Baru-baru ini kebijakan PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar sedang
marak menjadi perbincangan yang menuai pro dan kontra setelah ditetapkan pertama kali
pada Jumat, 10 April 2020 lalu. Sebagian masyarakat pun menyayangkan kebijakan yang di
luncurkan oleh Pak Jokowi ini terkesan terlambat bahkan tidak ketat. Menurut PP no 21
tahun 2020 pasal 1, dijelaskan bahwa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
merupakan pembatasan kegiatan tertentu dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi
Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. PSBB adalah salah satu strategi pemerintah
untuk menghentikan atau memutus mata rantai penyebaran virus ini. lalu apa bedanya
PSBB dengan Social Distancing?
PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar memiliki perbedaan dengan social
distancing yaitu PSBB ini lebih ketat daripada social distancing. Dengan diterapkannya
kebijakan PSBB maka seluruh kegiatan sosial dan masyarakat akan dibatasi antara lain
penutupan sekolah dan budaya bekerja dari rumah atau Work From Home, pembatasan
kegiatan masyarakat dan fasilitas umum, pembatasan penggunaan kendaraan umum,
bahkan kegiatan keagamaan pun harus dibatasi sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh
instansi keagamaan yang diakui oleh pemerintah. Tujuan dari ditetapkannya kebijakan ini
adalah untuk memutus mata rantai penularan COVID-19 dengan melakukan pembatasan
interaksi sosial masyararakat walaupun kebijakan ini akan menghambat pertumbuhan dan
kemajuan berbagai bidang kehidupan terutama bidang ekonomi yang sangat terasa karena
menyentuh setiap lapisan masyarakat, tetapi nampaknya tidak ada pilihan lain bagi
pemerintah selain menerapkan kebijakan ini.
Selain pada bidang ekonomi, kebijakan PSBB ini juga sangat terasa dampaknya
pada bidang Pendidikan. UNESCO menyebutkan sebanyak 39 negara menerapkan
pentupan sekolah begitu juga Indonesia. Seluruh kegiatan sekolah di daringkan dan Ujian
Nasional resmi dibatalkan baik tingkat SD, SMP, maupun SMA. Keputusan pemerintah
untuk meliburkan atau menghimbau segala kegiatan belajar mengajar dilakukan dirumah
membuat banyak pihak “geragapan” dan merasa tidak siap. Ketidaksiapan stakeholder
sekolah untuk melaksanakan program daring ini menjadi faktor yang mengurangi
efektivitas kegiatan belajar mengajar. Perubahan sistem pembelajaran dari konvensional
menjadi daring menuntut berbagai pihak untuk dapat mengikuti perkembangan zaman dan
melek teknologi agar pembelajaran tetap dapat berlangsung dan tidak ada pihak yang
dirugikan. Tetapi pada kenyataannya, konsep pembelajaran daring yang telah dilaksanakan
adalah sebatas guru memberikan materi dalam bentuk file kemudian murid diminta untuk
mempelajarinya lalu mengerjakan soal yang diberikan oleh guru dan mengumpulkannya.
Tetapi, ada juga guru yang sudah menggunakan berbagai fitur kekinian sebagai media
menyampaikan ilmu, seperti melalui Google meet, Zoom, bahkan melalui Whatsapp group.
Namun nampaknya pembelajaran daring tetap dirasa kurang efektif dan efisien. Banyak
faktor yang menyebabkan terhambatnya proses pembelajaran daring, diantaranya :
1. Literasi teknologi baik pada guru, siswa, maupun orangtua. Guru sebagai fasilitator
pendidikan diharapkan mampu merancang pembelajaran daring ini menjadi
menyenangkan dan tidak membosankan dengan menggunakan model unik seperti
video kreatif yang dapat dibuat oleh guru terkait materi pembelajaran atau berdiskusi
secara virtual dengan siswa melalui media zoom ataupun google meet. Disini guru
dihimbau untuk tetap “keep in touch” dengan siswa dan tidak memberikan tugas yang
terlalu berat, karena itu dapat mengganggu kesehatan mental siswa. Dengan adanya
pandemi ini akan memberikan hikmah tersendiri terutama kesadaran guru dan orangtua
untuk selalu belajar dan mengikuti perkembangan zaman. Kalau tidak karena pandemi
ini mungkin Indonesia tidak akan “mencicipi” metode pembelajaran daring secara
serentak.
2. Memupuk kesadaran dan kesabaran pada orangtua bahwa sejatinya pendidikan adalah
tanggung jawab orangtua dan dengan adanya pandemi ini maka orangtua dipaksa untuk
menemani dan “menggantikan” peran seorang guru di sekolah. Dengan begitu
seharusnya oragtua menjadi belajar kembali bagaimana cara mendidik anak dengan
baik dan benar sehingga orangtua pun dapat lebih menghargai peran guru di sekolah
dalam mendidik putra putrinya serta dapat menjadi role of model yang lebih baik bagi
anak-anaknya.
3. Menyediakan fasilitas penunjang pembelajaran daring. Pemerintah dapat bekerjasama
dengan provider internet untuk dapat memberikan internet gratis bagi seluruh warga
Indonesia dan memberikan jangkauan jaringan internet keseluruh pelosok negeri, tetapi
tidak harus pemerintah, masyarakat yang memiliki jaringan WIFI pun dapat melakukan
amal kebaikan dengan memberikan sambungan internet gratis kepada masyarakat
lainnya sehingga tidak ada lagi hambatan yang disebabkan karena tidak adanya
jaringan internet. Dengan begitu maka pembelajaran daring dapat berjalan lebih baik.
4. Membiasakan diri dan fleksibel terhadap perubahan zaman. Sebagai manusia yang
hidup pada era digital, kita harus senantiasa meng-upgrade diri untuk bisa mengikuti
perkembangan zaman dengan cara meningkatkan budaya membaca, bertanya,
berdiskusi, dan meningkatkan rasa ingin tahu dan empati terhadap keadaan sekitar.
Peduli adalah jembatan emas untuk mengetahui, merasakan, dan bergerak!.
Purwanto, Agus dkk. 2020. “Studi Eksploratif Dampak Pandemi COVID-19 Terhadap
Proses Pembelajaran di Sekolah Dasar”. Jurnal Pendidikan, Psikologi, dan
Konseling, 1, II, hlm. 1-6.
NIM : 18304244005