaksanaan konservatif (Purnomo, 2012).


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Ginjal


Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di
rongga retroperitoneal bagian atas, didepan dua kosta terakhir dan tiga
otot-otot besar (transversus abdominis, kuadratus lumborum dan psoas
mayor) di bawah hati dan limpa. Di bagian atas (superior) ginjal terdapat
kelenjar adrenal (juga disebut kelenjar suprarenal). Kedua ginjal terletak di
sekitar vertebra T12 hingga L3. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi
cekungnya menghadap ke medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu
tempat struktur-struktur pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf, dan
ureter menuju dan meninggalkan ginjal (Netter, 2012)
2.1.1 Struktur di sekitar ginjal

Gambar 1. Rongga perirenal dan pararenal yang membatasi ginjal

Ginjal dibungkus oleh jaringan fibrosa tipis dan mengkilat yang


disebut kapsula fibrosa (true capsule) ginjal dan di luar kapsul ini terdapat
jaringan lemak perirenal. Di sebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak
ginjal atau glandula adrenal/supra-renal yang berwarna kuning. Kelenjar
adrenal bersama-sama ginjal dan jaringan lemak perirenal dibungkus oleh
fasia Gerota. Fasia ini berfungsi sebagai barier yang menghambat
meluasnya perdarahan dari parenkim ginjal serta mencegah ekstravasasi
urine pada saat terjadi trauma ginjal. Selain itu fasia Gerota dapat pula
berfungsi sebagi barier dalam menghambat penyebaran infeksi atau meng-
hambat metastasis tumor ginjal ke organ di sekitarnya. Di luar fasia Gerota
terdapat jaringan lemak retroperitoneal atau disebut jaringan lemak
pararenal (Purnomo, 2012)
Di sebelah posterior, ginjal dilindungi oleh otot-otot punggung
yang tebal serta tulang rusuk ke XI dan XII sedangkan di sebelah anterior
dilindungi oleh organ-organ intraperitoneal. Ginjal kanan dikelilingi oleh
hepar, kolon, dan duodenum; sedangkan ginjal kiri dikelilingi oleh lien,
lambung, pankreas, jejeunum, dan kolon (Netter, 2012)

2.1.2 Struktur Ginjal


Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian yaitu kortex renalis di
bagian luar, yang berwarna coklat gelap, dan medulla renalis di bagian
dalam yang berwarna coklat lebih terang dibandingkan kortex. Di dalam
korteks terdapat berjuta-juta nefron sedangkan di dalam medula banyak
terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil dari ginjal
yang terdiri atas, tubulus kontortus proksimalis, tubulus kontortus distalis,
dan duktus kolegentes. Bagian medulla berbentuk kerucut yang disebut
pyramides renalis, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dari
lubang-lubang kecil disebut papilla renalis (Ruchelle, Belldgrun, 2010).
Hilum adalah pinggir medial ginjal berbentuk konkaf sebagai pintu
masuknya pembuluh darah, pembuluh limfe, ureter dan nervus. Pelvis
renalis berbentuk corong yang menerima urin yang diproduksi ginjal.
Terbagi menjadi dua atau tiga kaliks renalis majores yang masing-masing
akan bercabang menjadi dua atau tiga kaliks renalis minores. Medulla
terbagi menjadi bagian segitiga yang disebut piramid. Piramid-piramid
tersebut dikelilingi oleh bagian korteks dan tersusun dari segmen-segmen
tubulus dan duktus pengumpul nefron. Papila atau apeks dari tiap piramid
membentuk duktus papilaris bellini yang terbentuk dari kesatuan bagian
terminal dari banyak duktus pengumpul (Ruchelle, Belldgrun, 2010).
Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi
(disaring) di dalam glomeruli kemudian di tubuli ginjal, beberapa zat yang
masih diperlukan tubuh mengalami reabsobsi dan zat-zat hasil sisa
metabolisme mengalami sekresi bersama air membentuk urine. Setiap hari
tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan
menghasilkan urine 1-2 liter. Urine yang terbentuk di dalam nefron
disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises ginjal untuk kemudian
disalurkan ke dalam ureter (Ruchelle, Belldgrun, 2010).
Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum,
kaliks major, dan pielum/pelvis renalis. Mukosa sistem pelvikalises terdiri
atas epitel transisional dan dindingnya terdiri atas otot polos yang mampu
berkontraksi untuk mengalirkan urine sampai ke ureter (Ruchelle,
Belldgrun, 2010).

Gambar 2. Struktur Ginjal


2.1.3 Vaskularisasi Ginjal
Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan
cabang langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialirkan
melalui vena renalis yang bermuara ke dalam vena kava inferior. Sistem
arteri ginjal adalah end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai
anastomosis dengan cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat
kerusakan pada salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya
iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya. Arteri dan vena renalis
keduanya membentuk pedikel ginjal. Arteri masuk ginjal dan venakeluar
ginjal dalam area bernama hilus renalis (Purnomo, 2012)
Ginjal sisi kiri terdapat rangkaian sistem vena yang berbeda dengan
sebelah kanan, yakni vena yang merawat gonad (v. Spermatika pada laki-
laki atau ovarika pada perempuan), langsung bermuara pada v. Renalis
kiri. Berbeda dengan sisi kanan, vena tersebut bermuara secara oblik
langsung ke vena kava inferior dibawah percabangan vena renalis dengan
vena kava (Purnomo,2012).

Gambar 3. Vaskuarisasi Ginjal


2.1.4 Persarafan Ginjal
Ginjal mendapat persarafan dari pleksus renalis yang seratnya berjalan
bersama arteri renalis. Persarafan simpatetik menyebabkan vasokonstriksi
yang menghambat aliran darah ke ginjal. Ginjal diduga tidak mendapat
persarafan parasimpatetik.impuls sensorik dari ginjal berjalan ke korda
spinalis segmen t10-11 dan memberikan sinyal sesuai dengan level
dermatomnya. Sehingga nyeri di daerah pinggang bisa merupakan nyeri
referal dari ginjal (Purnomo, 2012).

2.1.5 Fungsi Ginjal


1. Memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau
racun.
2. Mempertahankan keseimbangan cairan tubuh
3. Mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan
tubuh
4. Mengeluarkan sisa-sisa metabolisme akhir dari protein ureum,
kreatinin dan amoniak
5. Mengaktifkan vitamin D untuk memelihara kesehatan tulang
6. Produksi hormon yang mengontrol tekanan darah
7. Produksi Hormon Erythropoietin yang membantu pembuatan sel
darah merah
(Purnomo, 2012)

2.2 Trauma Ginjal


2.2.1 Definisi
Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai
macam trauma baik tumpul maupun tajam dan iatrogenik. Trauma ginjal
merupakan trauma yang terbanyak pada sistem urogenitalia. Kurang lebih
10% dari trauma pada abdomen mencederai ginjal (Coccolini, 2019).
2.2.2 Epidemiologi
Trauma ginjal merupakan trauma pada sistem urologi yang paling
sering terjadi. Sekitar 10-20% trauma abdomen akan mencederai ginjal.
Disebutkan bahwa laki-laki lebih sering mengalami trauma ginjal dengan
perbandingan 3:1. Sekitar 85-90% trauma ginjal terjadi akibat trauma tumpul
yang biasanya diakibatkan oleh kecelakaan lalu lintas (Cocollini, 2019).

2.2.3 Etiologi
Cedera ginjal dapat terjadi secara:
a) Langsung akibat benturan yang mengenai daerah pinggang.
b) Tidak langsung akibat pergerakan ginjal secara tiba- tiba di dalam
rongga retroperitoneum(deselerasi).
Jenis cedera yang mengenai ginjal dapat disebabkan oleh 3 hal : Trauma
tajam, tumpu dan iatrogenik. Trauma pada ginjal di dalam rongga
retroperitoneum menyebabkan regangan pedikel ginjal sehingga
menimbulkan robekan tunika intima arteri renalis. Robekan ini akan
memacu terbentuknya bekuan darah yang selanjutnya dapat menimbulkan
trombosis arteri renalis beserta cabangcabangnya. Cedera ginjal dapat
dipermudah jika sebelumnya sudah ada kelainan pada ginjal, seperti
hidronefrosis, kista ginjal atau tumor ginjal (Purnomo, 2012).
1. Trauma tajam
Trauma tajam seperti luka tikam atau tusuk pada abdomen bagian atas atau
pinggang maupun luka tembak pada abdomen yang disertai hematuria merupakan
tanda pasti cedera pada ginjal.
2. Trauma iatrogenik
Trauma iatrogenik pada ginjal dapat disebabkan oleh tindakan operasi atau
radiologi intervensi, dimana di dalamnya termasuk retrograde pyelography,
percutaneous nephrostomy dan percutaneous lithotripsy. Dengan semakin
meningkatnya popularitas dari teknik-teknik di atas, insidens trauma iatrogenik
semakin meningkat, tetapi kemudian menurun setelah diperkenalkan ESWL.
Biopsi ginjal juga dapat menyebabkan trauma ginjal.
3. Trauma tumpul
Trauma tumpul merupakan penyebab utama dari trauma ginjal. Trauma
tumpul ginjal dapat bersifat langsung maupun tidak langsung. Trauma langsung
biasanya disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas, olah raga, kerja atau perkelahian.
Trauma ginjal biasanya menyertai trauma berat yang juga mengenai organ organ
lain. Trauma tidak langsung misalnya jatuh dari ketinggian yang menyebabkan
pergerakan ginjal secara tiba tiba di dalam rongga peritoneum. Kejadian ini dapat
menyebabkan avulsi pedikel ginjal atau robekan tunika intima arteri renalis yang
menimbulkan thrombosis. Trauma ginjal tumpul diklasifikasikan sesuai keparahan
luka dan yang paling sering ditemukan adalah kontusio ginjal. Trauma tumpul
pada region costa ke 12 menekan ginjal ke lumbar spine dan akan mengakibatkan
cedera pada pinggang atau bagian bawah ginjal.

2.2.4 Klasifikasi
Menurut derajat berat ringannya kerusakan pada ginjal, trauma ginjal dibedakan
menjadi (Purnomo, 2012):
a) cedera minor.
b) cedera mayor.
c) cedera pada pedikel atau pembuluh darah ginjal.

Pembagian sesuai dengan skala cedera organ (organ injury scale) cedera
ginjal dibagi dalam 5 derajat sesuai dengan penemuan pada pemeriksaan
pencitraan maupum hasil eksplorasi ginjal. Sebagian besar (85%) trauma ginjal
merupakan cedera minor (derajat I dan II), 15% merupakan cedera mayor (derajat
III dan IV), dan 1% merupakan cedera pedikel ginjal. Grade I sekitar 22%-28%,
grade II 28%-30%, grade III 20%-26%, grade IV 15-19%, grade V 6-7% (Erlich,
2018)
Tabel 2.1 klasifikasi trauma ginjal menurut American Association for the surgery
of Trauma (AAST)
DERAJAT JENIS CEDERA GAMBARAN CEDERA
Kontusio Mikroskopis atau hematuria
gross, pemeriksaan
radiologi yang normal.
Derajat 1
Hematoma Subkapsular, nonexpanding
tanpa parenkim
laserasi
Hematoma Nonexpanding hematoma
perirenal.dikonfirmasi
ke ginjal
Retroperitoneum
Laserasi <1.0 cm kedalaman
Derajat 2
parenkim dari korteks
ginjal tanpa tanpa
adanya trauma pada
sistem lain
Laserasi >1,0 cm kedalaman
parenkim
Derajat 3 korteks ginjal tanpa
melibatkan sistem
pengumpulan
Laserasi Memanjang mencapai
korteks ginjal,
medula dan sistem
pengumpulan
Vaskular Melibatkan arteri renalis
utama atau vena
Derajat 4 dengan adanya
hemoragik
Infark segmental tanpa
disertai laserasi
Hematoma pada
subkapsuler yang
menekan ginjal
Laserasi Ginjal terbelah sepenuhnya
Vaskular Avulsi pedikel ginjal,
mungkin terjadi
Derajat 5
trombosis arteri
renalis.
Devaskularisasi ginjal

Gambar 4. Klasifikasi Trauma Ginjal

2.2.5 Manifestasi Klinis


Patut dicurigai adanya cedera pada ginjal jika terdapat:

1. Trauma di daerah pinggang, punggung, dada sebelah bawah dan perut


bagian atas dengan disertai nyeri atau didapatkan adanya jejas pada daerah
itu.
2. Hematuria
3. Fraktur kosta sebelah bawah (T8-12) atau fraktur prosesus spinosus vertebra.
4. Trauma tembus pada daerah abdomen atau pinggang.
5. Cedera deselerasi yang berat akibat jatuh dari ketinggian atau kecelakaan
lalu lintas.
Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh pasien trauma ginjal sangat
bervariasi tergantung pada derajat trauma dan ada atau tidaknya trauma pada
organ lain yang menyertainya (Purnomo, 2012).
2.2.6 Diagnosis
1. Anamnesis
Indikasi yang memungkinkan bahwa terjadinya trauma ginjal meliputi
mekanisme deselerasi yang cepat seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan
bermotor dengan kecepatan yang laju, atau trauma langsung pada region
flank(Erlich, 2018).
Pada trauma tembus, perlu diketahui ukuran dari pisau atau kaliber atau
jenis dari senjata. Riwayat penyakit sebelumnya harus digali, apakah adanya
disfungsi organ sebelum terjadinya trauma dan adanya riwayat penyakit ginjal
sebelumya yang dapat memperberat trauma. Hidronefrosis, batu ginjal, kista, atau
tumor telah dilaporkan dapat menimbulkan komplikasi yang berat (Purnomo, 2012).
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik membantu menentukan lokasi, luas dan keparahan cedera.
Trauma tumpul ke panggul, punggung, dada bagian bawah, dan perut bagian atas
dapat membahayakan ginjal. Harus mencari luka masuk dan keluar, tanda-tanda
peritoneum perut (misalnya defend muscular, nyeri tekan), dan tanda-tanda yang
dapat menunjukkan trauma ginjal, seperti hematuria yang terlihat, hematoma
panggul / perut bagian atas, massa yang teraba, ekimosis atau abrasi, dan patah
tulang rusuk Vital sign juga harus dicatat untuk mengevaluasi pasien (Erlich,
2018).
3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Analisis urin, hematokrit, dan kadar kreatinin adalah tes yang diperlukan
untuk mendiagnosis hematuria mikroskopis, status kehilangan darah saat ini dan
fungsi ginjal dasar masing-masing. Ketika diduga perdarahan aktif, golongan
darah silang dan korek adalah wajib. Evaluasi laboratorium tambahan harus
mencakup hitung darah lengkap, gas darah dan kimia lengkap, termasuk glukosa,
elektrolit, tes fungsi hati, amilase dan lipase untuk mengevaluasi kemungkinan
cedera organ perut lainnya (Erlich, 2018).
Radiologi
Ada beberapa tujuan pemeriksaan radiologis pada pasien yang dicurigai menderita
trauma ginjal, yaitu:
1. Klasifikasi beratnya trauma sehingga dapat dilakukan penenganan yang
tepat dan menentukan prognosisnya
2. Menyingkirkan keadaan ginjal patologis pre trauma
3. Mengevaluasi keadaan ginjal kontralateral
4. Mengevaluasi keadaan organ intra abdomen lainnya
Pemeriksaan radiologi tergantung pada keadaan klinis dan fasilitas yang
tersedia. Pemeriksaan dimulai dai IVU dengan bahan kontras dosis tinggi
2ml/kgBB untuk menilai tingkat kerusakan ginjal dan melihat keadaan ginjal
kontralateral. Dikerjakan jika diduga luka tusuk atau tembak yang mengenai
ginjal, cedera tumpul ginjal yang ada tanda hematuri makroskopik dan cedera
tumpul ginjal dengan tanda hematuri mikroskopik disertai syok (Purnomo 2012).
Pemeriksaan USG dapat dilakukan untuk mengetahui adanya kontusio
parenkim ginjal atau hematom subkapsuler. Ct scan atau arteriografi dilakukan
bila IVU belum cukup menerangkan keadaan ginjal. Pemeriksaan ini dapat
menunjukkan adanya robekan jaringan ginjal, ekstravasasi kontras yang luas dan
adanya nekrosis jaringan ginjal dan mengetahui cedera organ lain (Erlich, 2018)
2.2.7 Tatalaksana
Pada trauma tajam yang diduga mengenai ginjal harus melakukan tindakan
eksplorasi namun pada trauma tumpul sebagian besar tidak memerlukan operasi.
Emergensi
Penanganan segera dari syok, perdarahan, resusitasi lengkap dan evaluasi
cedera lainnya. Jika kondisi pasien tidak stabil oleh karena trauma/cedera intra
abdomen maka diperlukan tindakan bedah laparotomi eksplorasi untuk resusitasi
bedah. Jika didapatkan hematoma retroperitoneal yang meluas dan pulsatil
diindikasikan untuk melakukan eksplorasi renal. Urutan eksplorasi laparotomi:
(1) Mencari cedera/kelainan pembuluh darah besar intra abdomen,
(2) Eksplorasi organ Visceral dan intra abdomen lainnya harus dikerjakan dahulu
sebelum
(3) Eksplorasi renal, kecuali terjadi perdarahan ginjal yang masif dan persisten
maka harus dilakukan eksplorasi renal dahulu.
Eksplorasi renal dimulai dengan kontrol pembuluh darah renalis, dengan
cara insisi peritoneum posterior (white line) di atas aorta, sebelah medial ke
arah inferior vena mesenterika. Vena renalis kiri mudah dikenali, terletak
anterior aorta; merupakan landmark untuk identifikasi pembuluh darah renal
yang lain. Setelah pembuluh renal teridentifikasi maka lakukan kontrol-
kendali pembuluh darah, guna mengurangi blood loss (pada kasus
perdarahan). Hal ini menurunkan angka nefrektomi, dari sekitar 56%
menjadi 18%. Kadang oklusi pembuluh darah ini diperlukan (20%) pada
staging bedah cedera ginjal atau pada repair ginjal (Kodama, 2019)

Konservatif
Ditujukan pada trauma minor. Observasi tanda-tanda vital (tensi, nadi,
suhu), massa di pinggang, asites, dan perubahan hasil lab. Jika didapatkan tanda
perdarahan atau kebocoran urin yang menimbulkan infeksi harus dilakukan
tindakan operasi (Purnomo, 2012).
Operatif
a. Trauma tumpul
Cedera ginjal minor (85%) biasanya tidak memerlukan tindakan operasi.
Perdarahan berhenti spontan dengan tirah baring dan hidrasi. Operasi dilakukan
pada kasus perdarahan retroperitoneal persisten, ekstravasasi urin (drainase),
kematian parenkim ginjal dan cedera pedikel ginjal (<5% dari cedera ginjal).
Penilaian staging cedera pra bedah harus dilakukan secara lengkap sebelum
operasi.
b. Luka tusuk/tembus
Luka tusuk harus dilakukan eksplorasi, kecuali dari pemeriksaan yang
lengkap hanya didapat cedera parenkim minor tanpa ekstravasasi urin. Delapan
puluh persen luka tembus disertai cedera organ lain yang memerlukan operasi
segera.
Indikasi eksplorasi renal dibagi menjadi indikasi absolut dan relatif.
Perdarahan ginjal yang terus menerus, ditandai dengan hematoma yang meluas
di daerah atas retroperitoneal atau hematoma yang paliatif dan konsisten, serta
berhubungan dengan laserasi parenkim renal mayor atau pembuluh darah ginjal
merupakan indikasi absolut eksplorasi renal.
Sedangkan adanya ekstravasasi urin oleh karena laserasi pelvis renal
akibat ekstensi laserasi parenkim hingga sistem pengumpul adalah indikasi
relatif. Indikasi relatif lainnya adalah ditemukannya nonviable tissue,
incomplete staging dan adanya trombosis arteri yang biasanya menyertai
perdarahan dan kombinasi dari kombinasi hal-hal di atas.
Salah satu prinsip yang menyebabkan dilakukannya nefrektomi setelah
trauma adalah perdarahan ginjal, kerusakan masif. Sedangkan kerusakan ginjal
lainnya dapat dilakukan repair atau rekonstruksi (Kodama, 2019).
2.2.8 Komplikasi
i. Komplikasi awal
Perdarahan merupakan komplikasi segera yang paling penting pada cedera
ginjal. Pasien harus diawasi dengan ketat, monitoring tekanan darah dan
hematokrit, ukuran dan ekspansi massa yang dapat dipalpasi. Perdarahan berhenti
pada 80-85% kasus. Perdarahan retroperitoneal yang terus menerus atau gross
hematuri hebat mungkin perlu tindakan operasi segera (Umbas, 2012).
Ekstravasasi urin dari ginjal dapat berupa massa (urinoma) di retroperitoneal
yang mana rentan untuk terbentuknya abses dan sepsis. Febris ringan dapat
terjadi pada hematom retroperitoneal yang diresorbsi, bila suhu lebih tinggi
menunjukkan adanya inflamasi Abses perinefrik dapat terbentuk, yang
mengakibatkan nyeri tekan perut dan nyeri flank, merupakan indikasi untuk
operasi segera (Umbas, 2012).
ii. Komplikasi lanjut
Hipertensi, hidronefrosis, fistel arteriovena, batu dan pielonefritis
merupakan komplikasi lanjut. Pengawasan tekanan darah selama beberapa bulan
diperlukan untuk menilai adanya hipertensi. Sesudah 3 - 6 bulan, dilakukan
pemeriksaan ekskresi urografi untuk memastikan jaringan parut perinefrik yang
ada tidak menyebabkan hidronefrosis atau gangguan vaskuler. Gangguan
vaskuler lengkap dapat menyebabkan atrofi ginjal. Perdarahan lambat yang hebat
dapat terjadi 1 - 4 minggu pasca trauma.
2.2.9 Prognosis
Hasil yang didapatkan dari pengobatan bervariasi tergantung pada penyebab
dan luasnya trauma (ruptur). Kerusakan kemungkinan ringan dan reversibel,
kemungkinan membutuhkan penanganan yang sesegera mungkin dan mungkin
juga menghasilkan komplikasi. Dengan pengawasan yang baik biasanya cedera
ginjal memiliki prognosis baik. Pengawasan ketat tekanan darah, follow up
ekskresi urografi dapat mendeteksi adanya hidronefrosis atau hipertensi (Umbas,
2012).
BAB III

KESIMPULAN

Trauma ginjal adalah cedera pada ginjal yang disebabkan oleh berbagai
macam trauma baik tumpul maupun tajam. Trauma ginjal menyumbang sekitar
3% dari seluruh penerimaan trauma dan sebanyak 10 % dari pasien yang
mempertahankan trauma abdomen. Cedera ginjal dapat terjadi secara langsung
dan tidak langsung. Ada 3 penyebab utama dari trauma ginjal, yaitu trauma tajam,
trauma iatrogenik, dan trauma tumpul. Gambaran klinis yang ditunjukkan oleh
pasien trauma ginjal sangat bervariasi tergantung pada derajat trauma dan ada atau
tidaknya trauma pada organ lain yang menyertainya. Derajat trauma pada ginjal
dibagi menjadi 5 derajat sesuai dengan jenis kerusakan yang terjadi pada ginjal.
Untuk penegakan diagnosis dapat digunakan berbagai pemeriksaan penunjang
seperti pemeriksaan laboratorium (UL, DL, Lab lengkap) dan radiologi (IVP,
USG, CT scan, Arteriografi, MRI) tergantung ketersediaan alat di fasilitas
kesehatan. Pasien harus diawasi dengan ketat, monitoring tekanan darah dan
hematokrit, ukuran dan ekspansi massa yang dapat dipalpasi. Perdarahan berhenti
pada 80-85% kasus sehingga kebanyakan pada trauma ginjal minor penanganan
cukup dengan konservatif. Apabila didapatkan perdarahan retroperitoneal yang
terus menerus atau gross hematuri hebat mungkin perlu tindakan operasi segera.
Hasil yang didapatkan dari pengobatan bervariasi tergantung pada penyebab dan
luasnya trauma (ruptur).
DAFTAR PUSTAKA

1. Coccolini F, Moore EE, Klugger Y, et al, Kidney and uro-trauma: WSES-


AAST guidelines, Italy : World Journal of Emergency Surgery, 2019, pp.
1-25
2. Erlich T, Kitrey N D. Renal trauma: the current best practice. Therapeutic
Advances in Urology, 2019. Volume 10: p: 295-303.
3. Kodama R. Contemporary treatment of renal trauma in Canada,Canada :
Canadian Urological Association ,2019. P. 546-50
4. Netter F H. The Netter Collection of Medical Illustrations. 2 nd ed. USA :
Elsevier Saunders. 2012. Volume 5: p. 2-6
5. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. 3rd ed. Jakarta:Sagung seto; 2012.
p.175-92.
6. Umbas R, Manuputty D, Sukasah CL, Swantari NM, Achmad IA,
Bowolaksono, et al. Saluran kemih dan alat kelamin laki-laki.In:
Sjamsuhidajat R, Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R, Editors.
Buku ajar ilmu bedah. 3rd ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC;
2012. p.879-88.
.

Anda mungkin juga menyukai