LAPORAN PENDAHULUAN CKD + HD Komplikasi Hipotensi
LAPORAN PENDAHULUAN CKD + HD Komplikasi Hipotensi
Untuk menilai GFR (Glomelular Filtration Rate) / CCT (Clearance Creatinin Test)
dapat digunakan dengan rumus:
Dibawah ini 5 stadium penyakit gagal ginjal kronis sebagai berikut :
a. Stadium 1, dengan GFR normal (> 90 ml/min)
Pada stadium 1 gagal ginjal kronik (GGK) biasanya belum merasakan gejala
yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjalnya. Hal ini disebabkan
ginjal tetap berfungsi secara normal meskipun tidak lagi dalam kondisi tidak lagi
100 persen, sehingga banyak penderita yang tidak mengetahui kondisi ginjalnya
dalam stadium.
b. Stadium 2, dengan penurunan GFR ringan (60 s/d 89 ml/min)
Pada stadium 2 juga dapat tidak merasakan gejala yang aneh karena ginjal
tetap dapat berfungsi dengan baik.
c. Stadium 3, dengan penurunan GFR moderat ( 30 s/d 59 ml/min )
Pada tingkat ini akumulasi sisa – sisa metabolisme akan menumpuk dalam
darah yang disebut uremia. Gejala- gejala juga terkadang mulai dirasakan
seperti :
• Fatique : rasa lemah/lelah yang biasanya diakibatkan oleh anemia.
• Kelebihan cairan: Hal ini membuat penderita akan mengalami
pembengkakan sekitar kaki bagian bawah, seputar wajah atau tangan.
Penderita juga dapat mengalami sesak nafas akaibat teralu banyak cairan
yang berada dalam tubuh.
• Perubahan pada urin : urin yang keluar dapat berbusa yang menandakan
adanya kandungan protein di urin. Selain itu warna urin juga mengalami
perubahan menjadi coklat, orannye tua, atau merah apabila
bercampurdengan darah. Kuantitas urin bisa bertambah atau berkurang dan
terkadang penderita sering trbangun untuk buang air kecil di tengah malam.
• Rasa sakit pada ginjal. Rasa sakit sekitar pinggang tempat ginjal
beradandapat dialami oleh sebagian penderita yang mempunyai masalah
ginjal seperti polikistik dan infeksi.
• Sulit tidur : Sebagian penderita akan mengalami kesulitan untuk tidur
disebabkan munculnya rasa gatal, kram ataupun restless legs.
d. Stadium 4, dengan penurunan GFR parah ( 15 s.d 29 ml/min)
Apabila seseorang berada pada stadium ini maka sangat mungkin dalam waktu
dekat diharuskan menjalani terapi pengganti ginjal / dialisis atau melakukan
transplantasi. Kondisi dimana terjadi penumpukan racun dalam darah atau
uremia biasanya muncul pada stadium ini.
Gejala yang mungkin dirasakan pada stadium 4 adalah:
Fatique, Kelebihan cairan, perubahan pada urin, sakit pada ginjal, sulit tidur
Nausea : muntah atau rasa ingin muntah.
Perubahan cita rasa makanan : dapat terjadi bahwa makanan yang
dikonsumsi tidak terasa seperti biasanya.
Bau mulut uremic : ureum yang menumpuk dalam darah dapat dideteksi
melalui bau pernafasan yang tidak enak.
e. Stadium 5, penyakit ginjal stadium akhir/ terminal (>15 ml/min)
Pada level ini ginjal kehilangan hampir seluruh kemampuannya untuk bekerja
secara optimal. Untuk itu diperlukan suatu terapi pengganti ginjal (dialisis) atau
transplantasi agar penderita dapat bertahan hidup.
Gejala yang dapat timbul pada stadium 5 antara lain :
• Kehilangan napsu makan
• Nausea.
• Sakit kepala.
• Merasa lelah.
• Tidak mampu berkonsentrasi.
• Gatal – gatal.
• Urin tidak keluar atau hanya sedikit sekali.
• Bengkak, terutama di seputar wajah, mata dan pergelangan kaki.
• Keram otot
• Perubahan warna kulit
3. ETIOLOGI
Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal
Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai
berikut glomerulonefritis, diabetes melitus, hipertensi dan ginjal polikistik (Roesli,
2008).
a. Glomerulonefritis
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer
dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari
ginjal sendiri / infeksi sehingga terjadi peradangan sedangkan glomerulonefritis
sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti
diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau
amiloidosis (Prodjosudjadi, 2006). Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin
tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau
keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi
pengganti ginjal seperti dialisis (Sukandar, 2006).
b. Diabetes mellitus
Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit
ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam
keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara
perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti
minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat
badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa
diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa
kadar glukosa darahnya (Waspadji, 2006).
c. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau
material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat
ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di
medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh
berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan
genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai
adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh
karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun.
4. PATOFISIOLOGI (terlampir)
j
5. MANIFESTASI KLINIS
Karena pada gagal hginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh
kondisi uremia, maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala.
Keparahan tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal,
kondisi lain yang mendasari dan usia pasien.
a. Sistem integument
Gejala pada kulit sering menyebabkan gangguan fisik dan psikologis, seperti
kulit menjadi pucat dan adanya pigmentasi urokrom. Kulit yang kering dan
bersisik terjadi akibat atropinya kelenjar minyak, menyebabkan gangguan
penguapa sehingga terjadi penumpukan kristal urea di kulit. Akibatnya kulit
menjadi terasa gatal (pruritus). kuku dan rambut juga menjadi kering dan pecah-
pecah sehungga mudah rusak dan patah. Perubahan pada kuku tersebut
merupakan ciri khas kehilangan protein kronik.
b. Sistem kardiovaskuler
Hipertensi bisa terjadi akibat retensi cairan dan sodium. Hal ersebut terjadi
akibat gagal ginjal kronik menyebabkan aliran darah ke ginjal menurun, sehingga
mengaktivasi apparatus juxtaglomerular untuk memproduksi enzim rennin yang
menstimulasi angiotensin I dan II serta menyebabkan vasokonstriksi perifer.
Angiotensin II merangsang produksi aldosteron dan korteks adreanl,
meningkatkan reabsorbsi sodium dan ginjal sehingga akhirnya meningkatkan
cairan intersitiil dan sodium dalam ginjal sehingga akhirnya meningkatkan cairan
intersitiil dan sodium dalam darah. Manifestasi lain yang dapat ditemukan adalah
gagal jantung kongestif dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan pericardial
oleh toksin uremik).
c. Sistem respirasi
Gejala yang sering dtemukan adalah edem apulmoner dan pneumonia yang
sering menyertai gagal jantung akibat retensi cairan yang berlebihan. Gejala
lainnya adalah pernafasan kussmaul dan nafas berbau uremik.
d. Sistem gastrointestinal
Gejala yang sering terjadi adalah anoreksia, mual, muntah, kelaianan
periodontal dan ulserasi pada saluran gastrointestinal. Perdarahan saluran cerna
juga bisa terjadi dan akan menjadi berbahaya pada pasien dengan kelainan
pembekuan darah.
e. Sistem sirkulasi dan imun
Pasien gagal ginjal kronis sering mengalami anemia dengan kadar Hb <6
g/dL atau hematokrit <25-30%. Bagi pasien yang menjalani hemodialisis,
hematokrit berkisar antara 39-45%. Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi
eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah mera, defisiensi
nutrisi (seperti zat besi, asam folat dan vitamin B12) atau kehilangan nutrisi
selama hemodialisa dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat
status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal. Selain sering
mengalami anemia, pasien gagal ginjal tahap akhir juga renan terhadap infeksi
akibat adanya defisiensi immunoglobulin.
f. Sistem saraf
Retensi produk sampah dalam darah dan ketidakseimbangan elektrolit
menurunkan kemampuan neurotransmisi dalam berbagai oragan yang bisa
berlanjut kepada gangguan sistem saraf perifer yang menyebabkan burning pain,
restless leg syndrome, spasme otot dan kram.
g. Sistem reproduksi
Perubahan esterogen, progesteron dan testosteron menyebabkan tidak
teraturnya atau berhentinya menstruasi. Pada kaum pria bisa terjadi impotensi
akibat perubahan psikologis dan fisik yangmenyebabkan atropi organ reproduksi
dan kehilangan hasrat seksual.
h. Sistem musculoskeletal
Kelainan yang terjadi berupa penyakit tulang uremik yang sering disebut
osteodistrofi renal, disebabkan karena perubahan kompleks kalsium, fosfat dan
keseimbangan parathormon.
i. Penglihatan
Pasien gagal ginjal kronik bisa mengalami iritasi mata atau sindrom mata
merah akibat terjadinya deposit kalsium dalam konjunctiva. Konjunctiva juga bisa
mengalami edema akibat rendahnya kadar albumin.
j. Gangguan tidur
Pasien gagal ginjal tahap akhir sering mengalami uremia akibat penimbunan
sampah metabolisme. Uremia mengakibatkan gangguan fungsi sistem saraf dan
menyebabkan restless leg syndrome. Restless leg syndrome merupakan salah
satu bentuk gangguan tidur dan penyebab insomnia pada pasien hemodialisis.
Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis sering mengalami
gangguan tidur berupa kesulitan memulai tidur, kesulitan mempertahankan tidur
dan bangun terlalu dini.
Pada gagal ginjal kronis akan terjadi rangkaian perubahan. Bila GFR menurun 5-
10% dari keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita
sindrom uremik, yaitu suatu komplek gejala yang diakibatkan atau berkaitan dengan
retensi metabolit nitrogen akibat gagal ginjal.
6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Urine
- Volume : Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tak keluar (anuria)
- Warna : Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus bakteri, lemak,
partikel koloid, forfat atau urat. Sedimen kotor, kecoklatan menunjukan adanya darah,
HB, mioglobin.
- Berat jenis : Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukan kerusakan ginjal
berat).
- Osmolalitas : Kurang dari 350 mosm/kg menunjukan kerusakan tubular, dan rasio
urine/serum sering 1:1
- Klirens keratin : Mungkin agak menurun
- Natrium : Lebih besar dari 40 m Eq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium.
- Protein : Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukan kerusakan
glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada.
Darah
- BUN / Kreatin : Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi kadar kreatinin 16
mg/dL diduga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
- Hitung DL : Menurun pada adanya anemia Hb:biasanya kurang dari 78 g/dL
- SDM : Waktu hidup menurun pada defisiensi aritropoetin seperti pada azotemia.
- GDA : pH : Penurunan asidosis metabolik (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan
kemampuan ginjal untuk mengeksresi hydrogen dan amonia atau hasil akhir
katabolisme protein. Bikarbonat menurun, PCO2 menurun .
- Natrium Serum : Mungkin rendah (bila ginjal “kehabisan Natrium” atas normal
(menunjukan status dilusi hipernatremia).
- Kalium : Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan. Pada tahap akhir, perubahan
- EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 MPq atau lebih besar.
- Magnesium/Fosfat : Meningkat
- Kalsium : Menurun
- Protein (khususnya Albumin) : Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan
protein melalui urine, perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan
sintesis karena kurang asam amino esensial.
- Osmolalitas Serum : Lebih besar dari 285 mOsm/kg, sering sama dengan urine.
Sistouretrogram Berkemih : Menunjukan ukuran kandung kemih, refluks ke
dalam ureter, terensi.
Ultrasono Ginjal : Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista, obstruksi
pada saluran perkemihan bagian atas.
Biopsi Ginjal : Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histoligis.
Endoskopi Ginjal, Nefroskopi : Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal, keluar
batu, hematuria dan pengangkatan tumor selektif.
EKG : Mungkin abnormal menunjukan ketidakseimbangan elektrolit dan
asam/basa
.
7. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan pada penyakit gagal ginjal kronis adalah untuk
mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin (Smeltzer & Barre,
2008). Penatalaksanaan gagal ginjal kronis dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
a. Terapi konservatif
Pengobatan konservatif bertujuan untuk memanfaatkan faal ginjal yang masih
ada, menghilangkan berbagai faktor pemberat, dan memperlambat progresivitas
gagal ginjal sedini mungkin. Selain itu, pengobatan konservatif bertujuan untuk
menghilangkan gejala yang mengganggu penderita, sehingga penderita dapat
hidup secara normal. Yang termasuk pengobatan konservatif gagal ginjal kronis
adalah:
1) Pembatasan protein
Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga
mengurangi asupan kalium dan fosfat serta mengurangi produksi ion
hidrogen yang berasal dari protein. Jumlah kebutuhan protein biasanya
dilonggarkan sampai 60-80 g/hari, apabila penderita mendapatkan
pengobatan dialisis teratur.
2) Diet rendah kalium
Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut.
Asupan kalium dikurangi. Penggunaan makanan dan obat-obatan yang
tinggi kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia. Diet yang dianjurkan
adalah 40-80 mEg/hari.
3) Diet rendah natrium
Diet rendah natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g
Na). Asupan natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi
cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung
kongestif.
4) Pengaturan cairan
Cairan yang diminum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus diawasi
dengan seksama. Parameter yang tepat untuk diikuti selain data asupan
dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran
berat badan harian. Aturan yang dipakai untuk menentukan banyaknya
asupan cairan adalah jumlah urin yang dikeluarkan selama 24 jam
terakhir + 500 ml (IWL). Tanda seperti ini akan muncul bila kenaikan berat
badan pasien lebih dari 2 kg. Akumulasi cairan yang dapat ditoleransi
adalah 1-2 kg selama periode intradialitik.
b. Terapi penggantian ginjal atau Renal Replacement Teraphy (RRT)
Terapi penggantian ginjal dilakukan pada seseorang yang mengidap penyakit
gagal ginjal kronik atau ginjal tahap akhir, yang bertujuan untuk menghindari
komplikasi dan memperpanjang umur pasien. Terapi pengganti ginjal dibagi
menjadi dua, antara lain dialisis dan transplantasi ginjal (Shahgholian et.al,
2008).
1) Hemodialisis
Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala
toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu
cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal
ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan
indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu
perikarditis,ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan
kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter,
muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg% dan
kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8
mL/menit/1,73m², mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat (Sukandar,
2006).
2) Dialisis peritoneal (DP)
Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal
Dialysis (CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi
medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65
tahun), pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem
kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami
perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV
shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal)
dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai
co-morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien
sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di
daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2006).
3) Transplantasi ginjal
Penatalaksanaan transplantasi atau cangkok ginjal sebenarnya
adalah suatu terapi definitif yang paling tepat dan ideal untuk
penatalaksanaan suatu keadaan gagal ginjal yang sangat berat. Prinsip
dari pelaksanaan terapi cangkok ginjal ini adalah pencangkokan ginjal
sehat ke dalam tubuh pasien. Permasalahan yang paling sering dihadapi
dalam cangkok ginjal adalah adanya reaksi penolakan dari tubuh pasien
sebagai resepien terhadap ginjal baru yang dicangkokkan ke dalam
tubuhnya. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya harus dipilih ginjal
yang paling cocok sehingga memberikan reaksi penolakan yang paling
minimal. Setelah pelaksanaan transplantasipun, resepien juga masih
harus minum obat imunosupresan seumur hidupnya untuk menekan
reaksi penolakan oleh tubuhnya terhadap ginjal baru dalam tubuhnya
(Aziz, 2008).
II. KONSEP HEMODIALISA
1. DEFINISI
Hemodialisis adalah suatu usaha untuk memperbaiki kelainan biokimiawi
darah yang terjadi akibat terganggunya fungsi ginjal, dilakukan dengan
menggunakan mesin hemodialisis. Hemodialisis merupakan salah satu bentuk
terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy/RRT) dan hanya menggantikan
sebagian dari fungsi ekskresi ginjal. Hemodialisis dilakukan pada penderita PGK
stadium V dan pada pasien dengan AKI (Acute Kidney Injury) yang memerlukan
terapi pengganti ginjal. Menurut prosedur yang dilakukan HD dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu: HD darurat/emergency, HD persiapan/preparative, dan HD
kronik/reguler (Daurgirdas et al.,2007).
2. TUJUAN
1) Membuang produk sisa metabolisme protein seperti urea, kreatinin dan asam
urat.
2) Membuang kelebihan air dengan mengetahui tekanan banding antara darah dan
bagian cairan, biasanya terdiri atas tekanan positif dan negatif (penghisap) dalam
kompartemen dialisat.
3) Mempertahankan atau mengembalikan sistem buffer tubuh.
4) Mempertahankan atau mengembalikan kadar elektrolit tubuh.
3. INDIKASI HEMODIALISA
Indikasi HD dibedakan menjadi HD emergency atau HD segera dan HD kronik.
Hemodialis segera adalah HD yang harus segera dilakukan.
a. Indikasi hemodialisis segera antara lain (Daurgirdas et al.,2007):
Kegawatan Ginjal
1) Klinis: keadaan uremik berat, overhidrasi
2) Oligouria (produksi urine <200 ml/12 jam)
3) Anuria (produksi urine <50 ml/12 jam)
4) Hiperkalemia (terutama jika terjadi perubahan ECG, biasanya K
>6,5mmol/l )
5) Asidosis berat ( pH <7,1 atau bikarbonat <12 meq/l)
6) Uremia ( BUN >150 mg/dL)
7) Ensefalopati uremikum
8) Neuropati/miopati uremikum
9) Perikarditis uremikum
10) Disnatremia berat (Na >160 atau <115 mmol/L)
11) Hipertermia
b. Indikasi Hemodialisis Kronik
Hemodialisis kronik adalah hemodialisis yang dikerjakan berkelanjutan
seumur hidup penderita dengan menggunakan mesin hemodialisis. Menurut
K/DOQI dialisis dimulai jika GFR <15 ml/mnt. Keadaan pasien yang mempunyai
GFR <15ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu
dimulai jika dijumpai salah satu dari hal tersebut di bawah ini (Daurgirdas
et al.,2007):
1) GFR <15 ml/menit, tergantung gejala klinis
2) Gejala uremia meliputi; lethargy, anoreksia, nausea, mual dan muntah.
3) Adanya malnutrisi atau hilangnya massa otot.
4) Hipertensi yang sulit dikontrol dan adanya kelebihan cairan.
5) Komplikasi metabolik yang refrakter.
4. PERALATAN HEMODIALISA
1) Dialiser atau Ginjal Buatan
Terdiri dari membran semi permeabel yang memisahkan
kompartemen darah dan dialisat.
2) Dialisat atau Cairan Dialisis
Yaitu cairan yang terdiri dari air dan elektrolit utama dari serum
normal. Dialisat ini dibuat dalam sistem bersih dengan air kran dan bahan
kimia saring. Bukan merupakan sistem yang steril, karena bakteri terlalu
besar untuk melewati membran dan potensial terjadinya infeksi pada pasien
minimal. Karena bakteri dari produk sampingan dapat menyebabkan reaksi
pirogenik, khususnya pada membran permeabel yang besar, maka air untuk
dialisat harus aman secara bakteriologis. Konsentrat dialisat biasanya
disediakan oleh pabrik komersildan umumnya digunakan oleh unit kronis.
3) Sistem Pemberian Dialisat
Yaitu alat yang mengukur pembagian proporsi otomatis dan alat
mengukur serta pemantau menjamin dengan tepat kontrol rasio konsentrat-
air.
4) Aksesori Peralatan
a. Perangkat Keras, terdiri dari :
- Pompa darah, pompa infus untuk mendeteksi heparin
- Alat pemonitor suhu tubuh apabila terjadi ketidakamanan
konsentrasi dialisat, perubahan tekanan udara dan kebocoran
darah.
b. Perangkat Disposibel yang digunakan selain ginjal buatan :
- Selang dialisis yang digunakan untuk mengalirkan darah antara
dialiser dan pasien.
- Transfer tekanan untuk melindungi alat monitor dari pemajanan
terhadap darah.
- Kantong cairan garam untuk membersihkan sistem sebelum
digunakan.
8. KOMPLIKASI HEMODIALISA
Komplikasi terapi dialisis sendiri dapat mencakup hal-hal berikut:
1. Hipotensi dapat terjadi selama terapi dialisis ketika cairan di keluarkan.
2. Emboli udara merupakan komplikasi yang jarang tetapi dapat saja terjadi jika
udara memasuki sistem vaskuler pasien.
3. Nyeri dada dapat terjadi karena pCO2menurun bersamaan dengan terjadinya
sirkulasi darah di luar tubuh.
4. Pruritus dapat terjadi selama terapi dialisis ketika produk akhir metabolisme
meninggalkan kulit.
5. Gangguan keseimbangan dialisis terjadi karena perpindahan cairan serebral
dan muncul sebagai serangan kejang.
6. Kram otot yang nyeri terjadi ketikacairan dan elektrolit dengan cepat
meningglkan ruang ekstrasel.
7. Mual dan muntah merupakan peristiwa yang sering terjadi
Posisi Trendelenburg
Posisi trendelenburg harus dipertimbangkan pada penatalaksanaan
IDH. Namun efikasi masih terbatas. Posisi ini sering digunakan pada
penatalaksanaan IDH, dengan penerapan manuver ini, volume aliran darah
berkurang di perifer dan lebih tersentralisasi. Namun, hanya sedikit studi yang
menilai efikasi posisi ini. Pada suatu studi, peningkatan volume darah hanya
sekitar 0.4%. Tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan dalam perubahan
tekanan darah selama dialisis setelah menerapkan posisi terndelenburg.
Sebagai kesimpulan, efek dari posisi trendelenburg pada volume darah
sangat kecil.
Stop Ultrafiltrasi
Ultrafiltrasi harus dihentikan selama episode IDH. Menghentikan
ultrafiltrasi, akan mencegah penurunan volume darah lebih jauh, dan akan
memfasilitasi refill volume darah dari kompartemen intrestisial.
Memperlambat laju aliran darah terkadang dapat digunakan dalam
pengobatan IDH.
Pemberian Cairan
Salin isotonik harus diinfuskan, pada pasien yang tidak respon
dengan penghentian ultrafiltrasi dan posisi trendelenburg selama episode
IDH. Pemberian cairan ini paling sering diberikan untuk meningkatkan volume
darah selama kejadian IDH. Baik kristaloid dan koloid telah dipelajari dalam
pengobatan IDH. Beberapa studi telah menilai efek dari salin isotonik,
glukosa hipertonik, manitol, dan larutan koloid. Pada studi tersebut
membandingkan efek dari isovolumetrik infus glukosa 5 dan 20%, salin 0.9%
dan 3.0% dan manitol 20% dalam volume darah selama ultrafiltrasi,
peningkatan volume darah paling besar selama pemberian larutan glukosa
hipertonik.
Pada studi lain, peningkatan volume darah lebih besar setelah
pemberian infus 100 ml plasma ekspander gelofusin dibandingkan dengan
100 cc salin isotonik. Pada studi lain, tidak ada perbedaan signifikan antara
pemberian albumin dibandingkan salin isotonik untuk penatalaksanaan IDH.
Sebagai kesimpulan baik salin isotonik dan larutan albumin sama-sama
efektif pada pengobatan IDH. Salin hipertonik tidak lebih superior dari salin
isotonik, dan albumin tidak lebih superior dari albumin atau HES pada
penatalaksanaan IDH.
Intervensi Farmakologis
- Midrodin
- L – Carnitine
- Dopamin
1. Pengkajian
a. Biodata
Gagal Ginjal Kronik terjadi terutama pada usia lanjut (50-70 th), usia muda,
dapat terjadi pada semua jenis kelamin tetapi 70 % pada pria.
b. Keluhan utama
Kencing sedikit, tidak dapat kencing, gelisah, tidak selera makan (anoreksi),
mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, nafas berbau (ureum), gatal pada
kulit.
c. Riwayat penyakit
1) Sekarang
Diare, muntah, perdarahan, luka bakar, rekasi anafilaksis, renjatan
kardiogenik.
2) Dahulu
Riwayat penyakit gagal ginjal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung,
hipertensi, penggunaan obat-obat nefrotoksik, Benign Prostatic Hyperplasia,
prostatektomi.
3) Keluarga
Adanya penyakit keturunan Diabetes Mellitus (DM).
d. Tanda vital
Apakah ada peningkatan suhu tubuh, nadi cepat dan lemah, hipertensi, nafas
cepat dan dalam (Kussmaul), dyspnea.
e. Pemeriksaan Fisik :
1. Keadaan Umum: terbaring ditempat tidur dengan posisi supine, terpasang infus IV line di
tangan kiri
a. Kesadaran: compos mentis, GCS 456
b. Tanda-tanda vital: Tekanan darah, Nadi , Suhu, TB, BB
e. Telinga:
- Inspeksi: apakah ada luka dan fungsi pendengaran baik.
- Palpasi: apakah ada nyeri tekan
f. Leher:
- Inspeksi: Tidak ada distensi vena jugularis, tidak ada kekakuan, tidak terdapat benjolan
di leher
- Palpasi: tidak teraba massa di leher dan tidak ada nyeri tekan
3. Thorak & Dada:
Jantung
- Inspeksi : apakah tampak ictus cordis pada dada sebelah kiri
- Palpasi : apakah pulsasi ictus kordis teraba 5 cm dari ICS 5 midclavicula sinistra
- Perkusi : terdengar suara dullness, terdapat pembesaran jantung
- Auskultasi : BJ S1 dan S2 tunggal
Paru
- Inspeksi : Dada kanan dan kiri simetris, pergerakan dinding dada normal, pernafasan
otot bantu dada (-), bentuk dada normal (diameter antero posterior 1:2), RR 23 x/menit,
SpO2: 96%
- Palpasi : apakah ada nyeri tekan pada area sekitar dada, taktil vremitus (+)
- Perkusi : terdengar bunyi sonor
- Auskultasi :
- - - -
Ronkhi Wheezing
- - - -
+ + - -
4. Payudara & Ketiak
apakah ada benjolan atau massa, tidak ada bengkak, tidak ada nyeri tekan, dan kondisi
payudara simetris kanan dan kiri.
6. Abdomen
Inspeksi : apakah tampak membesar/distensi, tidak terdapat adanya luka operasi.
Palpasi : nyeri tekan dan kekakuan
Perkusi : thimpani
Auskultasi : bising usus (+)
7. Genetalia & Anus
Inspeksi :
Palpasi :
8. Ekstermitas
Ekstermitas Atas:
a. Kanan
apakah ada nyeri tekan dan tidak ada edema, tidak ada luka, pergerakan normal, warna
kulit sawo matang dan akral hangat
b. Kiri
apakah ada nyeri tekan dan tidak ada edema, tidak ada luka, pergerakan normal, warna
kulit sawo matang dan akrat hangat, terpasang infus.
Ekstermitas Bawah:
a. Kanan
apakah ada nyeri tekan, apakah terdapat edema di kaki kiri, apakah ada luka, apakah
terdapat kelemahan, warna kulit sawo matang dan akral hangat
b. Kiri
apakah ada nyeri tekan, apakah ada edema di kaki kiri, apakah ada luka, apakah
terdapat kelemahan, warna kulit sawo matang dan akral hangat
Kekuatan otot
5 5
1 1
9. Sistem Neorologi
GCS E4V5M6 Reflek fisiologis ?/? Reflek patologis ?/?
3) Pola Eliminasi
Kencing sedikit (kurang dari 400 cc/hari), warna urine kuning tua dan pekat,
tidak dapat kencing.Penurunan frekuensi urine, oliguria, anuria (gagal tahap
lanjut) abdomen kembung, diare atau konstipasi, Perubahan warna urine,
(pekat, merah, coklat, berawan) oliguria atau anuria.
2. Diagnosa Keperawatan
Pre Hemodialisa
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang
meningkat
2. Resiko ketidak efektifan perfusi ginjal berhubungan dengan penyakit
ginjal (CKD)
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alrveolar kapiler (edema paru)
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hiperventilasi (peningkatan
usaha nafas)
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai O2
dan kebutuhan
6. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan penurunan haluaran
urine, diet cairan berlebih, retensi cairan & natrium.
7. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
edema sekunder : volume cairan tidak seimbang oleh karena retensi Na
dan H2O)
8. Mual berhubungan dengan gangguan biokimia (uremia)
9. Nyeri kronis berhubungan dengan agen cedera biologis (pembengkakan
renal)
10. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang/lebih dari kebutuhan tubuh
behubungan dengan prognosis penyakit dan gangguan metabolik serta
kadar asam basa dalam tubuh.
Intra Hemodialisa
1. Nyeri akut behubungan dengan aktivasi receptor nyeri di area insersi
saat dan setelah pemasangan AV shunt
2. Resiko syok hipovolemik berhubungan dengan proses hemodialisa
yang mengerluarkan cairan dari dalam tubuh
3. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemasangan AV shunt
4. Resiko cedera b.d akses vaskuler & komplikasi sekunder terhadap
penusukan & pemeliharaan akses vaskuler.
5. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan efek samping terkait
terapi (HD)
Post Hemodialisa
1. Resiko infeksi berhubungan dengan area insersi AV Shunt
2. Resiko perdarahan berhubungan dengan pemberia heparin
3. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan
sindrom ketidak seimbangan dialisa
Intervensi
No Diagnosa Tujuan/KH Intervensi
1 Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan NIC: Toleransi aktivitas
B.d askep ... jam Klien 1) Tentukan penyebab intoleransi
ketidakseimbangan dapat menoleransi aktivitas & tentukan apakah
suplai & kebutuhan aktivitas & melakukan penyebab dari fisik,
O2 ADL dgn baik psikis/motivasi
Kriteria Hasil: 2) Kaji kesesuaian
Berpartisipasi dalam aktivitas&istirahat klien sehari-
aktivitas fisik dgn TD, hari
HR, RR yang sesuai 3) ↑ aktivitas secara bertahap,
Warna kulit biarkan klien berpartisipasi
normal,hangat&kering dapat perubahan posisi,
Memverbalisasikan berpindah&perawatan diri
pentingnya aktivitas 4) Pastikan klien mengubah posisi
secara bertahap secara bertahap. Monitor gejala
Mengekspresikan intoleransi aktivitas
pengertian pentingnya 5) Ketika membantu klien berdiri,
keseimbangan latihan observasi gejala intoleransi spt
& istirahat mual, pucat, pusing, gangguan
↑toleransi aktivitas kesadaran&tanda vital
6) Lakukan latihan ROM jika klien
tidak dapat menoleransi
aktivitas
2 Pola nafas tidak Setelah dilakukan Monitor Pernafasan:
efektif b.d askep ..... jam pola 1) Monitor irama, kedalaman dan
hiperventilasi, nafas klien frekuensi pernafasan.
penurunan energi, menunjukkan ventilasi 2) Perhatikan pergerakan dada.
kelemahan yg adekuat dg kriteria : 3) Auskultasi bunyi nafas
Tidak ada dispnea 4) Monitor peningkatan
Kedalaman nafas ketdkmampuan istirahat,
normal kecemasan dan seseg nafas.
Tidak ada retraksi
dada / penggunaan otot Pengelolaan Jalan Nafas
bantuan pernafasan 1) Atur posisi tidur klien untuk
maximalkan ventilasi
2) Lakukan fisioterapi dada jika
perlu
3) Monitor status pernafasan dan
oksigenasi sesuai kebutuhan
4) Auskultasi bunyi nafas
5) Bersihhkan sekret jika ada
dengan batuk efektif / suction
jika perlu.
3 Kelebihan volume Setelah dilakukan Fluid manajemen:
cairan b.d. askep ..... jam pasien 1) Monitor status hidrasi
mekanisme mengalami (kelembaban membran mukosa,
pengaturan keseimbangan cairan nadi adekuat)
melemah dan elektrolit. 2) Monitor tnada vital
Kriteria hasil: 3) Monitor adanya indikasi
Bebas dari edema overload/retraksi
anasarka, efusi 4) Kaji daerah edema jika ada
Suara paru bersih
Tanda vital dalam Fluid monitoring:
batas normal 1) Monitor intake/output cairan
2) Monitor serum albumin dan
protein total
3) Monitor RR, HR
4) Monitor turgor kulit dan adanya
kehausan
5) Monitor warna, kualitas dan BJ
urine
Monitor Nutrisi
1) Monitor BB setiap hari jika
memungkinkan.
2) Monitor respon klien terhadap
situasi yang mengharuskan
klien makan.
3) Monitor lingkungan selama
makan.
4) Jadwalkan pengobatan dan
tindakan tidak bersamaan
dengan waktu klien makan
5) Monitor adanya mual muntah
6) Monitor adanya gangguan
dalam proses mastikasi/input
makanan misalnya perdarahan,
bengkak dsb
7) Monitor intake nutrisi dan kalori.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L.J. 2009. Rencana Asuhan & Dokumentasi Keperawatan. Ed. 2 Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi: Buku Saku. Jakarta: EGC.
Doengoes, M.E., Moorhouse, M.F., Geissler, A.C. 2011. Nursing care plans: Guidelines for
planning and documenting patients care. Jakarta: EGC
Hung SC, Lin YP, Huang HL, Pu HF, Tarng DC. Aldosterone and mortality in hemodialysis
patients: role of volume overload. PLoS One. 2013;8:e57511.
Mihaela Dora Donciu , Luminita Voroneanu , and Adrian Covic. Volume Overload in
CKD: Pathophysiology, Assessment Techniques, Consequences and Treatment. . DOI:
10.1007/978-3-319-09162-4_12. September 2015.
Nahas, Meguid El & Adeera Levin. Chronic Kidney Disease: A Practical Guide to
Understanding and Management. USA : Oxford University Press. 2010