TINJAUAN PUSTAKA
Manfaat Wortel
Wortel berasal dari Asia Selatan dengan penyebaran luas pada daerah tropis
dan subtropis (Pitojo 2006). Budidaya wortel di Indonesia awalnya hanya
terkonsentrasi di daerah Lembang dan Cipanas, Jawa Barat, selanjutnya wortel
berkembang dan menyebar ke berbagai daerah penghasil sayuran di Jawa dan luar
Jawa (Rukmana 1995).
Wortel sering dimanfaatkan sebagai bahan pangan sayur, pewarna makanan
dan minuman, serta bahan ramuan obat tradisional. Umbi wortel mengandung
4
Persyaratan Tumbuh
Wortel merupakan sayuran dataran tinggi pada kisaran 1200 m dpl dengan
iklim subtropis. Tanaman wortel dapat tumbuh dengan baik pada kondisi
lingkungan lembab dengan kisaran suhu 15.6 oC – 21.1 oC. Suhu udara yang
terlalu tinggi sering kali menyebabkan umbi menjadi kecil, terhambatnya
perkecambahan, penurunan kandungan β-karoten dan berwarna pucat (kusam)
(Pitojo 2006). Pracaya (2002) menambahkan jika suhu udara terlalu rendah
(sangat dingin) juga tidak baik bagi wortel karena umbi yang terbentuk menjadi
panjang dan kecil. Wortel dapat ditanam sepanjang tahun di Indonesia (Pracaya
2002).
Tanaman wortel tumbuh dengan baik pada tanah gembur, remah, poros,
serta memiliki aerasi udara yang bagus seperti tanah andosol (Pitojo 2006).
Tanah andosol banyak dijumpai di daerah dengan curah hujan 2000 mm setahun
tanpa bulan kering yang pasti. Andosol terbentuk dari bahan induk tufa atau abu
volkan yang berada di sekitar puncak gunung berapi atau dataran tinggi. Solum
tanah andosol agak tebal, berwarna hitam agak kuning, konsistensi gembur,
kadang-kadang membentuk pasir palsu dan fragipan, dan tekstur kaya debu.
Reaksi tanah berkisar dari agak masam sampai netral, kaya bahan organik pada
permukaan, kerapatan isi <0.85 g/cm3, kejenuhan basa sedang dengan KTK liat
>24 me/100 g, fiksasi P tinggi, miskin N, P, dan K, mineral liat dominan alofan,
permeabilitas sedang, dan peka erosi air dan angin (Supardi 1983). Keasaman
tanah andosol sangat cocok dengan sifat wortel yang tumbuh dengan baik pada
pH 6.0 – 6.8 (Pitojo 2006).
5
Sistematika
Nematoda berasal dari bahasa Yunani/ Greek “nematos” yang artinya
benang dan “eidos” yang berarti menyerupai. Secara harfiah nematoda merupakan
binatang yang bentuk tubuhnya menyerupai benang (Dropkin 1991).
Nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) tergolong ke dalam kingdom
Animalia, filum Nematoda, ordo Tylenchida, famili Heteroderidae, genus
Meloidogyne (Dropkin 1991). Menurut Kurniawan (2010), terdapat lima spesies
NPA yang dipertimbangkan sebagai nematoda parasit penting pada tanaman
wortel di Indonesia, yaitu M. arenaria, M. hapla, M. incognita, M. javanica, dan
M. chitwoodi.
Morfologi
Meloidogyne spp. tidak berwarna seperti halnya dengan jenis nematoda
parasit tumbuhan lainnya. Meloidogyne jantan dewasa, betina dewasa dan juvenil
mudah dibedakan berdasarkan morfologi tubuhnya (Eisenback et al. 2003).
Juvenil 2 (J2) berbentuk silindris dengan panjang ± 450 µm. Stilet dan
kerangka kepala J2 mengalami sklerotinasi yang tipis dengan ekor berbentuk
kerucut hialin dimulai dekat ujung ekor (Luc et al. 2005).
Tubuh nematoda betina berbentuk seperti buah pir dengan leher yang
pendek dan posterior membulat. Betina dewasa memiliki ukuran panjang 921 µm
6
yang diukur dari leher hingga posterior (Eisenback et al. 2003). Stilet berukuran
pendek dan mengalami sklerotinasi sedang. Nematoda betina memiliki kerangka
kepala lembek dengan lubang ekskresi terletak agak anterior sampai pada
lempeng klep median bulbs dan sering terlihat pada dekat basal stilet. Vulva
terletak subterminal dekat anus, kutikula berwarna agak keputihan, tipis dan
beranulasi jelas (Luc et al. 2005).
Nematoda jantan berbentuk seperti cacing (vermiform) dengan panjang
1873 µm (Eisenback et al. 2003). Stilet jantan lebih panjang dibandingkan
dengan stilet betina. Kerangka kepala nematoda jantan lebih kuat, dengan ekor
pendek setengah melingkar. Jantan memiliki spikula yang kuat dan tidak
mempunyai bursa (Luc et al. 2005).
Siklus Hidup
Siklus hidup nematoda terdiri dari 3 stadia, dimulai dari telur, juvenil, dan
dewasa. Stadia juvenil dibagi menjadi 4 tahap, yaitu Juvenil 1 (J1), Juvenil 2 (J2),
Juvenil 3 (J3), dan Juvenil 4 (J4) (Dropkin 1991). Setiap stadia dalam siklus hidup
nematoda berada di tempat yang berbeda-beda. Siklus hidup nematoda dapat
dilihat pada Gambar 1.
7
jasad renik (Roberts & Mullens 2002). Telur yang baru diletakan mengandung
zigot set tunggal. Embrio berkembang menjadi Juvenil 1 (J1) dan mengalami
pergantian kulit pertama menjadi Juvenil 2 (J2) (Dropkin 1991).
J1 mengalami perubahan menjadi Juvenil 2 (J2) saat telur menetas. J2
keluar dari cangkang telur dan masuk ke dalam tanah sebagai stadium infektif.
Setelah menemukan tempat infeksi yang cocok, J2 mengalami pertumbuhan dan
pergantian kulit tiga kali berturut-turut menjadi Juvenil 3 (J3), Juvenil 4 (J4), dan
dewasa di dalam jaringan inang (Dropkin 1991).
Nematoda jantan meninggalkan akar setelah dewasa sedangkan nematoda
betina hidup menetap pada jaringan tanaman inang (Roberts & Mullens 2002).
Sistem reproduksi betina terbentuk setelah fase dewasa, setelah itu pola sidik
pantat akan tampak (Eisenback & Trpiantaphyllou 1991). Betina mengalami
beberapa pergantian bentuk selama masa perkembangannya, setelah ganti kulit
terakhir betina tumbuh dengan cepat dan bentuknya menjadi seperti buah pir
(Franklin 1995).
Siklus hidup nematoda bergantung pada spesies nematoda dan temperatur
musim. Satu sampai tiga generasi dapat terjadi dalam satu musim. Temperatur
optimum untuk M. hapla, M. fallax, dan M. chitwoodi antara 15 ºC – 25 ºC,
sedangkan M. arenaria, M. incognita, dan M. javanica antara 25 ºC – 30 ºC.
Sangat sedikit aktivitas nematoda pada suhu di atas 38 ºC dan di bawah 5 ºC
(Roberts & Mullens 2002).
8
digunakan sebagai sumber nutrisi bagi nematoda (Vrain 1999; Williamson &
Richard 1996).
Nematoda memerlukan bantuan enzim untuk bergerak dan berkembang
biak di dalam sel inang. Enzim yang digunakan adalah enzim selulase, enzim
endopektin metal transeliminase, dan enzim proteolitik. Enzim-enzim tersebut
dapat menguraikan dinding sel tumbuhan yang mengandung protein dan
polisakarida (pektin selulose, hemiselulose, pektin sukrosa, dan glikosid) menjadi
bahan-bahan lain. Enzim selulase dapat menghidrolisis selulosa, enzim
endopektin metal transeliminase dapat menguraikan pektin, dan enzim proteolitik
dapat mengurai protein. Nematoda mengeluarkan enzim proteolitik dengan
melepaskan asam indol asetat yang merupakan heteroauksin tritopan yang diduga
membantu terbentuknya puru. Terurainya bahan-bahan penyusun dinding sel ini
menyebabkan dinding sel akan rusak dan terbentuk luka (Lamberti & Taylor
1979).
Gejala Penyakit
Gejala infeksi NPA pada tajuk tanaman wortel dicirikan dengan tanaman
yang mengerdil dan daun menguning (klorosis) yang menyebabkan berkurangnya
vigor tanaman. Apabila tanaman terinfeksi pada masa pembibitan, maka produksi
umbi akan sangat sedikit (Roberts & Mullens 2002).
Infeksi nematoda juga menyebabkan kerusakan pada akar tanaman karena
nematoda mengisap sel-sel pada akar, jaringan pembuluh terganggu sehingga
translokasi air dan hara terhambat. Kerusakan akar tanaman juga akan
menyebabkan pasokan air ke daun menjadi berkurang sehingga stomata menutup
dan laju fotosintesis menurun (Wallace 1987 dalam Mustika 2010). Akibatnya,
pertumbuhan tanaman terhambat dan produktivitas tanaman menurun
(Melakeberhan et al. 1987 dalam Mustika 2010).
Puru merupakan gejala khas dari infeksi NPA. Puru muncul sebagai tanda
awal terjadinya asosiasi antara tanaman wortel dan betina NPA. Puru terjadi
akibat pembesaran dan pembelahan sel yang berlebihan pada perisikel, serta
perubahan bentuk jaringan pengangkut. Tanaman yang mengalami infeksi berat
oleh NPA sistem perakarannya mengalami pengurangan jumlah akar.
Pembentukan akar baru hampir tidak terjadi, sehingga fungsi perakaran dalam
9
menyerap dan menyalurkan air dan unsur hara ke seluruh bagian tanaman
terhambat (Kurniawan 2010).
Bentuk puru akibat infeksi NPA berbeda-beda tergantung dari spesies
nematoda, misalnya M. hapla menyebabkan timbulnya puru seperti manik-manik
dan cenderung lebih kecil dibandingkan dengan puru yang diakibatkan oleh
spesies NPA lain, yang cenderung lebih besar dan menyatu (Roberts & Mullens
2002). Puru bergabung dan berjajar di sepanjang perakaran. Akar yang terinfeksi
biasanya pendek dan mempunyai sedikit akar lateral dan akar rambut (hairy root)
(Agrios 2005).
Malformasi merupakan salah satu gejala infeksi NPA selain adanya puru.
Infeksi NPA menyebabkan umbi tanaman wortel menjadi bercabang (forking)
(Nunez et al. 2008), membulat dengan ukuran lebih pendek, dan membentuk akar
rambut yang cukup banyak (hairiness) (Vrain 1982).
Infeksi NPA mengakibatkan tanaman semakin rentan terhadap infeksi OPT
lain. Infeksi cendawan patogen meningkat apabila kandungan eksudat puru akar
diubah dan jumlahnya lebih banyak, sehingga cendawan pada stadium istirahat
yang terjangkau oleh akar menjadi aktif (Agrios 2005).
Kisaran Inang
NPA punya kisaran inang yang luas. Lebih dari 700 spesies tanaman
menjadi inang Meloidogyne spp., diantaranya adalah kara, kacang, kubis, wortel,
waluh, tomat, labu, kentang, tanaman hias, dan rerumputan (Pitojo 2006).
M. arenaria, M. hapla, M. incognita, M. javanica, M. fallax, dan M. chitwoodi
telah dilaporkan menjadi parasit wortel di Amerika (Roberts dan Mullens 2002).
M. hapla dan M. chitwoodi dilaporkan menginfeksi kentang, bit, kacang polong
dan wortel di Eropa, selain itu M. chitwoodi juga menginfeksi tanaman jagung,
gandum, barley, dan oat (Zijlstra et al.1995).
Identifikasi NPA
Identifikasi nematoda diperlukan untuk mengetahui spesies penyebab
penyakit tanaman. Identifikasi dapat dilakukan dengan cara identifikasi
konvensional dan pendekatan biologi molekuler.
10
A B C D
Gambar 2 Perbedaan pola sidik pantat M. arenaria (A), M. hapla (B), M.
incognita (C), dan M. javanica (D) (sumber: Eisenback et al. 1981)
11
12
dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan
hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru hasil polimerasi
selanjutnya didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95 oC.
Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi
reaksi polimerasi berikutnya (Yuwono 2006).
Darmono (2001 dalam Rahmawati 2010) menyatakan bahwa DNA
digunakan sebagai objek eksploitasi karena spesifitasnya tinggi dan tidak
dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Amplifikasi bagian tertentu dari genom
nematoda merupakan cara efektif untuk karakterisasi dan identifikasi nematoda.
Power dan Haris (1993) melakukan pemisahan spesies nematoda puru akar
(Meloidogyne spp.) dengan mengamplifikasi gen DNA ribosomal.
DNA ribosomal (rDNA) mengkode RNA ribosomal. Ribosom adalah
makromolekul intraseluler yang menghasilkan protein atau rantai polipeptida.
Ribosom sendiri terdiri dari gabungan protein dan RNA (Richard et al. 2008).
DNA ribosomal merupakan bagian genom paling informatif dan bagian paling
sering digunakan pada studi filogenik. Setiap unit rDNA dalam satu rangkaian
kromosom mengkode gen dengan urutan 5’- 18S, 5.8S, 28S -3’ subunit rRNA.
Diantara daerah 18S dan 5.8S terdapat beberapa ratus pasang basa DNA yang
disebut internal transcribed spacer 1 (ITS 1), dan diantara 5.8S dan 28S adalah
ITS2 (Powers et al. 1997), daerah ini secara khusus digunakan untuk menentukan
sistematika molekuler dan tingkat variasinya tinggi (Jusuf 2001). Menurut
Odorico dan Miller (1997 dalam Rahmawati 2010) analisis filogenik dengan
penanda ITS dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan antar spesies.
Beberapa populasi nematoda puru akar dapat dibedakan dengan
membandingkan urutan parsial ITS yang diperoleh dengan PCR. Teknik
amplifikasi dengan menggunakan daerah ITS dapat mempermudah pendeteksian
karena sekuens ITS lebih terkonservasi dibandingkan dengan menggunakan yang
lain. Satu juvenil sudah cukup digunakan untuk PCR, akan tetapi amplifikasi ITS
menjadi lebih pendek (Zijlstra et al. 1995).