Anda di halaman 1dari 10

 

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Wortel (Daucus carota L.)

Sistematika dan Biologi


Wortel dalam taksonomi tumbuhan termasuk dalam divisi Spermatophyta,
kelas Angiospermae, ordo Umbelliferales, famili Umbelliferae (Pitojo 2006).
Bagian tubuh wortel terdiri atas daun, batang, dan akar. Daun wortel adalah daun
majemuk ganda dengan anak daun terletak beraturan dan berbentuk lanset. Daun
tidak berbulu dengan bagian tepi bercangap. Kedudukan daun pada batang
berselang-seling. Daun ditopang oleh pelepah daun yang berukuran besar dan
berbentuk pipih (perikladium), yang tidak membalut batang. Pelepah berlekuk
memanjang dan dapat berukuran hingga 30 cm di bagian bawah (Pitojo 2006).
Batang wortel beruas-ruas hingga delapan ruas. Cabang tanaman wortel
muncul dari ruas batang kedua yang berada dekat dengan permukaan tanah.
Umumnya ruas pada batang utama bagian bawah berjarak lebih pendek jika
dibandingkan dengan ruas batang bagian atas yang relatif lebih panjang. Cabang
tanaman berwarna hijau, keras namun tidak berkayu, dan di dalamnya terdapat
jaringan gabus (Pitojo 2006).
Akar tunggang muncul dari biji yang tumbuh tegak lurus ke dalam tanah.
Dalam perkembangannya, akar berubah bentuk serta fungsi menjadi umbi sebagai
tempat menyimpan cadangan makanan. Umbi berbentuk bulat dan memanjang
dengan memiliki beberapa warna seperti kuning kemerahan, jingga, putih, dan
ungu (Pitojo 2006).

Manfaat Wortel
Wortel berasal dari Asia Selatan dengan penyebaran luas pada daerah tropis
dan subtropis (Pitojo 2006). Budidaya wortel di Indonesia awalnya hanya
terkonsentrasi di daerah Lembang dan Cipanas, Jawa Barat, selanjutnya wortel
berkembang dan menyebar ke berbagai daerah penghasil sayuran di Jawa dan luar
Jawa (Rukmana 1995).
Wortel sering dimanfaatkan sebagai bahan pangan sayur, pewarna makanan
dan minuman, serta bahan ramuan obat tradisional. Umbi wortel mengandung
4

tiga elemen penting, yaitu betakaroten, vitamin A, dan fitokemikalia. Betakaroten


dapat digunakan sebagai pewarna makanan, selain itu dapat mengurangi
kerusakan kulit akibat sinar matahari. Kandungan vitamin A selain berguna untuk
kesehatan mata juga dapat memperkuat membran sel sehinga lebih kuat melawan
penyakit yang diakibatkan mikroorganisme. Sedangkan fitokemikalia dapat
mengurangi resiko stroke, menghindari proses penuaan dini, menjaga
keseimbangan metabolisme hormonal, dan berperan sebagai anti virus serta anti
bakteri (Pitojo 2006). Wortel juga mengandung mineral Ca, P, K, dan serat yang
baik bagi tubuh (Novary 1997).

Persyaratan Tumbuh
Wortel merupakan sayuran dataran tinggi pada kisaran 1200 m dpl dengan
iklim subtropis. Tanaman wortel dapat tumbuh dengan baik pada kondisi
lingkungan lembab dengan kisaran suhu 15.6 oC – 21.1 oC. Suhu udara yang
terlalu tinggi sering kali menyebabkan umbi menjadi kecil, terhambatnya
perkecambahan, penurunan kandungan β-karoten dan berwarna pucat (kusam)
(Pitojo 2006). Pracaya (2002) menambahkan jika suhu udara terlalu rendah
(sangat dingin) juga tidak baik bagi wortel karena umbi yang terbentuk menjadi
panjang dan kecil. Wortel dapat ditanam sepanjang tahun di Indonesia (Pracaya
2002).
Tanaman wortel tumbuh dengan baik pada tanah gembur, remah, poros,
serta memiliki aerasi udara yang bagus seperti tanah andosol (Pitojo 2006).
Tanah andosol banyak dijumpai di daerah dengan curah hujan 2000 mm setahun
tanpa bulan kering yang pasti. Andosol terbentuk dari bahan induk tufa atau abu
volkan yang berada di sekitar puncak gunung berapi atau dataran tinggi. Solum
tanah andosol agak tebal, berwarna hitam agak kuning, konsistensi gembur,
kadang-kadang membentuk pasir palsu dan fragipan, dan tekstur kaya debu.
Reaksi tanah berkisar dari agak masam sampai netral, kaya bahan organik pada
permukaan, kerapatan isi <0.85 g/cm3, kejenuhan basa sedang dengan KTK liat
>24 me/100 g, fiksasi P tinggi, miskin N, P, dan K, mineral liat dominan alofan,
permeabilitas sedang, dan peka erosi air dan angin (Supardi 1983). Keasaman
tanah andosol sangat cocok dengan sifat wortel yang tumbuh dengan baik pada
pH 6.0 – 6.8 (Pitojo 2006).

 
5

Hama Penyakit pada Wortel


Rukmana (1995) menjelaskan bahwa dalam penanaman wortel sering
terjadi banyak gangguan terutama gangguan biotik yaitu gangguan organisme
pengganggu tanaman (OPT). Beberapa spesies hama yang umum dijumpai dan
menyerang tanaman wortel antara lain: Hyposidra sp. (Lepidoptera:
Geometridae), Heliothis assula (Lepidoptera: Noctuidae), Agrotis ipsilon
(Lepidoptera: Noctuidae), Nezara viridula (Hemiptera: Pentatomidae), dan
Coccinella spp. (Coleoptera: Coccinellidae). Penyakit yang sering dijumpai pada
pertanaman wortel antara lain busuk pangkal batang (Sclerotinia slerotiorum),
bercak daun Cercosprora (Cercospora carotae), hawar daun (Alternaria dauci),
dan nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) (Pitojo 2006).

Nematoda Puru Akar (Meloidogyne spp.)

Sistematika
Nematoda berasal dari bahasa Yunani/ Greek “nematos” yang artinya
benang dan “eidos” yang berarti menyerupai. Secara harfiah nematoda merupakan
binatang yang bentuk tubuhnya menyerupai benang (Dropkin 1991).
Nematoda puru akar (Meloidogyne spp.) tergolong ke dalam kingdom
Animalia, filum Nematoda, ordo Tylenchida, famili Heteroderidae, genus
Meloidogyne (Dropkin 1991). Menurut Kurniawan (2010), terdapat lima spesies
NPA yang dipertimbangkan sebagai nematoda parasit penting pada tanaman
wortel di Indonesia, yaitu M. arenaria, M. hapla, M. incognita, M. javanica, dan
M. chitwoodi.

Morfologi
  Meloidogyne spp. tidak berwarna seperti halnya dengan jenis nematoda
parasit tumbuhan lainnya. Meloidogyne jantan dewasa, betina dewasa dan juvenil
mudah dibedakan berdasarkan morfologi tubuhnya (Eisenback et al. 2003).
Juvenil 2 (J2) berbentuk silindris dengan panjang ± 450 µm. Stilet dan
kerangka kepala J2 mengalami sklerotinasi yang tipis dengan ekor berbentuk
kerucut hialin dimulai dekat ujung ekor (Luc et al. 2005).
Tubuh nematoda betina berbentuk seperti buah pir dengan leher yang
pendek dan posterior membulat. Betina dewasa memiliki ukuran panjang 921 µm

 
6

yang diukur dari leher hingga posterior (Eisenback et al. 2003). Stilet berukuran
pendek dan mengalami sklerotinasi sedang. Nematoda betina memiliki kerangka
kepala lembek dengan lubang ekskresi terletak agak anterior sampai pada
lempeng klep median bulbs dan sering terlihat pada dekat basal stilet. Vulva
terletak subterminal dekat anus, kutikula berwarna agak keputihan, tipis dan
beranulasi jelas (Luc et al. 2005).
Nematoda jantan berbentuk seperti cacing (vermiform) dengan panjang
1873 µm (Eisenback et al. 2003). Stilet jantan lebih panjang dibandingkan
dengan stilet betina. Kerangka kepala nematoda jantan lebih kuat, dengan ekor
pendek setengah melingkar. Jantan memiliki spikula yang kuat dan tidak
mempunyai bursa (Luc et al. 2005).

Siklus Hidup
Siklus hidup nematoda terdiri dari 3 stadia, dimulai dari telur, juvenil, dan
dewasa. Stadia juvenil dibagi menjadi 4 tahap, yaitu Juvenil 1 (J1), Juvenil 2 (J2),
Juvenil 3 (J3), dan Juvenil 4 (J4) (Dropkin 1991). Setiap stadia dalam siklus hidup
nematoda berada di tempat yang berbeda-beda. Siklus hidup nematoda dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Siklus hidup NPA (sumber: Mitkowski & Abawi 2003)

Telur-telur yang dihasilkan nematoda betina dewasa diletakan berkelompok


pada massa gelatinus yang bertujuan untuk melindungi telur dari kekeringan dan

 
7

jasad renik (Roberts & Mullens 2002). Telur yang baru diletakan mengandung
zigot set tunggal. Embrio berkembang menjadi Juvenil 1 (J1) dan mengalami
pergantian kulit pertama menjadi Juvenil 2 (J2) (Dropkin 1991).
J1 mengalami perubahan menjadi Juvenil 2 (J2) saat telur menetas. J2
keluar dari cangkang telur dan masuk ke dalam tanah sebagai stadium infektif.
Setelah menemukan tempat infeksi yang cocok, J2 mengalami pertumbuhan dan
pergantian kulit tiga kali berturut-turut menjadi Juvenil 3 (J3), Juvenil 4 (J4), dan
dewasa di dalam jaringan inang (Dropkin 1991).
Nematoda jantan meninggalkan akar setelah dewasa sedangkan nematoda
betina hidup menetap pada jaringan tanaman inang (Roberts & Mullens 2002).
Sistem reproduksi betina terbentuk setelah fase dewasa, setelah itu pola sidik
pantat akan tampak (Eisenback & Trpiantaphyllou 1991). Betina mengalami
beberapa pergantian bentuk selama masa perkembangannya, setelah ganti kulit
terakhir betina tumbuh dengan cepat dan bentuknya menjadi seperti buah pir
(Franklin 1995).
Siklus hidup nematoda bergantung pada spesies nematoda dan temperatur
musim. Satu sampai tiga generasi dapat terjadi dalam satu musim. Temperatur
optimum untuk M. hapla, M. fallax, dan M. chitwoodi antara 15 ºC – 25 ºC,
sedangkan M. arenaria, M. incognita, dan M. javanica antara 25 ºC – 30 ºC.
Sangat sedikit aktivitas nematoda pada suhu di atas 38 ºC dan di bawah 5 ºC
(Roberts & Mullens 2002).

Mekanisme Infeksi NPA


Tahap J2 adalah tahap satu-satunya yang dapat melakukan infeksi. J2
bergerak aktif di dalam tanah menuju akar yang sedang tumbuh. J2 menginfeksi
tanaman dimulai dengan melakukan penetrasi ke dalam akar tumbuhan melalui
epidermis akar yang terletak di sekitar tudung akar. J2 bergerak di antara sel-sel
menuju sel dekat silinder pusat atau berada di daerah pertumbuhan akar samping.
J2 merusak sel-sel akar dengan menginjeksikan hasil sekresi kelenjar esofagus
(elisitor) menggunakan stilet ke dalam jaringan inang. Sekresi nematoda ini
menyebabkan perubahan fisiologis dalam sel-sel inang, yang mengubah sel inang
menjadi sel raksasa (giant cells) (Mitkowski & Abawi 2003). Giant cells
merupakan bentuk respon inang terhadap infeksi nematoda, yang selanjutnya

 
8

digunakan sebagai sumber nutrisi bagi nematoda (Vrain 1999; Williamson &
Richard 1996).
Nematoda memerlukan bantuan enzim untuk bergerak dan berkembang
biak di dalam sel inang. Enzim yang digunakan adalah enzim selulase, enzim
endopektin metal transeliminase, dan enzim proteolitik. Enzim-enzim tersebut
dapat menguraikan dinding sel tumbuhan yang mengandung protein dan
polisakarida (pektin selulose, hemiselulose, pektin sukrosa, dan glikosid) menjadi
bahan-bahan lain. Enzim selulase dapat menghidrolisis selulosa, enzim
endopektin metal transeliminase dapat menguraikan pektin, dan enzim proteolitik
dapat mengurai protein. Nematoda mengeluarkan enzim proteolitik dengan
melepaskan asam indol asetat yang merupakan heteroauksin tritopan yang diduga
membantu terbentuknya puru. Terurainya bahan-bahan penyusun dinding sel ini
menyebabkan dinding sel akan rusak dan terbentuk luka (Lamberti & Taylor
1979).

Gejala Penyakit
Gejala infeksi NPA pada tajuk tanaman wortel dicirikan dengan tanaman
yang mengerdil dan daun menguning (klorosis) yang menyebabkan berkurangnya
vigor tanaman. Apabila tanaman terinfeksi pada masa pembibitan, maka produksi
umbi akan sangat sedikit (Roberts & Mullens 2002).
Infeksi nematoda juga menyebabkan kerusakan pada akar tanaman karena
nematoda mengisap sel-sel pada akar, jaringan pembuluh terganggu sehingga
translokasi air dan hara terhambat. Kerusakan akar tanaman juga akan
menyebabkan pasokan air ke daun menjadi berkurang sehingga stomata menutup
dan laju fotosintesis menurun  (Wallace 1987 dalam Mustika 2010). Akibatnya,
pertumbuhan tanaman terhambat dan produktivitas tanaman menurun
(Melakeberhan et al. 1987 dalam Mustika 2010).
Puru merupakan gejala khas dari infeksi NPA. Puru muncul sebagai tanda
awal terjadinya asosiasi antara tanaman wortel dan betina NPA. Puru terjadi
akibat pembesaran dan pembelahan sel yang berlebihan pada perisikel, serta
perubahan bentuk jaringan pengangkut. Tanaman yang mengalami infeksi berat
oleh NPA sistem perakarannya mengalami pengurangan jumlah akar.
Pembentukan akar baru hampir tidak terjadi, sehingga fungsi perakaran dalam

 
9

menyerap dan menyalurkan air dan unsur hara ke seluruh bagian tanaman
terhambat (Kurniawan 2010).
Bentuk puru akibat infeksi NPA berbeda-beda tergantung dari spesies
nematoda, misalnya M. hapla menyebabkan timbulnya puru seperti manik-manik
dan cenderung lebih kecil dibandingkan dengan puru yang diakibatkan oleh
spesies NPA lain, yang cenderung lebih besar dan menyatu (Roberts & Mullens
2002). Puru bergabung dan berjajar di sepanjang perakaran. Akar yang terinfeksi
biasanya pendek dan mempunyai sedikit akar lateral dan akar rambut (hairy root)
(Agrios 2005).
Malformasi merupakan salah satu gejala infeksi NPA selain adanya puru.
Infeksi NPA menyebabkan umbi tanaman wortel menjadi bercabang (forking)
(Nunez et al. 2008), membulat dengan ukuran lebih pendek, dan membentuk akar
rambut yang cukup banyak (hairiness) (Vrain 1982).
Infeksi NPA mengakibatkan tanaman semakin rentan terhadap infeksi OPT
lain. Infeksi cendawan patogen meningkat apabila kandungan eksudat puru akar
diubah dan jumlahnya lebih banyak, sehingga cendawan pada stadium istirahat
yang terjangkau oleh akar menjadi aktif (Agrios 2005).

Kisaran Inang
NPA punya kisaran inang yang luas. Lebih dari 700 spesies tanaman
menjadi inang Meloidogyne spp., diantaranya adalah kara, kacang, kubis, wortel,
waluh, tomat, labu, kentang, tanaman hias, dan rerumputan (Pitojo 2006).
M. arenaria, M. hapla, M. incognita, M. javanica, M. fallax, dan M. chitwoodi
telah dilaporkan menjadi parasit wortel di Amerika (Roberts dan Mullens 2002).
M. hapla dan M. chitwoodi dilaporkan menginfeksi kentang, bit, kacang polong
dan wortel di Eropa, selain itu M. chitwoodi juga menginfeksi tanaman jagung,
gandum, barley, dan oat (Zijlstra et al.1995).

Identifikasi NPA
Identifikasi nematoda diperlukan untuk mengetahui spesies penyebab
penyakit tanaman. Identifikasi dapat dilakukan dengan cara identifikasi
konvensional dan pendekatan biologi molekuler.

 
10

Identifikasi NPA dengan Sidik Pantat Nematoda (Sidik Perineal)


Identifikasi konvensional memerlukan pengetahuan tentang struktur tubuh
dan ciri-ciri dari nematoda antara lain: bentuk bibir, kerangka kepala, rongga
mulut, stilet, tipe esophagus, tipe vulva, ekor, dan anulasi. Hasil penggolongan
dibandingkan dengan panduan identifikasi A guide to the four most common
species of Root Knot Nematodes (Meloidogyne species) with a pictorial key
(Eisenback et al. 1981). Identifikasi dapat dilakukan terhadap juvenile 2, jantan,
dan betina dewasa.
Identifikasi morfologi sidik pantat (perineal patterns) dilakukan terhadap
betina dewasa NPA. Setiap spesies memiliki pola sidik pantat berbeda-beda yang
dicirikan oleh tanda yang khas pada area yang mengelilingi vulva dan anus
(perineum). M. arenaria dicirikan oleh lengkung dorsal rendah dan ramping di
sekitar garis lateral. Bagian lengkung stria bercabang di dekat garis lateral dengan
bagian stria atas lebih mendatar (Gambar 2A). M. hapla dicirikan oleh lengkung
dorsal yang rendah dengan bagian ujung membentuk sayap ke bagian lateral baik
pada satu ujung atau pada kedua ujungnya. Pada zona ujung ekor terdapat
tonjolan-tonjolan seperti duri (Gambar 2B). M. incognita dicirikan dengan
adanya lengkung dorsal yang tinggi dan menyempit, sedangkan pada bagian
paling luarnya sedikit melebar dan agak mendatar, tidak memiliki garis lateral dan
bagian stria terlihat jelas (Gambar 2C). M. javanica dicirikan oleh dua garis
lateral yang memisahkan stria bagian dorsal dan ventral yang sangat jelas (Gambar
2D) (Eisenback et al. 1981).

A B C D
Gambar 2 Perbedaan pola sidik pantat M. arenaria (A), M. hapla (B), M.
incognita (C), dan M. javanica (D) (sumber: Eisenback et al. 1981)

 
11

Identifikasi NPA Berdasarkan PCR Gen ITS r-DNA


Identifikasi dengan pendekatan biomolekuler memiliki tingkat kecepatan,
akurasi, dan sensitifitas terpercaya dibandingkan dengan identifikasi
konvensional. Terdapat dua basis metode dalam identifikasi biomolekuler, yaitu
metode berbasis protein dan metode berbasis DNA. Teknik yang digunakan
dalam metode berbasis protein yaitu serologi (monoklonal/poliklonal), dan
elektroforesis enzim spesifik dalam tubuh nematoda. Teknik yang digunakan
pada metode berbasis DNA antara lain: RFLP (Restiction Fragment Length
Polymorphism), DNA probes, PCR dan PCR - RFLP (Power 1993, Zijlstra et al.
1995, Orui 1998), dan RAPD (Random amplified polymorphic  DNA) (Cenis
1993).
Polymerase Chain Reaction (PCR). Polymerase Chain Reaction (PCR)
adalah metode mengamplifikasi DNA secara in vitro untuk mensintesis asam
nukleat dengan menggandakan satu bagian DNA (Blackburn et al. 2006). Empat
komponen utama pada proses PCR adalah (1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA
yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu sekuen nukleotida
pendek (15 - 25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis antai
DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri dari dATP, dCTP, dGTP,
dan dTTP, serta (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan
katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah
senyawa buffer (Yuwono 2006; Muladno 2010).
Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan
denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda
(double stranded) akan berpisah menjadi rantai tunggal (single stranded).
Denaturasi DNA dilakukan pada suhu 95 oC selama 1 - 2 menit, kemudian suhu
diturunkan menjadi 55 oC sehingga primer akan “menempel” (annealing) pada
cetakan yang telah terpisah menjadi rantai tunggal. Proses annealing biasa
dilakukan selama 1 - 2 menit. Setelah dilakukan annealing oligonukleotida
primer dengan DNA cetakan, suhu inkubasi dinaikkan menjadi 72 oC selama 3
menit. Pada suhu ini DNA polimerase akan melakukan proses polimerasi rantai
DNA yang baru berdasarkan informasi yang ada pada DNA cetakan. Setelah
terjadi polimerasi, rantai DNA yang baru akan membentuk jembatan hidrogen

 
12

dengan DNA cetakan. DNA rantai ganda yang terbentuk dengan adanya ikatan
hidrogen antara rantai DNA cetakan dengan rantai DNA baru hasil polimerasi
selanjutnya didenaturasi lagi dengan menaikkan suhu inkubasi menjadi 95 oC.
Rantai DNA yang baru tersebut selanjutnya akan berfungsi sebagai cetakan bagi
reaksi polimerasi berikutnya (Yuwono 2006).
Darmono (2001 dalam Rahmawati 2010) menyatakan bahwa DNA
digunakan sebagai objek eksploitasi karena spesifitasnya tinggi dan tidak
dipengaruhi oleh perubahan lingkungan. Amplifikasi bagian tertentu dari genom
nematoda merupakan cara efektif untuk karakterisasi dan identifikasi nematoda.
Power dan Haris (1993) melakukan pemisahan spesies nematoda puru akar
(Meloidogyne spp.) dengan mengamplifikasi gen DNA ribosomal.
DNA ribosomal (rDNA) mengkode RNA ribosomal. Ribosom adalah
makromolekul intraseluler yang menghasilkan protein atau rantai polipeptida.
Ribosom sendiri terdiri dari gabungan protein dan RNA (Richard et al. 2008).
DNA ribosomal merupakan bagian genom paling informatif dan bagian paling
sering digunakan pada studi filogenik. Setiap unit rDNA dalam satu rangkaian
kromosom mengkode gen dengan urutan 5’- 18S, 5.8S, 28S -3’ subunit rRNA.
Diantara daerah 18S dan 5.8S terdapat beberapa ratus pasang basa DNA yang
disebut internal transcribed spacer 1 (ITS 1), dan diantara 5.8S dan 28S adalah
ITS2 (Powers et al. 1997), daerah ini secara khusus digunakan untuk menentukan
sistematika molekuler dan tingkat variasinya tinggi (Jusuf 2001). Menurut
Odorico dan Miller (1997 dalam Rahmawati 2010) analisis filogenik dengan
penanda ITS dapat digunakan untuk mengevaluasi hubungan antar spesies.
Beberapa populasi nematoda puru akar dapat dibedakan dengan
membandingkan urutan parsial ITS yang diperoleh dengan PCR. Teknik
amplifikasi dengan menggunakan daerah ITS dapat mempermudah pendeteksian
karena sekuens ITS lebih terkonservasi dibandingkan dengan menggunakan yang
lain. Satu juvenil sudah cukup digunakan untuk PCR, akan tetapi amplifikasi ITS
menjadi lebih pendek (Zijlstra et al. 1995).

Anda mungkin juga menyukai