Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia memiliki keberagaman hayati yang membentang diseluruh
nusantara. Keragaman hayati tersebut terdiri dari bermacam-macam
tumbuhan, dari tumbuhan yang berkhasiat untuk menyehatkan tubuh hingga
hanya dimanfaatkan sebagai tanaman hias saja. Tanaman yang menyehatkan
tubuh disebut tanaman obat. Banyak sekali bagian tanaman obat yang
dimanfaatkan sebagai obat tradisional karena masing–masing khasiatnya
salah satunya pada bagian daun (Kinho et al., 2011).
Tanaman yang memiliki khasiat obat pada bagian daun antara lain daun
jambu biji untuk mengobati diare, daun kelor untuk meningkatkan ketahanan
alamiah tubuh, daun jeruk nipis untuk penurun panas dan di antara tanaman
obat tersebut ada tanaman obat lainnya yaitu tumbuhan matoa (Pometiae
pinnata). Matoa merupakan tanaman khas yang menjadi identitas flora bagi
daerah papua, tanaman ini sangat mudah dijumpai karena pohon matoa
sebenarnya tumbuh secara liar di hutan-hutan papua, penyebaran tanaman
matoa hampir terdapat di seluruh wilayah dataran rendah hingga tinggi
± 120 mdpl dan dapat tumbuh baik pada daerah yang kondisi tanahnya kering
(tidak tergenang). Tanaman matoa tumbuh juga di Sulawesi, Kalimantan, dan
Jawa pada ketinggian hingga sekitar 1.400 m di atas permukaan laut (Kadir,
2014).
Bagian dari tanaman ini yang sudah dimanfaatkan oleh mayarakat
adalah bagian buahnya untuk dikonsumsi langsung dan bagian daun.
Sebagian masyarakat didaerah asalnya, telah mengenal dan memanfaatkan air
dari seduhan daun matoa sebagai salah satu obat–obatan tradisional yang
diketahui mengandung senyawa kimia berupa flavonoid, tannin, dan saponin
(Dalimartha, 2005). Hasil penelitian dari Rahimah et al, (2013) telah
mengidentifikasi senyawa hasil isolate yang diperoleh dari daun matoa dan di
dapatkan senyawa golongan flavonoid.

1
2

Menurut Variany (1999) bahwa isolasi dari daun matoa pada analisis
reaksi warna diikuti analisis spektroskopi ultra violet menggunakan pereaksi
diagnostik menghasilkan adanya senyawa flavonoid golongan auron.
Flavonoid memiliki khasiat sebagai antioksida dan menekan sintesis
asam lemak yang penting bagi diet manusia dan penting bagi kesehatan
dalam tubuh serta baik untuk mencegah kanker. Flavonoid juga dapat
meningkatkan aktivitas lipoprotein lipase yang dapat menguraikan trigliserida
yang terdapat pada kilomikron (Sudhnessh et al, 1997).
Untuk melakukan penelitian ini kami menggunakan sampel daun matoa
yang tumbuh di desa Sumbersono kecamatan Lengkong dengan ketinggian 56
mdpl dengan kondisi tanah yang kering. Preparasi sampel dimulai dari daun
matoa (Pometiae pinnata) hijau segar yang dikeringkan dan dihaluskan
menjadi serbuk simplisia. Setelah dipreparasi teknik yang dipilih adalah
maserasi dengan tujuan untuk mengekstrak senyawa yang bersifat termolabil
karena maserasi dilakukan tanpa pemanasan. (Marjoni, 2016).
Selanjutnya dilakukan proses fraksinasi untuk memisahkan golongan
utama kandungan yang satu dan golongan utama lainnya. Ekstrak kental
etanol diambil kemudian dipartisi dengan n-Heksana terlebih dahulu dan
didapat fraksi n-Heksana dan fraksi etanol. Sedangkan fraksi etanol
dilanjutkan untuk dipartisi untuk di fraksinasi dengan etil asetat. Sehingga
diperoleh fraksi etanol dan fraksi etil asetat. Setelah itu dilakukan uji
pendahuluan dan penegasan dengan menambahkan serbuk magnesium dan
HCL pekat.
Kemudian identifikasi senyawa flavonoid dapat dilakukan dengan cara
kromotografi lapis tipis. Kromotografi lapis tipis merupakan suatu teknik
pemurnian senyawa metabolit yang terdiri dari fase gerak dan fase diam.
Alasan metode ini digunakan karena murah, mudah, alat yang digunakan
sederhana dan waktu analisis yang di gunakan lebih singkat . Berdasarkan
latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengambil judul
“Identifikasi Senyawa Flavonoid Pada Fraksi Etil Asetat Daun Matoa
(Pometiae pinnata J.G. Forst & G. Forst) Dengan Metode Kromotografi
Lapis Tipis.
3

1.2 Rumusan Masalah


Karya tulis ilmiah ini memiliki rumusan masalah yaitu apakah terdapat
identifikasi senyawa flavonoid pada fraksi etil asetat daun matoa (Pometiae
pinnata J.G. Forst & G. Forst) dengan metode kromotografi lapis tipis?

1.3 Tujuan
Tujuan dalam karya tulis ilmiah ini yaitu untuk membuktikan senyawa
flavanoid dalam fraksi etil asetat pada daun matoa (Pometiae Pinnata) secara
kromotagrafi lapis tipis.

1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan
tentang tanaman matoa baik senyawa didalamnya ataupun khasiatnya dan
menambah wawasan ataupun ketrampilan proses penelitian yang dilakukan
untuk memenuhi tugas karya tulis ilmiah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN TENTANG TANAMAN MATOA


2.1.1 Klasifikasi tanaman matoa (Depkes, 1994) :
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (Dikotil)
Sub Kelas : Dicotyledonae
Sub divisi : Angiospermae
Bangsa : Sapindales
Suku : Sapindaceae
Marga : Pometia
Jenis : Pinnata
Nama latin : Pometiae pinnata J.R.& G.Forst

Gambar 2.1 : Daun matoa

4
4
5

2.1.2 Morfologi Tanaman


Tanaman matoa merupakan tumbuhan berbentuk pohon
dengan tinggi 20–40 m dan ukuran diameter batang dapat 1,8 m,
batang silindris, tegak, warna kulit batang coklat keputih–putihan,
permukaan kasar, bercabang banyak sehingga membentuk pohon yang
rindang, percabangan simpodial, arah cabang miring hingga datar
(Kadir, 2014).
Matoa berdaun majemuk, tersusun berseling 4-12 pasang anak
daun. Saat muda daunnya berwarna merah cerah, setelah dewasa
menjadi hijau, bentuk jorong panjang 30–40 cm, lebar 8–15 cm.
Helaian daun tebal dan kaku, ujung meruncing (acuminatus), pangkal
tumpul (obtusus) tepi rata. Pertulangan dan menyirip (pinnate) dengan
permukaan atas dan bawah halus, berlekuk pada bagian pertulangan
(Kadir, 2014).
2.1.3 Identifikasi Tanaman
Nama daerah: Pakam (Batak karo), Lauteneng (Simalur), Langsek
anggang (Minangkabau), Leungsir (Sunda), Kayu
sapi/jagir (jawa), Matoa ngaage (Galileo), Ngaeke
(Tobelo), matoa (Maluku), kasai (Sumatra), tawang
(Papua) (Rumayoni, 2003).
2.1.4 Penyebaran Tanaman matoa
a. Secara generatif
Perbanyak secara generatif dengan biji. Sejauh ini
penanaman matoa oleh masyarakat umumnya dilakukan dengan
menempatkan biji secara langsung di tempat penanam atau
dengan memindahkan anakan yang tumbuh secara alami ke
tempat penanam yang diinginkan. Pohon hasil perbanyakan biji
mulai berbuah pada umur 4–5 tahun. Pada perbanyakan dengan
biji sebaiknya terbaiknya terlebih dahulu disemaikan dalam
polybag dan jika sudah cukup kuat dapat dilakukan perpindahan
kelapangan atau kebun. Jarak tanaman yang umum adalah 8
sampai 12 meter.
6

b. Secara Vegetatif
Tanaman matoa dapat pula diperbanyak secara vegetative
dengan cangkok, stek maupun sambung. Tanaman yang
diperbanyak dengan cangkokan sudah mulai berbuah pada umur
2-3 tahun (Kadir, 2014).

2.2 SIMPLISIA
2.2.1 Pengertian Simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat
yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali
dinyatakan lain, berupa bahan yang telah di keringkan (Depkes RI,
1978).
2.2.2 Cara pembuatan simplisia
Bersihkan simplisia dari bahan organik asing dan pengotoran
lain secara mekanik atau dengan cara lain yang cocok, keringkan pada
suhu yang cocok, haluskan, ayak. Kecuali dinyatakan lain, seluruh
simplisia harus dihaluskan menjadi serbuk (Depkes RI, 1978).
2.2.3 Cara penyimpanan simplisia
Semua simplisia harus disimpan sedemikian rupa sehingga
perubahan karena cahaya atau lengas (Depkes RI, 1978) :
a. Simplisia yang mudah menyerap air harus disimpan dalam wadah
tertutup rapat yang berisi kapur tohor.
b. Disimpan terlindung dari cahaya, berarti bahwa simplisiaharus
disimpan dalam wadah atau botol yang dibuat dari kaca inak-tinik
berwarna hitam, merah atau coklat tua.
c. Disimpan pada suhu kamar, jika tidak disertai penjelasan lain,
berarti disimpan pada suhu antara 15℃sampai 30℃.
d. Disimpan ditempat sejuk , jika tidak disertai penjelasan lain,
berarti disimpan pada suhu antara 5℃ sampai 15℃.
e. Disimpan di tempat singin, jika tidak ada penjelasan lain, berarti
disimpan pada suhu antara 0℃ sampai 5℃.
7

2.2.4 Uji simplisia


Untuk mengetahui kebenaran dan mutu obat tradisional
termasuk simplisia, maka dilakukan analisis yang meliputi analisis
kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif terdiri atas uji
organoleptis, uji makrokopis, uji mikrokopis dan uji histokimia
(Depkes RI, 2002) :
a. Uji organoleptis
Uji ini dilakukan untuk mengetahui kebenaran simplisia
menggunakan panca indra dengan mendiskripsikan bentuk,
warna, bau dan rasa.
b. Uji makroskopik
Uji ini dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar atau tanpa
menggunakan alat. Cara ini dilakukan untuk mencari khususnya
morfologi, ukuran dan warna simplisia yang diuji.
c. Uji mikroskopik
Uji ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang derajat
pembesarannya disesuaikan dengan keperluan. Simplisia yang
diuji dapat berupa sayatan melintang, radial, parademal maupun
membujur atau berupa serbuk. Pada uji mikroskopik dicari unsur-
unsur anatomi jaringan yang khas.
d. Uji histokimia
Uji ini bertujuan untuk mengetahui berbagai macam zat
kandunagn-kandungan yang terdapat dalam jaringan tanaman.
Dengan pereaksi spesifik zat-zat kandungan tersebut akan
memberikan warna yang spesifik pula sehingga mudah dideteksi
2.2.5 Macam-macam simplisia (Depkes RI, 2002) :
a. Simplisia nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh
bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi
sel yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang
dikeluarkan dari selnya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan
8

cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat


kimia murni.
b. Simplisia hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan utuh,
bagian hewan atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan
dan belum berupa zat kimia murni.
c. Simplisia pelika (mineral)
Simplisia pelican (mineral) adalah simplisia yang berupa bahan
pelican (mineral) yang belum diolah atau telah diolah dengan cara
sederhana dan belum berupa zat kimia murni.

2.3 EKSTRAKSI
2.3.1 Pengertian Ekstraksi
Ekstraksi adalah proses pemisahan bahan dari campurannya
dengan menggunakan pelarut tertentu (Marjoni, 2016).
2.3.2 Tujuan Ekstraksi
Untuk menarik semua zat aktif dan komponen kimia yang
terdapat dalam simplisia
2.3.3 Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan ekstraksi :
a. Jumlah simplisia yang akan diekstrak.
b. Derajat kehalusan simplisia.
c. Jenis pelarut yang digunakan dalam ekstraksi.
d. Waktu Ekstraksi.
e. Metode ekstraksi.
f. Kondisi proses ekstraksi.
2.3.4 Berdasarkan penggunaanya
a. Ekstraksi secara dingin :
1) Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi sederhana yang dilakukan
hanya dengan cara merendemkan simplisia dalam satu atau
campuran pelarut selama waktu tertentu pada temperature
kamar dan terlindung dari cahaya.
9

2) Perkolasi
Perkolasi adalah proses penyarian zat aktif secara dingin
dengan cara mengalirkan pelarut kontinu pada simplisia
selama waktu tertentu.
b. Ekstraksi secara panas :
1) Seduhan
Merupakan metode ekstraksi paling sederhana hanya dengan
merendam simplisia dengan air panas selama waktu tertentu
(5-10 menit).
2) Coque (penggodokan)
Merupakan proses penyarian dengan cara menggodok
simplisia menggunakan api dan hasilnya dapat langsung
digunakan sebagai obat baik secara keseluruhan termasuk
ampasnya atau hanya hasil godokannya saja tanpa ampas.
3) Infusa
Merupakan sediaan cair yang dibuat dengan cara menyari
simplisia nabati air pada suhu 90℃ selama 15 menit.
4) Digestasi
Merupakan proses ekstraksi yang cara kerjanya hampir sama
dengan maserasi, hanya saja disgesti menggunakan
pemanasan rendah pada suhu 30-40℃. Metode ini biasanya
digunakan untuk simplisia yang tesari baik pada suhu rendah.
5) Dekokta
Merupakan proses penyarian secara dekokta hampir sama
dengan infusa, perbedaannya hanya terletak pada lamanya
waktu pemanasan yaitu 30 menit suhu mencapai 90℃.
6) Refluks
Merupakan proses ekstraksi dengan pelarut pada titik didih
pelarut selama waktu dan jumlah pelarut tertentu dengan
adanya pendinginan baik (kondensor).
10

7) Soxhletasi
Merupakan proses ekstraksi panas menggunakan alat khusus
berupa esktraktor soxh.
c. Berdasarkan metode ekstraksi :
1) Ekstraksi tunggal
Merupakan proses ekstraksi dengan cara mencampurkan
bahan yang akan diekstrak sebanyak satu kali dengan
pelarut .kekurangan dari ekstraksi dengan cara seperti ini
adalah rendahnya rendemen yang dihasilkan.
2) Ekstraksi multi tahap
Merupakan suatu proses ekstraksi dengan cara
mencampurkan bahan yang akan diekstrak beberapa kali
dengan pelarut yang baru dalam jumlah yang sama banyak.
d. Ekstrak
1) Pengertian Ekstrak
Ekstrak merupakan suatu produk hasil pengambilan zat aktif
melalui proses ekstraksi menggunakan pelarut, dimana
pelarut yang digunakan di uapkan kembali sehingga zat aktif
ekstrak menjadi pekat (Marjoni, 2016).
2) Menurut Farmakope Indonesia :
a) Ekstrak cair adalah ekstrak hasil penyarian bahan alam
dan masih mengandung pelarut.
b) Ekstrak kental adalah ekstrak yang telah mengalami
proses penguapan dan sudah tidak mengandung cairan
pada pelarut lagi, tetapi konsistensinya tetap cair pada
suhu kamar.
c) Ekstrak kering adalah yang telah mengalami proses
penguapan dan tidak lagi mengandung pelarut dan
berbentuk padat (kering).
11

e. Berdasarkan kandungan ekstrak :


1) Ekstrak alami adalah ekstrak murni yang mengandung bahan
obat herbal alami kering, berminyak, tidak mengandung
solvent dan eksipien.
2) Ekstrak non alami adalah sediaan herbal yang tidak
mengandung bahan alami. Ekstrak non alami dapat berbentuk
ekstrak kering (campuran gliserin, propilenglikol); extracta
kering(lactose); ekstrak cair, tincture; sediaan cair non
alkohol (air, gliserin) dan maserat berminyak.

2.4 MASERASI
2.4.1 Pengertian Maserasi
Maserasi merupakan salah satu cara ekstraksi yang sangat
sederhana hanya dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia
dengan pelarut yang cocok dan tanpa pemanasan (Marjoni, 2016).
Teknik ini pilih karena peralatan yang digunakan sangat sederhana,
pengerjaan relative sederhana dan mudah dilakukan biaya relative
murah. Pelarut yang digunakan pada maserasi adalah etanol karena
etanol selain cocok untuk mengektrsak senyawa-senyawa yang
bersifat polar etanol juga bersifat netral dan lebih selektif.
2.4.2 Modifikasi metode maserasi :
a. Digesti
Digesti adalah meserasi kinetik (pengadukan kontiniun)
menggunakan pemanasan lemah yaitu pada suhu 30℃ – 50℃.
b. Maserasi dengan mesin pengaduk
Pengguna mesin pengaduk yang berputar secara kontiniun dapat
mempersingkat waktu maserasi menjadi 6 sampai 24 jam.
c. Remaserasi
Simplisia dimaserasi dengan pelarut pertama, setelah diendapkan,
tuangkan dan diperas, ampasnya dimaserasi kembali dengan
pelarut kedua.
12

d. Maserasi melingkar (MB)


Pada metode ini, pelarut secara berkesinambungan mengalir dan
menyebar melalui serbuk simplisia dan malarutkan zat aktif yang
terdapat dalam simplisia.
2.4.3 Prinsip maserasi
Proses melarutnya zat aktif berdasarkan sifat kelarutannya
dalam suatu pelarut (like dissolved like). Ekstraksi zat aktif dilakukan
dengan cara merendam simplisia nabati dalam pelarut yang sesuai
selama beberapa pada suhu kamar dan terlindung dari cahaya
(Marjoni, 2016).
2.4.4 Kelebihan dari metode maserasi :
a. Peralatan yang digunakan sangat sederhana.
b. Teknik pengerjaan relatif sederhana dan mudah dilakukan.
c. Biaya operasionalnya relatif rendah.
d. Dapat digunakan untuk mengekstraksi senyawa-senyawa yang
bersifat termolabil karena maserasi dilakukan tanpa pemanasan.
e. Proses ekstraksi lebih hemat penyari.
2.4.5 Kekurangan dari metode maserasi :
a. Kerugian utama dari metode maserasi adalah butuh banyak
waktu.
b. Pelarut yang digunakan cukup banyak.
c. Proses penyariannya tidak sempurna, karena zat aktif hanya
mampu terekstaksi sebesar 50%.
d. Kemungkinan besar ada senyawa yang hilang saat ekstraksi.

2.5 FRAKSINASI
2.5.1 Pengertian fraksinasi
Fraksinasi merupakan metode pemisahan campuran menjadi beberapa
fraksi yang berbeda susunannya. Fraksi diperlukan untuk memisahkan
golongan utama kandungan yang satu dari golongan utama yang
lainnya. Prosedur pemisahan senyawa dilakukan berbedaan
kepolarannya (Harbone, 1987).
13

2.5.2 Berdasarkan kepolarannya (Marjoni, 2016) :


a. Pelarut polar
Pelarut polar adalah senyawa yang memiliki rumusan umum
ROH dan menunjukan adanya atom hydrogen yang menyerang
atom elektro negatif (oksigen). Pelarut dengan tingkat kepolaran
yang tinggi merupakan pelarut yang cocok baik untuk semua jenis
zat aktif (universal) karena disamping menarik senyawa yang
bersifat polar, pelarut polar juga tetap dapat menarik senyawa-
senyawa dengan tingkat kepolaran lebih rendah.
Contoh : Air, etanol, metanol, asam asetat
b. Pelarut semipolar
Pelarut semipolar adalah pelarut yang memiliki molekul yang
tidak mengandung ikatan O-H. Pelarut semipolar memiliki tingkat
kepolaran yang lebih rendah disbanding dengan pelarut polar.
Pelarut ini baik digunakan untuk melarutkan senyawa-senyawa
yang juga bersifat semipolar dari tumbuhan.
Contoh : Aseton, etil asetat, DMSO, dikloro metan
c. Pelarut non polar
Pelarut non polar merupakan senyawa yang memiliki konstan
dielektrik yang rendah dan tidak larut dalam air. Pelarut ini baik
digunakan untuk menarik senyawa- senyawa yang sama sekali
tidak larut dalam pelarut polar seperti minyak.
Contoh : n-Heksana, kloroform, eter

2.6 FLAVONOID
2.6.1 Pengertian flavonoid
Flavonoid adalah suatu kelompok senyawa fenol yang
ditemukan di alam yang besar jumlahnya dan kebanyakan ditemukan
dalam tumbuhan tingkat tinggi. Senyawa-senyawa ini mempunyai
kerangka dasar karbon dengan susunan C6 – C3 – C6 dimana gugus aril
(C6) teriakat pada suatu rantai propan (C3) (Kristanti et al, 2008).
14

Gambar 2.1 : Struktur Kimia Flavonoid

Flavonoid sebenarnya terdapat pada semua bagian tumbuhan


termasuk daun, akar, kayu, kulit, tepung sari, nectar, bunga, buah
buni, dan biji, kecuali pada alga dan hornwort. Hanya sedikit saja
catatan yang melaporkan adanya flavonoid pada hewan, misalnya
dalam kelenjar bau berang-berang, propolis (sekresi lebah), dan
didalam sayap kupu-kupu, itupun dengan anggapan bahwa flavonoid
tersebut berasal dari tumbuhan yang menjadi makanan hewan
tersebut dan tidak di biosintesis didalam tubuh mereka (Markham,
1988).
2.6.2 Fungsi flavonoid :
Beberapa kemungkinan fungsi flavonoid yang lain bagi
tumbuhan adalah sebagai zat pengatur tumbuhan, pengatur proses
fotosintesis, sebagai zat antimikroba, antivirus, dan antiinsektisida.
Selain itu telah banyak flavonoid yang di ketahui memberikan efek
fisiologis tertentu (Kristanti et al, 2008).
2.6.3 Golongan flavonoid : Flavanon, Flavononol, Flavon, Flavonol,
Antosianidin, Calkon, Dihidrocalkon, Auron, Isoflavonoid,
Neoflavonoid (Kristanti et al, 2008)
a. Flavon dan flavanonol merupakan flavonoid yang tersebar di
alam dalam jumlah yang terbatas. Keduanya merupakan
senyawa tidak berwarna atau sedikit kuning.
b. Flavon dan flavonol merupakan flavonoid utama karena
termasuk jenis flavonoid yang banyak dijumpai di alam.
15

c. Antosianidin merupakan flavonoid utama karena termasuk jenis


flavonoid yang banyak dijumpai di alam, terutama dalam bentuk
glikosidanya, yang di namakan antosianin. Antisianin adalah
pigmen daun dan bunga dari yang berwarna merah hingga biru .
d. Calkon dan dihidrocalkon merupakan flavonoid terbesar dalam
jumlah terbatas.
e. Auron terbesar di alam dalam jumlah terbatas. Auron memiliki
kerangka benzal kumaranon. Auron merupakan pigmen kuning
mas yang terdapat dalam bunga tertentu dan bryophita. Banyak
di jumpai dalam bentuk glikosida atau eter metil.
f. Isoflavonoid dan neoflavonoid hanya di temukan dalam
bebreapa jenis tumbuhan.
2.6.4 Flavonoid merupakan senyawa polar, maka umumnya flavonoid
larut dalam pelarut polar seperti air, etanol, metanol, butanol, aseton,
dimetilsulfoksida dan lain-lain (Markham, 1988).

2.7 KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS


2.7.1 Pengertian Kromatografi lapis tipis
Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan komponen
kimia berdasarkan adsorbs dan partisi, yang ditentukan oleh fase
diam (absorben) dan fase gerak (eluen) (Marjoni, 2016).
2.7.2 Fase pada kromotografi lapis tipis :
a. Fase Diam
Fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri dari bahan padat
yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar dengan
bantuan bahan pengikat. Beberapa bahan yang digunakan
sebagai fase diam dalam kromotografi lapis tipis diantaranya
silica gel, alumina, kieselguhr dan selulosa. Fase diam harus
mengandung air sekecil mungkin, karena air akan menepati
semua titi penyerapan sehingga tidak aka nada senyawa yang
melekat. Sebelum digunakn, plat KLT sebaiknya diaktifkan
terlebih dahulu dengan cara pemanasan pada suhu 110 selama
30 menit.
16

b. Fase gerak
Fase gerak terdiri dari satu atau beberapa pelarut dan bila
diperlukan dapat menggunakan sistem pelarut campur. Untuk
memisahkan senyawa-senyawa organik, biasanya selalu
digunakan pelarut campuran untuk memperoleh sistem
pengembangan yang cocok sehingga hasil pemisahan senyawa
menjadi lebih baik.
2.7.3 Prinsip Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan komponen
berdasarkan adsorsi dan partisi, yang di tentukan oleh fase diam
(adsorben) dan fase gerak (eluen). Sebuah silia gel atau alumina
berfungsi sebagai fase diam sedangkan untuk fase gerak berupa
pelarut atau campuran pelarut yang sesuai dengan bahan yang akan
dipisahkan.
2.7.4 Tujuan kromatografi lapis tipis :
a. Sebagai metode untuk mencapai hasil kualitatif, kuantitatif atau
preparative.
b. Untuk mencari sistem pelarut yang akan dipakai dalam
kromotografi kolom.
2.7.5 Persyaratan dalam menggunakan kromotografi lapis tipis :
a. Senyawa yang digunakan mempunyai tingkat penguapan yang
rendah
b. Senyawa bersifat polar, semi polar, non polar atau ionik.
c. Sampel dalam jumlah banyak harus dilakukan analisis simulasi.
d. Sampel yang akan dianalisis akan merusak kolom pada
kromtografi cair ataupun kromatografi gas.
e. Pelarut yang digunakan akan menggunakan penjerap dalam
kolom kromatografi cair.
f. Komponen dari campuran dari suatu senyawa akan diseteksi
terpisah setelah pemisahan atau akan dideteksi dengan berbagai
metode secara bergantian (misalnya pada drug screening).
17

2.7.6 Kegunaan kromatografi lapis tipis :


a. Untuk menentukan banyaknya komponen dalam campuran.
b. Identifikasi senyawa.
c. Memantau berjalannya suatu reaksi.
d. Menentukan efektifitas pemurnian.
e. Menentukan kondisi yang sesuai untuk kromatografi kolom.
f. Untuk memantau kromatografi kolom.
g. Melakukan screening sampel untuk obat.
2.7.7 Keunggulan kromatografi lapis tipis (Marjoni, 2014) :
a. Mampu memisahkan campuran senyawa menjadi senyawa
murninya.
b. Mampu mengetahui kuantitas dari suatu senyawa.
c. Mampu analisis cepat.
d. Memerlukan bahan sangat sedikit.
e. Mampu memisahkan senyawa-senyawa yang bersifat hidrofobik
f. Dapat digunakan untuk mencari eluen untuk kromatografi
kolom.
2.7.8 Identifikasi dan Harga Rf
a. Pengertian harga Rf
Bilangan Rf didefinisikan sebagai jarak ditempuh oleh tiap
bercak dari titik penotolan diukur dari pusat bercak. Harga Rf
biasanya berkisar antara 0,00-1,00 dan harga Rf ini sangat
berguna untuk mengidentifikasi suatu senyawa (Marjoni, 2016).
b. Faktor -faktor yang mempengaruhi harga Rf :
1) Struktur kimia senyawa yang dipisahkan.
2) Sifat penyerap.
3) Tebal dan kerataan lapisan penyerap.
4) Pelarut dan derajat kemurniannya.
5) Derajat kejenuhan uap pengembangan dalam bejana.
6) Teknik percobaan.
7) Jumlah cuplikan yang digunakan
8) Suhu
18

c. Rumus nilai Rf

Nilai Rf = Jarak Tempuh zat yang terlarut y


Jarak tempuh zat pelarut = x

2.8 KERANGKA KONSEP


Kerangka konsep adalah hubungan antara konsep-konsep yang ingin
diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoatmodjo,
2010).
Daun Matoa
(Pometiae pinnata)

Ekstraksi secara
maserasi

Fraksinasi Flavonoid

Uji Penegasan Flavonoid

Uji KLT Flavonoid

Kesimpulan

Gambar 2.3 : Kerangka Konseptual Identifikasi Senyawa Flavonoid Pada


Fraksi Etil Asetat Daun Matoa (Pometiae pinnata J.G. Forst
& G. Forst) Dengan Metode Kromotografi Lapis Tipis.

2.9 HIPOTESA PENELITIAN


Hipotesa penelitian adalah mencoba mengutarakan jawaban sementara
terhadap masalah yang akan diteliti.
Ho : Tidak adanya Flavonoid pada daun matoa
Hi : Adanya Flavonoid pada daun matoa
19

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 PENGERTIAN METODE PENELITIAN


Metode penelitian adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran
ilmu pengetahuan atau pemecahan masalah, pada dasarnya menggunakan
metode ilmiah ( Notoatmodjo, 2010).

3.2 WAKTU DAN TEMPAT


3.2.1 Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan mulai tanggal Februari 2020
3.2.2 Tempat
a. Determinasi Tanaman
Dilakukan oleh lembaga peneliti di Materia Medika Batu untuk
mengetahui identitas tanaman yang digunakan berdasarkan
klasifikasi ilmiahnya.
b. Tempat Pengambilan Sampel
Sampel yaitu daun matoa yang berwana hijau segar diambil dari
Desa Sumbersono, Kecamatan Lengkong, Kabupaten Nganjuk.
c. Tempat penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Farmakognosi Arga
Husada Jl. Mahakam No.5 Bendo Pare.

3.3 KRITERIA INKLUSI DAN KRITERIA EKSKLUSI


3.3.1 Kriteria inklusi :
a. Daun matoa yang bagus dan tidak berlubang
b. Daun matoa yang berwarna hijau segar
3.3.2 Kriteria eksklusi :
a. Daun matoa yang rusak
b. Daun matoa yang tidak berwarna hijau dan sudah kering

19
20

3.4 PROSEDUR KERJA


3.4.1 Bahan yang digunakan :
a. Simplisia daun matoa
b. Etanol 96% (One Med)
c. Etil asetat (Chemical Indonesia Multisentosa)
d. n-Heksana (Chemical Indonesia Multisentosa)
e. HCL pekat (Chemical Indonesia Multisentosa)
f. Serbuk magnesium (Chemical Indonesia Multisentosa)
g. Aquadestilata (JRP Laboratory)
h. Silica gel GF 254nm
3.4.2 Alat yang digunakan :
a. Beaker gelas (Pyrex)
b. Kain saring / kassa (One Med)
c. Batang pengaduk (Pyrex)
d. Corong (Pyrex)
e. Gelas ukur (Pyrex)
f. Cawan penguap (Pyrex)
g. Corong pemisah (Pyrex)
h. Lampu UV
i. Pipet volum (Pyrex)
j. Bejana
3.4.3 Pengambilan dan pengolahan simplisia :
Daun matoa yang berwarna hijau segar dipanen dengan cara manual
yaitu dipetik dengan tangan kemudian dilakukan sortasi basah untuk
memisahkan zat pengotor yang melakat pada daun. Kemudian daun
dicuci dengan menggunakan air yang mengalir. Setelah itu daun
matoa dilakukan perajangan untuk memperkecil ukuran partikel, lalu
daun matoa dikeringkan dengan cara diangin-anginkan atau tidak
terkena cahaya matahari langsung. Daun matoa yang sudah kering
kemudian dilakukan penggilingan dengan menggunakan blender dan
diayak menggunakan ayakan mesh 44 untuk menyamakan ukuran
partikel (Rivai et al., 2014).
21

3.4.4 Pembuatan ekstrak dengan cara maserasi :


a. Menyiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Menimbang serbuk daun matoa sebanyak 200 gram dan
memasukannya kedalam bejana.
c. Mengukur pelarut etanol 96% sebanyak 1.500 ml. Kemudian
masukkan kedalam bejana yang berisi simplisia dan merendam
simplisia hingga 6 jam pertama sambil sekali-sekali diaduk.
Kemudian diamkan selama 18 jam.
d. Setelah itu disaring dengan kain penyaring, ampas yang didapat
kemudian diremaserasi. Sampai hasil filtrat maserasi mendekati
wrana pelarut etanol 96 % (tersari sempurna).
e. Filtrat yang diperoleh dipekatkan diwaterbath pada suhu 40-50℃
hingga kosentrasi yang diingkan sebanyak ⅓ – ½ volume.
f. Menimbang dan menghitung rendeman ekstrak kental daun matoa

3.5 PEMERIKSAAN KARAKTERISTIK EKSTRAK


3.5.1 Organoleptik
Pengujian dilakukan dengan mengamati bentuk, warna, dan bau dari
ekstrak yang dihasilkan (Depkes RI, 2002).
3.5.2 Susut Pengeringan
Menurut Depkes RI (2002), susut pengeringan dihitung dengan cara
membandingkan bobot kering simplisia dengan bobot basah
simplisia yang digunakan.

Bobot kering simplisia


% Susut pengeringan = x 100 %
Bobot basah simplisia

3.5.3 Rendemen ekstrak


Menurut Depkes RI (2002), rendemen ekstrak dihitung dengan
membandingkan bobot awal ekstrak yang dihasilkan dengan bobot
awal simplisia.

Bobot ekstrak yang dihasilkan


% Rendemen = x 100 %
Bobot awal simplisia
22

3.6 CARA KERJA FRAKSINASI


3.6.1 Timbang ekstrak etanol 96 % daun matoa sebanyak 3 gram masukkan
kedalam corong pemisah dan ditambah pelarut n-Heksana sebanyak
30 ml diaduk atau digojok selama 15 menit didiamkan beberapa saat
hingga terbentuk 2 lapisan.
3.6.2 Lapisan n-Heksana ditampung dan lapisan ekstrak etanol didalam
corong pisah ditambah pelarut n-Heksana yang baru digojok selama
15 menit. Proses ini dilakukan sebanyak 3x sehingga mendapatkan
fase etanol.
3.6.3 Kemudian ambil fase etanol 3 gram, fase etanol ditambah pelarut etil
asetat 30 ml digojok selama 15 menit dan didiamkan beberapa saat
sehingga terbukti 2 lapisan.
3.6.4 Lapisan etil asetat ditampung dan lapisan ekstrak etanol didalam
corong pisah ditambah etil asetat yang baru dan proses tersebut
diulang sebanyak 3x.
3.6.5 Hasil yang diperoleh kemudian dilakukan uji penegasan dan uji
identifikasi dengan metode kromatografi lapis tipis.

3.7 UJI ANALISIS FLAVONOID


3.7.1 Uji golongan flavonoid
a. Uji Wilstatter
1 ml ekstrak daun matoa + 2-4 tetes HCL pekat dan 2-3 potongan
kecil logam Mg kemudian dikocok. akan terjadi perubahan warna
dari kuning tua menjadi orange (Achmad, 1986).
b. Uji Bate-Smith
1ml ekstrak daun matoa + HCL pekat lalu dipanaskan dalam
waktu 15 menit diatas penangas air. Reaksi positif akan memberi
warna merah (Achmad, 1986).
3.7.2 Uji penegasan flavonoid
a. Fraksi etil asetat dengan penambahan pereaksi serbuk magnesium
dan 2-4 tetes HCL pekat, akan terjadi warna kuning tua menjadi
orange
23

b. Fraksi etil asetat dengan penambahan pereaksi 3 tetes HCL pekat


kemudian dipanaskan, akan terjadi warna merah.
3.7.3 Uji Kromatografi lapis tipis
a. Penyiapan fase diam
Silika gel 254 nm dipotong dengan ukuran 10cm x 2,5cm dan beri
garis 1,5cm dari bawah dan 0,5 cm dari atas, kemudian dicuci
dengan metanol, lalu diaktivasi dengan oven pada suhu 100°C
selama 10 menit.
b. Penyiapan fase gerak
Identifikasi senyawa flavonoid fase gerak N-Butanol : Asam
asetat : Air ( 4:1:5) dengan penampak noda uap ammonia.
c. Penjenuhan chamber
Dalam chamber yang berisi eluen dimasukkan kertas saring
hingga dasar chamber, kemudian chamber ditutup. Chamber
dinyatakan jenuh bila kertas saring telah basah sampai atas.
d. Uji Kromatografi Lapis Tipis Flavonoid
Hasil dari fraksinasi etil asetat ditotolkan pada lempeng,
menggunakan pipa kapiler sampai diperoleh penotolan yang
sempurna. Lempeng yang telah ditotol dimasukan dalam chamber
yang berisi eluen. Kemudian chamber ditutup dengan penutup
chamber, lempeng dibiarkan terelusi sampai batas atas. Lempeng
dikeluarkan dari chamber kemudian diangin- angin hingga kering.
Amati noda dibawah sinar uv 254 nm Semprot lempeng dengan
reagen sitroborat amati kembali dibawah sinar uv dan ditandai
(lingkaran). Kemudian hitung nilai Rf (Marliana, 2005).
e. Perhitungan nilai Rf
Perhitungan atau penentuan zat warna dengan cara mengukur
nilai Rf jarak yang ditempuh oleh senyawa dibagi dengan jarak
yang ditempuh oleh garis depan pengembangan (Markham,
1988).
24

Rumus:

Jumlah Tempuh Zat yang Terlarut y


Nilai Rf = =
Jumlah Tempuh Zat Pelarut x
3.8 KERANGKA KERJA
3.8.1 Pengambilam Sampel

Daun matoa

Determinasi tanaman
Sortasi Basah

Pembersihan kotoran
Pencucian
(dengan air mengalir)

Perajangan
(manual dengan pisau)

Pengeringan dengan cara diangin-


anginkan
(pada suhu ruang 15-30ᵒC)

Sortasi Kering

Penggilingan dengan blender

Diayak menggunakan ayakan


mesh 44
25

2.8.2 Ekstraksi Maserasi


Simplisia daun matoa
(200 gram)

+ etanol 96% 1500 ml [10:75


(b/v)]

Ekstraksi maserasi pada suhu


ruang (15-30°C) selama 6 jam
dengan pengadukkan

Diamkan selama 18 jam

Ekstrak disaring
(dengan kain saring)

Ampas diremaserasi sampai


tersari sempurna

Oven pada suhu 40°C sampai


diperoleh ekstrak kental
26

2.8.3 Proses Fraksinasi

Ekstrak daun matoa 3 gram + n-


heksana 30 ml

Digojok 15 menit, Diamkan


sampai terbentuk 2 lapisan

Lapisan n-heksana
ditampung

Lapisan ekstrak + n-heksana


digojok 15 menit

Ulang 3 x sampai fase etanol

Fase etanol + etil asetat digojok


15 menit, diamkan sampai 2
lapisan

Lapisan etil asetat dilakukan uji


penegasan
27

2.8.4 Uji Kromatografi Lapis Tipis

N-Butanol : Asam asetat : Air


( 4:1:5) (Chamber)

lempeng KLT
P : 10 cm L: 2 cm

Penjenuhan Chamber

Aktivasi

Hasil Fraksinasi
Chamber Jenuh ditotolkan pada lempeng

Hasil
28

DAFTAR PUSTAKA

Achmad, SA.1986, Kimia Organik Bahan Alam, Kurnika. Jakarta

Dalimartha S. 2005. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, jilid 3, Puspaswara, Jakarta.

Depkes RI. 1978. Materia Medika Indonesia.Jilid II. Jakarta: Depatermen


Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. 1995. Materia Medika Indonesia.Jilid V. Jakarta: Depatermen


Kesehatan Republik Indonesia.

Harbone JB. 1987. Metode Fitokimia Cara Modern Menganalisis Tumbuhan.


Bandung: ITB Press

Kadir IS. 2014. Buku Seri Matoa Tanaman Khas Papua. Papua: BPTP (Balai
Pengkajian Teknologi Pertanian Papua).

Kristanti AV, Aminah NS, Tanjung M, Kurniadi B. 2008. Fitokimia. Surabaya:


Airlangga University Press.

Marjoni R. 2016. Dasar – Dasar Fitokoimia Untuk Diploma III.Penerbit TIM.


Jakarta

Markham KR. 1988.Cara Mengidentifikasi Flavonoid, Padmawinata K,


Penerjemah; Niksolihin S, Penyunting; Bandung: ITB

Notoatmodjo S. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Renika Cipta. Jakarta

Rahimah, Sayekti E, Jayusa A. 2013. Karakterisasi senyawa falvonoid hasil


isolasi dari fraksi etil asetat daun matoa (Pometiapinnata J.R & G
Forst).

Rumayoni NAA. 2003. Keragaman matoa buah (Pometiapinnata Foster) di


Jayapura [Diversity of Matoa Fruit (Pometiapinnata Foster) in
Jayapura. Undergraduated thesis, Manokwari], UniversitasNegeri
Papua.

Sudhessh SG. Pressankumar S. Vijayakumar NR, Vijayalashmi. 1997.


Hypolipidemic effect of flavonoid from solanummelongena. Plant
foods for human nutrition.

Sugiyono, (2017).Metode Penelitian Kuantitatif, Diaksespada 27 Januari 2018.


www.maribelajarbk.web.id/2015/07/pengertian-metode-penelitian-
kuantitatif.html.
29

Syamsuhidayat, Sri Sugati dan Jhony Ria Hutapea. 1994, Invetaris Tanaman Obat
Indonesia III. Depatermen Kesehatan Republik Indonesia: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.

Variany G. 1999. Isolasi dan identifikasi flavonoid dari daun matoa (Pometiae
pinnata J.R. & G. Forst). Yogyakarta: Fakultas Farmasi, Universitas
Gajah Mada.

Anda mungkin juga menyukai