Anda di halaman 1dari 2

Analisis Kepribadian Tokoh Christ Gardner Dalam Film THE PURSUIT OF HAPPYNESS

menggunakan Teori Humanistik Carl Rogers


I.SINOPSIS ERITA
Berangkat dari kisah nyata, mengisahkan perjuangan tokoh Chris Gardner untuk mengejar
kehidupan yang lebih layak. Setelah sekian lama berkelut dengan dalam bisnis penjualan alat
medis yang tidak terlalu menguntungkan, Chris terinspirasi untuk mendapatkan uang banyak
dengan menjadi pialang saham. Tapi sebelum direkrut sebagai tenaga full-time, ia harus lebih
dulu melalui proses magang tanpa digaji. Istrinya, Linda marah besar dengan kemunduran karir
suaminya dan memilih pergi dengan membawa Christopher, putra mereka yang berusia lima
tahun. tapi prioritas Chris sebenarnya bukan uang. Ia pernah bersumpah: “Aku bertemu ayahku
sendiri untuk pertama kalinya pada waktu usiaku 28 tahun. Aku bertekad jika kelak aku punya
anak, anak-anakku harus tahu siapa ayah mereka.” Idealisme itu ia pegang teguh. Ditengah
keadaan serba kekurangan, ia mendahului Linda menjemput Christopher dari tempat penitipan
anak berhiaskan gratiffiti “happyness” di Chinatown dan berkeras agar Christopher tetap tinggal
bersamanya. Ketika ia tidak mampu lagi membayar sewa rumah sehingga harus mengungsi ke
penampungan tunawisma bahkan tidur di toilet stasiun kereta, ia tetap membawa anaknya dan
berusaha menjadi ayah yang baik. Baru pada akhir cerita, semua jerih lelah Chris terbayar. Ia
berhasil menjadi pialang andal bahkan membuka firma sendiri. Tapi kesuksesan finansial yang
datang belakangan itu hanya sekadar melengkapi kebahagiaan yang sudah ada bukan
menciptakannya.
Dalam teori Rogers, ia mengemukakan bahwa tingkah laku individu dapat dipahami hanya
melalui persepsi subyektif dan kesadaran terhadap realitas yaitu realitas obyektif secara sadar
diterima dan diinterpretasikan oleh individu pada suatu waktu tertentu. Bila kita kaitkan dengan
tokoh Christ Gardner, ia sebenarnya bukan berasal dari keluarga yang bahagia, ia tidak
mengalami pengasuhan yang indah bersama kedua orang tuanya dari kecil karena bertemu
ayah kandungnya saja ketika ia berusia 28 tahun dimana seharusnya ia mengalami
kekecewaaan yang berat atau rasa marah dan dendam yang besar terhadap ayahnya itu dan
mungkin saja Christ trauma dari masalahnya itu dan dapat membuatnya menjadi orang yang
mengalami gangguan psikologis karena masa lalunya yang tidak sempurna dan pahit, kalau
dikaitkan dengan teori Carl Rogers mengenai self consistency dan congruence self dan
experience maka hal ini yang dinamakan adanya incongruence dari experiencenya. Ada threats
(ancaman) yang diperhadapkan padanya yaitu threats tidak survive dalam hidup, anaknya tidak
mendapatkan penghidupan yang layak sehingga yang dapat memungkinkan timbulnya respon
tension, confission dan perasaan bersalah karena tidak bisa menjadi ayah yang baik sehinggga
bisa saja membuatnya dapat mengalami gangguan kepribadian, neurotic,dsb. Namun, ada
sesuatu di dalam diri Christ yang memampukannya untuk dapat “mendobrak” segala kepurukan
masa lalunya dan jika ditelaah lagi dengan teori Rogers maka hal itu adalah ia memiliki self
concept yang congruence dan mengaktualisasikan dirinya dengan berbagai usaha-usaha yang
terus ia lakukan untuk membahagiakan anaknya. Seperti dalam kutipan perkataannya dalam
film bahwa “Aku bertemu ayahku sendiri untuk pertama kalinya pada waktu usiaku 28 tahun.
Aku bertekad jika kelak aku punya anak, anak-anakku harus tahu siapa ayah mereka.” lalu
kutipannya perkataannya yang lain ketika usahanya dalam terus dapat survive adalah “Don’t
ever let someone tell you, you cant’t o something..” (”jangan pernah biarkan orang mengatakan
bahwa kau tidak bisa/ mampu..”) disini kita tidak melihat bahwa ia menjadi orang yang putus
asa, confussion, guilty feeling yang terus-menerus atau akan melakukan hal yang sama kepada
anaknya karena perlakuan ayah Christ dulu tetapi ia malah bergerak menuju diferensiasi yang
lebih baik, ia bersikap dewasa dan bijak bahkan mandiri (terlihat ketika istrinya telah
meninggalkannya, ia mau mengurusi anaknya semua tugas rumah tangga ia lakukan, tidak
mengeluh dan pantang menyerah). Ia berjuang untuk terus mendapatkan kehidupan yang layak
untuk keluarganya walaupun menghadapi berbagai rintangan, masalah mulai dari istrinya yang
meninggalkannya, akhirnya ia tidak mempunyai rumah karena tidak mampu lagi membayar
sewa kontrakan dan akhirnya menjadi tuna wisma.

Dalam teori Rogers hal itu menunjukkan juga bahwa Individu memiliki kapasitas untuk
menentukan nasibnya sebagai individu bebas memutuskan kehidupan seperti apa yang
diinginkan dalam konteks kemampuan dan keterbatasan yang bersifat bawaan dan karena
manusia pada dasarnya baik, konstruktif. Christ memperlihatkan bagaimana ia terus bergerak
menuju yang lebih yaitu mencari pekerjaan yang lebih baik ketika ia menyadari bahwa dengan
keadaan hidupnya yang memperhatikan, tidak mampu memberikan kebutuhan yang cukup buat
keluarganya, ia terus berusaha untuk mencari pekerjaan, apapun usaha yang ia lakukan
walaupun awalnya hanya magang dulu tanpa diberi bayaran. Christ mempelihatkan sesuatu
yang konstruktif yaitu optimistik, bergerak maju dari dalam dirinya sesuai apa yang dikatakan
oleh teori Rogers yang membahas mengenai human nature. Proses pengaktualisasian dirinya
terlihat saat ia berhasil menjadi pialang saham sampai berhasil membuka firma sendiri tapi
sebenarnya menurut cerita penghayatan keberhasilannya yaitu dapat memberikan yang terbaik
buat keluarganya khususnya pada anaknya, ia tidak hanya melihat keberhasilan secara materi
tetapi lebih dari itu yaitu kebahagiaan. Itu semua dikarenakan adanya kekuatan energi yang
aktif yang berorientasi pada goal masa depan dan self directed purpose.

Anda mungkin juga menyukai