Anda di halaman 1dari 45

Pemimpin & Kepemimpinan (07):

Empati Memaksimalkan Fungsi


Kepemimpinan
Salah satu sikap yang harus dimiliki seorang pemimpin adalah empati, yakni
sikap menyelami kondisi faktual, aspirasi dan bahkan suasana batin orang-orang
yang dipimpinnya (*).

Dalam Quran, Rasulullah saw digambarkan sebagai seorang pemimpin yang


sangat berempati terhadap penderitaan umatnya:

“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri;


berat terasa olehya (sangat peduli dan berempati) dengan penderitaanmu; sangat
menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu; terhadap orang-orang
mu’min bersikap amat berbelas kasih dan penyayang” (QS At-Taubah, ayat
128).

Empati seorang pemimpin adalah upaya serius untuk memahami persoalan dan
aspirasi orang-orang yang dipimpinnya, dan berdasarkan hasil penyelaman
itulah, sang pemimpin berusaha secara adil dan bijak merumuskan kebijakan
untuk merespon dan memenuhi aspirasi tersebut.

Contoh, kecil kemungkinan seorang pemimpin bisa berempati tentang


bagaimana rasanya menaiki kereta komuter jurusan Bogor-Jakarta di pagi dan
sore hari, waktu berangkat dan pulang kerja, bila pemimpin itu tidak pernah
naik kereta komuter.

Tentu dimungkinkan saja seorang pemimpin memperoleh gambarannya melalui


laporan staf. Tapi, seperti lazimnya laporan penggambaran, selalu tidak luput
dari distorsi, tidak mungkin utuh.
Makanya ada ungkapan yang mengatakan (‫ْس َم ْن َرأَي َك َم ْن َس ِم َع‬
َ ‫)لَي‬, “Tidak mungkin
sama antara orang melihat dengan orang yang hanya mendengar”. Apalagi
kalau pengalaman melihat itu diperkuat dengan pengalaman riil melakoninya.
Dalam poin ini, terlepas dari niat dan tujuannya, saya termasuk salut dengan
praktek blusukan Jokowi, baik ketika menjabat Walikota Solo, Gubernur DKI
ataupun setelah menjadi RI-1.

Menarik merenungkan kisah Umar bin Khattab dan para prajuritnya di medan
tempur:

Di era kekuasaan Umar bin Khattab, terjadi ekspansi kekuasaan secara massif:
pasukan dikirim ke berbagai wilayah ekspansi. Konsekuensinya, para prajurit di
garis depan mengalami persoalan serius terkait seberapa lama seorang prajurit
bisa bertahan secara normal tidak melakukan hubungan intim dengan istrinya.

Sebagai pemimpin yang peduli dan berempati dengan persoalan umatnya, Umar
bin Khattab menilai persoalan ini sangat serius. Dia ingin memastikan seberapa
lama prajurit bisa bertahan tidak berhubungan dengan istrinya, dan juga
seberapa lama seorang istri mampu bertahan ditinggal suaminya.

Lalu Umar bin Khattab melakukan penyelidikan, sejenis polling. Sejumlah istri
prajurit ditanyai: berapa lama sanggup bertahan ditinggal suaminya? Para
prajurit dimintai jawaban seberapa lama mampu bertahan tidak melakukan
hubungan intim dengan istrinya.

Jawaban para prajurit dan istri-istrinya tentu tidak seragam. Ada yang
menjawab mampu bertahan selama satu tahun. Sebagian menjawab bisa
bertahan selama enam bulan. Lainnya menjawab hanya bisa bertahan maksimal
tiga bulan, dua bulan.

Berdasarkan hasil investigasi itulah, Umar mengambil kebijakannya yang


sangat populer: rolling (pengiriman dan penarikan) prajurit ke dan dari medan
tempur maksimal enam bulan. Beberapa riwayat menyebutkan, kebijakan itu
kemudian direvisi lagi menjadi maksimal 4 bulan.
Kebijakan Umar bin Khattab tersebut merupakan empati, menyelami fakta dan
dan persoalan yang dialami oleh orang-orang yang dipimpinnya.

Kebijakan Umar itu dianggap sebagai sebuah terobosan seorang pemimpin yang
berempati, karena persoalan ini memang tidak ada dalil langsungnya di dalam
Quran maupun Sunnah Nabi.

(*) Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, 2002: empati: keadaan mental
yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan
perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain).
https://leaderonomics.com/bm/artikel/empati-amat-diperlukan

Adakah Anda Pemimpin Yang Bersifat Empati?

Beberapa minggu sebelum ini, saya bertemu dengan rakan sekelas lama. Saya
bertanyakan keadaannya di tempat kerja baharu. Dia telah meletak jawatan di
sebuah syarikat multionasional gergasi untuk menyertai agensi kerajaan yang
sedang meningkat naik dengan harapan membawa perubahan pada negara.

Rakan saya mengeluh dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian dia


melepaskan kesalan akan segala-galanya. Katanya, semua keputusan yang
dibuat hanya mengikut pemimpin ‘besar’ di situ dan yang lain perlu serta-merta
mengikut arahan pihak atasan. Dia menyesal kerana tidak terus bekerja di
tempat lamanya dan terpengaruh dengan sindrom ‘hujan emas di negeri orang’.

Nasib baik, gaya kepimpinan dalam kebanyakan entiti korporat telah berubah
daripada ‘Satu Tokoh Hebat’, iaitu seorang sahaja insan yang bertanggungjawab
dan ada kuasa, kepada hubungan usaha sama antara pemimpin dan ahli pasukan.
Hubungan ini juga disertai dengan amanat “Mari kita sama-sama cari jalan
penyelesaian.”

Usaha sama merupakan pendekatan terbaik dalam pasaran bersaingan hari ini.
Dari perspektif perniagaan, kepelbagaian idea dan jalan penyelesaian hasil buah
fikiran beberapa orang membuahkan hasil yang lebih positif. Jika seorang
sahaja duduk terperuk di meja memikirkan jalan penyelesaian, hal ini akan
memakan masa yang lebih lama.

Sifat empati

Namun, dalam proses mengadakan usaha sama dengan orang lain, ada satu
petua penting dari aspek Kecerdasan Emosi yang selalu kita terlepas pandang,
iaitu sifat empati. Hal ini sangat jelas — macam mana hendak bekerja dengan
orang lain sekiranya kita tidak mengambil kisah untuk merapatkan diri dengan
mereka dan berusaha untuk melihat sesuatu perkara dari perspektif mereka,
daripada beranggapan semua orang satu kepala.
Dalam penulisannya berkaitan empati dalam Harvard Business Review, Earnest
J. Wilson III dari Universiti California menegaskan kepentingan kemahiran
utama ini dalam kepimpinan dan mendapati:

Berdasarkan tinjauan tidak terterbit selama lebih 10 tahun yang dijalankan


dalam kalangan siswazah yang kini mengisi jawatan profesional, didapati
pengurus pertengahan dan eksekutif kanan memiliki sifat empati yang paling
rendah. Mereka inilah yang sepatutnya memiliki sifat ini kerena tindakan
mereka sangat memberi kesan kepada orang ramai.

Berkaitan: Kembangkan Kecerdasan Otak Anda

Jenis-jenis sifat empati

Menurut Paul Ekman, seorang pakar emosi, terdapat tiga jenis sifat empati, iaitu

Empati kognitif — faham akan perasaan dan perkara yang berlegar dalam
fikiran seseorang. Pokok pangkalnya, ini dipanggil sebagai mengambil
perspektif. Kita tidak semestinya bersimpati tetapi peka dengan emosi orang
lain

Empati emosi — apabila kita sebenarnya dapat membaca fikiran dan memahami
perasaan orang lain. Kemahiran inilah yang dipupuk dalam kalangan doktor dan
jururawat tatkala meluangkan masa dengan pesakit bawah jagaan mereka.

Empati belas kasihan — ini merupakan bentuk empati yang paling holistik. Kita
bukan sahaja peka dengan perasaan seseorang dan sudah masak dengan
emosinya, kita juga terdorong untuk membantunya, sekiranya diperlukan.

Saya sendiri pernah mengalami ketiga-tiga jenis empati dalam situasi yang
berbeza, namun tiada satu pun yang dianggap paling bagus.

Ada masanya empati kognitif penting, apabila kita perlu memahami perasaan
orang lain, tetapi tidak terbawa-bawa dengan emosi, supaya dapat membuat
keputusan dalam keadaan yang sukar.
Empati belas kasihan dan empati emosi kadang-kadang boleh menyebabkan
lesu upaya, dan kadangkala, seseorang yang memiliki empati belas kasihan
mudah diambil kesempatan dan dipergunakan oleh orang lain. Namun begitu,
orang yang memiliki sifat empati belas kasihan yang tinggi akan menjadi
sahabat yang baik. Hal ini membawa pada suatu persoalan — adakah sifat
empati penting dalam kepimpinan perniagaan?

Mengapa sifat empati penting dalam kepimpinan?

Sebelum menjawab soalan ini, kita perlu mengenal pasti perbezaan antara
empati yang sebenar dan cara kita memandangnya secara umum.

Pada pendapat saya, empati yang sebenar adalah ketika pemimpin berusaha
untuk mendengar, memahami dan mengambil berat, mengikut konteks dan
perspektif tertentu. Empati bukannya ‘melayan orang dengan baik’. Ini
melibatkan kita mengenal pasti pendekatan yang wajar diambil apabila
berhadapan dengan jerih-perih insan yang memerlukan.

Misalnya, pekerja yang bergelut dengan tugas baharunya — sekalipun dia


memberi sehabis baik untuk menyesuaikan diri dan menyiapkan pekerjaan, dia
pasti memerlukan sokongan dan tunjuk ajar daripada pemimpin yang didorong
oleh empati belas kasihan.

Sebaliknya, pekerja yang tidak menyiapkan bahagian kerjanya tanpa sebab yang
munasabah dan sering masuk lambat ke pejabat setiap hari, pekerja sebegini
semestinya memerlukan pendekatan yang berbeza sekiranya pemimpin mahu
menangani situasi ini dengan berkesan.

Kepimpinan melalui teladan


Menurut Simon Sinek dalam bukunya, Leaders Eat Last, organisasi yang luar
biasa ‘mengutamakan kesejahteraan warga kerjanya dan sebagai balasan,
mereka melakukan sehabis baik demi memulihara dan memantapkan
kesejahteraan antara satu sama lain dan organisasi itu’.

Bercakap tentang pemimpin, sama ada dalam perniagaan kecil-kecilan di rumah


mahupun syarikat besar, Simon menambah, kita semua bertanggungjawab
menjadi pemimpin yang pernah kita impikan suatu ketika dahulu, sewaktu kita
menelusuri perjalanan hidup sehingga mencapai tahap seperti hari ini.

Tanpa mengira tahap kepimpinan, kita membentuk hubungan dengan orang-


perseorangan di sekeliling kita, dan kita mahu bekerja dengan mereka yang
berusaha memahami perkara yang kita mahu, harapkan dan inginkan. Seperti
biasa, mereka yang memegang tampuk kepimpinan perlu mengamalkan
kepimpinan melalui teladan.

Rasa empati kepada rakan sebaya dan kakitangan di bawah penyeliaan kita
bukan sahaja memperkukuhkan hubungan dan meningkatkan keyakinan dan
kepercayaan. Hal ini juga menjadi pelekap yang menyatukan semua orang.
Tanpa empati, semuanya boleh hancur berkecai.

Pemimpin bukan sahaja perlu membuka mata dan minda kepada aktiviti yang
berlaku di sekeliling, mereka juga perlu mendengar isi hati orang lain. Begitu
juga, apabila pekerja benar-benar mempunyai empati kepada pemimpin
(memahami rasional dari segi emosi dan logik di sebalik keputusan yang
dibuat), barulah organisasi dapat menggarap potensi semaksimum mungkin.

Namun, bagaimana?

Baru-baru ini saya menjadi saksi dialog antara pasukan kepimpinan sebuah
organisasi. Saya melihat para pemimpin hanya bercakap kepada satu sama lain
tetapi tidak begitu mengambil berat untuk mendengar dan mencari peluang
untuk bekerjasama.

Bagi saya, sesebuah organisasi dapat memulakan pembudayaan sifat empati


hanya apabila pemimpin dan pekerja berhenti mengata antara satu sama lain,
dan mula mendengar supaya dapat memahami pendapat kedua-dua belah pihak.

Empati yang tulus mampu mentransformasikan perniagaan

Pada tahun 1999, saya ditugaskan untuk membawa perubahan pada sebuah
syarikat perkhidmatan penerbangan dengan memegang jawatan sebagai
Pengarah Eksekutif dan Ketua Pegawai Kewangan.

Buat masa itu, perniagaan tersebut masih berskala kecil dan memiliki pelanggan
yang terhad, tetapi akhirnya syarikat itu berjaya mendapatkan projek besar
daripada klien dari China.

Namun sebaik sahaja menerima pesanan, hasil kerja kami menjadi kucar-kacir
dan klien itu mengamuk. Sebelum ini, kami ingat jika kami melakukan kerja itu
dengan bagus, kami akan mendapat jaminan lebih banyak projek daripada klien
tersebut. Tetapi hakikatnya, ini merupakan penamat hubungan antara kami
dengan klien berkenaan.

Ketua pegawai eksekutif kami, Peter Jerin rasa begitu terseksa, bukannya untuk
kami anak buahnya, tetapi bagi pihak klien. Dia tahu ketua kejuruteraan
penerbangan itu menaruh kepercayaan pada kami untuk menjalankan khidmat
servis enjin yang baik. Malangnya, hasil kerja kami yang kurang bermutu telah
meranapkan kepercayaannya.

Kami menempah tiket penerbangan ke tempat klien untuk meminta maaf.


Namun, dia enggan berjumpa dengan kami. Kami menunggu di luar pejabat
sepanjang hari sehingga dia keluar. Kami terus tunduk memohon maaf tanpa
henti.
Dia berlalu pergi tanpa memandang mahupun berkata sepatah apapun. Namun
beberapa minggu kemudian, dia menghantar beberapa lagi enjin untuk diservis,
beserta dengan peringatan supaya kami membuat kerja dengan betul-betul, jika
tidak, ucapan maaf itu tidak bermakna langsung. Sejak itu, kami tidak lagi
tersilap langkah.

Akhir kata

Jika kita mampu berasa empati antara satu sama lain di tempat kerja, dan juga
dengan pelanggan, hal ini benar-benar dapat mentransformasikan perniagaan.

Jika setiap pemimpin dan pekerja dalam organisasi mempunyai sifat empati,
mungkin banyak masalah yang sedang kita hadapi sekarang dapat diselesaikan.
https://literasikitaindonesia.com/pentingnya-sikap-empati-pemimpin-dalam-sistem-organisasi/

Pentingnya Sikap Empati Pemimpin Dalam Sistem Organisasi

mempunyai rasa empati adalah keharusan seorang manusia karna disanalah terletak
nilai kemanusiaan seseorang.[1] Melalui empati, individu akan mampu
mengembangkan pemahaman yang mendalam mengenai suatu permasalahan.
Memahami orang lain akan mendorong antar individu saling berbagi. Empati
merupakan kunci pengembangan leadership dalam diri individu.

Kepemimpinan adalah faktor kunci dalam suksesnya suatu organisasi serta


manajemen. Kepemimpinan adalah identitas yang mengarahkan kerja para anggota
organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan yang baik diyakini
mampu mengikat, mengharmonisasi, serta mendorong potensi sumber daya
organisasi agar dapat bersaing secara baik.

Konsep kepemimpinan telah banyak ditawarkan para penulis di bidang organisasi


dan manajemen. Kepemimpinan tentu saja mengkaitkan aspek individual seorang
pemimpin dengan konteks situasi di mana pemimpin tersebut menerapkan
kepemimpinan.  Kepemimpinan juga memiliki sifat kolektif dalam arti segala
perilaku yang diterapkan seorang pimpinan akan memiliki dampak luas bukan bagi
dirinya sendiri melainkan seluruh anggota organisasi.
Sebelum memasuki materi kepemimpinan, perlu terlebih dahulu dibedakan konsep
pemimpin (leader) dengan kepemimpinan (leadership). Pemimpin adalah individu
yang mampu mempengaruhi anggota kelompok atau organisasi guna mendorong
kelompok atau organisasi tersebut mencapai tujuan-tujuannya. Pemimpin
menunjuk pada personal atau individu spesifik atau kata benda. Sementara itu,
kepemimpinan adalah sifat penerapan pengaruh oleh seorang anggota kelompok
atau organisasi terhadap anggota lainnya guna mendorong kelompok atau
organisasi mencapai tujuan-tujuannya. [2]

Kebiasaan buruk pemimpin yang tidak boleh ditolerir adalah sikap cuek pada keluh
kesah bawahan, atau masa bodoh dan tidak mau mendengarkan persoalan para
bawahan. Sikap cuek tidak hanya membuat bawahan kehilangan jalur komunikasi
dengan atasan, tapi akan membuat hubungan kerja menjadi tidak harmonis dan
cendrung pasif.
Menurut kaidah, para pemimpin atau manajer adalah manusia-manusia super lebih
daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu segala sesuatu. Para pemimpin juga
merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam
organisasi merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak
dicapai. Berangkat dari ide-ide pemikiran, visi para pemimpin ditentukan arah
perjalanan suatu organisasi. Walaupun bukan satu-satunya ukuran keberhasilan
dari tingkat kinerja organisasi, akan tetapi kenyataan membuktikan tanpa kehadiran
pemimpin, suatu organisasi akan bersifat statis dan cenderung berjalan tanpa arah.
Menurut Djajendra  “Setiap sikap baik, setiap ucapan baik, setiap pikiran baik,
setiap senyum tulus, akan mengantar anda untuk menjadi pribadi yang dihormati
dan disenangi oleh orang lain.”[3]

Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan


organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi
untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Kepemimpinan mempunyai kaitan
yang erat dengan motivasi. Hal tersebut dapat dilihat dari keberhasilan seorang
pemimpin dalam menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan sangat tergantung kepada kewibawaan, dan juga pimpinan itu dalam
menciptakan motivasi dalam diri setiap orang bawahan, kolega, maupun atasan
pimpinan itu sendiri.
Kemudian apa yang dimaksud dengan empati? empati dan simpati memiliki kata
yang hampir sama tapi berbeda makna dan tindakan. Berikut defenisi empati :
Empati berasal dari bahasa Yunani yang berarti “ketertarikan fisik”. Sehingga
dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi,
dan merasakan perasaan orang lain.[1] Menurut KBBI, empati adalah keadaan
mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya dalam
keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
Sedangkan Eileen R. dan Sylvina S menjelaskan bahwa empati adalah kegiatan
berpikir individu mengenai “rasa” yang dia hasilkan ketika berhubungan dengan
orang lain.[2] Empati mirip perasaan simpati, akan tetapi tidak semata-mata
perasaan kejiwaan saja, melainkan diikuti perasaan organisme tubuh yang sangat
dalam. Contoh bila sahabat kita orang tuanya meninggal, kita sama-sama
merasakan kehilangan. Empati adalah melakukan sesuatu kepada orang lain
dengan menggunakan cara berfikir dari orang lain tersebut, yang menurut orang
lain itu menyenangkan, yang menurut orang lain itu benar. Jadi, apa yang menurut
anda suatu kebaikan, bisa saja sebenarnya malah mengganggu orang lain.

Kebiasaan buruk pemimpin yang tidak boleh ditolerir adalah sikap cuek pada keluh
kesah bawahan, atau masa bodoh dan tidak mau mendengarkan persoalan para
bawahan. Sikap cuek tidak hanya membuat bawahan kehilangan jalur komunikasi
dengan atasan, tapi akan membuat hubungan kerja menjadi tidak harmonis dan
cendrung pasif. Pemimpin yang cerdik pasti tahu bahwa membiarkan keluh kesah
para bawahan sama seperti membenamkan potensi organisasi ke dalam masalah.
Jika pemimpin bersikap cuek dan malas mendengarkan para bawahan, lantas
bagaimana mungkin pemimpin bisa memahami semua kebutuhan organisasi dan
kebutuhan para bawahan.
Oleh karena itu, pemimpin wajib menjadi penasihat atau konselor, yang
memberikan perhatian dan kepedulian kepada semua kolega dan bawahan, yang
memerlukan perhatian dan bimbingan dari pemimpin. Pemimpin juga harus secara
proaktif meluruskan semua masalah keluh kesah para bawahan ke jalur yang
positif dan kreatif. Pemimpin wajib memiliki kepedulian, perhatian, komitmen,
empati, intuisi, dan menghormati semua keadaan para bawahan, agar bisa
berkomunikasi secara bijak melalui proses mendengar dan proses memberi
jawaban. Oleh karena itu, pemimpin wajib mendengarkan setiap bawahannya, agar
dapat membantu para bawahan untuk mencapai sasaran kerja secara maksimal.

Pemimpin harus belajar menggunakan intuisi, perasaan, nilai-nilai kebaikan,


empati, simpati, dan kebenaran,  untuk membuat keputusan – keputusan yang tepat
sasaran buat kehidupan orang banyak. Pemimpin harus belajar untuk melibatkan
orang – orang lain secara adil dan terbuka, pemimpin harus belajar tidak hanya
pintar bicara, tapi juga pintar mendengarkan dan pintar memahami informasi yang
realistis.

Pemimpin harus belajar mendengar dan melihat kebenaran, dan tidak membawa
nasib orang lain ke dalam kesulitan hidup. Tetapi, mampu menciptakan peluang
sukses buat kehidupan setiap orang. Pemimpin harus belajar membuat keputusan
berdasarkan logika yang cerdas, emosi yang cerdas, dan pikiran yang rasional,
untuk menciptakan kemudahan dan kebaikan buat semua orang. Pemimpin harus
belajar menjadi mentor yang bijak buat orang-orang disekitarnya, serta menjadi
inspirator yang mampu menyebarkan gairah hidup dan motivasi, untuk
memberikan nilai-nilai kemenangan hidup ke dalam hati setiap orang.

Berempati tidak melenyapkan kedirian kita. Perasaan kita sendiri takkan hilang
ketika kita mengembangkan kemampuan untuk menerima pula perasaan orang lain
yang juga tetap menjadi milik orang itu. Menerima diri orang lain pun tidak identik
dengan menyetujui perilakunya. Meskipun demikian, empati menghindarkan
tekanan, pengadilan, pemberian nasihat apalagi keputusan. Dalam berempati, kita
berusaha mengerti bagaimana orang lain merasakan perasaan tertentu dan
mendengarkan bukan sekadar perkataannya melainkan tentang hidup pribadinya:
siapa dia dan bagaimana dia merasakan dirinya dan dunianya. Apabila seorang
pemimpin merasakan bahwa mengembangkan potensi orang lain merupakan
tanggung jawab, maka dirinya akan merasa bangga dan bahagia melihat orang lain
berhasil. Inilah salah satu kelebihan pemimpin yang memiliki sifat empati yaitu
dirinya bahagia melihat keberhasilan orang lain.
Kesimpulanya seorang pemimpin yang baik adalah manajer yang mampu untuk
berkomunikasi dan memotivasi bawahan atau karyawanya dengan baik serta mau
dan mampu untuk mendegarkan apresiasi, keluhan dan saran dari bawahan, semua
hal itu harus dilakukkan demi tercapainya tujuan dari perusahaan atau organisasi
yang sedang dia naungi.

Referensi
[1]Rahmat, Jalalludin, Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya.
2001. Hal. 12
[2] Ibid, Hal 14
[3] Sthepen P. Robins. Teori Organisasi Struktur, Desain, dan Aplikasi. Jakarta:
Arcan. 1994. Hal 4
[4] Uchjana, Onong.  Hubungan Insani.Jakarta:Rineka Cipta. 1998. Hal 39
Http://Djajendra-Motivator.com/?p=601 [
https://joglosemarnews.com/2018/05/kepemimpinan-empati/

Kepemimpinan Empati
Kepemimpinan merupakan kekuatan yang
sangat penting di balik kekuasaan berbagai
organisasi, dan bahwa untuk menciptakan
organisasi yang efektif maka ruang lingkup
kerja mengenai apa yang bisa mereka capai,
kemudian memobilisasi organisasi itu untuk
berubah kearah visi baru tersebut (Werren
Bennis & Burt Nanus, 2006:2). Tidak dapat
dipungkiri, bahwa kesuksesan sebuah
organisasi sangat ditentukan oleh faktor
kepemimpinan. Di dalam kepemimpinan
terdapat pemimpin dan bawahan.

Memang benar bahwa seorang pimpinan, baik


secara individual maupun sebagai kelompok,
tidak mungkin dapat bekerja sendirian. Akan
tetapi pimpinan membutuhkan sekelompok
orang lain yang dikenal sebagai bawahan,
yang digerakkan sedemikian rupa sehingga
para bawahan itu memberikan pengabdian
dan sumbangsihnya kepada organisasi,
terutama dalam cara bekerja efektif, efisien,
ekonomis dan produktif.
Pemimpin dalam melaksanakan
kepemimpinan pada sebuah organisasi
dituntut melaksanakan peran
kepemimpinannya dengan baik. Dia harus
mampu meningkatkan kemampuan sumber
daya manusia yang ada, agar dapat berjalan
lebih efektif dalam melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya sebagai pelaksana
administrasi pada sebuah organisasi.
Untuk mempengaruhi sumber daya pegawai
ke arah pencapaian tujuan, tidak semudah apa
yang dibayangkan, karena sumber daya
pegawai memiliki karakteristik yang berbeda-
beda. Pemberdayaan pegawai yang efektif
membutuhkan gaya kepemimpinan yang tepat
dari seorang pemimpin. Thoha (2004:51)
menyebut, gaya kepemimpinan merupakan
norma perilaku yang digunakan oleh
seseorang pada saat orang tersebut mencoba
mempengaruhi perilaku orang lain.
Gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi empati karena dengan sikap yang
ditunjukkannya, ia dapat memahami orang lain. Gaya kepemimpinan juga
dapat memengaruhi motivasi kerja individu dan bawahannya, karena dapat
meningkatkan kondisi.
Empati merupakan sikap dari seorang individu untuk memahami orang lain
dari sudut pandangnya. Seseorang yang memiliki empati, dalam praktiknya
sehari-hari cenderung mampu memahami pikiran dan emosi orang lain serta
memberikan nilai-nilai dari apa yangn dilakukan orang lain. Empati yang
dimiliki seorang pemimpin dapat  dapat mempengaruhi budaya seorang yang
dipimpinnnya.

Bar-On dan Parker, George, Goleman, Salovey dan Mayer yang dikutip oleh
William (et.al) menyatakan, empati merupakan bagian dari kecerdasan
emosi. Empati merupakan kemampuan untuk mengenali perasaan diri sendiri
dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri  sendiri dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri maupun dalam
hubungannya dengan orang lain. Dengan demikian, seorang pemimpin
diharapkan dapat memahami konsep kepemimpinan empati untuk
menunjukkan kepada bawahan, bahwa atasan peduli  kepada kebutuhan dan
prestasi bawahannya.

Pemimpin dan Kepemimpinan

Pemimpin adalah orang yang mendapat amanah serta memiliki sifat, sikap
dan gaya yang baik untuk mengurus atau mengatur orang lain. Sedangkan
kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain, bawahan
atau kelompok, kemampuan mengarahkan tingkah laku bawahan atau
kelompok, memiliki kemampuan atau keahlian khusus.

Menurut Young (dalam Kartono, 2003), kepemimpinan adalah kemampuan


dan keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan
satuan kerja untukmempengaruhi orang lain, terutama bawahannya, untuk
berfikir dan bertindak sedemikian rupa sehingga melalui perilaku yang positif
ia memberikan sumbangan nyata dalam pencapaian tujuan organisasibidang
yang diinginkan oleh kelompoknya, untuk mencapai tujuan organisasi atau
kelompok.

Bawahan

Di dalam kemimpinan terdapat pemimpin dan bawahan. Seorang pimpinan


baik secara individual maupun sebagai kelompok, tidak mungkin dapat
bekerja sendirian, namun tetap membutuhkan sekelompok orang lain yang
dikenal sebagai bawahan, yang digerakkan sedemikian rupa sehingga para
bawahan itu memberikan pengabdian dan sumbangsihnya kepada
organisasi, terutama dalam cara bekerja efektif, efisien, ekonomis dan
produktif.

Empati

Empati berbeda dengan simpati. Simpati merupakan perasaan  yang


tergambar melalui bahasa tubuh. Orang yang bersimpati akan  merasakan
dirinya tenggelam dalam kebersamaan. Simpati lebih banyak merespon
dengan perasaan.  Empati tidak berarti seseorang sepakat, melainkan orang
tersebut secara mendalam mencoba  mengerti, baik dari segi emosional
maupun intelektual. Seseorang yang berempati memperhatikan kata-kata
yang diucapkan, nada suara,  serta bahasa tubuhnya. Dalam empati,
seseorang mendengar dengan  hati, mata, dan pikiran secara objektif, yakni
menggunakan sekaligus semua pancaindra. (Raja Bambang Sutikno, hal.14)

Empati dalam Kepemimpinan

Pemimpin cenderung efektif mengelola hubungan kerja bila mereka bisa


memahami orang lain, mampu mengendalikan emosi, dan berempati
terhadap bawahan. Mereka yang berketerampilan sosial cenderung memiliki
pergaulan luas, pandai menemukan cara berhubungan dengan berbagai tipe
orang, dan yakin bahwa tidak ada hal penting yang dilakukan sendirian.

Orang-orang yang berketerampilan sosial bisa ahli mengelola team dengan


baik, karena empati mereka berfungsi. Mereka juga ahli mempersuasi orang
lain dan ini merupakan wujud kombinasi dari mawas diri, pengendalian diri
dan empati. Dengan keterampilan itu, diyakini dapat mengembangkan
kecakapan yang dipahami sebatas keterampilan teknis dan kemampuan
pengetahuan seseorang menjadi kompetensi yang mempunyai cakupan lebih
komprehensif, terdiri dari: motif, sifat, citra-diri, peran sosial, pengetahuan
dan keterampilan. Kompetensi inilah yang diharapkan menjadi karakter
mendasar seorang pemimpin. Sebab, ia bisa mendorong lahirnya kinerja
yang efektif dan superior dalam pekerjaan.

Kesimpulan

Empati adalah  sebuah konsep yang mendasar dalam kepemimpinan. 


Banyak teori  kepemimpinan  menyarankan untuk memiliki kemampuan dan
menunjukkan empati. Hal tersebut dikarenakan, empati merupakan bagian
penting dalam kepemimpinan. Kepemimpinan membutuhkan  empati untuk
menunjukkan kepada bawahan, bahwa atasan peduli  kepada kebutuhan dan
prestasi bawahannya.  Seorang pemimpin juga perlu  memiliki empati untuk
menyadari orang lain.  Empati juga merupakan bagian penting  dari
kecerdasan emosional. Beberapa peneliti percaya, bahwa  pemimpin yang
efektif itu penting. Dengan kata lain, empati mempunyai pengaruh terhadap
efektifitas kepemimpinan.  *****

https://syafrimen.blogspot.com/2010/04/memimpin-dengan-empati.html

MEMIMPIN DENGAN EMPATI

Dr (Cand). Risnaldi Ibrahim, MM


risnaldi79@yahoo.com
Dr. Syafrimen, M.Ed
syafrimens@yahoo.com
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu
suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-
orang yang mengharap rahmat Allah dan
kedatangan hari kiamat, dan dia banyak
menyebut nama Allah (Q.S. al-Ahzab; 21).
Setiap kamu adalah pemimpin, setiap
kepemimpinan akan diminta pertanggung
jawabanya (Al-Hadist).

Sifat empati merupakan kemampuan seseorang


untuk menyadari perasaan, kepentingan,
kehendak, masalah atau kesusahan yang
dirasakan oleh orang lain. Individu yang memiliki
sifat empati tersebut senantiasa dapat
mamahami dan menyelami perasaan orang lain
dari perspektif mereka (Corey & Corey 1997;
Rogers dlm Corey, Corey & Callahan 1998). Satu
lagi kelebihan individu yang memiliki sifat empati
adalah mampu mengembangkan potensi orang
lain, selalu berkeinginan untuk memenuhi
kepentingan orang lain, dan mampu memahami
perasaan dan permasalahan kelompok serta
pemegang kekuasaan dalam sebuah organisasi.

Stein dan Book dalam bukunya Emotional


Intelligence and Your Success (2000) memberikan
pandangan tentang empati iaitu kemampuan
untuk menyadari, memahami dan menghargai
perasaan serta fikiran orang lain. Dalam laras
bahasa yang lain beliau juga mengemukakan,
empati adalah “menyelaraskan diri” perhatian
terhadap apa, bagaimana, serta memahami latar
belakang perasaan serta fikiran orang lain,
sebagaimana orang itu merasakan dan
memikirkannya. Menurut beliau individu yang
mempunyai sifat empati yang tinggi mampu
memahami orang lain daripada persepektif
individu itu, sangat peduli serta memperlihatkan
keinginan dan perhatian yang tinggi terhadap
orang tersebut.

Khairul ummah et al. (2003) menggambarkan sifat


empati dengan istilah “peka, peduli, positif, dan
partisipatif”. Sifat peka, peduli dan partisipatif
menggambarkan tentang perhatian seseorang
terhadap perubahan dan keadaan emosi orang
lain. Seseorang yang memiliki kepekaan yang
tinggi dapat merasakan kesulitan orang lain,
seolah-olah dia sendiri yang merasakanya.
Individu ini mampu memberikan solusi terbaik
kepada orang yang menghadapi masalah.
Sedangkan sifat positif menggambarkan tentang
kemampuan seseorang untuk selalu berusaha
berbicara secara positif dan menghindari
penggunaan kalimat-kalimat negatif.

Tugas memimpin merupakan tugas yang sangat


mulia, bagaimanapun kemuliaan seorang
pemimpin itu tergantung kepada sikap dan
komitmen yang ditunjukkannya. Seorang
pemimpin mestilah mampu menjadikan dirinya
sebagai contoh yang baik kepada masyarakat
(umat), selalu melakukan rekfleksi terhadap
kepemimpinanya, berakhlak mulia dan memiliki
sifat empati yang tinggi terhadap masyarakat
yang dipimpin (Parson & Stephenshon 2005).
Dalam Islam tugas sebagai pemimpin merupakan
perpanjangan tangan kepemimpinan yang
dilakukan oleh Rasullah s.aw. Justeru, kunci
keberhasilan Rasulullah dalam memimpin adalah
menjadikan dirinya sebagai contoh utama kepada
umat yang dipimpin. Kata kunci keberhasilan
kepemimpinan Raslullah diabadikan sehingga hari
ini [Jujur, Amanah, Berani menyampaikan
kebenaran walaupun nyawa taruhanya, dan
Cerdas dalam memimpin]. Hasil penelitian terkini
menunjukkan bahwa diri Rasulullah merupakan
pemimpin ulung dunia yang tidak ada tandinganya
sehingga ke hari ini (baca 100 tokoh paling
berpengaruh di dunia). Ketauladalan rasulullah
tersebut diabadikan dalam Q.S. al-Ahzab; 21
seperti berikut ini:
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu
suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang-
orang yang mengharap rahmat Allah dan
kedatangan hari kiamat, dan dia banyak
menyebut nama Allah (Q.S. al-Ahzab; 21).

Skovholt dan Rozario (2005) menyatakan


pemimpin yang memiliki sifat empati dan sosial
skill yang baik, lebih disenangi oleh
masyarakatnya ketimbang pemimpin yang tidak
memiliki sifat itu. Menurut mereka pemimpin
seperti itu lebih mudah berinteraksi dan
memahami masyarakat, sehingga masyarakat
merasa lebih nyaman di bawah kepemimpinanya.
Sejalan dengan pendapat Skovholt dan Rozario,
Ary Ginanjar (2005) juga menyatakan bahwa sifat
empati sangat penting dalam meraih kesuksesan,
baik dalam dunia bisnis apalagi birokrasi
kepemimpinan. Menurut Ary Ginanjar
permasalahan kronis yang dihadapi oleh
pemimpin hari ini adalah masalah komitmen,
empati, integritas, motivasi, kreativitas dan
melanggengkan semangat kerja. Ary Ginanjar
juga menyatakan, membina keterampilan teknis
adalah lebih mudah ketimbang keterampilan
empati tersebut, karena keterampilan ini
berkaitan dengan sifat-sifat internal seseorang
yang seyogyanya memang telah dibina semenjak
dari kecil, bahkan sebagian teori psikologi
mengatakan sifat empati sepatutnya dibina
semenjak manusia masih di dalam kandungan.

Beberapa pakar psikologi berpandangan sifat


empati bisa dibina (Bagsaw 2000; Dulewicz &
Higghs 2004; Matthews, Roberts & Zeidner 2003;
Patricia & Finian 2003). Pembinaan sifat empati
berbeda dengan pembinaan kecerdasan
intelektual (Goleman 1999). Goleman
berpandangan bahwa kemampuan kognitif
individu relatif tidak berubah, berbeda dengan
sifat empati yang bisa dipelajari dan ditingkatkan
sepanjang kehidupan seseorang. Bagaimanapun,
persoalannya adalah“Apakah bentuk latihan yang
sesuai untuk membina sifat empati itu?”.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
seseorang ataupun pemimpin yang terbiasa
dengan kehidupan serba berkecukupan,
kebiasaanya kurang sensitif dengan lingkungan
sekelilingya, ini karena dirinya kurang merasakan
kesusahan, kesengsaraan dan kepahitan hidup
seperti mana yang dialami oleh orang-orang yang
susah. Menurut Ary Ginanjar (2005) seseorang
perlu melakukan latihan secara
berkesinambungan (continuosly improvement)
sehingga dapat membentuk satu keperibadian
yang mempunyai sifat empati yang tinggi.
Noriah (2004) menggambarkan bahwa terdapat
sebagian pemimpin yang bersikap kurang beretika
dalam kepemimpinanya. Tindakan seperti ini
tidak hanya memburukkan peribadi pemimpin
tersebut, tetapi juga memberikan imej yang tidak
baik kepada pemimpin-pemimpin yang
sesungguhnya memiliki komitmen yang jernih
dalam memimpin. Namun masyarakat telah
terlanjur berasumsi dan salah dalam menilai,
akibat ulah sikap sebagian pemimpin seperti itu.
Kenapa hal ini bisa terjadi? Apakah mereka tidak
lagi menghayati tugas memimpin yang
sebenarnya? Bukankah pemimpin-pemimpin itu
seharusnya berempati terhadap masyarakat dan
tugas kepemimpinanya? Goleman dalam Noriah
(2005) menyatakan bahawa;

...cognitive intelligence may provide some


individuals entry into particulas (work) setting,
however emotional intelligence “empathy” could
play a vital role in determining how successful
they will be after entering the work setting .

Hasil penelitian di luar dan di dalam negri


menunjukkan terdapat kepentingan empati di
samping kecerdasan intelektual (IQ) di kalangan
pemimpin (Ary Ginanjar 2003; Goleman 1995,
1999; Mohd Najib 2000; Noriah et al 2001; Noriah
dan Siti Rahayah 2003; Noriah, Syed Najmuddin &
Syafrimen 2003; Noriah et al. 2004; Skovholt &
D'rozario 2000; Syafrimen 2004; Syed Najmuddin
2005; Wan Ashibah 2004; Zuria & Noriah 2003).
Untuk itu, penting bagi para pemimpin memiliki
keterampilan tersebut. Latihan berkaitan dengan
empati perlu diberikan kepada calon-calon
pemimpin karena sifat ini merupakan basic yang
membolehkan mereka dapat memahami apakah
yang sedang dirasakan oleh orang lain.
Penelitian Syafrimen menunjukkan terdapat
beberapa cara untuk melatih sifat empati dalam
diri seseorang. Pertama, melatih sifat empati
dengan cara selalu melatih diri untuk
memberikan perhatian terhadap kepentingan
orang lain. Perhatian terhadap keadaan orang lain
merupakan basic bagi seseorang untuk dapat
memahami orang lain. Mustahil bagi seseorang
dapat merasakan apa yang diarasakan orang lain,
sekiranya dia tidak dapat memberikan perhatian
terhadap orang tersebut. Perhatian bukan hanya
sekedar dapat merasakan apa yang dirasakan oleh
orang lain, tetapi coba melakukan sesuatu untuk
membantu orang tersebut dari permasalahan
yang sedang dihadapi sesuai dengan
kemampuanya. Individu yang selalu memberikan
perhatian terhadap orang lain, berusaha
mencarikan jalan penyelesaian walaupun kadang-
kadang perlu mengikut sertakan orang-orang di
luar dirinya. Penelitian Syafrimen ini sejalan
dengan hasil penelitian yang dilakukan Daniel
Goleman (1999) yang mendapati seseorang yang
mempunyai sifat perhatian dalam dirinya
mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap
lingkungan sosial, dan dapat memahami dengan
tepat situasi yang terjadi pada lingkungan
tersebut. Individu ini tidak berhenti sampai di
sini, malah coba melihat peluang apakah yang
bisa diberikan terhadap lingkungan sekiranya ada
sesuatu yang perlu dibetulkan. Kalau dikaitkan
dengan diri seorang pemimpin, perhatian
terhadap keadaan orang lain sebenarnya
merupakan basic yang sangat penting untuk
menjadikan pemimpin tersebut sebagai seorang
pemimpin yang baik (Chernis 1998; Corey, Corey
& Callahan 2003; Goleman 1999; Katzenbach
2000; Muhibbin Syah 1995; Tajudin Ninggal 2003;
Shahbani 2005).

Taufiq Pasiak (2007) juga menyatakan seseorang


yang selalu perhatian terhadap orang lain,
menjadikan hatinya lebih baik dan lebih sensitif
dengan keadaan orang lain itu. Dari segi
kesehatan juga didapati individu seperti ini lebih
sehat ketimbang individu yang kurang sensitif
dengan keadaan orang lain, individu yang hanya
sibuk memikirkan diri sendiri dan tidak peduli
dengan lingkungan. Kenapa hal ini bisa terjadi?
Taufiq menyatakan individu yang sensitif dengan
keadaan orang lain selalu memperbaiki dirinya
terlebih dahulu sebelum mengulurkan bantuanya
kepada orang lain. Individu seperti ini dilihat
sebagai seorang yang mempunyai nilai tinggi oleh
lingkunganya. Nilai tersebut merupakan obat yang
paling mujarab untuk meningkatkan kekebalan
pada tubuh seseorang. Keadaan inilah yang
mempengaruhi kesehatan mereka. Realita
kehidupan memang membuktikan, sekiranya
seorang pemimpin merasa tidak bernilai ataupun
tidak berguna di tengah-tengah masyarakatnya,
bisa menimbulkan stres pada dirinya. Apabila
selalu dalam keadaan stres maka penyakit lain
mudah menyerang (Taufiq Pasiak 2007; Zinah
Ahmad & Hamdan Mohd. Ali 2006).

Jika dikaitkan dengan pandangan Islam perhatia


terhadap keadaan orang lain (empati) memang
dinilai sebagai perbuatan yang sangat baik dan
bisa mendatangkan pertolongan Sang Khaliq
terhadap individu yang memiliki sifat tersebut.
Seperti dinyatakan dalam al-Qur’an; Q.S
Muhammad; 7:

Sesiapa yang menolong Agama Allah maka Allah


akan menolong mereka (Q.S Muhammad; 7).

Orang-orang yang menolong Agama Allah yang


dimaksudkan oleh ayat ini adalah termasuk orang
yang perhatian terhadap kepentingan hamba-
hamba Allah, yang bertugas sebagai khalifah di
muka bumi ini. Jikalau Allah menghendaki,
sesuatu yang tidak terfikirkan oleh akal kita bisa
saja terjadi, kerana Dia yang Maha tahu, dan Dia
Bisa melakukan sesuatu berdasarkan
kehendaknya, yang kemungkinan tidak terjangkau
oleh akal fikiran manusia.

Kedua, melatih sifat empati dengan cara selalu


melatih diri untuk bertoleransi dan merendahkan
ego dengan orang lain. Individu yang selalu
melihat dirinya lebih daripada orang lain,
ataupun sering dikatakan sebagai individu yang
egois, dalam realita kehidupan memang sering
dilihat kurang sensitif ataupun kurang peka
dengan keadaan orang lain. Individu seperti ini
biasanya mempunyai hati yang keras, berat bagi
dirinya untuk berada pada posisi sejajar dengan
orang lain, apa lagi pada posisi di bawah orang
lain. Dia merasakan dirinya lebih hebat, lebih
berkemampuan ketimbang orang lain. Keadaan ini
yang menjadikan dirinya sulit memahami
perasaan orang lain. Ciri-ciri individu yang mudah
bertoleransi dan merendahkan ego selalunya
mudah memberikan penghargaan kepada orang
lain, memberikan perhatian yang tulus, mau
mendengarkan orang lain apabila bercerita
tentang dirinya, senantiasa membuat orang lain
penting di hadapanya, mudah meminta maaf
apabila merasa bersalah, ringan lidahnya untuk
mengucapkan terima kasih kepada orang lain,
mudah memberikan pujian kepada orang lain, dan
selalu berusaha memahami perasaan orang lain
(Ary Ginanjar 2005). Individu yang memiliki ciri-
ciri ini tentunya sangat mudah memahami orang
lain, kerana dia melihat orang lain sangat
berharga di hadapannya, menyayangi orang lain
sama seperti menyayangi diri sendiri.

Individu yang mudah bertoleransi dan


merendahkan ego kebiasaanya memiliki prinsip
selalu memberi dan mengawali (Ary Ginanjar
2005). Prinsip memberi dan mengawali
merupakan prinsip Bismillah. Kalau diperhatikan
dalam Al-Qur’an semua awal-awal surah diawali
dengan bismillahirrahmanirrahiim. Kalimat ini
bermaksud “dengan nama Allah yang Maha
pengasih lagi Maha penyayang” Pengasih dan
penyayangnya Allah tidak ada yang dapat
menandingi, Allah tidak hanya mengasihi dan
menyayangi umat yang patuh terhadap
Agamanya, tetapi Allah mengasihi semua makhluk
ciptaanya. Dengan perkataan lain tidak pilih
kasih. Kasih dan sayang Allah adalah kasih dan
sayang yang tulus, ikhlas yang tiada tandingnya,
dan tidak pernah meminta balasan kasih sayang
yang diberikan. Inilah yang dimaksudkan dengan
prinsp Bismillah iatu prinsip selalu memberi dan
memulai. Disadari ataupun tidak Allah telah
menjanjikan bahawa Dia akan membalas setiap
perbuatan yang dilakukan oleh hamba-hambanya,
seperti dinyatakan berikut ini:

... maka barangsiapa yang melakukan kebaikan


walaupun sebesar biji Zarah, Ia pasti akan
melihatnya! Dan barang siapa melakukan
kejahatan walaupun sebesar biji Zarah, Ia juga
pasti akan melihatnya (QS. al-Zalzalah: 7-8).

Cara ketiga yang dihasilkan oleh penelitian


Syafrimen untuk pembinaan sifat empati adalah
dengan cara melatih diri selalu ”fleksibel
terhadap orang lain”, iaitu kesediaan seseorang
untuk menerima orang lain dalam pelbagai
keadaan. Dalam istilah lain sering juga disebut
menerima orang lain tanpa syarat. Dalam realita
kehidupan memang dapat dibuktikan bahwa
seseorang yang dapat menerima orang lain tanpa
syarat, sangat mudah untuk memahami keadaan
orang lain, kerana individu seperti ini melihat
orang lain bukan menurut ukuran dirinya tetapi
dia coba memahami orang lain berdasarkan
keadaan orang tersebut. Inilah yang
menyebabkan dirinya sangat mudah untuk
memahami orang lain. Ini juga sejalan dengan
pandangan Daniel Goleman (1999) yang
menyatakan individu yang memiliki sifat fleksibel
berkemampuan untuk menditeksi perasaan orang
lain dari perspektif orang tersebut. Menunjukkan
keinginan yang mendalam terhadap kehendak dan
masalah yang dihadapi oleh orang lain. Dirinya
sangat sensitif terhadap tingkah laku yang
ditunjukkan oleh seseorang, dan berminat
mendengarkan pelbagai masalah yang diceritakan
seseorang kepadanya.

Seperti yang disentuh sebelum ini, termasuk salah


satu ciri seseorang yang memiliki sifat empati
adalah mampu mengembangkan potensi orang
lain. Pemimpin memang seharusnya memiliki sifat
ini, karena banyak potensi yang harus
diperhatikan dan dikembangkannya. Pemimpin
yang memiliki sifat ini berprinsip bahwa
keberhasilan memimpin dapat dilihat sejauhmana
dirinya dapat mengakomodir ataupun
mengambangkan potensi-potensi yang ada di
sekelilingya. Dengan perkataan lain, pemimpin
yang berhasil adalah pemimpin yang dapat
membantu orang lain berhasil selama dalam
proses kepemimpinanya. Inilah yang disebut
dalam Islam sebagai konsep “Rahmatan Lil
’Aalamin” iaitu prinsip keberhasilan untuk semua
orang. Pemimpin yang memiliki prinsip ini,
merasa tidak nyaman sekiranya orang-orang di
sekelilingnya tidak dapat dia bantu untuk
memperolehi keberhasilan secara bersama-sama.
Inilah yang dimaksudkan oleh Q.S. al-Qashas: 84
yang bermaksud;

Sesiapa yang membawa kebaikan, pahalanya


adalah lebih baik daripada kebaikan yang dia
lakukan...(QS. al-Qashas: 84)

Syafrimen menyatakan, beberapa langkah untuk


mengembang potensi orang lain adalah: pertama,
mengembangkan potensi orang lain dengan cara
memberikan peluang mereka. Memberikan
peluang kepada orang lain secara tidak langsung
telah memberikan keyakinan kepada mereka
untuk membuktikan kemampuan yang dia miliki.
Individu yang diberikan peluang untuk
bertanggungjawab terhadap suatu pekerjaan,
cara penerimaan dan cara mereka melaksanakan
pekerjaan tersebut akan berbeda daripada
mereka bekerja di bawah pantauan orang lain.
Secara tidak langsung cara seperti ini merupakan
kaedah untuk mengembangkan potensi orang lain.
Menurut Gray (2001) memberikan peluang kepada
orang lain untuk mencoba sesuatu, dengan tujuan
mengembangkan potensi diri mereka sebenarnya
merupakan tanggungjawab bagi setiap pemimpin.
Menurut beliau apabila seorang pemimpin
merasakan bahwa mengembangkan potensi orang
lain merupakan tanggungjawab, maka dirinya
akan merasa bangga dan bahagia melihat orang
lain berhasil.

Inilah salah satu kelebihan pemimpin yang


memiliki sifat empati, yaitu dirinya bahagia
melihat keberhasilan orang lain. Dia merasakan
kebahagiaan orang yang berhasil itu sebagai
kebahagiaan dirinya sendiri, karena pemimpin ini
melihat orang lain adalah bahagian dari dirinya
yang mesti dibantu sebagaimana membantu
dirinya sendiri (Gray 2001, Al-hadits). Menurut
Gray keberhasilan peribadi adalah rasa bahagia
yang dimiliki oleh seseorang, dan berhak dalam
proses melaksanakan sesuatu hal yang ingin
dilakukan. Berhak dalam proses melakukan hal
yang ingin dilakukan bukan bermakna hidup tanpa
aturan, maknanya di sini adalah bertindak
berdasarkan prinsip kebenaran. Justeru, apabila
seseorang memberikan peluang kepada orang lain
untuk membantu mengembangkan potensi dirinya
sebenarnya dia telah memberikan kebahagiaan
kepada dirinya sendiri, kerana ini merupakan
fitrah manusia (Al-Qur’an).

Selanjutnya mengembangkan potensi orang lain


dengan cara “memberikan kesadaran”. Al-Ghazali
mengelompokan manusia kepada empat kelompok
besar, salah satunya adalah ”kelompok orang
yang tahu, tetapi dia tidak tahu bahwa dirinya
tahu”. Dalam relalita kehidupan memang sering
dilihat kelompok orang seperti ini. Orang seperti
ini memerlukan orang lain untuk mengingatkan
mereka, karena dia tidak menyadari bahwa
dirinya mempunyai potensi untuk berkembang
lebih baik dari apa yang didapatkan sekarang.
Menurut Goleman (1999) individu seperti ini
dikaitkan dengan individu yang rendah kesadaran
terhadap diri sendiri ataupun kurang memiliki
kreativitas untuk menilai kekuatan dan
kelemahan dirinya. Justeru, individu seperti ini
membutuhkan orang lain untuk memberikan
kesadaran supaya dia dapat melihat kembali
potensi yang dimilikinya.

Dalam Islam kaedah ini menjadi unggulan


Rasulullah saw untuk membina umatnya sama-
sama menuju keberhasilan. Seperti dinyatakan
dalam Q.S. Ali-Imran: 104:

Dan hendaklah diatara kamu ada segolongan


orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
mungkar, dan mereka itulah orang-orang yang
beruntung (QS. Ali Imran: 104).

Menyeru kepada kebajikan termasuk memberikan


peringatan kepada orang-orang yang tidak dapat
melihat potensi dirinya dengan baik. Individu
yang menggunakan pendektan ini dikaitkan
dengan keberuntungan. Keberuntungan
dimaksudkan adalah keberhasilan individu
tersebut mengingatkan kembali individu yang
selama ini kurang melihat potensi yang dimiliki
dalam dirinya. Langkah-langkah yang sampaikan
dalam penulisan ini sejalan dengan langkah-
langkah yang dilakukan oleh orang-orang yang berhasil
membantu mengembangkan potensi orang lain.

Rujukan
Corey, M. S. & Corey, G. 1997. Groups: Process and practice. Ed. Ke-5. Pcific Grove: Brooks/Cole
Publishing Company.

Corey, Corey dan Callanan. 2003. Issue and ethics in helping profession, 5th Brookes/Cole Pub. Co.
Pacific Grove.

Dulewicz,V.& Higgs, M. 2004. Can emotional intelligence be developed? Journal of Human Ressource
management. 15:95-111.

Goleman. D. 1996. Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.

Goleman. D. 1999. Working with emotional intelligence. New York: Bantam Books.
Trikantojo Widodo. 1999. Jakarta: PT.Gramedia Utama.

Goleman. D. 1999. Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi. Terj. Alex.

Goleman. D., Boyatzis, R. & Mckee, A. 2002. The new leaders: Transforming the art of leadership into
the science of results. London: A Little, Brown Book.

Ginanjar, A. A., 2005. Rahasia sukses membangkitkan ESQ power: sebuah inner journey melalui al-ihsan.
Jakarta: Arga.

Ginanjar, A. A., 2003. Rahasia sukses membangkitkan ESQ power: sebuah inner journey melalui al-ihsan.
Jakarta: Arga.

Goleman. D. 1995. Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New York: Bantam Books.
Khadim al-Haramain Asy Syarifain. Al-Qur’an dan terjemahnya. Madinah Al-Munawwarah: Perpustakaan
Su‘udi.

Noriah, M.I., Zuria,M, Siti Rahayah, A. dan Manisah M.A. 2003. Hubungan antara Tanggungjawab Kepada
Diri, Pelajaran, Pelajar dan Masyarakat di Kalangan Guru-guru. Prosiding seminar kebangsaan profession
pergurun 2003. Bangi: Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Noriah, M.I., Zuria,M, Siti Rahayah.A., dan Manisah, M.A. 2002. Hubungan antara tanggungjawab kepada
diri, pelajaran, pelajar dan masyarakat di kalangan guru-guru. Jurnal Pendidikan. Jilid 24: 548-555.

Noriah M.I., Zuria, M. 2003. Kepintaran Emosi di Kalangan Pekerja di Malaysia. Prosiding IRPA- RMK-8
Kategori EAR. Jilid 1: 184-187.

Noriah, M.I., Syed Najmuddin, S.H. dan Syafrimen. 2004. Guru dan kepintaran emosi: Implikasi ke atas
kebolehan guru dalam menangani masalah sosial pelajar. Prosiding seminar kebangsaan ke-3 psikologi
dan masyarakat. Bangi: Pusat penerbitan dan teknologi pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Noriah, M.I. 2005. Pengurusan kecerdasan emosi (EQ) dan pembangunan kendiri pelajar. Prosiding
seminar kepengetuaan kebangsaan ke-4. Kuala Lumpur; Universiti Malaya.
Parson, M & Stephenson, M. 2005. Developing reflective in student teachers: collaboration and critical
partnerships.

Khairul Ummah et al. 2003. Kecerdasan Miliyuner. Bandung: Aha.


Taufiq Pasiak. 2007. Brain management for self improvement. Bandung: P.T. Mizan.

https://mulya.gurusiana.id/article/2018/11/sifat-empati-mutlak-dimiliki-seorang-pemimpin-48634

Sifat Empati Mutlak Dimiliki Seorang Pemimpin


11 Nov @Opini
Apakah anda menjadi seorang pemimpin
dalam suatu lembaga/organisasi? Jika iya
maka rasa empati harus dimiliki supaya
bawahan anda merasa dimanusiakan.

Mengapa demikian? Pemimpin itu adalah


orang yang memiliki kemampuan bagaimana
mempengaruhi orang lain/bawahannya. Tetapi
cara yang dilakukan tidaklah otoriter (tangan
besi).

Pemimpin otoriter itu memutuskan hal-hal


yang diluar batas kemanusiaan. Jika itu
lakukan maka setiap bawahan akan berada
dalam tekanan. Bawahan akan merasa
dipaksa sehingga akan kapok. Jika hal tersebut
terjadi kedepannya akan berupaya mencari
seribu alasan untuk menghindar.

Hendaknya setiap bawahan dimanusiakan


sehingga mereka tidak akan kapok. Caranya
seorang pemimpin harus memiliki rasa empati
terhadap bawahan ketika mengambil
keputusan.

Perintah yang diberikan harus rasional dan


masuk akal. Mempertimbangkan beban yang
dipikul bawahan. Apakah bawahan mampu
melakukan perintah atau tidak. Bukan hanya
intruksi akan tetapi diperhatikan sisi
manusiawi bawahannya.
http://mymindakini.blogspot.com/2008/10/memahami-kepimpinan-berempati.html?m=1

Setiap bawahan bukanlah robot, bawahan juga


manusia. Mereka memiliki rasa dan perasaan.
Rasa dan perasaan itu harus mendapatkan
perhatian dari pemimpinannya. Itulah hakekat
empati. Perhatian yang diberikan kepada
bawahannya dengan mengerti dan memahami
kondisi bawahannya berikan tugas sesuai
kondisi dan kemampuan terbaik bawahannya.

Jika setiap pemimpin memiliki rasa empati


maka potensi bawahan akan melejit menuju
langit. Memberikan banyak kesuksesan pada
lembaga/organisasi. Kesemuanya dilakukan
penuh tanggungjawab, rasa suka, dan setulus
hati. Kenyamanan dan kegembiraan dalam
melakukan tugas lembaga/organisasi menjadi
sebuah jaminan.
https://www.researchgate.net/publication/335762982_Sifat_Empati_Pemimpin_Terhadap_Bawaha
n_Sebagai_Kunci_Keberhasihan_Kepemimpinan_Dalam_Sistem_Manajemen_Pendidikan_Islam

pdf ada di download

Anda mungkin juga menyukai