HEMOPTOE
Penguji :
dr. Siprianus Ugroseno Yudho Bintoro, Sp.PD-KHOM
Pembimbing :
dr. Edijono, Sp.P
Penyusun :
Helga Yoan Ladymeyer Timbayo 20190420093
MAKALAH
“HEMOPTOE”
Oleh
ii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan limpahan
rahmat-Nya sehingga makalah yang berjudul “Hemoptoe” dapat terselesaikan
dengan baik. Adapun pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu
tugas dalam kepaniteraan klinik distudi kepaniteraan klinik. Dalam menyusun
makalah ini penyusun telah banyak mendapatkan bantuan serta dukungan baik
langsung maupun tidak langsung dari semua pihak. Untuk itu penyusun
mengucapkan terima kasih kepada dr. Siprianus Ugroseno Yudho Bintoro, Sp.PD-
KHOM selaku penguji dan dr. Edijono, Sp.P selaku pembimbing.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih belum sempurna
sehingga masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penyusunan makalah ini.
Oleh karena itu penyusun mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikan dalam
penulisan berikutnya.
Demikian makalah ini disusun dengan sebaik–baiknya. Semoga dapat
memberikan manfaat yang besar bagi pembaca pada umumnya dan penyusun pada
khususnya.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI......................................................................................................... iv
iv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1 Diagnosis dan Treatment Hemoptisis ................................................ 8
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. 1 Differential Diagnosis Hemoptisis ......................................................... 3
Tabel 1. 2 Perbedaan Hemoptysis dan Hematemesis ............................................. 6
vi
BAB 1
PENDAHULUAN
1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Sinonim batuk darah adalah hemoptoe atau hemoptysis. Hemoptysis berasal
dari bahasa Yunani yaitu haima yang berarti darah dan ptysis yang berarti
diludahkan. Menurut kamus kedokteran Dorland, hemoptysis atau batuk darah
adalah ekspektorasi darah atau mucus yang berdarah (Fallis, 2013).
Hemoptysis adalah mendahakkan darah yang berasal dari bronkus atau paru.
hemoptysis bisa banyak atau bisa pula sedikit sehingga hanya berupa garis merah
cerah di dahak (Fallis, 2013).
2
Pendarahan alveolar: Sindrom Goodpasture, sistemik vaskulitida / penyakit
kolagen vaskuler, obat-obatan (nitrofurantoin, isosianat, trimelitat
anhidrida, D-penisilinamin, kokain), koagulopati.
Penyebab iatrogenik: biopsi post-paru, arteri pulmonalis yang pecah dari
kateter Swan-Ganz.
Lainnya: arteriovenosa paru
3
juga rangsangan dari telinga melalui cabang Arnold dari nervus vagus. Oleh serabut
afferen rangsang ini dibawa ke pusat batuk yang terletak di medula, di dekat pusat
pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh serabut-serabut afferent
nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan lumbar, nervus trigeminus,
nervusfasialis, nervus hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini
berdiri dari otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma,otot-otot interkostal, dan
lain-lain. Di daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi (Lutfi, 2010).
2.4 PATOGENESIS
Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut (Lutfi, 2010) :
1. Radang mukosa
Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah
menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk
menimbulkan batuk darah.
2. Infark paru
Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada
pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur.
3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler
Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti
pada dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
4. Kelainan membran alveolokapiler
Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada
Goodpastures syndrome
5. Perdarahan kavitas tuberkulosa
Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal
dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluhdarah ini berasal dari cabang
pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran
pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya
anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah
pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif.
6. Invasi tumor ganas
7. Cedera dada
4
Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami
transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.
2.5 EPIDEMIOLOGI
Di Indonesia, berdasarkan studi yang dilakukan pada pasien rawat inap dan
IGD RS Persahabatan, tuberkulosis paru merupakan penyakit terbanyak yang
mendasari hemoptisis. Indonesia termasuk ke dalam 22 negara yang dikategorikan
oleh WHO sebagai High Burden Countries (HBCs) yang sebagian besar adalah
negara-negara di Asia dan Afrika dengan endemisitas tuberkulosis (TB) yang tinggi
(Irfa et al., 2012). Hemoptisis adalah temuan klinis yang lebih umum dilaporkan
bertanggung jawab atas 6,8% dari kunjungan klinik paru rawat jalan, 11% dari
rawat inap ke layanan paru rumah sakit, dan 38% pasien dirujuk ke praktik bedah
toraks, hemoptisis masif relatif jarang terjadi. Studi memperkirakan bahwa 4,8-14%
pasien dengan hemoptisis akan mengalami hemoptisis masif, namun hal ini
diperdebatkan mengingat heterogenitas populasi yang diteliti (Radchenko, Alraiyes
and Shojaee, 2017).
2.6 KLASIFIKASI
Hemoptisis diklasifikasikan sebagai masif atau nonmasif berdasarkan
tingkat perdarahan. Kurang dari 100 mL darah dalam periode 24 jam dianggap
sebagai hemoptisis nonmasif. Definisi hemoptisis masif sangat bervariasi dalam
literatur, berkisar antara 100 dan 600 mL darah dalam periode 24 jam; Namun,
definisi yang paling umum digunakan adalah 600 mL dalam 24 jam. Diperkirakan
lebih dari 400 mL darah di ruang alveolar cukup untuk menyebabkan gangguan
oksigenasi (McKee, 2007). Klasifikasi ini penting karena menentukan dalam
pengambilan sikap dalam tatalaksana. Hemoptisis nonmasif dapat ditatalaksana
rawat jalan. Sebaliknya, hemoptisis massif membutuhkan tatalaksana rawat inap
(Singh et al., 2013).
5
2.7 PERBEDAAN HEMOPTYSIS DAN HEMATEMESIS
Tabel 1. 2 Perbedaan Hemoptysis dan Hematemesis
(Lutfi, 2010)
No Pembeda Hemoptysis Hematemesis
2.8 DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya di tegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan gambaran radiologis. Untuk menegakkan diagnosis perlu dilakukan urutan
anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga
penanganan dapat di tentukan (Perdana, 2018).
2.8.1 ANAMNESA
Hal yang perlu di tanyakan dalam batuk darah adalah : Jumlah dan warna
darah yang di batukkan, lamanya pendarahan, batuk yang diderita bersifat produktif
atau tidak, batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan, ada merasakan nyeri
dada, nyeri substernal atau nyeri pleuritik, hubungan perdarahan dengan gerakan
fisik, istirahat, dan posisi badan saat batuk, riwayat penyakit paru atau jantung
terdahulu (Perdana, 2018).
2.8.2 PEMERIKSAAN FISIK
Untuk mengetahui perkiraan penyebab hemoptisis, maka diperlukan
pemeriksaan fisik lebih lanjut: panas merupakan tanda adanya peradangan,
auskultasi atau rales ( Kemungkinan menonjolkan lokasi, ada aspirasi, ronchi
6
menetap , wheezing local, kemungkinan penyumbatan oleh Ca, bekuan darah),
friction rub : emboli paru atau infark paru, clubbing : bronkiektasis, neoplasma
(Perdana, 2018).
2.8.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin
terutama digunakan untuk melihat kadar hemoglobin untuk mengetahui ada
tidaknya anemia akibat hemoptisis. Foto polos toraks dalam posisi PA dan lateral,
Bronkografi untuk mengetahui adanya bronkiektasis, Pemeriksaan dahak baik
secara bakteriologi maupun sitologi (Perdana, 2018).
Bronkoskopi dilakukan untuk menentukan sumber pendarahan sekaligus
untuk penghisapan darah yang keluar agar tidak terjadi penyumbatan. Sebaiknya
dilakukan sebelum perdarahan berhenti sehingga sumber pendarahan dapat segera
diketahui. Adapun indikasi bronkoskopi pada hemoptisis adalah : 1) bila
pemeriksaan radiologi tidak di dapatkan kelainan, 2) batuk darah yang berulang, 3)
batuk darah massif : sebagai identifikasi dan terapi lokal pada titik perdarahan
(Perdana, 2018).
1. Foto Toraks
Foto toraks merupakan pencitraan yang dapat dilakukan pada awal pasien
dengan hemoptisis. Pemeriksaan ini cepat, tidak mahal, dan tersedia di banyak
rumah sakit. Foto toraks dapat membantu melihat adanya keterlibatan paru secara
difus maupun fokal, dan dapat mendeteksi kelainan pada parenkim paru dan
pleura, seperti tumor, pneumonia, penyakit paru kronik, atelektasis, kavitas, dan
opasitas alveolar akibat perdarahan alveoli. Sensitivitas foto toraks dalam
mendiagnosis hemoptisis cukup beragam (Yulisar and Kamelia, 2016).
2. Bronkoskopi
Bronkoskopi merupakan metode diagnostik utama untuk hemoptisis.
Bronkoskopi dapat mengidentifikasi apakah perdarahan masih aktif dan melihat
kondisi saluran pernafasan pasien. Bronskoskopi yang digunakan adalah rigid
ataupun flexible. Bronkoskopi tipe rigid biasanya lebih stabil dan dapat
mempertahankan patensi dari saluran nafas, namun bronkoskopi tipe fleksibel dapat
dilakukan secara bedside seperti pada pasien yang dirawat di ICU. Keberhasilan
7
bronkoskopi dalam menentukan lokasi perdarahan bergantung kepada beratnya
hemoptysis (Yulisar and Kamelia, 2016).
3. Multi Detector CT
Multi detector CT (MDCT) merupakan pencitraan yang non-invasif dan
mampu memberikan gambaran parenkim paru, saluran nafas, dan pembuluh darah
toraks pasien dengan hemoptisis. Multi detector CT ini dapat mengidentifikasi
sumber perdarahan pada 63%-100% pasien dengan hemoptisis, dan mampu
menentukan etiologi dari perdarahan tersebut, seperti bronkiektasis, keganasan
paru, dan sebagainya. Dibandingkan bronkoskopi, MDCT memiliki sensitivitas
yang lebih baik untuk mendeteksi sumber perdarahan. Menurut penelitian oeh
Rever dkk, sumber perdarahan dapat diidentifikasi pada 8% kasus hemoptisis
dengan bronkoskopi, dan 77% dengan MDCT (Yulisar and Kamelia, 2016).
2.9 TATALAKSANA
Tujuan utama dalam pengobatan hemoptisis masif yang mengancam jiwa
adalah untuk mengendalikan dan menghentikan perdarahan serta mencegah asfiksia
(Ittrich et al., 2017). Selain itu, tatalaksana hemoptisis untuk menemukan diagnosis
8
penyakit dasar dan memberi terapi yang tepat, atau menyingkirkan penyakit lain yang
serius (Perdana, 2018).
2.9.1 NON-MASSIVE
Tujuan terapi adalah mengendalikan penyakit dasar. Penyebab tersering
hemoptysis non massif terutama yang terjadi akut adalah bronchitis, risiko pasien
ringan dengan gambaran radiologi yang normal. Penatalaksanaa kondisi pasien
seperti ini dapat dengan monitoring airway, breathing dan circulation serta
pengobatan terhadap penyebabnya misalnya dengan pemberian antibiotic bila
diperlukan, tetapi bila batuk darah ini cenderung makin lama, berlangsung terus
atau sulit dijelaskan dianjurkan untuk evaluasi oleh ahli paru (Bachtiar and
Sudiarni, 2016).
1. Terapi dasar. Pasien harus istirahat total, dengan posisi paru yang
mengalami perdarahan di bawah. Refleks batuk harus ditekan dengan
kodein fosfat 30-60 mg intramuskuler setiap 4-6 jam selama 24 jam
(Bachtiar and Sudiarni, 2016).
2. Terapi spesifik. Terapi spesifik adalah pengobatan atas penyakit dasar
penyebab perdarahan tersebut (Bachtiar and Sudiarni, 2016).
2.9.2 MASSIVE
Prinsip penatalaksanaan hemoptisis asif terdiri dari beberapa langkah yaitu
menjaga jalan nafas dan stabilisasi penderita, menentukan lokasi perdarahan dan
memberikan terapi. Langkah pertama merupakan prioritas tindakan awal. Setelah
penderita lebih stabil, langkah kedua ditujukan untuk mencari sumber dan
penyebab perdarahan. Langkah ketiga dimulai setelah periode perdarahan akut
telah teratasi, dan ditujukan untuk mencegah berulangnya hemoptisis dengan
memberikan terapi spesifik sesuai penyebabnya, bila memungkinkan. Penderita
dengan hemoptisis massif harus dimonitor dengan ketat di instalasi perawatan
intensif (Bachtiar and Sudiarni, 2016).
9
2.9.3 TERAPI KONSERVATIF
Terapi konservatif batuk darah masif di Biro Pulmonologi RSAL
dr.Mintohardjo adalah 1) Memproteksi jalan napas dan stabilisasi pasien:
mempertahankan jalan napas yang adekuat, pemberian suplementasi oksigen,
koreksi tiap koagulopati. 2) Lokalisasi sumber perdarahan dan penyebab
perdarahan: setelah pasien dalam keadaan stabil perlu dilakukan pemeriksaan lebih
lanjut mencari sumber dan penyebab perdarahan. 3) Terapi spesifik: menghentikan
perdarahan dan mencegah perdarahan berulang. Tahap ini dapat dilakukan dengan
2 cara yaitu 1) Dengan bronkoskop: bilasan garam fisiologis, epinefrin, pemberian
12hrombin fibrinogen, tamponade dengan balon. 2) Tanpa bronkoskop: pemberian
obat dan antifibrinolitik, pengobatan penyakit primernya (Bidwell and Pachner,
2005).
2.9.4 PEMBEDAHAN
Terapi definitif hemoptisis adalah pembedahan. Tindakan bedah dilakukan
bila pasien memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) diketahui jelas sumber
perdarahan, 2) tidak ada kontra indikasi medis, 3) setelah dilakukan pembedahan
sisa paru masih mempunyai fungsi yang adekuat (faal paru adekuat), 4) pasien
bersedia dilakukan tindakan bedah (Perdana, 2018).
2.9.5 EMBOLISASI ARTERI BRONKIALIS
Teknik ini adalah melakukan oklusi pembuluh darah yang menjadi sumber
perdarahan dengan embolisasi transkateter. Embolisasi ini dapat dilakukan pada
arteri bronkialis dan sirkulasi pulmoner. Teknik ini terutama dipilih untuk penderita
dengan kelainan paru bilateral, fungsi paru sisa yang minimal, menolak operasi
ataupun memiliki kontraindikasi tindakan operasi. Terapi ini dapat diulang
beberapa kali untuk mengontrol perdarahan. Embolisasi memiliki angka
keberhasilan dalam mengontrol perdarahan (jangka pendek) antara 64-100%
(Perdana, 2018).
2.10 KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptosis, yaitu
ditentukan oleh tiga faktor (Lutfi, 2010):
10
1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran
pernapasan.
2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptosis dapat
menimbulkan renjatan hipovolemik.
3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke
dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi.
2.11 PROGNOSIS
Gambaran prognostik untuk hasil yang buruk pada pasien dengan
hemoptisis masif telah diidentifikasi dalam literatur. Crocco et al. menemukan
korelasi langsung antara tingkat hemoptisis dan kematian, melaporkan tingkat
kematian 71% pada pasien yang kehilangan lebih dari 600 mL darah dalam 4 jam,
tingkat kematian 22% pada pasien yang mengalami perdarahan lebih dari 600 mL
dalam 4 sampai 16 jam, dan Tingkat 5% pada mereka dengan 600 mL hemoptisis
dalam waktu 16 hingga 48 jam. Selanjutnya, pasien dengan tingkat perdarahan
melebihi 1.000 mL / 24 jam terbukti memiliki mortalitas yang lebih tinggi yang
dilaporkan sebagai 58% dan 78% kematian di rumah sakit dalam seri bedah
sebelumnya (Radchenko et al., 2017).
11
DAFTAR PUSTAKA
12