Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Saat ini krisis energi merupakan masalah yang serius bagi hampir semua negara
di dunia. Krisis energi ini terjadi karena ketidakseimbangan antara laju produksi dan
kebutuhan yang didorong laju pertambahan penduduk menyebabkan harga energi pun
semakin tinggi. Hal tersebut tentunya juga menguras cadangan energi dunia yang
semakin lama semakin berkurang.
Di Indonesia sendiri, menurut kementrian ESDM, Cadangan minyak bumi
terbukti saat ini diperkirakan 9 milyar barel, dengan tingkat produksi rata-rata 0,5
milyar barel per tahun.Diperkirakan cadangan minyak akan habis dalam waktu 18
tahun. Cadangan gas diperkirakan 170 TSCF (trilion standart cubic feed) sedangkan
kapasitas produksi mencapai 8,35 BSCF (billion standart cubic feed). Cadangan
batubara diperkirakan 57 miliar ton dengan kapasitas produksi 131,72 juta ton per
tahun. (Lansirang,2013)
Oleh karena itu, hampir semua negara sudah mulai melakukan uji coba dan
pencarian alternatif bahan bakar yang terbarukan sebagai pengganti atau substitusi
bahan bakar fosil. Dalam upaya untuk mencari energi alternatif kita harus
mempertimbangkan beberapa faktor utama yaitu energi, ekonomi, dan ekologi.
Dengan kata lain, energi alternatif yang dikembangkan harus dapat memproduksi
energi dalam jumlah yang besar dengan biaya yang rendah serta mempunyai dampak
yang minim terhadap lingkungan. Salah satu energi alternatif yang mungkin
memenuhi kriteria tersebut adalah pemanfaatan minyak nabati sebagai bahan bakar
hayati (biofuel).
Secara umum minyak nabati dapat terurai secara biologis dan lebih sempurna
(lebih dari 90% dalam waktu 21 hari) daripada bahan bakar minyak bumi (sekitar
20% dalam waktu 21 hari). Di samping itu,pemanfaatan minyak nabati sebagai bahan
bakar diharapkan dapat memberikan nilai ekonomi di bidang pertanian. Salah satu
minyak nabati yang mempunyai potensi untuk dijadikan sebagai bahan bakar
alternatif adalah minyak kelapa sawit. (Anindita,2014)
I.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja bahan yang dapat digunakan sebagai biofuel?
2. Apa saja metode yang digunakan untuk membuat biofuel?

I.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui bahan yang dapat digunakan sebagai biofuel
2. Untuk mengetahui metode yang digunakan untuk membuat biofuel
BAB II
DASAR TEORI

II.1 Pengertian Biofuel


Menurut Effendi (2009), Bahan bakar hayati atau biofuel adalah bahan bakar baik
padatan, cairan ataupun gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organik. Biofuel sendiri
terdiri atas biodiesel,bioethanol dan biogas yang dihasilkan oleh biomassa baik
tumbuhan, hewan dan limbah. Biofuel dapat dihasilkan secara langsung dari tanaman
atau secara tidak langsung dari limbah industri, komersial, domestik atau pertanian.
Ada tiga cara untuk pembuatan biofuel antara lain pembakaran limbah organik kering
(seperti buangan rumah tangga, limbah industri dan pertanian), fermentasi limbah
basah (seperti kotoran hewan) tanpa oksigen untuk menghasilkan biogas
(mengandung hingga 60 persen metana), atau fermentasi tebu atau jagung untuk
menghasilkan alkohol dan ester, dan energi dari hutan (menghasilkan kayu dari
tanaman yang cepat tumbuh sebagai bahan bakar). Berikut ini sumber daya alam yang
berpotensi sebagai bahan dasar pembuatan biofuel :
Biofuel menawarkan kemungkinan memproduksi energi tanpa meningkatkan
kadar karbon di atmosfer karena berbagai tanaman yang digunakan untuk
memproduksi biofuel mengurangi kadar karbondioksida di atmosfer, tidak seperti
bahan bakar fosil yang mengembalikan karbon yang tersimpan di bawah permukaan
tanah selama jutaan tahun ke udara. Dengan begitu biofuel lebih bersifat carbon
neutral dan sedikit meningkatkan konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Penggunaan biofuel mengurangi pula ketergantungan pada minyak bumi serta
meningkatkan keamanan energi.
II.2 METODE PEMBUATAN BIOFUEL

Pembuatan biofuel dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode


perengkahan termal atau thermal cracking, perengkahan katalitik atau catalytic
cracking , perengkahan hydrocracking , dan metode lainnya. Berikut adalah
penjelasan dari masing-masing metode :

A. Metode Thermal Cracking

Proses yang telah dilakukan untuk menghasilkan biofuel antara lain


thermal cracking yang berlangsung pada suhu dan tekanan yang tinggi
sehingga menyebabkan kebutuhan energi yang besar, sehingga saat ini
dikembangkan proses perengkahan yang berkatalis.

B. Metode Catalytic Cracking

Proses perengkahan katalitik merupakan metode yang sederhana dan


efektif untuk pembuatan biofuel. Beberapa jenis katalis padat yang digunakan
pada proses perengkahan katalitik yaitu katalis, katalis Zirco-nium
kompleks , katalis CaO , katalis V 2O5 dan ZnO. Proses perengkahan katalitik
membutuhkan panas yang lebih sedikit dibandingkan perengkahan termal
serta konversi produknya lebih tinggi dibanding-kan hydrocracking, sehingga
proses ini lebih ekonomis dan lebih efisien (Hassan dkk.,2015).
Proses catalytic cracking ini dijalankan dalam reaktor batch dengan
tekanan operasi akan bergantung pada suhu dan waktu reaksi. Bahan baku
dan katalis (2% dari bahan baku) dimasukkan ke dalam reaktor. Waktu reaksi
dimulai ketika suhu reaktor telah mencapai suhu reaksi, dimana pada
penelitian ini waktu reaksi yang digunakan dari 60 menit - 150 menit dan
suhu reaksi dari 400oC - 450oC (Sirajudin dkk., 2013; Chew dan Bhatia,
2008).
Setelah reaksi selesai, reaktor didinginkan hingga mencapai suhu
ruangan dimana akan terbentuk produk dalam tiga fasa yakni fasa cair (liquid
product), padatan dan gas. Padatan dan liquid product dipisahkan secara
filtrasi sedangkan jumlah gas dihitung berdasarkan neraca massa dengan
mengurangkan jumlah awal bahan baku dengan jumlah liquid product dan
padatan yang diperoleh.

C. Metode Hydrocracking
Hydrocracking adalah proses perengkahan berkatalis dengan
mereaksikan minyak nabati dengan sejumlah gas hidrogen pada keadaan
suhu dan tekanan tertentu. Produk dari metode hydrocracking akan
dihasilkan biofuel berupa alkana cair rantai lurus dari C-15 sampai C-18.
Proses hydrocracking ini mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Dari segi kelebihan, proses ini dapat memberikan konversi yang tinggi,
yield ke arah middle distilat juga tinggi, kualitas alkana yang dihasilkan
mepunyai bilangan setana yang tinggi [1]. Dari segi kelemahan, proses ini
memerlukan energi yang cukup besar karena hydrocracking beroperasi pada
suhu dan tekanan yang tinggi, sehingga memerlukan peralatan khusus,
penentuan kondisi reaksi yang tepat (jenis katalis, preparasi katalis, suhu,
tekanan dan waktu reaksi). Berbagai macam katalis digunakan pada proses
perengkahan karena dengan pemakaian katalis suatu reaksi dapat berjalan
dengan waktu yang singkat, nilai konversi yang lebih besar. Katalis yang
banyak diterapkan pada reaksi perengkahan adalah katalis heterogen. Katalis
heterogen mempunyai kelebihan yaitu kemudahan dalam hal pemisahan dan
dapat digunakan kembali. Jenis katalis konvensional yang sering digunakan
untuk proses perengkahan adalah jenis katalis bimetal diantaranya adalah
CoMo/γ-Al2O3 , NiMo/ γ-Al2O3, NiMo/γ-Al2O3-SiO2. Namun, penggunaan
katalis-katalis tersebut membutuhkan penambahan komponen sulfur seperti :
H2S, dimethyl sulfide untuk menjadikan katalis dalam bentuk aktifnya.
Penambahan komponen sulfur menyebabkan residu sulfur dalam produk,
emisi gas H2S dan beberapa masalah korosi, serta saat ini semakin
berkembang mengenai kesadaran larangan penggunaan katalis konvensional
tersulfidasi sehingga menjadi daya dorong untuk mengembangkan katalis
bersih yang bebas dari sulfur. Nikel merupakan katalis yang sangat aktif
digunakan untuk reaksi hidrogenasi minyak nabati.
Proses hydrocracking dilakukan dalam sebuah reaktor bertekanan yang
diisi minyak kelapa sawit dan katalis NiMg/γ-Al2O3 15% wt Ni dengan
mengalirkan gas N2. Reaktor dipanaskan hingga mencapai variabel suhu
yang diinginkan kemudian mengalirkan gas H 2 ke dalam reactor hingga
tekanan 5 bar. Reaksi hydrocracking dilakukan selama variabel waktu yang
diinginkan dan dilakukan sampling. Proses hydrocracking berlangsung pada
range suhu 270-450oC dan tekanan mulai 25-80 bar.
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
Saat ini krisis energi merupakan masalah yang serius bagi hampir semua negara
di dunia. Krisis energi ini terjadi karena ketidakseimbangan antara laju produksi dan
kebutuhan yang didorong laju pertambahan penduduk menyebabkan harga energi pun
semakin tinggi. Hal tersebut tentunya juga menguras cadangan energi dunia yang
semakin lama semakin berkurang. Salah satu alternatif yang sedang dikembangkan
adalah pemanfaatan minyak nabati sebagai bahan bakar hayati (biofuel)
Menurut Effendi (2009), Bahan bakar hayati atau biofuel adalah bahan bakar baik
padatan, cairan ataupun gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organik. Biofuel dapat
dihasilkan secara langsung dari tanaman atau secara tidak langsung dari limbah
industri, komersial, domestik atau pertanian.
Pembuatan biofuel dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu metode
perengkahan termal atau thermal cracking, perengkahan katalitik atau catalytic
cracking , perengkahan hydrocracking , dan metode lainnya.

Anda mungkin juga menyukai