Anda di halaman 1dari 15

MODUL 5

Konflik dan Penyelesaian Peerselisihan Hubungan Industrial

I. PENDAHULUAN

Hubungan antarkaryawan mempunyai potensi dapat menimbulkan konflik


atau perselisihan yang dapat berpengaruh pada produktivitas kerja karyawan
dan produktivitas atau kinerja perusahaan secara keseluruhan. Pada umumnya
perselisihan di tempat kerja tersebut terjadi antara pengusaha atau gabungan
pengusaha, karyawan secara perorangan, dan serikat pekerja. Ada berbagai
macam konflik atau perselisihan, yaitu perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan
antarserikat pekerja. Selain itu, konflik atau perselisihan yang terjadi dapt
bersifat individu maupun kolektif.

Konflik didasari di dasari berbagai teori dan menggunakan berbagai


pendekatan dalam penjelasan dan penyelesaian konflik dalam organisasi.
Berbagai pandangan mengenai konflik juga mempengaruhi penyikapan
terhadap konflik, pandangan tradisional, pandangan hubungan antarkaryawan,
dan pandangan interaksional. Konflik ada yang bersifat fungsional dan konflik
yang disfungsional. Selain itu, ada konflik yang terkait dengan tugas, konflik
yang berdasarkan hubungan interpersonal, dan konflik yang terkait dengan
bagaimana tugas pekerjaan di lakukan. Konflik juga ada yang di rasakan dan
ada pula konflik persepsian.

KEGIATAN BELAJAR 1
Konflik dan Perselilsihan di Tempat Kerja

A. HUBUGAN ANTARKARYAWAN DI TEMPAT KERJA

Beberapa kontrak antara karyawan dan manajemen akan berpengaruh pada


kinerja karyawan, kehadiran di tempat kerja, sistem pemberian penghargaan
dan hukuman yang berkembang baik (Kozina, 2009). Yang terpenting dalam
studi perilaku karyawan adalah motivasi karyawan, orientasi nilai, dan
indikator kontrak karyawan secara aktif (tanggung jawab terhadap pekerjaan,
kualitas dan intensitas sumber daya, dan seterusnya) (Temnifskill, 2004).
Selanjutnya, prinsip dalam hubungan industrial adalah adanya pertukaran
yang berorientasi pada hubungan yang relasional yang menekankan hubugan
jangkan panjang (Izquerdo & Cillan, 2004).

Menurut Katz et al. (1985), terdapat dua kunci sistem hubungan industrial,
yaitu manajemen konflik dan sikap dan perilaku individual. Aspek terpenting
dalam kedua dimensi tersebut adalah kesepakatan bersama yang meliputi
negosiasi dan administrasi kontrak serta hubungannya terhadap sikap dan
perilaku individual karyawan. Berbagai argumen teoritis menyatakan bahwa
kemampuan,motivasi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan tentang
pekerjaan jaryawan individual mempengaruhi keefektifan organisasional dan
kepuasan karyawan individual. Penigkatan dalam kepercayaan, keterlibatan
karyawan, dan penyelesaian masalah merupakan perbaikan dalam keputusan
karyawan dan keefetifan organisasional. Dengan adanya perbaikan
kepercayaan, penyelesaian masalah dan manajemen partisipatif, maka tingkat
keluhan menurun, yang berarti bahwa prosedur penanganan keluhan lebih
baik. Menurut Katz et al., (1985), ukuran kerja hubungan industrial meliputi:

1. Tingkat keluhan, yaitu banyaknya keluhan tiap 100 orang karyawan.


2. Tingkat ketidak hadiran, yaitu jam kerja karyawan tidak datang atau tidak
masuk kerja (dalam hari).
3. Tingkat kedisiplinan, yaitu banyaknya tindakan kedisiplinan yang di
kenakan pada 100 orang karyawan.
4. Sikap terhadap upah karyawan, yaitu sikap terhadap berbagai fasilitas dan
sarana-prasana yang ada.
5. Partisipasi dalam sistem atau dalam program saran.

Bluen dan Jubile-Lurie (1990) menyatakan bahwa tekanan dalam


hubungan industrial secara signifikan berhubungan dengan ukuran stres peran,
kepuasan kerja dan supevisi, serta kecendrungan meninggalkan organisasi.
Kesepakatan bersama dan kesepakatan untuk menyelesaikan keluhan juga di
kenal sebagai komponen utama dalam sistem pelayanan yang di kendalikan
oleh serikat pekerja dan pengusaha atau majikan (Carter, 1997). Kesepakatan
bersama menyusun sistem norma-norma swasta untuk mengatur hubungan di
tempat kerja. Penyelesaian keluhan menyusun bentuk keputusan pribadi untuk
menjamin aplikasi norma-norma tersebut konsisten dengan keinginan semua
pihak.

B. KONFLIK DI TEMPAT KERJA

Konflik merupakan proses yang dimulai ketika satu pihak memersepsikan


bahwa pihak lain memiliki perasaan negatif terhadapnya atau mengenai
perasaan secara negatif pihak lain, yang oleh pihak pertama tidak disukainya
(Robbins & Judge, 2011). Menurut Robbins & Judge (2011), ada tiga
pandangan mengenai konflik, yaitu pandangan tradisional, pandangan
hubungan karyawan dan pandangan interaksional. Pandangan tradisional
menyatakan bahwa konflik adalah berbahaya dan harus di ingat. Pandangan
hubungan karyawan menyatakan bahwa konflik adalah pandangan alamiah
yang terjadi dalam kelompok dan organisasi dan tidak dapat di elakkan.
Karena konflik tidak dapat di hindarkan, maka pandangan hubungan karyawan
menerima adanya konflik tersebut. Pandangan ketiga, pandangan interaksionis
menyatakan konflik harus di ciptakan sebagai dasar terciptanya harmonisasi,
kedamaian, ketenangan, kerja sama dalam kelompok yang cendrung apatis,
statis, tidak tanggap terhadapp perubahan dan inovasi. Pandangan
interaksionis menyatakan bahwa konflik tidak hanya merupakan kekuatan
positif dalam kelompok, tetapi konflik juga secara absolut penting bagi
kelompok agar lebih efektif.

Konflik merupakan sesuatu yang di perbolehkan, sah, tetapi merupakan


suatu perselisihan. Konflik yang terjadi antara karyawan dan manajemen,
antar departemen fungsional, dan antara pimpinan dan pengikutnya, adalah
sesuatu yang umum dan layak. Dalam hubungan industrial, di kenal istilah
konflik industrial model komrehensif. Menurut Hebdon & Stern (1998),
konflik industrial di dasarkan pada (1) teori tentang konflik secara universal
yang tidak hanya membahas pemogokan tetapi juga perputaran kerja, absen,
sabotase, ketidakdisiplinan atau kecendrungan laten terhadap hasil tersebut,
dan (2) teori yang harus menjelaskan konflik laten dan nyata karena ketiadaan
konflik yang tampak atau nyata merupakan indikator kesalahan dalam
keefektifan manajemen.

Berbagai tindakan yang dilakukan karyawan dalam menanggapi berbagai


lingkungan yang berbeda atau dalam mengekspresikan konflik adalah: (1)
keluar sementara, meliputi absen, pengurangan usaha, dan kelambanan; (2)
keluar secara permanen, meliputi perputaran kerja dan transfer karyawan; (3)
suara, yang meliputi pemogokan, mengeluh, menyuarakan kebenaran dan
tindakan penyelesaian masalah; dan (4) diam, yaitu tidak melakukan apapun
untuk mengekspresikan konflik dan harapan untuk menjadi lebih baik. Konflik
juga berhubungan dengan kepuasan kerja. Peningkatan konflik di sebabkan
oleh adanya kesenjangan antara harapan karyawan dan pencapaiannya. Orang
yang tidak puas biasanya akan keluar atau memutuskan hubungan, atau
bersuara (protes, demonstrasi) yang mencoba mengubah hubungan (Robbins
& Judge, 2011).

Konflik juga di dapat di awali dengan adanya ancaman, baik ancaman


terhadap individu maupun terhadap sekelompok individu (Rousseau & Garcia-
Retamero, 2007). Ancaman individual meliputi keamanan fisik, kesehatan dan
pendapatan personal, serta nilai keyakinan personal. Ancaman kolektif
meliputi ancaman militer, ekonomi dan budaya.

C. JENIS DAN PENYEBAB KONFLIK

Ada dua jenis konflik karyawan, yaitu secara bersama-sama, yaitu konflik
mengenai hak dan konflik kepentingan (Martinez-Pecino et al., 2008). Konflik
kepentingan merupakan konflik yang berkaitan dengan kondisi
ketenagakerjaan, sedangkan konflik mengenai hak menunjukan aplikasi dan
interpretasi norma atau hukum yang telah mapan sebelumnya. Menurut
Greenberg dan Baron (2008), ada tiga jenis konfflik, yaitu koflik subtantif,
konflik afektif, dan konflik proses. Konflik subtantif merupakan bentuk
konflik yang terjadi ketika orang mengalami ketidak sesuaian dalam
kepribadian atau tekanan interpersonal, sehingga mengalami frustasi dan
marah. Konflik proses merupakan konflik yang terjadi karena perbedaan
dalam pendapat mengenai bagaimana kerja kelompok dilakukan dan
bagaimana sumber daya di alokasikan, serta kepada siapa tanggung jawab di
letakkan.

Penyebab dan dampak konflik bervariasi. Konflik dapat di sebabkan oleh


perasaan dendam, pandangan negatif terhadap orang lain, kritikan yang
bersifat negatif, ada ketidak percayaan, dan persaingan untuk memperoleh
sumber daya yang langkah. Selain itu, terdapat penyebab oknflik yang di sebut
dengan konflik pekerjaan-keluarga (Burchielly et al., 2008). Konflik tersebut
merupakan konflik antar peran di mana permintaan pekerjaan dan peran dalam
keluarga tidak sesuai, sehingga partisipasinya dalam satu peran lebih sulit
karena partisipasinya pada peran lain (Voydanoff, 2005)

Ada tiga cara yang berbeda dalam penggunaan prosedur penyelesaian


konflik (Colvin, 2004). Pertama, memperbesar kepercayaan dan kerjasama
antar kayawan dan manajemen pada sistem kerja dengan keterlibatan timggi,
sehingga mengurangi seluruh level konflik di tempat kerja. Kedua, dampak
sistem keterlibatan kerja yang tinggi adalah bagaimana di tempat kerja.
Penyelesaian konflik secara informal menyebabkan penggunaan prosedur
penggunaan konflik berkurang. Ketiga, keterlibatan karyawan dalam
pengambilan keputusan pada pembuatan keputusan oleh sistem dan prosedur
berdasar tim dan kepercayaan karyawan dan manajemen lebih besar.

Hasil penelitian Colvin (2004), menunjukan bahwa semakin besar


keterlibatan karyawan berkaitan dengan pengurangan konflik di tempat kerja
dan penurunan keluhan karyawan. Praktek keterlibatan yang lebih tinggi
seperti di tunjukkan oleh kelompok penyelesaian permasalahan dengan
keterlibatan kelompok kerja dalam pengambilan keputusan yang lebih tinggi
berhubungan dengan menurunnya keluhan karyawan.

D. PENDEKATAN DALAM KONFLIK ORGANISASI

Analisis hubungan industrial memungkinkan konflik dalam hubungan


antar karyawan menggunakan pengaruh pemogokkan dan model kesepakatan
(Page et al., 2007). Menurut Lewicki et al., (1992), terdapat enam pendekatan
dalam mempelajari konflik dalam organisasi seperti berikut ini.

1. Pendekatan level mikro atau psikologi yang memfokuskan pada konflik di


dalam dan di antara karyawan sebagai individu, khususnya variabel
perilaku interpesonal dan kelompok kecil yang mempengaruhi penyebab
dinamika konflik dan hasil konflik.
2. Pendekatan level makro atau sosiologi yang memfokuskan pada
kelompok, departemen, divisi, dan keseluruhan organisasi sebagai unit
analisis untuk memahami dinamika konflik.
3. Pendekatan dalam analisis, ekonomi yang menerapkan model rasionalitas
ekonomi dan pengambilan keputusan individual hingga perilaku sosial
yang kompleks.
4. Pendekatan hubungan karyawan, yang di awali dari keinginan memahami
dan mempengaruhi praktek hubungan industrial di Amerika.
5. Pendekatan kesepakatan dan negosiasi yang berasal dari seringnya
menggunakan proses dalam hubungan antarkaryawan dan hubungan
internasional.
6. Resolusi perselisihan oleh pihak ketiga yang menekankan pada tindakan
yang dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu dari luar pihak yang berkonflik
untuk menyelesaikan atau memperbaiki negosiasi yang efektif.

Sementara itu, Casier dan Ruble (1985) menyatakan bahwa ada dua
dimensi konflik, yaitu ketegasan yang merupakan perilaku untuk memuaskan
satu pihak dan kerja sama yang merupakan perilaku untuk memuaskan pihak
lain. Kedua dimensi ini membentuk kombinasi yang berupa cara model konfli.
Hal tersebut di gambarkan sebagai berikut.

Assertiveness
Tinggi Bersaing Berkolaborasi
(Competing) (Collaborating)

Berkompromi
(Compromising)

Menghindari Penyesuaian diri


(avoiding) (accomodating)

Rendah Tinggi
Cooperativeness

Sumber: Cashier & Ruble, 1985

Gambar 5. 1.
Model Konflik

Menurut Robbins dan Judge (2011), ada berbagai macam konflik di


tempat kerja, seperti konflik tugas, konflik hubungan, konflik proses, konflik
yang di persepsikan, dan konflik yan gdi rasakan. Konflik tugas merupakan
konflik yang terkait dengan tugas dan sasaran kerja. Konflik hubungan
merupakan konflik yang timbul karena hubungan antar personal. Kemudian,
konflik proses merupakan konflik yang di sebabkan oleh cara pelaksanaan
pekerjaan. Sementara itu, konflik persepsian merupakan kesadaran terhadap
satu atau lebih kondisi yang ada yang menciptakan kesempatan munculnya
konflik. Konflik yang di rasakan merupakan keterlibatan emosional dalam
konflik yang menciptakan kegelisahan atau frustasi.

Konflik yang dapat di kelola dengan berbagai cara, baik dengan


memperbaiki pengelolaan sumber daya manusianya maupun dengan
pengelolaan organisasi. Pengelolaan sumber daya manusia di lakukan berbagai
cara, misalnya penyelesaian masalah secara bersama-sama, menghindari
konflik, mengadakan kompromi, dan berkomunikasi dengan baik.

E. PERSELISIHAN DI TEMPAT KERJA

Pada perusahaan kecil, pengelolaan karyawan lebih mudah, sehingga


kesepakatan dan negosiasi antara kedua belah pihak fleksibel dan lebih
merupakan hubungan sosial daripada hubungan ekonomis (Marlow, 2002).
Pada perusahaan kecil terdapat saling ketergantungan antara karyawan dan
pemilik yang mendukung fleksibilitas informal yang lebih besar daripada
perusahaan kecil.

Ada beberapa jenis perselisihan hubungan industrial, yaitu perselisihan


hak dan perselisihan kepentingan (Martinez-Pecino et al., 2008), perselisihan
antarserikat pekerja dalam satu perusahaan, dan perselisihan pemutusan
hubungan kerja. Perselisihan hak timbul karena tidak dipenuhinya hak akibat
perbedaan pelakasanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama. Perselisihan kepentingan merupakan perselihan yang timbul
dalam hubungan kerja karena tidak ada kesesuaian pendapat mengenai
perbuatan atau perubahan syarat-syarat kerja yang di tetapkan dalam
perjanjian kerja atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan antarserikat pekerja dalam satu perusahaan merupakan
perselisihan yang terjadi karena ketidaksesuaian paham mengenai
keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatanpekerjaan.
Sementara itu perselisihan pemutusan hubungan kerja merupakan perselisihan
yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran
hubungan kerja yang di lakukan oleh salah satu pihak.

Dalam hubungan industrial juga terdapat lembaga penyelesaian


perseisihan hubungan industrial. Pennyelesaian perselisihan hubungan
industrial tersebut di laksanakan oleh pengusaha dan pekerja atau serikat
pekerja secara musyawarah untuk mencapai kata mufakat. Dalam hal
musyawarah tidak mencapai kesepakatan, perselisihan antara serikat pekerja
atau serikat buruh di selesaikan sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku. Dalam hal pemogokan, rencana pemogokan tersebut harus di
beritahukan secara tertulis kepada pengusaha dan kepada P4D, di lengkapi
dengan isi tuntutan dan bukti kegagalan upaya perundingan. Bila syarat
tersebut di penuhi, P4D dalam maksimum tujuh hari menerbitkan tanda terima
pemberitahuan rencana mogok. Serikat pekerja dapat melakukan pemogokan
hanya bila setelah menerima tanta terima pemberitahuan tersebut.

KEGIATAN BELAJAR 2
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

A. PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Bagaimana harmonisnya hubungan antara pengusaha dengan pekerja pasti


timbul perselisihan-perselisihan di antara mereka. Perselisihan ada yang bisa
di selesaikan dengan musyawarah secara mufakat tetapi ada juga yang harus di
selesaikan melalui bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase, dan pengadilan.
Untuk mencegah agar kasus atau perselisihan perburuhan itu tidak
berkepanjangan dan dapat di selesaikan dengan baik maka di bentuklah
Undang-undang No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial.

Berdasarkan Undang-undang No.2 Tahun 2004, perselisihan hubungan


industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja karena
adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja
(PHK), dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.
Sebagaiman di uraikan dalam Undang-undang No.2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial meliputi penyelesaian:

1. Perselisihan hak,
2. Perselisihan kepentingan,
3. Perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
4. Perselisihan antar serikat pekerja

Di dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian


Perselisihan Perburuhan di bedakan menjadi dua perselisihhan, yaitu
perselisihan hak dan perselisihan kepentingan. Perselisihan hak, yaitu
perselisihan yang timbul karena salah satu pihak pada perjanjian kerja atau
perjanjian perburuhan tidak mematuhi isi perjanjian itu. Kemudian,
perselisihan kepentingan yaitu mengenai usaha mengadakan perubahan dalam
syarat-syarat perburuhan yang oleh organisasi buruh di tuntutkan kepada pihak
majikan.

Menurut Bendersky (2007), terdapat tiga jenis prosedur resolusi


perselisihan (disputr resolution procedures). Yaitu proses berdasarkan hak,
netralitas, berdasarkan minat, dan pelatihan manajemen konflik atau negosiasi.
Proses berdasarkan hak seperti arbitrase, investigasi formal, penilaian rekan
kerja, keterlibatan pihak ketiga dalam menentukan hasil perselisihan
berdasarkan hukum, kotrak atau standar perilaku. Sementara itu, netralitas
berdasarkan permintaan meliputi mediator, pelatihan dan mebantu proses
penyelesaian perselisihan secara langsung atau tidak langsung, tetapi
meninggalkan kewenangan dalam pengambilan keputusan. Adapun pelatihan
manajemen konflik atau negosiasi dapat meningkatkan kemampuan individu
untuk menyelesaikan konflik tanpa intervensi pihak ketiga. Manajemen
konflik yang proaktif akan dapat membantu dalam penyelesaian konflik.

Fungsi pengendalian konflik adalah membuat kedamaian dan membangun


kedamaian yang memerlukan keahlian dalam hal negosiasi, mediasi,
fasilitasim konsultasi, konsiliasi, dan komunikasi (Smith et al., 1998)
penyelesaian konflik dengan mediasi rekan kerja merupakan cara tercepat
dalam menanggapi permasalahan perselisihan di tempat kerja (Smith &
Daunit, 2002). Oleh karena itu, pelatihan dalam negosiasi dan mediasi sangat
penting untuk meningkatkan kemampuan strategi tuntutan verbal.

B. PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Dalam Undang-undang No. 2 tahun 2004 penyelesaian perselisihan dapat di


lakukan di luar pengadilan (Pengadilan Hubungan Industrial). Mekanisme ini
tentunya lebih cepat dan dapat memenuhi rasa keadilan para pihak karena
penyelesaiannya berdasarkan musyawarah untuk mencapai mufakat. Terdapat
lima bentuk penyelesaian, yaitu melalui bipartit, mediasi, konsiliasi, arbitrase
dan pengadilan.

1. Penyelesaian melalui Bipartit

Penyelesaian melalui perundingan bipartit merupakan perundingan antara


karyawan dan serikat pekerja dengan pengusaha untuk menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial. Lembaga kerja sama bipartit merupakan
forum komunikasi dan konsultasi mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
hubungan industrial di satu perusahaan. Hal ini berarti bahwa sebelum pihak-
pihak yang berselisih mengundang pihak ketiga untuk menyelesaikan
persoalan di antara mereka, maka harus terlebih dahulu melalui tahapan
perundingan para pihak yang biasa di sebut sebagai bipartit. Penyelesaian
melalui perundingan tersebut mempunyai kekuatan mengikat dan menjadi
kekuatan hukum serta wajib di laksanakan oleh para pihak bila telah mencapai
kata sepakat.

2. Penyelesaian melalui Mediasi


Mediasi hubungan industrial merupakan penyelesaian perselisihan hak,
kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan perselisihann antar seikat
pekerja dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang di tengahi oleh
seorang atau lebih mediator yang netral. Ada tiga strategi dasar mediasi yang
dapat di terapkan oleh mediator, yaitu strategi kontekstual, strategi substantif,
dan strategi reflektif. Strategi kontekstual merupakan intervensi yang di
arahkan untuk memfasilitasi proses penyelesaian konflik dengan mengubah
keadaan di mana mediasi terjadi. Strategi subtantif merupakan intervensi yang
berkaitan secara langsung dengan isu perselisihan atau konflik dengan
mencoba menggerakan negosiasi ke arah penyelesaian. Sementara itu, strategi
refleksif merupakan intervensi yang di rancang untuk mengorientasi aau
mengarahkan mediaor pada perselisihan, membangun kepercayaan pada
mediator dan proses mediasi, dan menciptakan dasar atau landasan untuk
mengembangkan kegiatan mereka.

Keberhasilan mediasi meliputi keberhasilan jangka pendek dan


keberhasilan jangaka panjang (Zubek et al., 1992). Keberhasilan jangka
pendek memperhatikan hasil yang segera dapat di observasi pada waktu
mediasi seperti kesepakatan, kualitas kesepakatan, dasn perasaan puas setelah
kesepakatan di capai. Keberhasilan jangka panjang di lihat dari apakah para
piihak mematuhi kesepakatan melalui mediasi tersebut dan appakah terdapat
perbaikan hubungan dan tidak timbul masalah setelah mediasi di lakukan.

Mediator bertugas melakukan mediai kepada para pihak yang berselisih


untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan
pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh
hanya dalam satu perusahaan. Mediator mempunyai kewajiban:

a. Memanggil para pihak yang sedang berselisih untuk dapat di dengar


keterangan yang di perlukan;
b. Mengatur dan memimpin mediasi;
c. Membantu membuat perjanjian bersama, apabila tercapai kesepakatan;
d. Membuat anjuran secara tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian;
e. Membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial;

Mediator mempunyai kewenangan:

a. Menganjurkan kepada para pihak yang berselisih untuk berunding terlebih


dahulu dengan itikad baik sebelum dilakukan mediasi;
b. Meminta keterangan, dokumen, dan surat-surat yang berkaitan dengan
peselisihan;
c. Mendatangkan saksi atau saksi ahli dalam mediasi apabila diperlukan;
d. Membuka buku dan meminta surat-surat yang di perlukan dari para pihak
dan instansi atau lembaga terkait;
e. Menerima atau menolak wakil para pihak yang berselisih apabila ternyata
tidak memiliki surat kuasa.

3. Penyelesaian melalui Konsiliasi

Konsiliasi adalah seorang atau lebih yang memenuhi yang memenuhi


syarat-syarat sebagai konsiliator dan di tunjuk oleh menteri yang bertugas
melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para
pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan,
perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antarserikat kerja
dalam satu perusahaan.

Konsiliator adalah satu atau beberapa orang yang di anggap ahli di bidang
hubungan industrial dan hukum ketenagakerjaan, di beri kewenangan
mengkonsiliasi pihak yang berselisih karena perselisihan kepentingan,
perselisihan hak dan perselisihan antar serikat pekerja. Konsiliator bertugas
melakukan konsiliasi kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antarserikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Konsiliator memiliki kewenangan:

a. Meminta keterangan kepada para pihak;


b. Menolak mewakili para pihak apabila ternyata tidak memiliki surat kuasa;
c. Menolak melakukan konsiliasi terhadap para pihak yang belum melakukan
perundingan secara bipartit;
d. Meminta surat/dokumen yang berkaitan dengan perselisihan;
e. Memanggil saksi atau saksi ahli;
f. Membuka buku dan meminta surat-surat yang di perlukan dari para pihak
dan instansi/lembaga terkait.

Selain itu, konsiliatot mempunyai kewajiban:

a. Memanggil para pihak yang sedang berselisih untuk dapat di dengar


keterangan yang di perlukan;
b. Mengatur dan memimpin konsiliasi;
c. Membantu membuat perjanjian bersama, apabila tercapai kesepakatan;
d. Membuat anjuran secara tertulis, apabila tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian;
e. Membuat risalah penyelesaian perselisihan hubungan industrial;
f. Membuat dan memelihara buku khusu dan berkas perselisihan yang di
tangani;
g. Membuat laporan hasil penyelesaian perselisihan hubungan industrial
kepada menteri tenaga kerja dan transmigrasi melalui direktur jenderal
pembinaan hubungan industrial.

4. Penyelesaian melalui Arbitrase

Arbitrase adalah seseorang atau lebih yang di pilih oleh para pihak yang
berselisih dari daftar arbiter yang di tetapkan oleh menteri untuk memberikan
putusan mengenai perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan
kerja, dan perselisihan antar serikat kerja dalam satu perusahaan yang di
serahkan penyelesaiannya melalui arbitrase yang putusannya mengikat para
pihak dan bersifat final. Menurut Chelius dan Dworkin (1980), arbitor
memilih fleksibilitas dengan arbitrase konvensional, hal ini menimbulkan dua
masalah, yaitu:

a. Hanya pihak yang langsung berhubungan dengan konflik yang mampu


mencapai kemapanan dengan secara akurat merefleksikan nilai-nilai
mereka. Nilai-nilai tersebut di sembunyikan sebagai taktik bergaining.
Banyak pihak yang mendadakan kesepakatan tidak ingin mengaitkan
interpretasi dari keinginannya ketika mencapai kemapanan.
b. Penggunaan arbitrase kepentingan konvensional mencegah pihak-pihak
dari keterikatan dalam kesepakatan yang sungguh-sungguh.

Menurut Dickinson (2004), ada tiga bentuk arbitrase, yaitu arbitrase


konvensional dan arbitrase perintah akhir. Dalam arbitrase konvensional,
arbitor bebas menentukan cara penyelesaian perselisihan. Sementara itu,
dalam arbitrase perintah akhir, arbitor di batasi untuk memilih satu dari
berbagai penyelesaian akhir yang di tawarkan.

5. Pengadilan Hubungan Industrial

Pengadilan hubungan industrial adalah pengadilan khusus yang di berntuk


di lingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili, dan
memberikan putusan terhadap perselisihan hubungan industrial. Selanjutnya,
dalam undang-undang No.2 Tahun 2004 tersebut prosedur penyelesaian setiap
perselisihan hubungan industrial harus terlebih dahulu dilakukan melalui
perundingan bipartit dan jika perundingan tidak mencapai hasil maka di
tempuh prosedur sebagai berikut.

a. Penyelesaian Perselisihan hak.

Dalam hal perundingan tidak tercapai. Kesepakatan maka penyelesaiannya


dilakukan oleh Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
(PPHI) dan putusannya bersifat final.

b. Penyelesaian Perselisihan Kepentingan dan Perselisihan Pemutusan


Hubungan Kerja.
1) Dalam hal perundingan tidak tercapai kesepakatan penyelesaian maka
pihak-pihak dapat memilih penyelesaian dengan mediasi, konsiliasi
atau arbitrase.
2) Jika pihak-pihak memilih mediasi atau konsiliasi dan tidak tercapai
penyelesaian maka penyelesaian selanjutnya di lakukan dengan
mengajukan gugatan ke Pengadilan Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial (PPHI). Jika salah satu pihak tidak puas,
selanjutnya putusan pengadilan PPHI ini dapat di mintakan kasasi ke
Mahkamah Agung.
3) Dalam hal pihak-pihak sepakat memilih penyelesaian melalui arbitrase
akan tetapi putusan arbitrase di tolak (tidak di terima) oleh salah satu
pihak atau pihak-pihak yang perselisih maka penyelesaian selanjutnya
dapat di lakukan dengan mengajukan upaya hukum. Peninjauan
Kembali (PK) ke Mahkamah Agung
4) Dalam hal pihak-pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan perselisihan
melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase maka atas kesepakatan kedua
belah pihak atau atas kemauan salah satu pihak penyelesaiannya di
lakukan oleh Pengadilan PPHI. Perundingan paling lama 30 (tiga
puluh) hari harus di selesaikan sejak tanggal di mulainya perundingan.

Sebagai upaya untuk mencegah terjadinya perselisihan hubungan


industrial dan mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, serasi, dan
selaras maka ada beberapa sarana yang dapat di gunakan, yaitu:

a. Lembaga kerja sama bipartit

Lembaga kerja sama bipartit merupakan forum komunikasi dan konsultasi


di satu perusahaan yang anggotanya terdiri atas pengusaha dan serikat pekerja.
Penyelesaian secara bipartit adalah penyelesaian yang paling baik. Karena
dapat di selesaikan di tingkat perusahaan secara musyawarah untuk mencapai
mufakat.

b. Perjanjian kerja

Perjanjian kerja adalah perjanjian yang di buat antara pengusaha dan


pekerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja, termasuk
syarat-syarat kerja, pengupahan, dan cara pembayarannya. Perjanjian kerja
merupakan sarana yang paling baik karena memuat kesepakatan para pihak
pada saat memulai hubungan kerja.

c. Perjanjian kerja bersama


Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang di buat oleh serikat
pekerja atau beberapa serikat kerja yang tercatat pada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau beberapa
pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja. Penyusunan perjanjian kerja
bersama tersebut di laksanakan secara musyawarah dan memuat antara lain hak
dan kewajiban pengusaha dan pekerja karena perjanjian kerja maka isinya telah
mendekati keinginan mereka.

d. Peraturan perusahaan

Peraturan perusahaan adalah peraturan yang di buat secara tertulis oleh


pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.
Peraturan perusahaan juga merupakan sarana yang sangat penting untuk
mencegah terjadinya perselisihan industrial karean memuat hak dan kewajiban
para pihak serta syarat kerja yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh kedua
belah pihak.

e. Serikat pekerja/serikat buruh

Serikat pekerja adalah organisasi yang di bentuk oleh pekera di perusahaan


yang bersifat mandiri, demokrasi, dan bertanggung jawab guna
memperjuangkan, membela, melindungi hak dan kepentingan pekerja, serta
meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Dalam perselisihan
hubungan industrial serikat kerja buruh juga dapat membela dan mendampingi
pekerja, sekaligus di harapkan perselisihan dapat di kurangi.

Daftar Pustaka
Burchielly, R,; Bartram, T. Dan Thanacoddy, R. (2008). Work-Family Balance on
Greedey Organization. Laboratory and Field Studies. Journal of
Organizational Behavior, 11: 105-118.

Bluen, S.D. dan Jublie-Lurie, V.G. (1990). Some Consequences of Labour-


Management Negotiation. Laboratory and Field studies. Journal of
Organitazional Behavior, 11: 105-118.

Casier, R.A. dan Ruble, T.H. (1985). Research on conflict handling behavior.
Academy of Management Journal, 24 (4): 816-83.

Carter, D.D. (1997). The Duty of Accomodate: It’s Growing Impact on the
Grievance arbitration process. Relations Industrielle, 62 (1): 108-162.

Chelius, J.R. dan Dworkin, J.B. (1980) An Economic Analysis of Final offer
arbitration as a conflict Resolution Device. Journal of Conflict Resolution, 24
(2), June: 293-310.

Colvin, A.J.S. (2004). The relationship between employee involvement and


workplace dispute resolution. Relations Industrielle, 59 (4): 681-704.

Dickinson, D.L. (2004). A comparisonn of conventional, final offer, and


combined arbitration for dispute resolution. Industrial and Labor Relations
Review, 57(2); 228-301.

Greenberg, J. Dan Barron, R.A. (2008). Behavior In Organitazions, 9th edition.


New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Hebdon, R.P. dan Stern, R.N. (1998). Trade offs among Exprssions of Industrial
conflict: public sector strike bans and Grievance Arbitrations. Industrial and
Labor Relations Review, 51 (2): 204-221.

Izquierdo, C.C. dan Cillan, J.G. (2004). The Interaction of Dependence and Trust
in Long-Term Industrial Relationships. Europan Journal of Marketing, 38(8):
974-994.

Katz, H.C.; Kochan, T.A.; dan webwer, M.R. (1985). Assesing the effects of
Industrial Relations system and effort to improve the quality of working life in
organizational effectivencess. Academy of Management Journal, 28 (3): 509-
526.

Kozina, L.M. (2009). Social Labor Relations in Small and Medium Size Business.
Sociological Research, 47 (6): 76-90.

Lewicki, R.J.; Weiss, S.E.; dan Lewdin, D. (1992). Models of Conflict dalam
Negotiation, and third party Intervention: A review & synthesis. Journal of
Organitational Behavior, 13:209-252.

Marlow, S. (2002). Regulating Labor Management in Small Firms. Human


Resources Management Journal, 12 (3): 25-34.

Martinez-Pecino, R. Munduate, L., Medina, F.J., dan Euwerna, M.C. (2008).


Effectivenes of mediation Strategies in collective Bargaining. Industrial
Relations, 47(3): 480-495.

Robbins, S.P. dan Judge, T.A. (2011). Organitational Behavior 14th edition). New
Jersey: Prentice-Hall International, Inc.

Smith, S.W. dan daunit, A.P. (2002). Conflict Resolution and Peer mediation in
meddle schools: Extending the process and outcome Knowledge Base. The
Journal of Soccial Psychology, 142 (5): 467-586.

Temnifskill, A.L. (2004). Sociocultural factors of the Labor Behavior of Industrial


Workers in The 1990’s.

Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan


Hubungan Industrial.

Voydanoff, P. (2005). Toward Conceptualization Perceived Work-Family Fit and


Balance: A demand and Resource Approach. Journal of marriage and family,
67 (4): 822-836.

Zubeck , J.M.; Pruitt, D.G.; dan peites, R.S. (1992). Disputant and Mediator
Behaviors Affecting Short-Term Success in Mediation. The Journal of
Conflict Resolution, 36(3): 546-572.

Anda mungkin juga menyukai