Anda di halaman 1dari 6

PENGARUH PENCERNAAN DAN METABOLISME KALSIUM TERHADAP

KEJADIAN OSTEOPOROSIS PADA LANSIA

Effect Of Calcium Digestion And Metabolism On


Osteoporosis In Elderly

Madinatul Munawwaroh1*

1) S-2 Ilmu Gizi, Human Nutrition Universitas Sebelas Maret Surakarta


Jl. Ir. Sutami No. 36A Jebres, Surakarta, Jawa Tengah
*Email: madinatul_munawwaroh@student.uns.ac.id

ABSTRAK

Berdasarkan data Perhimpunan Osteoporosis Indonesia (2007), penderita


osteoporosis pada penduduk usia lebih dari 50 tahun pada perempuan sebesar 32,3% dan
pada laki-laki sebesar 28,8%. Asupan kalsium yang rendah akan berisiko dengan rendahnya
massa tulang dan tingginya tingkat kejadian patah tulang. Seiring bertambahnya usia, tubuh
akan menjadi kurang efisien dalam menyerap kalsium dan zat gizi lainnya. Penelitian ini
dilakukan untuk menjawab bagaimana mekanisme penurunan fungsi pencernaan dan
metabolisme kalsium dapat menyebabkan osteoporosis pada lansia. Data dikumpulkan dari
database elektronik (PubMed, Google Scholar, National Institutes of Health, dan InfoPusdatin
Kemenkes RI). Osteoporosis, adalah penyakit yang ditandai dengan massa tulang yang
rendah dan kemunduran struktural jaringan tulang yang menyebabkan kerapuhan tulang.
Osteoporosis terjadi sebagai akibat penuaan pada tulang. Khusus untuk orang yang sangat
tua, risiko penipisan tulang kortikal dan risiko patah tulang lebih besar. Berdasarkan
penelitian Marjan (2013), tingkat kecukupan energi dan protein yang kurang, serta kurangnya
aktifitas fisik berpeluang menurunkan kejadian osteoporosis.

Kata kunci: Kalsium, Lansia, Osteoporosis

ABSTRACT

Based on data from the Indonesian Osteoporosis Association (2007), osteoporosis


sufferers in the population over the age of 50 years are 32.3% in women and 28.8% in men.
Low calcium intake will be at risk with low bone mass and high rates of fracture. As we get
older, the body will become less efficient at absorbing calcium and other nutrients. This
research was conducted to answer how the mechanism of decreased digestive function and
calcium metabolism can cause osteoporosis in the elderly. Data was collected from an
electronic database (PubMed, Google Scholar, National Institutes of Health, and
InfoPusdatin Ministry of Health RI). Osteoporosis, is a disease characterized by low bone
mass and structural deterioration of bone tissue that causes bone fragility. Osteoporosis
occurs as a result of aging in the bones. Especially for very old people, the risk of cortical
bone thinning and the risk of fracture is greater. Based on Marjan's (2013) research,
insufficient levels of energy and protein, as well as lack of physical activity are likely to
reduce the incidence of osteoporosis.

Keywords: Calcium, Elderly, Osteoporosis


PENDAHULUAN

Osteoporosis masih menduduki penyakit yang paling banyak diderita di dunia,


berdasarkan prevalensi di seluruh dunia ada 200 juta orang yang menderita osteoporosis,
penyakit ini bahkan disebut dengan silent disease karena tidak adanya gejala kekurangan
massa tulang sampai penderitanya mengalami jatuh atau kecelakaan lain yang
menyebabkan tulangnya patah.
Kejadian osteoporosis banyak terjadi pada lansia terutama lansia perempuan, hal ini
dikarenakan hilangnya hormon estrogen setelah perempuan mengalami menopause.
Berdasarkan data International Osteoporosis Foundation (IOF), 1 dari 10 perempuan berusia
60 tahun, 1 dari 5 perempuan berusia 70 tahun, 2 dari 5 perempuan berusia 80 tahun, dan 2
dari 3 perempuan berusia 90 tahun berisiko mengalami osteoporosis. Dari data yang sama,
diperkirakan pada tahun 2050 insiden patah tulang pinggul akibat osteoporosis akan
meningkat sebesar 310% pada laki-laki dan 240% pada perempuan dibandingkan rata-rata
di tahun 1990.
Berdasarkan data Perhimpunan Osteoporosis Indonesia tahun 2007, proporsi penderita
osteoporosis pada penduduk usia lebih dari 50 tahun pada perempuan sebesar 32,3% dan
pada laki-laki sebesar 28,8%.
National Institutes of Health Osteoporosis and Related Bone Diseases (2018),
menyebutkan asupan kalsium yang tidak adekuat dapat berkontribusi pada kejadian
osteoporosis. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa asupan kalsium yang rendah
akan berisiko dengan rendahnya massa tulang dan tingginya tingkat kejadian patah tulang.
Kebutuhan kalsium akan berubah selama hidup seseorang. Kebutuhan tubuh akan
kalsium lebih besar selama masa anak-anak dan remaja (ketika tulang tumbuh dengan
cepat), dan selama masa kehamilan serta menyusui. Perempuan pasca menopause dan
lansia laki-laki juga perlu mengonsumsi lebih banyak kalsium. Selain itu, seiring
bertambahnya usia, tubuh akan menjadi kurang efisien dalam menyerap kalsium dan zat gizi
lainnya. Orang lansia juga cenderung memiliki masalah medis kronis dan menggunakan
obat-obatan yang dapat mengganggu penyerapan kalsium (National Institutes of Health
Osteoporosis and Related Bone Diseases, 2018).
Selain itu, lansia juga mengalami penurunan fungsi organ dan metabolisme, karenanya
lansia memiliki risiko lebih besar mengalami osteoporosis. Penelitian ini dilakukan untuk
menjawab bagaimana mekanisme penurunan fungsi pencernaan dan metabolisme kalsium
dapat menyebabkan osteoporosis pada lansia.

METODE

Data dikumpulkan dari database elektronik (PubMed, Google Scholar, National


Institutes of Health, dan InfoPusdatin Kemenkes RI). Strategi pencarian dengan kata kunci
‘Osteoporosis’, ‘Osteoporosis Prevalence’, ‘Calcium Metabolism’, ‘Calcium Absorption’, dan
‘Effects of Aging in Digestion System’. Pencarian lalu dipersempit dengan penelitian meta-
analysis, comparative study, dan systematic reviews. Hasil pencarian dianalisis dan diolah
menggunakan WPS Office 2019 di Windows 10. Similarity check menggunakan aplikasi
Turnitin. Batasan untuk penelitian terkait yang dijadikan rujukan adalah 10 tahun ke
belakang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pencarian ini menghasilkan analisis dari 12 laporan yang disajikan sebagai berikut.

1. Osteoporosis
Osteoporosis, atau tulang keropos, adalah penyakit yang ditandai dengan massa
tulang yang rendah dan kemunduran struktural jaringan tulang yang menyebabkan
kerapuhan tulang. Osteoporosis juga bisa menyebabkan peningkatan risiko patah tulang
pinggul, tulang belakang, dan pergelangan tangan. Baik laki-laki maupun perempuan dapat
berisiko mengalami osteoporosis meskipun penyakit ini dapat dicegah dan diobati. Di
Amerika Serikat, lebih dari 53 juta orang sudah menderita osteoporosis atau memiliki risiko
tinggi karena massa tulang yang rendah (National Institutes of Health Osteoporosis and
Related Bone Diseases, 2018).
Jaringan tulang akan terus-menerus hilang oleh resorpsi lalu dibangun kembali,
tulang yang keropos terjadi jika laju resorpsi lebih dari laju pembentukan kembali.
Perkembangan massa tulang akan mencapai puncaknya pada masa pubertas, selanjutnya
massa tulang akan berkurang. Pembentukan kembali massa tulang sangat ditentukan oleh
faktor genetik, kesehatan selama pertumbuhan, nutrisi, status endokrin, jenis kelamin, dan
aktivitas fisik. Menopause dan usia lanjut menyebabkan ketidakseimbangan antara laju
resorpsi dan laju pembentukan kembali (resorpsi menjadi lebih tinggi), sehingga
meningkatkan risiko patah tulang (Sozen, 2016).

2. Kalsium
Kalsium adalah zat gizi yang paling melimpah di tubuh manusia. Lebih dari 99% (1,2-
1,4 kg) kalsium disimpan di tulang dan gigi. Kurang dari 1% ditemukan dalam cairan
ekstraseluler. Ketika orang dewasa mengkonsumsi kalsium sebagai makanan atau
suplemen, tingkat penyerapannya rata-rata adalah sekitar 30%, namun hal ini bisa sangat
bervariasi karena beberapa faktor, misalnya saja dalam kehamilan ketika lebih banyak
kalsium dibutuhkan untuk janin yang tumbuh, laju penyerapan kalsium akan meningkat
(National Institute of Health US, 2013).
Kalsium diperlukan untuk pembangunan tulang, kalsium akan membentuk bagian dari
zat yang menyatukan dinding sel yang berdekatan. Selain itu kalsium sangat penting dalam
respons terhadap rangsangan otot dan sel saraf. Sumber utama kalsium adalah susu dan
produk susu, daging, dan sayuran yang mengandung fitat (asam fitat) dan garam oksalat
(Encyclopaedia Britannica, 2018).
Kalsium digunakan di seluruh tubuh dalam jumlah kecil. Penelitian telah
mengkonfirmasi bahwa kalsium dibutuhkan dalam pembuluh darah kontraksi, vasodilatasi,
fungsi otot, transmisi saraf, sinyal intraseluler, dan sekresi hormon. Fungsi kalsium ini dapat
berbeda antar organ, tetapi sebagai satu kesatuan sistem dalam tubuh manusia, kalsium
memiliki peranan penting. Setiap perubahan serum kalsium dalam tubuh akan
mempengaruhi satu atau lebih dari fungsi organ-organ tersebut. Misalnya, penderita penyakit
hipokalsemia akan memiliki risiko kejang karena ada hubungannya dengan transmisi saraf
dan sinyal intraseluler (National Institute of Health US, 2013).

3. Pencernaan dan Metabolisme Kalsium


Kalsium sangat penting karena merupakan mineral terbanyak dalam tubuh dan
diperlukan pada sebagian besar proses biologis. Kurang lebih 99% terdapat pada tulang
rangka dan gigi dalam bentuk kristal hydroxyapatite. Sisanya (1%) dalam bentuk ion pada
cairan intraseluler dan ekstraseluler, terikat dengan protein dan membentuk kompleks
dengan ion organik, seperti sitrat, fosfat dan bikarbonat. Konsentrasi normal total kalsium
dalam plasma adalah 2,4-2,5 mM sedangkan konsentrasi ion kalsium bebas berkisar antara
1.25-1.3 mM. Homeostasis kalsium yang efektif penting dalam banyak proses biologis,
termasuk metabolisme tulang, proliferasi sel, koagulasi darah, hormonal signalling
transduction dan fungsi neuromuscular.
Keseimbangan kalsium dipertahankan oleh 3 organ utama, yaitu: sistem
gastrointestinal, tulang, dan ginjal. Sistem gastrointestinal menjaga homeostasis kalsium
dengan mengatur absorpsi kalsium melalui sel-sel gastrointestinal. Jumlah absorpsi
tergantung dari asupan, usia manusia, hormone vitamin D, kebutuhan tubuh akan kalsium,
diet tinggi protein dan karbohidrat serta derajat keasaman yang tinggi (pH rendah). Asupan
kalsium tidak boleh melebihi 2500 mg/hari. Manusia dewasa mengkonsumsi kalsium sekitar
500-1200 mg sehari.
Absorpsi kalsium bervariasi, antara 10-60% dan pada manusia kurang lebih 175
mg/hari. Jumlah ini menurun seiring dengan peningkatan usia dan meningkat ketika
kebutuhan akan kalsium meningkat sementara asupan sedikit. Usus hanya mampu
menyerap 500-600 mg kalsium sehingga pemberian kalsium harus dibagi dengan jarak 5-6
jam. Absorpsi terjadi dalam usus halus melalui mekanisme yang terutama dikontrol oleh
calcitropic harmones (1,25-dihydroxycholecalciferol vitamin D3 (1,25- (OH) 2D3) dan
parathyroid hormone (PTH).
Untuk mempertahankan keseimbangan kalsium, ginjal harus mengeksresikan kalsium
dalam jumlah yang sama dengan kalsium yang diabsorpsi dalam usus halus. Tulang tidak
hanya berfungsi sebagai penopang tubuh namun juga menyediakan sistem pertukaran
kalsium untuk menyesuaikan kadar kalsium dalam plasma dan cairan ekstraseluler. Kurang
lebih 90% kalsium yang masuk akan dikeluarkan melalui feses dan sebagian kecil melalui
urin,sekitar 200 mg/hari untuk mempertahankan kadar normal dalam tubuh. Metabolisme
kalsium dan tulang berkaitan erat satu sama lain dan terintegrasi. Defisiensi kalsium pada
lansia, yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D dan peningkatan PTH, mengakibatkan
tulang akan melepaskan kalsium (resorpsi tulang meningkat) untuk dapat mengembalikan
kalsium serum kembali normal (Muliani, 2012).

4. Mekanisme Penurunan Fungsi Pencernaan dan Metabolisme Kalsium yang Dapat


Menyebabkan Osteoporosis pada Lansia
Komposisi mineral tulang berubah seiring bertambahnya usia. Matriks tulang dan
kerangka sel menjadi lebih lemah dan lebih tipis. Dengan bertambahnya usia, keseimbangan
negatif dalam remodeling tulang menghasilkan penurunan massa tulang dan perubahan
dalam struktur tulang. Jumlah kalsium yang diserap oleh osteoklas tidak sepenuhnya
dipulihkan oleh osteoblas, ketidakseimbangan ini lalu menyebabkan keropos tulang.
Hilangnya massa tulang pada lansia dikaitkan dengan peningkatan prevalensi osteoblas,
osteosit apoptosis, penurunan jumlah osteoblas, dan penurunan laju pembentukan tulang
(Almeida, 2012).
Beberapa penelitian telah melaporkan banyak variasi dalam bentuk osteosit dan
hubungannya dengan penuaan. Osteosit dianggap sebagai sel yang bertanggung jawab
untuk merasakan sinyal mekanik pada tulang dan mengatur aktivitas osteoblas dan
osteoklas (Hemmatian et al., 2017).
Osteoporosis terjadi sebagai akibat penuaan pada tulang. Sebagian besar massa
tulang dalam tubuh manusia adalah tulang kortikal. Khusus untuk orang yang sangat tua,
risiko penipisan tulang kortikal dan risiko patah tulang lebih besar.
Tulang adalah jaringan dengan pergantian metabolisme aktif terus-menerus yang
terkait dengan remodelingnya. Peningkatan resorpsi tulang menyebabkan penurunan awal
kepadatan mineral tulang. Dengan bertambahnya usia juga ada pengurangan yang signifikan
dalam pembentukan tulang.
Seiring bertambahnya usia seseorang, terutama setelah melewati usia 70, ada
penurunan fungsi ginjal dengan penurunan penyerapan dan kemampuan untuk mensintesis
vitamin D. Penurunan konsentrasi vitamin D menghalangi jumlah kalsium yang dapat
diserap. Penurunan kadar kalsium memicu hormon paratiroid untuk mengirim sinyal ke tubuh
untuk menyerap kembali tulang untuk mengimbangi kekurangan kalsium dalam tubuh.
Semua ini menghasilkan pengikisan bertahap struktur tulang dengan peningkatan risiko
patah tulang (Demontiero et al., 2012).
Selain itu, orang lanjut usia sering mengalami kerusakan sendi akibat penyakit
degeneratif yang membatasi mobilitas mereka, kemampuan berjalan yang berkurang akan
memperpanjang masa imobilitas, hal ini merupakan faktor risiko signifikan untuk terjadinya
osteoporosis.

5. Pengaruh Diet dan Aktivitas Fisik terhadap Kejadian Osteoporosis pada Lansia
Berdasarkan penelitian Marjan (2013), tingkat kecukupan energi yang lebih berpeluang
menurunkan kejadian osteoporosis dibandingkan dengan tingkat kecukupan energi yang
normal. Penelitian tersebut juga menunjukkan hasil bahwa tingkat kecukupan protein yang
kurang dapat menjadi faktor risiko terhadap kejadian osteoporosis dibandingkan dengan
tingkat kecukupan protein yang normal.
Selain itu, penelitian tersebut juga menyimpulkan bahwa subjek yang memiliki tingkat
aktivitas fisik dalam kategori kurang berpeluang mengalami osteoporosis 8 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan subjek yang memiliki tingkat aktivitas fisik yang sedang, maka tingkat
aktivitas fisik yang kurang merupakan faktor risiko atau penyebab terjadinya osteoporosis.

SIMPULAN

Osteoporosis, atau tulang keropos, adalah penyakit yang ditandai dengan massa
tulang yang rendah dan kemunduran struktural jaringan tulang yang menyebabkan
kerapuhan tulang. Homeostasis kalsium yang efektif penting dalam banyak proses biologis,
termasuk metabolisme tulang, proliferasi sel, koagulasi darah, hormonal signalling
transduction dan fungsi neuromuscular. Osteoporosis terjadi sebagai akibat penuaan pada
tulang. Sebagian besar massa tulang dalam tubuh manusia adalah tulang kortikal. Khusus
untuk orang yang sangat tua, risiko penipisan tulang kortikal dan risiko patah tulang lebih
besar. Berdasarkan penelitian Marjan (2013), tingkat kecukupan energi dan protein yang
kurang, serta kurangnya aktifitas fisik berpeluang meningkatkan kejadian osteoporosis.

DAFTAR PUSTAKA

Almeida, M. 2012. Aging mechanisms in bone. Bonekey Rep. 1, 102


Avliya Quratul Marjan dan Sri Anna Marliyati. 2013. Hubungan Antara Pola Konsumsi
Pangan Dan Aktivitas Fisik Dengan Kejadian Osteoporosis Pada Lansia Di Panti
Werdha Bogor. Jurnal Gizi dan Pangan. Juli 2013, 8(2): 123-128
Demontiero, O., Vidal, C., Duque, G. (2012) Aging and bone loss: new insights for the
clinician. Ther. Adv. Musculoskelet. Dis. 4, 61-76.
Encyclopaedia Britannica. 2018. Human Digestive System.
https://www.britannica.com/science/human-digestive-system/Calcium. Tanggal akses:
21/11/2019
Gahyaatri Devwi A/P Sabapathy. 2016. Pola Asupan Kalsium pada Mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/55653. Tanggal akses: 21/11/2019
Hemmatian, H. I., Bakker, A. D., Klein, N., van Lenthe, G. H. 2017. Aging, osteocytes, and
mechanotransduction. Curr. Osteoporos. Rep. 15, 401-411.
International Osteoporosis Foundation. 2013. Facts and Statistics.
https://www.iofbonehealth.org/facts-statistics. Tanggal akses: 21/11/2019
Kementerian Kesehatan RI. 2015. Infodatin: Data dan Kondisi Penyakit Osteoporosis di
Indonesia
Muliani, 2012. Olahraga meningkatkan mekanisme absorpsi kalsium. Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Bandung.
http://ojs.unud.ac.id/index.php/medicina/article/download/5059/3845. Tanggal akses:
1/12/2019
National Institutes of Health (US). 2013. Dietary supplement fact sheet: calcium. Bethesda
(MD): National Institutes of Health.
http://ods.od.nih.gov/factsheets/Calcium/HealthProfessional/. Tanggal akses:
21/11/2019
Sözen, T., Özışık, L., & Başaran, N. Ç. (2017). An overview and management of
osteoporosis. European journal of rheumatology, 4(1), 46–56.
doi:10.5152/eurjrheum.2016.048
US Food and Drug Administration. 2018. Osteoporosis Overview.
https://www.bones.nih.gov/health-info/bone/osteoporosis/overview#Prevention.
Tanggal akses: 21/11/2019

Anda mungkin juga menyukai