Guillain - Barre Syndrome
Guillain - Barre Syndrome
PENDAHULUAN
Guillain Barré Syndrome (GBS) atau bisa juga disebut sebagai Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada
susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan
saraf tepi, yang didahului oleh suatu infeksi (Bahrudin, 2013). Penyakit ini merupakan
autoimun dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel sarafnya sendiri sehingga
menimbulkan peradangan dan kerusakan pada sel-sel saraf tepi (mielin dan akson) yang
dapat menyebabkan kelumpuhan motorik dan gangguan sensorik (Lanello, 2005;
Inawati, 2010).
GBS termasuk penyakit langka dan jarang terjadi hanya 1 atau 2 kasus per
100.000 populasi di dunia tiap tahunnya dan penyakit ini terjadi sepanjang tahun serta
dapat menyerang hampir semua usia dan genetik (Nyati & Nyati, 2013; Rosen, 2016)
serta insidensi pada tiap negara sangat bervariasi (van den Berg et al., 2014). Insiden
keseluruhan telah diperkirakan berkisar 0,4-2,4 kasus per 100.000 per tahun, dengan
3.500 kasus baru per tahun terjadi di Amerika Serikat (Rosen, 2016). Sementara insiden
terjadinya GBS di Indonesia, pada akhir tahun 2010-2011 tercatat ada 48 kasus GBS
dalam satu tahun dengan berbagai variannya. Dibandingkan tahun sebelumnya memang
terjadi peningkatan sekitar 10% (Pdpersi, 2012; Hakim, 2011). Angka kematian dari
GBS dapat meningkat sebesar 1,3 kali pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Angka morbiditas menunjukkan bahwa sekitar 15-20% dari pasien mengalami
penurunan fungsi neurologis dan sekitar 1-10% mengalami cacat permanen (Andary et
al., 2016).
Penyebab GBS masih belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan terjadi akibat
respons autoimun terhadap sel saraf perifer yang dapat dicetuskan oleh infeksi bakteri
atau virus (Nyati & Nyati, 2013). Sebanyak 2/3 dari pasien GBS dilaporkan mengalami
saluran infeksi pernafasan atas atau saluran cerna yang selanjutnya dapat berkembang
menjadi GBS. Sebanyak 30% pasien mengalami 2 GBS yang didahului oleh infeksi
Compylobacter jejuni dan sebanyak 10% terinfeksi Cylomegalovirus (Yuki & Hartung,
2012).
Penyakit GBS yang bersifat akut dengan progresivitas yang cepat membutuhkan
terapi yang tepat dan segera untuk mencegah kondisi pasien semakin memburuk (Yuki
& Hartzung, 2012; Willison et.al, 2016). Terapi yang dibutuhkan berupa terapi spesifik/
Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan penelitian lebih dalam tentang profil
penggunaan obat pada penyakit GBS, sehingga nantinya akan di dapat outcome terapi
yang aman, efektif, dan sesuai dengan kebutuhan pasien.
1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui Etiologi Guillain Barré Syndrome?
1.2.2 Untuk mengetahui Patofisiologi Guillain Barré Syndrome?
1.2.3 Untuk mengetahui Manifestasi klinis Guillain Barré Syndrome?
1.2.4 Untuk mengetahui Pemeriksaan diagnostic Guillain Barré Syndrome?
1.2.5 Untuk mengetahui Penatalaksanaan Guillain Barré Syndrome?
1.2.6 Untuk mengetahui Prognosis Guillain Barré Syndrome?
1.2.7 Untuk mengetahui Asuhan keperawatan Guillain Barré Syndrome?
TINJAUAN TEORI
Dahulu, Guillain- Barre Syndrome diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi
akhir-akhir ini terungkap bahwa virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut
sekarang suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun
immune mediated process. Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi
atau kejadian akut. Interval antara penyakit yang mendahului dengan awitan biasanya
antara 1-3 minggu, dan pada beberapa kasus dapat lebih lama. Pada umumnya, sindrom
ini didahului oleh penyakit influenza atau infeksi saluran pernafasan atas atau saluran
pencernaan. Penyebab infeksi pada umumnya adalah kelompok virus dari kelompok
herpes (Harsono, 1996).
1. Infeksi.
2. Penyakit sistematik:
3. Keganasan.
4. Systemic lupus erythematosus.
5. Tiroiditis.
6. Penyakit Addison.
7. Kehamilan atau dalam masa nifas.
Guillain- Barre Syndrome sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non
spesifik. Insidensi kasus Guillain- Barre Syndrome yang berkaitan dengan infeksi ini
sekitar antara 56%-80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul
seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS
Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya
myelin, material yang membungkus saraf, hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi.
Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat
Perjalanan penyakit ini terdiri dari 3 fase, fase progresif dimulai dari onset
penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai
maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8
minggu. Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan
telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling
sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu. Fase rekonvalesen
ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama
beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit GBS ini berlangsung dalam waktu yang
kurang dari 6 bulan.
1. Fase-fase GBS
Fase-fase Guillain- Barre Syndrome terdiri dari:
a. Fase progresif
Pada fase ini terjadi perkembangan kelemahan dan paralisis otot terjadi secara
cepat. Pada umumnya, fase progresif berlangsung selama dua sampai tiga
minggu sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap yang dikenal
sebagai “titik nadir”. Pada fase ini timbul nyeri, kelemahan bersifat progresif
dan gangguan sensorik. Derajat keparahan gejala bervariasi dan tergantung
seberapa berat serangan yang muncul pada penderita. Penatalaksanaan
secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan
mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.
Infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen
tersebut mengaktivasi sel limfosit T. sel limfosit T ini mengaktivasi proses
pematangan limfosit B dan memproduksi auto antibody spesifik. Ada beberapa
teori mengenai pembentukan auto antibody, yang pertama adalah virus dan
bakteri mengubah susunan sel saraf sehingga system imun tubuh mengenalinya
sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut
menyebabkan kemampuan system imun untuk mengenali dirinya sendiri
berkurang. Auto antibody ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin.
Bahkan kadang- kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.
Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal nafas, asirasi makanan atau cairan
ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, thrombosis vena
dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi
(Harsono, 1996).
95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75% diantaranya sembuh
total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih
mungkin terjadi pada sebagian pasien. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian.
Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang 20% penderita meninggal oleh
karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini kematian berkisar antara 2-10% dengan
penyebab kematian oleh karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi
paru dan emboli paru. Sebagian penderita (60-80%) sembuh secara sempurna dalam
Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali
timbul. 3% pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa
tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan terjadinya elapsing
inflammatory polyneuropathy.
1. Dengan tanda kelumpuhan yang mencolok, disertai adanya gangguan rasa (Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneutopathu: AIDP).
2. Tanda kelumpuhan mencolok, tidak terlalu disertai gangguan rasa (Acute Motor
Axonal Neuropathy: AMAN).
1. Terdapat kelemahan progresif simetris akut, biasanya lebih berat disebelah distal
daripada sebelah proksimal dan lebih buruk di tungkai daripada di lengan.
2. Pasien sering mengeluh kesulitan bergerak, bangun dari kursi atau naik tangga.
3. Paralisis asenden mengenai saraf motoric sering daripada sensorik. Sensorik hilang
(terutama kedudukan dan sesuai sensasi getar) bervariasi tetapi biasanya ringan.
4. Pada beberapa pasien, gejala awal mencakup otot cranial atau ekstremitas atas
(misalnya kesemutan di tangan).
5. Secara umum kelemahan mencapai maksimum dalam 14 hari.
Penyakit ini mengakibatkan kerusakan saraf pusat, saraf motoric, sensorik, dan
otonom yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Kerusakan saraf motoric biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh
dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoric ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai
pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada
50% kasus, biasanya berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernafasan dapat timbul
secara signifikan dan bahkan 20% pasien memerlukan bantuan ventilator dalam
bernafas. Anak-anak biasanya menjadi mudah terangsang dan progersivitas
kelemahan dimulai dari menolak untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan
akhirnya menjadi tetraplegia.
2) Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan
kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar.
Gejala yang dirasakan penderita, biasanya berupa paresthesia dan disestesia pada
ekstremitas distal. Rasa sakit dank ram juga dapat menyertai kelemahan otot yang
terjadi. Terutama pada anak-anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi
awal pada lebih dari 50% anak-anak dapat menyebabkan kesalahan dalam
mendiagnosis.
Pemeriksaa MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-
kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran
cauda equine yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS.
b. Kortikosteroid
c. Imunoglobulin Intravena
Produksi antibody
Demyelinasi primer, sekunder, dan tersier (GBS), merusak myelin, produksi myelin berkurang
Kerusakan
Paralisis saraf Gangguan saraf
saraf kranial
pada area L2-L3 perifer dan
neuromuskular
Disfagia/ kesulitan
Gangguan mengunyah
hantaran sekunder Parastesia, dan kelemahan
impuls pada otot kaki, yang dapat
kandung kemih Tirah baring
berkembang ke ekstremitas
lama
Nafsu makan atas, batang tubuh, dan otot
Tumpukan/ berkurang wajah
tahanan urin Penekanan
pada kulit
Gangguan MK: Gangguan
MK: Retensi pemenuhan mobilitas fisik
urin nutrisi dan cairan Gangguan
vaskularisasi
MK:
Pemenuhan Timbul luka
nutrisi kurang
dari kebutuhan
MK: Resiko
infeksi
3.1 PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Jenis kelamin: karena GBS ini lebih banyak dialami oleh pria, dengan perbandingan
pria dan wanita = 1,5 : 1.
b. Umur/Tanggal lahir: GBS awal menyerang 15-35 tahun, dan penyerangan terparah
di usia 70 tahun ke atas.
c. Suku/Kewarganegaraan: GBS banyak diderita oleh warga negara Amerika Utara,
Eropa dan Australia.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat keluhan utama
Keluhan utama yang paling sering diungkapkan pasien adalah kelemahan
otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokalis seperti melemahnya otot-
otot pernapasan.
b. Riwayat kesehatan terdahulu
Tanyakan pada pasien penyakit yang pernah dialami pasien yang
memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang
meliputi pernahkah pasien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan
bedah saraf. Tanyakan pada pasien obat-obat yang sering digunakan seperti obat
kortikosteroid, pemakaian obat antibiotik dan reaksinya.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Pada pengkajian pasien GBS biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan proses demielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya gejala-
gejala neurologis diawali dengan parastesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot
kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah.
Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien GBS dan merupakan
komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot
pernapasan membuat pasien dengan gangguan ini beresiko lebih tinggi terhadap
3. POLA ELIMINASI
Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya dimulai dari
ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang cepat kerah atas, Kelemahan
otot, paralisis flaksid (simetris). Cara berjalan tidak mantap.
Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya
terus naik (distribusi stoking atau sarung tangan). Perubahan rasa terhadap posisi
tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi tubuh. Perubahan dalam ketajaman
penglihatan. Hilangnya atau menurunnya refleks tendon dalam. Hilangnya tonus
otot, adanya masalah dengan keseimbangan. Adanya kelemahan pada otot-otot
wajah, terjadi ptosis kelopak mata (keterlibatan saraf karnial). Kehilangan
kemampuan untuk berbicara.
7. POLA PERSEPSI DAN KONSEP DIRI
Kecemasan, ketakutan dan penilaian terhadap diri akibat dari paralisis yang
terjadi dan berkembang dengan cepat, lihat ekspresi dari wajah dan mata pasien.
Perubahan peran pasien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari- harinya. Kaji apakah ada dampak yang
timbul pada pasien yaitu seperti ketakutan akan kecacatan, cemas, ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah.
4. Pemeriksaan penunjang
a) Fungsi lumbal berurutan: memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal dan
jumlah sel darah putih yang normal, dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6
minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari
pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu diulang untuk
beberapa kali).
b) Elektromiografi: hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan sindrom yang
timbul. Kecepatan konduksi syaraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang
berulang dari unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
c) Darah lengkap: terlihat adanya leukositosis pada fase awal
d) Foto ronkgen: dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan
pernafasan, seperti atelektasis dan pnemonia.
e) Pemeriksaan fungsi paru: dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital,
volume tidal, dan kemampuan inspirasi.
Pemeriksaan saraf kranial
1. Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
2. Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS
tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara umum
sehingga menggaganggu moblitas fisik .
Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, periosteum
derajat reflexs dalam respons normal.
Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.
System sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang
ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan
kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.
Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan hambatan upaya nafas
(mis. Nyeri saat bernafas, kelemahan otot pernapasan).
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali
efektif.
Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-),RR 16-20x/menit. Tidak
menggunakan otot bantu pernapasan, gerakan dada normal
Intervensi Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas
tambahan, perubahan irama dan Menjadi parameter monitoring serangan
kedalaman, penggunaan otot bantu
gagal napas dan menjadi data dasar
pernapasan
intervensi selanjutnya
Evaluasi keluhan sesak napas bak
Tanda dan gejala meliputi adanya
secara verbal maupun nonverbal
kesukaran bernapas saat bicara,
pernapasan dangkal dan
ireguler,takikardia dan perubahan pola
Subtopik : Pengertian penyakit, tanda dan gejala, penyebab terjadinya penyakit, cara
pemulihan, cara pengobatan, dan komplikasi jangka panjang dari GBS
Sasaran : Masyarakat
Waktu : 60 Menit
Penyuluh : Chintya Nada Nurvita, Citra Maulidya Wahyu Imani, Arsinela Virsa
Ramadhanti
B. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan, kami mengharapkan masyarakat mampu:
1. Mengetahui pengertian tentang GBS
2. Mengetahui tanda dan gejala penyakit GBS
3. Mengetahui penyebab dari GBS
4. Mengetahui cara pemulihan dari GBS
5. Mengetahui cara pengobatan GBS
6. Mengetahui komplikasi jangka panjang dari penyakit GBS
C. Materi Penyuluhan
1. Pengertian tentang GBS
2. Tanda dan gejala GBS
3. Penyebab GBS
4. Cara pemulihan dari penyakit GBS
5. Cara pengobatan
6. Komplikasi jangka panjang dari GBS
D. Metode Penyuluhan
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
3. Dokumentasi
E. Media Penyuluhan
1. Materi Satuan Acara Penyuluhan (SAP)
2. Leaflet
F. Kegiatan Penyuluhan
G. Evaluasi
1. Evaluasi Persiapan :
a. Materi dan SAP sudah siap
b. Media yang digunakan sudah siap
2. Evaluasi Proses :
a. Peserta kooperatif serta aktif bertanya
b. Macam-macam Pertanyaan :
a) Apa pengertian dari GBS ?
1. Pengertian
Guillaine Barré Syndrome adalah penyakit autoimun yang merupakan gangguan
inflamasi saraf perifer dan kranial yang menyebabkan kelemahan yang berawal dari
ekstremitas yang menyebabkan kelemahan dan mati rasa yang dengan cepat menyebar yang
akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh (Inawati, 2010)
2. Gejala
Ditandai dengan serangan mati rasa, kelemahan, dan sering merasakan lumpuh pada kaki,
lengan, otot pernapasan, dan bagian wajah. Ini juga mempengaruhi kedua sisi tubuh
3. Penyebab
Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi sekitar 50% kasus terjadi karena
terkena infeksi mikroba (virus atau bakteri), beberapa di antaranya melalui flu atau keracunan
makanan
4. Pemulihan
Pemulihan dapat terjadi lebih dari 6 bulan hingga 2 tahun bahkan bisa lebih dan dapat
menyebabkan kekambuhan jangka panjang atau merasakan kelelahan abnormal yang
menyebabkan rasa sakit dan nyeri otot.
5. Pengobatan
Sebagian besar pasien yang baru di diagnosis dirawat di ruangan ICU untuk memantau
pernapasan dan fungsi tubuh lainnya. Pertukaran plasma darah ke dalam peredaran darah dan
pemberian immune globulin secara intravena (melalui infus) yang terbuat dari plasma darah
yang berisi antibody untuk membantu melindungi tubuh terhadap infeksi dari berbagai macam
penyakit
6. Komplikasi
Kegagalan dalam bernafas, kegagalan fungsi jantung, hipertensi, masalah psikiatrik
(depresi dan ansietas)
Theresia1
1
Clinical Educator Faculty of Nursing Universitas Pelita Harapan
Jl. Jend. Sudirman No. 15 Lippo Karawaci,
Tangerang 15811, Indonesia
Email: theresia.fon@uph.edu
ABSTRAK
Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan sekumpulan sindrom yang termanifestasikan sebagai
inflamasi akut poliradikuloneuropati sebagai hasil dari kelemahan dan penurunan refleks
dengan berbagai variasi klinis yang ditemukan. Data epidemiologi untuk kasus SGB sebagai
penyakit gangguan sistem saraf memang menunjukkan angka kejadian yang kurang signifikan
secara global maupun nasional. Infeksi sebagai faktor pemicu SGB masih tinggi terjadi di negara
tropik seperti Indonesia. Di Indonesia sendiri data SGB pada penelitian Deskripsi Luaran Pasien
SGB dengan metode Erasmus GBS Outcome Score (EGOS) di RSUPN Cipto Mangun Kusumo
sejak tahun 2010 hingga tahun 2014 didapat jumlah kasus baru SGB pertahun di RSUPNCM
yaitu 7,6 kasus dan terjadi sepanjang tahun dan tidak mengenal musim. Data jumlah kasus baru
yang terjadi memang tergolong rendah namun faktor pemicu infeksi seperti Mycoplasma
pneumonia cukup tinggi. Hal tersebut dapat menjadi perhatian para tenaga kesehatan termasuk
perawat untuk dapat memahami kasus SGB dan penanganannya. Tujuan penulisan ini
memberikan informasi bagi rekan perawat (lahan praktik, pendidikan, maupun penelitian),
pasien dan keluarga serta orang awam yang tertarik dengan kasus ini untuk lebih memahami
kasus Sindrom Guillain Barre dan penanganan Plasmaferesis. Metode yang digunakan adalah
pemaparan secara naratif catatan keperawatan pada 1 orang pasien yang terdiagnosa SGB
ABSTRACT
Guillain-Barré syndrome (GBS) is a serial of syndromes manifested as an acute inflammation of
poliradiculoneuropathy as a result of weakness and decreased reflexes with various clinical
variations found. Epidemiological data for the SGB case as a disease of the nervous system
disorder did show the number of events that are less significant globally and nationally.
Infection as a trigger factor for GBS is still high in tropical countries such as Indonesia. In
Indonesia, GBS data on research Description of GBS Patients with Erasmus GBS Outcome
Score (EGOS) method at RSUPN Cipto Mangun Kusumo since 2010 until 2014 got the number
of new cases of SGB per year in RSUPNCM that is 7.6 cases and occurred throughout the year.
New cases that occur are quite low but the trigger factors such as infection Mycoplasma
pneumonia are high enough. This can be the concern of health workers including nurses to
understand the GBS case and how to handle it. The purpose of this paper provides information
to fellow nurses (practice, education, and research), patients and families and lay peoples that
are interested in the case to better understand the case of Guillain Barre Syndrome and the
treatment of Plasmapheresis. The method used in this article is a narrative of nursing records in
1 patient diagnosed with GBS with plasmapheresis therapy in the inpatient ward at RS X Private
Hospital in South Jakarta. The process of improving the clinical condition corresponds to some
clinical trials that occur in the literature that the condition of respiratory failure does not occur,
extreme muscle paralysis may be reduced, an abillity to swallow is also getting better.
PEMBAHASAN
keseluruhan prosedur untuk melengkapi keperawatan pada pasien dengan kasus SGB
penjelasan dari dokter yang menangani kasus memberikan hasil yang sama seperti yang ada
SGB pasien. Penjelasan yang diberikan dengan pada literatur terkini tentang terapi
pendekatan interpersonal yang baik menjadi plasmaferesis. Pada kasus di atas dapat dilihat
kontribusi yang baik bagi psikologis pasien bahwa penanganan kasus dilakukan dengan
dan keluarga. Hal ini memang wajar cepat mulai dari tindakan diagnostik yang
KESIMPULAN
Dewi, Yunika P. (2015). Laporan Kasus Intensive Care Unit Therapeutic Plasma Exchange
(TPE) pada Guillain Barre Syndrome (GBS). Diakses pada 1 Desember 2017 pada
https://www.researchgate.net/publication/308364629_THERAPEUTIC_PLASMA_E
XCHANGE_TPE_PADA_GUILLAIN-BARRE_SYNDROME_GBS
Evers, Eileen & Hughes, Richard. (1998). The History of Guillain-Barré Syndrome. Diakses pada
1 Desember 2017 pada http://www.GBS-cidp.org/wpcontent/uploads/2014/09/Section-H-
UK-Documents-Combined-Reduced.pdf
Kompas. (2012). Penderita GBS Meningkat di Kalangan Usia Produktif. Diakses pada 1
Desember 2017 pada
http://lifestyle.kompas.com/read/2012/04/14/09265323/penderita.gbs.meningkat.di.k
alangan.usia.produktif
Meena A.K. , Khadilkar S.V. , & Murthy J.M.K. . (2011). Treatment guidelines for
Guillain–Barré Syndrome. Diakses pada
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3152164/
Prasad, HB., Borse, RT., Avate, AN., & Palasdeokar, Neelesh. (2017). Prognostic
Indicators of Response to Plasmapheresis in Patient with Guillain Barre Syndrome.
Diakses pada 1 Desember 2017 pada
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=11&cad=rja
&uact=8&ved=0ahUKEwjg84G6x73XAhXGLo8KHR1_BvA4ChAWCCUwAA&ur
Stavroula, Gerogianni., Maria C, Panagiotou., Eirini I, Grapsa. (2017). The role of nurses in
Therapeutic plasma exchange procedure. Diakses pada 8 Maret 2018 pada https://e-
resources.perpusnas.go.id:2057/docview/1648623461/fulltext/CAAA047A39D74577
PQ/1?accountid=25704
Vikrant, Sanjay., et al. (2017). Safety and efficacy of therapeutic membrane plasmapheresis in
the treatment of Guillain–Barré syndrome: A study from a tertiary care hospital from
India. Diakses pada 8 Maret 2018 pada
http://www.neurologyindia.com/article.asp?issn=0028-
3886;year=2017;volume=65;issue=3;spage=527;epage=531;aulast=Vikrant
Willison,Hugh J., Jacob, Bart C., & Doorn, Pieter A.(2016).Guillain-Barré syndrome.
Diakses pada 1 Desember 2017 pada https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&cad=rja&uact
=8&ved=0ahUKEwjK4OGcnqLXAhUQTI8KHd8OBRkQFghqMAg&url=http%3A
%2F%2Fwww.thelancet.com%2Fpdfs%2Fjournals%2Flancet%2FPIIS0140-
6736(16)00339-1.pdf&usg=AOvVaw0Bv9NRcapaXjlNLrCdX9yp
BAB V
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Guillain- Barre Syndrome diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhir-akhir
ini terungkap bahwa virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang suatu
kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated
process. Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau kejadian akut.
Interval antara penyakit yang mendahului dengan awitan biasanya antara 1-3 minggu, dan
pada beberapa kasus dapat lebih lama. Pada umumnya, sindrom ini didahului oleh penyakit
influenza atau infeksi saluran pernafasan atas atau saluran pencernaan. Penyebab infeksi
pada umumnya adalah kelompok virus dari kelompok herpes (Harsono, 1996).
5.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar KMB vol 3. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta. Salemba Medika.