Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH ILMIAH

PROBLEMATIKA BK DITINJAU DARI TEORI KARAKTER


SOSIAL DAN TEORI PERTUKARAN
(Profesi Bimbingan dan Konseling)

Dosen Pengampu :
1. Dr. Hj. Sestuningsih M. R, M.Pd
2. Andi Wahyu Irawan, S.Pd, M.Pd

Kelompok VI
Disusun Oleh :
Amalia Damayanti (1705095055)
Anwar Basran (1305095159)
Khairatun Nur Azizah (1705095086)
Nurul Hasanah (1705095058)
Ridho Kani Lestari (1705095067)
Tri Yoga Dirga Priyandi Tabola (1705095085)
BK-B 2017
 

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
1
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kemudahan dan
keluasan pikiran yang telah diberikan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ilmiah ini. Makalah ini akan menjelaskan mengenai problematika bimbingan
dan konseling ditinjau dari teori karakter sosial dan teori pertukaran yang di dapat dari
beberapa sumber.
Maka melalui makalah ini, kami berharap mahasiswa program studi bimbingan
dan konseling dapat mengetahui dan memahami problematika bimbingan dan konseling
ditinjau dari teori karakter sosial dan teori pertukaran yang menjadi salah satu materi
pada mata kuliah profesi bimbingan dan konseling yang pada dasarnya sangat penting di
pelajari bagi seorang calon konselor atau guru bimbingan dan konseling, maka kiranya
makalah ini dapat di pergunakan dengan sebaik mungkin.
Akhir kata kami sampaikan, bahwa memang makalah ini belumlah begitu
sempurna tetapi kami berharap makalah ini akan sangat membantu bagi mahasiswa
program studi bimbingan dan konseling yang mempelajari mengenai problematika
bimbingan dan konseling ditinjau dari teori karakter sosial dan teori pertukaran.

Samarinda, 13 November 2019


Penulis,

Kelompok VI

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................. 1
KATA PENGANTAR............................................................................... 2
DAFTAR ISI............................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 4
A. Latar Belakang.................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah............................................................................... 5
C. Tujuan................................................................................................. 5
BAB II PEMBAHASAN........................................................................... 6
A. Problematika BK Dari Teori Karakter Sosial Erich Fromm................ 6
B. Problematika BK Dari Teori Pertukaran J. Thibaut & H. Kelley........ 9
C. Problematika BK Dari Teori Pertukaran G. Homans & P. Blau.......... 16
BAB III PENUTUP................................................................................... 24
A. Kesimpulan......................................................................................... 24
B. Saran................................................................................................... 24
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 25

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia hidup tidak hanya sebagai makhluk unggal atau individu tetapi juga
hidup sebagai bagian dari sebuah masyarakat. Dapat dikatakan bahwa manusia
merupakan makhluk sosial dimana selalu membutuhkan bantuan orang lain dalam
menjalankan kehidupannnya untuk mencapai suatu tujuan, walaupun setiap individu
memilki tujuan hidup yang berbeda satu dengan individu yang lainnya. oleh karena itu
pelunya interaksi yang aktif dari setia inidvudu dalam menjalankan sebuah hubungan
sosial.
Dalam berinteraksi baik itu sebagai makhluk individu maupun sosial manusia
akan menampilkan pola tingkah laku tertentu yang terjadi karena adanya saling
mempengaruhi antar individu, dimana dalam hal ini individu akan mengembangkan
pola respon tertentu yang sifatnya cenderung konsisten dan stabil sehingga dapat
ditampilkan dalam situasi sosial yang berbeda-beda.
Berinteraksi alam hal ini berkaitan juga dengan Bimbingan Konseling, dimana
Bimbingan dan Konseling merupakan proses interaksi pemberian layanan bantuan
yang diberikan oleh koneslor kepada konseli agar dapat mengembangkan potensi
dirinya ataupu membantu memecahkan permasalahan yang dialami konseli.
Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling merupakan upaya proaktif dalam memfasilitasi
konseli mencapai tingkat perkembangan yang optimal, pengembangan perilaku yang
efektif, pengembangan lingkungan, dan peningkatan fungsi atau manfaat konseli di
lingkungannya khusunya di lingkungan sekolah. semua perubahan perilaku tersebut
merupakan proses perkembangan individu, yakni proses interaksiantar individu
dengan lingkungannya melalui interaksi yang aktif. Bimbingan dan Konseling
memegang tugas dan tanggung jawab yang penting dalam sisitem pendidikan guna
mengembangan lingkungan, membangun interaksu yang dinamis antar inidvidu
dengan lingkungan, mengajarkan atau membantu individu untuk mengembangkan,
merubah dan memperbaiki perilaku yang dipandang negatif.
Namun, yang terjadi dilapangan tidak sesuai dengan pernyataan diatas.
Problematika – problematika Bimbingan dan Konseling yang terjadi dilapangan, mulai
dari kurangnya kompetensi yang dimilki oleh seorang konselor sehingga tidak
optimalnya pelaksanaan program Bimbingan dan Konseling yang seharusnya
dijalankan secara profesional, guru Bk di sekolah yang bukan lulusan S1 Bimbingan
4
dan Konseling, hingga stigma stigma negatif mengenai profesi BK seperti, guru BK
dipandang sebagai polisi sekolah
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, didapatkan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana problematika bimbingan dan konseling ditinjau dari teori karakter
sosial dari Erich Fromm?
2. Bagaimana problematika bimbingan dan konseling ditinjau dari teori pertukaran
dari J. Thibaut & H. Kelley?
3. Bagaimana problematika bimbingan dan konseling ditinjau dari teori pertukaran
dari G. Homans & P. Blau?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui problematika bimbingan dan konseling ditinjau dari teori
karakter sosial dari Erich Fromm.
2. Untuk mengetahui problematika bimbingan dan konseling ditinjau dari teori
pertukaran dari J. Thibaut & H. Kelley.
3. Untuk mengetahui problematika bimbingan dan konseling ditinjau dari teori
pertukaran dari G. Homans & P. Blau.

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Problematika BK Ditinjau Dari Teori Karakter Sosial Erich Fromm


Banyak guru memiliki sifat-sifat tulus (genuine), rela-berkorban (altruistic), dan
empati, dengan aksi psiko-sosial lembut, penyayang, dan mengasih-asuh siswa.
Namun akhir-akhir ini, dalam upaya yang disebutnya 'mendidik' atau membimbing
untuk 'mendisiplinkan anak', ada saja guru guru bimbingan dan konseling dengan aksi
psiko-sosialnya yang sangat 'unik'. Tidak sedikit yang sangat berbeda jauh dari
prinsip-prinsip pendidikan dan bimbingan. Teknik-teknik bersifat 'mengarahkan'
seakan sudah tidak mempan untuk memodifikasi perilaku anak. Teknik-teknik cukup
netral atau mendukung yang sifatnya lebih lunak jarang digunakan. Upaya terakhir
pengubahan perilaku siswa yang dipilih guru guru bimbingan dan konseling tersebut
adalah cara kekerasan.
Adapun teknik “belajar lebih” biasanya dilakukan agar guru bimbingan dan
konseling memiliki kompeten unjuk-kerja dalam situasi nyata yang lebih kompleks
dari situasi buatan ketika latihan. Hal ini berkaitan dengan sifat-sifat sosial yang
diperoleh (aquisition), dan yang sering disebut “karakter sosial”, yang dimiliki
sebagian guru itu. Sifat-sifat sosial patriarki (patriarchy) yang keras, menguasai, dan
otoritatif lebih ditampilkan oleh sejumlah guru guru bimbingan dan konseling dalam
aksi sosial 'mengajar' mereka, banyak yang jauh dari mengajarkan nilai-nilai
kebajikan. Sifat-sifat sosial matriarki (matriarchy) yang lembut, membebaskan,
demokratik, meskipun dimiliki dan diterapkan oleh banyak guru guru bimbingan dan
konseling dalam aksi sosial mendidiknya, namun tidak terlalu nampak ke permukaan.
Era keterbukaan informasi membawa media massa lebih intensif memberitakan hal
yang ekstrem, misalnya kekerasan, daripada kelembutan.
Fromm mengulas, tentang bagaimana pengalaman bangsa Yahudi menerima
perlakuan penuh kekerasan, terusir dari tanahnya, diburu dan dibunuh, diperbudak
sejak abad ke-7 SM, mulai dari perampasan tanah mereka oleh bangsa Babilon,
serbuan bangsa Romawi, sampai abad ke-20 M. Lebih dari sepertiga mereka dibunuh
oleh Nazi Jerman. Fromm kemudian sampai pada suatu pemahaman: “Apakah tidak
alami jika mereka memupuk kebencian kepada penindas mereka dan menjadi suku
nasionalistik yang mudah bereaksi dan bertindak primordial kesukuan untuk
membenarkan kehinaan kronis mereka?” (Fromm, 2002b: 109 – 110). Namun,

6
persoalannya bukan pada balasmembalas kekerasan dan pengerusakan, ataukah soal
makna perjuangan untuk menjadi pembenar suatu aksi kekerasan. Soal intinya adalah
ada histori sosial dari kekerasan, sebagaimana dibahas nanti, dimana Fromm
memberikan keyakinan. Begitupun bahwa “kekerasan” memiliki koneksitas dengan
sifat-sifat patriarkis, yang disebutnya “karakter patriarki” suatu komunitas (Fromm,
2001). Adapun sifat sosial di sini, dinamakan oleh Formm sebagai “Karakter sosial”
('social character'). Secara teoretik dan umum, seturut Fromm, karakter didef inisikan
sebagai suatu sistem pengisian energi hidup, elan vital, dimana manusia mengatur baik
hubungannya dengan orang lain maupun dalam cara-caranya memadukan diri dengan
alam, untuk pemuasan kebutuhan material.
Oleh karena karakter adalah suatu sistem maka setiap sifat dari karakter adalah
berkaitan satu sama lain, dan suatu sifat tunggal tidak dapat berubah tanpa
pengubahan dalam keutuhan sistem. Sistem karakter merupakan patokan dasar
perilaku, dan faktor inilah sebagai pembeda individu satu dari lainnya. Apa yang
umum dimiliki semua orang, jelas Fromm lebih lanjut, fisiologis dasar sebagai akar
impuls seperti dimaksudkan oleh konsep terkenal Paul Maclean, yaitu 4-F: ”feeding,
fighting, fleeing and ... the performance of sexual activities.“ Namun, kata Fromm,
cara pemuasan impuls itu adalah dimediasi oleh karakter; dan tidak saja oleh dorongan
fisiologis yang dikondisikan tapi juga pemuasan itu berakar di dalam kespesifikan
kondisi manusia, seperti kebutuhan akan kerangka orientasi dan penyerapan, kesan
identitas, rasa mampu menggerakkan orang lain atau sesuatu (Fromm, 2004).
Atas dasar keyakinan itu, Fromm mengembangkan banyak konsepsi dan
proposisi mengenai karakter individu dan karakter sosial, serta koneksitasnya dengan
kekerasan atau pengrusakan. Dalam tulisan ini dibedakan secara tajam antara konsepsi
“keseluruhan sistem sosial-pribadi yang utuh” yang disimbolkan dengan istilah
“karakter” dengan “unsur-unsur k husus karakter disimbolkan dengan istilah “sifat”.
Dengan demikian, dapat disoroti secara lebih tajam bahwa (misalnya) kecenderungan
'dominasi', 'submissif', 'patriarki', atau 'matriarki' adalah sifat-sifat; sementara paduan
utuh daripada unsur-unsur sesifat itu adalah karakter. Ketika sesuatu sifat pribadi
berkembang dan dimiliki bersama sampai menjadi ciri khas suatu komunitas maka
sesuatu sifat itu berubah menjadi 'kultur'. Dengan proses ini dapat muncul konsepsi
'kultur patriarki', 'kultur matriarki', dan seterusnya. Dalam penelusuran ikhwal “akar
kekerasan”, dan koneksitasnya dengan karakter, dapat dikaji dari beberapa pandangan
Fromm. Salah satu ungkapan Erich Fromm yang sangat mendasar dan diangkat
7
kembali oleh George Bueree, adalah dalam suatu kalimat: ”In reality, nearly everyone
in a traditional society learns both how to dominate and how to be submissive, since
nearly everyone has someone above them and below them in the social hierarchy”
(Boeree, 2006). Tegasnya, bahwa dalam kenyataannya hampir semua orang belajar
bagaimana mendominasi atau bagaimana menjadi penurut karena hampir semua orang
berada dalam posisi dalam mana ada seseorang di atasnya atau di bawahnya di dalam
masyarakat manusia yang pada hakikatnya adalah berkelas-kelas, bersusun,
berpelapisan sosial. Atas pandangan itu, Fromm mengeritik beberapa pendekatan
mengenai “akar kekerasan” dan agenda “modifikasi perilaku sosial” yang ditawarkan
beberapa peneliti, pemikir, sampai para filosof. Ada beberapa pandangan mengenai
hakekat keagresifan, kekerasan, dan pengrusakan pada manusia yang dikritisi oleh
Fromm (2007). Kritik Fromm terhadap berbagai pandangan, dalam bentuk dan
sistematika lain, ditemukan pula dalam karya Fromm yang lain (Fromm, 2001). Salah
satu pandangan yang dikritiknya adalah yang dikemukakan oleh filosof Pencerahan
Prancis yang berpandangan bahwa manusia secara alamiah adalah baik namun
peristiwa sosial telah merusaknya. Pandangan kedua, yang dikemukakan oleh banyak
ahli psikologi, meyakini keagresifan-pengrusakan bukanlah instink –baik dalam
tinjauan Freudian ataupun dalam analisis Konrad Lorenz– dan hal itu tidak melekat
pada karakter dasar manusia, melainkan lebih sebagai sifat yang dipelajari. Dari segi
metodenya, pandangan ini merupakan teori sebagai elaborasi lebih ilmiah daripada
yang dikemukakan dalam era Pencerahan. Pandangan ketiga, aslinya dikemukakan
oleh John Dollard dan koleganya, bahwa agresi senantiasa merupakan akibat dari
frustrasi. Ini berarti bahwa jika orang tidak frustrasi maka orang tidak bersifat agresif;
atau dengan kata lain, agresi itu tidak melekat pada hakekat manusia.
Pada intinya, Fromm menekankan bahwa kekerasan tidak bisa diatasi melalui
hukum-hukum legal kuat, melainkan dengan cara mengkreasi suatu masyarakat dalam
mana orang-orang berkoneksi satu sama lain sebagai layaknya manusia dan (manusia)
mampu mengontrol kehidupan mereka sendiri. Orientasi karakter sosial meliputi dua
hal yaitu berorientasi produktif dan nonproduktif meliputi reseptif (receptive),
eksploitatif (exploitative), penimbun (hoarding), dan pemasaran (marketing) dan
orientasi produktif merupakan karakter ideal (Feist & Feist, 2008: 204-206; Friedman,
2013: 124; Fromm, 1975: 70-89; Schultz & Schultz, 2005: 183-185). Orientasi
karakter produktif menjadi kebutuhan utama dalam menciptakan kehidupan yang baik.
Orientasi karakter produktif terdiri dari kerja (working), cinta (loving), dan bernalar
8
(reasoning) (Fromm, 1975: 117). Kecakapan berpikir yang produktif meliputi empat
komponen yaitu kepedulian (care), tanggungjawab (responsibility), penghargaan
(respect) dan pengetahuan (knowledge) (Fromm, 1957: 104).

B. Problematika BK Ditinjau Dari Teori Pertukaran J. Thibaut & H. Kelley


Teori pertukaran sosial (social exchange) dan interdependensi (interdependence)
sebagai landasan teori (Kelley &Thibaut, 1978; Rusbult, 1980). Teori pertukaran
sosial adalah model ekonomis yang memusatkan perhatian pada dinamika hubungan,
termasuk bagaimana hubungan-hubungan terbentuk, bagaimana hubungan dijaga
keberlangsungannya, dan apakah hubun gan tersebut akan berakhir. Asumsi yang
paling mendasar dari teori ini adalah bahwa orang termotivasi oleh kepentingan
pribadi atau self-interest (Thibaut & Kelley, 1959), dengan kata lain, pertukaran sosial
berasumsi bahwa individu ingin memaksimalkan perolehan pribadinya dengan
pengorbanan seminimal mungkin dalam hubungan. Asumsi terkait hal tersebut adalah
bahwa manusia adalah sepenuhnya makhluk yang rasional. Melalui asumsi tersebut,
teori pertukaran mengemukakan bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk
memperhitungkan secara akurat imbalan dan biaya, juga alternatif proses.
Pertukaran yang mendasar dalam teori ini adalah imbalan (rewards) dan biaya
(costs). Imbalan adalah hal-hal menyenangkan yang dialami seseorang sebagai
konsekuensi dari keterlibatannya dalam suatu hubungan (Rusbult, 1980). Imbalan
dapat berupa benda-benda yang terlihat, interaksi sosial, maupun pengalaman
psikologis. Lawan dari imbalan adalah biaya (costs) dari suatu hubungan. Biaya
adalah pengalaman yang tidak menyenangkan dalam suatu hubungan. Biaya dapat
diklasifikasikan sebagai biaya langsung, yaitu hal-hal yang diberikan agar tetap
berada dalam hubungan (misal uang, waktu, dan sebagainya), atau biaya tidak
langsung, yaitu hilangnya imbalan tertentu sebagai konsekuensi dari hubungan
tersebut. Perbandingan antara imbalan dan biaya dalam suatu hubungan akan
menentukan hasil atau outcomes seseorang.
Bila imbalan yang diperoleh seseorang melebihi biaya yang harus ia keluarkan,
maka dikatakan bahwa ia mendapat keuntungan. Untuk menentukan kepuasan
sesorang, dibutuhkan informasi lebih jauh. Tingkat perbandingan (comparison level,
CL) adalah evaluasi seseorang mengenai keuntungan dibandingkan apa yang
menurutnya berhak ia peroleh. Untuk membangun sebuah CL, individu
membandingkan hubungan yang ia miliki saat ini dengan hubungan masa lalu, orang
9
lain dalam hubungan yang serupa, dan hubungan lain yang mungkin dimilikinya saat
ini. Bila orang tersebut memutuskan bahwa hasil (outcomes) yang ia peroleh lebih
tinggi daripada level pembandingnya, maka ia akan merasa puas. Setelah tingkat
kepuasan seseorang ditentukan, kemudian dibandingkan dengan berbagai alternatif
yang mungkin tersedia di luar hubungan. Level perbandingan bagi alternatif (CLalt)
adalah analisis subjektif dari situasisituasi atau hubungan-hubungan alternatif yang
mungkin tersedia. Analisis subjektif ini dapat berwujud pasangan romantis lain,
kencan lain, atau tetap melajang (Thibaut & Kelley, 1959).
Secara bersama-sama, bila tingkat kepuasan individu lebih tinggi daripada level
berbagai alternatif yang ia anggap tersedia, maka ia akan bertahan dalam hubungan
tersebut. Sebaliknya, bila individu mempersepsi alternatif yang lebih memuaskan,
maka ia akan cenderung meninggalkan hubungan tersebut. Asumsi pokok yang
terakhir dari teori pertukaran, yang merupakan dasar bagi teori interdependensi, adalah
bahwa hubungan bersifat interdependen (Kelley, 1979). Teori interdependensi
berlandaskan pada pendapat yang menyatakan bahwa interdependensi antarpartner
adalah karakteristik utama dalam hubungan. Teori ini menyatakan bahwa perolehan
yang didapatkan oleh setiap orang merupakan turunan dari interaksi unik antara
pasangan tersebut. Secara spesifik, perilaku atau keputusan yang diambil oleh
seseorang dipengaruhi oleh dan memiliki pengaruh terhadap pasangannya. Walaupun
dituliskan dalam tradisi pertukaran, teori interdependensi jauh melebihi gagasan
sederhana dari keputusan hedonistis. Pertimbangan tentang hasil apa yang didapat
oleh hubungan itu sendiri memainkan peran yang penting dalam proses pengambilan
keputusan.
C. Problematika BK Ditinjau Dari Teori Pertukaran G. Homans & P. Blau
Realitas yang mendasari teori pertukaran Homans adalah perkembangan pesat
industri di Eropa, khususnya industri tekstil. Perkembangan pesat terjadi ketika
diperkenalkannya industri tekstil yang digerakkan dengan mesin dalam industri tekstil
di Inggris pada abad ke-18. Homans menganggap event ini adalah event yang sangat
penting secara sosiologis, karena diperkenalkannya tekstil bertenaga mesin tersebut
menjadi langkah awal bagi munculnya apa yang dikenal sebagai “revolusi Industri”.
Yang menjadi starting point (titik tolak) Homans adalah peningkatan dalam eksport
kain cotton Inggris pada abad ke-18. Atas dasar realitas ini, Homans kemudian
menulis:

10
“This led to increased demand on the part of the industrial enterpreneurs for supplies
of cotton thread, a demand that was not fully met by the existing labor force, spinning
thread by hand on spinning wheels, so that the wages of spinners began to rise,
threatening to raise the price of cloth and thus check the expansion of trade”. Ini
menyebabkan permintaan yang meningkat kepada sebagian pengusaha industri untuk
menyuplai benang kotton, suatu permintaan yang tidak sepenuhnya dapat dipenuhi
dengan tenaga buruh yang ada, pemintalan benang dengan tangan dengan roda-roda
pemintal, sehingga upah untuk para pemintal mulai muncul mengancam kenaikan
harga pakaian dan karenanya dapat mengancam perluasan perdagangan.
Untuk mencegah kenaikan upah buruh, ongkos produksi, dan harga pakaian, serta
kemunduran dalam perdagangan, para pengusaha di industri tekstil yang telah
mengenal industri tekstil yang digerakkan dengan mesin pada industri-industri lain,
mengembangkan mesin yang digerakkan dengan tenaga air atau uap air yang dapat
memintal benang. Dengan didorong oleh keinginan mendapat keuntungan yang lebih
banyak, banyak pengusaha mengembangkan mesin seperti itu dan mereka sukses.
Homans menganggap bahwa proses ini bisa direduksi ke sistem deduktif yang akan
bisa menjelaskan mengapa para pengusaha tersebut mengambil sikap seperti itu.
Sistem deduktif didasarkan atas prinsip psikologis sebagai berikut:
1. Manusia mungkin mengambil sikap yang menurut mereka dalam kondisi-kondisi
tertentu mungkin akan menghasilkan keuntungan. (premis mayor).
2. Para pengusaha adalah manusia. (premis minor).
3. Sebagai pengusaha, mereka mungkin akan mendapatkan hasil dalam bentuk
keuntungan yang meningkat. (kesimpulan).
Dengan bertolak dari asumsi dasar di atas, Homans menyatakan bahwa ia telah
mampu menjelaskan tidak hanya perubahan sejarah (masuknya industri tekstil
bertenaga masin di Inggris), melainka juga bisa menerangkan fenomena sosial atas
dasar teori pertukaran yang prinsip-prinsipnya bersifat psikologis.
Homans yang di samping akrab dengan teori ekonomi dan pernah mengikuti dinas
militer angkatan laut pada Perang Dunia II yang melihat langsung pertarungan bangsa-
bangsa, melihat perubahan kondisi ekonomi sebagai akibat logis dari pertukaran yang
seimbang maupun tidak seimbang yang juga bisa dijelaskan dengan prinsip ekonomi
dan psikologis, yaitu teori pertukaran. Inilah yang kemudian dijelaskan oleh Homans
bahwa ada kaitan antara teori pertukaran dengan isu kekuasaan. Teori pertukaran
mengenal dua hubungan: hubungan simetris (nilai yang dipertukarkan sama dan
11
terjadi di antara orang yang secara sosial sama) dan hubungan a-simetris (tidak
seimbang). Ketidakseimbangan tersebut disebabkan oleh sistem stratifikasi yang
berkaitan dengan kekuasaan dan wewenang.
Homans menjelaskan asal-mula kekuasaan dan wewenang dalam kaitannya dengan
prinsip kepentingan mininum (principle of least interest): orang yang memiliki
kepentingan yang paling sedikit untuk kelangsungan situasi sosial adalah yang paling
bisa menentukan kondisi-kondisi asosiasi. Prinsip ini menghasilkan kekuasaan di
tangan salah satu pihak yang berpartisipasi, “sebab dalam pertukaran seseorang
memiliki kapasitas yang lebih besar untuk memberi orang lain ganjaran ketimbang
yang mampu diberikan orang itu kepadanya” (Homans, 1974: 74). Jadi, kapitalisme
yang mengglobal dan ketidakseimbangan antara kelas buruh dan pemilik modal,
menurut Homans, adalah akibat logis dari pertukaran sosial yang tidak seimbang.
Teori pertukaran ini memusatkan perhatiannya pada tingkat analisis mikro,
khususnya pada tingkat kenyataan sosial antarpribadi (interpersonal). Pada
pembahasan ini akan ditekankan pada pemikiran teori pertukaran oleh Homans
dan Blau. Homans dalam analisisnya berpegang pada keharusan
menggunakan prinsip-prinsip psikologi individu untuk menjelaskan perilaku
sosial daripada hanya sekedar menggambarkannya. Akan tetapi Blau di lain
pihak berusaha beranjak dari tingkat pertukaran antar pribadi di tingkat mikro, ke
tingkat yang lebih makro yaitu struktur sosial. Ia berusaha untuk menunjukkan
bagaimana struktur sosial yang lebih besar itu muncul dari proses-proses
pertukaran dasar.Berbeda dengan analisis yang diungkapkan oleh teori interaksi
simbolik, teori pertukaran ini terutama melihat perilaku nyata, bukan proses-proses
yang bersifat subyektif semata. Hal ini juga dianut oleh Homans dan Blau yang
tidak memusatkan perhatiannya pada tingkat kesadaran subyektif atau hubungan-
hubungan timbalbalik yang bersifat dinamis antara tingkat subyektif dan interaksi
nyata seperti yang diterjadi pada interaksionisme simbolik. Homans lebih jauh
berpendapat bahwa penjelasan ilmiah harus dipusatkan pada perilaku nyata yang
dapat diamati dan diukur secara empirik. Proses pertukaran sosial ini juga telah
diungkapkan oleh para ahli sosial klasik. Seperti yang diungkapkan dalam teori
ekonomi klasik abad ke-18 dan 19, para ahli ekonomi seperti Adam Smith
sudah menganalisis pasar ekonomi sebagai hasil dari kumpulan yang
menyeluruh dari sejumlah transaksi ekonomi individual yang tidak dapat dilihat
besarnya. Ia mengasumsikan bahwa transaksi-transaksi pertukaran akan terjadi
12
hanya apabila kedua pihak dapat memperoleh keuntungan dari
pertukaran tersebut, dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya dapat dengan baik
sekali dijamin apabila individu-individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan
pribadinya melalui pertukaran-pertukaran yang dinegosiasikan secara pribadi.
Teori pertukaran ini sendiri lebih bersifat ekologis dimana adanya pengaruh
lingkungan terhadap perilaku aktor serta pengaruh aktor terhadap
lingkungannya. Teori ini merupakan akar dari teori pertukaran yang dinamakan
behaviorisme, dimana hubungan tadi merupakan dasar dari operant condition. Hal
ini kemudian digunakan oleh sosiolog untuk memprediksi perilaku seorang
individu di masa depannya, dengan melihat apa yang terjadi di masa lalunya /masa
kecilnya. Apabila tindakan individu ini menguntungkan di masa kecilnya, maka
kemungkinan besar akan terulang di masa depannya. Dan sebaliknya bila
merugikan, maka akan kecil kemungkinan untuk terulang. Maka sosiolog
menyebutnya dengan adanya hadiah (stimulus) yang mendukung individu
agar melakukan tindakan yang dilakukan di masa kecilnya di kemudian hari dan
hukuman untuk mengurangi kemungkinan perilaku terulang.
Teori pertukaran sosial ini juga melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat
hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan terdiri atas
individu – individu yang dipandang memeiliki hubungan perilaku yang saling
mempengaruhi. Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward),
pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). bagi Homans, prinsip dasar pertukaran
sosial adalah "distributive justice" aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan
harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan
prinsip tersebut berbunyi “ seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang
lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak
sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya -makin tingghi
pengorbanan, makin tinggi imbalannya -dan keuntungan yang diterima oleh
setiap pihak harus sebanding dengan investasinya -makin tinggi investasi, makin
tinggi keuntungan". (dalam Mighfar, Shokhibul 2015 )
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa teori pertukaran memeiliki satu ciri
yaitu istilah cost and reward. Dalam berinteraksi manusia selalu
mempertimbangkan cost (biaya atau pengorbanan) dengan reward (penghargaan
atau manfaat) yang diperoleh dari interaksi tersebut. Jika cost tidak sesuai
dengan reward-nya, maka salah satu pihak yang mengalami disertasi seperti
13
merasa kecewa dan menghentikan interaksinya, sehingga hubungan sosialnya akan
mengalami kegagalan. Inti teori pertukaran Homans terletak pada kumpulan
proposisi-proposisi dasar yang menerangkan tentang setidaknya dua individu
yang berinteraksi. Ia mencoba menjelaskan perilaku sosial mendasar dilihat dari
sudut hadiah dan biaya.
Dalam teori pertukaran menurut Homans mengatakan setidaknya ada

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

15
DAFTAR PUSTAKA

AT, Andi Mappiare. 2013. Kekerasan Psiko-Sosial dalam Pendidikan Dan Keniscayaan
Bimbingan Konseling, Jurnal Psikologi: Teori & Terapan, 3 (2), 113-124.
Kusumowardhan, Retno Pandan Arum. 2013. Strategi Pemeliharaan Hubungan Dan
Kepuasaan Dalam Hubungan : Sebuah Meta Analisis, Jurnal Psikologi Integratif, 1
(1), 8-16.
Wardani. 2016. Membedah Teori Sosiologi: Teori Pertukaran ( Exchange Theory )
George Caspar Homans, Jurnal Studia Insania, 4 (1), 19-38.
Mighfar, Shokhibul. 2015. Social Excange Theory : Telaah Konsep George C. Homans
Tentang Teori Pertukaran Sosial. Jurnal Lisan Al – Hal. Volume 7, No. 2

16

Anda mungkin juga menyukai