Anda di halaman 1dari 18

FORMULASI SUSPENSI ANTASIDA DENGAN MENGGUNAKAN NATRIUM

CARBOXYMETHYLCELLULOSE SEBAGAI SUSPENDING AGENT

Tugas
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Farmasi Industri

Disusun Oleh:

1. Aldy Whisnu Prayudha (1904026117)


2. Fitria La Tanudin (1904026153)
3. Ibrahim Salim (1904026161)
4. Lulu Nur Afwiani (1904026171)
5. Shinta (1904026210)
6. Sri Sulistiani (1904026213)
7. Tya Palpera Utami (1904026219)

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penggunaan antasida pada penyakit tukak lambung berdasarkan
kemampuannya menetralkan asam lambung dan mencegah konversi pepsinogen
menjadi pepsin. (Tolman 2000). Sediaan antasida digolongkan menjadi beberapa
kandungan salah satunya sediaan antasida yang mengandung Aluminium
Hidroksida Al(OH)3 dan atau Magnesium Hidroksida Mg(OH)2. Antasida yang
mengandung magnesium dan aluminium dapat mengurangi efek samping pada
usus besar karena kombinasi keduanya akan saling meniadakan efek samping
(BPOM 2014).

Pada penelitian ini, sediaan Al(OH)3 dan Mg(OH)3 dibuat dalam bentuk
sediaan suspensi. Alasan pemilihan bentuk sediaan suspensi didasarkan pada
karateristik dari Al(OH)3 dan Mg(OH)2 yang praktis tidak larut dalam air.
Formulasi obat dalam sediaan suspensi memiliki keuntungan yaitu rasanya yang
lebih enak dan meningkatkan absorpsi (Agoes 2012). Selain itu, ada beberapa
alasan lain pembuatan suspensi diantaranya bentuk cair lebih disukai dari pada
bentuk padat (tablet atau kapsul dari obat yang sama), mudahnya menelan cairan,
mudah diberikan untuk anak-anak serta mudah diatur penyesuaian dosisnya untuk
anak (Ansel 2008).
Kestabilan fisik dari suspensi sendiri bisa didefinisikan sebagai keadaan
dimana partikel tidak menggumpal dan tetap terdistribusi merata di seluruh sistem
dispersi. Karena keadaan yang ideal jarang menjadi kenyataan, maka perlu untuk
menambah pernyataan bahwa jika partikelpartikel tersebut mengendap, maka
partikel-partikel tersebut harus dengan mudah disupensi kembali dengan sedikit
pengocokan saja (Martin et al 1993).
Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan suatu bentuk
sediaan. Salah satunya adalah pemilihan suspensing agent sehingga dapat
menghasilkan suspensi yang stabil. (Syamsuni 2007). Menurut Wasito (2011),
bahan pensuspensi dibagi menjadi tiga golongan yaitu bahan pensuspensi alam
seperti akasia, tragakan, algin, bahan pensuspensi turunan selulosa seperti
Natrium Carboxymethylcellulose (Na CMC), hidroksimetil selulosa serta bahan
pensuspensi sintetik seperti Carbopol 974P NF dan lain-lain.
Dalam penelitian ini akan digunakan suspending agent Na CMC. Na CMC
merupakan suspending agent golongan turunan selulosa yang bersifat non toksik
dan aman digunakan sebagai zat pensuspensi, Na CMC dapat larut dengan mudah
dalam air panas atau dingin membentuk larutan kental, meningkatkan viskositas
dan memiliki stabilitas yang baik. Konsentrasi Na CMC dalam sediaan suspensi
antara 0,25% – 1% (Rowe et al 2009).
Pembuatan suspensi dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode presipitasi. Suspensi yang dibuat dengan cara presipitasi memiliki
presentase pemisahan yang cenderung lebih kecil dibandingkan dengan metode
dispersi dan volume sedimentasi yang dihasilkan lebih besar dari pada metode
dispersi (Pujihartini dkk 2015).
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan Formulasi
suspensi antasida dengan menggunakan natrium carboxymethylcellulose sebagai
suspending agent.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Antasida
Antasida adalah obat yang menetralkan asam lambung sehingga berguna
untuk menghilangkan nyeri lambung akibat gastritis. Gastritis adalah radang
selaput lender lambung yang daapt disertai tukak lambung, usus 12 jari, atau tanpa
tukak. Nyeri lambung berhubungan erat dengan asam lambung, bila produksi
asam lambung dan pepsin yang bersifat korosif tidak berimbang dengan sistem
pertahanan gastroduodenal maka akan terjadi tukak di esophagus, lambung
dan/atau duodenum (Ganiswarna 1995).
Pada umumnya pengobatan gastritis adalah dengan menggunakan
antasida. Antasida tidak mengurangi volume asam klorida (HCl) yang dikeluarkan
oleh lambung, tetapi peningkatan pH akan menurunkan aktivitas pepsinyang
merupakan suatu enzim proteolitik. Beberapa antasida misalnya aluminium
hidroksida, diduga menghambat pepsin secara langsung. Kapasitas menetralkan
asam dari berbagai antasida pada dosis terapi bervariasi, tetapi umumnya pH
lambung tidak sampai diatas 4, yaitu keadaan yang dapat menurunkan aktivitas
pepsin, kecuali bila pemberiannya sering dan terus menerus. Kerja antasida sangat
tegantung pada kelarutan dan kecepatan netralisasi asam, sedangkan kecepatan
pengosongan lambung sangat menentukan masa kerjanya (Ganiswarna 1995).
Antasida yang mengandung magnesium atau aluminium relatif tidak larut
dalam air. Sediaan yang mengandung magnesium mungkin dapat menyebabkan
diare, sedangkan yang mengandung aluminium mungkin menyebabkan
konstipasi, Namun jika dikombinasikan (magnesium dan aluminium) dapat
mengurangi efek samping pada usus besar. Akumulasi aluminium tampaknya
tidak menjadi risiko bila fungsi ginjal normal (BPOM 2014).

2. Suspensi
Suspensi adalah sediaan cair yang mengandung partikel tidak larut dalam
bentuk halus yang terdispersi ke dalam fase cair (Syamsuni 2006). Zat yang
terdispersi harus halus dan tidak boleh cepat mengendap. Jika dikocok perlahan-
lahan endapan harus segera terdispersi kembali. Suspensi dapat mengandung zat
tambahan untuk menjamin stabilitas suspensi. Kekentalan suspensi tidak boleh
terlalu tinggi agar sediaan mudah dikocok dan dituang (Ansel 1989). Partikel-
partikelnya mempunyai diameter yang sebagian besar lebih dari 0,1 mikron.
Suspensi dapat dibuat dengan metode sebagai berikut:
a. Metode Dispersi
Metode ini dilakukan dengan cara menambahkan bahan obat ke dalam
musilago yang telah terbentuk, kemudian baru diencerkan. Perlu diketahui bahwa
kadang-kadang terjadi kesukaran pada saat mendispersikan serbuk ke dalam
pembawa. Hal tersebut dikarenakan adanya udara, lemak atau kontaminasi pada
serbuk. Serbuk yang sangat halus mudah termasuki udara sehingga sukar dibasahi.
Untuk menurunkan tegangan permukaan antara partikel zat padat dengan cairan
tersebut perlu ditambahkan zat pembasah atau wetting agent (Syamsuni 2007).
b. Metode Presipitasi
Zat yang akan didispersikan dilarutkan terlebih dahulu ke dalam pelarut
organik yang hendak dicampur dengan air. Setelah larut dalam pelarut organik,
larutan zat ini kemudian diencerkan dengan larutan persuspensi dalam air
sehingga akan terbentuk endapan halus tersuspensi dengan bahan pensuspensi.
Cairan organik yang biasa digunakan yaitu etanol, propilen glikol dan polietilen
glikol (Syamsuni 2006).
Pada pembuatan suspensi dikenal dua macam sistem yaitu sistem flokulasi
dan sistem deflokulasi. Pada sistem flokulasi ditentukan oleh keseragaman ukuran
partikel dan kecepatan pengendapan. Sistem flokulasi akan terjadi jika ukuran
partikel kecil dan homogen sehingga pada pendiaman akan membentuk dua
lapiasan, yaitu cairan supernatan dan endapan yang dapat disuspensikan kembali
dengan mudah. Hal ini terjadi karena partikel mengendap bersama-sama
membentuk endapan yang lemah. Sedangkan sistem deflokulasi terjadi karena
ukuran partikel-partikelnya tidak sama, sehingga pada proses pendiaman partikel-
pertikel yang lebih besar akan mengendap lebih cepat dari pada partikel-partikel
yang lebih kecil. Hal ini mengakibatkan terbentuknya suatu endapan atau
lempengan yang keras (hard cake) yang sulit disuspensikan kembali (Martin
1993).
3. Komponen Penyusun Suspensi
Komponen penyusun sediaan suspensi secara umum adalah sebagai
berikut:
a. Zat Aktif/Bahan Berkhasiat
Bahan berkhasiat dalam sediaan suspensi adalah bahan obat yang
mempunyai efek terapi dan mempunyai kelarutan yang sangat kecil di dalam fase
pendispersi. Pada sediaan suspensi bahan berkhasiat ini disebut fase terdispersi
(Syamsuni 2007).
b. Zat Pensuspensi (Suspending agent)
Suspending agent merupakan bahan tambahan yang digunakan untuk
mendispersikan bahan-bahan dalam medium pendispersi dan untuk meningkatkan
viskositas suspensi sehingga kecepatan sedimentasi dapat diperlambat. Contoh
Suspending agent yang sering digunakan yaitu PGA, Na CMC, Carbomer, Avicel
dan lain-lain (Syamsuni 2007).
c. Pengawet
Penambahan pengawet sangat diperlukan terutama untuk suspensi yang
menggunakan hidrokoloid alam, karena bahan ini sangat mudah dirusak oleh
bakteri. Bahan pengawet yang dapat digunakan diantaranya butil parabenzoat, etil
parabenzoat , propil parabenzoat, Nipasol, Nipagin (Syamsuni 2006).
d. Pembasah (wetting agent)
Bahan pembasah (wetting agent) mempunyai fungsi untuk menurunkan
tegangan antar permukaan partikel padat dan cairan pembawa dalam suspensi.
Sebagai akibat turunnya tegangan antar permukaan akan menurunkan sudut kontat
dan pembasahan akan dipermudah. Contoh bahan pembasah adalah sorbitol,
polietilenglikol, propilen glikol, dan gliserin (Agoes 2012).
e. Pemanis
Pemanis digunakan untuk memeperbaiki rasa dari sediaan, karena ada
beberapa obat terasa pahit dan tidak enak. Contoh pemanis yaitu sakarin, glukosa,
sukrosa, sorbitol (Syamsuni 2007).
f. Flavour
Beberapa flavour yang sering digunakan adalah mint, sitrus, vanilla, jeruk
(Syamsuni 2007).

4. Natrium Carboxymethylcellulose (Na CMC)


Na CMC berbentuk granul berwarna putih, tidak berbau, tidak berasa,
praktis tidak larut dalam aseton, etanol 95%, eter dan toluena, mudah terdispersi
dalam air di segala suhu. Penggunaan Na CMC sebagai suspending agent berkisar
antara 0,25% – 1% ( Rowe et al. 2009). Selain sebagai suspending agent Na
CMC digunakan juga sebagai stabilizing agent, viscosity increasing agent dan
gelling agent. Viskositas larutan Na CMC cukup stabil pada rentang pH 4-10.
Sedangkan viskositas dan stabilitas maksimum pada pH 7-9 (Yarnykh et al 2017).

Gambar 1. Rumus Bangun Na CMC (Rowe et al. 2009)

5. Monografi Bahan
a. Alluminium Hydroxide (Rowe et al. 2009)
Pemerian : Bubuk amorf putih atau hampir putih.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air; larut dalam asam mineral
Encer dan dalam larutan hidroksida alkali
Penggunaan : Zat Aktif
Penyimpanan : Simpan dalam wadah kedap udara pada suhu tertentu tidak

melebihi 30o

Inkompatibilitas : -

b. Magnesium Hydroxide (Rowe et al. 2009)


Pemerian : Putih halus atau hampir bubuk amorf putih.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air; larut dalam asam encer.
Penggunaan : Zat Aktif
Penyimpanan : Simpan dalam wadah kedap udara
Inkompatibilitas : -

c. Natrium Carboxymethylcellulose (Na CMC) (Rowe et al. 2009)


Pemerian : Serbuk atau granul, putih sampai krem, higroskopis.
Kelarutan : Mudah terdispersi dalam air membentuk larutan koloid,
tidak larut dalam etanol, dalam eter dan dalam pelarut
organik lain.
Penggunaan : Pengikat tablet, suspending agent, coating agent,
stabilizing agent, viscosity increasing agent dan gelling
agent
Konsentrasi : Pada sediaan suspensi digunakan 0,25% – 1%
Inkompatibilitas : Tidak dapat bercampur dengan larutan asam kuat dan
dengan garam-garam logam terlarut atau seperti Al, Hg dan
Zn, serta tidak dapat bercampur denga xantahan gum.

d. Gliserin (Rowe et al. 2009)


Pemerian : Cairan bening, tidak berwarna, tidak berbau, rasa manis,
kental dan higroskopis.
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air, etanol 95% dan
propilenglikol.
Penggunaan : Antimikroba, pelarut, kosolven, emoliensa, humektan,
pemanis dan plasticizer.
Konsentrasi : Humektan digunakan konsentrasi ≤30%
Inkompatibilitas : Gliserin dapat meledak jika dicampur dengan zat
pengoksidasi kuat seperti kromium trioksida, kalium klorat,
atau kalium permanganat. Dalam lautan encer, reaksi
berlangsung cenderung lebih lambat dengan beberapa
produk oksidasi tertentu. Perubahan warna hitam gliserin
terjadi dengan adanya cahaya atau kontak dengan seng
oksida atau bismut nitrat dasar (Rowe et al 2009).

e. Nipagin (Methyl Paraben) (Rowe et al. 2009)


Pemerian : Hablur kecil, tidak berwarna atau serbuk hablur, putih,
tidak berbau atau berbau khas lemah, mempunyai sedikit
rasa terbakar.
Kelarutan : Sukar larut dalam air, dalam benzena dan dalam karbon
tetraklorida, mudah larut dalam etanol dan eter.
Penggunaan : Antimkroba
Konsentrasi : Penggunaan larutan oral dan suspensi 0,015-0,2%.
Inkompatibilitas : Aktivitas antimikroba dari methyl paraben dan paraben
lainnya sangat berkurang dengan adanya surfaktan
nonionik, seperti polisorbat 80. ketidaksesuaian dengan zat
lain seperti bentonit, magnesium trisilicate, talk, tragakan,
natrium alginat, minyak atsiri, sorbitol dan atropin telah
dilaporkan.

f. Sukrosa (Rowe et al. 2009)


Pemerian : Hablur putih atau tidak berwarna, massa hablur atau
berbentuk kubus, atau serbuk hablur putih, tidak berbau,
rasa manis, stabil di udara. Larutanya netral terhadap
lakmus.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, lebih mudah larut dalam air
mendidih, sukar larut dalam etanol, tidak larut dalam
kloroform dan dalam eter.
Penggunaan : Pemanis, sirup untuk larutan oral, pengiat tablet
Inkompatibilitas : Sukrosa bubuk mungkin terkontaminasi dengan logam
berat, yang dapat menyebabkan ketidakcocokan dengan
bahan aktif, misalnya asam askorbat. Sukrosa juga dapat
terkontaminasi dengan sulfit dari proses pemurnian. Dengan
kandungan sulfit tinggi, perubahan warna dapat terjadi pada
tablet yang dilapisi gula; untuk warna tertentu yang
digunakan dalam sugarcoating batas maksimum untuk
konten sulfit, dihitung sebagai sulfur, adalah 1 ppm.

g. Essence Orange
Pemerian : Cairan kuning, orange, coklat-orange dengan bau khas dan
rasa yang lembut dan beraroma.
Kelarutan : Mudah larut dalam alkohol 90%, asam asetat glasial.
Penggunaan : Pengaroma
Penyimpanan : Simpan dalam wadah tertutup rapat pada suhu tidak lebih
dari 25°C dan hindari dari cahaya.

6. Evaluasi Suspensi
Stabilitas fisik suspensi adalah kondisi dimana partikel tidak mengalami
agregasi dan tetap terdispersi merata, dan bila partikel mengendap harus mudah
tersuspensi kembali dengan pengocokan yang ringan. Evaluasi stabilitas fisik
suspensi meliputi:

a. Viskositas
Viskositas adalah ketahanan, kekentalan zat cair untuk mengalir karena
suatu tekanan. Makin besar kekentalan zat cair untuk mengalir, makin besar pula
viskositasnya. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan viskositas antara lain
dengan pengurangan ukuran partikel dan memperbesar kosentrasi bahan
pensuspensi (suspending agent). Laju sedimentasi dapat berkurang dengan
menaikan viskositas medium dispersi, tetapi suatu produk yang mempunyai
viskositas tinggi umumnya tidak diinginkan karena sulit di tuang untuk diratakan
kembali, sebaiknya suspensi dinaikkan dengan viskositas sedang saja (Martin et
al 1993).

b. Volume Sedimentasi
Volume sedimentasi (F) merupakan perbandingan dari volume
sedimentasi akhir dari endapan (Vu) terhadap volume suspensi (Vo) sebelum
mengendap. Besarnya volume sedimentasi (F) dapat di hitung dari persamaan:

Vu
F= .............................................................................. (1)
Vo

Dimana: F = Volume sedimentasi


Vu = Volume akhir dari endapan
Vo = Volume awal dari suspensi
Volume sedimentasi mempunyai nilai kurang dari satu sampai lebih besar
dari satu. Nilai volume sedimentasi kurang dari satu maka volume akhir dari
endapan memiliki nilai yang lebih kecil dari volume awal sediaan suspensi maka
F=1. Dan nilai F dapat pula lebih besar dari satu, apabila volume akhir dari
volume awal suspensi (Martin et al 1993).

c. Ukuran Partikel
Untuk menekankan tujuan pemeriksaan, stabilitas suspensi digunakan cara
freezing thaw cycling, yaitu dengan cara menurunkan suhu sampai titik beku lalu
dinaikan sampai mencair kembali (> titik beku). Cara ini menaikan pertumbuhan
kristal dan dapat menunjukan kemungkinan keadaan berikutnya setelah di simpan
lama pada temperatur kamar. Yang pokok yaitu menjaga tidak akan terjadi
perubahan dalam ukuran partikel, dan sifat kristal (Martin et al 1993).

d. Bobot Jenis
Bobot jenis diukur dengan menggunakan piknometer. Pada suhu ruang,
piknometer yang kering dan bersih ditimbang (a). Kemudian diisi dengan air dan
ditimbang kembali (b). Air dikeluarkan dari piknometer dan piknometer
dibersihkan. Sediaan lalu diisikan dalam piknometer dan timbang (c). Bobot jenis
sediaan dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

b−a
BJ= .............................................................................. (2)
c −a

Dimana: Bj = Bobot Jenis (g/mL)


a = Piknometer kosong
b = Piknometer + air
c = Piknometer + zat

e. Rheologi (sifat aliran)


Metode ini dapat digunakan untuk membantu menentukan perilaku
pengedapan dan pengaturan pembawa dan sifat yang menonjol mengenai susunan
partikel dengan tujuan untuk perbandingan. Metode rheologi menggunakan
viskometer Brookfield. Suspensi yang baik akan menunjukan kenaikan kecepatan
yang terkecil, dengan kata lain kurva yang terjadi menunjukan garis horizontal
dalam waktu lama (Martin et al 1993).
Viskositas adalah ketahanan, kekentalan zat cair untuk karena suatu
tekanan. Makin besar kekentalan zat cair untuk mengalir, makin besar pula
viskositasnya. Faktor-faktor yang dapat meningkatan viskositas antara lain dengan
pengurangan ukuran partikel dan memperbesar kosentrasi bahan pensuspensi.

Rheologi adalah ilmu yang mempelajari sifat aliran zat cair atau di formasi
zat padat. Rheologi meliputi pencampuran dan aliran dari bahan, pemasukan
kedalam wadah, pemindahan sebelum di gunakan dan kemudahan penuang dari
botol (Martin et al 1993).
Dalam menentukan tipe aliran, sifat aliran ini dibagi dalam 2 golongan
besar yaitu:
1) Aliran Newton
Aliran newton merupakan sifat aliran yang perubahannya mengikuti
hukum newton. Sifat ini tidak tergantung pada gaya geser yang diberikan
sehingga kurva dari aliran ini merupakan garis linier melalui titik nol pada
reogram. Newton menyatakan bahwa makin besar viskositas suatu cairan, maka
makin besar pula gaya per satuan luas (shearing stress) yang diperlukan umtuk
menghasilkan suatu kecepatan geser (rate of shear) tertentu. Untuk cairan newton,
grafik yang terjadi merupakan garis lurus yang melalui titik nol, dan grafik yang
dibuat antara kecepatan geser terhadap tekanan geser (Martin et al 1993).
2) Aliran Non-Newton
Sediaan farmasi yang mempunyai sifat aliran ini adalah sediaan yang
membentuk sistem dispersi seperti emulsi, suspensi, krim, dan salep. Berdasarkan
sifat alirannya, dibedakan atas aliran yang tidak tergantung waktu (aliran
pseudoplastis, plastis, dan dilatan) dan aliran yang tergantung waktu (aliran
tiksotropik, dan reopeksi) (Martin et al 1993).
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Farmasi Fisika dan Laboratorium
Kimia Sintetis Fakultas Farmasi dan Sains Universitas Muhammadiyah Prof. DR.
HAMKA.
B. Cara Penelitian
1. Alat Penelitian
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat alat gelas,
mikroskop yang di lengkapi lensa okuler micrometer, viskometer Brookfield tipe
LV, oven, neraca analitik (Ohaus), hotplate, stopwatch dan pH meter (Horiba).
2. Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Al(OH)3 dan
Mg(OH)2, Na CMC, Gliserin, Nipagin, Sukrosa, Essence orange dan aquadest.
3. Penyusunan Formula
Dibuat 3 formula uji suspensi Al(OH)3 dan Mg(OH)2, setiap formula
dibuat dalam 3 replikasi.
Tabel 1. Formula Suspensi Antasida
Konsentrasi (%)
Bahan Fungsi
F1 F2 F3
Al(OH)3 0,3 0,3 0,3 Zat Aktif
Mg(OH)2 0,3 0,3 0,3 Zat Aktif
Na CMC 0,25 0,5 0,75 Suspending agent
Nipagin 0,2 0,2 0,2 Pengawet
Sukrosa 20 20 20 Pemanis
Gliserin 10 10 10 Wetting agent
Essence Orange 0,1 0,1 0,1 Pengaroma
Aquadest ad 100 100 100 Cairan pembawa

4. Pembuatan Suspensi
a. Siapkan alat dan bahan yang diperlukan dan timbang bahan-bahan sesuai
yang ada pada formula.
b. Kembangkan Na CMC dengan cara ditaburkan ke dalam air sebanyak 20
kalinya dan biarkan selama 24 jam sampai terbentuk mucillago (massa 1).
c. Campurkan Al(OH)3 dengan Gliserin kemudian diaduk sampai homogen
(Massa 2)
d. Campurkan Mg(OH)3 dengan Gliserin kemudian diaduk sampai homogen
(Massa 3)
e. Larutkan nipagin ke dalam air kemudian tambahkan sukrosa aduk sampai
larut (massa 4).
f. Tambahkan massa 1 dan massa 2 sedikit demi sedikit sampai homogen,
kemudian tambahkan massa 3 aduk homogen, selanjutnya tambahkan massa
4 aduk sampai homogen.
g. Masukkan ke dalam botol yang sudah ditara, tambahkan aquadest hingga 60
mL dan teteskan essence orange kemudian homogenkan.

5. Evaluasi Suspensi
a. Organoleptis (Bagus dkk 2011)
Pemeriksaan organoleptis meliputi:
1) Bentuk dan warna dilakukan dengan menuangkan larutan suspensi ke dalam
gelas Beaker kemudian diamati dengan menggunakan indra penglihatan
(mata).
2) Aroma dilakukan dengan menuangkan larutan suspensi ke dalam gelas
Beaker kemudian diamati dengan menggunakan indra penciuman (hidung).
3) Rasa dilakukan dengan menuangkan larutan suspensi ke dalam gelas Beaker
kemudian diamati dengan menggunakan indra perasa (lidah).

b. Bobot Jenis (Bagus dkk 2011)


1) Ditimbang piknometer kosong yang telah dibersihkan (a)
2) Ditimbang piknometer yang telah berisi air (b) kemudian bersihkan dan
keringkan
3) Timbang piknometer yang telah berisi suspensi (c)
4) Hitung Bobot Jenis Suspensi
c. Derajat Keasaman (pH) (Bagus dkk 2011)
Kalibrasikan derajat keasaman (pH meter) menggunakan larutan dapar
phosphat pH 4 dan 7 kemudian ukur pH sediaan suspensi dengan cara
mencelupkan pH meter ke dalam formula uji.
d. Volume Sedimentasi (Devrim et al 2011)
1) Masukkan suspensi ke dalam gelas ukur bervolume 10 mL dan catat sebagai
Volume awal suspensi (Vo).
2) Suspensi didiamkan tidak diganggu hingga volume sedimentasi konstan
maksimal selama 30 hari dan diukur setiap 24 jam sekali. Volume tersebut
dicatat sebagai Volume akhir (Vu). Hitung volume sedimentasi.
e. Redispersi (Devrim et al 2011)
Pengujian redispersi suspensi antasida dilakukan setelah pengukuran
volume sedimentasi konstan. Putar tabung reaksi 180° dan balik ke posisi semula.
Hitung jumlah putaran yang diperlukan untuk mendispersikan kembali seluruh
sedimen. Bernilai 100% jika dalam sekali pembalikan tabung, suspensi dapat
terdispersi sempurna. Jika setiap pembalikan suspensi belum terdispersi sempurna
maka akan terjadi pengurangan 5% dari 100%.
f. Ukuran Partikel (Devrim et al 2011)
Suspensi yang telah dihomogenkan dengan pengocokan, diteteskan pada
objek gelas dan diamati dengan mikroskop yang dilengkapi dengan lensa okuler
micrometer. Pengamatan dilakukan pada tiap sampel sebanyak 200-300 buah
partikel.
g. Viskositas dan Sifat Alir (Devrim et al 2011)
Sediaan dimasukkan ke dalam gelas Beaker 250 ml, kemudian spindle
nomor 63 dari viskometer dicelupkan ke dalamnya sampai tanda yang ada pada
spindel, lalu dinyalakan sampai spindel berputar. Spindel diatur kecepatanya
dimulai 4 rpm, 6 rpm, 10 rpm, 12 rpm dan 20 rpm. Hasil pembacaan skala dicatat
untuk menghitung viskositasnya, dan data yang diperoleh diplotkan terhadap
tekanan geser (dyne/cm²) dan kecepatan geser (rpm) sehingga akan didapat sifat
alir (rheologi).

6. Penetapan Kadar
a. Penetapan kadar Alumunium (Depkes RI 2010)
Ke dalam 20 ml larutan uji ditambahkan 25 ml Dinatrium Edetat 0,1 M
LV dan 10 ml campuran volume sama Ammonium Asetat 2 N dan Asam Asetat 2
N. Kemudian dipanaskan hingga mendidih sampai 2 menit, didinginkan dan
ditambahkan 50 ml Etanol mutlak P dan 3 ml larutan Ditizon P 0,025% dalam
Etanol mutlak P yang dibuat segar. Kemudian kelebihan Dinatrium Edetat dititrasi
dengan Zink Sulfat 0,1 M LV hingga warna berubah dari biru kehijauan menjadi
ungu kemerahan.

1 ml Dinatrium Edetat 0,1 M 2,698 mg Al

b. Magnesium Hidroksida (Depkes RI 2010)


Larutan uji diencerkan dengan air hingga 300 ml atau dengan melarutkan
sejumlah zat uji dalam 5 ml sampai 10 ml air atau dalam sedikit asam klorida 2 N
dan diencerkan dengan air hingga 50 ml. Lalu ditambahkan 10 ml dapar amonia
pH 10,0 dan lebih kurang 50 mg hitam eriokrom campur P. Kemudian larutan
dipanaskan hingga suhu 400 dan dititrasi dengan dinatrium edetat 0,1 M LV
hingga warna berubah dari ungu menjadi biru.

1 ml dinatrium edetat 0,1 M 5,832 mg Mg(OH)2

1 ml dinatrium edetat 0,05 M 2,916 mg Mg(OH)2


DAFTAR PUSTAKA

Ansel H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Universitas


Indonesia: Jakarta. Hlm. 355-363, 387-388
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). 2014.
Informasi Obat Nasional Indonesia (IONI). Jakarta: BPOM RI, KOPER
POM dan CV SagungSeto.
Bagus D, Citrasari R, Riski A, Julianti D. 2011. Formulasi dan Evaluasi Sediaan
Suspensi Kloramfenikol. Akademi Analis Farmasi dan Makanan. Malang.
Dalam: Dalam: Jurnal Publikasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjung
Pura, Pontianak. 2013. Hlm: 5
Departemem Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Farmakope Indonesia. Edisi
IV. Derektorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan. Jakarta. Hlm. 972-
973
Devrim, B., Bozkir, A. dan Canefe, K., 2011, Formulation and Evaluation of
Reconstitutable Suspensions Containing Ibuprofen-Loaded Eudragit
Microspheres, Acta Pol. Pharm. Drug Res., 68 (4): 593-599. Dalam: Jurnal
Publikasi Fakultas Kedokteran Universitas Tanjung Pura, Pontianak. 2013.
Hlm: 5
Ganiswarna, S., 1995, Farmakologi dan Terapi, edisi IV, 271-288 dan 800-810,
Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Martin A, Swarbick J, Cammarata A. 1993. Farmasi Fisik 2. Edisi III,
Terjemahan: Joshita Djajadisastra. Universitas Indonesia Press: Jakarta.
Hlm. 1083-1096
Rowe RC, Sheskey, P.J. dan Quinn, M.E., 2009, Handbook of Pharmaceutical
Excipients, Edisi ketujuh, Pharmaceutical Press and the American
Pharmacist Association, USA. Hal. 110-113, 118-120
Syamsuni HA. 2006. Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hlm.
135-140
Syamsuni HA. 2007. Ilmu Resep. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Hlm.
141-145
Tolman, K.G. (2000). Gastrointestinal and Liver. Dalam: Remington: The Science
and Practice of Pharmacy. Volume II. Editor: Alfonso Gennaro. London:
Lippincott Williams & Wilkins. Hal. 1219-1220.
Yarnkh TG, Tykhonov OI, Melnyk GM, Yuryeva GB. 2017. Pharmacopoeian
Aspects of Suspensions Preparation in Pharmacy Conditions. Dalam: Asian
Journal of Pharmaceutics. Department of Drug Technology, National
University of Pharmacy, Kharkiv, Ukraina. Hlm. 859-864

Anda mungkin juga menyukai