Anda di halaman 1dari 23

TUGAS

PENGELOLAAN KEUANGAN DESA


“Peran APIP ( aparatur pengawas internal pemerintah) dan aparatur desa untuk mengembangkan
prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan desa menuju good village
governance”

Dosen Penggampu :

Rahmiati, SE., M.Si., Ak

Disusun Oleh :

KELOMPOK 7
Angelia Febriani Tampubolon (117 187)
Ayu Andira. A Manalu (117 184)
Damayanti Sibatuara (117 191)
Deofryno S. Bangun (117 194)
Fitri Anjani Manalu (117 190)
Issa Septia Hawini (117 243)
Sofia Mr. Silaban (117 182)

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
2019
DAFTAR ISI

Daftar Isi ............................................................................................................................. i

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .............................................................................................................. 1


1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penulisan ......................................................................................................... 4

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Penelitian Terdahulu ..................................................................................................... 5


2.2 Landasan Teori.............................................................................................................. 6
2.2.1 Teori Agency ................................................................................................... 6
2.2.2 Teori Peran ....................................................................................................... 7
2.2.3 Konsep Desa ..................................................................................................... 8
2.2.4 Keuangan Desa ................................................................................................. 8
2.2.5 Asas-asas pengelolaan desa .............................................................................. .9
2.2.6 Penganggaran APBDes .................................................................................... 10
2.2.7 Perencanaan Keuangan Desa ............................................................................ 15
2.2.8 Pelaksanaan APBDes ....................................................................................... 17
2.2.9 Prinsip Good Village Governance .................................................................... 17

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ................................................................................................................... 20

Daftar Pustaka ..................................................................................................................... 21

i
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Desa merupakan unit pemerintahan terkecil dalam lingkup Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Hal ini menjadikan peran desa dalam pembangunan bangsa dan negara dalam
mensejahterahkan masyarakat menjadi sangat penting dan strategis. Sehingga, fokus
perhatian pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, sangat besar terhadap
pembangunan desa. Nawa Cita Presiden yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran
dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan, telah menjadi
agenda penting pemerintahan di era Presiden Joko Widodo dan wakilnya M. Jusuf Kalla saat
ini (Majalah BPKP, 2015;16). Upaya pembangunan desa dan pemerataan desa tersebut,
dilakukan dengan skema penataan desa (Ilyas & Muchlis, 2016).
Pemerintahan desa memiliki peranan signifikan dalam pengelolaan proses sosial di
dalam masyarakat, tugas utama yang harus ditempuh pemerintah desa adalah bagaimana cara
untuk mengembangkan prinsip keterbukaan informasi kepada publik, memberikan pelayanan
sosial yang baik sehingga dapat membawa warganya pada kehidupan yang sejahtera, rasa
tentram dan berkeadilan (Yuliawan, 2016).
Dewasa ini, pemerintah desa seperti miniatur bagi pemerintah kabupaten, karena
pemerintah desa wajib merumuskan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMDes) dan mampu menjabarkan melalui Rencana Kerja Pembangunan Desa (RKPDes)
yang selanjutnya disusun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa Tahunan. Dengan
anggaran desa yang cukup besar, diharapkan dapat membantu pembangunan sejumlah
infrastruktur yang dibutuhkan untuk membangun desa dalam rangka mengatasi kemiskinan
dan ketertinggalan daerah (Ilyas & Muchlis, 2016).
Keinginan pemerintah beserta perangkat desa untuk mewujudkan tata kelola
pemerintahan yang baik, salah satunya dengan mengembangkan UU No 14 Tahun 2008
tentang keterbukaan informasi publik. Menurut Sakapurnama, (2012:16) bahwa salah satu
prinsip yang terkandung dalam good governance dan berkaitan erat dengan keterbukaan
informasi adalah prinsip transparansi. Keterbukaan informasi diharapkan dapat menghasilkan
persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan pemerintah dibuat berdasarkan prefensi
publik. Keterbukaan informasi juga dipandang sebagai bagian penting dan tak terpisahkan
dari demokrasi. Solihin (2006:10) dalam Sakapurnama (2012:16), menjelaskan transparansi

1
merupakan akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi tentang
penyelenggaraan pemerintah dan berbagai kebijakan publik (Yuliawan, 2016).
Permasalahan atau kendala yang dihadapi pada pemerintahan terkait prinsip transparansi
yaitu mengenai pemberian akses informasi yang kurang memadai dan akurat terhadap
masyarakat. Banyak masyarakat yang mengeluhkan tata kelola pemerintahan desa yang
dirasa masih tertutup. Penentuan usulan proyek atau kegiatan cenderung didominasi oleh
pemerintah desa sedangkan masyarakat tidak dapat memberikan masukan mengenai kegiatan
tersebut. Pengembangan prinsip transparansi di mayoritas desa umumnya masih terbilang
rendah dikarenakan kurangnya sosialisasi kebijakan dan ketidak jelasan mekanisme dalam
mengakses data. Hal tersebut terjadi akibat peran dari aparatur desa yang masih sangat rendah
dan tidak adanya kepedulian pemerintah desa terhadap kepentingan masyarakat (Yuliawan,
2016).
Pengelolaan keuangan desa, pada dasarnya dilaksanakan untuk mewujudkan desa
sebagai suatu pemerintahan terdepan dan terdekat dengan rakyat yang kuat, maju, mandiri
dan demokratis, hingga mampu melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan menuju masyarakat adil, makmur, dan sejahtera. Dari kajian yang dilakukan
Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) sejak Januari 2015, KPK menemukan beberapa temuan
pada empat aspek, yaitu: aspek regulasi kelembagaan, aspek tata laksana, aspek sumber daya
manusia dan aspek pengawasan. Aspek regulasi dan kelembagaan, KPK menemukan
persoalan antara lain: Formula pembagian dana desa dalam PP No. 22 tahun 2015 tidak
cukup transparan dan hanya didasarkan atas dasar pemerataan; Kewajiban penyusunan
laporan pertanggungjawaban oleh desa tidak efisien akibat ketentuan regulasi yang tumpang
tindih. Aspek tata laksana, antara lain transparansi rencana penggunaan dan pertanggung
jawaban APBDesa masih rendah; Laporan pertanggungjawaban yang dibuat desa belum
mengikuti standar dan rawan manipulasi Sementara pada aspek pengawasan yakni:
Efektivitas inspektorat daerah dalam melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan
di desa masih rendah; Saluran pengaduan masyarakat tidak dikelola dengan baik oleh semua
daerah. Sedangkan pada aspek sumber daya manusia, terdapat potensi persoalan, yakni
tenaga pendamping berpotensi melakukan korupsi/fraud memanfaatkan lemahnya aparatur
desa. Hal ini berkaca pada program sejenis sebelumnya, PNPM Perdesaan, dimana tenaga
pendamping yang seharusnya berfungsi membantu masyarakat dan aparatur desa, justru
melakukan korupsi dan kecurangan (Ilyas & Muchlis, 2016).
Pengawasan merupakan titik kritis dan menjadi pusat perhatian terutama terkait dengan
efektivitas pengawasan dan kesiapan aparat pengawasan, khususnya APIP di
2
Kabupaten/Kota. Pemberian dana desa yang begitu besar dan adanya jumlah pelaporan yang
beragam, serta adanya titik kritis dalam pengelolaan keuangan desa, tentunya juga menuntut
tanggung jawab besar oleh aparat pemerintah desa. Hal ini menjadi suatu tantangan bagi
pemerintah desa untuk dapat menerapkan prinsip profesionalitas dan akuntabilitas dalam
pengelolaan keuangan desa. “Agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan,
pemberian wewenang dan kekuasaan yang luas tersebut harus diikuti dengan sistem
pengawasan yang kuat” (Thomas, 2013 dalam Ilyas & Muchlis, 2016). Pentingnya sistem
pengawasan pemerintahan desa merupakan salah satu upaya membentuk tata kelola
pemerintahan desa yang baik (Good Village Governance). Pemerintah desa yang telah
mewujudkan Good Village Governance, memiliki indikator antara lain (Majalah BPKP,
2015;16 dalam Ilyas & Muchlis 2016): (1) Tata kelola keuangan desa yang baik, (2)
Perencanaan desa yang partisipatif, terintegrasi dan selaras dengan perencanaan daerah dan
nasional, (3) Berkurangnya penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan yang mengakibatkan
permasalahan hukum, (4) Mutu pelayanan kepada masyarakat meningkat (Ilyas & Muchlis,
2016).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan Latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada makalah ini sebagai
berikut.
1. Bagaimana peranan APIP dan Aparatur Desa dalam mewujudkan Good Village
Governance terkait pengelolaan keuangan desa?
2. Bagaimana pemahaman APIP dalam menerapkan prinsip Good Village Governance
dan pemahaman Aparatur Desa dalam menerapkan prinsip Good Village
Governance terkait pengelolaan keuangan desa?
3. Apakah kendala yang dihadapi oleh APIP dan Aparatur Desa dalam penerapan
prinsip Good Village Governance terkait pengelolaan keuangan?
4. Bagaimana peran Aparatur Desa dalam menggembangkan prinsip transparansi dan
akuntabilitas dalam mewujudkan Good Village Governance ?

3
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui peranan APIP dan Aparatur Desa dalam mewujudkan Good
Village Governance terkait pengelolaan keuangan desa.
2 Untuk mengetahui pemahaman APIP dalam menerapkan prinsip Good Village
Governance dan pemahaman Aparatur Desa dalam menerapkan prinsip Good Village
Governance terkait pengelolaan keuangan desa.
3 Untuk mengetahui kendala yang dihadapi oleh APIP dan Aparatur Desa dalam
penerapan prinsip Good Village Governance terkait pengelolaan keuangan.
4 Untuk mengetahui peran Aparatur Desa dalam menggembangkan prinsip transparansi
dan akuntabilitas dalam mewujudkan Good Village Governance.

1.4 Manfaat

Manfaat makalah ini untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan penerapan prinsip
Good Village Governance terhadap pengawasan yang dilakukan oleh Inspektorat selaku
auditor internal dan Aparatur desa dan juga pengawasan yang masih lemah dalam
pengelolaan desa. Aparatur desa dituntut untuk menggembangkan prinsip transparansi dan
akuntabiltas dalam mengelola keuangan desa serta menghadapi kendala dan solusi
mengatasinya.

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penelitian Terdahulu
Sebagai acuan daari makalah ini dikemukan dari hasil-hasil penelitian yang dilaksanakan
sebelumnya yaitu:
1. Penelitian Herlina Ilyas & Mustakim Muchlis (2016) meneliti tentang “Peran APIP dan
Aparatur Desa Dalam Pengelolaan Keuangan Desa Menuju Good Village Governance:
Pendekatan Konsep Muroqobah”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan deskriptif-analisis. Lokasi penelitian ini yakni di desa Palipi Soreang yang
berada di Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, Provinsi Sulawesi Barat. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa, penyelenggaraan pemerintahan desa dilakukan oleh
pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) namun tidak terlepas dari
pengawasan Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP). Dalam konteks pemerintah
desa yang sangat rentan terhadap Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan inefisiensi,
peran APIP dan Aparatur Desa terkait pengelolaan keuangan desa mampu mendorong
pemerintah desa untuk menuju tata kelola pemerintahan desa yang baik (good village
governance). Selanjutnya guna mendorong terwujudnya self control dan jati diri aparatur
desa agar selalu merasa mendapatkan pengawasan dari Tuhan, apalagi yang menyangkut
hajat hidup orang banyak dan melibatkan anggaran keuangan yang besar, maka
dibutuhkan sebuah pendekatan muroqobah (pendekatan nilai-nilai agama).
2. Penelitian Rezal Yuliawan (2016) meneliti tentang “Peran Perangkat Desa Untuk
Mengembangkan Prinsip Transparansi Dalam Good Governance Pada Pemerintahan
Desa”. Studi kasus penelitian ini pada pemerintahan desa Pabelan Kecamatan Kartasura
Kebupaten Sukoharjo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peran perangkat desa
untuk mengembangkan prinsip transparansi yaitu memberikan pelayanan yang baik pada
masyarakat, menyampaikan informasi kepada ketua RT, mengadakan rapat dengan
perantara ketua RT, menjawab pertanyaan masyarakat baik lisan maupun tertulis, adanya
pengawasan langsung dari kepala desa.
3. Penelitian Ridho Alfajri (2018) meneliti tentang “Pelaksanaan Good Governance Dalam
Pengelolaan Keuangan Desa Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 113
Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Keuangan Desa. Studi kasus penelitian ini pada Desa
Koto Kombu Kecamatan Hulu Kuantan Kabupaten Kuantan Singgi. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa Desa Koto Kombu sudah melaksanakan good governance secara
baik meliputi adanya partisipasi masyarakat, transparansi (keterbukaan) dan akuntabilitas
5
(pertanggung jawaban) dalam hal pengelolaan desa sesuai dengan peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 113 tahun 2014. Salah satu bentuk partisipasi masyarakat yang
diikutsertakan dalam pengelolaan keuangan desa adalah masyarakat diberikan ruang
untuk memberikan pendapat dalam musyawarah desa terkait pengelolaan keuangan desa
yakni dengan melibatkan ketua BPD dan unsur masyarakat didalam perumusan rencana
keuangan dan pembangunan desa. Begitu juga didalam pelaporan dan pertanggung
jawaban Pemerintah Desa Koto Kombu telah transparan kepada masyarakat terkait
realisasi keuangan desa dengan melakukan sosialisasi laporan keuangan kepada unsur
masyarakat.

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Model akuntabilitas berbasis Tri Hita Karana merupakan hasil inkulturasi nilai-
nilai etika religius dan “semangat keagamaan” kedalam model akuntabilitas formal,
yang dibangun berdasarkan srada dan bhakti, etika religius serta Undang undang dan
Peraturan Pemerintah. Bisa dikatakan bahwa akuntansi sebagai media
pertanggungjawaban, tidak cukup pada akuntansi kapitalis. Penjelasan mengenai
akuntabilitas pengelolaan dana desa dalam perspektif Tri Hita Karana dapat dijelaskan
melalui agency theory. Teori keagenan dapat didefinisikan sebagai suatu hubungan
yang terdapat pada suatu kontrak. Dalam hal ini, satu orang atau lebih (principal)
memerintah orang lain (agent) untuk melakukan suatu jasa atas nama prinsipal dan
memberi wewenang kepada agen untuk membuat ke putusan yang terbaik bagi
prinsipal. Prinsip utama teori ini berupa hubungan kerja antara pihak yang memberi
15 wewenang (prinsipal) dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) dalam
bentuk kontrak kerja sama yang disebut ”nexus of contract. Pendelegasian wewenang
terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (principal) memilih orang atau
kelompok lain (agent)) untuk bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal.
Gray (1993) mendefinisikan akuntabilitas sebagai kewajiban untuk memberikan
pertanggung jawaban atas pengelolaan tersebut kepada pihak yang dipercayakan
untuk bertanggung jawab. Keahlian/kompetensi agen akan menentukan output.
Akuntabilitas dapat terwujud apabila terdapat komitmen dari pimpinan dan seluruh
staf instansi pemerintah yang bersangkutan, untuk menjamin penggunaan sumber
daya secara konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Mardiasmo (2002:20-

6
22) menyatakan akuntabilitas publik adalah kewajiban pihak pemegang amanah
(agent) kepada pemberi amanah (principal) untuk memberikan pertanggung
jawaban.Agen mempunyai kewajiban memberikan pertanggung jawaban, menyajikan,
melaporkan dan mengungkapkan segala aktifitas dan kegiatan yang menjadi tanggung
jawabnya kepada prinsipal yang memiliki hak dan kewenangan untuk meminta
pertanggung jawaban tersebut (Mahsun, 2006).

Implikasi teori keagenan adalah dalam akuntabilitas pengelolaan dana desa, pihak
yang dipercaya mengelola dana desa adalah aparat pemerintah desa. Kehidupan
masyarakat desa di Bali tidak bisa terlepas dari budaya Tri Hita Karana yang
merupakan landasan filosofis dan religius dalam kehidupan bermasyarakat.
Pemahaman akuntabilitas dalam konteks budaya Tri Hita Karana 15 menyatakan
bahwa individu sebagai agen mempunyai tiga prinsipal yakni Tuhan, manusia, dan
alam lingkungan.Undang-undang No 6 Tahun 2014 mengamanatkan pengelolaan
dana desadengan melibatkan partisipasi masyarakat. Aparat desa harus bisa
mempertanggung jawabkan pengelolaan dana desa secara menyeluruh. Kompetensi
aparat pemerintah desa dan kepemimpinan kepala desa akan menentukan keberhasilan
penyelenggaraan pembangunan desa.

2.2.2 Teori Peran (Role Theory)

Teori peran (role theory) adalah sebuah sudut pandang dalam sosiologi dan
psikologi sosial yang menganggap sebagian besar aktivitas harian diperankan oleh
kategori-kategori yang ditetapkan secara sosial. Menurut Dougherty dan Pritchard,
teori peran ini memberikan suatu kerangka konseptual dalam studi perilaku di dalam
organisasi. Sedangkan menurut Soekanto(2009) peran adalah proses dinamis
kedudukan (status). Selanjutnya, peranan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah
perilaku APIP sebagai auditor internal dan Aparatur desa sebagai pelaksana dalam
konteks pengelolaan keuangan desa. APIP harus dapat melihat titik kritis yang timbul
dalam pengelolaan keuangan desa, untuk itu peran APIP sangat penting untuk
memberikan assurance dan konsultasi bagi akuntabilitas dan pengelolaan keuangan
desa. APIP tidak lagi berperan sebagai “watchdog” yang hanya bertindak sebagai
pencari-cari kesalahan, sehingga dengan adanya reimage ini auditor dan auditee
mampu bersinergi. Selain itu, melalui audit yang rutin dilakukan, APIP memberikan

7
rekomendasi kepada Aparatur desa mengenai hasil, hambatan dan penyimpangan
yang terjadi atas aktivitas yang dijalankan.

2.2.3 Konsep Desa

Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang telah diterjemahkan


kembali dalam peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 sebagai hasil dari revisi
atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana yang bersumber dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai petunjuk pelaksanaannya
telah menjadi payung hukum bagi aparatur desa dalam melakukan pegelolaan dana
desa. Berdasarkan jumlah anggaran yang ditetapkan oleh pemerintah pusat di dalam
Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara – Perubahan tahun 2015, desa
diberikan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai dengan
kebutuhan dan prioritas desa. Hal itu berarti Dana Desa akan digunakan untuk
mendanai keseluruhan kewenangan desa sesuai dengan kebutuhan dan prioritas Dana
Desa tersebut.Maksud pemberian Dana Desa adalah sebagai bantuan stimulan atau
dana perangsang untuk mendorong dalam membiayai program Pemerintah Desa yang
ditunjang dengan partisipasi swadaya gotong royong masyarakat dalam melaksanakan
kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat. Terkait dengan Dana Desa
yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sejalan
dengan pelaksanaan otonomi daerah bahwa implikasi lebih lanjut pemerintah pusat
sebagai pelaksana pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia berkewajiban
memberikan kepercayaan kepada pemerintah daerah selanjutnya kepada pemerintah
desa sebagai otonom untuk mengelola anggaran suatu kegiatan sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya, prioritas penggunaan anggaran, dengan harapan agar
terciptanya kemandirian masyarakat dengan tetap melestarikan nilai-nilai gotong
royong yang ada di dalam masyarakat tersebut

2.2.4 Keuangan Desa


Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan
uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Hak dan kewajiban sebagaimana yang
dimaksud tersebut menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan
keuangan desa.
Sumber-sumber keuangan desa:

8
a) Pendapatan asli desa terdiri atas hasil usaha, hasil aset, swadaya, dan partisipasi,
gotong-royong, dan lain-lain pendapatan asli desa;
b) Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
c) Bagian dari hasil pajak daerah dan retribusi daerah Kabupaten/Kota;
d) Alokasi dana desa yang merupakan bagian dari dan perimbangan yang diterima
Kabupaten/Kota;
e) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Kabupaten/Kota
f) Hibah dan sumbangan yang tidak mengikat dari pihak ketika; dan
g) Lain-lain pendapatan desa yang sah.

2.2.5 Asas-asas Pengelolaan Desa

Asas merupakan dasar atau sesuatu yang dijadikan tumpuan berpikir, berpendapat
dan bertindak. Dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa pengaturan
desa memiliki 13 prinsip yang mesti dijadikan perhatian oleh para pemangku
kepentingan dalam memberikan pengaturan Desa. Prinsip-prinsip pengaturan desa
lebih dikedepankan agar dapat tercapai tujuan dari lahirnya Undang-undang ini
tercantum pada Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal
3, Pengaturan Desa berasaskan:
• rekognisi, yaitu pengakuan terhadap hak asal usul;
• subsidiaritas, yaitu penetapan kewenangan berskala lokal dan pengambilan
keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa;
• keberagaman, yaitu pengakuan dan penghormatan terhadap sistem nilai yang
berlaku di masyarakat Desa, tetapi dengan tetap mengindahkan sistem nilai
bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
• kebersamaan, yaitu semangat untuk berperan aktif dan bekerja sama dengan
prinsip saling menghargai antara kelembagaan di tingkat Desa dan unsur
masyarakat Desa dalam membangun Desa;
• kegotongroyongan, yaitu kebiasaan saling tolong-menolong untuk membangun
Desa;
• kekeluargaan, yaitu kebiasaan warga masyarakat desa sebagai bagian dari satu
kesatuan keluarga besar masyarakat Desa;

9
• musyawarah, yaitu proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan masyarakat Desa melalui diskusi dengan berbagai pihak yang
berkepentingan;
• demokrasi, yaitu sistem pengorganisasian masyarakat desa dalam suatu sistem
pemerintahan yang dilakukan oleh masyarakat Desa atau dengan persetujuan
masyarakat Desa serta keluhuran harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa diakui, ditata, dan dijamin;
• kemandirian, yaitu suatu proses yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan
masyarakat Desa untuk melakukan suatu kegiatan dalam rangka memenuhi
kebutuhannya dengan kemampuan sendiri;
• partisipasi, yaitu turut berperan aktif dalam suatu kegiatan;
• kesetaraan, yaitu kesamaan dalam kedudukan dan peran;
• pemberdayaan, yaitu upaya meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat desa melalui penetapan kebijakan, program, dan kegiatan yang
sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat Desa; dan
• keberlanjutan, yaitu suatu proses yang dilakukan secara terkoordinasi,
terintegrasi, dan berkesinambungan dalam merencanakan dan melaksanakan
program pembangunan Desa.

Meskipun secara eksplisit pada Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mensyaratkan pencantuman asas pada
peraturan perundang-undangan yang dibentuk, namun secara prinsip, asas merupakan hal
yang sangat penting dalam sebuah peraturan atau perundang-undangan.

2.2.6 Penganggaran APBDES

Setelah RKP Desa ditetapkan maka dilanjutkan proses penyusunan APB Desa. Rencana
Kegiatan dan Rencana Anggaran Biaya yang telah ditetapkan dalam RKP Desa dijadikan
pedoman dalam proses penganggarannya. Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB
Desa) merupakan rencana anggaran keuangan tahunan pemerintah desa yang ditetapkan
untuk menyelenggarakan program dan kegiatan yang menjadi kewenangan desa.

1. Proses Penyusunan APB Desa


Poses penyusunan ABD Desa dimulai dengan urutan sebagai berikut:

10
a. Pelaksana Kegiatan menyampaian usulan anggaran kegiatan kepada Sekretaris Desa
berdasarkan RKP Desa yang telah ditetapkan;
b. Sekretaris Desa menyusun rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa (RAPB Desa)
dan menyampaikan kepada Kepala Desa;
c. Kepala Desa selanjutnya menyampaikan kepada Badan Permusyawaratan Desa untuk
dibahas dan disepakati bersama. Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa
disepakati bersama paling lambat bulan Oktober tahun berjalan antara Kepala Desa dan
BPD
d. Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa yang telah disepakati bersama
sebagaimana selanjutnya disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui
camat atau sebutan lain paling lambat 3 (tiga) hari sejak disepakati untuk dievaluasi.
e. Bupati/Walikota menetapkan hasil evaluasi Rancangan APB Desa paling lama 20 (dua
puluh) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa. Dalam
hal Bupati/Walikota tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu maka Peraturan
Desa tersebut berlaku dengan sendirinya. Dalam hal Bupati/Walikota menyatakan hasil
evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa tidak sesuai dengan kepentingan
umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Kepala Desa melakukan
penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil
evaluasi. Apabil a hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Kepala Desa dan Kepala Desa
tetap menetapkan Rancangan Peraturan Desa tentang APB Desa menjadi Peraturan Desa,
Bupati/Walikotamembatalkan Peraturan Desa dengan Keputusan Bupati/Walikota yang
sekaligus menyatakan berlakunya pagu APB Desa tahun anggaran sebelumnya.
f. Peraturan Desa tentang APB Desa ditetapkan paling lambat tanggal 31 Desember tahun
anggaran berjalan.

2. Pendapatan Desa
Pendapatan Desa meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Desa yang
merupakan hak desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh
desa. Pendapatan desa terdiri sesuai pasal 72 UU Desa bersumber dari:

11
a. Pendapatan Asli Desa (PADesa)

• Hasil Usaha, misalnya hasil BUM Desa, tanah kas desa. Sumber pendapatan lain yang
dapat diusahakan oleh desa berasal dari Badan Usaha Milik Desa, pengelolaan pasar
desa, pengelolaan kawasan wisata skala desa, pengelolaan tambang mineral bukan
logam dan tambang batuan dengan tidak menggunakan alat berat, serta sumber
lainnya dan tidak untuk dijualbelikan.

• Hasil Aset, misalnya tambatan perahu, pasar desa, tempat pemandian umum dan
jaringan irigasi.

• Swadaya, Partisipasi dan Gotong Royong misalnya adalah membangun dengan


kekuatan sendiri yang melibatkan peran serta masyarakat berupa tenaga dan barang
yang dinilai dengan uang.

• Lain-lain Pendapatan Asli Desa, antara lain hasil pungutan desa.

b. Pendapatan Transfer Desa


• Dana Desa
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 22 tahun 2015 Anggaran yang bersumber
dari APBN dihitung berdasarkan jumlah desa dan dialokasikan secara berkeadilan
berdasarkan alokasi dasar dan alokasi yang dihitung dengan memperhatikan jumlah
penduduk, angka kemiskinan, luas wilayah, dan tingkat kesulitan geografis desa setiap
kabupaten/kota. Yang dimaksud alokasi dasar adalah alokasi minimal dana desa yang
diterima kabupaten/kota berdasarkan perhitungan tertentu, antara lain perhitungan
yang dibagi secara merata kepada setiap Desa. Tingkat kesulitan geografis
ditunjukkan oleh indeks kemahalan konstruksi.
• Alokasi Dana Desa
Pemerintah daerah kabupaten/kota sesuai amanat Undang-Undang wajib
mengalokasikan ADD dalam APBD kabupaten/kota setiap tahun anggaran. Alokasi
Dana Desa merupakan bagian dari Dana Perimbangan yang diterima Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% setelah dikurangi Dana Alokasi Khusus.
tata Cara pengalokasian ADD ditetapkan dengan Peraturan Bupati/Walikota dengan
berpedoman pada Peraturan Menteri Pengalokasian ADD kepada setiap desanya
mempertimbangkan kebutuhan penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa. Dan
juga Jumlah penduduk desa, angka kemiskinan desa, luas wilayah desa, dan tingkat
kesulitan geografis desa.

12
• Bagi Hasil Pajak dan Retribusi
Pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan Bagian dari Hasil Pajak dan Retribusi
Daerah Kabupaten/Kota kepada desa paling sedikit 10% dari Realisasi Penerimaan
Hasil Pajak dan Retribusi Daerah Kabupaten/Kota, Sebagaimana ADD,
Bupati/Walikota menginformasikan kepada Kepala Desa rencana Bagi Hasil Pajak
dan Retribusi Daerah dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari setelah Kebijakan Umum
Anggaran dan Prioritas Serta Plafon Anggaran Sementara (KUA/PPAS) disepakati
Kepala Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sesuai ketentuan, KUA
dan PPAS paling lambat disepakati akhir bulan Juli.
• Bantuan Keuangan Provinsi/Kabupaten/Kota
Pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota dapat memberikan Bantuan Keuangan
yang bersumber dari APBD provinsi/kabupaten/kota kepada desa sesuai dengan
kemampuan keuangan pemerintah daerah yang bersangkutan. Bantuan diarahkan
untuk percepatan pembangunan desa.

3. Belanja Desa
Menurut Permendagri No 113 Tahun 2014 belanja desa meliputi semua pengeluaran
dari rekening desa yang merupakan kewajiban desa dalam 1 tahun anggaran yang tidak akan
diperoleh pembayarannya kembali oleh desa. Belanja desa menurut Permendagri No 113
Tahun 2014 belanja desa meliputi semua pengeluaran dari rekening desa yang merupakan
kewajiban desa dalam 1 tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali
oleh desa. Belanja desa dipergunakan dalam rangka mendanai penyelenggaraan kewenangan
desa. Belanja desa terdiri dari:
a. Belanja Bidang Penyelenggaraan Pemerintah Desa. Belanja bidang penyelenggaraan
Pemerintah Desa meliputi :
• Penghasilan tetap dan tunjangan, ini terdiri dari belanja pegawai (penghasilan tetap
kepala desa, tunjangan kepala desa, tunjagan BPD).
• Operasional perkantoran terdiri dari: (i) Belanja barang dan jasa, misalnya belanja
alat tulis kantor, benda pos, bahan/material, pemeliharaan, cetak/penggandaan.ii)
Belanja modal digunakan untuk pengeluaran dalam rangka pembelian/pengadaan
barang atau bangunan yang nilai manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan.
Pembelian/pengadaan barang atau bangunan digunakan untuk kegiatan
penyelenggaraan kewenangan desa, misalnya: beli komputer, beli meja.

13
b. Bidang Pelaksanaan Pembangunan Desa
Belanja jenis ini merupakan belanja yang digunakan untuk pembangunan desa, contoh
perbaikan saluran irigasi, pengaspalan jalan, dll.
c. Bidang Pembinaan Kemasyarakatan
Belanja jenis ini digunakan untuk pembinaan masyarakat desa, misalnya pendanaan
untuk pelatihan perangkat desa, pendanaan untuk kegiatan taruna.
d. Bidang Pemberdayaan Masyarakat
Belanja jenis ini digunakan untuk pemberdayaan masyarakat desa, misalnya pendanaan
untuk pengelolaan lingkungan hidup, pengelolaan sampah mandiri.
e. Bidang Tak Terduga
Belanja ini digunakan untuk hal-hal yang tidak terduga. Kegiatan dalam keadaan darurat
dianggarkan dalam belanja tidak terduga, misalnya kegiatan sosial bencana.

4. Pembiayaan
Menurut Permendagri No 113 Tahun 2014 Pembiayaan Desa meliputi semua
penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali,
baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya.
Pembiayaan terdiri dari:
a. Penerimaan pembiayaan mencakup:
• Sisa lebih perhitungan anggaran (Silpa) tahun sebelumnya
• Mencakup pelampauan penerimaan pendapatan terhadap belanja, penghematan
belanja, sisa dana kegiatan lanjutan. Hal tersebut seperti kelebihan penerimaan
pendapatan asli desa, kelebihan penerimaan alokasi dana desa, kelebihan
penerimaan lain-lain, kelebihan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja,
sisa dana kegiatan. Silpa juga merupakan sisa lebih tahun anggaran sebelumnya.
Silpa menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatanb lebih kecil daripada
realisasi belanja, mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan, dan mendanai
kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun anggaran belum diselesaikan.
• Pencairan dana cadangan digunakan untuk menganggarkan pencairan dana
cadangan dari rekening dana cadangan ke rekening kas desa dalam tahun anggaran
berkenaan. Dana cadangan tidak dapat digunakan untuk membiayai kegiatan di
luar yang sudah ditetapkan sebelumnya dalam peraturan desa tentang pembentukan
dana cadangan.

14
• Hasil penjualan kekayaan desa yang dipisahkan digunakan untuk menganggarkan
hasil penjualan kekayaan desa yang dipisahkan.
• Penerimaan pinjaman
b. Pengeluaran pembiayaan mencakup:
• Pembentukan dan penambahan dana cadangan digunakan untuk membiayai
kegiatan yang sudah ditetapkan dalam pembentukan dana cadangan. Dana
cadangan tidak dapat sekaligus dibebankan dalam 1 tahun anggaran yang
ditetapkan dalam peraturan desa. Penganggaran dana cadangan tidak melebihi
tahun akhir masa jabatan Kepala Desa.
• Penyertaan modal desa. Pemerintah desa dapat melakukan investasi pada Bumdes (
Badan Usaha Milik Desa) atau badan swasta lain. Penyertaan modal ini dilakukan
oleh kepala desa dan disetujui BPD setelah ada ketetapan peraturan desa.
Penyertaan modal desa masuk dalam pengeluaraan pembiayaan dan digunakan
untuk menganggarkan kekayaan pemerintah desa yang diinvestasikan baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
• Pembayaran hutang. Pembayaran kewajiban desa yang timbul akibat pinjaman
desa pada pihak lain
2.2.7 Perencanaan Keuangan Desa
Kegiatan Perencanaan yaitu kegiatan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Desa (APBDesa). Dimana penting untuk memahami secara tepat berbagai aspek APBDesa
yang meliputi: fungsi, ketentuan, struktur, sampai mekanisme penyusunannya. Secara umum,
pengertian perencanaan keuangan adalah kegiatan untuk memperkirakan pendapatan dan
belanja untuk kurun waktu tertentu di masa yang akan datang. Dalam kaitannya dengan
pengelolaan keuangan desa, perencanaan dimaksud adalah proses penyusunan APB Desa.
Penyusunan APB Desa berdasarkan pada RKP Desa, yaitu rencana pembangunan yang
ditetapkan dengan peraturan Desa (perdes). APB Desa yang juga ditetapkan dengan perdes,
merupakan dokumen rencana kegiatan dan anggaran yang memiliki kekuatan hukum.
Dalam menyusun APBDes, ada beberapa ketentuan yag harus dipatuhi yaitu:
• APBDesa disusun berdasarkan RKPDesa yang telah ditetapkan dengan Perdes.
• APBDesa disusun untuk masa 1 (satu) tahun anggaran, terhitung mulai 1 Januari sampai
31 Desember.
• Rancangan APBDesa harus dibahas bersama dengan Badan Permusyawaratan Desa
(BPD).

15
• APBDesa dapat disusun sejak bulan September dan harus ditetapkan dengan Perdes,
selambat-lambatnya pada 31 Desember pada tahun yang sedang dijalani.
Selain itu, secara teknis dalam penyusunan APBDesa juga harus memperhatikan:
1. Pendapatan Desa
Pendapatan Desa yang ditetapkan dalam APBDes merupakan perkiraan yang terukur
secara rasional dan memiliki kepastian serta dasar hukum penerimaannya. Rasional
artinya menurut pikiran logis atau masuk akal serta sesuai fakta atau data.
2. Belanja Desa
Belanja desa disusun secara berimbang antara penerimaan dan pengeluaran, dan
penggunaan keuangan desa harus konsisten (sesuai dengan rencana, tepat jumlah, dan
tepat peruntukan), dan sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Pembiayaan Desa
Pembiayaan desa baik penerimaan pembiayaan maupun pengeluaran pembiayaan
harus disesuaikan dengan kapasitas dan kemampuan nyata/sesungguhnya yang
dimiliki desa, serta tidak membebani keuangan desa di tahun anggaran tertentu.
1. SILPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggara)
Dalam menetapkan anggaran Sisa Lebih Perhitungan Anggaran Tahun Anggaran
Sebelumnya (SiLPA), agar disesuaikan dengan kapasitas potensi riil yang ada,
yaitu potensi terjadinya pelampauan realisasi penerimaan desa, terjadinya
penghematan belanja, dan adanya sisa dana yang masih mengendap dalam
rekening kas desa yang belum dapat direalisasikan hingga akhir tahun anggaran
sebelumnya.Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat
dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban desa. Pengelolaan keuangan desa adalah
seluruh kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan,
pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa. Perencanaan Pembangunan
Desa meliputi RPJM Desa dan RKP Desa yang di susun secara berkjangka dan
ditetapkan dengan peraturan desa itu sendiri. Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa (RPJM Desa) untuk jangka waktu 6 (enam) tahun sedangkan
Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKP Desa) untuk jangka waktu 1 (satu) tahun.
Dalam menyusun RPJM Desa, pemerintah desa wajib menyelenggarakan
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) secara partisipatif.
Untuk mengetahui perencanaan dan pengaggaran yang partisipatif pada desa
16
tersebut dengan mengkomparasikan dalam pelaksanaan perencanaan yang harus
sesuai dengan unsur-unsur didalam perencanaan itu sendiri yaitu perencanaan
harus dilaksanakan dengan adanya upaya pemerintah desa melakukan musyawarah,
melibatkan BPD, melibatkan unsur masyarakat, dilaksanakannya Musdes dan
Musrembangdes.
2.2.8 Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa)
Berdasarkan proses penyusunan APBDesa yang dihasilkan, setelah melalui tahap
perencanaa, maka dimulailah tahap pelaksanaan kegiatan pokok yang mencakup, antara lain:
penyusunan Rencana Anggaran Biaya (RAB), pengajuan Surat Permintaan Pembayaran
(SPP), dan selanjutnya pelaksanaan kegiatan dilapangan. Pelaksanaan dalam Pengelolaan
Keuangan Desa adalah rangkaian kegiatan untuk melaksanakan rencana dan anggaran yang
telah ditetapkan APBDesa. Kegiatan pokok dalam fase pelaksanaan ini pada dasarnya bisa
dipilah menjadi 2 yaitu:
1. Kegiatan yang berkaitan dengan pengeluaran uang
2. Pelaksanaan kegiatan dilapangan.
2.2.9 Prinsip Good Governance

Good Governance adalah suatu peyelegaraan manajemen pembangunan yang solid


dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien,
penghindaran salah alokasi dana investasi dan pencegahan korupsi baik secara politik
maupun secara administratif menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan
politican framework bagi tumbuhnya aktifitas usaha. Good governance pada dasarnya adalah
suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang
dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh
pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam
suatu negara. Prinsip-Prinsip Good Governance yaitu:

1. Transparansi (Transparency)
Transparansi adalah keterbukaan atas semua tindakan dan kebijakan yang diambil oleh
pemerintah. Prinsip transparansi menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah
dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai. Tranparansi dibangun atas dasar arus
informasi yang bebas.

17
2. Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas adalah pertangungjawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang
memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Bentuk pertanggungjawaban
tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.
Instrumen dasar akuntabilitas adalah peraturan perundang-undangan yang ada, dengan
komitmen politik akan akuntabilitas maupun mekanisme pertanggungjawaban, sedangkan
instrumen-instrumen pendukungnya adalah pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan
kinerja penyelenggara pemerintahan dan sistem pengawasan dengan sanksi yang jelas dan
tegas.
1. Efektifitas dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency)
Kriteria efektif biasanya di ukur dengan parameter produk yang dapat menjangkau
sebesar-besarnya kepentingan masyarakat dari berbagai kelompok dan lapisan sosial.
Agar pemerintahan itu efektif dan efisien, maka para pejabat pemerintahan harus
mampu menyusun perencanaan-perencanaan yang sesuai dengan kebutuhan nyata
masyarakat, dan disusun secara rasional dan terukur. Dengan perencanaan yang
rasional tersebut, maka harapan partisipasi masyarakat akan dapat digerakkan dengan
mudah, karena program-program itu menjadi bagian dari kebutuhan mereka.
2. Kesetaraan (Equity)
Kesetaraan yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Semua warga masyarakat
mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.
Prinsip kesetaraan menciptakan kepercayaan timbal-balik antara pemerintah dan
masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan di dalam
memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

1. Peduli pada Stakeholder/Dunia Usaha


Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani
semua pihak yang berkepentingan. Dalam konteks praktek lapangan dunia usaha,
pihak korporasi mempunyai tanggungjawab moral untuk mendukung bagaimana
good governance dapat berjalan dengan baik di masing-masing lembaganya.
Pelaksanaan good governance secara benar dan konsisten bagi dunia usaha adalah
perwujudan dari pelaksanaan etika bisnis yang seharusnya dimiliki oleh setiap
lembaga korporasi yang ada didunia.
2. Berorientasi pada Konsensus (Consensus)

18
Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang
berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik
bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal
kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.
3. Tegaknya Supremasi Hukum (Rule of Law)
Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan
kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Sehubungan dengan
itu, dalam proses mewujudkan cita good governance, harus diimbangi dengan
komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter antara lain sebagai
berikut: Supremasi hukum (the supremacy of law), Kepastian hukum (legal certainty),
Hukum yang responsip, Penegakkan hukum yang konsisten dan non-diskriminatif,
Indepedensi peradilan. Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang
bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.
4. Visi Strategis (Strategic Vision)
Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa
yang akan datang. Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan
jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta
kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut.
Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan,
budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.
5. Partisipasi Masyarakat (Participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan,
baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang
mewakili kepentingan mereka.

19
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

APIP ( Aparatur Pengawas Internal Pemerintah) mengawal pelaksanaan tugas dari


apartur Desa, sehingga tidak ada praktek Korupsi, kolusi, dan Nepotisme (KKN). APIP
memberikan rekomendasi kepada aparatur desa mengenai hasil, hambatan dan penyimpangan
yang terjadi atas aktivitas yang dijalankan. Aparatur Desa melaksanakan siklus pengelolaan
keuangan, dimulai dari perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan dan
pertanggungjawaban sesuai waktu yang telah ditetapkan dan aturan yang berlaku, dalam
mengembangkan prinsip akuntabilitas. Selain itu peran aparatur desa untuk mengembangkan
prinsip transparansi yakni memberikan pelayanan informasi dan kemudahan dalam akses data
bagi masyarakat.

Dalam hal mengembangkan prinsip transparansi dan akuntabilitas APIP (Aparatur


Pengawas Internal Pemerintah) sebagai pengawal dan membarikan masukkan tentang
pengelolaan keuangan desa, serta Aparatur desa yang memiliki peran ganda baik sebagai
pengawas maupun pelaksana, harus berjalan dalam koridor yang telah ditetapkan didalam
Undang-Undang Nomor tahun 2014 tentang desa yaitu siklus pengelolaan keuangan desa,
sehingga dapat menuju Good Village Governance.

20
DAFTAR PUSTAKA

Faridah. 2015. “Transparansi dan Akuntabilitas Pemerintahan Desa dalam Pengelolaan


Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDES)”. SkripsiS-1. Surabaya: Sekolah
Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Stiesia Surabaya.
Yuliawan Rezal, 2016 “ peran perangkat desa untuk mengembangkan prinsip transparansi
dan akuntabilitas dalam Good Governance pada pemerintah desa”. Studi kasus di
Desa Pabelan Kecamatan Kartasura Kabupaten Sukoharjo. SkripsiS-
1.Surakarta:Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan Universitas Muhhamadiah
Surakarta.
Herlina, Mustakim, 2016. “peran APIP dan Aparatur Desa dalam pengelolaan keuangan desa
menuju good village Governance: pendekatan konsep Muroqobah.Artikel Penelitian.
Makassar:Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Alfajri Ridho,2018.” Pelaksanaan Good Governance dalam pengelolaan keuangan desa
berdasarkan peraturan menteri dalam negeri nomor 113 tahun 2014 tentang
pengelolaan keuangan desa”(studi kasus pada desa koto kambu kecamatan hulu
kuantan kabupaten kuantan singigi).Artikel Penelitian.Riau:Fakultas Ekonomi
Universitas Riau.

21

Anda mungkin juga menyukai