Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Guillain Barré Syndrome (GBS) atau bisa juga disebut sebagai Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada
susunan saraf yang terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan
saraf tepi, yang didahului oleh suatu infeksi (Bahrudin, 2013). Penyakit ini merupakan
autoimun dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel sarafnya sendiri sehingga
menimbulkan peradangan dan kerusakan pada sel-sel saraf tepi (mielin dan akson) yang
dapat menyebabkan kelumpuhan motorik dan gangguan sensorik (Lanello, 2005;
Inawati, 2010).

GBS termasuk penyakit langka dan jarang terjadi hanya 1 atau 2 kasus per
100.000 populasi di dunia tiap tahunnya dan penyakit ini terjadi sepanjang tahun serta
dapat menyerang hampir semua usia dan genetik (Nyati & Nyati, 2013; Rosen, 2016)
serta insidensi pada tiap negara sangat bervariasi (van den Berg et al., 2014). Insiden
keseluruhan telah diperkirakan berkisar 0,4-2,4 kasus per 100.000 per tahun, dengan
3.500 kasus baru per tahun terjadi di Amerika Serikat (Rosen, 2016). Sementara insiden
terjadinya GBS di Indonesia, pada akhir tahun 2010-2011 tercatat ada 48 kasus GBS
dalam satu tahun dengan berbagai variannya. Dibandingkan tahun sebelumnya memang
terjadi peningkatan sekitar 10% (Pdpersi, 2012; Hakim, 2011). Angka kematian dari
GBS dapat meningkat sebesar 1,3 kali pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Angka morbiditas menunjukkan bahwa sekitar 15-20% dari pasien mengalami
penurunan fungsi neurologis dan sekitar 1-10% mengalami cacat permanen (Andary et
al., 2016).

Penyebab GBS masih belum diketahui pasti, tetapi diperkirakan terjadi akibat
respons autoimun terhadap sel saraf perifer yang dapat dicetuskan oleh infeksi bakteri
atau virus (Nyati & Nyati, 2013). Sebanyak 2/3 dari pasien GBS dilaporkan mengalami
saluran infeksi pernafasan atas atau saluran cerna yang selanjutnya dapat berkembang
menjadi GBS. Sebanyak 30% pasien mengalami 2 GBS yang didahului oleh infeksi
Compylobacter jejuni dan sebanyak 10% terinfeksi Cylomegalovirus (Yuki & Hartung,
2012).

Guillain Barré Syndrome 1


Mekanisme terjadinya GBS sebenarnya masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma
ini adalah melalui mekanisme imunologi (Yuki & Hartung, 2012). Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell
mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi, adanya autoantibodi
terhadap sistem saraf tepi, dan didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi
dari peredaran pembuluh darah saraf tepi inilah yang menimbulkan proses demielinisasi
saraf tepi (Walling & Dickson, 2013; Tandel et al., 2016; Andary et al., 2016).

Mekanisme GBS juga diyakini merupakan suatu neuropati inflamasi yang


diduga disebabkan oleh reaktivitas silang antara antigen dan antibodi saraf yang
disebabkan oleh infeksi tertentu, seperti Campylobacter jejuni, yang memiliki struktur
dinding bakteri yang mirip dengan gangliosida. Molekular mimikri ini akan
menciptakan antibodi antigangliosida yang akan menyerang saraf. Antibodi spesifik
yang dirangsang dan area targetnya dalam saraf dapat menjelaskan subtipe yang
berbeda dari GBS. Kurang dari satu per 1.000 pasien dengan infeksi Campylobacter
jejuni menyebabkan GBS, dimana faktor host juga memainkan peran penting dalam
proses patologis, namun penelitian belum mengidentifikasi faktor yang meningkatkan
suatu risiko individu terkena GBS. (Walling & Dickson, 2013; Nyati & Nyati, 2013).

GBS pada umumnya mudah diidentifikasi dengan manifestasi klinis yang


spesifik dan kelemahan progresif dalam beberapa hari. Manifestasi klinis dari GBS
yang terpenting adalah adanya kelemahan motoris yang progresif yang mengenai lebih
dari satu anggota gerak dan adanya reflek yang menurun atau menghilang (hypo- atau
areflexia) (Muid, 2005; Yuki & Hartung, 2012; Fokke et al., 2014). Selain itu
kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron (LMN) dari otot-otot ekstremitas,
badan dan terkadang juga muka. Kelumpuhan dimulai pada bagian distal ekstremitas
bawah dan naik ke arah kranial (ascending paralysis) dengan karakteristik adanya
kelemahan yang bersifat progresif dan 3 perubahan sensorik. Gejala sensorik ini muncul
setelah adanya kelemahan motorik (Israr et al., 2009; Bahrudin, 2013).

Penyakit GBS yang bersifat akut dengan progresivitas yang cepat membutuhkan
terapi yang tepat dan segera untuk mencegah kondisi pasien semakin memburuk (Yuki
& Hartzung, 2012; Willison et.al, 2016). Terapi yang dibutuhkan berupa terapi spesifik/

Guillain Barré Syndrome 2


kausatif berupa imunoterapi intravena imunoglobulin (IVIG) atau plasma exchange
(PE) digunakan untuk mengatasi penyebab autoimun yang terjadi pada pasien GBS.
Imunoterapi diberikan dengan tujuan mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
kesembuhan yang ditunjukkan melalui sistem imunitas (Inayah, 2014). Selain IVIG dan
PE, imunoterapi yang dapat digunakan adalah kortikosteroid. Kortikosteroid dapat
diberikan pada pasien GBS sebagai imunosupresan dan untuk mengurangi inflamasi
yang terjadi, namun banyak studi yang menyatakan bahwa obat ini masih kurang efektif
(Saderholm, 2010; Yuki & Hartzung, 2012; van Doorn, 2013). Terapi GBS lain yang
dapat diberikan pada pasien GBS berupa terapi suportif yang bersifat simptomatis
digunakan untuk mengatasi manifestasi klinik dari GBS seperti kelemahan otot sampai
dengan kelumpuhan motorik, gangguan saraf otonom, gangguan otot pernafasan, dan
nyeri serta bersifat komplikatif yang digunakan untuk mengatasi komplikasi yang
terjadi, diantaranya analgesik, neuroprotektan dan antibiotik. Analgesik diberikan untuk
mengatasi rasa nyeri neuropati pada pasien GBS (Sebastian, 2012). Neuroprotektan
(neurotropik) yang digunakan pada pasien GBS merupakan vitamin B dengan variannya
dengan tujuan memberikan energi pada jaringan saraf dan membantu memeperbaiki
saraf yang mengalami kerusakan (Sweetman, 2009; Hartiningtyas, 2014). Antibiotik
dapat diberikan pada pasien karena kebanyakan pasien GBS mengalami infeksi terlebih
dahulu dan ataupun sangat kemungkinan untuk terjadi infeksi nosokomial akibat
penggunaan alat-alat kesehatan (Nyati & Nyati, 2013).

Berdasarkan uraian diatas, maka diperlukan penelitian lebih dalam tentang profil
penggunaan obat pada penyakit GBS, sehingga nantinya akan di dapat outcome terapi
yang aman, efektif, dan sesuai dengan kebutuhan pasien.

1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk mengetahui Etiologi Guillain Barré Syndrome?
1.2.2 Untuk mengetahui Patofisiologi Guillain Barré Syndrome?
1.2.3 Untuk mengetahui Manifestasi klinis Guillain Barré Syndrome?
1.2.4 Untuk mengetahui Pemeriksaan diagnostic Guillain Barré Syndrome?
1.2.5 Untuk mengetahui Penatalaksanaan Guillain Barré Syndrome?
1.2.6 Untuk mengetahui Prognosis Guillain Barré Syndrome?
1.2.7 Untuk mengetahui Asuhan keperawatan Guillain Barré Syndrome?

Guillain Barré Syndrome 3


1.3 Manfaat
1.3.1 Bagi Masyarakat Umum

Masyarakat dapat menambah pengetahuan tentang penyakit Guillain


Barré Syndrome, yang pada kejadian tertentu dapat pula menyebabkan
kematian

1.3.2 Bagi Mahasiswa

Mahasiswa khususnya terangkul dalam dunia keperawatan dapat


menggunakan asuhan keperawtan yang tepat pada pasien Guillain Barré
Syndrome dengan landasan teori yang memadai

Guillain Barré Syndrome 4


BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 DEFINISI GUILLAIN- BARRE SYNDROME (GBS)

Guillain Barré Syndrome adalah penyakit autoimun yang merupakan gangguan


inflamasi saraf perifer dan kranial yang menyebabkan kelemahan yang berawal dari
ektremitas yang menyebabkan kelemahan dan mati rasa yang dengan cepat menyebar
yang akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh (Inawati, 2010).

2.2 ETIOLOGI GUILLAIN- BARRE SYNDROME (GBS)

Dahulu, Guillain- Barre Syndrome diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi
akhir-akhir ini terungkap bahwa virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut
sekarang suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun
immune mediated process. Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi
atau kejadian akut. Interval antara penyakit yang mendahului dengan awitan biasanya
antara 1-3 minggu, dan pada beberapa kasus dapat lebih lama. Pada umumnya, sindrom
ini didahului oleh penyakit influenza atau infeksi saluran pernafasan atas atau saluran
pencernaan. Penyebab infeksi pada umumnya adalah kelompok virus dari kelompok
herpes (Harsono, 1996).

Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada Guillain- Barre Syndrome


sampai saat ini belum diketahui dan masih dalam perdebatan. Ada yang menyebutkan
kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun. Pada sebagian besar kasus,
GBS didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus,
Coxsackievirus, Influenzavirus, Echovirus, Cytomegalovirus, Hepatitisvirus, dan HIV.
Selain virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri
seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma Pneumoniae, Spirochaeta,
Salmonella, Legionella dan Mycobacterium Tuberculosa,; vaksinasi seperti BCG,
tetanus, varicella, dan hepatitis B : penyakit sistemik seperti kanker, lymphoma,
penyakit kolagen dan sarcoidosis; kehamilan terutama pada trisemester ketiga;
pembedahan dan anastesi epidural. Infeksi virus ini biasanya terjadi 2-4 minggu
sebelum timbul Guillain- Barre Syndrome.

Guillain Barré Syndrome 5


Guillain- Barre Syndrome ditengarai dapat timbul karena mekanisme paparan
penyakit terdahulu, beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada
hubungannya dengan terjadinya Guillain- Barre Syndrome, antara lain:

1. Infeksi.
2. Penyakit sistematik:
3. Keganasan.
4. Systemic lupus erythematosus.
5. Tiroiditis.
6. Penyakit Addison.
7. Kehamilan atau dalam masa nifas.

Guillain- Barre Syndrome sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non
spesifik. Insidensi kasus Guillain- Barre Syndrome yang berkaitan dengan infeksi ini
sekitar antara 56%-80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul
seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
Infeksi akut yang berhubungan dengan GBS

Infeksi Definite (pasti/ tertentu) Probable (mungkin) Possible


Virus CMV HIV Influenza
(Cytomegalovirus) Varicella-zoster Measles
EBV (Epstein-Barr Vaccinia/smallpox Mumps
virus) Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Campylobacter Thypoid Borrelia B
Jejeni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
Pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria

Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya
myelin, material yang membungkus saraf, hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi.
Demyelinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat

Guillain Barré Syndrome 6


atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan dekstruksi dari myelin dan
menyerang beberapa saraf. Oleh karena itu, GBS disebut juga Acute Inflammatory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP).
2.3 PATOFISIOLOGI GUILLAIN- BARRE SYNDROME (GBS)

Guillain- Barre Syndrome berhubungan dengan respon system imun terhadap


benda asing (seperti agen infeksius atau vaksin) tetapi targetnya yaitu pada jaringan
syaraf inang. Target yang diserang system imun menjadi gangliosida, yaitu komplek
glikosfingolipid yang ada dalam jumlah yang banyak pada jaringan saraf manusia,
terutama nodus ranvier. Misalnya, gangliiosida GMI, yang mempengaruhi sebanyak 20-
50% kasus, khususnya pada orang yang didahului infeksi campylobacter jejumi. Contoh
yang lain adalah gangloiosida GQ1b, yang merupakan target varian sindrom miller
fisher (Goldman, 2007).

Perjalanan penyakit ini terdiri dari 3 fase, fase progresif dimulai dari onset
penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai
maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8
minggu. Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan
telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling
sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu. Fase rekonvalesen
ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama
beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit GBS ini berlangsung dalam waktu yang
kurang dari 6 bulan.

1. Fase-fase GBS
Fase-fase Guillain- Barre Syndrome terdiri dari:
a. Fase progresif
Pada fase ini terjadi perkembangan kelemahan dan paralisis otot terjadi secara
cepat. Pada umumnya, fase progresif berlangsung selama dua sampai tiga
minggu sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap yang dikenal
sebagai “titik nadir”. Pada fase ini timbul nyeri, kelemahan bersifat progresif
dan gangguan sensorik. Derajat keparahan gejala bervariasi dan tergantung
seberapa berat serangan yang muncul pada penderita. Penatalaksanaan
secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan
mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.

Guillain Barré Syndrome 7


b. Fase plateu
Fase progresif akan diikuti oleh fase plateau yang stabil dimana tidak didapati
baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti namun
derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase berikutnya, yaitu fase
penyembuhan. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat peradangan
saraf serta kekakuan otot dan sendi. Keadaan umum penderita sangat lemah dan
membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Terapi ditujukan
terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi
yang masih ada. Pengawasan terhadap tekanan darah, irama jantung, pernafasan,
nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis perlu dilakukan dengan rutin.
Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan;
beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,
sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan,
sebelum dimulainya fase penyembuhan.
c. Fase penyembuhan
Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan dimana terjadi perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang
menghancurkan mielin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan
saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik,
untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot
yang normal dan optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel
saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps.
Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien
lainnya tetap menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah
penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf
yang terjadi pada fase infeksi.

GBS paling banyak terjadi pada pasien yang sebelumnya mengalami


infeksi (pernafasan atau gastrointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi
serangan penurunan neurologic. Pada beberapa dapat terjadi seteleh vaksinasi
atau pembedahan. Juga dapat pula disebabkan oleh infeksi virus primer, reaksi
imun, dan beberapa proses lain, atau sebuah kombinasi proses. Salah satu
hipotesis mengatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang
menyerang myelin syaraf perifer. Bagian proksimal syaraf cenderung paling

Guillain Barré Syndrome 8


sering terserang dan akar dalam ruang subarachnoid biasanya terpengaruh.
Autopsy yang didapat memperlihatkan beberapa infiltrasi limfositik yang secara
khusus menetap di dalam akar saraf spinal.

Infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain
memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen
tersebut mengaktivasi sel limfosit T. sel limfosit T ini mengaktivasi proses
pematangan limfosit B dan memproduksi auto antibody spesifik. Ada beberapa
teori mengenai pembentukan auto antibody, yang pertama adalah virus dan
bakteri mengubah susunan sel saraf sehingga system imun tubuh mengenalinya
sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut
menyebabkan kemampuan system imun untuk mengenali dirinya sendiri
berkurang. Auto antibody ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin.
Bahkan kadang- kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.

Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin


disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan
myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di
invasi oleh antigen tersebut. Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel-
sel saraf tidak dapat mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan
kemampuannya untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih
sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh.

2.3 KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS GUILLAIN- BARRE SYNDROME (GBS)

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal nafas, asirasi makanan atau cairan
ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, thrombosis vena
dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi
(Harsono, 1996).

95 % pasien dengan GBS dapat bertahan hidup dengan 75% diantaranya sembuh
total. Kelemahan ringan atau gejala sisa seperti dropfoot dan postural tremor masih
mungkin terjadi pada sebagian pasien. Kelainan ini juga dapat menyebabkan kematian.
Dahulu sebelum adanya ventilasi buatan lebih kurang 20% penderita meninggal oleh
karena kegagalan pernafasan. Sekarang ini kematian berkisar antara 2-10% dengan
penyebab kematian oleh karena kegagalan pernafasan, gangguan fungsi otonom, infeksi
paru dan emboli paru. Sebagian penderita (60-80%) sembuh secara sempurna dalam

Guillain Barré Syndrome 9


waktu 12 bulan dengan kelainan motoric ringan dan atrofi otot-otot kecil di tangan dan
kaki.

Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama kali
timbul. 3% pasien dengan GBS dapat mengalami relaps yang lebih ringan beberapa
tahun setelah onset pertama. PE dapat mengurangi kemungkinan terjadinya elapsing
inflammatory polyneuropathy.

2.5 MANIFESTASI KLINIS GUILLAIN- BARRE SYNDROME (GBS)

Guillain Barré Syndrome merupakan penyebab paralisa akut yang dimulai


dengan rasa baal, paresthesia atau kebas pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh
paralisa ke empat ekstremitas (jari kaki dan tangan) yang bersifat asendens, serta
kelemahan yang progresif pada lengan dan kaki selama beberapa hari selanjutnya.
Parestesia ini biasanya bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian
menghilang sama sekali.pada beberapa pasien, parastesi (tidak terasa) hanya pada jari
kaki dan tangan, yang lainnya hanya mengalami gejala pada satu bagian tubuh. Gejala
menetap pada fase ini menyebabkan kesulitan dalm berjalan, memerlukan crutches atau
tongkat jalan, tetapi kadang-kadang berkembang menuju paralisis yang komplit pada
lengan dan kaki, paralisis menuju dada dan melumpuhkan otot pernafasan sehingga
membuat pasien harus tergantung pada ventilator. Jika otot menelan juga terkena,
diperlukan pula selang makan. Selain itu, saraf cranial juga seringkali terkena,
menyebabkan paralisis ocular, fasial, dan otot-otot faringeal, menyebabkan kesulitan
dalam berbicara, mengunyah, dan menelan. Disfungsi autonomic seringkali terjadi
dalam bentuk aktivitas berlebihan atau dalam aktifitas system saraf simpatis atau
parasimpatis. Kondisi ini ditunjukkan oleh gangguan irama frekuensi jantung,
perubahan tekanan darah, dan gangguan vasomotor. Seringkali terjadi kehilangan indera
posisi dan hilang atau tidak ada refleks tendon dan perubahan sensori ditunjukkan oleh
paresthesia.

Guillain Barré Syndrome dapat mewujudkan gambaran klinis yang sangat


bervariasi, setidaknya ada empat gambaran yakni:

1. Dengan tanda kelumpuhan yang mencolok, disertai adanya gangguan rasa (Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneutopathu: AIDP).
2. Tanda kelumpuhan mencolok, tidak terlalu disertai gangguan rasa (Acute Motor
Axonal Neuropathy: AMAN).

Guillain Barré Syndrome 10


3. Kelumpuhan berat, disertai gangguan rasa yang cukup berat (Acute Motor Sensory
Axonal Neuropathy: AMAN).
4. Kelumpuhan jarang timbul, beberapa kasus disertai gangguan rasa, didapatkan
kelumpuhan otot-otot bola mata dan gerak abnormal yang disebut ataksia (Sindrom
Fisher).

Tanda dan gejala secara umum adalah:

1. Terdapat kelemahan progresif simetris akut, biasanya lebih berat disebelah distal
daripada sebelah proksimal dan lebih buruk di tungkai daripada di lengan.
2. Pasien sering mengeluh kesulitan bergerak, bangun dari kursi atau naik tangga.
3. Paralisis asenden mengenai saraf motoric sering daripada sensorik. Sensorik hilang
(terutama kedudukan dan sesuai sensasi getar) bervariasi tetapi biasanya ringan.
4. Pada beberapa pasien, gejala awal mencakup otot cranial atau ekstremitas atas
(misalnya kesemutan di tangan).
5. Secara umum kelemahan mencapai maksimum dalam 14 hari.

Penyakit ini mengakibatkan kerusakan saraf pusat, saraf motoric, sensorik, dan
otonom yang dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Kerusakan saraf motoric biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan menyebar
secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas atas, tubuh
dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoric ini bervariasi mulai dari kelemahan sampai
pada yang menimbulkan quadriplegia flacid. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada
50% kasus, biasanya berupa facial diplegia. Kelemahan otot pernafasan dapat timbul
secara signifikan dan bahkan 20% pasien memerlukan bantuan ventilator dalam
bernafas. Anak-anak biasanya menjadi mudah terangsang dan progersivitas
kelemahan dimulai dari menolak untuk berjalan, tidak mampu untuk berjalan, dan
akhirnya menjadi tetraplegia.
2) Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan dibandingkan dengan
kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar.
Gejala yang dirasakan penderita, biasanya berupa paresthesia dan disestesia pada
ekstremitas distal. Rasa sakit dank ram juga dapat menyertai kelemahan otot yang
terjadi. Terutama pada anak-anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi
awal pada lebih dari 50% anak-anak dapat menyebabkan kesalahan dalam
mendiagnosis.

Guillain Barré Syndrome 11


3) Kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.
Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia bahkan
cardiac arrest, facial flushing, sfingters yang tidak terkontrol, dan kelainan dalam
berkeringat. Hipertensi terjadi pada 10-30% pasien sedangkan aritmia ia terjadi pada
30% dari pasien.
4) Kerusakan pada susunan saraf pusat dapat menimbulkan gejala berupa disfagia,
kesulitan dalam berbicara, dan yang paling sering (50%) adalah bilateral facial palsy,
yaitu kelumpuhan pada otot wajah. Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai
GBS adalah kesulitan untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi,
kesulitan menelan dan bernafas, perasaan tidak dapat menarik nafas dalam, dan
penglihatan kabur (blurred visions).
5) Kebanyakan pasien GBS mengalami penyembuhan sempurna selama beberapa bulan
sampai tahun, sekitar 10% mengalami kecacatan residual.
2.6 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK GUILLAIN- BARRE SYNDROME (GBS)

Pada pemeriksaan cairan cerebrospinal didapatkan adanya kenaikan kadar


protein (1-1,5 g/ dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh guillain, 1961
disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48
jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar protein
biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan pemeriksaan LCS pada
pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari 10/ mm pada kultur LCS tidak
ditemukan adanya virus ataupun bekteri.

Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,


kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan
akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.

Pada pemeriksaan EMG minggu pertama dapat dilihat adanya keterlambatan


atau bahkan blok dalam penghataran impuls, gelombang F yang memajang dan latensi
distal yang memanjang. Bila pemeriksaan dilakukan pada minggu kedua, akan terlihat
adanya penurunan potensial aksi (CMAP) dari beberapa otot, dan menurunnya
kecepatan konduksi saraf motoric.

Pemeriksaa MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-
kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran
cauda equine yang bertambah besar. Hal ini dapat terlihat pada 95% kasus GBS.

Guillain Barré Syndrome 12


Pemeriksaan serum CK biasanya normal atau meningkat sedikit. Biopsy otot tidak
diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya
denervation atrophy.

2.7 PENATALAKSANAAN GUILLAIN- BARRE SYNDROME (GBS)


Farmakoterapi pada klien dengan Guillain Barré Syndrome
a. Penggantian plasma (Plasmaferesis)

Plasmafaresis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral, seperti


autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator inflamasi
nonspesifik lainnya. Plasmafaresis merupakan terapi pertama pada GBS yang
menunjukkan efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang lebih cepat,
minimal penggunaan alat bantu napas, dan lama perawatan yang lebih singkat.
Dalam studi tersebut, plasmafaresis yang diberikan dalam dua minggu pada pasien
GBS menunjukkan penurunan waktu penggunaan ventilator (alat bantu napas).
Terapi ini melibatkan penghilangan plasma dari darah dan menggunakan centrifugal
blood separators untuk menghilangkan kompleks imun dan autoantibody yang
mungkin ada. Plasma kemudian dimasukan kembali ke tubuh pasien dengan larutan
yang berisis 5% albumin untuk mengkompensasi konsentrasi protein yang hilang.
Terapi ini dilakukan dengan menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14
hari. Dikatakan terapi plasmafaresis ini lebih memberikan manfaat bila dilakukan
pada awal onset gejala (minggu pertama GBS). Keterbatasan plasmaparesis yaitu
akses intravena memerlukan kateter double-lumen besar melalui vena femoral atau
vena subklavia internal. Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain:
pneumothoraks, hipotensi, sepsi, trombositopenia, hipokalsemia, dan anemia.
Selama plasmafaresis penting untuk memonitoring tekanan darah, nadi, dan jumlah
cairan masuk dan keluar. Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring CBC,
elektrolit, PT, APTT, dan INR satu atau dua hari bila ditemukan parameter
koagulasi abnormal.

b. Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan bahwa


preparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai monoterapi. Pemberian
kortikosteroid sebagai monoterapi tidak mempercepat penyembuhan secara
signifikan. Selain itu, pemberian metylprednisolone secara intravena yang

Guillain Barré Syndrome 13


berkombinasi dengan imunoterapi juga tidak memberikan manfaat secara signifikan
dalam waktu jangka panjang. Sebuah studi awal mengemukakan pasien yang
diberikan kortikosteroid oral menunjukkan hasil yang lebih buruk daripada
kelompok kontrol. Selain itu, sebuah studi randomisasi di Inggris dengan 124 pasien
GBS menerima metylprednisone 500 mg setiap hari selama 15 hari dan 118 pasien
mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak didapatkan pernedaan antara kedua
kelompok dalam derajat perbaikan maupun outcome yang lainnya.

c. Imunoglobulin Intravena

Pengobatan dengn immunoglobulin intravena (IVIg) lebih menguntungkan


dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek samping dan komplikasi
yang sifatnya lebih ringan. Penggunaan IVIg dapat memodulasi respon humoral
dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi autoantibody dalam tubuh,
sehingga kerusakan yang dimediasi oleh komplemen dalam diredam. IVIg juga
memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan fagositik oleh makrofag.
Studi awal untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS pertama kali dilakukan oleh
Dutch Guillai-Barre Syndrome Group dua decade silam. Dalam studi ini, mereka
membandingkan efikasi IVIg dan plasmaparesis dalam 147 pasien dan tidak ada
kelompok kontrol. Hasil studi ini menunjukkan bahwa IVIg tidak hanya efektif
dalam GBS tetapi juga jauh lebih efektif dibandingkan plasmafaresis. Pada
penelitian tentang terapi IVIg pada kasus GBS pada anak yang dilakukan oleh
Korinthenberg et al ditemukan bahwa pengobatan dengan IVIg pada kasus GBS
ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi dapat mempercepat
perbaikan klinis penderita. Dosis optimal yang dapat diberikan pada penderita GBS
adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 6 hari. Efek samping yang muncul dalam
penggunaan IVIg dikatakan ringan dan jarang terjadi. Meskipun efek samping
dikatakan ringan dan jarang terjadi, pemberian pertama biasanya dimulai dengan
kecepatan rencah yaitu 25-50 cc/jam selama 30 menit dan ditingkatkan secara
progresif 50 cc/jam setiap 15-20 menit hingga 150200 cc/jam. Efek samping ringan
berupa nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman pada dada, dan nyeri
punggung muncul pada 10% kasus dan mengalami perbaikan dengan penurunan
kecepatan infuse serta dapat dicegah dengan premedikasi berupa acetaminophen,
benadryl dan bila perlu methylprednisone intravena. Reaksi moderate yang jarang
terjadi meliputi meningitis neutropenia, macular hiperemis pada telapak tangan,

Guillain Barré Syndrome 14


telapak kaki, dan badan dengan adanya deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat
dan jarang sekali muncul berupa anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat
sindrom hiperviskositas.

Guillain Barré Syndrome 15


2.8 Web Of Caution GUILLAIN- BARRE SYNDROME (GBS)

Infeksi saluran napas, diare, Virus CMH, HIV, measles,


dan tindakan bedah bakteri campysslobakteri jejenum

Mengganggu kerja system imun

Limfosit T dan Limfosit B

Produksi antibody

Demyelinasi primer, sekunder, dan tersier (GBS), merusak myelin, produksi myelin berkurang

Konduksi saltatori tidak terjadi

Transmisi impuls tidak ada

Sistem Pernafasan Sistem Kardiovaskuler Sistem Persyarafan dan Penginderaan

Gangguan saraf perifer Disfungsi otonomi


dan neuromukular Kerusakan Paralisis pada
neuromuskular ocular wajah dan
Kurang berfungsi otot orofaring, sulit
Paralisis otot napas saraf simpatis berbicara
Inflamasi
dan parasimpatis
serabut myelin
MK: Gangguan
Gagal Penurunan
Menyerang komunikasi
napas Pada jantung:
tingkat servikal kemampuan Merangsang verbal
batuk gangguan ritme
dan frekuensi pengeluaran
Ventilator neurotransmitter
Kekuatan otot Kesulitan
Akumulasi mengunyah
intracosta dan Penurunan
Peningkatan sekret Bradikinin, atau menelan
diafragma curah jantung
berkurang sekret serotonin,
histamin
MK: Resiko
Ekspansi dada MK: Sirkulasi aspirasi
berkurang tidak efektif Merangsang
ketidakefektifan
reseptor nyeri
bersihan jalan
Hipoventilasi napas MK:
Ketidakefektifan MK: Nyeri
perfusi jaringan kronis
MK: MK: Penurunan perifer
ketidakefektifan curah jantung
pola napas

Guillain Barré Syndrome 16


Sistem Perkemihan Sistem Pencernaan Sistem Muskuloskeletal dan integumen

Kerusakan
Paralisis saraf Gangguan saraf
saraf kranial
pada area L2-L3 perifer dan
neuromuskular
Disfagia/ kesulitan
Gangguan mengunyah
hantaran sekunder Parastesia, dan kelemahan
impuls pada otot kaki, yang dapat
kandung kemih Tirah baring
berkembang ke ekstremitas
lama
Nafsu makan atas, batang tubuh, dan otot
Tumpukan/ berkurang wajah
tahanan urin Penekanan
pada kulit
Gangguan MK: Gangguan
MK: Retensi pemenuhan mobilitas fisik
urin nutrisi dan cairan Gangguan
vaskularisasi
MK:
Pemenuhan Timbul luka
nutrisi kurang
dari kebutuhan
MK: Resiko
infeksi

Guillain Barré Syndrome 17


BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN GUILLAIN- BARRE SYNDROME (GBS)

3.1 PENGKAJIAN
1. Identitas
a. Jenis kelamin: karena GBS ini lebih banyak dialami oleh pria, dengan perbandingan
pria dan wanita = 1,5 : 1.
b. Umur/Tanggal lahir: GBS awal menyerang 15-35  tahun, dan penyerangan terparah
di usia 70 tahun ke atas.
c. Suku/Kewarganegaraan: GBS banyak diderita oleh warga negara Amerika Utara,
Eropa dan Australia.
2. Riwayat kesehatan
a. Riwayat keluhan utama
Keluhan utama yang paling sering diungkapkan pasien adalah kelemahan
otot baik kelemahan fisik secara umum maupun lokalis seperti melemahnya otot-
otot pernapasan.
b. Riwayat kesehatan terdahulu
Tanyakan pada pasien penyakit yang pernah dialami pasien yang
memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang
meliputi pernahkah pasien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan
bedah saraf. Tanyakan pada pasien obat-obat yang sering digunakan seperti obat
kortikosteroid, pemakaian obat antibiotik dan reaksinya.
c. Riwayat kesehatan sekarang
Pada pengkajian pasien GBS biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan proses demielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya gejala-
gejala neurologis diawali dengan parastesia (kesemutan kebas) dan kelemahan otot
kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah.
Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya paralisis yang lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada pasien GBS dan merupakan
komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot
pernapasan membuat pasien dengan gangguan ini beresiko lebih tinggi terhadap

Guillain Barré Syndrome 18


hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul mengarah
pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah hampir sama seperti
keluhan pasien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan
dari fungsi kardiovaskular, yang memungkinkan terjadinya gangguan sistem saraf
otonom pada pasien GBS yang dapat mengakibatkan distritmia jantung atau
perubahan drastis yang mengancam kehidupan dalam tanda-tanda vital.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan pada keluarga pasien apakah ada anggota yang pernah mengalami
gangguan kesehatan yang sama dengan pasien, dan tanyakan pula apakah ada
anggota keluarga yang pernah menggalami gangguan ISPA ataupun yang lainnya.
3. PENGKAJIAN POLA FUNGSIONAL KESEHATAN (MENURUT GORDON).
1. POLA PENATALAKSANAAN KESEHATAN/ PERSEPSI SEHAT

Ketidaktahuan pasien tentang informasi dari penyakit Guillain Barré


Syndrome . kurangnya pengetahuan pasien tentang penyebab dan factor- factor
yang mempengaruhi penyakit Guillain Barré Syndrome

2. POLA NUTRISI- METABOLIK

Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam


lambung. Pemenuhan nutris pada pasien GBS menurun karena anoreksia dan
kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan
pemenuhan via oral kurang terpenuhi.

3. POLA ELIMINASI

Adanya perubahan pola eliminasi, Kelemahan pada otot-otot abdomen,


Hilangnya sensasi anal (anus) atau berkemih dan refleks sfingter.

4. POLA ISTIRAHAT DAN TIDUR

Gangguan tidur dialami karena adanya sesak yang terjadi.

Guillain Barré Syndrome 19


5. POLA AKTIVITAS- LATIHAN

Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya dimulai dari
ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang cepat kerah atas, Kelemahan
otot, paralisis flaksid (simetris). Cara berjalan tidak mantap.

6. POLA KOGNITIF-PERSEPTUAL-KEADEKUATAN ALAT SENSORI


a. Tingkat kesadaran

Pada pasien GBS biasanya kesadaran compos mentis (CM). Apabila


pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat
penting untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk monitoring pemberian
asuhan keperawatan.
b. Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan pasien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara pasien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik yang
pada pasien GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran biasanya
status mental pasien mengalami perubahan.

Kebas, kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya
terus naik (distribusi stoking atau sarung tangan). Perubahan rasa terhadap posisi
tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi tubuh. Perubahan dalam ketajaman
penglihatan. Hilangnya atau menurunnya refleks tendon dalam. Hilangnya tonus
otot, adanya masalah dengan keseimbangan. Adanya kelemahan pada otot-otot
wajah, terjadi ptosis kelopak mata (keterlibatan saraf karnial). Kehilangan
kemampuan untuk berbicara.
7. POLA PERSEPSI DAN KONSEP DIRI

Kecemasan, ketakutan dan penilaian terhadap diri akibat dari paralisis yang
terjadi dan berkembang dengan cepat, lihat ekspresi dari wajah dan mata pasien.

8. POLA REPRODUKSI SEKSUAL

Pada pasien pria dapat terjadi gangguan ereksi.

Guillain Barré Syndrome 20


9. POLA HUBUNGAN PERAN

Perubahan peran pasien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari- harinya. Kaji apakah ada dampak yang
timbul pada pasien yaitu seperti ketakutan akan kecacatan, cemas, ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah.

10. POLA MEKANISME KOPING

Pengkajian mekanisme koping yang digunakan pasien juga penting


untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya.

11. POLA TATA NILAI DAN KEPERCAYAAN

Persepsi pasien terhadap agama yang dianut, kepercayaan spiritual, tingkat


beribadah

4. Pemeriksaan penunjang
a) Fungsi lumbal berurutan: memperlihatkan fenomena klasik dari tekanan normal dan
jumlah sel darah putih yang normal, dengan peningkatan protein nyata dalam 4-6
minggu. Biasanya peningkatan protein tersebut tidak akan tampak pada 4-5 hari
pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu diulang untuk
beberapa kali).
b) Elektromiografi: hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan sindrom yang
timbul. Kecepatan konduksi syaraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang
berulang dari unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
c) Darah lengkap: terlihat adanya leukositosis pada fase awal
d) Foto ronkgen: dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan
pernafasan, seperti atelektasis dan pnemonia.
e) Pemeriksaan fungsi paru: dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital,
volume tidal, dan kemampuan inspirasi.
Pemeriksaan saraf kranial
1. Saraf I. Biasanya pada klien GBS tidak ada kelainan dan fungsi penciuman
2. Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.

Guillain Barré Syndrome 21


3. Saraf III, IV, dan VI. Penurunan kemampuan membuka dan menutup kelopak mata,
paralisis ocular.
4. Saraf V. Pada klien GBS didapatkan paralis pada otot wajah sehingga mengganggu proses
mengunyah.
5. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris karena adanya paralisis
unilateral.
6. Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
7. Saraf IX dan X. paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, mengunyah, dan menelan.
Kamampuan menelan kurang baik sehngga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
8. Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleinomastoideus dan trapezius. kemampuan mobliisasi
leher baik.
9. Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecapan normal.

System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien GBS
tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara umum
sehingga menggaganggu moblitas fisik .

Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum, periosteum
derajat reflexs dalam respons normal.

Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.

System sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang
ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien mengalami penurunan
kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan suhu.

Guillain Barré Syndrome 22


3.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN GUILLAIN- BARRE SYNDROME (GBS)
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas (mis. Nyeri saat
bernafas, kelemahan otot pernapasan).
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan nafas.
3. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi jantung.
4. Nyeri kronis berhubungan dengan ketidakseimbangan neurotransmiter.
5. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia,
ketidakmampuan menelan, mengunyah makanan.
6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan gangguan neuromuskular.
7. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan neuromuskuler
8. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan tubuh primer
(kerusakan integritas kulit).
9. Resiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan.
10. Retensi urin berhubungan dengan disfungsi neurologis (mis. Penyakit saraf).
3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN DAN RASIONAL GUILLAIN- BARRE SYNDROME
(GBS)

Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan hambatan upaya nafas
(mis. Nyeri saat bernafas, kelemahan otot pernapasan).
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali
efektif.
Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-),RR 16-20x/menit. Tidak
menggunakan otot bantu pernapasan, gerakan dada normal
Intervensi Rasional
Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas
tambahan, perubahan irama dan Menjadi parameter monitoring serangan
kedalaman, penggunaan otot bantu
gagal napas dan menjadi data dasar
pernapasan  
intervensi selanjutnya
Evaluasi keluhan sesak napas bak
Tanda dan gejala meliputi adanya
secara verbal maupun nonverbal
kesukaran bernapas saat bicara,
pernapasan dangkal dan
ireguler,takikardia dan perubahan pola

Guillain Barré Syndrome 23


napas.
Beri ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik digunakan jika
pengkajian sesuai kapasitas vital, klien
memperlihatkan perkembangan kearah
kemunduran, yang mengndikasikan
kearah memburuknya kekuatan otot
pernapasan
Lakukan pemeriksaan kapasitas vital Penurunan kapasitas vital dhubungkan
pernapasan dengan kelemahan otot-otot pernapasan
saat menelan,sehingga hal ini
menyebabkan kesukaran saat batuk dan
menelan, dan adanya indikasi
memburuknya fungsi pernapasan.
Kolaborasi : Membantu pemenuhan oksigen yang
Pemberian humidifikasi oksigen sangat dperlukan tubuh dengan kondisi
3L/Menit laju metabolism sedang meningkat

Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan frekuensi


jantung.
Tujuan : penurunan curah jantung tidak terjadi
Criteria hasil : stabilitas hemodinamik baik
Intervensi Rasional
Auskultasi TD, bandingkan kedua Hipotensi dapat terjadi sampai dengan
lengan, ukur dalam keadaan berbaring, disfungsi ventrikel, hipertensi juga
duduk, atau berdiri bila memungkinkan fenomena umum karena nyeri cemas
pengeluaran katekolamin.
Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi Penurunan curah jantung
mengakibatkan menurunnya kekuatan
nadi.
Catat murmur
Menunjukkan gangguan aliran darah
dalam jantung, (kelainan katup,
kerusakan septum, atau fibrasi otot

Guillain Barré Syndrome 24


papilar).
Pantau frekuensi jantung dan irama Perubahan frekuensi dan irama
jantung menunjukkan komplikasi
disritma.
Kolaborasi :
Berikan O2 tambahan sesuai indikasi Dapat meningkatkan saturasi oksgean
dalam darah

Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia,


ketidakmampuan menelan, mengunyah makanan.
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Criteria hasil : setelah dirawat tiga hari klien tidak terjadi komplikasi akibat
penurunan asupan nutrisi
Intervensi Rasional
Kaji kemampuan klien dalam Perhatian yang diberikan untuk nutrisi
pemenuhan nutrisi klien oral yang adekuat dan pencegahan
kelemahan otot karena kurang
makanan.
Monitor komplikasi akibat paralisis
akibat insufisisensi aktivitas Ilius paralisis dapat disebabkan oleh
parasimpatis insufisiensi aktivitas parasimpatis.
Dalam kejadian ini, makanan melalui
intravena dipertimbangkan diberikan
oleh dokter dan perawat mementau
bising usus sampai terdengar

Berikan nutrisi via NGT Indikasi jika klien tidak mampu


menelan melalui oral
Berikan nutrisi via oral bila paralis Bila klien dapat menelan, makanan
menelan berkurang melalui oral diberikan perlahan-lahan
dan sangat hati-hati

Guillain Barré Syndrome 25


Gangguan mobilitas fisik yang berhubungan dengan gangguan
neuromuscular.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan mobilitas klien
meningkat atau teradaptasi
Criteria hasil : peningkatan kemampuan dan tidak terjadi thrombosis vena
profunda dan emboli paru merupakan ancaman klien paralisis yang tidak mampu
menggerakkan ekstremitas, dekubitus tidak terjadi
Intervensi Rasional
Kaji tingkat kemampuan klien dalam Merupakan data dasar untuk
melakukan mobilitas fisik melakukan intervensi selanjutnya
Dekatkan alat dan sarana yang
dibutuhkan klien dalam pemenuhan Bila pemulihan mulai untuk
aktivitas sehari-hari dlakukan, klien dapat  hipotensi
ortostatik ( dari disfungsi otonom )
dan kemungkinan membutuhkan meja
tempat tidur untuk menolong mereka
mengambil posisi duduk tegak
Hindari factor-faktor yang
Individu paralisis mempunyai
memungkinkan terjadinya trauma pada
kemungkinan mengalalmi kompresi
saat klien melakukan mobilisasi
neuropati, paling sering saraf ulnar
dan peritoneal
Sokong ekstremitas yang mengalami
Ekstremitas paralisis disokong
paralisis
dengan posisi fungsional dan
memberikan latihan rentang gerak
secara pasif  paling sedikit dua kali
sehari
Monitor komplikasi gangguan mobilitas
fisik Deteksi awal thrombosis vena
profunda dan dekubitus sehingga
dengan penemuan yang cepat
penanganan lebih mudah
dilaksanakan.
Kolaborasi dengan tim fisisoterapis Mencegah deformities kontraktur

Guillain Barré Syndrome 26


dengan menggunakan pengubahan
posisi yang hati-hati dean lathan
rentang gerak

3.4 SATUAN ACARA PENYULUHAN DAN LEAFLET

SATUAN ACARA PENYULUHAN

GUILLAIN BARRE SYNDROME (GBS)

Topik : Guillain Barre Syndrome (GBS)

Subtopik : Pengertian penyakit, tanda dan gejala, penyebab terjadinya penyakit, cara
pemulihan, cara pengobatan, dan komplikasi jangka panjang dari GBS

Sasaran : Masyarakat

Hari, tanggal : Rabu, 2 Oktober 2019

Waktu : 60 Menit

Tempat : Balai Desa

Penyuluh : Chintya Nada Nurvita, Citra Maulidya Wahyu Imani, Arsinela Virsa
Ramadhanti

Guillain Barré Syndrome 27


A. Tujuan Umum
Setelah mengikuti penyuluhan tentang Guillain Barre Syndrome (GBS) selama 30 menit,
warga yang mengikuti penyuluhan dapat memahami tentang GBS serta dapat mengenali
pengertian dari GBS itu sendiri, tanda dan gejala dari GBS, cara pemulihan dari penyakit
GBS, serta pengobatan.

B. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti penyuluhan, kami mengharapkan masyarakat mampu:
1. Mengetahui pengertian tentang GBS
2. Mengetahui tanda dan gejala penyakit GBS
3. Mengetahui penyebab dari GBS
4. Mengetahui cara pemulihan dari GBS
5. Mengetahui cara pengobatan GBS
6. Mengetahui komplikasi jangka panjang dari penyakit GBS

C. Materi Penyuluhan
1. Pengertian tentang GBS
2. Tanda dan gejala GBS
3. Penyebab GBS
4. Cara pemulihan dari penyakit GBS
5. Cara pengobatan
6. Komplikasi jangka panjang dari GBS

D. Metode Penyuluhan
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
3. Dokumentasi

E. Media Penyuluhan
1. Materi Satuan Acara Penyuluhan (SAP)
2. Leaflet

Guillain Barré Syndrome 28


3. Power Point

F. Kegiatan Penyuluhan

No. Tahap Waktu Kegiatan Penyuluhan Sasaran Media


Pengkajian
1 Pembukaan 5 menit 1. Membuka acara 1. Menjawab salam Materi
dengan
dan SAP
mengucapkan
salam dan mendengarkan
perkenalan
perkenalan
pemateri
2. Menyampaikan 2. Mendengarkan
topik dan tujuan
topik dan tujuan
Penyuluhan kepada
sasaran 3. Menyetujui
3. Kontrak waktu
kesepakatan
untuk kesepakatan
penyuluhan dengan pelaksanaan
sasaran
penyuluhan
kesehatan
2 Kegiatan 45 menit 1. Mengkaji ulang 1. Menyampaikan Leaflet
Inti tingkat ulang tentang
pengetahuan apapun yang
sasaran tentang diketahui tentang
materi GBS
2. Menjelaskan 2. Menanyakan hal-
pengertian GBS, hal yang belum
tanda dan gejala diketahui atau
GBS, penyebab dipahami tentang
GBS, cara penyakit GBS
pemulihan
penyakit GBS,
cara pengobatan
GBS, komplikasi

Guillain Barré Syndrome 29


jangka panjang
dari GBS
3. Memberikan
kesempatan pada
sasaran untuk
menanyakan hal
yang belum
dimengerti tentang
materi yang
disampaikan
3 Evaluasi/ 10 menit 1. Memberikan 1. Menjawab Leaflet
Penutup pertanyaan kepada pertanyaan yang
sasaran tentang diajukan oleh
materi yang pemateri
disampaikan oleh 2. Mendegarkan
pemateri dan mencatat
2. Menyimpulkan isi kesimpulan yang
materi yang telah disampaikan
di jelaskan oleh pemateri
3. Menutup acara 3. Menjawab salam
dengan
mengucapkan
salam

G. Evaluasi
1. Evaluasi Persiapan :
a. Materi dan SAP sudah siap
b. Media yang digunakan sudah siap
2. Evaluasi Proses :
a. Peserta kooperatif serta aktif bertanya
b. Macam-macam Pertanyaan :
a) Apa pengertian dari GBS ?

Guillain Barré Syndrome 30


b) Apa tanda dan gejala penyakit GBS ?
c) Apa penyebab dari GBS ?
d) Bagaimana cara pemulihan dari GBS ?
e) Bagaimana pengobatan yang dilakukan pengobatan GBS ?
3. Evaluasi Hasil :
a. Masyarakat mampu memahami pengertian dari GBS
b. Masyarakat mampu memahami tanda dan gejala dari GBS
c. Masyarakat mampu memahami penyebab dari GBS
d. Masyarakat mampu memahami cara pemulihan dari GBS
e. Masyarakat mampu memahami pengobatan dari GBS
f. Masyarakat mampu memahami komplikasi jangka panjang dari GBS

Guillain Barré Syndrome 31


MATERI PENYULUHAN

1. Pengertian
Guillaine Barré Syndrome adalah penyakit autoimun yang merupakan gangguan
inflamasi saraf perifer dan kranial yang menyebabkan kelemahan yang berawal dari
ekstremitas yang menyebabkan kelemahan dan mati rasa yang dengan cepat menyebar yang
akhirnya melumpuhkan seluruh tubuh (Inawati, 2010)

2. Gejala
Ditandai dengan serangan mati rasa, kelemahan, dan sering merasakan lumpuh pada kaki,
lengan, otot pernapasan, dan bagian wajah. Ini juga mempengaruhi kedua sisi tubuh

3. Penyebab
Penyebabnya belum diketahui secara pasti, tetapi sekitar 50% kasus terjadi karena
terkena infeksi mikroba (virus atau bakteri), beberapa di antaranya melalui flu atau keracunan
makanan

4. Pemulihan
Pemulihan dapat terjadi lebih dari 6 bulan hingga 2 tahun bahkan bisa lebih dan dapat
menyebabkan kekambuhan jangka panjang atau merasakan kelelahan abnormal yang
menyebabkan rasa sakit dan nyeri otot.

5. Pengobatan
Sebagian besar pasien yang baru di diagnosis dirawat di ruangan ICU untuk memantau
pernapasan dan fungsi tubuh lainnya. Pertukaran plasma darah ke dalam peredaran darah dan
pemberian immune globulin secara intravena (melalui infus) yang terbuat dari plasma darah
yang berisi antibody untuk membantu melindungi tubuh terhadap infeksi dari berbagai macam
penyakit

6. Komplikasi
Kegagalan dalam bernafas, kegagalan fungsi jantung, hipertensi, masalah psikiatrik
(depresi dan ansietas)

Guillain Barré Syndrome 32


Guillain Barré Syndrome 33
BAB IV
ANALISA ARTIKEL JURNAL

LAPORAN KASUS PENANGANAN SINDROM GUILLAIN-BARRE

DENGAN TERAPI PLASMAFERESIS

Theresia1
1
Clinical Educator Faculty of Nursing Universitas Pelita Harapan
Jl. Jend. Sudirman No. 15 Lippo Karawaci,
Tangerang 15811, Indonesia
Email: theresia.fon@uph.edu

ABSTRAK
Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan sekumpulan sindrom yang termanifestasikan sebagai
inflamasi akut poliradikuloneuropati sebagai hasil dari kelemahan dan penurunan refleks
dengan berbagai variasi klinis yang ditemukan. Data epidemiologi untuk kasus SGB sebagai
penyakit gangguan sistem saraf memang menunjukkan angka kejadian yang kurang signifikan
secara global maupun nasional. Infeksi sebagai faktor pemicu SGB masih tinggi terjadi di negara
tropik seperti Indonesia. Di Indonesia sendiri data SGB pada penelitian Deskripsi Luaran Pasien
SGB dengan metode Erasmus GBS Outcome Score (EGOS) di RSUPN Cipto Mangun Kusumo
sejak tahun 2010 hingga tahun 2014 didapat jumlah kasus baru SGB pertahun di RSUPNCM
yaitu 7,6 kasus dan terjadi sepanjang tahun dan tidak mengenal musim. Data jumlah kasus baru
yang terjadi memang tergolong rendah namun faktor pemicu infeksi seperti Mycoplasma
pneumonia cukup tinggi. Hal tersebut dapat menjadi perhatian para tenaga kesehatan termasuk
perawat untuk dapat memahami kasus SGB dan penanganannya. Tujuan penulisan ini
memberikan informasi bagi rekan perawat (lahan praktik, pendidikan, maupun penelitian),
pasien dan keluarga serta orang awam yang tertarik dengan kasus ini untuk lebih memahami
kasus Sindrom Guillain Barre dan penanganan Plasmaferesis. Metode yang digunakan adalah
pemaparan secara naratif catatan keperawatan pada 1 orang pasien yang terdiagnosa SGB

Guillain Barré Syndrome 34


dengan terapi plasmaferesis di ruang rawat inap di RS Swasta X di Jakarta Selatan. Proses
perbaikan kondisi klinis sesuai dengan beberapa uji klinis yang tedapat di literatur yaitu kondisi
gagal nafas tidak terjadi, paralisis otot ekstrimitas dapat berkurang, kemampuan menelan juga
semakin membaik.

Kata Kunci : Plasmaferesis, Sindrom Guillain-Barré

ABSTRACT
Guillain-Barré syndrome (GBS) is a serial of syndromes manifested as an acute inflammation of
poliradiculoneuropathy as a result of weakness and decreased reflexes with various clinical
variations found. Epidemiological data for the SGB case as a disease of the nervous system
disorder did show the number of events that are less significant globally and nationally.
Infection as a trigger factor for GBS is still high in tropical countries such as Indonesia. In
Indonesia, GBS data on research Description of GBS Patients with Erasmus GBS Outcome
Score (EGOS) method at RSUPN Cipto Mangun Kusumo since 2010 until 2014 got the number
of new cases of SGB per year in RSUPNCM that is 7.6 cases and occurred throughout the year.
New cases that occur are quite low but the trigger factors such as infection Mycoplasma
pneumonia are high enough. This can be the concern of health workers including nurses to
understand the GBS case and how to handle it. The purpose of this paper provides information
to fellow nurses (practice, education, and research), patients and families and lay peoples that
are interested in the case to better understand the case of Guillain Barre Syndrome and the
treatment of Plasmapheresis. The method used in this article is a narrative of nursing records in
1 patient diagnosed with GBS with plasmapheresis therapy in the inpatient ward at RS X Private
Hospital in South Jakarta. The process of improving the clinical condition corresponds to some
clinical trials that occur in the literature that the condition of respiratory failure does not occur,
extreme muscle paralysis may be reduced, an abillity to swallow is also getting better.

Keywords: Plasmaferesis, Guillain-Barré Syndrome

Guillain Barré Syndrome 35


PENDAHULUAN Sekumpulan gejala paralisis tungkai, infeksi
atau demam, dan paralisis otot-otot
Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan
pernapasan dan berakibat asfiksia penurunan
sekumpulan sindrom yang termanifestasikan
sensasi tersebut pun dikenal dengan nama
sebagai inflamasi akut poliradikuloneuropati
Sindrom Guillain-Barré.
sebagai hasil dari kelemahan dan penurunan
refleks dengan berbagai variasi klinis yang
ditemukan (Andary, 2017). SGB merupakan SGB merupakan kondisi akut yang menyerang
onset akut, gangguan sistem saraf perifer sistem saraf perifer. Faktor pemicu SGB
monofasik yang dimediasi oleh imun (Meena, sebagian besar adalah infeksi saluran
Khadilkar, & Murthy, 2011). SGB merupakan pernapasan atas atau infeksi saluran cerna.
poliradikuloneuropati dari sifat autoimun yang Berdasarkan tren epidemiologi SGB di dunia
akut dan sering menjadi parah (Willison, sering didahului atau seiring dengan
Jacobs, & Doorn, 2015). Kasus SGB sering peningkatan kasus infeksi seperti influenza
menjadi kondisi akut yang bahkan dapat (H1N1), hingga yang saat ini masih menjadi
masuk pada kondisi kegawatan. SGB pertama perhatian pada saat peningkatan kasus infeksi
kali ditemukan oleh Guillain dan rekan di arbovirus (Chikungunya dan Zika). Kasus
mana mereka menemukan gejala neuropati SGB berdasarkan hasil studi di Eropa dan
akut, paralisis, dan radikuloneuritis setelah Amerika Utara diperkirakan tingkat
Perang Dunia ke-1 sekitar tahun 1916. Kasus insidensinya 0.8-1.9 kasus per 100.000
yang ditemukan oleh Guillain, Bare, dan penduduk per tahun, pada anak-anak 0.6 kasus
Strohl dalam tulisan tahun 1916 dinyatakan per 100.000 dan pada penduduk usia 80 tahun
bahwa pada kasus dua tentara pada perang atau lebih meningkat hingga 2,7 kasus per
dunia ke-1 di Perancis mengalami 100.000 penduduk (Willison, Jacobs, &
kelumpuhan. Pada kasus dua tentara tersebut Doorn, 2015). Di Indonesia sendiri data SGB
terjadi peningkatan protein dalam cairan pada penelitian Deskripsi Luaran Pasien SGB
serebrospinalnya tanpa disertai peningkatan dengan metode Erasmus GBS Outcome Score
jumlah sel darah putih, padahal kasus infeksi (EGOS) di RSUPN Cipto Mangun Kusumo /
Tuberkulosa dan Sifilis saat itu sedang RSUPN CM sejak tahun 2010 hingga tahun
meningkat. Tahun 1927 disebutkan sebagai 2014 didapat jumlah kasus baru SGB pertahun
Sindrom Guillain-Barre pertama kali dalam di RSUPN CM yaitu 7,6 kasus dan terjadi
presentasi ilmiah (Evers dan Hughes, 1998). sepanjang tahun dan tidak mengenal musim

Guillain Barré Syndrome 36


(Zairinal, 2011). Menurut Ketua Perhimpunan Laporan Kasus Pasien dengan Sindrom
Dokter Spesialis Saraf Indonesia/ PERDOSSI, Guillain Barre
Darman Imran, pada akhir tahun 2010-2011
Kasus SGB yang dirawat oleh penulis (ketika
tercatat 48 kasus SGB dengan berbagai
masih menjadi perawat di salah satu RS
variannya yang dirawat di RSUPNCM Jakarta
Swasta X di Jakarta Selatan) adalah pada tn X
(Kompas.com, 2012). pada tahun 2013 dengan kronologis yang akan
dipaparkan secara naratif. Data didapatkan
dari catatan penulis sehari-hari ketika masih
Data epidemiologi untuk kasus SGB sebagai menjadi perawat pelaksana dan wawancara
penyakit gangguan sistem saraf memang terstruktur dengan kakak dari pasien
menunjukkan angka kejadian yang kurang (merupakan perawat di RS Swasta yang sama
signifikan secara global maupun nasional. Di dengan penulis). Tn X terdiagnosa SGB
sisi lain, faktor pemicu SGB yaitu infeksi yang melalui gejala klinis yang timbul, hasil
masih banyak terjadi di negara tropik seperti Elektromiografi / EMG dan analisa cairan
Indonesia memerlukan perhatian dari tenaga serebrospinal yang menunjukkan tanda pasti
kesehatan terkait penanganan SGB. Selain itu, SGB. Tn X pada awalnya mengalami gejala
SGB yang memerlukan penanganan yang tepat demam (hari ke 0). Tn X memeriksakan diri
dan cepat untuk menghindari kegawatan ke layanan klinik dokter umum diduga
(kegagalan otot pernapasan) dan disabilitas mengalami infeksi Demam Dengue karena
pasca serangan akut. Catatan penulis ketika hasil pemeriksaan darah lengkap ditemukan
merawat satu kasus pasien SGB di sebuah RS trombositopenia. Tn X sempat dirawat selama
Swasta di Jakarta yang terapi penggantian sehari, setelah diperiksa kembali, terjadi
plasma/ plasmaferesis di RSUPN Cipto peningkatan trombosit kemudian beliau
Mangunkusumo pada tahun 2015. Tujuan diijinkan pulang. Pada hari ke-2, demam tidak
penulisan ini memberikan informasi bagi muncul, namun gejala defisit neurologis mulai
rekan perawat (baik itu di lahan praktik, muncul. Gejala defisit neurologis yang muncul
pendidikan, maupun penelitian) untuk lebih adalah kelemahan pada kedua kaki di mana
memahami kasus Sindrom Guillain Barre dan pasien memerlukan bantuan untuk berjalan ke
penanganannya dengan Plasmaferesis. kamar mandi di rumahnya dengan cara
dipapah. Selain itu, Tn X mulai mengalami
perubahan pada suara, mulai sulit menelan,

Guillain Barré Syndrome 37


sering batuk, wajah dilaporkan baal. Pada hari melakukan terapi plasmaferesis ke-1 dan ke-2
tersebut pasien kembali di rawat di RS dan pasien belum terdapat perubahan yang
dirujuk ke spesialis neurologis. Pada hari ke-3 signifikan. Pasien masih memerlukan bed rest
dilakukan CT Scan Brain, dan tidak ditemukan karena kekuatan otot masih belum adekuat,
adanya perdarahan atau iskemik di otak. status respirasi stabil (hanya memerlukan
Diagnosa pada hari tersebut belum dapat nasal kanula), kemampuan menelan masih
ditegakkan, pasien pun disarankan untuk belum adekuat (makan masih melalui selang
menjalani EMG dan kakak pasien langsung nasogastrik). Pada plasmaferesis yang ke-3
merujuk ke RS Swasta X di Jakarta Selatan hingga ke-4 mulai tampak kemajuan pada
dimana dia bekerja. status klinis pasien. Kemajuan tersebut antara
lain: peningkatan kemampuan menelan di
Pada hari ke 3 setelah dirujuk, sore harinya
mana pasien mulai dicoba untuk makan per
tindakan EMG segera dilakukan dan hasilnya
oral dengan diet lunak, status respirasi
positif mengarah ke SGB dan pada malam
semakin membaik dengan mulai stabil tanpa
harinya tindakan Lumbal Pungsi pun segera
bantuan oksigen, kekuatan otot ekstrimitas
dilakukan. Pada saat itu dilakukan
semakin meningkat, namun masih
pemasangan selang nasogastrik dan memantau
memerlukan bantuan fisioterapi. Pada
status pernapasan pasien dimana pasien sudah
plasmaferesis yang ke-5, hal yang paling
mulai mengalami paraplegia. Pada hari ke-4
tampak adalah kemampuan menelan pasien
pasien dianjurkan untuk menjalani terapi
mulai kembali pulih dengan mulai makan per
Plasmaferesis di RSUPN X Jakarta.
oral dengan baik. Selain itu, kekuatan otot
Plasmaferesis baru dilaksanakan pada hari
ekstrimitas semakin membaik di mana pasien
berikutnya. Penulis mulai merawat langsung
mulai berlatih berjalan dengan bantuan
tn X dan menjadi perawat yang mendampingi
walker.
pasien selama menjalani plasmaferesis di
RSUPN X Jakarta.

PEMBAHASAN

Pasien menjalani plasmaferesis sebanyak 5 Patogenesis Sindrom Guillain Barre


kali dengan rentang waktu dua hari sekali.
Faktor resiko SGB antara lain infeksi
Setiap kali proses plasmaferesis memerlukan
albumin 5% sebagai pengganti. Selama

Guillain Barré Syndrome 38


(Campylobacter jejuni, cytomegalovirus/CMV, Diagnosis Sindrom Guillain Barre Diagnosis
Mycoplasma pneumonia, Epstein–Barr virus, SGB diperlukan untuk membedakannya dari
defisit neurologis yang disebabkan karena
Haemophilus influenzae) serta beberapa faktor
penyebab lain seperti stroke, infeksi sistem
lain yang dapat dihubungkan yaitu operasi,
saraf lainnya. SGB memerlukan tindakan
imunisasi, dan proses persalinan (Meena,
diagnosis antara lain:
Khadilkar, & Murthy, 2011). Faktor infeksi C.
jejuni yang dilaporkan paling sering menjadi 1. Manifestasi klinis yang jelas seperti: gejala
pemicu pada kasus SGB di Negara Asia pasti SGB yaitu kelemahan progresif pada
sekitar 25%-50% kaki dan tangan (dimulai dari kaki terlebih
dahulu) dan hilangnya refleks pada pada
(Willison, Jacobs, & Doorn, 2015).
tungkai yang lemah. Gejala tambahan
lainnya: fase progresif yang dimulai dari
Infeksi yang mendahului kasus SGB akan beberapa hari hingga beberapa minggu
menimbulkan reaksi imun yang akan merusak (biasanya 2 minggu), kesimetrisan yang
pada selubung myelin dan berhubungan relatif antara bagian tubuh kiri atau kanan,
dengan kerusakan pada komponen sel kelemahan pada saraf kranial terutama
Schwann dalam polineuropati demielinisasi kelemahan saraf fasialis bilateral, disfungsi
(Willison, Jacobs, & Doorn, 2015). Selain autonomis, dan kadang disertai nyeri
selubung myelin maka pada neuropati akut (Willison, Jacobs, & Doorn, 2015).
aksonal motor maka aksolema atau membran
2. Elektrodiagnosis dengan Elektromiografi
akson tentunya akan menjadi target utama dari
(EMG) dan studi konduksi saraf: kasus
injuri imun ini. Sebagian besar pasien akan
SGB sering memperlihatkan beberapa
mengalami penurunan refleks tendon pada
gejala dan tanda demieliniasi yaitu:
ekstrimitas yang terkena defisit neurologis.
dispersi temporal, perlambatan kecepatan
Tingkat keparahan dan durasi penyakit ini
konduksi yang signifikan. Pada gejala awal
sangat beragam dari mulai kelemahan ringan
SGB akan didapat tanda khas pada kondisi
(di mana pasien dapat pulih secara spontan)
neuropati akibat demielinisasi oleh karena
hingga pasien mengalami kuadriplegia dan
mediasi imun antara lain: blok konduksi,
tergantung pada ventilator tanpa ada gejala
dispersi temporal, dan perlambatan
perbaikan selama beberapa bulan bahkan lebih
lama.

Guillain Barré Syndrome 39


kecepatan konduksi yang tidak berpola infeksi antisenden dan vaksinasi. Inflamasi dan
(Meena, Khadilkar, & Murthy, 2011). demielinisasi dapat terjadi disertai kehilangan
fungsi akson. Remielinisasi dapat terjadi bila
3. Analisa Cairan Serebrospinal dengan ada penghentian reaksi imun.
tindakan Lumbal Pungsi: pada analisa
b. AMAN
cairan serebrospinal pasien dengan kasus
SGB akan didapatkan peningkatan Sebagian pasien biasanya didahului oleh
infeksi Camphylobacter. Biasanya yang
konsentrasi protein. Peningkatan
muncul adalah bentuk neuropati aksonal.
konsentrasi protein terjadi pada 50% kasus
Pasien yang mengalami sebagian besar anak-
SGB pada onset awal serangan dan 90%
anak dan akan mengalami perbaikan dengan
kasus pada saat puncak dari progresif
cepat.
kasus SGB. Nilai protein pada SGB sangat
c. AMSAN
berbeda yaitu 1-10 g/L tanpa disertai
pleositosis (Hauser dan Amato, 2013). Degenerasi pada serat motorik dan
sensorik yang bermielin dengan
demielinisasi dan inflamasi yang menimal.
Manifestasi klinis Sindrom Guillain Barre
Gejala mirip AMAN hanya saja efek pada
SGB sebagai sekumpulan sindrom dengan variasi neuron sensorik. Tipe ini biasanya terjadi
klinis atau subtipe yang paling banyak ditemukan
pada orang dewasa.
yaitu, Akut Inflamasi Demielinisasi
Poliradikuloneuropati (AIDP), Akut Motor Axonal d. SMF
Neuropati
Tipe ini jarang terjadi dan melibatkan
(AMAN), Akut Motor dan Sensori Axonal gejala Ataksia, ketiadaan refleks /
areflexia, kelemahan tungkai, dan
Neuropati (AMSAN), dan Sindrom MillerFisher
(SMF). Menurut KM Mantay, optalmoplegia. Demielinisasi terjadi pada
saraf kranial III atau IV, ganglia spinal,
Armeu E, Parish T (1997) dalam Dewi, Yunika P
dan saraf tepi.
(2015) menyebutkan bahwa gejala yang muncul
untuk setiap subtipe antara lain:
Manajemen terhadap sekumpulan
a. AIDP
manifestasi klinis Sindrom Guillain Barre.
Gangguan yang diakibatkan oleh gangguan
antibodi-autoimun. Biasanya dipicu oleh

Guillain Barré Syndrome 40


Manajemen untuk mengatasi gejala dan aktifitas berlebihan dari saraf simpatis dan
komplikasi dari neuropati yang terjadi antara saraf parasimpatis yang ditekan
lain: aktifitasnya. Selain itu disfungsi otonom
juga dimanifestasikan dengan gangguan
1. Manajemen Kegagalan Respirasi SGB
motilitas gastrointestinal, hiponatremia,
merupakan penyakit neuropati perifer yang
nyeri dan gejala sensori yang juga muncul.
paling sering menimbulkan paralisis
Manajemen pada sekumpulan gejala
respiratori. Manifestasi klinis yang
disfungsi otonom antara lain penggunaan
menjadi prediksi kondisi kegagalan
medikasi untuk mengatasi hipertensi,
respirasi antara lain: takipnea, takikardi,
penerapan hiperoksigenasi pada tindakan
ketidaksimetrisan pergerakan dada,
penghisapan endotrakeal untuk reduksi
abdomen, kapasitas vital paru <20 ml/kg,
pemicu bradikardia atau sistol,
tekanan inspirasi maksimal <30 cmH2O,
pemasangan selang nasogastrik dan
dan tekanan ekspirasi maksimal <40 cm
medikasi dengan eritromisin atau
H2O (Meena, Khadilkar, dan Murthy,
neostigmin.
2011). Faktor lain yang menjadi penyebab
kegagalan respirasi seperti kelemahan 3. Manajemen Imunoterapi Manajemen
wajah, kelemahan bulbar, dan kelemahan imunoterapi untuk mengatasi penyebab
otot leher. Intubasi diperlukan bila pasien terjadinya demielinisasi poliradikulopati
memerlukan bantuan ventilasi mekanik, yaitu terapi penggantian plasma darah atau
bila kegagalan napas terus terjadi maka Plasmaferesis dan pemberian
perlu dipertimbangkan tindakan Imunoglobulin melalui intravena.
trakeostomi. Penggantian plasma dan terapi
2. Manajemen Disfungsi Otonom Disfungsi Plasmaferesis banyak terbukti memberikan
otonom merupakan salah satu penyebab perbaikan pada banyak pasien dengan
kematian pada penderita SGB. Gangguan kasus SGB, namun tetap saja SGB
sistem kardio dan gangguan hemodinamik menimbulkan beberapa kelemahan yang
yang manifestasi klinisnya antara lain: parah dan pemulihan yang tidak sempurna,
hipertensi, postural hipotensi, dan takikardi nyeri dan kelelahan (Willison, Jacobs, &
(Meena, Khadilkar, & Murthy, 2011). Doorn, 2015). Penanganan dengan kedua
Manifestasi klinis tersebut disebabkan oleh teknik imunoterapi secara bersamaan pun

Guillain Barré Syndrome 41


tidak direkomendasikan karena tidak melainkan beberapa kondisi autoimun yang
membawa hasil yang efektif. menimbulkan defisit neurologis lain seperti

4. Manajemen suportif saat rehabilitasi Myasthenia gravis, Systemic lupus


Seperti halnya dengan pasca penyakit Erythematosus dengan autoimun dan
neurologi lainnya maka sisa dari defisit trombositopenia. Meena, Khadilkar, & Murthy
neurologi akibat SGB juga memerlukan (2011) menyatakan dalam uji coba
penanganan rehabilitatif. Fisioterapi perbandingan antara penerapan plasmaferesis
dibutuhkan untuk mengembalikan fungsi dengan terapi suportif saja pada pasien dengan
motorik dari penderita. SGB didapatkan hasil bahwa plasmaferesis
memberikan hasil yang lebih signifikan
perbaikannya pada status klinis pasien antara
Plasmaferesis sebagai salah satu
lain: waktu pemulihan berjalan tanpa bantuan,
Penanganan Sindrom Guillain Barre Terapi
presentasi pasien yang memerlukan alat
penggantian plasma sering disebut juga
bantuan napas, pemulihan kekuatan otot
dengan plasmaferesis. Terapi penggantian
ekstrimitas secara penuh dalam satu tahun.
plasma adalah prosedur dimana makromolekul
Pada kasus SGB ringan, dua sesi plasmaferesis
pada plasma dihilangkan dari plasma dengan
lebih baik daripada tidak dilakukan sama
gaya sentrifugal yang diberikan pada darah
sekali. Pada SGB yang menengah, 4 sesi
sehingga darah akan terpisah menurut berat
plasmaferesis lebih baik dari pada hanya 2
jenisnya (Winters 2012 dalam Dewi 2015).
sesi. Pada SGB yang parah, 6 sesi tidak lebih
Plasmaferesis merujuk pada prosedur
baik dari pada 4 sesi. Penelitian lain oleh
ekstrakorporeal dimana satu atau lebih volume
Prasad, Borse, Avate & Palasdeokar (2017)
plasma yang diambil dari tubuh pasien dan
menyatakan bahwa sesi plasmaferesis yang
digantikan dengan cairan albumin ditambah
dimulai pada onset awal SGB akan
kristaloid atau FFP (Balta, 2009 dalam
memberikan hasil yang lebih baik dimana 4-5
Gerogianni, et al 2015). Metode plasmaferesis
kali sesi plasmaferesis sama-sama memberikan
bertujuan untuk menghilangkan pathogen (zat
kemajuan yang baik.
kimia, kompleks antibodi dan imun kompleks,
Prasad et all (2017) juga mendapatkan dalam
antigen, dan toksin). Prosedur plasmaferesis
penelitian pada 17 pasien yang mengalami
bukan hanya untuk penanganan SGB saja,
kegagalan otot pernapasan sehingga

Guillain Barré Syndrome 42


mendapatkan bantuan ventilasi mekanik “Akses vaskuler yang digunakan untuk
didapati bahwa 4 pasien yang meninggal prosedur plasmaferesis antara lain
karena Ventilator Acquired Pneumonia, dan catheter double-lumen / CDL pada
13 pasien mengalami pemulihan yang baik vena jugularis atau femoralis.
setelah mendapatkan terapi plasmaferesis. Kecepatan aliran darah antara 100-150
ml/menit dan tekanan transmembran
dibawah 100 mmHg. Pada awal
Prosedur Plasmaferesis
prosedur akan diberikan heparin
Prosedur plasmaferesis biasanya dilakukan di dengan dosis 50 U/ kg dan dilanjutkan
unit hematologi atau unit dialisis. Pemisahan dengan dosis bolus 1000 U pada saat 1
komponen darah yang masuk ke dalam mesin jam digunakan. Filtrasi plasma
plasmaferesis terdiri dari dua prinsip dasar dilakukan dengan menyesuaikan
sentrifugasi dan filtrasi darah melewati filter ukuran ketinggian penyaring plasma.
penyaring. Kedua metode tersebut Plasma yang telah tersaring akan
memerlukan akses vaskuler dan juga sistem terkumpul dalam plastik steril.
akses untuk memindahkan darah dari pasien ke Penggantian plasma dilakukan dengan
mesin plasmaferesis dan mengembalikan ke cairan kristaloid dilanjutkan dengan
dalam sirkulasi pasien (Panagiotou et al., 2009 albumin 4% dalam normal saline /
dalam Stavroula et al., 2015). Pemisahan NaCl 0.9%. Pada akhir sesi dilakukan
Protokol plasmaferesis untuk SGB yang sering juga pemberian 2 unit Fresh Frozen
digunakan yaitu North American trial dimana Plasma / FFP. Prosedur plasmaferesis
200-250 ml/kg yang ditukar selama 7-10 hari dimana jumlah plasma untuk satu kali
(Meena, Khadilkar, & Murthy, 2011). prosedur yaitu 40 ml/kg setiap dua hari
sekali. “

Pada penelitian yang dilakukan oleh Vikrant,


Thakur, Sharma, Gupta, Sharma (2017) dalam Peran perawat dalam prosedur
Safety and efficacy of therapeutic membrane plasmaferesis
plasmapheresis in the treatment of Guillain- Peran perawat dalam prosedur plasmaferesis
Barre syndrome : A study from tertiary care antara lain pemberian pelayanan primer,
hospital from India: edukator, peneliti, mentor, dll (Stavroula et al.,

Guillain Barré Syndrome 43


2015). Sebelum prosedur dimulai, perawat mengingat kasus SGB merupakan salah satu
bertanggung jawab dalam mengkonfirmasi kasus yang prevalensi nya sedikit dan
identitas pasien, mengkaji riwayat pasien informasi yang terbatas tentang penyakit ini,
secara utuh, mempersiapkan mesin dan penanganan yang cukup spesifik.
plasmaferesis, cairan untuk pengganti plasma,
set vena puncture dan seluruh peralatan
Implikasi Asuhan Keperawatan dengan
penunjang prosedur. Perawat bertanggung
Kasus SGB
jawab untuk menjelaskan prosedur dengan
jelas, bila pasien tidak memiliki vena sentral Kasus SGB merupakan salah satu penyakit
yang dapat digunakan, maka harus disiapkan 2 yang diakibatkan oleh kompleks imun (dengan
buah vena perifer. Saat mesin berjalan, pencetus infeksi) menyerang sistem saraf
perawat mengobservasi reaksi cepat bila ada motorik yang menyebabkan defisit neurologis.
reaksi alergi dan hemolitik. Selain itu selama Kondisi yang sangat akut dan mematikan
prosedur plasmaferesi berlangsung perawat dapat menjadi gejala awal penyakit. Kasus
juga wajib untuk mengobservasi tandatanda SGB memang secara prevalensi tidak
vital dan jalannya mesin. Setelah prosedur sebanyak kasus neurologis lain seperti halnya
berlangsung perlu juga diperhatikan apakah stroke namun bukan berarti perawat tidak
pasien mengalami perdarahan atau kelelahan / memahami penanganan kasus ini. Asuhan
fatigue. keperawatan untuk pasien dengan kasus SGB
juga sama halnya dengan kasus neurologis
lain. Asuhan keperawatan tersebut antara lain:
Edukasi yang dapat diberikan oleh perawat
asuhan dengan pasien yang menggunakan
selain untuk menyediakan informasi mengenai
bantuan ventilasi mekanik, gangguan pola
prosedur plasmaferesis namun juga untuk
napas, resiko aspirasi, gangguan mobilisasi.
memberikan dukungan psikologis bagi pasien
dan keluarga. Perawat dapat menjelaskan Pengalaman dalam memberikan asuhan

keseluruhan prosedur untuk melengkapi keperawatan pada pasien dengan kasus SGB

penjelasan dari dokter yang menangani kasus memberikan hasil yang sama seperti yang ada

SGB pasien. Penjelasan yang diberikan dengan pada literatur terkini tentang terapi

pendekatan interpersonal yang baik menjadi plasmaferesis. Pada kasus di atas dapat dilihat

kontribusi yang baik bagi psikologis pasien bahwa penanganan kasus dilakukan dengan

dan keluarga. Hal ini memang wajar cepat mulai dari tindakan diagnostik yang

Guillain Barré Syndrome 44


menyimpulkan secara pasti bahwa kasus Sindrom Guillain-Barré (SGB) merupakan
tersebut adalah kasus SGB. Penanganan sekumpulan sindrom yang
plasmaferesis pun dilakukan pada awal onset termanifestasikan sebagai inflamasi akut
penyakit dan dilakukan sebanyak 5 siklus/sesi. poliradikuloneuropati akibat terbentuknya
Proses perbaikan kondisi klinis memang kompleks imun yang menimbulkan
sesuai dengan beberapa uji klinis yang tedapat berbagai defisit neurologis. SGB
di literatur yaitu kondisi gagal nafas tidak memerlukan penanganan yang tepat dan cepat
terjadi, paralisis otot ekstrimitas dapat untuk menghindari kegawatan
berkurang, kemampuan menelan juga semakin (kegagalan otot pernapasan) dan disabilitas
membaik. pasca serangan akut. Plasmaferesis
merupakan salah satu intervensi kolaboratif
yang dapat menjadi pilihan penanganan kasus
Penulis merasakan bagaimana merawat pasien
SGB. Perawat perlu memiliki
dengan kondisi penyakit yang cukup langka
pengetahuan yang adekuat untuk
dan sangat akut dengan resiko kritis yang
memberikan asuhan keperawatan pada
sangat besar . Selain itu penulis pun memiliki
pasien yang menerima plasmaferesis.
kesempatan untuk memperoleh pengetahuan
Perawat memiliki peran yang
terkait penanganan plasmaferesis yang juga
sangat penting dalam prosedur plasmaferesis
masih jarang dilakukan saat itu (tahun 2013).
yaitu pemberian pelayanan primer, edukator,
Plasmaferesis merupakan salah satu intervensi
peneliti.
kolaboratif yang dapat menjadi pilihan
penanganan kasus SGB. Perawat perlu
memiliki pengetahuan yang adekuat untuk
memberikan asuhan keperawatan pada pasien
yang menerima plasmaferesis. Tulisan ini
diharapkan menjadi salah satu sumber
referensi bagi sejawat dalam memahami kasus
SGB dan terapi Plasmaferesis.

KESIMPULAN

Guillain Barré Syndrome 45


REFERENSI

Andary, Michael T. (2017). Guillain-Barre Syndrome. Diakses pada


https://emedicine.medscape.com/article/315632-overview

Dewi, Yunika P. (2015). Laporan Kasus Intensive Care Unit Therapeutic Plasma Exchange
(TPE) pada Guillain Barre Syndrome (GBS). Diakses pada 1 Desember 2017 pada
https://www.researchgate.net/publication/308364629_THERAPEUTIC_PLASMA_E
XCHANGE_TPE_PADA_GUILLAIN-BARRE_SYNDROME_GBS

Evers, Eileen & Hughes, Richard. (1998). The History of Guillain-Barré Syndrome. Diakses pada
1 Desember 2017 pada http://www.GBS-cidp.org/wpcontent/uploads/2014/09/Section-H-
UK-Documents-Combined-Reduced.pdf

Kompas. (2012). Penderita GBS Meningkat di Kalangan Usia Produktif. Diakses pada 1
Desember 2017 pada
http://lifestyle.kompas.com/read/2012/04/14/09265323/penderita.gbs.meningkat.di.k
alangan.usia.produktif

Meena A.K. , Khadilkar S.V. , & Murthy J.M.K. . (2011). Treatment guidelines for
Guillain–Barré Syndrome. Diakses pada
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3152164/

Prasad, HB., Borse, RT., Avate, AN., & Palasdeokar, Neelesh. (2017). Prognostic
Indicators of Response to Plasmapheresis in Patient with Guillain Barre Syndrome.
Diakses pada 1 Desember 2017 pada
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=11&cad=rja
&uact=8&ved=0ahUKEwjg84G6x73XAhXGLo8KHR1_BvA4ChAWCCUwAA&ur

Guillain Barré Syndrome 46


l=http%3A%2F%2Fwww.japi.org%2Fapril_2017%2F05_oa_prognostic_indicators_
of_response_to_plasmapheresis.pdf&usg=AOvVaw3FoYUnwpnRnsTOGwm7n6bx

Stavroula, Gerogianni., Maria C, Panagiotou., Eirini I, Grapsa. (2017). The role of nurses in
Therapeutic plasma exchange procedure. Diakses pada 8 Maret 2018 pada https://e-
resources.perpusnas.go.id:2057/docview/1648623461/fulltext/CAAA047A39D74577
PQ/1?accountid=25704

Vikrant, Sanjay., et al. (2017). Safety and efficacy of therapeutic membrane plasmapheresis in
the treatment of Guillain–Barré syndrome: A study from a tertiary care hospital from
India. Diakses pada 8 Maret 2018 pada
http://www.neurologyindia.com/article.asp?issn=0028-
3886;year=2017;volume=65;issue=3;spage=527;epage=531;aulast=Vikrant

Willison,Hugh J., Jacob, Bart C., & Doorn, Pieter A.(2016).Guillain-Barré syndrome.
Diakses pada 1 Desember 2017 pada https://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&cad=rja&uact
=8&ved=0ahUKEwjK4OGcnqLXAhUQTI8KHd8OBRkQFghqMAg&url=http%3A
%2F%2Fwww.thelancet.com%2Fpdfs%2Fjournals%2Flancet%2FPIIS0140-
6736(16)00339-1.pdf&usg=AOvVaw0Bv9NRcapaXjlNLrCdX9yp

Zairinal, R A. (2011). Gambaran Luaran Pasien Sindroma Guillain-Barré Menggunakan


Erasmus GBS Outcome Score (EGOS) di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto
Mangunkusumo. Diakses pada 1 Desember 2017 pada
http://perpustakaan.fk.ui.ac.id/opac/index.php?p=show_detail&id=19770&keywords

BAB V

PENUTUP

5.1 KESIMPULAN

Guillain Barré Syndrome 47


Guillain Barré Syndrome merupakan sindrom klinik yang tidak diketahui jelas
penyebabnya, yang menyangkut saraf perifer dan cranial (Brunner & Suddarth, 2002).

Guillain- Barre Syndrome diduga disebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhir-akhir
ini terungkap bahwa virus bukan sebagai penyebab. Teori yang dianut sekarang suatu
kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun immune mediated
process. Dua pertiga penderita berhubungan dengan penyakit infeksi atau kejadian akut.
Interval antara penyakit yang mendahului dengan awitan biasanya antara 1-3 minggu, dan
pada beberapa kasus dapat lebih lama. Pada umumnya, sindrom ini didahului oleh penyakit
influenza atau infeksi saluran pernafasan atas atau saluran pencernaan. Penyebab infeksi
pada umumnya adalah kelompok virus dari kelompok herpes (Harsono, 1996).

5.2 SARAN

Penulis menghimbau kepada semua pembaca agar selalu menjaga kebersihan


kesehatan , sebaliknya apabila seorang terkena Sindroma Guillain Barre (SGB)  harus
diobati secara tuntas agar tidak terjadi infeksi pada prosesus mastoiditis yang dapat
komplikasi yang lebih parah.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2001. Buku Ajar KMB vol 3. Jakarta: EGC.

Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta. Salemba Medika.

Guillain Barré Syndrome 48


Ariani, Tutu April, S.Kep., M.Kes, 2012. Sisem Neurobehaviour. Jakarta: Penerbit
Salemba Medika.

Guillain Barré Syndrome 49

Anda mungkin juga menyukai