Anda di halaman 1dari 16

Case Report Session

ST Elevation Myocardial Infark (STEMI)

Oleh :

Haikal Basyar 1010313042

Hendi Hafizth 1010313059

Humaira Ulfa Herman 1210313060

Leo Mahardhika Andrian 1010312011

Luthfillah Ghaisani 1210313044

M. Helridho Budiman 1210311012

Preseptor :

dr. Masrul Syafri, SpPD, SpJP(K)

dr. Kino, SpJP, FIHA

BAGIAN JANTUNG DAN PEMBULUH DARAH

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUP DR. M. DJAMIL

PADANG

2016
DAFTAR ISI

Daftar Isi..........................................................................................................i
Bab 1 Pendahuluan.........................................................................................1
Bab 2 Ilustrasi Kasus......................................................................................3
Bab 3 Diskusi..................................................................................................6
Daftar Pustaka
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infark miokard adalah kematian sel miokard akibat iskemia yang

berkepanjangan. Menurut WHO, infark miokard diklasifikasikan berdasarkan dari

gejala, kelainan gambaran EKG,dan enzim jantung. Setiap seperenam laki-laki

dan setiap sepertujuh wanita di Eropa, meninggal karena infark miokard.1 Infark

miokard dapat dibedakan menjadi infark miokard dengan elevasi gelombang ST

(STEMI) dan infark miokard tanpa elevasi gelombang ST (NSTEMI).2

ST elevation myocardial infarction (STEMI) merupakan salah satu spektrum

sindroma koroner akut (SKA) yang paling berat. Karakteristik gejala iskemia

miokard yang berhubungan dengan elevasi gelombang ST persisten yang dilihat

berdasarkan EKG dapat menentukan terjadinya STEMI. Saat ini, kejadian STEMI

sekitar 25-40% dari infark miokard, yang dirawat dirumah sakit sekitar 5-6% dan

mortalitas 1 tahunnya sekitar 7-18%.3 Berdasarkan penelitian yang dilakukan di

RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2012-2013, didapatkan 66,7% pasien

menderita STEMI dari keseluruhan SKA.4 Sedangkan untuk Sumatera Barat,

didapatkan hasil penelitian di RS Khusus Jantung Sumatera Barat pada tahun

2011-2012 yang menyatakan bahwa kejadian SKA terbanyak adalah STEMI

dengan persentase sebesar 52% dari keseluruhan SKA.5

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. DR. R. D. Kandou

Manado, didapatkan bahwa sekitar 84,34% pasien STEMI dengan jenis kelamin

laki-laki dan 15,66% dengan jenis kelamin perempuan. Kelompok umur 60-69

tahun merupakan kelompok yang paling banyak menderita STEMI.6


Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami

fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu

trombogenesis sehingga trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan

oklusi arteri koroner6.

Pada infark miokard dengan elevasi segmen ST, dapat diklasifikasikan

berdasarkan lokasi infark yang ditentukan dari perubahan EKG yaitu di anterior,

posterior, inferior dan lateral.7

1.2 Tujuan Penulisan

Laporan kasus ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan

pemahaman tentang kasus STEMI.


BAB 2

ILUSTRASI KASUS

Seorang laki laki berusia 57 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M. Djamil

Padang dengan keluhan nyeri pada dada kiri sejak 6 jam sebelum masuk rumah

sakit. Nyeri tersebut seperti ditekan dan menjalar ke lengan kiri. Nyeri dirasakan

lebih dari 20 menit dan disertai keringat dingin. Riwayat sesak nafas, dyspnea on

exertion, paroxysmal nocturnal dyspnea, dan pembengkakan pada tungkai tidak

ada. Tidak ada riwayat berdebar-debar, pusing, dan pingsan pada pasien. Pasien

merupakan pasien rujukan dari RS Yos Sudarso Padang dengan diagnosa STEMI

Inferior, telah mendapat terapi RL 8 jam/kolf, aspilet 160mg, clopidogrel 300mg,

ranitidin 1 amp, morfin 2mg.

Pasien adalah seorang perokok dan sudah merokok sejak usia remaja, meski

demikian pasien mengaku jarang merokok, 1-2 bungkus per 2 minggu. Pasien

diketahui memiliki hipertensi sejak 1 bulan yang lalu namun tidak kontrol teratur.

Pasien tidak memiliki riwayat Diabetes Melitus, namun dyslipidemia positif.

Tidak ada anggota keluarganya yang mengalami penyakit seperti ini. Pasien

memiliki riwayat Bell’s Palsy sejak 1 bulan yang lalu dan sedang menjalani

pengobatan. Tidak terdapat riwayat asma dan riwayat stroke pada psien.

Pada pemeriksaan fisik umum pasien terlihat sakit sedang dengan

kesadaran compos mentis cooperatif. Tekanan darah pasien adalah 167/89, nadi

74 x/menit, suhu afebris, nafas 27x/menit. Keadaan gizi obesitas (BMI 43)

dengan tinggi badan 160 cm dan berat 110 kg. Konjungtiva pasien tidak anemis,

sklera tidak ikterik. JVP adalah 5+0 cmH20.


Pada pemeriksaan fisik paru ditemukan bahwa inspeksi, palpasi, dan

perkusi dalam batas normal. Pada pemeriksaan fisik jantung, pada inspeksi

ditemukan bahwa iktus tidak terlihat. Pada palpasi iktus teraba 1 jari linea mid

klavikula sinistra kiri RIC V. Pada perkusi batas jantung adalah sebagai berikut:

kiri: 1 jari linea mid klavikula sinistra kiri RIC V, kanan: linea sternalis dekstra,

atas: RIC II. Pada auskultasi ditemukan S1 dan S2 reguler, gallop (-), dan

murmur (-).

EKG:
Interpretasi: Irama sinus, laju QRS 66 x/menit, Aksis: normal, gelombang p

normal, PR interval: 0,16s, QRS duration: 0.08s. ST elevasi di lead II, III, aVF.

LVH & RVH (-)

Interpretasi : CTR > 50%, Hillus melebar, Tampak kalsifikasi aorta, Apex

tertanam, Infiltrat (-), Kranialisasi (-)


BAB 3

DISKUSI

Seorang pasien laki – laki berusia 59 tahun datang ke IGD RSUP Dr. M.

Djamil Padang dengan keluhan nyeri dada. Nyeri dada yang timbul pada pasien

ini disebabkan adanya infark miokard dengan ST elevasi, dimana terjadi aliran

darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak

aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya.Infark juga dapat terjadi jika plak

aterosklerotik mengalami fisur, ruptur, atau ulserasi, sehingga terjadi trombus

mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Pada

penelitian histologis plak koroner cenderung mengalami ruptur jika fibrous cap

tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Gambaran patologis klasik pada STEMI

terdiri atas fibrin rich red thrombus.9

Berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivasi

trombosit pada lokasi ruptur plak, yang selanjutnya akan memproduksi dan

melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu,

aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor glikoprotein IIb/IIIa.

Reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein

adhesi yang terlarut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan

fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2

platelet yang berbedasecara simultan, menghasilkan ikatan platelet dan agregasi

setelah mengalami konversi fungsinya.9,10 Kaskade koagulasi diaktivasi oleh

pajanan tissue activator pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi,

mengakibatkan konversi protombin menjadi trombin, yang kemudian


mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat akan

mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri atas agregat trombosit dan fibrin.9,10

Infark miokard dengan ST elevasi terjadi jika trombus arteri koroner

terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh

faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.9

Pasien ini didiagnosis dengan infark miokard dengan ST elevasi (STEMI),

dimana gejala khas dari infark miokard dengan ST elevasi yang tampak yaitu

adanya nyeri dada substernal yang berlangsung lebih dari 20 menit, nyeri yang

menjalar ke punggung, dan disertia keringat dingin. Faktor resiko untuk terjadinya

infark miokard dengan ST elevasi juga terdapat pada pasien ini yaitu adanya

hipertensi yang tidak terkontrol, riwayat merokok, riwayat keluarga yang

menderita penyakit jantung dan juga dislipidemia.2,9

Pada Pemeriksaan EKG menunjukkan ST elevasi di II, III, aVF.

Perubahan segmen ST ini mencerminkan iskemia miokardium yaitu kurang

memadainya aliran darah yang menuju miokardium, terutama bagian inferior.

Gambaran EKG dengan elevasi segmen ST menunjang diagnosis STEMI.2

TIMI score

Usia 57 tahun :0

HT/Angina :1

SBP 140 :0

HR 66 :0

Killip I :0
Berat 80 kg :0

Anterior ST inferior : 0

Time to treatment > 4jam : 1

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang,

pasien ini di diagnosis dengan STEMI inferior onset 6 jam TIMI 2/14 serta

hipertensi stage I.

Pada PERKI tahun 2015 Tatalaksana pada pasien dengan diagnosa kerja

kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat,

sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan marka jantung.2

1. Tirah Baring

2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2

arteri <95% atau yang mengalami distress respirasi.

3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam

pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.

4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui

intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih dipilih mengingat

absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.

5. Clopidrogel 300 mg, dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada

pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen

fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan adalah clopidrogel

6. Nitrogliserin sublingual dapat diulang setiap 5 menit maksimal tiga kali, jika

nyeri berlanjut dapat diberikan nitrogliserin intravena, dan /atau morfin 1-5

mg intravena
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang seriap 10-30 menit, bagi pasien

dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.

Tatalaksana awal pasien saat di IGD yaitu

1. Tirah Baring

2. Oksigen 4L/menit apabila terdapat penurunan saturasi <95%.

3. Pasang jalur Intravena, berikan IVFD RL 500cc/24 jam

4. Nitrogliserin sublingual 0,4 mg dapat diulang setiap 5 menit maksimal tiga

kali, jika nyeri berlanjut dapat diberikan nitrogliserin intravena, jika masih

nyeri dapat diberikan morfin 1-5 mg intravena

5. Morfin sulfat 2 mg intravena, dapat diulang seriap 10-30 menit

6. Aspirin 160 mg

7. Clopidrogel 300 mg

Pasien telah dirawat di RSUP Dr. M. Djamil dan telah diberikan beberapa obat

diantaranya adalah

1. aspilet 160 mg

2. clopidogrel 300 mg

3. atorvastatin 1x 40 mg

4. diazepam 1x 0,5 mg

5. furosemide 1x40 mg

6. laxadin 1x 10 cc

7. enoksaparin 0.3 cc

8. enoksaparin 2x 0,6 cc.

Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan

gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra apabila IKP primer tidak bisa
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis

pertama. Pada pasien-pasien yang datang segera (<2 jam sejak  awitan  gejala)

dengan  infark  yang  besar  dan  risiko perdarahan  rendah, fibrinolisis perlu

dipertimbangkan bila waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon

lebih dari 90 menit. Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. Agen

yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan

dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin.2

Kontraindikasi Fibrinolitik absolut di antaranya adalah9

 Riwayat perdarahan intrakranial

 Lesi struktural serebrovaskular

 Tumor intrakranial

 Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali dalam 3 jam terakhir

 Dicurigai diseksi aorta

 Adanya trauma, pembedahan, trauma kepala dalam waktu 3 bulan terakhir

 Adanya perdarahan aktif (tidak termasuk menstruasi)

Kontraindikasi relatif fibrinolitik antara lain adalah9

 Riwayat hipertensi kronik dan berat yang tidak terkontrol

 Hipertensi berat yang tidak terkontrol saat presentasi (TD sistolik >180

mmHg atau TD diastolik > 110 mmHg)

 Riwayat stroke iskemik > 3 bulan, demensia atau kelainan intrakranial

selain yang terdapat pada kontraindikasi absolut


 Resusitasi jantung paru traumatik atau lama > 10 menit atau operasi besar

< 3 minggu

 Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu terakhir

 Terapi antikoagulan oral

 Kehamilan

 Non-compressible puncture

 Ulkus peptikum aktif

 Khusus streptokinase atau anistreplase: riwayat pemaparan sebelumnya

(>5 hari) atau riwayat alergi zat tersebut.

Pada pasien dikakukan terapi revaskularisasi yaitu dengan terapi

trombolitik menggunakan streptokinase 1,5 juta U dalam 100 ml larutan salin

0,9% dalam waktu 30 menit.

Intervensi koroner perkutan primer (IKP)

IKP primer diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang

berat atau syok kardiogenik, kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan

tertunda lama dan bila pasien datang dengan awitan gejala yang telah lama. Tidak

disarankan untuk melakukan IKP secara rutin pada arteri yang telah

tersumbat  total  lebih  dari  24  jam setelah awitan gejala pada  pasien stabil tanpa

gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolisis.2

Pasien yang akan menjalani IKP primer sebaiknya mendapatkan terapi

antiplatelet ganda  (DAPT)  berupa  aspirin dan  penghambat reseptor ADP

sesegera mungkin sebelum angiografi, disertai dengan

antikoagulan  intravena. Aspirin  dapat  dikonsumsi  secara  oral. Pilihan
penghambat reseptor ADP yang dapat digunakan antara lain: Ticagrelor

(dosis  loading  180 mg, diikuti dosis pemeliharaan 90 mg dua kali sehari).

Clopidogrel (disarankan dengan dosis lebih tinggi yaitu dosis loading  600 mg

diikuti 150 mg per hari), bila ticagrelor tidak tersedia atau diindikasikontrakan.

Antikoagulan intravena harus digunakan dalam IKP primer. Salah satu pilihannya,

Heparin yang tidak terfraksi (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa

rutin) harus digunakan pada pasien yang tidak mendapatkan bivarlirudin atau

enoksaparin. Enoksaparin (dengan atau tanpa penghambat reseptor GP Iib/IIIa)

dapat lebih dipilih dibandingkan heparin yang tidak terfraksi. Fondaparinuks tidak

disarankan untuk IKP primer. Tidak disarankan menggunakan fibrinolisis pada

pasien yang direncanakan untuk IKP primer.2


DAFTAR PUSTAKA

1. Steg PG, James SK, Atar D, Badano LP, Lundqvist CB, Borger MA,
Mario CD et al. (2012). ESC guideline for the management of acute
myocardial infarction in patients presenting with st-segmen elevation.
European Heart Journal, 33: 2569-2619.

2. PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia).


Panduan Praktik Klinis dan clinical pathway penyakit jantung dan
pembuluh darah 2015.
3. O’Gara PT, Kushner FG, Ascheim DD, Casey DE, Chung MK, Lemos JA,
Ettinger SM et al. (2013). Guideline for the management of st-elevation
myocardial infarction. Journal of the American Collage of Cardiology,
62(4): e78-140.
4. Budiana IPG (2015). Kadar myeloperoxidase (MPO) yang tinggi
merupakan petanda prognostik kejadian kardiovaskular dalam 6 bulan
pada penderita sindroma koroner akut. Denpasar. Universitas Udayana.
Tesis.
5. Zahara F, Syafri M, Yerizal E (2013). Gambaran profil lipid pada pasien
sindrom koroner akut di rumah sakit khusus jantung sumatera barat tahun
2011-2012. Padang. Universitas Andalas. Skripsi.
6. Wagyu EA, Rampengan SH, Pangemanan J (2013). Gambaran pasien
infark miokard dengan elevasi st (STEMI) yang dirawat di BLU RSUP
Prof. DR. R. D. Kandou Manado periode januari sampai desember 2010.
Manado. Universitas Sam Ratulangi. Skripsi.
7. Antman EM, Braunwald E (2010). St-segment elevation myocardial
infarction. Dalam: Loscalzo J (ed). Harrison’s cardiovascular medicine.
New York: McGraw-Hill Medical, pp: 395-413.
8. Ramrakha P, Hill J (2006) . Coronary arteri disease. Dalam Oxford
Handbook of Cardiology. Edisi ke 2. USA: Oxford University Press, pp:
256.
9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010.
10. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC;
2007.

Anda mungkin juga menyukai