Anda di halaman 1dari 22

Makalah Fiqih Sholat

Berdasarkan Pendapat 4 Imam Madzhab

Disusun Oleh : Anisa Fitri Muyasaroh

Kediri
September 2018

KATA PENGANTAR
1
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Saya
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah “Fiqih Sholat
berdasarkan Pendapat 4 Imam Mdzhab”.

Shalawat serta salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad SAW. Dan
keluarganya juga para sahabatnya serta para pengikutnya yang serta sampai akhir zaman.
Makalah ini telah saya susun dengan maksimal dan semoga makalah ini dapat memotifasi bagi
penulis dan pembaca untuk memperdalam pengetahuan dan pemahaman mengenai " Fiqih
Sholat berdasarkan Pendapat 4 Imam Mdzhab ". Saya mencari materi-materi yang tertulis
dalam makalah ini dari sumber-sumber yang terkemuka dan dari buku-buku yang
membahas mengenai materi dengan judul yang telah penulis sampaikan.

Terlepas dari semua itu, Saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari
segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami menerima segala saran dan
kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Kami berharap semoga
makalah ilmiah ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Kediri, September 2018

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover makalah ..................................................................................................................1


Kata pengantar ..................................................................................................................2
Daftar Isi ...........................................................................................................................3
Bab I Pendahuluan ...........................................................................................................4
1.1 Latar belakang .....................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................................4
1.3 Tujuan .................................................................................................................4
Bab II Tinjauan Pustaka ...................................................................................................5
2.1 Definisi shalat dan syariatnya .............................................................................5
2.2 Shalat menurut pandangan 4 Imam Madzhab .....................................................8
Bab III Kesimpulan ..........................................................................................................21
Daftar Pustaka ..................................................................................................................22

BAB I
3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Shalat adalah ibadah yang diutamakan diantara rukun Islam yang lain karena shalat
memiliki memiliki pengaruh bagi kondisi akhlaq manusia yang mengerjakan. Shalat didirikan
sebanyak lima kali/waktu setiap hari. pengaruh baik bagi manusia yang mengerjakan shalat
dalam suatu masyarakat menimbulkan tumbuhnya rasa persaudaraan dan kecintaan diantara
kaum muslimin ketika berkumpul untuk menunaikan ibadah yang satu di salah satu dari sekian
rumah milik Allah subhanahu wa ta’ala (masjid).

Perintah shalat telah jelas secara qoth’i dalam firman Allah surat Annur ayat 56. Namun
perintah disitu masih bersifat global dalam pelaksanaannya. Didalam nash kita tidak mendapati
uraian tata cara shalat secara detail. Sehingga kita mengambil dari sunah Rasulullah
sebagai bayan al-nash.

Penjelasan shalat secara detail terdapat perbedaan pandangan dari 4 madzhab, yaitu Imam
Syafi’i, Imam Maliki, Imam Hanifah dan Imam Hambali. Shalat merupakah ibadah yang sangat
diutamakan karena hukumnya adalah wajid. Oleh karena itu, kita sebagai orang muslim dan
muslimah harus mengetahui tata-caranya secara benar menurut pandangan 4 Imam Madzhab.

1.2 Rumusan Masalah

Makalah ini mempunyai permasalahan yaitu:


1. Bagaimana pengertian sholat dan syari’atnya?
2. Bagaimana pendapat mengenai sholat menurut pandangan 4 imam madzhab?

1.3 Tujuan

Tujuan makalah ini adalah


1. Untuk mengetahui pengertian sholat dan syariatnya,
2. Untuk mengetahui pendapat mengenai sholat menurut pandangan 4 imam madzhab.

BAB 2
Tinjauan Pustaka

4
2.1 Definisi Sholat dan Syariatnya

Secara etimologi, shalat memiliki makna do’a. sedangkan secara terminology, para ahli
fiqih mengartikan sholat secara lahir dan hakiki. Secara lahiriah shalat berarti beberapa ucapan
dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam, yang dengannya kita
beribadah kepada Allah menurut syarat – syarat yang telah ditentukan (Gazalba, 1975). Adapun
secara hakiki adalah “berhadapan hati (jiwa) kepada Allah, yang mendatangkan takut kepada-
Nya serta menumbuhkan di dalam jiwa rasa kebesarannya dan kesempurnaan kekuasaan-Nya”
atau “mendhohirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan
dan pekerjaan atau dengan kedua – duanya” (Ash- Shidiqy, 1976).

Shalat dengan makna doa dicontohkan di dalam Al-Quran Al-Kariem pada ayat berikut
ini.

Dُ ‫ هَّللا‬D‫ َو‬Dۗ D‫ ْم‬Dُ‫ ه‬Dَ‫ ل‬D‫ن‬Dٌ D‫ َك‬D‫ َس‬D‫ك‬ Dَ ‫َّن‬D Dِ‫ إ‬Dۖ D‫ ْم‬D‫ ِه‬D‫ ْي‬Dَ‫ ل‬D‫ َع‬DِّD‫ ل‬D‫ص‬
َ Dَ‫ اَل ت‬D‫ص‬ َ D‫ َو‬D‫ ا‬Dَ‫ ه‬Dِ‫ ب‬D‫ ْم‬D‫ ِه‬D‫ ي‬D‫ ِّك‬D‫ َز‬Dُ‫ ت‬D‫ َو‬D‫ ْم‬Dُ‫ ه‬D‫ ُر‬DِّD‫ ه‬D‫ط‬ Dَ D‫ ْم‬D‫ ِه‬Dِ‫ل‬D‫ ا‬D‫ َو‬D‫ ْم‬Dَ‫ أ‬D‫ن‬Dْ D‫ ِم‬D‫ ْذ‬D‫ُخ‬
َ Dُ‫ ت‬Dً‫ ة‬Dَ‫ ق‬D‫ َد‬D‫ص‬
D‫ ٌم‬D‫ ي‬Dِ‫ ل‬D‫ َع‬D‫ ٌع‬D‫ ي‬D‫ ِم‬D‫َس‬

Artinya : Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka dan shalatlah (mendo'alah) untuk mereka. Sesungguhnya shalat
(do'a) kamu itu merupakan ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. At-Taubah : 103)

Dalam ayat ini, shalat yang dimaksud sama sekali bukan dalam makna syariat, melainkan dalam
makna bahasanya secara asli yaitu berdoa. Adapun makna menurut syariah, shalat didefinisikan
sebagai : “serangkaian ucapan dan gerakan yang tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri
dengan salam sebagai sebuah ibadah ritual”.

Shalat diwajibkan dengan dalil yang qath`i dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma’ umat
Islam sepanjang zaman. Tidak ada yang menolak kewajiban shalat kecuali orang-orang kafir atau
zindiq. Sebab semua dalil yang ada menunjukkan kewajiban shalat secara mutlak untuk semua
orang yang mengaku beragama Islam yang sudah akil baligh. Bahkan anak kecil sekalipun
diperintahkan untuk melakukan shalat ketika berusia 7 tahun. Dan boleh dipukul bila masih tidak
mau shalat usia 10 tahun, meski belum baligh.

5
Dari berbagai istilah mengenai sholat dapat diambil kesimbulan bahwa shalat adalah
merupakan ibadah kepada Tuhan, berupa perkataan denga perbuatan yang diawalidengan takbir
dan diakhiri dengan salam menurut syarat dan rukun yang telah ditentukan syara”. Juga shalat
merupakan penyerahan diri (lahir dan bathin) kepada Allah dalam rangka ibadah dan memohon
ridho-Nya. Berikut dalil-dalil mengenai kewajiban sholat:

َ Dِ‫ ل‬D‫ َذ‬Dٰ D‫ َو‬Dۚ Dَ‫ة‬D‫ ا‬D‫ َك‬Dَّ‫ز‬D‫ل‬D‫ ا‬D‫ا‬D‫و‬Dُ‫ ت‬D‫ؤ‬Dْ Dُ‫ ي‬D‫ َو‬Dَ‫ اَل ة‬Dَّ‫ص‬D‫ل‬D‫ ا‬D‫ا‬D‫ و‬D‫ ُم‬D‫ ي‬Dِ‫ ق‬Dُ‫ ي‬D‫ َو‬D‫ َء‬D‫ ا‬Dَ‫ ف‬Dَ‫ ن‬D‫ ُح‬D‫ن‬Dَ D‫ ي‬DِّD‫د‬D‫ل‬D‫ ا‬Dُ‫ ه‬Dَ‫ ل‬D‫ن‬Dَ D‫ ي‬D‫ص‬
D‫ك‬ ِ Dِ‫ ل‬D‫خ‬Dْ D‫ ُم‬Dَ ‫ هَّللا‬D‫ا‬D‫ و‬D‫ ُد‬Dُ‫ ب‬D‫ ْع‬Dَ‫ ي‬Dِ‫ اَّل ل‬Dِ‫ إ‬D‫ا‬D‫ و‬D‫ ُر‬D‫ ِم‬Dُ‫ أ‬D‫ ا‬D‫ َم‬D‫َو‬
Dِ‫ ة‬D‫ َم‬DِّD‫ ي‬Dَ‫ ق‬D‫ ْل‬D‫ ا‬D‫ن‬Dُ D‫ ي‬D‫ِد‬
Artinya : Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (QS. Al-
Bayyinah : 5).

D‫ َن‬D‫ ي‬D‫ ِع‬D‫ ِك‬D‫ ا‬Dَّ‫ر‬D‫ل‬D‫ ا‬D‫ َع‬D‫ َم‬D‫ا‬D‫ و‬D‫ ُع‬D‫ َك‬D‫ر‬Dْ D‫ ا‬D‫و‬Dَ Dَ‫ة‬D‫ ا‬D‫ َك‬Dَّ‫ز‬D‫ل‬D‫ ا‬D‫ا‬D‫و‬Dُ‫ت‬D‫ آ‬D‫و‬Dَ Dَ‫ اَل ة‬Dَّ‫ص‬D‫ل‬D‫ ا‬D‫ا‬D‫ و‬D‫ ُم‬D‫ ي‬Dِ‫ ق‬Dَ‫ أ‬D‫َو‬
Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang
ruku’. (QS. Al-Baqarah:43).

D‫ ا‬D‫ َم‬Dِ‫ ب‬Dَ ‫َّن هَّللا‬D Dِ‫ إ‬Dۗ Dِ ‫ هَّللا‬D‫ َد‬D‫ ْن‬D‫ ِع‬Dُ‫ه‬D‫ و‬D‫ ُد‬D‫ ِج‬Dَ‫ ت‬D‫ ٍر‬D‫ ْي‬D‫خ‬Dَ D‫ن‬Dْ D‫ ِم‬D‫ ْم‬D‫ ُك‬D‫ ِس‬Dُ‫ ف‬D‫ ْن‬Dَ ‫ أِل‬D‫ا‬D‫ و‬D‫ ُم‬DِّD‫ د‬Dَ‫ ق‬Dُ‫ ت‬D‫ ا‬D‫ َم‬D‫و‬Dَ Dۚ Dَ‫ة‬D‫ ا‬D‫ َك‬Dَّ‫ز‬D‫ل‬D‫ ا‬D‫ا‬D‫و‬Dُ‫ت‬D‫ آ‬D‫و‬Dَ Dَ‫ اَل ة‬Dَّ‫ص‬D‫ل‬D‫ ا‬D‫ا‬D‫ و‬D‫ ُم‬D‫ ي‬Dِ‫ ق‬Dَ‫ أ‬D‫َو‬
Dِ Dَ‫ ب‬D‫ن‬Dَ D‫و‬Dُ‫ ل‬D‫ َم‬D‫ ْع‬Dَ‫ت‬
D‫ ٌر‬D‫ ي‬D‫ص‬
Artinya: Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah.
Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-
Baqarah:110).

َ‫ل لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُمون‬Dَ ‫أَقِي ُموا الصَّالةَ َوآتُوا ال َّز َكاةَ َوأَ ِطيعُوا ال َّرسُو‬
Artinya: Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya
kamu diberi rahmat.’’ (QS. An-nur:56)

َ‫َوأَ ْن أَقِي ُموا الصَّالةَ َواتَّقُوهُ َوهُ َو الَّ ِذي إِلَ ْي ِه تُحْ َشرُون‬
Artinya: Dan agar mendirikan sembahyang serta bertakwa kepada-Nya." Dan Dialah Tuhan
Yang kepada-Nya-lah kamu akan dihimpunkan.’’(QS. Al-An’am:72)

Dۗ D‫ ِر‬D‫ َك‬D‫ ْن‬D‫ ُم‬D‫ ْل‬D‫ ا‬D‫و‬Dَ D‫ ِء‬D‫ ا‬D‫ َش‬D‫ح‬Dْ Dَ‫ ف‬D‫ ْل‬D‫ ا‬D‫ن‬Dِ D‫ َع‬D‫ى‬Dٰ Dَ‫ ه‬D‫ ْن‬Dَ‫ ت‬Dَ‫ اَل ة‬Dَّ‫ص‬D‫ل‬D‫َّن ا‬D Dِ‫ إ‬Dۖ Dَ‫ اَل ة‬Dَّ‫ص‬D‫ل‬D‫ ا‬D‫م‬Dِ Dِ‫ ق‬Dَ‫ أ‬D‫و‬Dَ D‫ب‬
ِ D‫ ا‬Dَ‫ ت‬D‫ ِك‬D‫ ْل‬D‫ ا‬D‫ن‬Dَ D‫ ِم‬D‫ك‬ Dَ D‫ ْي‬Dَ‫ ل‬Dِ‫ إ‬D‫ َي‬D‫ ِح‬D‫ و‬Dُ‫ أ‬D‫ ا‬D‫ َم‬D‫ ُل‬D‫ ْت‬D‫ا‬
Dْ Dَ‫ ت‬D‫ ا‬D‫ َم‬D‫ ُم‬Dَ‫ ل‬D‫ع‬Dْ Dَ‫ ي‬Dُ ‫ هَّللا‬D‫ َو‬Dۗ D‫ ُر‬Dَ‫ ب‬D‫ ْك‬Dَ‫ أ‬Dِ ‫ هَّللا‬D‫ ُر‬D‫ ْك‬D‫ ِذ‬Dَ‫ ل‬D‫َو‬
D‫ َن‬D‫ و‬D‫ ُع‬Dَ‫ ن‬D‫ص‬

Artinya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji
dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
6
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Q.S: Al-Ankabut: 45)
Dari ayat-ayat diatas dapat disimpulkan bahwa ibadah shalat merupakan ibadah yang
sangat penting. Dalam satu riwayat Ishom bin Rawwad dikatakan, “sholat hukumnya wajib.
Semua amal perbuatan manusia akan sia-sia kecuali prestasi shalat dan zakat terpenuhi”.

Macam-macam sholat wajib, yaitu: sholat maktubah, sholat nazar, sholat jenazah, dan
sholat jum’at. Sholat maktubah adalah sholat yang diwajibkan oleh Allah SWT, ada lima waktu
yang sudah ditentukan waktunya, yaitu dhuhur, ashar, maghrib, isya’ dan subuh. Sholat Nazar,
yaitu sholat yang dinazarkan atau diikrarkan kepada Allah sebagai ungkapan syukur atas nikmat
atau keberhasilan sesuatu. Untuk sholat jenazah, Hukumnya adalah fardhu kifayah apabila ada
seorang muslim meninggal dunia, maka kewajiban bagi kaum muslim untuk menyolatkannya.
Jika telah ada satu orang muslim saja yang menyolatkan, maka hilanglah kewajiban muslim
lainnya, namun jika tidak ada satupun yang menyolatkan jenazah seorang muslim, maka dosanya
akan ditanggung oleh semua orang muslim. Dan untuk sholat jum’at, hukumnya wajib bagi laki-
laki karena shalat jum’at seperti shalat lima waktu.

Shalat lima waktu adalah kewajiban / fardhu `ain bagi setiap muslim dan muslimah. Allah
telah menentukan waktu-waktunya. Sebagaimana Allah SWT juga telah memberikan rukhsah
/keringanan bagi musafir atau orang sakit dalam pelaksanaannya. Namun rukhsah (keringanan)
yang Allah berikan tidak berarti boleh dikerjakan sesukanya. Tayammum misalnya, baru boleh
dikerjakan jika tidak menemukan air setelah berusaha mencarinya. Namun, jika seseorang berada
di tengah peradaban atau kota, tidak bisa dikatakan bahwa dia boleh bertayammum. Bukankah di
tengah jalanan yang macet itu justru banyak penjual air minum dalam kemasan. Oleh karena itu
bertayammum di tengah kota yang berlimpah dengan air tidak dapat dibenarkan.

Selain itu juga harus diperhatikan syarat dibolehkannya menjama` dua shalat yaitu bila
dalam keadaan safar atau perjalanan. Sedangkan dia masih dalam kategori bukan safar karena
masih berada di dalam kota. Safar adalah perjalanan keluar kota yang secara jarak memang ada
perbedaan para ulama dalam batas-batasnya. Namun tidak dikatakan safar bila masih dalam kota
sendiri. Ini adalah pendapat yang paling kuat. Jadi yang harus diakukan adalah membuat
perhitungan bagaimana agar bisa shalat Maghrib tepat pada waktunya. Misalnya bila dalam

7
perjalanan pulang harus berganti bus, usahakan saat berganti bus itu untuk mencari tempat
shalat.

Dalam hal ini tidak harus berupa masjid atau mushalla, tetapi sebuah tempat yang bersih
di mana saja asal bisa melakukan shalat. Bisa terminal, emper toko, halaman, trotoar dan
sebagainya. Karena kelebihan umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
dijadikan bumi ini sebagai masjid, dimana pun kamu harus shalat maka shalatlah di mana pun di
muka bumi. Yang penting sudah punya wudhu. Bila tidak, bisa membawa bekal sebuah botol
kemasan yang diisi dengan air dan berwudlu` cukup dengan air sebotol itu. Ini lebih ekonomis
dari pada membeli air minum kemasan yang dijual di jalan. Alternatif kedua seperti yang
dilakukan oleh banyak orang, kita bisa menunda waktu pulang hingga maghrib tiba lalu tunaikan
shalat maghrib di tempat kerja. Setelah itu barulah pulang ke rumah. Konon bila pulang di atas
Mahgrib, kemacetan jalan sudah mulai berkurang. Sedangkan shalat Isya` cukup dilakukan nanti
di rumah karena waktu masih panjang.

2.2 Sholat menurut Pandangan 4 Imam Madzhab


Sholat mempunyai beberapa syarat yang menjadi ketergantungan sahnya. Sehingga tidak sah
sholatnya apabila tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Dan ada pula syarat-syarat yang
menjadi ketergantungan kewajibannya. Sehingga tidak wajib apabila tidak memenuhi syarat-
syarat tersebut. Istilah yag dipakai para madzhab berbeda-beda dalam menjelaskan beberapa
syarat dan bilangannya. Berikut penjelasan secara rinci sebagaimana berikut.

A.  Madzhab Maliki (Al Malikiyah)


Mereka berpendapat bahwa sysrat-syarat sholat terbagi menjadi tiga bagian, yaitu syarat wajib
saja, syarat sah saja dan syarat wajib yang sekaligus sebagai syarat sah.
Berikut yang menjadi syarat wajib saja
1. Baligh (jadi tidak wajib sholat anak kecil)
2. Tidak dipaksakan meninggalkan sholat
            Menurut mereka, yang tidak wajib atas orang yang dipaksa adalah perbuatan sholat yang
secara lahir saja. Sedangkan selain dari yang lahir da ia mampu bersuci, maka wajib
mengerjakan apa yang ia mampu, seperti niat, takbiratul ihram, membaca da isyarat.
Adapun bagian yang menjadi syarat sah ada lima, yaitu :

8
1.      Suci dari hadats
2.      Suci dari najis
3.      Islam
4.      Menghadap kiblat
5.      Menutup aurat
Sedangkan bagian yang ketiga adalah syarat wajib yang sekaligus sebagai syarat sah :
1.      Telah sampai kepadanya dakwah nabi Muhammad SAW kepadanya
2.      Berakal
3.      Memasuki waktu sholat
4.      Tidak kehilangan alat untuk bersuci (wudhu dan tayamum)
5.      Tidak dalam keadaan tidur dan lupa
6.      Tidak dalam keadaan haid maupun nifas

B. Madzhab Syafi’i (Syafi’iyah)


Mereka membagi syarat-syarat tersebut menjadi dua bagian, yaitu syarat wajib dan syarat sah.
Syarat wajib menurut mereka adalah :
1.      Sampai kepadanya dakwah nabi Muhammad SAW 
2.      Islam
3.      Berakal
4.      Baligh
5.      Suci dai haid dan nifas
6.      Sehat inderanya, meskipun hanya menglihatannya ataupun pendengarannya saja
Adapun syarat sahnya yaitu :
1.      Suci badan dari hadats besar da kecil
2.      Suci badan, pakaian da tempat dari najis
3.      Menutup aurat
4.      Menghadap kiblat
5.      Mengetahui wasuknya waktu sholat
6.      Mengetahui tata cara sholat
7.      Meninggalkan sesuatu yang dapat membatalkan sholat

C . Madzhab Hanafi (Hanafiyah)

9
Mereka membagi syarat-syarat sholat menjadi dua bagian, sebagaimana golonga syafi’i.
Syarat wajib menurut golongan Hanafi adalah :
1.      Telah sampainya dakwah Nai Muhammad SAW kepadanya
2.      Islam
3.      Berakal
4.      Baligh
5.      Suci dari hadats da nifas
Sedangkan syarat sah menurut golongan hanafi adalah :
1.      Suci badan dari hadats da najis
2.      Suci pakaian dari najis
3.      Suci tempat dari najis
4.      Menutup aurat
5.      Niat
6.      Menghadap kiblat

D. Madzhab Hambali (Al Hanabilah)


Menurut mereka syarat-syarat sholat ada sembilan, yaitu:
1.      Islam
2.      Berakal
3.      Tamyiz (dapat membedakan)
4.      Suci dari hadats
5.      Menutup aurat
6.      Menjauhi najis baik dari badan, pakaian maupun tempat
7.      Niat
8.      Menghadap kiblat
9.      Memasuki waktunya
Mereka berpendapat bahwa semua ini adalah sebagai syarat sah.
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang meninggalkan shalat
karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat itu wajib. Syafi’i, Maliki, dan
Hambali: Harus dibunuh Hanafi: Ia harus ditahan selama-lamanya, atau sampai ia shalat
(Mughniyah, 2001). Pendapat yang rajih adalah pendapat Hanafi, yaitu harus ditahan selama-
lamanya, atau sampai ia shalat. Karena selama seseorang masih meyakini wajibnya shalat, maka
10
keislamannya tidak batal. Namun, jika ia meyakini shalat tidak wajib, maka keislamannya batal
dan hukumannya adalah dibunuh oleh pemerintah kaum muslimin. Berikut rukun shalat menurut
4 imam madzhab.

1) Niat
Menurut syariat niat adalah hasrat atas sesuatu dan masuk dalam pekerjaannya. Ulama
berbeda pendapat tentang dimasukkannya niat dalam jajaran rukun shalat, sebagaimana
perbedaan pendapat mereka dalam hal niat dalam berwudhu. Jumhur ulama, Syafi’iyah,
Malikiyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa niat merupakan salah satu rukun shalat dengan
argumentasi (Ulfah, 2009) :

Hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam


‫ و الترمذي‬D‫ (رواه البخاري‬.‫إنما األعمال بالنيات و إنما لكل امرئ ما نوى‬

Niat merupakan realisasi dari pada keikhlasan dan kesungguhan dalam beribadah sebagaimana
dimaksud oleh firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

Dalam QS. Al-Bayyinah: 5,

َ Dِ‫ ل‬D‫ َذ‬Dٰ D‫ َو‬Dۚ Dَ‫ة‬D‫ ا‬D‫ َك‬Dَّ‫ز‬D‫ل‬D‫ ا‬D‫ا‬D‫و‬Dُ‫ ت‬D‫ؤ‬Dْ Dُ‫ ي‬D‫ َو‬Dَ‫ اَل ة‬Dَّ‫ص‬D‫ل‬D‫ ا‬D‫ا‬D‫ و‬D‫ ُم‬D‫ ي‬Dِ‫ ق‬Dُ‫ ي‬D‫ َو‬D‫ َء‬D‫ ا‬Dَ‫ ف‬Dَ‫ ن‬D‫ ُح‬D‫ن‬Dَ D‫ ي‬DِّD‫د‬D‫ل‬D‫ ا‬Dُ‫ ه‬Dَ‫ ل‬D‫ن‬Dَ D‫ ي‬D‫ص‬
D‫ك‬ ِ Dِ‫ ل‬D‫خ‬Dْ D‫ ُم‬Dَ ‫ هَّللا‬D‫ا‬D‫ و‬D‫ ُد‬Dُ‫ ب‬D‫ ْع‬Dَ‫ ي‬Dِ‫ اَّل ل‬Dِ‫ إ‬D‫ا‬D‫ و‬D‫ ُر‬D‫ ِم‬Dُ‫ أ‬D‫ ا‬D‫ َم‬D‫َو‬
Dِ‫ ة‬D‫ َم‬DِّD‫ ي‬Dَ‫ ق‬D‫ ْل‬D‫ ا‬D‫ن‬Dُ D‫ ي‬D‫ِد‬

Artinya: Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.

Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa niat tidak termasuk rukun shalat dengan
dalih bahwa tidak ada satu ayat maupun hadits yang secara eksplisit dan kongkrit yang
menyatakan bahwa niat bagian dari rukun shalat. Sebagaimana hadits dari Amirul Mu’minin,
‘Umar bin Al Khattab radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda;
‫إنما األعمال بالنيات و إنما لكل امرئ ما نوى‬

“Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang
(akan dibalas) berdasarkan apa yang ia niatkan.” (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari Juz 1: 1 dan
Muslim Juz 1: 246, lafazh ini miliknya).

11
2) Takbiratul ihram
Takbiratul ihram adalah takbir pada permulaan shalat. Kalimat takbiratul ihram adalah
“Allahu Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh memakai kata-kata lainnya, menurut Maliki,
Hambali, dan Syafi’i: Boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan “Allahu Al-Akbar”, ditambah
dengan alif dan lam  pada kata “Akbar”. Hanafi: Boleh dengan kata-kata lain yang sesuai atau
sama arti dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam” dan “Allahu Al-Ajall” (Allah
Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia) (Mughniyah, 2001).

Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu‘alaihi
wa sallam bersabda;

‫ ِمفتا ُح الصال ِة الطهُو ُر َوتَحْ ِر ْي ُمها التَّ ْكب ْي ُر َوتَحْ ليلُها التَّسْلي ُم‬.

“Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam.”
(HR. Tirmidzi Juz 1: 3, Abu Dawud: 61, dan Ibnu Majah: 275. Hadits ini dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani r dalam Irwa’ul Ghalil: 301).

Semua ulama mazhab sepakat selain Hanafi bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab
adalah wajib, walaupun orang yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). Bila ia
tidak bisa maka ia wajib mempelajarinya. Hanafi: Sah mengucapkannya dengan bahasa apa saja,
walau yang bersangkutan bisa berbahasa Arab (Mughniyah, 2001).

3). Berdiri bagi yang mampu

Semua ulama mazhab sepakat bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak
mulai takbiratul ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia harus shalat dengan
duduk. Bila tidak mampu duduk, ia harus shalat miring pada bagian kanan, seperti letak orang
yang meninggal di liang lahat, menghadapi Kiblat dihadapan badannya, menurut kesepakatan
semua ulama mazhab selain Hanafi. Hanafi berpendapat: Siapa yang tidak bisa duduk, ia harus
shalat terlentang dan menghadap Kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam ruku’
dan sujud tetap menghadap Kiblat. Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut
Syafi’i dan Hambali ia harus shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke Kiblat (Mughniyah,
2001). Jika melakukannya dengan berbaring, maka kami cenderung menganjurkan
melakukannya dengan berbaring ke sebelah kanan, karena orang yang tidur disunnahkan dengan
berbaring ke sebelah kanan, juga berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyalahu ‘anha:

12
‫ َوفي شأْنِ ِه ُكلِّ ِه‬, ‫ َوطُهُوْ ِر ِه‬, ‫ َوت ََرجُّ لِ ِه‬, ‫كانَ رسول هللاِ صلى هللا عليه وسلم يُ ْع ِجبُهُ التَّيَ ُّمنُ في تَنَ ُّعلِ ِه‬.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senang melakukan dengan bagian kanan ketika memakai
sandal, menyisir, bersuci, dan di dalam semua keadaannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau dengan kelopak
matanya. Hanafi: Bila sampai pada tingkat ini tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat
baginya, hanya ia harus melaksanakan (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu
yang menghalanginya. Maliki: Bila sampai seperti ini, maka gugur perintah shalat terhadapnya
dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya. Syafi’i dan Hambali: Shalat itu tidaklah gugur dalam
keadaan apapun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan dengan kelopak matanya (kedipan
mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan menggerakkan lisannya dengan dzikir dan
membacanya. Bila juga tidak mampu menggerakkan lisannya, ia harus menggambarkan tentang
melakukan shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi (Mughniyah, 2001).

Pendapat yang paling rajih adalah pendapat Syafi’i dan Hambali. Hal ini berdasarkan
keumuman firman Allah,

َ َ‫ك حتّى يأْتِي‬


ُ‫ك اليَقِيْن‬ َ ّ‫َو ا ْعبُ ْد َرب‬

Artinya: “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang al-yaqin (yakni ajal).” (QS.
Al-Hijr: 99).
4). Membaca Surat Al-Fatihah

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,


ِ ‫صالةَ لِ َمن لم يَ ْقرأَ بفاتِ َح ِة الكتا‬
‫ب‬ َ ‫ال‬

“Tidak sah shalat seseorang yang tidak membaca al-Fatihah.” (HR. Al-Bukhari: 756 dan
Muslim: 394, dan selain keduanya).

Syafi’i, Hambali, dan Maliki sepakat bahwa wajib membaca surat Al-Fatihah pada setiap raka’at
(Mughniyah, 2001). Sedangkan Hanafi: Membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak
diharuskan, dan membaca apa saja dari Al-Qur’an itu boleh, berdasarkan Al-Qur’an surat
Muzammil ayat 20: “Bacalah apa yang mudah bagimu dari al-Qur’an”.

13
Membaca Al-Fatihah itu hanya diwajibkan pada dua rakaat pertama, sedangkan pada
rakaat ketiga pada shalat Maghrib, dan dua rakaat terakhir pada shalat Isya dan Ashar kalau mau
bacalah, bila tidak, bacalah tasbih, atau diam. (Al-Nawawi, Syarhul Muhadzdzab, Jilid III,
halaman 361). Sedangkan pendapat yang paling kuat adalah diwajibkan membaca surat Al-
Fatihah dalam setiap raka’at berdasarkan hadits di atas.

Membaca “Bismillahirrahmanirrahim” ketika membaca surat Al-Fatihah, Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang membacanya dengan sirr (lirih) dan terkadang juga
dengan jahr (mengeraskan). Namun, dalil yang paling kuat bahwa Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam mencontohkan membacanya dengan sirr. Sebagaimana perkataan Ibnu Qayyim Al-
Jauziyah dalam kitab Mukhtashar Zadul-Ma’ad, “Kemudian setelah itu beliau membaca
ta’awwudz, lalu membaca Al-Fatihah. Terkadang beliau menyaringkan bacaan basmalah, tapi
lebih sering menyembunyikannya”. Lalu kami menemukan dalil-dalilnya dalam kitab Bulughul
Maram karya Al-Fafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolani. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu:

ِ ‫بكر و عمر كانوا ي ْفتَتِحون الصالة‬


:‫ب (الحمد هلل ربّ العالمين) [الفاتحة‬ ٍ ‫أ ّن النب ّي صلى هللا عليه وسلم و أبا‬
‫ متّفق عليه‬.]٢

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar dan ‘Umar membuka shalatnya
dengan (Al-Hamdulillahi Rabbil ‘Alamin).” (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari dalam al-Adzaan.
Muslim dalam ash-Sholah, Shahih Ibnu Khuzaimah dan sanadnya shahih, an-Nasai-I dalam al-
Iftitaah, dan Ibnu Majah. Lihat ash-Shahiihah).

Muslim menambahkan:

‫اخرها‬
ِ ‫ال يذكرونَ بسم هللا لرحمن الرحيم في أوّل قراءة وال في‬

“Mereka tidak menyebut Bismillahirrahmanirrahim diawal bacaan tidak pula di akhirnya.”


(Sanadnya shahih, dikeluarkan oleh Muslim (399) Bab Hujjah man Qola laa Yujhar bil
Basmalah, dan Ahmad (12924) dari Anas).
Dan dalam riwayat Ahmad, an-Nasa-i, dan Ibnu Khuzaimah:

‫ال يجهرون بسم هللا الرحمن الرحيم‬

“Mereka tidak mengeraskan bacaan Bismillahirrahmanirrahim.” (Sanadnya shahih, diriwayatkan


olehan-Nasa-i dalam al-Iftitaah, Ahmad, Shahih Ibnu Khuzaimah (no. 495). Syaikh Al-Albani

14
berkata dalam ta’liqnya terhadap Shahih Ibnu Khuzaimah, “Sanadnya shahih, dan pengillatan
dengan idhthirab tidak berpengaruh, karena masih mungkin untuk mengkompromikan riwayat-
riwayat yang berbeda tersebut.”)
Dari Nu’aim bin al-Mujmir, ia berkata;

‫ حتى إذا بلغ وال‬,‫ ثم قرأ بأ ُ ّم القرآن‬,‫ فقرأ بسم هللا الرحمن الحيم‬,‫يت وراء أبي هريرة رضي هللا عنه‬
ُ ّ‫صل‬
‫ والذي نفسي بيده إنّي‬:‫ ثم يقول إذاسلم‬,‫ هللا أكبر‬:‫ وإذا قام من الجلوس‬,‫ {آمين} ويقول كلّما سجد‬:‫الضلين قال‬
‫ صالة برسول هللا صلى هللا عليه وسلم‬D‫أل ْشبهكم‬.

“Aku shalat dibelakang Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau


membaca Bismillahirrahmanirrahim, kemudian membaca Ummul Qur’an, sehingga ketika
sampai Waladhdhalliin, ia mengucapkan: Allahu Akbar. Kemudian setelah salami a berkata,
‘Demi Yang diriku di tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah yang paling serupa shalatnya
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Dhaif sanadnya, diriwayatkan oleh an-Nasa-i
(905) dalam al-Iftitaah, Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya (no. 499) dan sanadnya shahih kalau
bukan karena Ibnu Abi Hilal mukhtalith. (lihat Dha’iif Sunan an Nasa’i (904) dan ta’liq Shahih
Ibnu Khuzaimah) dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya, al-Hakim dalam al
Mustadrak , ia berkata, “Shahih, sesuai dengan syarat Syaikhain dan keduanya tidak
mengeluarkannya”, dan ad-Daraquthni dalam Sunannya, ia berkata “Hadits shahih, semua
perawinya tsiqah.” Dan al Baihaqi dalam Sunannya, ia berkata “Sanadnya shahih, dan ia
mempunyai beberapa syahid.”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,

‫ فأنّها إحدى آياتها‬D,‫إذا قرأتم الفاتحة فاقرؤا بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Apabila kamu membaca al-Fatihah, bacalah Bismillahirrahmanirrahim, karena ia adalah salah


satu ayat darinya.” (HR. ad-Daraquthni dan beliau menshahihkan kemauqufannya. Dikeluarkan
oleh ad-Daraquthi dari Ja’far bin Mukrim, telah menceritakan kepada kami: Abu Bakar al-
Hanafi, telah menceritakan kepada kami: ‘Abdul Hamid bin Ja’far, telah mengabarkan kepadaku:
Nuh bin Abi Hilal dari Sa’id al-Maqburi dari Abi Hurairah ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, …al-Hadits.” Abu Bakar al-Hanafi berkata, “Kemudian aku bertemu
dengan Nuh, lalu ia menyampaikan kepadaku dari Sa’id al-Maqburi dari Abu Hurairah semisal
dengannya tapi ia tidak memarfukannya. ‘Abdul Haqq dalam Ahkaamah Kubranya berkata,
“’Abdul Hamid bin Ja’far tsiqah, Nuh juga tsiqah masyhur.” Ad-Daraquthni berkata
dalam ‘Illalnya, “Hadits ini diriwayatkan oleh Nuh bin Abi Hilal, dan diperselisihkan padanya,
‘Abdul Hamid bin Ja’far mriwayatkan darinya, dan diperselisihkan juga padanya. Al-Mu’afi bin
Imran meriwayatkan dari ‘Abdul Hamid dari Nuh bin Abi Hilal dari al-Maqburi dari Abu
Hurairah secara marfu’. ‘Usamah bin Zaid dan Abu Bakar meriwayatkan dari Nuh dari al-
Maqburi dari Abu Hurairah secara mauquf, dann ini yang benar.” (Nashbur Raayah).

5). Ruku’

15
Semua ulama mazhab sepakat bahwa ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka
berbeda pendapat tentang wajib atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika
ruku’ semua anggota badan harus diam, tidak bergerak. Hanafi: Yang diwajibkan hanya semata-
mata membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah. Mazhab-mazhab yang
lain: Wajib membungkuk sampai dua telapak orang yang shalat itu berada pada dua lututnya dan
juga diwajibkan berthuma’ninah dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’.

6)     Bangkit dari Ruku’, dan Berdiri Tegak


Menurut Imam Hanafi, Tidak wajib mengangkat kepala dari ruku’ yakni i’tidal.
Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Mazhab-mazhab yang lain: Wajib
mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta disunnahkan membaca tasmi’, yaitu    ‫سمع هللا لمن حمدة‬.
Berdasarkan hadits dari Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫ئ صالةٌ ال يُقِ ْي ُم ال ّر ُج ُل فيها ص ُْلبَهُ في الر‬


‫ّكوع و ال ُّسجُو ِد‬ ُ ‫ال تُجْ ِز‬

“Tidak sempurna shalat yang pelaksanaannya tidak meluruskan tuang shulbinya ketika ruku’
dan sujud.” (Shahih Ibnu Majah no.710, Nasa’i, Tirmidzi dan Ibnu Majah dan ‘Aunul Ma’bud).

Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
terhadap orang yang buruk shalatnya;

ْ ‫ثُ ّم ارْ َك ْع حتّى ت‬


‫َط َمئِ َّن را ِكعًا‬

“Kemudian bangunlah hingga engkau tuma’ninah (di dalam) berdiri i’tidal tersebut.” (HR.
Bukhari Juz dan Muslim).

Ucapan “Sami’allahu liman hamidah” dan “Rabbana wa lakal hamdu” termasuk kepada jajaran
wajib shalat. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;

‫كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم إذا قام إلى الصالة يُكبِّ ُر حينَ يقوم ثم يُكبّر حين يركع ثم يقو ُل سمع هللا‬
‫لمن حمدة حين يرفع صلبه من الركوع ثم يقول وهو قائم ربّنا ولك الحمد‬.

“Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri (untuk) shalat beliau bertakbir ketika
berdiri, kemudian bertakbir ketika ruku’, lalu membaca “Sami’allahu liman hamidah” (Allah
mendengar orang yang memuji-Nya) ketika beliau mengangkat tulang punggungya dari ruku’.
Saat berdiri beliau membaca “Rabbana walakal hamdu” (Wahai Rabb kami hanya bagi-Mu
segala puji).” (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari dan Muslim, lafazh ini miliknya).

16
Disunnahkan menambah doa bangkit dari ruku’. Diantaranya tambahan doa setelah
mengucapkan “Rabbana walakal hamdu” adalah;
‫ وكلّنا‬.‫ق ما قال العبد‬
ّ ‫شيء بعد أهل الثناء والمجد (أح‬ ْ ‫ملء السماوات واألرض وما بينهما وملء ما ش ْئت من‬
‫لك عبد) ال مانع لما أعطيت وال معطي لما منعت وال ينفع ذا الج ّد منك الج ُّد‬.

“Sepenuh langit-langit, sepenuh bumi dan seisinya, dan sepenuh apa saja sesudahnya yang
Engkau kehendaki. Wahai Dzat Yang Memiliki Sanjungan dan Kejayaan, (yang paling berhak
atas ucapan seorang hamba. Dan kami semua adalah hamba-Mu). Tidak ada yang dapat menahan
apa yang telah Engkau berikan, tidak ada yang dapat memberikan apa yang telah Engkau tahan,
dan tidaklah bermanfaat kekayaan bagi seseorang yang memilikinya (kecuali iman dan amal
shalihnya), hanya dari Engkau kekayaan itu.” (HR. Muslim, Abu Dawud). Tambahan lafazh
yang di dalam kurung adalah menurut riwayat Abu Dawud).

7)     Sujud dan Tuma’ninah


Semua ulama mazhab sepakat bahwa sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setiap
raka’at. Mereka berbeda pendapat tentang batasnya. Anggota tujuh yang menempel ketika sujud
adalah dahi, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua ibu jari dua kaki. Maliki, Syafi’i, dan Hanafi:
Yang wajib (menempel) hanya dahi sedangkan yang lainnya adalah sunnah. Hambali: Yang
diwajibkan itu semua anggota yang tujuh, secara sempurna. Bahkan Hambali menambahkan
hidung, sehingga menjadi delapan. Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam
sujud, sebagaimana dalam ruku’. Berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu ia
berkata, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

‫راف‬
ِ ‫ط‬ ْ )‫أشار بِيَ ِد ِه على أ ْنفِ ِه واليَ َد ْي ِن والرّجْ لَي ِْن (أي ال ّر ْكبَتَ ْي ِن‬
ْ ‫وأ‬ َ ‫أن أ ْس ُج َد على َس ْب َع ِة أ ْعظُ ٍم‬
َ ‫الج ْبهَةُ َو‬ ْ ‫ت‬ ُ ْ‫أُ ِمر‬
ِ
‫القَ َد َم ْي ِن‬

“Aku diperintahkan untuk bersujud di atas tujuh tulang; dahi –beliau juga berisyarat dengan
tangannya ke hidungnya– kedua (telapak) tangan, kedua (lutut) kaki, serta ujung jari-jemari
kaki.” (Muttafaq ‘alaih. HR. Bukhari Juz 1: 776 dan Muslim Juz 1: 490, lafazh ini miliknya).

Dan dianjurkan menempelkan hidung ketika sujud agar sempurna shalatnya. Diriwayatkan dari
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;

ِ ْ‫ال صالةَ لِ َم ْن ال يُصيبُ أ ْنفَهُ منَ األر‬


َ‫ض ما يُصيبُ ال َجبين‬
“Tidak (sempurna) shalat seseorang yang tidak menempelkan hidungnya ke tanah (ketika sujud),
(seperti) ia menempelkan dahi(nya ke lantai).” (HR. Ad-Daraquthni, hadits ini dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani r dalam Shifatush Shalaah, hal. 123).
17
Dan juga bertuma’ninah di dalamnya. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang
yang shalat dengan sembarangan;
ْ ‫ ث ّم ا ْس ُج ْد حتّى ت‬,‫َط َمئِ َّن جالِسًا‬
ِ ‫َط َمئِ َّن‬
‫ساجدًا‬ ْ ‫َط َمئِ َّن سا ِجدًا ثُ ّم ارْ فَ ْع حتّى ت‬
ْ ‫ثُ ّم ا ْس ُج ْد حتّى ت‬.
“Kemudian sujudlah hingga tenang kemudian angkatlah (kepalamu) hingga duduk (di antara
dua sujud) dengan tenang kemudian sujudlah (lagi) sampai sujud dengan tenang.” (Muttafaqun
‘alaih: Fathul Bari dan Muslim).

8)  Bangkit dari Sujud dan Duduk Diantara Dua Sujud Hingga dalam Posisi Duduk Tegak dan
Tuma’ninah di dalamnya
Hanafi: Tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud. Mazhab-mazhab yang lain: Wajib
duduk di antara dua sujud. Menurut pemakalah wajibnya duduk di antara dua sujud. Sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang shalat dengan sembarangan;
ْ ‫ثُ ّم ارْ فَ ْع حتّى ت‬
‫َط َمئِ َّن جالِسًا‬

“… kemudian angkatlah (kepalamu) hingga duduk (di antara dua sujud) dengan tenang…
“  (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari dan Muslim).
Dan dari Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,

ِ ‫ئ صالةٌ ال يُقِ ْي ُم ال ّر ُج ُل فيها ص ُْلبَهُ في الر‬


‫ّكوع و ال ُّسجُو ِد‬ ُ ‫ال تُجْ ِز‬

“Tidak sempurna shalat yang pelaksanaannya tidak meluruskan tuang shulbinya ketika ruku’
dan sujud.” (Shahih Ibnu Majah no.710, Nasa’i II: 183, Tirmidzi dan Ibnu Majah dan ‘Aunul
Ma’bud).

9). Tahiyyat

Tahiyyat di dalam shalat dibagi menjadi dua bagian: Pertama yaitu tahiyyat yang terjadi
setelah dua rakaat pertama dari shalat. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan salam,
baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat. Menurut Hambali: Tahiyyat pertama
itu wajib. Mazhab-mazhab yang lain: Hanya sunnah, bukan wajib. Sedangkan pada tahiyyat
terakhir adalah wajib, menurut Syafi’i dan Hambali. Sedangkan menurut Maliki dan Hanafi:
Hanya sunnah, bukan wajib. (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, Halaman 125).

18
Sedangkan pemakalah memilih bahwa tasyahhud terakhir termasuk rukun shalat.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah (bin Mas’ud) radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda;

‫إذا قَ َع َد أحدكم في الصالة فليقل التاحيات هلل والصلوات الطيبات السالم عليك إيّها النب ّي ورحمة هللا وبركاته‬
‫أن محمدا عبده ورسوله‬ ّ D‫ الشهد أن ال إله إاّل هللا وأشهد‬.‫السالم علينا وعلى عباد هللا الصالحين‬.

“Jika salah seorang diantara kalian duduk (tasyahud akhir) di dalam shalat, maka hendaklah ia
membaca; “Segala salam hormat milik Allah, shalawat dan kebaikan. Semoga keselamatan,
rahmat Allah, dan keberkahan-Nya senantiasa dilimpahkan kepada engkau, wahai Nabi.
Semoga keselamatan senantiasa dilimpahkan kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah
yang shalih. Aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan (yang berhak untuk disembah) selain
Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya.” (Muttafaqun
‘alaih. HR. Bukhari dan Muslim).

Dan tasyahhud awal termasuk daam jajaran wajib shalat. Dari Abu Humaid As-Sa’di
radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam;

‫إذا جلس في الرك َعتَيْن جلس على رجله اليُسْرى ونصب اليُ ْمنى‬.

“Apabila beliau duduk pada raka’at kedua beliau duduk di atas kakinya yang kiri dan meluruskan
(menegakkan) kaki kanan (duduk iftirasy).” (HR. Bukhari Juz 1: 794).

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memerintahkan seorang sahabat yang tidak beres
shalatnya agar membaca do’a tasyahhud dengan sabdanya:

‫ فخذك اليُسرى ث ّم تشهّ ْد‬D‫فاطمئن وا ْفترش‬


ّ ‫فإذا جلسْتَ في وسط الصالة‬.

“Maka apabila engkau duduk pada pertengahan shalat (yaitu akhir raka’at kedua), maka duduk
iftirsylah (yaitu) duduk dengan bertekan pada pahamu yang kiri dengan tenang, kemudian
bacalah tasyahhud!” (Shahih: Shahih Abu Daud, ‘Aunul Ma’bud).

10) Salam

Yang termasuk rukun adalah salam yang pertama dan yang kedua hukumnya sunnah.
Syafi’i, Maliki, dan Hambali: Mengucapkan salam adalah wajib. Hanafi: Tidak wajib. (Bidayatul
Mujtahid, Jilid I, Halaman 126). Hambali: Wajib mengucapkan salam dua kali, sedangkan yang
lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib. Jumhur ulama berpendapat bahwa ucapan
19
salam yang termasuk rukun shalat adalah salam yang pertama saja. Hal ini berdasarkan hadits
yang diriwayatkan dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda;
‫ التَّ ْكب ْي ُر َوتَحْ ليلُها التَّسْلي ُم‬D‫ر َوتَحْ ِر ْي ُمها‬Dُ ‫ ِمفتا ُح الصال ِة الطهُو‬.

“Kunci shalat adalah bersuci. Pengharamnya adalah takbir dan penghalalnya adalah salam.”
(HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ibnu Majah. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani r
dalam Irwa’ul Ghalil: 301).

Adapun salam yang kedua (ke kiri) adalah sunnah. Sebagaimana diriwayatkan dari ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha;

ِّ ‫ل هللا صلى هللا عليه و سلم كان يُسلّ ُم في الصالة تَسْليمةً واحدة ْتلقاء وجْ هه يَمي ُل إلى ال ِّش‬Dَ ‫أن رسو‬
‫ق الأل ْي َم ِن‬ َّ
‫ َشيئا‬.
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ketika shalat
(hanya) sekali salam dengan menghadapkan wajah agak condong ke samping kanan.” (HR.
Tirmidzi, dengan sanad yang shahih).
Diantara dalil tentang disunnahkannya untuk melakukan salam yang kedua adalah hadits yang
diriwayatkan dari ‘Amir bin Sa’ad , dari bapaknya radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;
‫ت أرى رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يُسلّم عن يمينه وعن يساره حتّى أرى بياض خ ِّد ِه‬
ُ ‫ك ْن‬.

“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan salam ke kanan dan
ke kiri, sehingga aku melihat putih(nya) pipi beliau.” (HR. Muslim).

11). Tertib

Diwajibkan tertib antara bagian-bagian shalat (urut sesuai yang disyari’atkan).

BAB III
Kesimpulan

Berbagai definisi mengenai shalat telah diuraikan, shalat yang dimaksud sama sekali
bukan dalam makna syariat, melainkan dalam makna bahasanya secara asli yaitu berdoa. Adapun
makna menurut syariah, shalat didefinisikan sebagai : “serangkaian ucapan dan gerakan yang
tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam sebagai sebuah ibadah ritual”.
Begitu halnya rukun, syarat wajib dan syarat sah shalat terdapat pendapat menurut 4 Imam
20
Madzhab yang telah diuraikan. Untuk rukun sholat, yaitu : niat, Takbiratul ihram, berdiri
semampunya, membaca surat Al-Fatihah, ruku’, bangkit dari ruku’ dan berdiri tegak, duduk
diantara dua sujud dan tuma’ninah, tahiyyat, salam, dan tertib.

Daftar Pustaka

Abu Hafizhah, Ensiklopedi Fiqih Islam, (Ponorogo: Pustaka Al-Bayyinah, 2013).

Hasby Ash- Shidiqy, Pedoman Shalat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 59.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, [Terjemah] Mukhtashar Zadul-Ma’ad, (Jakarta: Pustaka Azzam,


1999), hlm. 20.

Isnatin Ulfah, Fiqih Ibadah (Ponorogo: STAIN Po PRESS, 2009), hlm. 69

21
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001).

Sidi Gazalba, Asas Agama Islam, (Jakarta: Bulan BIntang, 1975), hlm. 88.

Tafsir Ibnu Katsir, jilid 2 hlm. 281 sebagaimana dikutip Fadlolan Musyaffa’, Shalat di Pesawat
& Angkasa, (Langitan: Syauqi Press, 2007), hlm. 26.

22

Anda mungkin juga menyukai