Kebijakan Dividen
Argumentasi pendapat ini adalah bahwa harga saham dipengaruhi oleh dividen
yang dibayarkan. Apabila n = ∞, maka harga saham (P o) bisa dirumuskan
sebagai berikut:
Dt
Po (1 k
t 1 o)
t ...(8.1)
Juga tidak benar kalau perusahaan harus membagikan semua laba sebagai
dividen, hanya karena perusahaan harus membagikan dividen sebesar-besarnya.
Laba dibenarkan untuk ditahan, kalau dana tersebut bisa diinvestasikan dan
menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih besar dari biaya modalnya
(penginvestasian tersebut berarti memberikan NPV yang positif). Untuk itu
perhatikan penjelasan berikut ini.
Dt
Po (1 r )
t 1
t ...(8.2)
D1 (1 R ) D 2 Dt
Po 0
(1 r ) 2
(1 r)
t 3
t
...(8.3)
Selisihkan persamaan (8.3) dengan (8.2), maka kita akan memperoleh,
1 D1 (1 R ) D1
Po Po ...(8.4)
(1 r ) 2
(1 r )
Apabila Po – Po kita beri notasi ▲P, maka persamaan (8.4) bisa disederhanakan
menjadi
D1 (1 R )
P 1
(1 r ) (1 r )
D1 1 R 1 r
P
(1 r ) (1 r )
D1
P (R r ) ...(8.5)
(1 r ) 2
Apabila perubahan pembayaran dividen tersebut bisa meningkatkan harga
saham, maka Po1 > Po atau ▲P positif. Apabila diinginkan ▲P positif, maka pada
sisi kanan persamaan tersebut nilai R harus lebih besar dari r. Karena R
menunjukkan tingkat keuntungan penginvestasian kembali dari dividen, dan r
menunjukkan biaya modal, maka persamaan (1.4) tersebut menunjukkan bahwa
dividen boleh saja tidak dibagikan (ingat bahwa dividen pada tahun ke-1 sama
dengan nol), asal bisa diinvestasikan dan menghasilkan tingkat keuntungan
yang lebih besar dari biaya modalnya.
Mereka yang menganut pendapat ini mengatakan bahwa perusahaan bisa saja
membagikan dividen yang banyak ataupun sedikit, asalkan dimungkinkan
menutup kekurangan dana dari sumber ekstem. Jadi yang penting adalah
apakah investasi yang tersedia diharapkan akan memberikan NPV yang positif,
tidak peduli apakah dana yang dipergunakan untuk membiayai berasal dari
dalam perusahaan (menahan laba) ataukah dari luar perusahaan (menerbitkan
saham baru). Dampak pilihan keputusan tersebut sama saja bagi kekayaan
pemodal, atau keputusan dividen adalah tidak relevan (the irrelevant of dividend).
Untuk memperjelas uraian perhatikan contoh berikut ini.
Apabila terdapat 1.000.000 lembar saham PT Astuti, maka setiap lembar saham
harganya adalah Rp8.050. Misalkan pada tanggal tersebut tersedia suatu
Tabel 8.2. Neraca PT Astuti, setelah mengambil investasi dengan NPV Rp200 juta
Kas 50 Modal sendiri 8.250
PV investasi 1.200
Aktiva lain 7.000
Total 8.050 Total 8.250
Saldo kas turun menjadi Rp50 juta karena sejumlah Rpl.000 juta diinvestasikan.
Karena NPV investasi tersebut sebesar Rp200 juta, maka PV investasi adalah
Rpl.200 juta. Dengan demikian harga saham per lembar naik menjadi Rp8.250.
Tabel 8.3. Neraca PT Astuti, setelah mengambil investasi dengan NPV Rp200 juta dan
menerbitkan saham baru
Kas 50 Modal sendiri
PV investasi 1.200 - Lama 7.250
Aktiva lain 7.000 - baru 1.000
Total 8.050 Total 8.250
Pemegang saham lama karena meminta pembagian dividen sebesar Rp1.000 per
lembar sekarang nilai sahamnya menjadi hanya Rp7.250 per lembar. Dengan kata
lain, kekayaan pemegang saham lama tetap sebesar Rp8.250, hanya saja sekarang
sebagian dinyatakan dalam uang tunai (Rpl.000) dan saham (Rp7.250). Jumlah
saham yang perlu diterbitkan adalah Rp1.000 juta dibagi dengan Rp7.250, yaitu
sebesar 137.931 lembar. Dengan demikian jumlah lembar saham meningkat
menjadi 1.137.931 lembar.
Pendapat bahwa dividen tidak relevan mendasarkan diri atas pemikiran bahwa
membagikan dividen dan menggantinya dengan menerbitkan saham baru
mempunyai dampak yang sama terhadap kekayaan pemegang saham (lama).
Analisis tersebut sayangnya, demikian penganut pendapat bahwa dividen
seharusnya dibagikan sekecil-kecilnya, mengabaikan adanya biaya emisi
(floatation costs). Apabila perusahaan menerbitkan saham baru, perusahaan akan
menanggung berbagai biaya (yang disebut sebagai floatation costs), seperti fee
untuk underwriter, biaya notaris, akuntan, konsultan hukum, pendaftaran saham,
dan sebagainya, yang bisa berkisar antara 2-4%. Misalkan biaya-biaya tersebut
mencapal 3%. Ini berarti bahwa apabila perusahaan menerbitkan saham baru
senilai Rpl.000 juta, maka perusahaan harus mengeluarkan biaya sebesar Rp30
juta. Sebagai akibatnya, jumlah yang diterima hanya sebesar Rp970 juta. Karena
itu, apabila perusahaan memerlukan dana sebesar Rp1.000 juta, dana yang harus
ditarik dari masyarakat akan sebesar,
Dari jumlah ini sebesar Rp31 juta akan dikeluarkan sebagai biaya, sehingga
jumlah bersih yang diterima adalah Rpl.000 juta.
Kalau kita kembali menggunakan contoh yang sama seperti di atas, yaitu
membagikan dividen dan menerbitkan saham baru, apa akibatnya? Neraca yang
baru akan nampak sebagai berikut.
Tabel 8.3. Neraca PT Astuti, setelah mengambil investasi dengan NPV Rp200 juta dan
menerbitkan saham baru dengan menanggung floatation costs 3%
Jumlah tersebut lebih kecil apabila dibandingkan dengan tidak membagi dividen
dan karenanya tidak perlu menerbitkan saham baru. Mengapa bisa demikian?
Sederhana sekali. Sebagian kekayaan tersebut diberikan kepada berbagai pihak
sebagai floatation costs. Kalau memang kita telah memiliki dana untuk investasi,
mengapa dana tersebut harus kita bagikan sebagai dividen sehingga kita perlu
menerbitkan saham baru dan membayar floatation costs? Karena itulah mereka
berpendapat bahwa dividen seharusnya dibagikan sekecil mungkin, sejauh dana
tersebut bisa dipergunakan dengan menguntungkan.
8.2. Dana yang Bisa Dibagikan sebagai Dividen
Dengan melihat laporan laba rugi diketahui bahwa laba setelah pajak yang
diperoleh perusahaan pada tahun 20X1 adalah Rp450. Angka ini kemudian
dipergunakan sebagai dasar penentuan pembagian dividen. Dengan kata lain
perusahaan akan mengatakan bahwa jumlah dividen yang dapat dibagi tahun
tersebut tanpa mengurangi modal sendiri (ekuitas) adalah Rp.450. Apakah hal
tersebut benar?
Penjualan Rp5.000
Biaya operasi
- Yang bersifat tunai Rp3.000
- Penyusutan Rp1.000
- Jumlah Rp4.000
Laba sebelum bunga dan pajak Rp1.000
Biaya bunga Rp 400
Laba sebelum pajak Rp 600
Pajak (25%) Rp 150
Laba setelah pajak Rp 450
Kalau kita kembali kepada teori keuangan, maka besarnya dana yang bisa
dibagikan sebagai dividen (atau diinvestasikan kembali) bukanlah sama dengan
laba setelah pajak. Dana yang diperoleh dari hasil operasi selama satu periode
tersebut adalah sebesar laba setelah pajak ditambah dengan penyusutan.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa kita bisa membagikan sejumlah ini
sebagai dividen. Mengapa?
Karena kalau seluruh dana tersebut dibagikan sebagai dividen, maka perusahaan
tidak akan bisa melakukan penggantian aktiva tetap di masa yang akan datang.
Kalau ini yang terjadi maka kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba
akan berkurang.
Dalam teori keuangan, jumlah dana yang bisa dibagikan sebagai dividen bisa
dinyatakan dalam persamaan sebagai berikut.
Jadi tidak benar bahwa pemodal menyukai dividen karena penerimaan dividen
merupakan penghasilan yang pasti dan kenaikan harga saham (capital gains)
merupakan sesuatu yang tidak pasti. Argumentasi yang disebut bird-in-the-hand
theory tersebut tidak tepat karena mempunyai kesalahan sebagai berikut.
Pada waktu informasi tersebut diketahui oleh publik maka harga saham segera
akan menyesuaikan diri, yaitu naik, sesuai dengan perigharapan para pemodal.
Dengan kata lain harga saham sudah nailk. Bird-in-the-hand theory tersebut
mempunyai kesalahan bahwa tidaklah benar kalau kita membandingkan dividen
saat ini dengan capital gains di masa yang akan datang. Pembandingan
seharusnya antara dividen saat ini dengan capital gains saat ini.
(2) Karena ada keengganan untuk menurunkan pembayaran dividen per lembar
saham, ada baiknya kalau perusahaan menentulkan dividen dalam jumlah
(dan rasio payout) yang tidak terlalu besar. Dengan demikian memudahkan
perusahaan untuk meningkatkan pembayaran dividen kalau laba perusahaan
meningkat, dan tidak perlu segera menurunkan pembayaran dividen kalau
laba menurun.
(4) Dalam keadaan tidak ada biaya transaksi, tambahan kekayaan karena
kenaikan harga saham sama menariknya dengan tambahan kekayaan karena
menerima dividen. Masalahnya adalah bahwa untuk merealisir uang kas,
pemegang saham perlu menjual (sebagian) saham yang dimilikinya,
sedangkan penerimaan dividen berarti menerima kas (yang tidak perlu
menjual saham). Sayangnya kalau pemodal menjual saham mereka akan
terkena biaya transaksi. Dengan demikian kalau tidak ada faktor pajak, dan
hanya ada faktor biaya transaksi, menerima dividen akan lebih disukai
daripada merealisir capital gains. Karena itulah sekelompok pemodal
mungkin memilih saham yang membagikan dividen secara teratur.
Hanya saja keputusan pembagian dividen akan diperumit oleh janji yang
diberikan oleh perusahaan. Apabila dalam prospektus disebutkan bahwa
perusahaan akan membayar 30% laba setelah pajak sebagai dividen apabila bisa
memperoleh laba setelah pajak sejumlah tertentu, maka perusahaan harus
memenuhi janji tersebut meskipun di belakang hari perusahaan mempunyai
rencana yang lain sesuai dengan perubahan kondisi perusahaan. Misal
perusahaan sebenarnya ingin mengurangi pembayaran dividen karena dana
tersebut akan dipakai untuk ekspansi, tetapi kalau sudah dijanjikan dalam
prospektus, maka janji tersebut harus ditepati.
Apabila para pemegang saham memilih memperoleh 10% stock dividend dan
tetap mengambil investasi tersebut, apa yang terjadi? Jumlah lembar saham akan
naik menjadi 1.100.000 lembar. Seorang pemodal yang semula memiliki 10.000
lembar saham akan memperoleh tambahan 1.000 lembar saham sehingga
memiliki 11.000 lembar saham. Berapa harga saham setelah membagikan 10%
stock dividend.? Nilai pasar ekuitas setelah mengambil kesempatan investasi
tersebut menjadi Rp8.250 juta. Dengan jumlah lembar saham menjadi 1.100.000,
maka harga saham per lembar = Rp8.250 juta/1.100.000 = Rp.7.500. Bagi pemodal
tersebut yang sekarang memiliki 11.000 lembar saham, kekayaannya menjadi
11.000 x Rp.7.500 = Rp.82,5 juta. Sama seperti seandainya perusahaan tidak
membagikan stock dividend. Dengan kata lain, pemodal tidak menjadi lebih kaya
atau lebih miskin dengan pembagian apabila penerbitan saham baru sebagai
akibat pembagian stock dividend tidak menimbulkan biaya atau pajak apapun,
dan prospek perusahaan diasuransikan tidak berubah.
Contoh perusahaan yang pernah melakukan split antara lain Indosat, Unilever,
Bank BRI. Sejak Unilever terdaftar di bursa, Unilever telah melakukan split dua
kali, dari 1 menjadi 10, kemudian lagi dari 1 menjadi 10. Dengan kata lain
dilakukan split dari 1 menjadi 100. Hal tersebut dapat dilihat di neraca Unilever
bagian akun ekuitasnya.
Tabel 8.6.
Akun tersebut menunjukkan bahwa nilai nominal Rp10 per lembar saham,
padahal sewaktu Unilever menjual saham pertama kali ke pasar modal, nilai
nominal sahamnya adalah Rpl.000 per lembar saham. Dengan demikian telah
dilakukan split 1 menjadi 100. Harga saham Unilever pada tanggal 22 September
2011 ditutup, sebesar Rp15.000. Apabila tidak dilakukan split, maka harga saham
tersebut akan Rpl.500.000 per lembar. Untuk membeli satu lot saja perlu Rp750
juta.
Apabila pemecahan saham tersebut ditafsirkan oleh para pemodal sebagai sinyal
positif bahwa manajemen memperkirakan prospek perusahaan yang makin
bagus, maka dapat saja para pemodal meresponsnya secara positif. Kalau semula
harga saham adalah Rp40.000 per lembar, maka setelah dilakukan split 1 menjadi
5, harga saham bisa menjadi lebih besar dari Rp8.000 per lembar. Inilah yang
disebut dampak positif split. Penelitian di Indonesia pada waktu diumumkan
akan dilakukan split justru direspons negatif oleh pasar. Kemungkinan
penyebabnya adalah lambatnya reaksi pasar karena penelitian dilakukan pada
waktu diumumkan akan dilakukan split, bukan pada waktu dilakukan split.
Sebagai misal saham ISAT yang melakukan split 1 menjadi 5 pada 18/3/2004
dari Rp17.450 (17/3/04) berubah menjadi Rp3.500 (18/3/04). Beradi terjadi
sedikit kenaikan harga, karena kalau tidak harga sahamnya akan menjadi
Rp3.490.
Tabel 8.7. Neraca PT Astuti (at market value) setelah stock repurchase
Kas 245
Aset lain 7.000 Ekuitas 7.245
Setelah pembelian kembali saham, jumlah saham menjadi 900.000 lembar. Kas
berkurang tinggal Rp45 juta (yaitu Rpl.050 - Rp1305). Apabila pemodal menjual
saham yang mereka miliki ke perusahaan, mereka akan menerima Rp8.050
sesuai dengan harga yang dibayar oleh perusahaan. Kalau pemodal tidak
menjualnya ke perusahaan maka arga saham tersebut = Rp7.245 juta / 900.000 =
Rp8.050. Tetap Rp8.050 dan pemodal bisa menjual ke bursa, juga memperoleh
harga Rp.8.050. Dengan kata lain, pemodal yang menjual ke perusahaan
menerima harga Rp8.050, mereka yang tidak menjual ke perusahaan akan
menerima harga Rp8.050 apabila menjualnya ke bursa.
8.6. Ringkasan
Keputusan untuk membagi laba sebagai dividen ataukah menahannya untuk
diinvestasikan kembali, merupakan keputusan yang masih mengundang
kontroversi. Apabila tidak diperhatikan kemungkinan adanya dana dari luar,
maka secara teoretis laba dibenarkan untuk. diinvestasikan kembali apabila
dapat dipergunakan dan menghasilkan tingkat keuntungan yang lebih tinggi
dari biaya modal sendiri.
apabila diperhatikan adanya biaya emisi. Pada saat ada biaya emisi, penahanan
laba lebih baik daripada membagi dividen dan menerbitkan saham baru.
Kebijakan dividen
Stock dividend
Repurchase of stock
Kontroversi dividen
The irrelevant of dividend
Residual decision of dividend
Informational content
4. Suatu perusahaan akan membagikan stock dividend sebesar 10%. Saat ini
informasi yang menyangkut keuangan perusahaan adalah sebagai berikut:
Apa yang terjadi dengan harga saham apabila para pemodal berpendapat
bahwa prospek dan risiko perusahaan tidak berubah?