Anda di halaman 1dari 18

DAFTAR ISI

Judul

Kata Pengantar

Daftar Isi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Makna dan jenis pelayanan pendidika bagi ABK


B. Sejarah perkembangan layanan pendidika khusus di Indonesia
C. Bentuk pelayanan pendidikan segregasi, integrasi dan pelayanan inkluisi.
D. Karakteristik berbagai jenis pelayanan khusus
E. Pendekatan kolaboratif dalam pelayanan pendidikan ABK

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam Modul 1, telah dipelajari hakikat pendidikan khusus, yag mencakup
definisi, jenis, dan dampak kelainan/kebutuhan khusus (ABK). Berdasarkan materi
tersebut, dalam modul ini akan dikaji hakikat pelayanan pendidikan bagi ABK, yang aka
mencakup kajian tentang pengertian dan sejarah layanan pendidika khusus di Indonesia,
bentuk layanan pendidika segregasi dan integrasi, termasuk inklusif, karakteristik
berbagai jenis pelayanan, serta pendekatan kolaboratifdalam pelayanan ABK.
Penguasaan terhadap materi tersebut akan memperluaswawasan dala berbagai jenis
layanan pendidikan bagi ABK, Wawasan ini akan mempermudah tugas-tugas dalam
memberi layanan pendidikan bagi ABK yang mungkin ada di kelas.
Pelayanan pendidikan bagi anak berkelainan merupakan satu kebutuhan esensial
untuk mengembangkan potensi yang dimiliki ABK secara optimal. Semua bentuk
pelayanan pendidikan mempunyai tujuan dan ciri khas masing-masing. Namun, tidak
jarang pula bentuk dan jenis pelayanan pendidika tersebut menimbulkan perbedaan
pendapat di kalangan para pakar dan masyarakat luas.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian atau makna dan jenis pelayanan pendidika bagi ABK?
2. Bagaimana sejarah perkembangan layanan pendidika khusus di Indonesia?
3. Apa perbedaan bentuk pelayanan pendidikan segregasi, integresi, dan pelayanan
pendidikan inklusi?
4. Bagaimana karakteristik berbagai jenis pelayanan khusus?
5. Bagaimana pendekatan kolaboratif dalam pelayanan pendidikan ABK?

C. Tujuan Masalah
1. Menjelaskan makna dan jenis pelayanan pendidika bagi ABK
2. Menjelaskan sejarah perkembangan layanan pendidika khusus di Indonesia
3. Membedakan bentuk pelayanan pendidikan segregasi, integrasi dan pelayanan
inkluisi.
4. Menjelaskan karakteristik berbagai jenis pelayanan khusus
5. Menjelaskan pendekatan kolaboratif dalam pelayanan pendidikan ABK

BAB II

PEMBAHASAN

A. Makna dan Jenis Pelayanan Pendidikan bagi ABK


1. Makna Pelayanan Pendidikan
Pelayanan merupakan suatu jasa atau usaha melayani kebutuhan orang lain
secara langsung atau tidak langsung mendapat imbalan dari yang membutuhka
layanan tersebut.
Dengan demikian, kalau kita kaji secara cermat, dalam konteks pelayanan
terdapat kebutuhan dari pencari layanan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan
tersebut dari penyedia layana. Suatu pelayanan dikatakan berhasil atau berkualitas
tinggi jika layanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan para pengguna layanan.
Inilah yang merupakan kata kunci dalam keberhasilan pelayanan, lebih-lebih dalam
konteks pelayanan pendidika bagi ABK.
2. Jenis Pelayanan Pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus
a. Layanan pendidikan yag berkaitan dengan bidag kesehatan dan fisik, seperti
kebutuhan yang berkaitan dengan koordinasi gerakan anggota tubuh dan berbagai
jenis gangguan kesehatan, melibatkan berbagai tenaga profesional, seperti ahli
terapi fisik.
b. Layanan pendidikan yang berkaitan dengan kebutuhan emosional-sosial, seperti
kebutuhan yang berkaitan dengan konsep diri, penyesuaian diri dengan
lingkungan/masyarakat sekitar, menghadapi peristiwa penting dalam hidup, dan
kebutuhan bersosialisasi. Layanan pendidikan ini melibatka para psikolog dan
pekerja sosial.
c. Layana pendidika yag memang berkaitan langsung dengan kebutuhan pendidika,
yag merupakan kebutuhan terbesar para penyandang kelainan, melibatkan ahli
pendidika dari berbagai bidang dan psikolog.

B. Sejarah Perkembangan Layanan Pendidikan Khusus


Pendidikan khusus tumbuh dari satu kesadaran awal bahwa beberapa anak
membutuhkan sejenis pendidikan yang berbeda dari pendidikan tipikal atau biasa agar
dapat mencapai potensi mereka. Akar dari kesadaran ini dapat ditelusuri di Eropa pada
tahun 1700-an ketika para pionir tertentu mulai membuat upaya-upaya terpisah untuk
pendidikan anak berkebutuhan khusus.
Salah satu upaya tersebut dengan mendirikan lembaga-lembaga residensial yang
didirikan di Amerika Serikat menjadi untuk mengajar penyandag caat terbayak di awal
1800-an. Hal ini membuat Amerika Serikat menjadi negara yag memimpin negara-
negara lain dalam pengembangan pendidikan khusus di seluruh dunia. Pengenalan yang
perlahan-lahan terhadap pendidika khusus sebagai sebuah profesi yag membutuhka
keahlian telah merangsag perkembangan bidang ini. Sehingga organisasi-organisasi
profesi dan kelompok-kelompok pendukung mulai didirikan dan menjadi kekuatan yag
dahsyat di belakag bayaknya peruabhan yang memberikan kekuatan munculnya layanan-
layanan pendidikan khusus.
Setiap negarapun mulai menyediakan jenis layanan yang berbeda dengan Negara
lainnya yang didasarkan pada sumber daya keuangan Negara yang bersagkutan.
Pengadaan pendidika khusus ini akan terus menarik perhatian dari para pembuat
kebijakan, orang tua, pendidik, kelompok-kelompok pendukung akan terus berupaya
mendapatkan mandat guna menjamin terlaksananya pengadaan tersebut.
Dewasa ini, peran lembaga pendidikan sagat menunjang tumbuh kembang dalam
mengolah sistem maupun cara bergaul denga orang lain. Selain itu lembaga pendidikan
tidak hanya sebatas wahana untuk sistem bekal ilmu pengetahuan, namun juga sebagai
lembaga yang dapat memberi skill atau bekal untuk hidup yang nati diharapkan dapat
bermanfaat dalam masyarakat.
Sementara itu, lembaga pendidika tidak haya ditunjukkan kepada anak yang
memiliki kelengkapan fisik saja, tapi juga anak-anak yang keterbelakangan mental. Pada
dasarnya pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus sama dengan pendidikan anak-
anak pada umumnya.
Para ahli sejarah pendidika biasanya menggambarkan mulainya pendidikan luar
biasa pada akhir abad ke 18 atau awal abad ke 19 di dIndonesia dimulai ketika Belanda
masuk ke Indonesia (1596-1942), dimana dengan memperkenalkan sistem persekolahan
dengan orientasi barat, untuk pendidikan bagi anak penyandang cacat dibuka lembaga-
lembaga khusus. Lembaga pertama untuk anak tunanetra, tunagrahita tahun 1927 dan
untuk tunarungu tahun 1930 yang ketiganya terletak di Kota Bandung.
Tujuh tahun seteah proklamasi kemerdekaa, pemerintah RI mengundang-
undangkan tentang pendidikan. Undang-undang tersebut menyebutkan pendidikan dan
pengajaran luar biasa diberikan dengan khusus untuk mereka yang membutuhkan (pasal
6 ayat 2) dan untuk itu anak-anak tersebut berhak dan diwajibkan belajar di sekolah
sedikitnya 6 tahun (pasal 8). Dengan ini dapat dinyatakan berlakunya undag-undag
tersebut maka sekolah-sekolah baru yag khusus bagi anak-anak penyandang cacat,
termasuk untuk anak tunadaksa dan tunalaras yang disebut dengan Sekolah Luar Biasa
(SLB).

C. Pelayanan Pendidikan Segresi, Integrasi, dan inkluisi


1. Layanan Pendidikan Segresi
Bentuk layanan pendidikan segregasi memisahkan ABK dari anak normal.
Dengan demikian, ABK mempunyai sekolah sendiri, demikian pula anak normal
mempunyai sekolah yang tidak ada kaitannya dengan sekolah untuk ABK. Alasan
para pendukung pelayanan pendidikan terpisah ini antara lain sebagai berikut.

a. Dalam layanan segregasi (terpisah) ABK akan mendapat perlakuan/ perhatian


yang lebih intensif karena para guru memang disiapkan khusus untuk melayani
mereka.
b. Dalam layanan segregasi, para ABK merasa senasib sehingga dapat bergaul lebih
akrab. Keinginan untuk bersaing dalam pendidikan segregasi mungkin lebih
tinggi karena para ABK merasa mempunyai kemampuan setara sehingga
kesempatan untuk unggul akan semakin terbuka.
Jika kita kaji alasan para pendukung layanan segregasi, tampaknya ada
benarnya juga. Namun, kelemahan layanan segregasi juga harus diperhitungkan.
Anda tentu dapat menerka kelemahan tersebut. Jika ABK selalu dididik secara
terpisah, mereka seolah-olah mempunyai dunia sendiri yang terisolasi dari dunia
luar. Di samping itu, mereka juga tidak pernah mendapat tantangan untuk
mencapai sesuatu yang lebih baik karena temanteman mereka kemampuannya
hampir sama. Kerugian atau kelemahan lain adalah masyarakat luas tidak
mengenal ABK secara benar sehingga mereka tidak dapat menghargai mereka,
padahal jika mendapat layanan yang sesuai, ABK juga mampu mengembangkan
potensinya secara optimal, yang kadangkadang dalam bidang tertentu melebihi
kemampuan anak normal.

2. Layanan Pendidikan Integrasi


Layanan pendidikan dalam bentuk terpadu atau integrasi menyediakan
pendidikan bagi ABK di sekolah yang sama dengan anak normal. Melalui pendidikan
terintegrasi, para ABK dapat menghayati dunia yang sama dengan anak normal,
demikian pula anak normal akan mendapat kesempatan untuk menghayati
keanekaragaman dalam hidup. Anak normal dan masyarakat luas akan menyadari
bahwa setiap individu mempunyai karakteristik yang khas, yang harus diterima
sebagai sesuatu yang wajar. Di samping itu, pendidikan integrasi akan membuat
ABK dan anak normal saling belajar sehingga tidak ada jurang pemisah antara anak
normal dan ABK. Sebaliknya penentang layanan terintegrasi melihat bahwa
pendidikan terintegrasi akan membawa dampak buruk bagi ABK karena mereka
tidak akan mendapat layanan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya. Di samping
itu, kemungkinan ABK akan menjadi bahan ejekan bagi anak normal terbuka luas;
dan jika ini terjadi ABK akan semakin terpuruk. Bagi anak normal pun, pendidikan
terintegrasi ini dianggap berdampak buruk karena dapat menghambat perkembangan
mereka dan mereka mungkin terpengaruh oleh perilaku negatif ABK.

3. Layanan Pendidikan inklusi


Pendidikan inklusi adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan yang
menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada
umumnya untuk belajar. Menurut Hildegun Olsen (Tarmansyah, 2007;82),
pendidikan inklusi adalah sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa
memandang kondisi fisik, intelektual, sosial emosional, linguistik atau kondisi
lainnya. Ini harus mencakup anak-anak penyandang cacat, berbakat. Anak-anak
jalanan dan pekerja anak berasal dari populasi terpencil atau berpindah-pindah. Anak
yang berasal dari populasi etnis minoritas, linguistik, atau budaya dan anakanak dari
area atau kelompok yang kurang beruntung atau termajinalisasi. Pendidikan inklusi
adalah sebuah pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang mempunyai kebutuhan
pendidikan khusus di sekolah regular ( SD, SMP, SMU, dan SMK) yang tergolong
luar biasa baik dalam arti kelainan, lamban belajar maupun berkesulitan belajar
lainnya. (Lay Kekeh Marthan, 2007:145)
Menurut Staub dan Peck (Tarmansyah, 2007;83), pendidikan inklusi adalah
penempatan anak berkelainan ringan, sedang dan berat secara penuh di kelas. Hal ini
menunjukan kelas regular merupakan tempat belajar yang relevan bagi anak-anak
berkelainan, apapun jenis kelainanya. Dari beberapa pendapat, maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa pendidikan inklusi adalah pelayanan pendidikan untuk peserta
didik yang berkebutuhan khusus tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, sosial
emosional, linguistik atau kondisi lainnya untuk bersama-sama mendapatkan
pelayanan pendidikan di sekolah regular ( SD, SMP, SMU, maupun SMK).
rentangan pengintegrasian menurut jenis pelayanan pendidikan sebagai berikut.

Gambar
Rentangan Pelayanan Pendidikan Khusus

Dari Gambar 2.2 di atas dapat Anda lihat rentangan layanan pendidikan khusus dari
integrasi penuh atau inklusi (ABK berada di sekolah biasa) sampai dengan segregasi
penuh, yaitu ABK berada di panti-panti atau di rumah sakit untuk mendapat layanan
kesehatan dan pendidikan. Di antara kedua ekstrem tersebut terdapat berbagai variasi,
seperti ABK yang bersekolah di kelas biasa, tetapi sewaktu-waktu mendapat layanan
pendidikan khusus di kelas tersebut; yang sering disebut sebagai selfcontained classroom,
kemudian sekolah atau kelas biasa, namun sewaktuwaktu ABK meninggalkan kelas untuk
mendapat layanan di ruang sumber.
Rentangan berikutnya yang sudah mengarah kepada segregasi adalah sekolah
terpisah, yaitu SLB; selanjutnya sekolah terpisah yang berasrama, dan akhirnya yang
dapat disebut segregasi penuh adalah panti-panti atau rumah yang memberikan layanan
kesehatan dan pendidikan bagi ABK. Dengan berbekalkan pada pemahaman ini, kini kita
akan mengkaji jenis-jenis layanan pendidikan khusus yang umumnya tersedia, terutama
di negara-negara maju.

D. Jenis Pelayanan Pendidikan Khusus

1. Layanan di Sekolah Biasa


Anak-anak berkebutuhan khusus yang memenuhi syarat bersekolah bersama-
sama dengan anak-anak lain di sekolah biasa. Model ini yang dapat kita katakan
sebagai integrasi penuh memang merupakan model yang diingini oleh para
penganut inklusi (inclusion), yang menghendaki agar ABK secara penuh dilayani di
sekolah biasa yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Kekuatan dari model ini bagi
ABK adalah (a) mereka mendapat kesempatan yang luas untuk berinteraksi dengan
anak normal, (b) tidak digunakan lagi label kelainan, serta (c) mereka tidak perlu
mengadakan perjalanan terlampau jauh untuk pergi ke sekolah. Sebaliknya, model
ini juga mempunyai kelemahan bagi ABK, yaitu (a) pembelajaran di kelas biasa
mungkin menimbulkan kesulitan belajar, (b) jumlah siswa yang banyak di satu kelas
membuat perhatian guru untuk ABK terbatas, (c) kegiatan kelompok kecil dan
kegiatan individual sering tidak tersedia di sekolah biasa, serta (d) guru tidak
mendapat pelatihan khusus untuk menangani ABK.

Di Indonesia, model layanan ini dikenal dengan nama Sekolah Terpadu, yang
sebenarnya sudah ada (meskipun tidak resmi) sejak tahun 70-an, ketika anak-anak
tunanetra belajar di SLTA (SPG) biasa. Secara formal, seperti yang Anda kaji pada
Kegiatan Belajar 1, Sekolah Terpadu ada pada jenjang SD, namun kemudian
berkembang ke jenjang SLTP dan SLTA. Para ABK pada umumnya dilayani penuh
di sekolah biasa dengan melakukan berbagai penyesuaian, seperti lebih banyak
memberikan ulangan lisan kepada tunanetra atau para tunanetra menulis jawaban
dengan huruf Braille, kemudian mereka membacakan jawabannya atau orang lain
yang ditugaskan menuliskan jawaban tersebut dengan huruf Latin.

2. Sekolah Biasa dengan Guru Konsultan


Dalam model layanan ini, ABK bersekolah di sekolah biasa. Sekolah tersebut
dibantu oleh guru Pendidikan Khusus sebagai konsultan bagi para guru, kepala
sekolah, dan orang tua ABK yang ada di sekolah tersebut. Dengan pengaturan
seperti ini, peluang untuk pemenuhan kebutuhan ABK lebih terbuka. Secara
keseluruhan model ini mempunyai beberapa kekuatan, seperti (a) konsultan dapat
membantu para guru sehingga memungkinkan tersedianya metode pembelajaran,
program, dan materi yang khas untuk ABK, (b) dapat melayani lebih banyak siswa,
(c) memberi pengaruh pada lingkungan belajar, serta (d) konsultan dapat
mengoordinasikan layanan pendidikan yang komprehensif bagi ABK. Sebaliknya
model ini juga mempunyai kelemahan, yaitu (a) guru Pendidikan Khusus yang
bertindak sebagai konsultan mungkin dianggap sebagai orang luar, bukan sebagai
staf pengajar di sekolah tersebut; (b) pengetahuan konsultan tentang ABK yang
didapat dari pengalaman mengajar langsung mungkin sangat kurang; serta (c)
kemungkinan terjadinya pemisahan antara pembelajaran dan assessment.

Di Indonesia, model ini dapat diidentifikasi dari sekolah-sekolah terpadu yang


mempunyai guru pembimbing khusus, seorang guru Pendidikan Khusus. Namun,
tidak semua sekolah terpadu mempunyai guru konsultan seperti ini.

3. Sekolah Biasa dengan Guru Kunjung


Model ini hampir sama dengan model guru konsultan. ABK bersekolah di
sekolah biasa, dengan para guru yang mengajar di sekolah tersebut, dibantu oleh
guru kunjung. Guru kunjung ini adalah guru Pendidikan Khusus yang bertugas di
lebih dari satu sekolah. Oleh karena itu, ia tidak setiap hari berada di sekolah yang
sama, melainkan mempunyai jadwal kunjungan tetap ke sekolah-sekolah tempatnya
bertugas. Kekuatan dari model ini adalah (a) guru kunjung dapat membantu
mengidentifikasi dan melakukan diagnosis terhadap ABK yang ada di sekolah
biasa; (b) dapat memberi konsultasi pada guru sekolah biasa; (c) layanan yang
diberikan bersifat paruh waktu, (d) dapat mengakomodasi kebutuhan beberapa
sekolah, dan (e) merupakan cara yang ekonomis untuk melayani ABK ringan.
Model ini juga mempunyai kelemahan, yaitu (a) bantuan untuk ABK tidak dapat
diberikan secara konsisten karena kedatangan yang mungkin jarang, (b) guru
kunjung mungkin kurang akrab dengan staf sekolah lainnya, (c) masalah
transportasi yang sering sulit, (d) kesinambungan program kurang terpelihara, dan
(e) tindak lanjut yang teratur juga kurang.

4. Model Ruang Sumber


Dalam model ini, ABK belajar di kelas/sekolah biasa yang
dilengkapi dengan ruang khusus yang disebut ruang sumber (resource
room) atau dapat pula disebut sebagai ruang bimbingan khusus. ABK
belajar bersama-sama dengan siswa normal namun pada waktu-waktu
tertentu, ABK meninggalkan kelas biasa dan pergi ke ruang sumber untuk
mendapat bimbingan dari Guru Pembimbing Khusus (GPK). Dengan
demikian, kekuatan model ini terletak pada pemenuhan kebutuhan ABK
secara teratur sementara dia tetap dapat berinteraksi dengan anak normal.
Hal lain yang dianggap kekuatan dari model ini adalah (a) model ini
menekankan pada pengajaran remedial, (b) GPK dapat berperan sebagai
konsultan bagi guru-guru lain, (c) bimbingan khusus merupakan suplemen
dari pelajaran di kelas biasa, (d) GPK dapat menyediakan pelajaran
individual bagi ABK, terutama dalam bidang yang bermasalah bagi ABK,
serta (e) mengurangi trauma. Kelemahan dari model ini juga cukup
banyak, di antaranya adalah (a) pengaturan jadwal mungkin menimbulkan
masalah, (b) tidak sesuai untuk melayani ABK yang mengalami kesulitan
belajar yang parah, dan (c) peran guru dan GPK yang mungkin
menimbulkan konflik.

5. Model Kelas Khusus


Dalam model ini, layanan untuk ABK diberikan di kelas-kelas khusus,
terpisah dari anak normal. Kelas khusus ini mungkin berada di sekolah biasa,
tetapi mungkin juga di tempat lain. Dengan demikian, ABK mempunyai kelas
sendiri, dengan para guru yang disiapkan untuk melayani ABK jenis tertentu.
Model ini tentu saja mempunyai kekuatan, di samping kelemahan. Kekuatannya
terletak pada (a) setiap anak mempunyai program pendidikan individual, (b)
merupakan lingkungan belajar yang kondusif bagi penyandang kesulitan belajar
yang parah, (c) menyediakan perhatian penuh dari seorang guru terhadap ABK,
serta (d) menyediakan kondisi belajar khas secara penuh waktu. Kelemahannya
barangkali sudah dapat Anda bayangkan, seperti (a) kontak atau interaksi dengan
anak normal sangat terbatas, bahkan mungkin tidak ada atau hanya berupa
keterpaduan fisik, misalnya ketika beristirahat, ABK dapat berada bersama-sama
dengan anak normal, (b) harapan guru terhadap kemampuan siswa cenderung
rendah, (d) memodelkan perilaku yang tidak diharapkan karena mereka
berkumpul dengan sesama ABK, serta (d) kurang sesuai untuk ABK ringan dan
sedang.

6. Model Sekolah Khusus Siang Hari


Model ini menyediakan layanan bagi ABK dalam satu sekolah khusus
pada siang hari (hari sekolah), sedangkan pada waktu-waktu di luar hari/jam
sekolah, para ABK berada di rumah bersama keluarga dan di lingkungan
masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, sekolah ini khusus disiapkan bagi
ABK. Kekuatan dari model ini, antara lain (a) para personel dan fasilitas
yang ada dapat difungsikan secara penuh untuk melayani ABK, (b) dapat
melayani ABK dalam jumlah banyak, (c) dapat merupakan pusat pelayanan
untuk diagnosis, konseling, dan mengajar, (d) dapat merupakan tempat untuk
mengembangkan model pembelajaran, (e) menyediakan kurikulum dan
lingkungan belajar secara khusus, serta (f) ABK masih dapat tetap berada
dengan keluarganya di luar jam sekolah. Kelemahan model ini, antara lain
(a) selama waktu sekolah, ABK tidak mempunyai kesempatan untuk
berinteraksi dengan anak normal, (b) biaya dapat sangat tinggi, (c) bukan
merupakan lingkungan yang paling tak terbatas bagi ABK, serta (d)
mengurangi tekanan untuk pengembangan layanan lokal sehingga layanan
lokal mungkin tidak berkembang karena sudah ada layanan di sekolah
khusus ini.

Di Indonesia, model sekolah khusus yang terpisah ini adalah SLB


untuk setiap jenis ABK (dari SLB-A sampai dengan SLB-G), yang tidak
berasrama. Di samping itu, terdapat pula Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB),
yaitu satu sekolah dasar bagi semua jenis ABK yang ada di satu daerah. Pada
umumnya, SDLB didirikan di ibu kota kabupaten untuk menampung semua
jenis anak berkebutuhan khusus yang ada di wilayah kabupaten tersebut,
dalam rangka penuntasan wajib belajar. Oleh karena sekolah ini (baik SLB
maupun SDLB) diperuntukkan khusus bagi ABK maka layanan pendidikan
yang diberikan dapat dikatakan merupakan layanan segregasi penuh. Dalam
perkembangannya kemudian, seiring dengan besarnya perhatian pemerintah
terhadap layanan ABK, SDLB tidak lagi menerima ABK dari semua jenis,
namun hanya menerima ABK sejenis sehingga SDLB menunjukkan salah
satu jenjang pendidikan bagi ABK, seperti halnya TKLB, SLTPLB, dan
SMLB. Konsep jenjang sekolah seperti ini mulai diterapkan bersamaan
dengan berlakunya Kurikulum 1994. Anda dapat mencermati kondisi dan
situasi di sekolah-sekolah ini jika sekolah-sekolah ini ada di sekitar Anda
atau secara sengaja melakukan kunjungan ke sekolah tersebut.

7. Model Sekolah dalam Panti Asuhan atau Rumah Sakit


Dalam model ini, layanan pendidikan bagi ABK diberikan di panti-panti
asuhan atau rumah sakit tempat ABK dirawat. Misalnya, untuk anak-anak yang
menderita cerebral palsy, yang memerlukan perawatan intensif atau bagi
penyandang tunaganda, panti atau rumah sakit merupakan tempat tinggal
mereka, sekaligus sebagai tempat pendidikan bagi mereka. Hal ini tentu
berkaitan dengan hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan.
Dengan demikian, penghuni panti atau sekolah di rumah sakit ini pada
umumnya merupakan ABK dengan tingkat kelainan yang cukup parah
sehingga memerlukan tempat khusus untuk perawatan kesehatan. Tentu saja
model ini mempunyai kekuatan dan kelemahan. Kekuatannya, antara lain
(a) menyediakan latihan motorik secara teratur, (b) memberikan perhatian
khusus pada gizi dan perawatan kesehatan, (c) menyediakan kesempatan untuk
menghayati kehidupan sekolah yang sejalan dengan program pendidikan di
sekolah, serta (d) dapat menunjukkan prosedur diagnosis dan mengajar yang
tepat. Kelemahannya, antara lain (a) terpisah dari kehidupan masyarakat biasa,
(b) memerlukan biaya yang cukup tinggi, (c) sering kekurangan staf yang
melayani, serta (d) kualitas pelayanan sukar dikendalikan.
Itulah berbagai model atau jenis layanan bagi ABK yang umum
disediakan di negara-negara lain, terutama Amerika Serikat. Sebagian dari
model tersebut dapat kita lihat penerapannya di Indonesia dengan berbagai
penyesuaian, dan mungkin sebagian lagi memang tidak mungkin diterapkan di
Indonesia. Di luar model-model di atas, barangkali Anda pernah menemukan
model lain, seperti model kelas jauh atau barangkali Anda pernah mendengar
atau melihat keluarga yang mempunyai anak berkebutuhan khusus
mendatangkan guru khusus bagi anaknya. Dengan menyimak model-model
pelayanan ini, lengkap dengan kekuatan dan kelemahannya, Anda akan punya
bekal untuk mencoba mencarikan atau memberikan pelayanan yang paling
sesuai untuk ABK yang mungkin ada di kelas Anda. Model atau jenis
pelayanan ini akan Anda kaji ulang pada modul-modul berikutnya. Ketika
Anda mengkaji secara khusus layanan pendidikan bagi ABK tertentu, Anda
akan menemukan berbagai penyesuaian dari model-model tersebut dan
selanjutnya Anda akan dapat mengkaji model mana yang sesuai yang
diterapkan (terutama di Indonesia) untuk pelayanan bagi ABK tertentu.

E. Pendekatan kolaboratif dalam Pelayanan Pendidikan ABK

Pelayanan pendidikan untuk ABK merupakan satu kegiatan atau proses yang
sangat kompleks yang memerlukan kerja sama dari berbagai pakar/personel yang terkait
dengan ABK. Oleh karena itu, Anda barangkali sepakat bahwa pelayanan pendidikan
terhadap ABK tidak dapat dilakukan seorang diri, lebih-lebih untuk ABK tingkat parah.
Sebagai seorang guru, Anda memerlukan bantuan profesional dari berbagai bidang yang
terkait dengan ABK yang Anda layani, dengan perkataan lain jika Anda mengharapkan
hasil optimal, Anda tidak mungkin melayani kebutuhan pendidikan ABK seorang diri.
pendekatan kolaboratif atau sering juga disebut pendekatan tim (team approach), yang
berasumsi bahwa pelayanan pendidikan yang efektif hanya akan terjadi jika diberikan
oleh satu tim yang bekerja sama (berkolaborasi) dalam membantu ABK mengembangkan
potensinya secara optimal.
Kerja sama atau kolaborasi diwujudkan dalam pertemuan bersama yang membahas kasus
yang ditangani. Setiap anggota tim akan membahas kasus dari bidang keahliannya
masing-masing
anggota tim pelayanan pendidikan bagi ABK berasal dari berbagai bidang keahlian
yang relevan dengan kebutuhan ABK yang ditangani. Secara umum, anggota tim
mencakup para pakar/personel berikut.

1. Guru sekolah biasa.


2. Guru Pendidikan Khusus.
3. Pengawas sekolah.
4. Kepala sekolah.
5. Orang tua ABK.
6. ABK sendiri.
7. Psikolog sekolah.
8. Guru bina wicara dan persepsi bunyi.
9. Dokter dari berbagai keahlian (dokter spesialis).
10. Perawat sekolah.
11. Guru pendidikan jasmani yang sudah mendapat pelatihan khusus untuk menangani
ABK.
12. Ahli terapi fisik (physical therapist).
13. Pekerja sosial dan konselor.
14. Personel lain, sesuai dengan keperluan.

Berkaitan dengan hal ini, sebagai satu tim, guru diharapkan melakukan hal-hal
berikut terhadap orang tua siswa.

1. Memberikan supervisi kepada orang tua yang ingin membantu guru dalam
pendidikan anaknya.
2. Menilai kemajuan siswa, serta melaporkan dan menginterpretasikan hasil penilaian
tersebut kepada orang tua siswa.
3. Bekerja sama dengan orang tua siswa dalam membuat perencanaan dan mengambil
keputusan yang berkaitan dengan kebijakan dan penyelenggaraan sekolah.
4. Berkonsultasi dengan orang tua siswa tentang situasi sekolah dan situasi rumah yang
mungkin mempengaruhi anak.
5. Jika dianggap perlu dan tepat, guru bertindak sebagai orang tua terhadap siswa
asuhannya.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Pelayanan pendidikan bagi ABK adalah jasa yang diberikan berkaitan denga
pemenuhan kebutuhan para ABK, sehingga ABK tersebut dapat mengembangkan
potensinya. Kebutuhan tersebut terdiri dari kebutuhan fisik dan kesehatan, kebutuhan
yang berkaitan dengan emosional-sosial, dan kebutuhan pendidikan. Tersedianya
pelayanan pendidika yang sesuai dengan kebutuhan merupakan faktor kunci bagi
perkembagan ABK.
Keberadaan para penyandang kelainan dapat ditandai sejak zaman purba yang
masih primitif, sampai zaman yang paling mutakhir, yag ditandai dengan kecanggihan
teknologi. Pada awalnya, perlakuan terhadap para penyandang kelainan sangat
menyedihkan. Oleh karena pengaruh mistik dan berbagai kepercayaan, para penyandang
kelainan dikucilkan, bahkan ada yang dimusnahkan ketika masih bayi. Layanan
pendidikan terhadap penyandang kelainan dapat ditelusuri mulai abad ke-16, ketika di
Spanyol seorang anak tunarungu sejak lahir berhasil dididik. Di Amerika layanan
pendidikan ini baru mulai pada tahun 1817, dan di Indonesia dapat ditelusuri mulai tahun
1901.
Penyediaan layanan pendidikan bagi ABK di Indonesia tidak semaju di negara lain.
Namun, perhatian masyarakat dan pemerintah makin lama makin besar sehingga
berbagai sekolah untuk ABK mulai didirikan. Perkembangan yang menggembirakan dari
jumlah sekolah dan jumlah siswa merupakan pertanda meningkatnya pelayanan
pendidikan bagi ABK. Meskipun peran swasta sangat besar dalam penyediaan layanan
pendidikan bagi ABK, namun perhatian pemerintah juga terus meningkat. Menjelang
tahun 90-an perhatian juga ditujukan untuk membantu ABK yang ada di sekolah biasa.
Perhatian ini terwujud dalam berbagai penelitian tentag keberadaan ABK dan berbagai
program pelatihan untuk membantu ABK yang berada di sekolah biasa, khususnya para
penyandang kesulitan belajar.

B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Aminah, M. (1985). Country Report On Special Education in Indonesia. Yokosuka. The Fifth
APEID Regional Seminar On Special Education

Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Tunagrahita.  Bandung: Refika Aditama.

Dukes, Chris dan Maggie Smith. 2009. Cara Menangani Anak Berkebutuhan Khusus-
Panduan Guru dan Orang Tua. Jakarta: Indeks.

Johnsen, H Berit. 2003. Pendidikan Kebutuhan Khusus.  Bandung: Unipub.

Undang- undang dasar Republik Indonesia

Wardani, IG.A.K. (1994). Country Report On Special Education in Indonesia. Yokosuko :


The Fourteent APEID Regional Seminar On Special Education.

Anda mungkin juga menyukai