Anda di halaman 1dari 13

Pendekatan Ekologikal untuk Anak dengan Hambatan Emosi dan

Tingkah Laku

Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Pendidikan Anak dengan Gangguan


Emosi dan Tingkah Laku

Dosen Pengampu: Yuni Tnjung Utami, M.Pd

Disusun Oleh:

Kelompok 2

Nur Fitriah Fajaroh 2287190042

Farida Farhah 2287190048

Dahlia Rizki Wahyuni 2287190055

Anisa 2287190061

PENDIDIKAN KHUSUS

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA

2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi ALLAH SWT yang telah memberikan kami kemudahan
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan Anak dengan
Gangguan Emosi dan Tingkah Laku di fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Selanjutnya, tak lupa kami ucapkan terima kasih kepada ibu Yuni Tnjung
Utami, M.Pd, yang telah memberikan tugas yang berjudul “Pendekatan
Ekologikal untuk Anak dengan Hambatan Emosi dan Tingkah Laku”. Sehingga
kami dapat membuka wawasan kami tentang anak dengan hambatanan emosi dan
prilaku.

Kami menyadari bahwa dengan keterbatasan ilmu pengetahuan dan


kemampuan kami dalam penyusunan makalah ini dirasakan masih jauh dari
sempurna, maka untuk itu kami menerima segala kritik dan saran dari pembaca
yang bersifat membangun demi perbaikan penulisan makalah ini mudah-mudahan
segala amal baik yang telah diberikan kepada kami mendapatan balasan yang
setimpal dari Allah SWT. Semoga makalah ini bermanfaat.

Serang, 19 April 2020

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii

BAB I : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................
1.2 Rumusan Masalah............................................................................
1.3 Tujuan Penulisan..............................................................................
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Teori Ekologi Bronfenbrenner......................................................
2.2 Pendekatan Ekologikal bagi Anak dengan Hambatan Emosi dan
Tingkah Laku.
2.3 Penerapan Pendidikan Karakter dalam Kajian Teori Ekologi.
BAB III : PENUTUP

3.1 Kesimpulan...................................................................................
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam


mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan
prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku
disekitarnya. Rhoides (dalam Mangunsong, 2009) menganjurkan pendekatan
ekologi dalam memaknai gangguan gangguan perilaku. Ia menggambarkan
ketidakstabilan emosi dan perilaku lebih merupakan suatu produk budaya,
masyarakat, dan lingkungan keluarga di mana “individu ada” sebagai “individu
hasil” dari lingkungan tersebut. Lebih lanjut Mangunsong (2009) menjelaskan,
ada tiga perilaku utama yang tampak pada seorang anak dengan kelainan perilaku
menyimpang, yaitu: agresif, suka menghindar diri dari keramaian, dan sikap
bertahan diri. Adapun karakteristik anak tunalaras menurut Slavin (2006) adalah
kurang mampu dalam belajar,ketidak mampuan ini bukan karena faktor
intelektual, sensori, atau faktor kesehatan; Tidak mampu membangun atau
memelihara hubungan interpersonal yang baik dengan guru atau teman sebaya;
dan seringkali menampakkan perilaku yang tidak sopan.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan teori ekologi Bronfenbrenner?
b. Apa yang dimaksud dengan pendekatan ekologikal bagi anak dengan
hambatan emosi dan tingkah laku.
c. Bagaimana penerapan pendidikan karakter dalam kajian teori ekologi?
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui teori ekologi Bronfenbrenner.
b. Untuk mengetahui pendekatan ekologikal bagi anak dengan hambatan
emosi dan tingkah laku.
c. Untuk mengetahui penerapan pendidikan karakter dalam kajian teori
ekologi.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Teori Ekologi Bronfenbrenner


Teori ekologi perkembangan dari Bronfenbrener (1994) memberikan landasan
bagaimana mengkaji perkembangan anak, dalam hal ini adalah karakter anak dari
keluarga, masyarakat dan setting lingkungan dimana anak berkembang. Hubungan
timbal balik antara individu dengan lingkungan yang akan membentuk tingkah
laku individu tersebut. Teori ekologi ini memandang perkembangan anak dari tiga
sistem lingkungan yaitu mikrosistem, ekosistem, dan makrosistem.
a. Mikrosistem

Mikrosistem adalah sub sistem yang mempunyai interaksi langsung dengan


individu, yaitu terdiri dari keluarga individu, teman-teman sebaya, sekolah dan
lingkungan. Terjadi banyak interaksi secara langsung dengan agen sosial, yaitu
teman, guru, dan orang tua. Dalam mikrosistem orang tua dianggap menjadi agen
sosialisasi paling penting dalam kehidupan anak sehingga keluarga berpengaruh
besar dalam pembentukan karakter anak.

Karakteristik anak dan karakteristik lingkungan berdampak tidak langsung pada


perkembangan anak melalui proses interaktif dalam kurun waktu perkembangan
anak. Perkembangan anak ditentukan oleh pengalamannya dalam regulasi dengan
lingkungan mikrosistemnya. Pemberian kesempatan bergaul, sarana dan prasarana
bermain, kesempatan berkomunikasi dengan orang lain, serta kualitas dan
kuantitas hubungan antara orangtua dengan guru merupakan aspek dasar dalam
perkembangan anak (Bronfenbrenner & Morris, 1998).

Sub sistem dari mikrosistem itu saling berinteraksi, misalnya hubungan dengan
pengalaman sekolah, pengalaman sekolah dengan pengalaman keagamaan, dan
pengalaman keluarga dengan pengalaman teman sebaya, serta hubungan keluarga
dengan tetangga. Masalah yang terjadi dalam sebuah mikrosistem akan
berpengaruh pada mikrosistem yang lain. (Bronfenbrenner & Morris, 1998).
Sebagai contoh, keadaan di rumah dapat mempengaruhi perilaku anak di sekolah.
Jika di rumah anak mengalami permasalahan perilaku maka akan berdampak pada
masalah di sekolah.

b. Ekosistem

Ekosistem yaitu sistem sosial yang lebih besar, anak tersebut tidak terlibat
interaksi secara langsung. Akan tetapi sangat berpengaruh terhadap anak. Sub
sistemnya terdiri dari pengalaman-pengalaman dalam setting sosial lain di mana
anak tidak memiliki peran yang aktif tetapi mempengaruhi perkembangan
karakter anak. Sistem ini meliputi lingkungan tempat kerja orang tua, masalah
kinerja orangtua di tempat kerja berpengaruh pada pola komunikasi dengan
anak,kenalan saudara baik adik, kakak, dan yang lainnya, dan peraturan dari pihak
sekolah.

c. Makrosistem

Makrosistem, yaitu sistem terluar dari lingkungan anak. Sub sistemnya terdiri dari
ideologi, negara, pemerintah,tradisi, kebudayaan,agama, adat istiadat dan hukum
di mana individu berada. Hal ini terjadi karena kebudayaan mengacu pada pola
perilaku, keyakinan dan semua produk lain dari sekelompok manusia yang
diteruskan dari generasi ke generasi (Berk,2000). Prinsip-prinsip yang ada dalam
lapisan makrosistem akan berpengaruh pada keseluruhan interaksi semua lapisan.
Misalnya, jika kebudayaan menggariskan bahwa orangtua bertanggungjawab
membesarkan anak-anaknya, maka hal ini mempengaruhi struktur dimana
orangtua akan menjalankan fungsi psikoedukasinya.

2.2 Pendekatan Ekologikal bagi Anak dengan Hambatan Emosi dan Tingkah
Laku

Rhoides (dalam Mangunsong, 2009) menganjurkan pendekatan ekologi


dalam memaknai gangguan gangguan perilaku. Ia menggambarkan
ketidakstabilan emosi dan perilaku lebih merupakan suatu produk budaya,
masyarakat, dan lingkungan keluarga di mana “individu ada” sebagai “individu
hasil” dari lingkungan tersebut.
Pendekatan Ekologi ini menitikberatkan pada faktor-faktor dan tekanan-tekanan
dalam masyarakat. Usaha pada pendekatan ini difokuskan pada pengaruh interaksi
lingkungan terhadap anak, sehingga pendekatan ini menekankan usaha kolaborasi
antar keluarga, sekolah, teman, maupun lingkungan masyarakat.

Selain menentukan pendekatan yang digunakan untuk mendukung pembelajaran


siswa tunalaras, guru juga diharap untuk dapat mengatasi masalah-masalah
perilaku dan emosi siswa dengan latihan keterampilan tambahan maupun terapi-
terapi tambahan. J. David Smith (2006: 155-161), mencatat ada beberapa “latihan
dan terapi yang dapat dilakukan, yaitu: 1) keterampilan manajemen diri; 2)
penerapan analisis perilaku; 3) latihan keterampilan sosial; 4) partisipasi keluarga;
5) latihan perilaku kognisi; 6) kolaborasi teman sebaya”. Latihan-latihan dan
terapi tambahan tersebut dapat diuraikan dengan penjelasan selengkapnya sebagai
berikut:

1) Keterampilan Manajemen Diri (Self Management Skill)

Beberapa cara keterampilan manajemen diri yang dapat diterapkan oleh


guru pendamping khusus di kelas inklusi untuk anak-anak tunalaras misalnya:

a) Self monitoring (pemantauan diri), yaitu dengan mengajarkan siswa mencatat


“target perilaku” dari perilaku negatif yang akan diubah dan apa hasil-hasil positif
dari perubahan perilaku tersebut.

b) Self intervention (intervensi diri), yaitu menyadarkan siswa dengan


menganalisis dampak dari sikapnya terhadap orang lain dan diri sendiri.

c) Self instruction (Pengarahan Diri), yaitu latihan mengatasi masalah dengan cara
menganalisis, mulai dari mengenali masalah,menciptakan solusi, menganalisis
kecocokan dan dampak antara solusi dengan permasalahn, berusaha memecahkan
masalah dengan solusi yang telah didapat, dan menilai keefektifan solusi.

2) Penerapan Analisis Perilaku

Analisis perilaku adalah usaha-usaha untuk membantu pengembangan


strategi dengan mencatat daftar pertanyaan selama proses pembelajaran
berlangsung. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat berkisar mengenai seberapa
sering (frekuensi dan durasi) suatu sikap pada siswa terjadi, faktor apa yang
mengakibatkan munculnya sikap-sikap tersebut, dan pertanyaan-pertanyaan lain
yang berhubungan dengan aktivitas pembelajaran.

3) Latihan Keterampilan Sosial Program ini dapat berupa:

a) Peniruan (modeling)

b) Bermain peran (role-playing)

c) Umpan balik – unjuk kerja (performance feedback)

d) Mengalihkan keterampilan latihan (transfer of training)

4) Partisipasi Keluarga

Keluarga sangat berperan penting pada siswa tunalaras khususnya di kelas


inklusi. Hal tersebut dikarenakan jika keluarga turutberperan serta akan
menambah tingkat komunikasi dan informasi sehingga proses kerja tim dan
pembelajaran dapat ditindaklanjuti di rumah. Oleh karena itu guru diharapkan
dapat melakukan kerjasama atau kolaborasi dengan orangtua atau keluarga siswa.

5) Latihan Perilaku Kognisi (Cognitive Behavioral Training)

Pendekatan ini memberikan harapan besar bagi siswa tunalaras yang


memiliki keterbatasan kesadaran akan dampak sikap-sikap mereka dan
konsekwensi atas sikap-sikap tersebut. Pendekatan ini diharapkan dapat
meningkatkan interaksi sosial dan meningkatkan harga diri siswa.

6) Kolaborasi Teman Sebaya

Bentuk-bentuk terapi atau latihan akademis untuk anak tunalaras dapat


berupa kolaborasi dengan teman sebaya dapat berupa tutorial teman sebaya dan
atau perantara teman sebaya (peer mediation). Kolaborasi dengan teman sebaya
dapat menjadi suatu cara yang terbaik bagi siswa untuk saling melibatkan diri
secara utuh dalam meningkatkan kualitas akademis dan sosial.

2.3 Penerapan Pendidikan Karakter dalam Kajian Teori Ekologi.


1) Sub sistem keluarga
Pengembangan karakter anak dapat dilakukan melalui pendidikan karakter
yang terstruktur jelas. Musfiroh (2008) menyarankan dalam pengembangan
karakter anak sebaiknya memperhatikan isi pengajaran, proses pembelajaran,
kualitas hubungan, pelaksanaan aktivitas co-kurikuler dan etos seluruh lingkungan
sekolah. Jika konsep tersebut ditarik ke pendidikan informal dalam keluarga maka
pengembangan karakter anak perlu memperhatikan kualitas muatan pengasuhan
dan proses pengasuhan. Peran orangtua sebagai pendidik bagi anak-anaknya
merupakan keharusan, karena anak sangat membutuhkan : 1) mencintai dan
dicintai; 2) perlindungan hingga merasa aman; 3) bimbingan; 4) diakui; 5)
disiplin.Untuk itu orangtua harus memahami terlebih dahulu karakter dasar anak.
Dalam mewujudkan pendidikan karakter, tidak dapat dilakukan tanpa penanaman
nilai-nilai (Azra, 2002), karena nilai adalah motivasi dalam segala perbuatan dan
dalam pelaksanaannya nilai dijabarkan dalam bentuk kaidah atau norma.

Teori ekologi menjelaskan bahwa karaktersitik lingkungan keluarga akan


mempengaruhi perkembangan anak, karena karakteristik keluarga akan
menentukan gaya mendidik orangtua.

Keluarga yang menggunakan pola parenting permisif yang penuh kelalaian


(Permisive neglectfull parenting),disini orangtua tidak ikut campur dalam
kehidupan anaknya. Orangtua tidak pernah tahu keberadaan anaknya dan tidak
memiliki kecakapan sosial, padahal anak membutuhkan perhatian orangtua ketika
mereka melakukan sesuatu. Orangtua tidak memonitor perilaku anaknya ataupun
mendukung ketertarikan mereka, karena orangtua sibuk dengan masalahnya
sendiri dan cenderung meninggalkan tanggung jawabnya sebagai orang tua.

2) Sub sistem teman sebaya

Teman sebaya merupakan bagian dari mikrosistem, sehingga bisa


berinteraksi langsung dengan anak. Peran teman sebaya melalui interaksi sosial
tampaknya perlu diperhatikan juga. Pada masa kanak-kanak akhir, anak akan
lebih mengikuti standar-standar atau norma-norma teman sebaya daripada norma
di rumah maupun di sekolah. Norma-norma tersebut merupakan hasil kesepakatan
bersama antara sesama anggota kelompok (Santrock, 2002). Akibatnya kekuatan
kelompok sebaya dapat membentuk karakter anak.
Hasil penelitian Sussman et.al (2003) menemukan bahwa afiliasi dengan
teman sebaya berkaitan dengan pembentukan perilaku yang beresiko, sehingga
dapat mengganggu kesehatan mental anak. Limber (2002) juga mengatakan
bahwa afiliasi dengan teman sebaya ini dapat menjadi awal terbentuknya perilaku
bermasalah pada anak, artinya karakter kurang baik bisa terbentuk.

3) Sub sistem budaya sekolah

Pendidikan karakter anak tidak bisa dilakukan secara parsial dan sebatas
pada ranah kognitif saja. Mata pelajaran budi pekerti dianggap bisa mengajarkan
nilai-nilai dan karakter dalam kehidupan bermasyarakat agar siswa memiliki
akhlak yang terpuji dan berbudi luhur yang sesuai dengan aspek budaya di
sekolah. Namun, internalisasi karakter tentunya tidak hanya melalui proses
pembelajaran. Internalisasi karakter dapat ditumbuhkan melalui atmosfir sekolah
yaitu budaya sekolah.

Waller (Peterson & Terrence, 2009) menyatakan bahwa setiap sekolah


mempunyai budaya sendiri, yang berupa serangkaian nilai, norma, aturan moral,
dan kebiasaan yang telah membentuk perilaku dan hubungan-hubungan yang
terjadi di dalamnya. Budaya sekolah adalah nilai-nilai dominan yang didukung
oleh sekolah atau falsafah yang menuntun kebijakan sekolah terhadap semua
unsur dan komponen sekolah termasuk stakeholders pendidikan, seperti cara
melaksanakan pekerjaan di sekolah serta asumsi atau kepercayaan dasar yang
dianut oleh personil sekolah. Pada awalnya budaya sekolah dibentuk dalam
jaringan yang sifatnya formal. Dalam perkembangannya, secara perlahan budaya
sekolah ini akan diinternalisasi dan menjadi ciri khas sekolah tersebut. Dalam hal
ini diperlukan peran serta guru, kepala sekolah dan staf.

Budaya damai di sekolah inilah yang diharapkan dapat menginternalisasi


karakter bagi siswa. Internalisasi karakter dalam budaya sekolah dapat dilakukan
melalui struktur organisasi, kurikulum, behavior (perilaku) yaitu kegiatan belajar
mengajar, upacara, prosedur, peraturan dan tata tertib, visi, misi serta nilai-nilai.
Dalam kajian ekologi perkembangan budaya sekolah merupakan sub
sistem yang memberi kesempatan anak belajar memahami nilai dan aturan,
mewujudkannya dalam bentuk karakter yang baik.

4) Sub sistem budaya lingkungan

Hasil penelitian Ruyadi (2010) menunjukkan bahwa pendidikan karakter


akan efektif jika dilaksanakan dengan berbasis budaya lokal dimana anak berada.
Hasil penelitian ini didasarkan pada teori sosialisasi yang mengatakan bahwa
sosialisasi ini bersifat timbal balik dengan saling menukar informasi dan energi
yang diberi nama hierarki sibernetis. Dalam hal ini proses pewarisan budaya
termasuk didalamnya karakter bangsa dilakukan dengan tahap: institusionalisasi,
sosialisasi, internalisasi dan kontrol yang berlangsung dalam suatu sistem. Hasil
penelitian ini didukung oleh pendapat Sumaatmadja (2002) yang menyatakan
terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dengan kebudayaan, karena
pendidikan merupakan akulturasi atau pembudayaan. Tanpa proses pendidikan
kebudayaan tidak akan berkembang, dalam arti pendidikan merupakan
transformasi sistem sosial budaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Dalam kajian teori ekologi perkembangan, budaya masyarakat merupakan bagian
dari makrosistem yang tidak secara langsung berinteraksi dengan anak sebagai
pusat kajian, tetapi anak mendapatkan warisan budaya itu dari generasi
sebelumnya dan menginternalisasi nilai-nilai yang berlaku sehingga menjadi
bagian dari kehidupannya.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungan yang akan


membentuk tingkah laku individu tersebut. Teori ekologi ini memandang
perkembangan anak dari tiga sistem lingkungan yaitu mikrosistem, ekosistem, dan
makrosistem. Ekologi merupakan satu kajian ilmiah yang bertujuan untuk
memahami interaksi yang dinamis dan kompleks antara individu dan berbagai
aspek lingkungannya. Ada beberapa latihan dan terapi yang dapat dilakukan untuk
anak dengan hambatan emosi dan tingkah laku yaitu: 1) keterampilan manajemen
diri; 2) penerapan analisis perilaku; 3) latihan keterampilan sosial; 4) partisipasi
keluarga; 5) latihan perilaku kognisi; 6) kolaborasi teman sebaya”.

3.2 Saran

Ketidakstabilan emosi dan perilaku lebih merupakan suatu produk budaya,


masyarakat, dan lingkungan keluarga di mana “individu ada” sebagai “individu
hasil” dari lingkungan tersebut. Maka sebaiknya sistem-sistem tersebut dapat
memberikan kontribusi pada terbentuknya karakter anak dengan hambatan emosi
dan tingkah laku terutama sub sistem dari orangtua/keluarga karena merupakan
dasar dari pembentukan karakter anak.
Daftar Pustaka

_____, ___, Pelaksanaan pembelajaran bagi anak tunalaras di SD Inklusi


Bangunrejo II Yogyakarta. , [Online], eprints.uny.ac.id (diakses tanggal 17
April 2020)

Roihah, Al Iftitahu Haffatir. Efektifitas pelatihan incredible mom terhadap


peningkatan sikap penerimaan orangtua dengan kondisi anak
berkebutuhan khusus. Diss. Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim, 2015.

Na’imah, T. (2012). Pendidikan Karakter (Kajian Dari Teori Ekologi


Perkembangan).

Bronfenbrenner dan Morris, The ecology of development processes. In W.


Damon(Series Ed) & R.M. Lerner (Vol. Ed), Handbook of Child
Psychology: Vol. 1: Theoretical Models of Human Development, (New
York: Wiley, 1998), hlm. 234

Bronfenbrenner dan Ceci, “Nature-Nurture Reconceptualized in Development


Perspective; A Bioecological Model”. Psycoligical review IOJ (4), hlm.
568-686.

Santrock, Adolescence, terjemahan: Adelar dan Saragih, (Jakarta: Erlangga,


2003), hlm. 330

Anda mungkin juga menyukai