Anda di halaman 1dari 8

Materi 2 Ushul Fiqh

Bismillahirrahmanirrahim

Di materi kedua ini, kita in syaa Allah akan bahas mengenai


hukum-hukum yang sebenernya sangat akrab di telinga kita.
sering sekali kita dengar bahkan kita ucapkan.

Nah, dalam ilmu ushul fiqh ini, hukum merupakan satu hal yang
dibahas di dalamnya. Kita mulai dari pengertiannya ya.

Hukum

Bahasa Istilah

Secara bahasa, hukum adalah keputusan/ketetapan.


Sementara menurut istilah:

“ Apa-apa yang telah ditetapkan di


dalam Al Quran dan As Sunnah kepada
mukallaf, meliputi tuntutan, pilihan atau
peletakan.

But wait, apa sih mukallaf itu?


Mukallaf adalah orang yang diberikan beban atau tanggungan
mengerjakan syariat. Seseorang yang muslim, berakal dan sudah
baligh.

So, kalau ada orang yang makan babi misalkan, jika dia bukan
orang Islam, kita gak usah komen, “Eh itu haram tau!”

Itu karena mereka yang bukan muslim tidak termasuk mukallaf,


jadi larangan makan babi itu gak berlaku buat mereka. Bisa
dipahami? Mudah-mudahan bisa ya. Hehe.

Kriteria mukallaf lainnya adalah berakal. Meskipun orang itu


muslim, tapi gak berakal –mohon maaf, gila misalkan- maka
hukum-hukum syariat jadi gak berlaku buat dia. Dia udah bebas
tanggungan dari hukum. Jangankan hukum syariat, hukum negara
aja kan gak bisa menjerat orang gila. Lah wong dia gila.

Kemudian yang terakhir, mukallaf itu baru dinyatakan kepada


orang-orang yang sudah baligh. Kalo ada muslim, berakal, udah
baligh gak mau shalat, ini musibah besar, sahabat muslim.

Lantas, mengapa Nabi memberikan pesan agar kita menyuruh


anak-anak kita yang sudah berusia 7 tahun untuk shalat?

Di usia itulah manusia sudah dalam masa usia tamyiz, sudah bisa
bedakan mana yang baik dan buruk. Mana yang benar dan mana
yang salah. Dengan menyuruh anak shalat sejak usia 7 tahun, ini
jadi pembiasaan buat mereka. Dan shalat mereka dinilai sah jika
memenuhi rukun dan syarat sahnya.
Apa yang dimaksud dengan tuntutan?
Apa-apa yang berupa perintah atau larangan. Nantinya meliputi
perintah/larangan yang merupakan keharusan (wajib) atau hanya
sekadar anjuran yang diutamakan.

Apa yang dimaksud dengan pilihan?


Ini bakal terkait dengan hukum mubah (boleh). Boleh dilakukan,
boleh juga tidak.

Apa yang dimaksud dengan peletakan?


Ini terkait hukum yang nantinya dinilai sah, rusak (faskh) atau
batal.
***

Kita masuk ke pembagian hukum syariat yuk!

Hukum Syariat

Takflifiyyah Wadh’iyyah

Waduh, apa lagi tuh?


Stay cool aja. Kita coba kupas pelan-pelan. Istilah ini mungkin
terasa asing, tapi sebenarnya turunan dari istilah-istilah ini akrab
banget buat kita.
Wajib

Mandub

Takflifiyyah Haram
(Pembebanan)
Makruh

Mubah

Tuh, kan. Sebenarnya istilah yang terasa asing itu adalah yang
seringkali kita ucapkan dalam keseharian. Hukum taklifiyah ini
meliputi 5 hukum; wajib, mandub, haram, makruh, sunnah.

Kudu, mesti, harus dilakukan. Gak bisa gak. Jika dikerjakan, dapet
pahala. Gak dikerjakan, siap-siap dapat siksa.
Istilah lainnya: fardhu, faridhah, hatman, lazim

Perintah yang tidak wajib dilakukan. Dikerjakan dapet pahala, gak


dikerjakan gak dapat siksa. Tapi rugi banget kalo ninggalin ibadah-
ibadah mandub lho. Karena di zaman Rasulullah, kalo para sahabat
ngeliat Nabi ibadah, itu langsung dikerjakan juga sama para sahabat
radhiyallahu ‘anhum. Gak nanya, “Maaf ya Rasul, ini wajib apa
mandub ya?”

Istilah mandub ini banyak nama lainnya. Kita orang Indonesia lebih
banyak memilih kata “sunnah”.
Istilah lainnya: nafal, masnuun, dan mustahab.

Sesuatu yang wajib, kudu, mesti, harus ditinggalkan.


Ditinggalkan bakal dapet pahala, dan kalo dikerjakan dapet siksa.
Istilah lainnya: mahdzur, mamnu’

Secara bahasa artinya dibenci, dimurkai.


Sesuatu larangan yang tidak wajib ditinggalkan. Kalo ditinggalkan
dapet pahala, dan kalo tidak ditinggalkan tidak dapat siksa.

Sesuatu yang dibolehkan. Tidak termasuk ke dalam wajib, mandub,


haram dan makruh.
Istilah lainnya: halal, jaiz

Mubah ini sebenernya adalah hukum asal segala sesuatu.


Walah gimana nih maksudnya?
Gini, sahabat muslim ...
Apa-apa yang tidak ada dalil yang terkait dengan wajib, mandub,
haram, dan makruh, maka hukumnya adalah mubah alias boleh.
Contoh:
Case 1: Makan jeruk.
Adakah dalil mewajibkan makan jeruk? Gak ada.
Adakah dalil disunnahkan makan jeruk? Gak ada.
Adakah dalil mengharamkan makan jeruk? Gak ada.
Adakah dalil dimakruhkannya makan jeruk? Gak ada.
Yes, berarti makan jeruk mubah.

Case 2: Maka babi.


Adakah dalil mewajibkan makan babi? Gak ada.
Adakah dalil disunnahkan makan babi? Gak ada.
Adakah dalil mengharamkan makan babi? Ada!

Dalil:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah ....” (QS. Al
Maidah: 3)

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,


daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah.” (QS. Al Baqarah: 173)

“Katakanlah: tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan


kepadaku, sesuatu yang diharamkan memakannya bagi yang ingin
memakannya, kecuali bangkai, darah mengalir, daging babi,
karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih
atas nama selain Allah.” (QS. Al An’aam: 145)
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan)
bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan
menyebut nama selain Allah;” (QS. An Nahl: 115)
***
Sehingga hukum makan daging babi adalah HARAM.

Jika saja Allah tidak menurunkan dalil-dalil yang melarang kita


makan daging babi, maka hukumnya adalah hukum asal, yaitu
mubah. Tapi karena ada dalil larangan untuk memakannya, berubah
statusnya menjadi haram.

Mudah-mudahan bisa dipahami dengan sempurna. Allahumma


aamiin.

Wallahu a’lam bishawab.

Anda mungkin juga menyukai