Anda di halaman 1dari 145

MODEL KOMPETENSI KEPEMIMPINAN KEPALA RUANG MENINGKATKAN

MOTIVASI DAN KINERJA PERAWAT PELAKSANA


(Model Of The Nurse Unit Manager Leadership Competence And Performance Enhancing
Motivation Nurse Implementing)

Putu Widhi Sudariani*, Budi Utomo**, Rizki Fitryasari***


*RSUD Kota Mataram, Jl. Bung Karno No.3 Pagutan, 83117
**Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya
***Fakultas keperawatan Universitas Airlangga Surabaya
Email: sudariani@gmail.com

ABSTRAK:
Pengantar: Kompetensi kepemimpinan yang kurang sesuai kepada karyawan, dapat menurunkan motivasi, kinerja dan
kepuasan kerja. Penelitian ini bertujuan mengembangkan model kompetensi kepemimpinan kepala ruang sebagai upaya
peningkatkan motivasi dan kinerja perawat pelaksana sehingga dapat meningkatkan pelayanan kesehatan. Metode: Fase
pertama dalam penelitian ini adalah analitik observasional dengan 140 sampel, analisis data dengan parsial least square
(PLS), perumusan isu strategis menggunakan focus group discussion (FGD), kemudian membuat modul bersama pakar. Fase
kedua adalah quasi eksperimental dengan 32 sampel dibagi menjadi dua kelompok terdiri dari kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol. Data analisis di tahap kedua ini menggunakan wilcoxon signed rank test dan mann whitney. Hasil: Tahap
pertama yaitu ada pengaruh signifikan faktor internal (pengetahuan, keterampilan, dan nilai) terhadap kompetensi
kepemimpinan (t=3,728>1,96), pengaruh signifikan faktor eksternal (budaya organisasi) terhadap kompetensi kepemimpinan
(t=2,257>1,96), Kompetensi kepemimpinan berpengaruh terhadap motivasi (t=3.432>1,96), Kompetensi kepemimpinan
berpengaruh terhadap kinerja (t=2,878>1,96). Tahap kedua perhitungan wilcoxon signed rank test pda motivasi menunjukkan
ada beda kelompok perlakuan pre-test dan post-test, uji mann-whitney ada pengaruh pengembangan model kompetensi
kepemimpinan kepala ruang terhadap motivasi perawat pelaksana. Uji wilcoxon signed rank test kinerja perawat pelaksana
menunjukkan ada beda antara pre-test dan post-test, uji mann-whitney diperoleh ada pengaruh pengembangan model
kompetensi kepemimpinan kepala ruang terhadap kinerja. Diskusi: Pengembangan model kompetensi kepemimpinan dapat
meningkatkan motivasi dan kinerja perawat.
Kata kunci: kompetensi kepemimpinan, motivasi, kinerja, perawat

ABSTRACT
Introduction: Leadership competencies are unsuitable that given the leadership to employees, can decrease the motivation,
performance and ultimately job satisfaction. This research was conducted to develop a leadership competency model as an
effort to improve the motivation and performance of nurses so as to improve health services. Methods: This research have
two phase, phase one is analytic observational with 140 sample, analysis data with partial least square (PLS), formulation of
strategic issues using focus group discussion (FGD), then make a modul with some expertise. Phase two is quasy
experimental with 32 sample divided into two group, there are treatment group and control group. Analysis data in phase
two with wilcoxon signed rank test and mann whitney. Result: Phase one there is influence of internal factors (knowledge,
skills, and values) to the leadership competencies (t = 3.728> 1.96), there is influence of external factors (cultural
organizations) to the leadership competencies (t = 2.257> 1.96), competence leadership influence motivation (t = 3,432>
1,96), leadership competencies influence to performance (t = 2.878> 1.96). The second phase, calculation with Wilcoxon
signed rank test showed there is difference motivation in treatment group pre-test and post-test, Mann-Whitney test showed
there is influence of development leadership competency model to the motivation of nurses. Test Wilcoxon signed rank test
for performance of nurses showed there is difference between pre-test and post-test, Mann-Whitney test was obtained there is
influence development of leadership competency model to the performance of nurses. Discussion: Development of leadership
competency model can increase the motivation and performance of nurses.
Keyword: leadership competences, motivation, performance, nurses.

PENDAHULUAN pas atau kurang cocok dilaksanakan yang diberikan


pimpinan kepada karyawannya, dapat menurunkan
Kepemimpinan dalam keperawatan merupakan
motivasi, kinerja dan akhirnya kepuasan kerja (Kuswadi
penggunaan keterampilan seorang pemimpin (perawat)
2004). Penelitian mengenai kinerja perawat telah
dalam mempengaruhi perawat lain yang berada di
dilakukan dengan mengaitkan berbagai variabel seperti
bawah pengawasannya untuk pembagian tugas dan
motivasi, gaya kepemimpinan dan sebagainya. Motivasi
tanggung jawab dalam memberikan pelayanan asuhan
karyawan, kinerja menurun sementara absensi
keperawatan sehingga tujuan keperawatan tercapai (Latif
meningkat sebagai akibat dari gaya kepemimpinan
2008 dalam Maryanto, Pujiyanto, Tri, Setyono 2013).
otokratik dan laissez-faire (Mtimkulu 2014), namun
Gaya menajemen atau gaya kepemimpinan yang kurang

176
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016 (176-185)

penelitian terkait kompetensi kepemimpinan kepala evaluasi dan tindak lanjut kepada organisasi di
ruang belum ada di Indonesia. lingkungan kerja (PPNI 2012).
Data kepegawaian RSUD Kota Mataram terkait Standar tugas pokok Kepala Ruang yang
penilaian kinerja yang dilakukan pada 50 orang perawat ditetapkan oleh Depkes 2002 yaitu menyusun rencana
diperoleh pada tahun 2014 sebagian besar kinerja kegiatan tahunan yang meliputi kebutuhan sumber daya
perawat dalam kategori cukup 29 orang (58%), dan (tenaga, fasilitas, alat dan dana), menyusun jadwal dinas
kinerja perawat dalam kategori kurang sebanyak 10 dan cuti, menyusun rencana pengembangan staf,
orang (20%), bahkan terdapat 2 orang perawat (4%) kegiatan pengendalian mutu, bimbingan dan pembinaan
tidak memenuhi standar kinerja sehingga dilakukan staf, koordinasi pelayanan, melaksanakan program
pemutusan hubungan kerja oleh kepegawaian RSUD. orientasi, mengelola praktik klinik serta melakukan
Studi pendahuluan terhadap motivasi perawat yang telah penilaian kinerja dan mutu pelayanan. Kompetensi
dilakukan pada bulan November 2015, kuesioner kepemimpinan digunakan dalam keterampilan seorang
dilakukan pada 50 orang perawat RSUD Kota Mataram, pemimpin (Kepala Ruang) dalam mempengaruhi staf
didapatkan data sebagian besar perawat memiliki perawat lain yang berada di bawah pengawasannya
motivasi cukup sebanyak 27 orang (54%) dan perawat untuk pembagian tugas dan tanggung jawab dalam
dalam kategori kurang sebanyak 15 orang (30%). Hasil memberikan pelayanan asuhan keperawatan sehingga
wawancara dan observasi pada bulan september 2015 tujuan keperawatan tercapai (Latif 2008 dalam Maryanto
terhadap 15 kepala ruang di RSUD Kota Mataram et al., 2013).
mengatakan bahwa 12 orang (80%) perawat belum Pengembangan model praktik keperawatan
mengikuti pelatihan Manajemen Bangsal. Hasil profesional, peran dan fungsi kepala ruang merupakan
wawancara terhadap kepala seksi keperawatan, pelatihan hal yang sangat penting, sehingga kompetensi
kompetensi kepemimpinan belum dilaksanakan dan kepemimpinan dan manajemen mutlak dibutuhkan
standar operasional prosedur terhadap peran dan fungsi (Ilyas 2002). Pengembangan kompetensi kepemimpinan
kepala ruang sedang dirancang, oleh karena itu keperawatan harus terus dilakukan untuk mendapatkan
pengembangan kompetensi kepemimpinan sebagai model yang ideal terhadap kemampuan pemimpin
upaya peningkatan motivasi dan kinerja perawat sebagai upaya dalam meningkatkan motivasi dan kinerja
pelaksana belum dapat dijelaskan. perawat yang pada akhirnya dapat meningkatkan
Studi terdahulu tentang kompetensi kepuasan pelanggan (pasien). Pembinaan, pengarahan
kepemimpinan telah dilakukan oleh Americans Nursing oleh pimpinan (kepala ruangan) kepada perawat
Association Institute Leadership pada tahun 2013 yang pelaksana, dan pengembangan motivasi, inisiatif dan
membagi kompetensi pemimpin menjadi tiga bagian keterampilan agar dapat melaksanakan tugasnya dengan
yaitu adalah memimpin diri sendiri, orang lain dan baik dan lebih produktif, dalam hal ini pemimpin harus
organisasi (American Nursing Association 2013). mampu menjelaskan, bekerjasama dan memonitor
Indonesia memiliki standar kompetensi kepemimpinan perilaku perawat sesuai dengan situasi yang ada untuk
untuk perawat ahli madya yaitu memberikan kontribusi dapat meningkatkan kinerja perawat dalam
untuk menciptakan lingkungan kerja yang positif, melaksanakan tugasnya dengan baik (Mutaaitin 2010).
memahami manajemen penanganan konflik, Penelitian ini dilakukan untuk mengembangkan model
mendukung kepemimpinan dalam tim dengan cara kompetensi kepemimpinan sebagai upaya peningkatan
konsisten untuk meningkatkan rasa saling menghargai, motivasi dan kinerja perawat sehingga dapat
hormat dan percaya diri diantara anggota tim. Standar meningkatkan pelayanan kesehatan.
kompetensi kepemimpinan untuk Ners yaitu
memberikan advokasi dan bertindak untuk menciptakan METODE
lingkungan kerja yang positif, menyelesaikan konflik
Penelitian ini terdiri dari dua tahap. Tahap
dengan pendekatan manajemen keperawatan serta
pertama menggunakan analitik observasional digunakan
memperhatikan perilaku organisasi, memberikan
untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara dua
kontribusi untuk kepemimpinan tim dengan
variabel secara observasional, dimana bentuk hubungan
memperkuat tujuan sehingga dapat meningkatkan sikap
dapat perbedaan, hubungan atau pengaruh, tahap ini akan
saling menghargai dan percaya diri diantara anggota tim
dilakukan analisis terhadap faktor yang berhubungan
lainnya, memprioritaskan tugas dan mengelola waktu
dengan kompetensi kepemimpinan dan pengaruh
secara efektif, memberikan kontribusi pada hasil review
kompetensi kepemimpinan terhadap motivasi dan
dan modifikasi kebijakan dan prosedur organisasi
kinerja perawat pelaksana. Instrumen yang digunakan
terbaru, memberikan kontribusi terhadap pendidikan dan
adalah kuesioner. Perumusan isu stategis dengan Fokus
pengembangan profesional pembimbing klinik dan
Group Discussion (FGD) bersama kepala seksi
sejawat ditempat kerja, berperan serta aktif memberikan
keperawatan, kepala ruang unit kerja, dan perawat

177
Kompetensi Kepemimpinan Kepala Ruang (Putu Widhi Sudariani, dkk)

pelaksana. Penyusunan modul kompetensi ruang hasil dari FGD dan diskusi bersama pakar.
kepemimpinan kepala ruang dilakukan bersama pakar. Populasi terjangkau dalam tahap uji coba ini adalah
Populasi terjangkau dalam penelitian adalah seluruh seluruh kepala ruang dan perawat pelaksana di ruang
kepala ruang Instalasi dan perawat pelaksana Rumah rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Kota Mataram
Sakit Umum Daerah Kota Mataram sebanyak 192 sebanyak 73 orang yang terbagi menjadi rawat inap kelas
orang. Sampel dalam penelitian tahap satu ini terdiri dari 1, 2, 3, VIP/VVIP. Sampel dalam penelitian sebanyak 32
kepala ruang Unit kerja dan perawat pelaksana. Penetuan responden yang terdiri dari perawat pelaksana rawat inap
besar sampel dalam penelitian ini menggunakan rumus kelas 3A dan 3B. Teknik yang digunakan dalam tahap
rule of the thumb yaitu 5-10 kali jumlah variabel bebas kedua ini yaitu teknik probability sampling jenis simple
yang diteliti. Besar sampel dalam penelitian tahap ini 140 random sample dengan kriteria inklusi dan ekslusi.
responden. Teknik pengambilan sampel menggunakan Perbedaan motivasi dan kinerja perawat pelaksana
probability sampling, yaitu cluster sampling yang kelompok kontrol dan perlakuan sebelum dan sesudah
penetapan subjek diambil dari masing-masing wilayah intervensi menggunakan uji Wicoxon signed ranks
kerja (emergency, rawat inap, rawat jalan, kamar operasi, test. Hipotesis alternatif diterima bila p ≤ 0,05
dan intensif). Tahap kedua pada penelitian ini dan pengaruh kompetensi kepemimpinan
menggunakan rancangan quasy experimental dengan kepala ruang terhadap peningkatan motivasi
randomisasi dan kontrol. Tahap kedua ini terdapat dua dan kinerja perawat pelaksana kelompok
kelompok yaitu kelompok kontrol yang tidak kontrol dan perlakuan sesudah intervensi
mendapatkan perlakuan (menerapkan kompetensi menggunakan uji Mann Whitney. Hipotesis
kepemimpinan kepala ruang seperti biasa) dan kelompok alternatif diterima apabila p≤0,05.
perlakuan yang memperoleh intervensi penerapan
kompetensi kepemimpinan kepala ruang. Tahap uji coba HASIL
menggunakan modul kompetensi kepemimpinan kepala
Tahap I
Tabel 1. Distribusi frekuensi faktor internal (individu)
Faktor internal Skor (%) f (%)
Pengetahuan
Baik 76-100 102 73
Cukup 56-75 28 20
Kurang ≤55 10 7
Keterampilan
Baik 76-100 66 47,14
Cukup 56-75 72 51,42
Kurang ≤55 2 1,43
Pengalaman kerja
≥ 2 tahun 95 67,9
≤ 2 tahun 45 32,1
Nilai
Baik 76-100 80 57,14
Cukup 56-75 58 41,43
Kurang ≤55 2 1,43
Demografi
Umur
17-25 tahun - 32 22,9
26-35 tahun 104 74,3
36-45 tahun 4 2,8
Suku
Sasak - 114 81,4
Bali 8 5,7
Jawa 9 6,4
Lainnya 9 6,4
Jenis kelamin
Laki-laki - 36 25,7
Perempuan 104 74,3
Agama
Hindu - 8 5,7
Islam 132 94,3

178
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016 (176-185)

Tabel 2. Distribusi frekuensi faktor eksternal (organisasi)


Faktor eksternal Skor (%) F (%)
Faktor bawahan
1. Status sosial -
PNS 118 84,3
Kontrak 22 15,7
2. Pendidikan -
D3 Keperawatan 81 57,9
S1 Keperawatan 14 10
Ners 45 32,1

Faktor situasi (budaya organisasi)


Baik 76-100 83 59,29
Cukup 56-75 51 36,43
Kurang ≤55 6 4,29

Tabel 3. Distribusi frekuensi kompetensi kepemimpinan kepala ruang


Kompetensi kepemimpinan Baik Cukup Kurang Total
f % f % f % f %
Memimpin diri sendiri 77 55 63 45 0 0 140 100
Memimpin orang lain 73 52 67 48 0 0 140 100
Memimpin organisasi 62 44 78 56 0 0 140 100

Tabel 4. Distribusi frekuensi motivasi perawat pelaksana


Motivasi Baik Cukup Kurang Total
f % f % f % f %
Faktor motivator 67 47,8 68 48,5 5 4 140 100
Faktor hygiene 54 38 81 58 5 4 140 100

Tabel 5. Distribusi frekuensi kinerja perawat pelaksana


Variabel Sangat baik Baik Cukup Kurang Total
f % f % f % f % f %
Sasaran kerja
16 11,43 27 19,29 87 62,14 10 7,14 140 100
pegawai (SKP)

Sasaran perilaku (SP) 19 13,57 26 18,57 86 61,43 9 6,43 140 100

Tabel 1 menunjukkan distribusi frekuensi faktor jumlah responden terendah berada pada kompetensi
internal (individu) perawat. Responden sebagian besar kepemimpinan memimpin organisasi. Tabel 4
berpengatahuan baik, dan memiliki keterampilan yang menunjukkan sebagian besar motivasi perawat pelaksana
cukup. Responden memiliki pengalaman kerja sebagian pada faktor hygiene dengan kategori cukup, sedangkan
besar lebih dari 2 tahun. Variabel nilai sebagian besar responden terendah yang memiliki kategori kurang
memiliki nilai yang baik. Data demografi menjelaskan berada pada faktor motivator dan faktor hygiene. Tabel 5
sebanyak Sebagian besar responden berada pada rentang menunjukkan sebagian besar kinerja perawat pelaksana
usia 26-35 tahun dan suku terbanyak adalah suku sasak. pada sasaran kerja pegawai (SKP) dan pada sasaran
Tabel 2 menampilkan tentang faktor eksternal perilaku (SP) dalam kategori cukup.
(organisasi) yang terdiri dari faktor bawahan yaitu status Gambaran hasil pengujian PLS tahap pemodelan
sosial, pendidikan perawat dan faktor situasi (budaya dengan tujuan mengetahui pengaruh antar variabel.
organisasi). Status sosial sebagian besar adalah PNS dan Variabel karakteristik faktor internal (individu) yang
pendidikan sebagian besar adalah D3 keperawatan. terdiri dari pengetahuan, keterampilan, pengalaman,
Faktor budaya organisasi menunjukkan bahwa sebagian nilai/norma keyakinan, dan data demografi, faktor
besar responden memiliki budaya organisasi yang baik. eksternal (organisasi) terdiri dari faktor bawahan, faktor
Tabel 3 menunjukkan sebagian besar kepala situasi, variabel kompetensi kepemimpinan terdiri dari
ruang memiliki kualitas baik dalam kompetensi memimpin diri sendiri, memimpin orang lain, dan
kepemimpinan memimpin diri sendiri, sedangkan memimpin organisasi, variabel motivasi terdiri dari faktor

179
Kompetensi Kepemimpinan Kepala Ruang (Putu Widhi Sudariani, dkk)

Gambar 1. structural model

motivator dan faktor hygiene, variabel kinerja terdiri dari nilai tinggi bagi kepala ruang, namun belum
sasaran kerja perawat (SKP) dan sasaran perilaku (SP). dilaksanakan sosialisasi terkait kompetensi
Pengujian ini menggunakan perbandingan uji t (t-test), kepemimpinan kepala ruang.
apabila nilai t hitung lebih besar dari t tabel, t-value > 1,96 Faktor eksternal (budaya organisasi) didapatkan
berarti pengujian signifikan, jika t-value < 1,96 berarti adanya tekanan budaya organisasi dalam institusi,
pengujian tidak signifikan. terdapat pro dan kontra, dan kesenjangan antara visi misi
Hasil pemodelan menunjukkan bahwa faktor rumah sakit dengan ruangan. Kompetensi
internal berpengaruh signifikan terhadap kompetensi kepemimpinan diperoleh pemebelajaran secara otodidak,
kepemimpinan, faktor eksternal berpengaruh signifikan sistem manajemen bangsal belum diterapkan, referensi
terhadap kompetensi kepemimpinan, kompetensi dalam menjalankan kompetensi karu belum optimal.
kepemimpinan berpengaruh signifikan terhadap Variabel motivasi didapatkan perawat pelaksana kurang
motivasi, dan kompetensi kepemimpinan berpengaruh termotivasi dakam menjalankan perintah kepala ruang
positif terhadap kinerja. Isu strategis yang didapatkan dan variabel kinerja diperoleh hasil belum konsisten
pada tahap ini yaitu faktor internal yang terdiri dari antara reward dan punishment, kepala ruang
pengetahuan, keterampilan, dan nilai, faktor eksternal memberikan pembelajaran ekstra terkait kinerja kepada
terdiri dari budaya organisasik, kompetensi perawat baru, belum ada sosialisasi dan pelatihan terkait
kepemimpinan dan motivasi serta kinerja asuhan keperawatan.
Penelitian ini menggunakan metode fokus grup
Tahap II
diskusi untuk memperkuat isu strategis dan juga solusi
untuk kemudian sebagai dasar peneliti dalam menyusun Motivasi
rekomendasi kompetensi kepemimpinan kepala ruang Tabel 7 menyajikan distribusi frekuensi motivasi
sebagai upaya peningkatan motivasi dan kinerja perawat perawat pelaksana pada kelompok perlakuan dan kontrol
pelaksana. sebelum dan sesudah intervensi. Pada kelompok
Hasil atau temuan penting dalam focus group perlakuan faktor motivator sebagian besar memiliki
discussion (FGD) yaitu pada faktor internal (individu) jumlah nilai sama yaitu dengan kategori cukup. Begitu
didapatkan pebelajaran secara otodidak, pengetahuan juga dengan faktor hygiene memiliki nilai sebagian besar
perawat yang beraneka ragam, penempatan orang bau berada pada kategori Frekuensi motivasi perawat
sebagai karu, belum ada referensi tentang kompetensi pelaksana pada kelompok perlakuan dan kontrol setelah
kepemimpinan kepala ruang, dan kurangnya intervensi yaitu kelompok perlakuan memiliki faktor
pengetahuan perawat, dari segi keterampilan didapatkan motivator dan faktor hygiene dengan kategori baik yang
bidang keperawatan belum membuat perencanaan sama.
dalam hal pelaksanaan pelatihan, sedangkan indikator
nilai didapatkan kompetensi kepemimpinan memiliki

180
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016 (176-185)

Tabel 7. Distribusi frekuensi motivasi perawat pelaksana pada kelompok perlakuan dan kontrol
Motivasi Baik Cukup Kurang Total
f % f % f % f %
Pre-test
1. Perlakuan
Faktor motivator 6 37,5 10 62,5 0 0 16 100
Faktor hygiene 7 43,75 9 56,25 0 0 16 100
2. Kontrol
Faktor motivator 6 37,5 10 62,5 0 0 16 100
Faktor hygiene 4 25 11 68,75 1 6,25 16 100
Post-test
1. Perlakuan
Faktor motivator 12 75 4 25 0 0 16 100
Faktor hygiene 12 75 4 25 0 0 16 100
2. Kontrol
Faktor motivator 6 37,5 10 62,5 0 0 16 100
Faktor hygiene 2 12,5 13 81,25 6,25 1 16 100
a. Faktor motivator
Wilcoxon kelompok perlakuan p=0,002
Wilcoxon kelompok kontrol p=0,845
Mann whitney post-test p=0,010
b. Faktor hygiene
Wilcoxon kelompok perlakuan p=0,002
Wilcoxon kelompok kontrol p=0,892
Mann whitney post-test p=0,000

Tabel 8. Distribusi frekuensi kinerja perawat pelaksana pada kelompok perlakuan dan kontrol
Motivasi Baik Cukup Kurang Total
f % f % f % f %
Pre-test
1. Perlakuan
Sasaran kerja pegawai (SKP) 8 50 8 50 0 0 16 100
Sasaran perilaku (SP) 5 31,25 11 68,75 0 0 16 100
2. Kontrol
Sasaran kerja pegawai (SKP) 5 31,25 11 68,75 0 0 16 100
Sasaran perilaku (SP) 5 31,25 11 68,75 0 0 16 100
Post-test
1. Perlakuan
Sasaran kerja pegawai (SKP) 12 75 4 25 0 0 16 100
Sasaran perilaku (SP) 11 68,75 5 31,25 0 0 16 100
2. Kontrol
Sasaran kerja pegawai (SKP) 5 31,253 11 68,75 0 0 16 100
Sasaran perilaku (SP) 5 1,25 11 68,75 0 0 16 100

a. Sasaran kerja pegawai (SKP)


Wilcoxon kelompok perlakuan p=0,010
Wilcoxon kelompok kontrol p=0,317
Mann whitney post-test p=0,006
b. Sasaran perilaku (SP)
Wilcoxon kelompok perlakuan p=0,006
Wilcoxon kelompok kontrol p=1,000
Mann whitney post-test p=0,039

Kelompok kontrol pada faktor motivator dan berarti terdapat pengaruh kompetensi kepemimpinan
hygiene sebagian besar berada pada kategori cukup. Pada kepala ruang terhadap motivasi (faktor motivator)
faktor motivator pada kelompok perlakuan memiliki perawat pelaksana.
hasil yang signifikan sebelum dan sesudah, dimana Hasil uji dengan wilcoxon signed rank test faktor
berarti bahwa terdapat beda sebelum dan setelah hygiene pada kelompok perlakuan menunjukkan
diberikan intervensi. Hal ini berkebalikan dengan terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan
kelompok kontrol, dimana tidak ada beda anatar sebelum setelah dilakukan intervensi, hal ini berkebalikan dengan
dan setelah intervensi pada kelompok kontrol. Hasil uji elompok kontrol. Sedangkan hasil uji beda antara
beda antara kelompok perlakuan dengan kelompok kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol terdapat
kontrol terdapat perbedaan yang signifikan, dimana perbedaan yang signifikan, hal ini menunjukkan bahwa

181
Kompetensi Kepemimpinan Kepala Ruang (Putu Widhi Sudariani, dkk)

terdapat maka artinya terdapat pengaruh kompetensi dalam mengambil tindakan yang perlu adalah menjadi
kepemimpinan kepala ruang terhadap motivasi (faktor latar belakang dalam mengartikulasikan beberapa pilihan
hygiene) perawat pelaksana. tindakan yang mungkin dapat dilakukan, memilih salah
satu dari beberapa kemungkinan tersebut dan
Kinerja
mengimplementasikan pilihan tersebut, sehingga
Sasaran kerja pegawai pada kelompok perlakuan pengetahuan mengenai kompetensi kepemimpinan bagi
pre-test memiliki jumlah yang sama antara kategori baik seorang kepala ruang sangatlah penting sebagai dasar
dengan kategori cukup. Sedangkan pada faktor sasaran pengambilan keputusan dalam penerapan kompetensinya
perilaku pada saat pre-test jumlah terbanyak adalah pada di ruangan (Achterbergh & Vriens 2002 dalam Pribadi
kategori cukup. Sedangkan pada kelompok kontrol baik 2010).
sasaran kerja pegawai maupun sasaran perilaku Keterampilan kepala ruang digambarkan
memiliki julah yang sama dimana berada pada kategori sebagian besar adalah cukup, pengalaman kerja yang
baik dan cukup. dimiliki sebagian besar ≥ 2 tahun, namun bertolak
Hasil pada saat post test menunjukkan bahwa belakang dengan pendapat (Ferguson & Brunner 1982
baik pada sasaran kerja pegawai (SKP) maupun sasaran dalam Chase 2010) bahwa keterampilan yang dimiliki
perilaku (SP) sebagian besar berada pada kategori baik, kepala perawat dipengaruhi oleh pengalaman, semakin
hal ini berkebalikan dengan kelompok kontrol dimana tinggi pengalaman yang dimiliki maka akan
sebagian besar berada pada ketgori cukup. memberikan penghargaan yang lebih besar pula
Hasil uji beda pada faktor SKP dan faktor SP sehingga yang peran manajerial kepala perawat yaitu
sebelum dan setelah intervensi menunjukkan bahwa manajemen dan tujuan klinis, keterampilan manajemen
terdapat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan dasar, dan unsur-unsur kunci dalam unit perawatan. Hal
setelah intervensi. Kelompok kontrol baik pada faktor tersebut dapat disebabkan karena seorang menjadi kepala
SKP maupun SP ini tidak adanya perbedaan yang ruang yang baru di RSUD Kota Mataram cenderung
siginfikan antara sebelum dan setelah dilakukan belajar secara otodidak dan kepala ruang belum
intervensi. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat memperoleh pelatihan kompetensi kepemimpinan,
pengaruh kompetensi kepemimpinan kepala ruang selain itu pendidikan kepala ruang sebagian besar adalah
terhadap kinerja (sasaran kerja pegawai dan sasaran D3, dimana pendidikan D3 merupakan pendidikan
perilaku) perawat pelaksana. profesi pemula sehingga dalam pelaksanaannya
membutuhkan pengalaman kerja yang cukup.
PEMBAHASAN Pendidikan D3 keperawatan belum diajarkan bagaimana
cara untuk memimpin dan mengelola hanya berbatas
Tahap 1
pada keterampilan pelayanan kesehatan.
Hasil uji statistik faktor internal menunjukkan Komponen faktor internal yang paling
bahwa ada pengaruh signifikan faktor internal terhadap mempengaruhi kompetensi kepemimpinan adalah
kompetensi kepemimpinan kepala ruang (tabel 7). komponen nilai, nilai yang dimaksudkan adalah
Pengetahuan yang dimiliki sebagian besar berada pada kompetensi kepemimpinan kepala ruang merupakan hal
kategori baik sebanyak 73%, keterampilan kepala ruang yang sangat penting dan menjadi acuan kepala ruang
sebagian besar dalam kategori cukup sebesar 51,42% dalam melaksanakan peran dan fungsinya untuk
dan nilai berada dalam kategori baik sebesar 80%. peningkatan mutu pelayanan, selain itu kompetensi
Pengetahuan kepala ruang dalam kompetensi kepemimpinan kepala ruang memiliki nilai strategis bagi
kepemimpinan, memimpin diri sendiri masuk kedalam peningkatan motivasi dan kinerja perawat pelaksana.
kategori kapasitas belajar dimana seorang kepala ruang Seorang pemimpin dalam memotivasi orang lain harus
paham terhadap peran dan fungsinya karena akan tahu diri, mengevaluasi keyakinan, dan nilai-nilai pribadi
menjadi landasan dalam menjalankan kompetensinya. (Bennis 1989 dalam Smith 2012).
Pengetahuan yang dimiliki oleh kepala ruang sebagian Perhitungan t-test pada faktor ekternal yaitu ada
besar terdapat pada pengertian kepemimpinan bila pengaruh signifikan faktor ekternal terhadap kompetensi
dibandingkan dengan peran dan fungsi keperawatan, kompetensi kepemimpinan. Hasil FGD pada budaya
karena di RSUD Kota Mataram belum ada referensi organisasi didapatkan adanya tekanan budaya organisasi
yang lengkap serta sosisalisasi terkait kompetensi dalam institusi, beban kerja perawat, dan terdapat
kepemimpinan kepala ruang. kesenjangan visi misi rumah sakit dan ruangan. Budaya
Pengetahuan memiliki dua fungsi utama, pertama oganisasi dapat mempengaruhi kompetensi
sebagai latar belakang dalam menganalisa sesuatu hal, kepemimpinan kepala ruang dalam mencapai tujuan
mempersepsikan dan menginterpretasikannya, yang organisasi. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
kemudian dilanjutkan dengan pengambilan keputusan budaya organisasi berkontribusi positif kepada
tindakan yang dianggap perlu. Kedua, peran pengetahuan kepemimpinan (Wong & Cummings 2007 dalam Carter

182
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016 (176-185)

2016). Hasil dari penelitian (Kusumawati 2010) yang telah ditentukan, apabila staf telah mencapai prestasi
menyatakan bahwa ada pengaruh signifikan antara dan hasil kerja yang memuaskan, seorang kepala ruang
budaya organisasi terhadap kinerja dan kompetensi dapat memberikan reward kepada stafnya, dan begitu
kepemimpinan. Budaya organisasi tersebut terdiri dari sebaliknya.
misi, konsistensi, adaptabilitas, dan pelibatan jadi dalam Hasil penelitian kinerja didapatkan sebagian
budaya organisasi dimana keterlibatan karyawan relatif besar pada kategori cukup. Hasil t-test menunjukkan
tinggi merupakan atribut untuk meningkatkan kinerja bahwa ada pengaruh signifikan kompetensi
dan kepuasan pasien. kepemimpinan kepala ruang terhadap kinerja perawat
Hasil kuesioner faktor situasi (budaya organisasi) pelaksana. Hasil FGD pada penelitian ini terkait kinerja
pada faktor ekternal di RSUD Kota Mataram sebanyak adalah kepala ruang memberikan pembelajaran ekstra
59,29% memiliki kategori baik, selanjutnya responden kepada perawat baru.
yang berada dalam kategori baik tersebut sebagian besar Penelitian (Miltner et al., 2015) saat
berada pada komponen konsistensi sebanyak 89 orang melaksanakan FGD beberapa kepala keperawatan
(63,67%), hal ini membuktikan bahwa konsistensi yang mengatakan bahwa strategi kepemimpinan yang proaktif
terdiri dari pedoman dalam pelaksanaan pelayanan dapat meningkatkan kinerja unit. Kompetensi
dibuat tertulis, setiap perawat memiliki pemahaman yang kepemimpinan pada kepala ruang memiliki nilai penting
baik tentang kebutuhan pasien, setiap kesalahan yang terhadap peningkatan kinerja ruangan, sehingga kepala
terjadi dievaluasi secara tertutup, penerapan nilai-nilai ruang diharapkan paham terhadap kompetensi yang
dalam bekerja seperti kedisiplinan, kekompakan, dimilikinya sebagai pemimpin, oleh sebab itu diperlukan
penghargaan, dan lain-lain telah dilaksanakan dengan adanya pelatihan atau penyegaran kembali terkait
maksimal. Hal tersebut berbeda dengan hasil dari perfomance perawat dalam pelaksanaan tugasnya
penelitian (Deal and Patterson 2007 dalam Blakeman sebagai pelayan kesehatan. Pendapat (De Kluyver &
2013) yaitu visi dan dari institusi merupakan hal yang Pearce 2008 dalam Olinger 2010) kinerja merupakan inti
paling penting dalam budaya organisasi. dan aset dari kompetensi kepemimpinan dalam suatu
Hasil perhitungan t-test (structural model) organisasi.
didapatkan ada pengaruh signifikan kompetensi Perawat merupakan ujung tombak dari
kepemimpinan terhadap motivasi perawat pelaksana. pelayanan kesehatan di Rumah Sakit, apabila kinerja unit
Faktor higyene merupakan sub variabel yang paling dalam suatu organisasi/unit pelayanan kesehatan tinggi
mempengaruhi motivasi perawat pelaksana. (Herzberg maka akan mempengaruhi kualitas dari organisasi
1966 dalam Ghazi et al., 2013) mengembangkan teori tersebut, oleh sebab itu dibutuhkan leader atau kepala
dua faktor yaitu faktor higiene dan motivator. Faktor keperawatan yang mengetahui kompetensi
hygiene meliputi: upah, kondisi kerja, keamanan kerja, kepemimpinan yang mereka harus miliki. Kinerja
status, prosedur perusahaan, mutu penyeliaan, mutu sebagian besar dalam kategori cukup dapat disebabkan
hubungan interpersonal antar sesama rekan kerja, atasan, karena belum dilakukan pelatihan secara
dan bawahan, sedangkan faktor motivators meliputi: berkesinambungan, sehingga kepala ruang masih
pencapaian prestasi, pengakuan, tanggung jawab, memberikan pengajaran ektra kepada perawat pelaksana
kemajuan, pekerjaan itu sendiri, kemungkinan terkait keterampilan, selain itu pada poin penelitian
berkembang. Studi meta analisis menyelidiki berbagai asuhan keperawatan sebagai peningkatan orientasi mutu
literatur untuk dapat menunjang bahwa peningkatan pelayanan didapatkan asuhan keperawatan tiap ruang
moral dan karakteristik motivasi dari seorang pemimpin berbeda-beda karena belum ada pelatihan serta sosialisasi
keperawatan erat kaitannya dengan pengoptimalan tentang standard nursing language di RSUD Kota
kualitas perawat dan hasil di rumah sakit. Studi ini Mataram.
menyatakan bahwa kompleksitas hubungan
Tahap 2
interpersonal dalam lingkungan kerja klinis, dan isu kritis
yang dihadapi perawat pada fungsi mereka sehari-hari Uji satatistik wilcoxon faktor motivator dan faktor
menunjukkan bahwa moral, kepuasan kerja dan motivasi hygiene pada kelompok perlakuan setelah dilakukan
adalah bagian terpenting dalam peningkatan efisiensi intervensi adalah sama yaitu sebesar p=0,002 sehingga
kerja, output, kolegialitas, dan komunikasi antara staf dapat disimpulkan ada beda motivasi responden sebelum
(Stapleton et al., 2007 dalam Ezeukwu 2011). dan sesudah intervensi kompetensi kepemimpinan
Seorang pemimpin dapat mempengaruhi kepala ruang pada kelompok perlakuan. Hasil post-test
motivasi pada bawahan dengan cara menawarkan kelompok perlakuan, sebagian besar motivasi perawat
imbalan untuk dapat mencapai tujuan kinerja, pelaksana berada pada kategori baik. Uji mann-whitney
menjelaskan jalur menuju tujuannya tersebut. Salah satu faktor motivator dan faktor hygiene pada kelompok
bagian dari kompetensi kepemimpinan kepala ruang perlakuan dan kontrol post-test didapatkan ada pengaruh
adalah memotivasi staf sehingga dapat mencapai tujuan signifikan motivasi perawat pelaksana setelah

183
Kompetensi Kepemimpinan Kepala Ruang (Putu Widhi Sudariani, dkk)

mendapatkan intervensi kompetensi kepemimpinan misalnya melalui pemberian kompensasi yang layak,
kepala ruang pada kelompok perlakuan bila pemberian motivasi, menciptakan lingkungan kerja yang
dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak kondusif, serta pendidikan dan pelatihan, oleh karena itu
diberikan intervensi. karyawan diharapkan dapat memaksimalkan tanggung
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa jawab mereka setelah dibekali dengan pendidikan dan
terdapat 7 kunci utama yang diidentifikasi dalam pelatihan yang berkaitan dengan implementasi pekerjaan
memotivasi yaitu imbalan keuangan (gaji atau mereka. Kinerja pada dasarnya dipengaruhi oleh kondisi
tunjangan), pengembangan karir (dipromosikan), tertentu, yaitu kondisi yang berasal dari dalam individu
pendidikan berkelanjutan (memiliki kesempatan untuk yang disebut dengan faktor individual dan kondisi yang
mengambil kelas dan menghadiri seminar), infrastruktur berasal dari luar individu yang disebut dengan faktor
rumah sakit (kondisi fisik, fasilitas kesehatan, lingkungan situasional. Faktor individual meliputi pengalaman dan
kerja), ketersediaan sumber daya (ketersediaan perawat karakteristik psikologis yang terdiri dari motivasi,
dan alat medis bagi petugas kesehatan untuk melakukan kepribadian, dan orientasi tujuan sedangkan faktor
pekerjaan mereka), manajemen rumah sakit (memiliki situasional meliputi kepemimpinan, prestasi kerja,
kerja yang positif, hubungan yang baik dengan hubungan sosial dan budaya organisasi (Melati 2011).
manajemen dan petugas kesehatan lainnya) dan Salah satu dari empat domain kompetensi
pengakuan/penghargaan (baik dari manajer, rekan kerja, kepemimpinan oleh (Rubino 2007 dalam Graziadio
maupun dari masyarakat) (Willis-Shattuck et al., 2008). 2013) yaitu manajemen kinerja dan evaluasi yang
Penerapan dalam kompetensi kepemimpinan dilakukan terdapat pada domain kompetensi organisasi. De
melalui empat domain utama yang salah satunya dalam Kluyver dan Pearce 2008 dalam Olinger 2010
domain kompetensi interpersonal yaitu motivasi (Rubino menyatakan bahwa kinerja merupakan inti dan aset dari
2007 dalam Graziadio 2013). Lingkungan kerja yang kompetensi kepemimpinan dalam suatu organisasi.
nyaman serta pemberian motivasi pada dasarnya Modul kompetensi kepemimpinan diterapkan
merupakan hak para karyawan dan kewajiban dari pihak selama 1 bulan kepada kepala ruang. Skor kinerja
perusahaan untuk mendukung kontribusi para kelompok perlakuan sebagian besar meningkat, bila
karyawannya dalam rangka mencapai tujuan yang telah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kompetensi
ditentukan (Rezsa 2008 dalam Melati 2011). kepemimpinan yang diterpakan dalam hal kinerja yang
Motivasi perawat pelaksana setelah dilakukan dilakukan meliputi dokumentasi asuhan keperawatan,
intervensi kompetensi kepemimpinan kepala ruang pasien safety, health education pasien dan keluarga
meningkat, sebagaian besar kompetensi berada pada sesuai kasus, menghitung beban kerja perawat, timbang
kategori baik hal ini disebabkan karena modul terima, kerja sama tim, dan lain-lain.
kompetensi disosialisasikan peneliti kepada kepala ruang
kelompok perlakuan selama 1 bulan, setelah diberikan
SIMPULAN DAN SARAN
intervensi nilai motivasi pada kelompok perlakuan
sebagian besar meningkat. Kepala ruang telah Simpulan
menerapkan kompetensi kepemimpinannya dalam hal Model kompetensi kepemimpinan kepala ruang
memotivasi perawat pelaksana seperti memberikan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
kesempatan kepada perawat pelaksana dalam internal merupakan faktor yang ada dalam diri pemimpin
pengembangan karir di bidang keperawatan, membuat yang terdiri dari pengetahuan, keterampilan dan nilai,
kondisi kerja yang nyaman, rekan kerja memberikan sedangkan faktor ekternal terdiri dari faktor bawahan
semangat dan dukungan dalam pelaksanaan asuhan (pendidikan) dan faktor organisasi (budaya organisasi).
keperawatan. Penerapan model kompetensi kepemimpinan kepala
Hasil penelitian pada kelompok perlakuan post- ruang mempengaruhi motivasi dan kinerja perawat
test didapatkan bahwa kinerja (SKP) dan kinerja (SP) pelaksana. Faktor hygiene dalam motivasi merupakan
sebagian besar pada kategori baik. Hasil uji wilcoxon yang paling besar mempengaruhi kompetensi
signed rank test pada kelompok perlakuan didapatkan kepemimpinan. Faktor hygiene tersebut terdiri dari gaji,
ada beda kinerja perawat pelaksana sebelum dan sesudah kondisi kerja, hubungan kerja, dan prosedur kerja.
intervensi pada kelompok perlakuan. Uji mann-whitney
pada kelompok perlakuan dan kontrol post-test Saran
didapakan ada pengaruh signifikan kinerja perawat Pengembangan model kompetensi kepemimpinan
pelaksana setelah diberikan intervensi kompetensi terkait memimpin diri sendiri, memimpin orang lain dan
kepemimpinan dibandingkan dengan kelompok kontrol memimpin organisasi dapat digunakan sebagai salah satu
yang tidak memperoleh intervensi. referensi seorang pemimpin dalam menjalankan
Peningkatan kinerja karyawan di instansi kompetensinya di lapangan, selain itu dapat
pemerintah dapat ditempuh dengan beberapa cara,

184
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016 (176-185)

dipertimbangkan sebagai sarana penilaian kepemimpinan Maryanto, Pujiyanto, Tri, Setyono, S., 2013. Hubungan
keperawatan. gaya kepemimpinan kepala ruang dengan
kepuasan kerja perawat di rumah sakit swasta di
KEPUSTAKAAN
Demak. Jurnal Managemen Keperawatan, 1(2),
American Nursing Association, 2013. Competency pp.146–153.
model, Available at: Available at: http://ana- Melati, II., 2011. Faktor-faktor yang mempengaruhi
leadershipinstitute.org/Doc-Vault/About- kinerja pegawai studi empiris pada kementerian
Us/ANA-Leadership Institute-Competency- keuangan kantor wilayah jawa tengah. Available
Model-pdf.pdf. at: http://eprints.undip.ac.id/28660/1/Skripsi05.pdf.
Blakeman, C., 2013. A nursing model of leadership Miltner, R.S. et al., 2015. Professional Development
pcactice and policy implementation: end-of-life Needs of Nurse Managers. Journal of Continuing
care challenge. Proquest LLC. Education in Nursing, 46(6), pp.252–258 7p.
Carter, S., 2016. The relationship between Available at:
transformational leadership and organizational http://search.ebscohost.com/login.aspx?direct=true
learning culture in magnet and non-magnet &db=c8h&AN=103807275&site=ehost-
hospitals. Proquest LLC. live&scope=site.
Chase, L., 1994. Nurse manager competencies. The Mtimkulu, D.S., 2014. an Evaluation of the Leadership
Journal of nursing administration, 24, pp.56–64. Styles of Managers and Their Impact on Human
Ezeukwu, D., 2011. Nurse leader competencies and their Capital Factors of Motivation , Performance and
relationship to quality of nursing care: a case study. Absenteeism of Employees At Selected Hospitals
Proquest LLC. in Eastern Free State , South Africa. , 4(2).
Ghazi, Sahsada & Khan, S., 2013. Resurrecting Mutaaitin, 2010. Hubungan gaya kepemimpinan
herzberg’s two factor theory: an implication to the situasional kepala ruangan dengan tugas perawat
university teachers. Journal of Educational and pelaksana dalam memberikan asuhan
Social Research, 3(2). keperawatan kepada Klien di Ruang Rawat Inap
Graziadio, GL., 2013. Leadership competencies for RSUD Pasaman Barat. Universitas Andalas.
effective hospital chief executive officers and chief Available at: http://repository.unand.ac.id/7467/.
medical officers in mexico. Proquest LLC, UMI PPNI, 2012. Standar praktek keperawatan, perawat
1543405. profesional, Jakarta.
Hair, J.F. et al., 2012. The use of partial least squares Pribadi, A., 2010. Analisis pengaruh faktor pengetahuan,
structural equation modeling. Strategic motivasi, dan persepsi perawat tentang supervisi
Management Research: A Review of Past kepala ruang terhadap pelaksanaan dokumentasi
Practices and Recommendations for Future asuhan keperawatan di ruang rawat inap RSUD
Applications, Long Range Planning (LRP), 45(4- Kelet Provinsi Jawa Tengah di Jepara. Available
5), pp.320–340. Available at: at:
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S http://eprints.undip.ac.id/16228/1/Agung_Pribadi.
0024630112000568. pdf.
Ilyas, Y., 2002. Kinerja: teori, penilaian, dan penelitian. In Smith, V., 2012. College of management and
Pusat Kajian Ekonomi Kesehatan Fakultas technology. Proquest LLC.
Kesehatan Masyarakat. depok: Universitas Willis-Shattuck, M. et al., 2008. Motivation and retention
Indonesia. of health workers in developing countries: a
Kusumawati, R., 2010. Analisis pengaruh budaya systematic review. BMC Health Services
organisasi dan gaya kepemimpinan terhadap Research, 8, p.247. Available at:
kepuasan kerja untuk meningkatkan kinerja http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19055827.
karyawan studi kasus di RS Roemani Semarang. Yamin, S. & Kurniawan, H., 2011. Generasi
Available at: baru mengolah data penelitian dengan partial
http://eprints.undip.ac.id/18652/1/Ratna_Kusuma least square path modeling, Jakarta:
wati.pdf. SalembaInfotek.
Kuswadi, 2004. Cara Mengukur Kepuasan Karyawan,
jakarta: PT. Elex media koputindo.

185
Perception Of Indonesian Nursing Students (Madiha Mukhtar, dkk)

PERSEPSI MAHASISWA KEPERAWATAN INDONESIA TENTANG PERILAKU


CARING DAN KARAKTERISTIK PENGAJARAN PEMBIMBING AKADEMIK
(Perception Of Indonesian Nursing Students Regarding Caring Behavior And Teaching
Characteristics Of Their Clinical Nursing Instructors)

Madiha Mukhtar*, Nursalam**, Ninuk Dian Kurniawati**


*Bhawalpur College of Nursing, Punjab. Pakistan
**Faculty Of Nursing, Universitas Airlangga
Email: mukhtar_maha@yahoo.com
ABSTRAK
Pendahuluan: Pembelajaran dan kinerja mahasiswa mencerminkan sikap profesional, perilaku, etika dan standar
pembimbing mereka. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis persepsi mahasiswa Keperawatan Indonesia
mengenai perilaku caring dan karakteristik pengajaran pembimbing akademik mereka. Metode: Studi cross-sectional
eksplorasi ini menggunakana partisipan sebanyak 149 mahasiswa profesi keperawatan dari program regular dan alih jenis
serta 15 pembimbing akademik fakultas keperawatan dari universitas negeri yang terletak di Surabaya Indonesia. Data
dikumpulkan melalui kuesioner dan focus group discussion (FGD) yang dilakukan untuk menggali informasi secara rinci.
Hasil: Analisis deskriptif didapatkan 6% mahasiswa merasakan perilaku caring instruktur klinik mereka rendah, 52,3%
merespon sebagai cukup dan 41,6% dianggap baik. Karakteristik pengajaran pembimbing akademik 2,7% rendah, 26,8%
cukup dan 70,5% baik dirasakan oleh siswa mereka. Data yang dikumpulkan dari siswa dianalisis dengan menggunakan uji
regresi logistik. komitmen profesional dengan (P-value 0,038), motivasi (P-value 0,010) dan lingkungan klinik (P-value
0,002) dalam kategori utama (nilai signifikansi adalah <0,05) menunjukkan pengaruh pada persepsi mahasiswa keperawatan
Indonesia mengenai perilaku caring dan karakteristik pengajaran pembimbing akademik mereka. Pada focus group
discussion siswa menyarankan agar pembimbing akademik meningkatkan jumlah kunjungan di lingkungan klinik dan
menekankan pada demonstrasi di samping tempat tidur. Diskusi: Kesimpulan yang didapat bahwa karakteristik siswa
memiliki pengaruh pada persepsi mereka mengenai perilaku caring dan lingkungan klinik mempengaruhi persepsi mereka
mengenai karakteristik pengajaran pembimbing akademik mereka.
Kata kunci: perilaku caring, persepsi mahasiswa keperawatan, karakteristik pengajaran, instruktur Keperawatan akademik

ABSTRACT
Introduction: Student’s learning and performance reflects the professional attitude, behavior, ethics and standards of their
instructors. The aim of this study is to analyze the perception of Indonesian Nursing students regarding caring behavior and
teaching characteristics of their Clinical Nursing Instructors (CNI). Method: In this exploratory cross-sectional study, 149
professional nursing students from Regular program (Baccalaureate) and Post diploma BSN and 15 CNI were recruited from
nursing faculty of goverment university located in Surabaya Indonesia. Data were collected by questionnaire and Focus
Group Discussion (FGD) which conducted to explore detailed information. Result: In descriptive analysis 6% students
perceived the caring behavior of their clinical instructors as low, 52.3% respondents it as enough and 41.6 % considered it
good. Teaching characteristics of CNI 2.7% low, 26.8 as enough and 70.5 % good as perceived by their students. Data
collected from students was analysed by using logistic regression test. Professional commitment with (P-value .038),
motivation (P-value .010) and clinical placement environment (P-value .002) in main category (significance value is < 0.05)
shows influence on perception of Indonesian nursing students regarding caring behaviour and teaching characteristics of their
CNIs. In FGD students’ recommended to increase the number of visits in clinical area and emphasises on bed side clinical
demonstration. Discussion: It can be concluded that students’ characteristics does have influence on their perception
regarding caring behavior and clinical setting environment influence their perception regarding teaching characteristics of
their CNIs.
Key Words: Caring behavior, perception of nursing students, teaching characteristics, clinical Nursing Instructor

INTRODUCTION Stenvig, 2008). Clinical instructors must possess effective


teaching characteristics such as professional knowledge,
Clinical nursing instructor have crucial role in
role modelling and clinical competence with
development of professional progression of nursing
communication skills to facilitate optimal clinical
students. Clinical training is far more important in nursing
learning (Madhavanprabhakaran, Shukri, Hayudini, &
education to become a professional nurse. Nursing
Narayanan, 2013).
students learn about professional attitude, ethics and
Based on observation, author finds that clinical
standards from their instructors. Student’s learning and
nursing instructor doesn’t pay visit on daily basis (upon
performance reflects the ability of instructors to create an
their visit CNIs stay for 1 up to two hours in clinical area)
environment where the students can learn (Hanson &
who can guide students step by step and instruct them

186
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 186-194

bedside while performing procedures in clinical and external factors regarding their clinical nursing
placement area. In an interview with PNS “our CNIs instructor. Total six questionnaire comprises on students’
(pembimbing akademik) assigned for supervision of characteristics as an internal factors (professional
professional year nursing students according to their commitment, students’ attitude, motivation, experience
speciality visits in clinical area for a short time period”. (program type) and gender), clinical placement
Additionally the author realises that the number of environment and job responsibilities of CNIs as external
contact hours of CNIs and PNSs are quite fewer to factor and questionnaire related to perception of students
develop clinical skills and competencies expected to be a regarding caring behavior (based on 10 Carative Factors
professional nurses. In an interview with a nurse member of Jean Watson) and teaching characteristics
of education and training committee in Universitas (professional competence, relationship with students and
Airlangga hospital, she stated that “professional nursing personal attributes) of their CNIs. Based on questionnaire
students are mostly guided by the nurse educator from results, issue strategy is made. Following Focused Group
hospital in each floor in inpatient units, only in the Discussion (FGD) was conducted with two groups (one
morning shift”. Furthermore, she mentioned that there is with PNSs and second one with CNIs from faculty of
a lack of student-faculty ratio in clinical area. nursing Universitas Airlangga) to verify the data with
In an initial data collected by questionnaire, total professional year nursing students were followed for
18 professional nursing students from program A and B verification of data collected by questionnaire and to
were responded including both genders. The propose recommendations. Population in this research
questionnaire comprises 31 statements and developed study is all undergraduate professional nursing students
from 10 carative factors of Jean Watson theory. The (program A and B) of Universitas Airlangga faculty of
higher percentage is 80% and the lowest percentage is 45 nursing, those are completing their internship in
%. Total calculated mean of all 18 respondents is 67% of Universitas Airlangga hospital, Haji general hospital, Dr.
the perception of nursing students regarding caring Soetomo hospital, Menur psychiatric general hospital
behavior and teaching characteristics of their clinical and community are included in the study. On the other
nursing instructors. hand faculty members are selected from each department
Salimi & Azimpour (2013) believed that were selected randomly, those which are supervising the
determinants of caring behaviour are universal but professional nursing students in clinical area. The
cultural diversity, organizational issues, rules and independent variable in this research is internal factors
regulations and laws may affect the universality of some (professional commitment, attitude, motivation, gender
items. Political issues also affect the nurses in delivering and (program type) experience) and external factor
care to patients and clients. McCance, Slater, & includes (clinical placement environment and job
McCormack (2009) mentioned in their study, In responsibilities of CNIs). Research were conducted
developing countries, it doesn’t matter whether a nurse (January 2016 – April 2016 ) in the premises of faculty of
listen to a patient or not, because in those countries there nursing Universitas Airlangga Surabaya Indonesia.
is no demand for this care either by the system or by the Professional nursing students were gathered from
patients, where as in western countries this is an different clinical placements. Data were gathered by
important caring behavior as quoted by Salimi & questionnaire through retrospective (recalling) of their
Azimpour (2013). recent previous interaction with their clinical nursing
Faculty members and clinical instructors must act instructors in clinical setting.
as role models and facilitate learning by providing an Data collection is carried out for the perception of
environment that promotes holistic care, inquiry, critical professional year undergraduate nursing students based
thinking, accountability, and more autonomous and on individual (commitment, attitude, motivation and
professional behavior. Nursing students should seek gender) and environmental characteristics (clinical
educational opportunities to acquire knowledge for role placement environment, clinical instructor's behavior and
preparation, to participate in knowledge generation, and teaching characteristics) regarding caring behavior and
for personal and professional development Khouri teaching characteristics of their clinical nursing instructor.
(2011). early before joining the respondents in the study,
respondents first get an explanation from the researcher
METHOD about the intent and purpose of the study, after an
explanation of the research respondents, respondents
An exploratory cross-sectional quantitative
were asked for their willingness to join in the study.
research design is used to conduct this research study.
respondent was given informed consent after the
Students and Clinical Nursing Instructors were asked to
respondents expressed willingness to participate in
fill the questionnaire after giving explanation and their
research. respondents were given an explanation of the
agreement to express their perception based on internal
questionnaire to be filled along with how to fill. at the

187
Perception Of Indonesian Nursing Students (Madiha Mukhtar, dkk)

time of filling the questionnaire respondents conducted gender is female with total number of 101 respondents
mentoring of researchers to assist in filling out the (67.8 %). Program A was on top with total 84
questionnaire respondents. The Focused Group respondents with (56.4 %) as it becomes a basic nursing
Discussion was conducted in university campus in a degree in the nursing profession. In responding to
feasible area. FGD was scheduled on date and time external factors, from 149 respondents 96 (64.4 %)
which was convenient for all participant. The goal of answers in the good category. Fair number Professional
settings that allow participants to feel relaxed, Nursing Students considered their clinical learning
comfortable, and free to share their perceptions, thoughts environment as supportive and positive. On the other
,ideas and feelings openly. hand 13 CNI (86.7%) reflected that their job related
Prior to collection of data for this research study, responsibilities are fair enough in accordance to their
an ethical approval is obtained from (IRB) Institutional position.
Review Board from ethical clearance committee of Logistic regression was carried out using these all
Faculty of Nursing and an official permission from dean (6) independent variable (Gender, experience (program
of the Faculty of Nursing, Universitas Airlangga. type), professional commitment, attitude, motivation and
Informed consent from each participant before being a clinical placement environment) included and only
part of this research study. Researcher maintained the caring behavior was used as dependent variable. In this
anonymity of the respondents through not to publish the stage, stepwise removal probability is <0.1. As we can
name of the respondent and does not use the results to see in the category of main variables, gender has the
mean beyond the interests of research. The confidentiality highest value (.508), so it was excluded in the proceeding
of information provided by respondents is guaranteed step. Similar analysis was performed repetitively till the
because the only certain groups of data that will be variables valued less than <0.1 is remained.
reported as a result of research and no personal There is an influence of internal factors
information will be disclosed. (Professional commitment, attitude, motivation,
experience (program type) and Gender) on their
RESULTS perception regarding caring behavior and teaching
characteristics of their CNIs. From six independent
Faculty of nursing is overall responsible of variables (gender, program type (experience),
managing the PNS, their clinical allocation, handling professional commitment, attitude, motivation, and
issue, marking. Clinical supervision is divided into two clinical placement environment) two internal factors;
domains; one is (Pembimbing akademik) academic commitment P-value .038 in main category (significance
supervisor/CNI (Clinical Nursing Instructor) which is value is < 0.05) and motivation P-value .010
faculty member from the faculty of nursing and another (significance value is < 0.05) of students have influence
one is Clinical Educator (CE) from the Clinical setting. on their perception regarding caring behavior of their
CNI covers classroom teaching, laboratory teaching & clinical nursing instructors. Conversely, internal factors
demonstration and clinical area directions, guidelines and does not show any influence on the perception of
supervision while the CE is responsible for Clinical professional nursing students regarding teaching
procedure demonstration. Characteristics of professional characteristics of their CNI. Second hypothesis of this
nursing students who became the respondent Of this research study is: There is an influence of external factors
research study for first step were total 149 students from (clinical placement environment and Job responsibilities
program A (Regular) and B (Alih jenis). Total number of of CNIs) on their perception regarding caring behavior
sample were calculated by using scientific formula. and teaching characteristics of their CNIs. From six
Respondents were recruited through purposive sampling independent variables (gender, program type
technique to respond the questionnaire program A 84 (experience), professional commitment, attitude,
students were taken from total population of 109 students motivation, and clinical placement environment) only
while 65 students from program B were taken as the total one external factor; clinical placement environment P-
population are 87 students. Total 15 faculty members value .002 in main category (significance value is < 0.05)
who supervise/instruct the Professional Nursing Students have influence on their perception regarding teaching
in clinical/community placement area. Total number of characteristics of their clinical nursing instructors. Internal
sample were calculated by using scientific formula. factors which does not have influence on perception of
Respondents were recruited through purposive sampling PNS was exclude gradually one by one. Analysis proves
technique to respond the questionnaire of their job that clinical learning environment does have effect on the
responsibilities. Out of 149 respondents only 60 (40.3%) perception of PNS reading teaching characteristics of
have good professional commitment, total positive their clinical nursing instructors. In contrast clinical
Attitude 68 respondents (45.6%). 87 respondent (58.4 %) environment does not effect on their perception regarding
possess good motivation and the most frequency of caring behavior of their CNI. Clinical learning

188
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 186-194

environment (situations and circumstances) can be an and that services are not always patient-focused” one of
obstacle in learning of professional nursing students. the leading reason of low professional commitment was
Result of Logistic Regression analysis shows that mentioned by Gould & Fontenla, (2006) in their study.
there is no difference between perception of professional Nursing is a humanistic profession; it has some
nursing students from program A and B. Significance is particular characteristics due to the profession’s nature.
.540, which is more than >0.05. Students from both loyalty and tendency to remain in the profession and
programs have same perception regarding their clinical responsibility to the professional issues were extracted in
nursing instructors. Additionally it confirms that there is theoretical phase. Commitment to promote caring
no difference between perceptions the professional abilities, satisfying of being a nurse, and belonging to the
nursing students from program A and B. nursing profession were obtained in fieldwork phase.
FGD explored out their thoughts and concerns of Finally, two main themes including “commitment to
professional nursing students. Student counselling and offering the best nursing care” and “commitment to
awareness session to bring awareness regarding core of promotion of the nursing profession” were extracted
nursing profession in order to promote professional (Jafaragaee. et al, 2012). Nurses exhibited a medium-
commitment. Moreover, help the professional nursing high degree of professional commitment--the average
students to find out their interests/passion within the score was 2.99 before graduation and 2.85 after
nursing profession which will be their continuous graduation; The scores of overall commitment and four
motivation to move forward vigorously throughout their factors of professional commitment decreased from
career. CNIs must increase the number of their visits in nursing students to registered nurses significantly; (4)
clinical area to make sure their availability and build personality traits were positively correlated with
trustworthy relation with PNS, which will develop their professional commitment for nursing students and
clinical skills, promote critical thinking, clinical decision registered nurses; and (5) there was no significant
making and research capabilities. Clinical nursing relationship between nurses' work backgrounds and the
instructors should expose to new technology and changes of professional commitment from nursing
implement while supervising and teaching the students to registered nurses (Lu, Chiou & Chang, 2000).
professional nursing students in clinical practice area. In this study students highlighted that worthy
Clinical nursing instructors needs to conduct on-going difference between theory and in real practice develops
evaluation and should conduct the discussion session the low level of commitment with profession. Moreover,
after each semester to get feedback of the students. lack of research application and innovations contributes
Faculty of nursing must conduct CNEs (Continue in lacking the interest. CNI needs to pay attention on
Nursing Education) sessions to enhance the applicable knowledge rather than only emphasizing on
competencies, introduce CNIs to new practice methods procedural or conceptual / bookish knowledge. Results
and skills. obtained from data showed motivation is mainly fall in
good category with (58.4 %). Low in terms of its goals,
DISCUSSION measuring results by applying statistics based on latent
variable indicator significance motivational effect on
Obtained Result indicates that professional
latent variable. In the present study students statistical
commitment is a 46.3 % with highest number in the
analysis showed that motivation of PNSs with P-value
average category, measuring results statistics based on
.010 I the main category (significance value is < 0.05)
latent variable indicator significance commitment effect
does have influence on the perception of professional
on latent variable. In the present study students statistical
nursing students regarding caring behavior and teaching
analysis showed that professional commitment with P-
of their characteristics CNIs.
value .038 in main category (significance value is < 0.05)
Motivation is a human psychological
does have influence on the perception of professional
characteristics contribute to a person's level of
nursing students. Munir Sanihu, et al (2013) is
commitment. This includes factors cause, distribute and
emphasized in their study, that Indonesian nursing
maintain human behavior toward a specific determination
curriculum needs improvement in term of developing
(Nursalam, 2008). Application of caring behavior by
analytical and critical thinking skills, leadership and
nurses cannot be separated from the aspect motivation
managerial capabilities among the students and impress
(Nursalam 2011). While the (suarli 2009) mengemuk
upon them that nurses re independent professionals who
that motivation is one of the last measure on a person to
collaborate with physicians and other members of the
produce a behavior led to an increase in productivity
health team in patient care regimen. “Respondents
because it is supported by good motivation of nurses
expressed their disappointment on discovering that
including the motivation to apply caring behavior.
patients were not always as grateful as they had
Students (234/315) with motivation score >6 reported
anticipated; that nursing involves so much administration;
positive opinions to becoming a nurse (125/234),

189
Perception Of Indonesian Nursing Students (Madiha Mukhtar, dkk)

organization of the programme and attitude to the studies. especially those related to placements in nursing homes
The mean score value for the motivation ranking differed and mental healthcare settings (Bjørk, Et al, 2014). Four
significantly between male (5.8) and female (6.8) themes emerged from the focus group data. From the
students. Nursing students mainly grade their motivation students' point of view," initial clinical anxiety", "theory-
positive distributed different throughout their entire practice gap"," clinical supervision", professional role",
education. The main motivation factor was becoming a were considered as important factors in clinical
nurse. This study result highlights the need of experience. Study showed that nursing students were not
understanding the students' situation and their need of satisfied with the clinical component of their education.
tutorial support (Nilsson & Warrén, 2008). Most of the They experienced anxiety as a result of feeling
students, 73%, rated their motivation as ≥6 on a 0-10 incompetent and lack of professional nursing skills and
Likert scale; and 16% gave a rating of ≤4. Having a knowledge to take care of various patients in the clinical
negative attitude towards the studies was an explanation setting (Sharif & Masoumi, 2005).
of decreased motivation. There was a significant decrease Environment of the clinical placement plays a
(p=0.001) in the motivation score with respect to number significant role in learning of nursing students. As it can
of semesters, and motivation increased with the student’s enhance and decrease their level of learning through
age (p=0.0119). Suggestions for increasing motivation obstacles and unconducive circumstances. Intense and
given by those who rated their motivation as ≤4 mainly constant coordination is needed to establish between
focused on improvements in didactics and study faculty of nursing and clinical setting area for professional
organisation. nursing students.
Motivation is vital to do anything, it leads to one’s Calculated data results (86.7 %) indicates that the
encouragement to do something. Frequent feedback will clinical nursing instructors are fairly contented with their
be helpful to optimize the motivation of professional job responsibilities as part of their job according to their
nursing students towards achieving their objectives and position in the faculty of nursing. 15 full time CNIs from
goals. The desire to become a registered nurse (RN) and faculty of nursing responds to questionnaire leading to
having a positive attitude towards the studies can be the focused group discussion. Almost all of them confused
main factors influencing high motivation. Creating the while answering that “supervision of professional nursing
curricula that promote student motivation, and of meeting students in clinical area is not my primary job” during
the students individually during the study programme to focused group discussion. CNIs felt that there is a need to
discuss their study situation and possible misgivings recruit clinical instructors. “As a supervisor we have to
about their future profession, which might improve their maintain good relationship with clinical educator (from
self-motivation. clinical area) and upgrade our knowledge, skills and
Calculated data results presents that (64.4 %) attitude as a prominent need”, respond of one of the CNI.
professional nursing students perceived their clinical Another respondent stated that “pembimbing harus
environment as supportive/conducive in their learning in mengajarkan dan mencontohkan perilaku caring kepada
clinical area. Clinical placement environment P-value mahasiswa” (supervisor must teach and give examples
.002 in main category (significance value is < 0.05) of caring behavior to the students). The CNIs identified
shows influence on their perception regarding teaching the need for assistance in assessing student competencies,
characteristics of their clinical nursing instructors. In this in addition to needing general support and debriefing to
study students mentioned that if there is some issue arise reduce the feelings of isolation they often felt. They also
in clinical placement area, CNI must play a role of an felt their role was not well defined, leaving them with a
advocate. CNI (Clinical Nursing Instructor) from the lack of clarity on how to act (Sherry et al, 2012).
Faculty of Nursing and CE (Clinical Educator) from CNIs needs to maintain their role and duties
clinical area must improve their communication and wisely and efficiently to deal with their responsibilities in
coordination in order to eliminate and minimize the faculty area (classroom & laboratory teaching) and
obstacle and to optimize the learning of professional clinical area. Relationship with professional nursing
nursing students. students and clinical educator needs to improve to
Hayajneh (2011) found in her study that the enhance learning of nursing students. Job description for
participants thought that the clinical instructor should be clinical nursing instructors need to develop in a clear and
always available and accessible to offer help and written form.
guidance, make clinical work intrusting, and encourage Nursing students wanted the clinical instructors to
active and cooperative learning. It prepares the students be knowledgeable and competent in their own field and
for their professional role, provides them with agree that knowledge and experience competence is the
opportunity to apply knowledge and skills (O’Connor, most important and essential component for effective
2001). Results from this study negate the negative views teaching. This may because of the nursing students
on clinical placements outside the hospital setting, wanted to spend their clinical training with specialized

190
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 186-194

educators and more experienced instructors and this may behavior of their CNI while type of the program
make them feel more secure in the clinical environment (experience) and gender does not show influence on
(Ali, 2012). Nursing students learn caring from their perception of professional nursing students. From two
instructors through their words and caring actions. So that internal factors (education and environment); clinical
CNI have enormous responsibility and must act like a learning environment does showed the relationship
role model for their students. Wade (2006) found that between perception of professional nursing students and
when clinical instructors are perceived as caring, nursing teaching characteristics of their clinical nursing
students develop caring abilities. instructors.
Ali (2012) revealed in her study findings that Results of this study provides the strength and
clinical teaching ability of clinical instructors is the third areas which needs improvement. It provides an insight
important effective clinical teaching characteristic as evaluation of concerns of professional nursing students.
perceived by the nursing students. Also the study Clinical teaching strategies can be modified and find out
revealed that the nursing students considered the the ways to improve motivation and commitment in
personality traits as the fourth factors that effect on their PNS. It is necessary to integrate clinical teaching along
behavior in the clinical settings. A clinical instructor with caring behavior. This study findings will provide the
should be able to communicate expectations to students base for further research or development of new clinical
in a clear way, be well prepared, check student supervision model. Study Findings are guide for CNI to
understanding, ensure that basic familiarization is well know the weaknesses of professional nursing students
organized, and demonstrate that the ward can be regarded and students’s perception regarding CNI for
as a good learning environment (Hayajneh, 2011). improvement to reach optimum level. Faculty of nursing
needs to develop formal job discriptions for clinical
Comparison of their opinion shows the clear
nursing instructors and modify the clinical teaching
contradiction between the views of professional nursing
learning methods.
students and clinical nursing instructors. CNI has
responsibility of class room teaching, laboratory
facilitation along with clinical supervision. Work load is CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS
the possible difficulty to lack of clinical visitation. CNI
Conclusion
can make a small groups in clinical area rather than large
groups, so they can better evaluate that which student was Internal factors (student characteristics-
more active or passive and can also facilitate them to professional commitment and motivation) show and
recognize the strengths and weaknesses of individuals influence on perception of PNS regarding caring
while teaching in clinical area. Students should behavior of their CNIs but does not have influence on the
understand the real meaning to be in nursing profession perception of PNS regarding teaching characteristics of
and find out the genuine interest and the reason of their CNI. External factors (education & environment)
existence in the profession of nursing which will does not influence on the perception of PNS regarding
eventually motivate them and will boost up their caring behavior of their CNIs however environment
commitment towards profession. CNI needs to realize shows influence on perception of PNS regarding
the demand of this technical era and find out some teaching characteristics of their CNIs. In general,
exciting clinical teaching methods which can maximize professional nursing students from program A (regular)
professional commitment and motivate students towards & B (Post basic diploma) have same perception
optimal learning. Additionally, students have to polish regarding caring behavior and teaching characteristics of
their own abilities (as professional nursing students their CNIs.
already graduated from 4 year of basic nursing degree)
Suggestions
and realize the responsibilities of an adult learner as a
professional university level student. Faculty of nursing Its mandatory for Professional nursing students to
must evaluate on ongoing basis and express keen advance their Adult learning sense, Instructors must pay
concern in training of CNI and improve coordination close attention to applicative knowledge while
with clinical placements of professional nursing students. supervising nursing students in clinical area, CNI needs
exclusive training based on clinical guidance, direction,
Research findings demonstration and compassionately dealing with
Based on the all hypothesis testing, so that it professional nursing students in clinical area. Clinical
clears out the significant path. The results shows that faculty can be educated and provided with useful
three internal factors (student characteristics) professional educational tools to assist them in providing effective
commitment, motivation and attitude are moderately clinical instructions and It is necessary to develop Job
low. Professional commitment and motivation of
students influence their perception regarding caring

191
Perception Of Indonesian Nursing Students (Madiha Mukhtar, dkk)

description/Guide book by nursing faculty for CNI to perceptions of their clinical learning environment
clarify their role and tasks in clinical area. in placements outside traditional hospital
settings. Journal of Clinical Nurse. 2014 Oct;
Acknowledgement
23(19-20):2958–2967.
Researcher thank to all the professional nursing http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4
students and instructors who participated in this study. 263152/
Researcher also express her gratitude to the dean (1st Cook. (2005). Inviting Teaching Behaviors of Clinical
supervisor) of Nursing Faculty for his great favor and 2nd Faculty and Nursing Students’ Anxiety. Journal
supervisor for keen support & guidance throughout this of Nursing Education, 44(4), 156–162.
research project. RetrivedJanuary,2015
https://www.researchgate.net/publication /78
REFERENCES 76311_Inviting_Teaching_Behaviors_of_Clinic
Alasmari, A. M. (2014). Respiratory Therapy Students' al_Faculty_and_Nursing_Students'_Anxiety
Perceptions of Effective Teaching Characteristics Core, T., Practices, P., From, E., & Watson, C. (2010).
of Clinical Instructors at an Urban University. Core Concepts of Jean Watson ’ s Theory of
Ali, W. G. (2012). Caring Behavior and Effective Human Caring / Caring Science
Teaching Characteristics of Clinical Nursing Dahlke Sherry, Jennifer Baumbusch, Frances Affleck,
Instructors as Pereived by Their Students,3(7), Jae-Young Kwon, (2012). The Clinical
15-27, retrive on sep.2015 from Instructor Role in Nursing Education: A
http://www.iiste.org/Journals/ index.php/JEP/ Structured Literature Review (PDF Download
article/view/1845/29915. from:https://www.researchgate.net/publication/
American Nurses Association (ANA, 2001). Code of 232646883_The_Clinical_Instructor_Role_in_
ethics for nurses with interpretive statements. Nursing_Education_A_Structured_Literature_R
Washington, DC: American Nurses Association. eview [accessed May 7, 2016].
American Psychological Association (APA, 2010). Edy Siswantoro. (2015). Pengembangan model perilaku
Ethical principles of psychologists and code of caring mahasiswa berbasis kecerdasan
conduct. Washington, DC: Retrived January, emosional terhadap peningkatan kompetensi
2016, from http://www.apa.org/ethics/ keperawatan. Faculty of nursing, Universitas
Anderson, Jennifer. Anne. (2014). Understanding Male Airlangga.
Nursing Student Perceptions of the Influence of Fry, S. T.,Veatch, R. M. & Taylor, C. (2011). Case
Gender: A Qualitative Case Study Approach of studies in nursing ethics (4th edi.). Sudbury, MA:
Students, Faculty, and Administration Jones & Bartlett Learning
in a Pacific Northwest Nursing Program. Gibson, James. I., (1987) Organisasi Perilaku , Strukture,
http://pdxscholar.library.pdx.edu/cgi Proses, Jakarta: Erlangga
/viewcontent.cgi?article=2935& Gould, D., and Fontenla, M., (2006). Commitment to
context=open_access_etds nursing: results of a qualitative interview study,
Arthur, D & Randle, J. (2007). The professional self- Journal of Nursing Management, 14, 213–221,
concept of Nurses: A review of a literature from http://www.fatih.edu.tr/~hugur/Fri
92-06. Australian Journal of Advance Nursing, Hanson, K., & Stenvig, T., (2008). The good clinical
24 (60-64). nursing educator and the baccalaureate nursing
Article, O. (2015). Academic training and clinical clinical experience: Journal of Nursing
placement problems to achieve nursing Education, 47(1), 38-42. Retrieved on March 5,
competency, 3(1), 15–20. 2015, from Google Scholar
Bagraim, J. J. (2003). The Dimensionality of Professional Hayajneh, F. (2011). Role model clinical instructor as
Commitment, 29(2), 6–9., Retrive on 15th Oct, perceived by Jordanian nursing students. Journal
2015. of Research in Nursing. 16: 23. The online
Beitz. J.M. and Wieland.D. (2005). Analyzing the version of this article can be found at:
teaching effectiveness of nursing faculty of full http://jrn.sagepub.com/ content/16/1/23
and part –time generic BsN, and RNBs nursing Hofler, L. (2008). Nursing Education and transition to
students, Jour. of Professional Nursing, 21(1); the work environment: A synthesis of national
32_45, http://www.ejmanager.com/ mnstemps / reports. Journal of Nursing Education, 47 (5).
93/93-1428640720.pdf?t=1461429982. Hsiang-Chu Pai. (2013). Effect Of Caring Behavior on
Bjørk, T. Ida., Karin, Berntsen., Grethe, Brynildsen., and Disposition toward Critical Thinking of Nursing
Margrete, Hestetun. (2014). Nursing students' Students. Journal of Professional Nursing, 29(6),
p. 423-429

192
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 186-194

Jafaragaee, Fateme., Soroor, Parvizy., Neda, Mehrdad., Morse. (2007). strategies of intraproject samling .
and Forough, Rafii. (2012). Concept analysis of Nursing research:A qualitative perspective (4th
professional commitment in Iranian nurses. Iran ed.).
Journal of Nursing and Midwifery Res. Nov-Dec Munir, S., Ramos, C. T., & Hudtohan, E. T. (2013).
:17(7):472-479. Benchmarking Nursing Education in Indonesia
Http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC for Social Development and Global
3730449/ Competitiveness, 10(1), 51–65. Retrived January,
Jaros, S. (2007). Meyer and Allen Model of 2016, from http://www.iosrjournals.org/iosr-
Organizational Commitment : Measurement jdms/papers/Vol10-issue1/L01015165.
Issues, 7–26, http://stevejaros.com/wp- pdf?id=7241
content/uploads/ 2009/08/Jaros-ICFAI-2007- Nilsson, EL. Kerstin., and Warrén, Stomberg. I.
Meyer-and-Allen1.pdf. Margareta. (2008). Nursing students motivation
Khouri, R. (2011). Impact of an educational program on toward their studies – a survey study.
nursing students ’ caring and self-perception in Bio Med Central Nursing, 7:6.
intensive clinical training in Jordan, 173–185, http://bmcnurs.biomedcentral.com/arti
retrive on nov, 2015 from cles/ 10.1186/1472-6955-7-6
https://www.dovepress.com/impact-of-an- Nursalam. (2007). Mangemen Keperawatan: Aplikasi
educational-program-on-nursing-studentsrsquo- dalam praktik Keperawatan Professional (edisi
caring-andnb-peer-reviewed-article-AMEP. kedua). Jakarta: Salemba Madika
Kube, M. L. (2010). The relationship of nursing faculty Nursalam. (2011). Managemen Keperawatan; Aplikasi
clinical teaching behaviors to student learning. dalam praktik keperawatan professional, ed 3.
ProQuest Dissertations & Theses: Jakarta:Salemba Medika
http://eric.ed.gov/ ?id=ED515024 Full Text Nursalam. (2013). Metodologi Penelitian Ilmu
Database. (UMI No. 3398533). Keperawatan,Pendekatan praktis (3rd Ed), p.128.
Krueger, R. A., (1994). Focus groups: A practical guide O'Connor, AB.( 2001). Clinical instructions and
for applied research (2nd Ed). Thousand Oaks, evaluation, London; Tones and Bartelt,
CA: Sage. pp.14_26.
Lu, KY., Chiou, SL., Chang, YY. (2000). A study of the Okoronkwo, I. L., Agbo, M. E., Okpala, P. U., & Ndu,
professional commitment changes from nursing A. C. (2013). Students ’ perception of effective
students to registered nurses. Kaohsiung Journal clinical teaching and teacher behaviour, 63–70.
of Medical Science. Jan 16(1):39-46. Polit & Beck, C. T. (2001). Caring with nursing
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ education: A meta synthesis, Journal of Nursing
pubmed/10741015 Education, 40 (3), p.101-109.
Ma, F., Li, J., Liang, H., Bai, Y., & Song, J. (2014). Rivai, V., Mulyadi, D. (2010). Kepemimpinan dan
Baccalaureate nursing Students ’ perspectives on Perilaku Organisasi. Jakarta: PT Raja Grafindo
learning about caring in China : a qualitative Persada
descriptive study. BMC Medical Education, Sabog, R. F. V, Caranto, L. C., & David, J. J. T. (2015).
14(1), 1–9. http://doi.org/10.1186/1472-6920-14- Effective Characteristics of a Clinical Instructor
42, retrive on 20th sep,2015, http:// as Perceived by BSU Student Nurses, 5(1), 5–19.
bmcmededuc.biomedcentral.com/articles/10.118 http://doi.org/10.5923/j.nursing.20150501.02,
6/1472-6920-14-42. Retrive on 2nd Nov, 2015,
Madhavanprabhakaran, G. K., Shukri, R. K., Hayudini, http://article.sapub.org/10.5923.j.nursing.201505
J., & Narayanan, S. K. (2013). Undergraduate 01.02.html.
Nursing Students ’Perception of Effective Salimi, S., & Azimpour, A. (2013). Determinants of
Clinical Instructor : Oman, 3(2), 38–44. Nurses ’Caring Behaviors (DNCB): Preliminary
http://doi.org/10.5923/j.nursing. 20130302.02 Validation of a Scale, 2(4), 269–278. Retrived
Meimanat, Hosseini., Tahereh, Ashk Torab., January,2016,from,http://www.ncbi.nlm.nih.gov/
Mohammad,Hossein Taghdisi., and Safar, Ali. pmc/ articles/ PMC 4134150/
Esmaeili. Vardanjani. (2013). Study on Sarmiento, T. P., Laschinger, H. K. S., Iwasiw, C., &
Situational Influences Perceived in Nursing Laschinger, H. S. (2004). Nurse educators ’
Discipline on Health Promotion: A Qualitative workplace empowerment , burnout , and job
Study.http://www.hindawi.com/journals/isrn/201 satisfaction : testing Kanter ’ s theory.
3/218034/ Sharif, Farkhondeh., and Masoumi, Sara. (2005). A
Morgan. (1997). Focus groups as qualitative research qualitative study of nursing student experiences
(2nd ed.). Thousand Oaks. of clinical practice. Bio Med Central Nursing.

193
Perception Of Indonesian Nursing Students (Madiha Mukhtar, dkk)

2005;4:6.http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articl http://www.ncbi.nlm.nih.gov
es/PMC1298307/ /pubmed/16722498
Susan K.Groove, Nancy Burns, J. R. G. (2013). The Warrén, Stomberg. Margareta., and Nilsson, Kerstin.
practice of nuursing research; Appraisal , (2010). Nursing Students’ Self-Graded
Synthesis, and Generation of Evidence (7th ed.). Motivation to Complete their Programme of
Swansburg, Kristen. (1993). Basics of Psycholoy (2nd Study. Open Nursing Journal. volume 4: 42–47.
ed.) p.65. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/ articles/
Swanson, K,M. (1991).Empirical Dvelopment Of a PMC3043268/
Middle Range Theory of Caring. Nursing Wilkinson, S., (2004). Focus group research. In D.
Research, Vol 40, Number 3. Silverman, Qualitative research: Theory,
Swanson, K,M. (1993). Nursing as Informed Caring for method, and practice (p. 177-199). Thousand
the Well-Being of Others. Journal of Nursing Oaks.
Sholarship, 25(4), 352–357, Vol 5,Number 4. Zamanzadeh, V., Valizadeh, L., Azimzadeh, R.,
Thomas. (2003). Handling anger in the teacher-student Aminaie, N., & Yousefzadeh, S. (2014). First
relationship. Nursing Education Perspectives, and Fourth- Year Student ’ s Perceptions about
24(1), 17–24. Importance of Nursing Care Behaviors :
Wade, G. H., & Kasper, N. (1996). Nursing Students ’ Socialization toward Caring, 3(2), 93–101.
Perceptions of Instructor Caring : An Instrument http://doi.org/10.5681/jcs.2014.010 Retrived
Based on Watson’s Theory of Transpersonal January,2016,from,Http://www.ncbi.nlm.ni
Caring. Retrived January, 2016, from h.gov/pmc/articles/PMC4134170/

194
PENGEMBANGAN INSTRUMEN DIAGNOSIS & INTERVENSI KEPERAWATAN
BERBASIS STANDARDIZED NURSING LANGUAGE (NANDA-I, NOC, NIC)

(Development of Nursing Diagnosis & Intervention Instrument Based on Standardized


Nursing Language (Nanda-I, NOC,NIC))

Diana Rachmania*, Nursalam*, Esti Yunitasari*


*Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Email: widiana1925@gmail.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Dokumentasi keperawatan yang sesuai standar bahasa keperawatan (Standarized Nursing Language), masih
merupakan masalah di dalam profesi perawat, khususnya keseragaman dalam penggunaan bahasa diagnosa dan intervensi
keperawatan. Dibutuhkan suatu instrumen untuk bisa menghasilkan dokumentasi diagnosis dan intervensi yang baik. Tujuan
dari penelitian adalah meyusun pengembangan instrument diagnosis dan intervensi keperawatan berbasis Standardized
Nursing Language (NANDA-I, NOC, NIC). Metode: Desain penelitian ini adalah action reserach dilaksanakan dalam 2
tahap. Populasi tahap 1 adalah 16 partisipan dan 9 sampel. Partisipan dan sampel dipilih dengan tehnik purposive sampling
dengan partisipan sebanyak 15 dan sampel 7. Populasi tahap 2 adalah 13 partisipan dan 8 sampel. Partisipan dan sampel
dipilih dengan tehnik tehnik purposive sampling dengan partisipan sebanyak 13 dan sampel 8. Analisa data menggunakan
analisis deskriptif, analisis statistik Product Moment Pearson Correlation untuk uji validitas dan cronbach alpha untuk uji
reliabilitas. Hasil: Pengembangan instrumen diagnosis dan intervensi keperawatan yang disusun berdasarkan hasil kegiatan
FGD dinyatakan valid dan reliable. Diskusi: Setiap Rumah Sakit diharapkan selalu rutin dalam mengevaluasi instrumen
diagnosis dan intervensi keperawatan yang sesuai standar dan kebijakan yang berlaku agar tercipta dokumentasi
keperawatan yang berkualitas
Kata Kunci: Standarized Nursing Language, NANDA-International, Nursing Outcomes Classification, Nursing Interventions
Classification

ABSTRACT
Introduction: Nursing documentation appropriate standards of nursing language (Standarized Nursing Language), was still a
problem in the nursing profession, especially uniformity in using nursing diagnoses and interventions language. Instrument
were needed to produce a good quality of nursing diagnosis and intervention’s documentation. The purpose of the research
was to develop nursing diagnosis and interventions instrument based on the Standardized Nursing Language (NANDA-I,
NOC, NIC). Methods: This study was action reserach carried out in 2 phases. The population of phase 1 were 16 participants
and 9 samples. Participants and samples selected by purposive sampling techniques with participants were 15 and samples
were 7. The population of phase 2 was 13 participants and 8 samples. Participants and samples selected by purposive
sampling technique with participants were 13 and samples were 8. Analyze data using descriptive analysis, statistical analysis
using Pearson Product Moment Correlation for validity test and Cronbach alpha for reliability test. Results: Development of
nursing diagnostic and interventions instruments, that was formulated based on Focus Group Discussion, declared valid and
reliable. Discussion: Each hospital was expected to always routinly evaluate the nursing diagnosis and interventions
instrument as a standard and policies in order to create a quality nursing documentation
Keywords: Nursing Diagnosis, Nursing Intervention, Standardized Nursing Language, NANDA-International, Nursing
Outcomes Classification, Nursing Interventions Classification

INTRODUCTION rules of Standardized Nursing Language


(NANDA-I, NOC, NIC) one of which occurred
Documentation appropriate with standards
in Amelia Pare Hospital.
nursing language was still a problem in the
The use of the language contained in the
nursing profession, especially uniformity in
nursing diagnosis instrument in RS Amelia
using nursing diagnoses and nursing
Pare were less appropriate to the use of
interventions language. In order to produce a
language in NANDA-I (North America
good nursing documentation, need to be
Nursing Diagnoses Association- International),
supported with good quality of nursing
writing outcomes and action plans on nursing
instrument . The phenomena that often occurs
interventions instrument was already there, but
is nursing documentation instrument especially
it was still not fully describe all activities
nursing diagnoses and nursing interventions
performed by nurses in planning actions. It was
instrument is still not in accordance with the
also necessary that an instrument need to be

157
Jurnal Ners Vol 11 No 2 Oktober 2016: 157-163

standardized in common nursing language and interventions instrument and efficiency


usage among nurses with nurse one another so time of nursing care. Nursing diagnosis instrument was
as to create a good communication process made according to the NANDA-I (North America
which was reflected from the nursing documentation Nursing Diagnoses Association- International),
process contained in RS Amelia Pare. and for nursing interventions, nursing outcome
Data collection on the nursing documentations in according to the NOC (Nursing Outcomes
Teratai room RS Amelia Pare conducted by researchers Classification), and the selection of action plans
at the date of October 4, 2015 by interview and according to the NIC (Nursing Interventions
observation. The NUM of Teratai Room said that Classification). The benefits of the use of standardized
actualliy nurses knew that their task after implementation languages was to improve communication between
was documented, but only certain things such as TTV, nurses and other health care providers and
injection drug delivery, and other routine activities that patients, increase the visibility of nursing
documented in nursing instrument. Resut of interviews interventions, and improving data collection to evaluate the
with four from the 13 nurses (30%), that the four results of nursing care (Rutherford 2008) The
nurses said that they had not much time to strategy was increased knowledge and skills of
write in the instrument that has been provided nurses through socialization and training, as well as the
for the number of actions that must be done to practice of charging instrument nursing documentation in
the patient instead of writing on the existing accordance stadardized nursing language.
format/instrument. Documentation that has not Development of nursing diagnosis and
been completed by a nurse is a diagnosis and intervention instrument based on Standardized
intervention, nursing implementation, and Nursing Language (NANDA-I, NOC, NIC)
evaluation. The results of observations was expected to improve the quality of nursing
conducted by researchers of the diagnosis and diagnosis and interventions. Based on the
intervention instruments that contained a check description that had been described previously
list format that facilitates nurses in selecting so it need to be develop nursing diagnosis and
appropriate nursing diagnoses. But there are not intervention instrument based on Standardized
appropriate with NANDA-I nuring diagnoses. One Nursing Language (NANDA-I, NOC, NIC).
sheet format consists of a variety of purposes and
no nursing outcomes and the action plans MATERIALS AND METHODS
mixed together with one another diagnosis that
Design research was action research
made care plan was less specific and less
conducted in two phases. The first phase was
complete.
the preparation of nursing diagnosis and
Nursing documentation seized almost
intervention instrument so that the instrument
50% of his time nurse per shift (Gugerty et al,
developed valid and reliable, supported by
2007). Most nurses in the clinical order, did
statistical analysis using Pearson Product
not do a complete documentation. The reason
Moment Correlation test to determined the
why nurses did not do nursing documentation
validity and Cronbach alpha test to determined
was most nurses prefer to spend their time to
the reliability and descriptive analysis. Phase
perform actions on the patient and not
two was the process of socialization and
documenting it. Factors of employment,
training in the used of instruments so that the
training and workload according to Siswanto,
nurses were able to use the nursing diagnosis
MH., Hariyati, TS., (2013) was a factor that can
and interventions instrument based on Standardized
affect the completeness of the documentation of
Nursing Language (NANDA-I, NOC, NIC).
nursing. Work environment, high workload,
Descriptive analysis was used to determined
and the difficulty of charging time format
the frequency distribution of each sub-category
documentation contributes to lack of quality of
variable.
nursing documentation (Okaisu, E.M.,
The population of the first phase of
Kalikwani, F., Wanyana, G. & Coetzee 2014)
activities FGD consists of a field of nursing,
The concept of the solutions developed
nursing committee, NUM and the nurses.
in this research was to develop nursing
Participants in the focus group were selected
diagnoses and interventions instruments based
based on purposive sampling technique.
on the Standardized Nursing Language (SNL)
Participants in the FGD amounted to 15. The
in a format in the form of check list (√) in
population of the first phase to test the validity
patients with cases Diabletes Mellitus in order
and reliability is a nurse and the selection of
to facilitated nurses in filling nursingdiagnoses

158
Development of Nursing Diagnosis & Intervention Instrument (Diana Rachmania,dkk)

the sample using purposive sampling technique were women, almost half of the participants
gained 7 nurses. The population of the second (46%) working time> 15 years, most of the last
phase that used to evaluate the capability of education is D3 of Nursing, and all participants
nurses in the charging nursing diagnoses and (100%) is a permanent employee. This shows
intervention instrument based on Standardized that the FGD participants is included in the
Nursing Language (NANDA-I, NOC, NIC) category of productive age, with work
was a nurses at Teratai Room and the selection experience long enough so that it can give an
of the sample using purposive sampling idea of the needs of the instrument nursing
technique gained 8 nurses. The population of documentation in accordance with the
the second phase for FGD activities consist of conditions in each room.
nursing, nursing committee, NUM and the Seven characteristics of the respondents,
nurse at Teratai Room. Participants in the almost half of respondents (42%) aged > 31-35
focus group were selected based on purposive years, all respondents (100%) were women,
sampling technique. Participants in the FGD almost half of respondents (42%) work
amounted to 13 participant. between 5-10 years old, most of the last
Variables in this research was the development of education is D3 of Nursing, and all
nursing diagnosis and intervention instruments respondents (100%) is a permanent employee.
based on Standardized Nursing Language It showed that the respondents to the category
(NANDA-I, NOC, NIC). Phase 1 consisted of of productive age, work experience long
standard nursing diagnostic evaluation and enough at more than 5 years can be used as a
assessment of nursing interventions used in benchmark of the validity and reliability of the
hospital Amelia, drafting nursing diagnosis and instrument. The evaluation results of observation nursing
intervention instrument through FGD (Focus diagnosis and interventions instrument used in the
Group Discussion), to test the validity and Teratai Room Amelia Pare Hospital were
reliability of the instrument diagnosis and judged by the standards of nursing care was
nursing interventions. Phase 2 consisted of quite appropriate nursing diagnoses and
filling training instruments based nursing nursing intervention instruments appropriate
diagnosis and intervention Standardized nursing interventions pretty standard.
Nursing Language (NANDA-I, NOC, NIC), Recommendations from FGD about the
the evaluation of the ability of the nurse in structure of the nursing diagnosis and nursing
charge of instruments and recommendations interventions instrument based on standardized
resulting from the study. nursing language that was be applied at Teratai
Data processing at one phase consists of Room that participants agree with the
a descriptive analysis of the results of the arrangement of the instruments presented by
evaluation standards for diagnosis and researchers was the formulation of nursing
assessment of nursing interventions used in diagnoses according NANDA International
hospital diagnosis Amelia and drafting with selection check list according to the
instruments and nursing interventions through standard formulation of nursing diagnosis is
FGD (Focus Group Discussion). Inferential composed of problem, etiology, symptomp for
analysis was carried out to test the validity actual and problem diagnosis, etiology for the
with Pearson Product Moment Correlation test diagnosis of risk with check list format.
to determine the validity and Cronbach alpha Nursing intervention instruments used in
test to determine the reliability of the accordance with the NOC (Nursing Outcomes
provisions of the table r 0.754 (by 7 Classification) and NIC (Nursing Intervention
respondents). The data processing phase 2 is Classification) with a check list format. Results
done with descriptive analysis to determine the validity and reliability of the nursing diagnosis
frequency distribution of each sub-category and interventions based standardized nursing
variable. language (NANDA-I, NOC, NIC) as follows:

RESULTS
Results & Analysis Research phase 1
Characteristics of 15 participants FGD is
almost part of the participants (33%) were
aged> 40 years, the entire pastisipan (100%)

159
Jurnal Ners Vol 11 No 2 Oktober 2016: 157-163

Table 1. The validity of the nursing diagnoses Instrument

No Nursing Diagnosis R hitung R table Conclution


Uji corellationpearson’s product moment (N=7)
1 Soal no 1 r : 0,767 0,754 Valid
2 Soal no 2 r : 0,910 0,754 Valid
3 Soal no 3 r : 0,910 0,754 Valid
Rata-rata r hitung r : 0,862 0,754 Valid

Table 1 shows that the validity of the nursing diagnosis instruments that tested by
Test results with SPSS to test Pearson's Pearson's product moment correlation with r
product moment correlation by 7 respondents, count> r table so that the item is declared
with r table was 0.754. All the items about the

Tabel 2. The validity of nursing interventions instrument


No Intervensi R hitung R tabel Kesimpulan
keperawatan Uji korelasi pearson’s product (N=7)
moment
1 Soal no 1 r : 0,959 0,754 Valid
2 Soal no 2 r : 0,767 0,754 Valid
3 Soal no 3 r : 0,959 0,754 Valid
4 Soal no 4 r : 0,959 0,754 Valid
Rata-rata r : 0,911 0,754 Valid
r hitung

Tabel 3. The reliability of nursing diagnoses and interventions instrument


No Instrumen Hasil R tabel Kesimpulan
Uji cronbach alpha (N=7)
1 Nursing diagnoses α : 0,862 0,754 Reliabel
2 Nursing interventions α : 0,875 0,754 Reliabel

Results and Analysis Research phase 2 Socialization and training of the charging
instrument-based nursing documentation Standardized
8 Characteristics of the respondents, the
Nursing Language (NANDA-I, NOC, NIC) in
majority of nurses (50%) were aged 26-30
the RS Teratai Amelia Pare held on 13 April
years, mostly female (62%), the majority of
2016 in two phases with a total participant 47.
nurses (50%) had a working time of 1-5 years,
Broadly speaking, the participants were able to
all respondents (100%) last education is D3
accept material submitted by researchers.
nursing, and all respondents are permanent
Training is conducted by nurses in hospitals
employees (100%). It shows that age is still
Lotus Lounge Amelia's practice of charging
relatively young, with the last D3 nursing
instruments based nursing diagnosis and
education is expected to receive a new science
intervention Standardized Nursing Language
properly so as to apply the instrument
(NANDA-I, NOC, NIC). The instrument has
developed by researchers well.
been developed for patients with a medical
Characteristics of participants FGD
diagnosis of Diabetes Mellitus, so the nurse
stage 2 that almost half of the participants
assigned to document nursing care in patients
(33%) were aged> 40 years, the entire
with Diabetes Mellitus. One nurse in charge of
pastisipan (100%) were women, almost half of
documenting a patient with Diabetes Mellitus
the participants (46%) working time> 15 years,
in which the documentation is completed in a
most of the last education is D3 of Nursing,
single shift. This process takes place from the
and the whole participants (100%) is a
date of 14 April-29 April, 2016
permanent employee. This shows that the FGD
The instrument has been developed for patients
participants is included in the category of
with a medical diagnosis of Diabetes Mellitus,
productive age, with long work experience.
so the nurse assigned to document nursing care

160
Development of Nursing Diagnosis & Intervention Instrument (Diana Rachmania,dkk)

in patients with Diabetes Mellitus. One nurse DISCUSSION


in charge of The results of the evaluation of the
Evaluation of The Implementation of
ability of nurses in the application of nursing
Documentation Standards in Nursing Care
diagnoses and interventions instruments based
in Teratai Room Amelia Hospital Pare
on Standardized Nursing Language (NANDA-
Kediri
I, NOC, NIC) Show that the ability of
respondents in filling nursing diagnosis The result evaluation of observation
instrument as a whole (100%) was good, the nursing diagnoses and interventions instrument
ability of respondents in filling nursing that used in Teratai Room Amelia Hospital
intervention instrument majority (75%) is Pare were judged by the standards of nursing
good. The Evaluation of the ability of nurses in care based on Departement of Health standard.
the application of nursing diagnoses and interventions The result show that nursing diagnosis is quite
instruments based on Standardized Nursing appropriate standard because nursing diagnosis
Language (NANDA-I, NOC, NIC) at the is still not linked to the causes of the gap and
Teratai Room shows that the ability of meet the needs of patients. Nursing diagnoses
respondents in filling nursing intervention has been created by a nurse under the authority
instrument majority (75%) is good. of nurses, nursing diagnosis actual still using
Recommendations FGD phase 2, is one statement diagnoses, should have at least 2
necessary to record a list of nursing diagnoses statements diagnoses to actual nursing
in patients with Diabetes Mellitus to assist in a diagnosis that is labeled as a problem and
language that has been standardized, the explain the factors related to the etiology.
formulation of nursing interventions in nursing interventions instrument quite match
accordance with the NOC and NIC, where the the standard because there are goals that are
target score outcome can be modified with lists specific and measurable, but no time limit is
the normal standard of the best conditions of realistic in the goals, action plan already exists
the patient and also for the interventions but mixed into one coloumn between the plan
activity need to be made in full either act and purpose of some nursing diagnoses so it is
independently or collaborative actions, should unclear boundary between the action plan one
be evaluated on a regular basis regarding the with an action plan on the other nursing
use of language standards of nursing and diagnosis, plan of action in the form of
nursing interventions in accordance with the sentences instructions, quick, firm with the
standards applicable at any given moment. language easily understandable.
Results of research findings to shape the
development of the nursing diagnosis instrument Development Nursing Diagnoses and Interventions
based on the research that nursing diagnoses Instrument Based on Standardized Nursing
associated with causal factors for actual Language (NANDA-I, NOC, NIC).
nursing diagnosis and risk factors for the
nursing diagnosis risk in accordance languages Recommendations from FGD about the
NANDA-International, nursing diagnoses were structure of the nursing diagnosis and nursing
made in accordance with the authority of interventions instrument based on standardized
nurses. nursing language that will be applied at Teratai
Form of nursing interventions instrument that Room, that participants agree with the arrangement of the
had been developed based on the research instruments presented by researchers is the formulation of
process, namely destinations care plan is only a nursing diagnoses according to the NANDA
target date for the achievement of goals and are International with selection check list according to the
the outcome of the desired target can be standard formulation of nursing diagnosis is
measured using a scale according to the NOC, composed of problem, etiology, symptomp for
the action plan drawn up to resolve the issue actual and problem diagnosis, etiology for the
based on nursing diagnoses of patients, the diagnosis of risk with check list format.
action plan in the form of a sentence Nursing intervention instruments used in
instruction, concise, easily understandable accordance with the NOC (Nursing Outcomes
language firm with appropriate NIC. Classification) and NIC (Nursing Intervention
Classification) with a check list format.
The composition of the format used in
the study of nursing diagnosis is composed of

161
Jurnal Ners Vol 11 No 2 Oktober 2016: 157-163

"nursing diagnoses" relates to "causes /related respondents employed researchers in


factors" is marked with "symptoms / defining measuring the validity and reliability of the
characteristics". In the medical record has been instrument to deliver results that truly
based electronics, sometimes do not include significant
the component "related factors" and
"symptoms". However should need also to be Dissemination and Training of The Development of
noted that component in order to support the Nursing Diagnoses and Interventions Instruments
nursing diagnoses. Without such data it is Based on Standardized Nursing Language
impossible to verify the accuracy of the
Dissemination and training of the development
nursing diagnosis that affects the quality of
of nursing diagnoses and interventions instruments
nursing care (Herdman & Kamitsuru 2015).
based on Standardized Nursing Language
Planning is part of the organizing phase of the
(NANDA-I, NOC, NIC) in Amelia Hospital
nursing process as a guide to direct the actions
Pare went smoothly and was held on 13 April
of nursing in an effort to help, relieve, solve
2016 attended by 47 participants in two stages.
problems or to meet the needs of clients
Training is preparation to improve the
(Setiadi 2012).
competence and skills of staff, promotion to
Researchers develop nursing diagnoses
leadership performance improvement (Danim
and interventions instrument based on Standardized
2008) Indicators training methods can be
Nursing Language (NANDA-I, NOC, NIC)
viewed below (Hasibuan 2005) interest or
based on the results of FGD and based on the
interest on the method used; 2) harmonization
theory described in the preceding paragraph.
of training activities with the sustainability of
The instrument has been designed by
activities on the ground; 3) facilities adequate
researchers presented and offered to the
practice space; 4) The timeliness with trainees.
participants. In accordance with the expectations of the
Socialization activities carried out as
nurses who want their diagnosis and nursing
many as two stages in order to facilitate nurses
intervention instrument which is simple, easy
in Teratai Room, who was on duty in the
to use, according to the theory and efficient.
morning shift. In ethics and responsibility, it is
not possible to require all nurses to follow
Analysis of the validity and reliability
socialization Teratai Room at a time where the
Table 1 shows the test results of Pearson nurse had to leave the patient who is being
Product Moment Correlation average value of r treated in the room. The existence of such
count validity of the instrument diagnosis 0, training is expected to increase the knowledge
862> 0.754, which means valid. Table 2 shows of nurses about the standard language and its
the Pearson Product Moment Correlation application.
average value of r count validity intervention
instruments 0, 911> 0.754, which means valid. Evaluation of the ability and the opinion of nurses
Table 3 indicating the hasul IJI cronbach regarding application of nursing diagnoses and
alphadengan count r diagnosis and interevsni intervention based on Standardized Nursing
instruments are 0.862 and 0.875> 0.754 Language (NANDA-I, NOC, NIC)
declared reliable.
The ability of respondents in filling
The principle of the preparation of the
nursing diagnosis instrument as a whole
instrument according to Nusalam, (2013) that
(100%) was good, the ability of respondents in
the validity and reliability. The principle is the
filling nursing intervention instrument majority
validity of measurements and observations
(75%) is good. Evaluation should have clear
imply reliability principle instrument in
objectives, in accordance with the objectives
collecting data. The instrument must be able to
set in the program. (Potter, P 2011).
measure what should be measured.
Basically the development of nursing
Good instrument instrument is tested for
diagnoses and interventions instrument is not
validity and reliability. Therefore, in the
new for nurses. Every day nurses are faced
drafting process is very important to pay
with the activity. Therefore, it is possible in
attention to the content of the instrument is
spite of the new information on how to fill out
able to measure what should be measured, and
the instrument documentation with a new
the results of these measurements are able to
format, is not a difficult thing to be applied. In
provide accurate information. A total of 7

162
Development of Nursing Diagnosis & Intervention Instrument (Diana Rachmania,dkk)

reality the respondents were able to fill up Suggestion


easily and smoothly instruments developed.
The nursing committee to begin record
Recommendations
nursing diagnosis has ever appeared in any
Recommendations FGD phase 2, to the room so he could begin to formulate the
Amelia Hospital is necessary to record a list of nursing care based on the Standardized
nursing diagnoses in patients with Diabetes Nursing Language (NANDA-I, NOC, NIC) so
Mellitus to assist in the preparation of Stadar as to produce formulation of nursing care in
Nursing with a language that has been the form of check list and in accordance with
standardized, the formulation of nursing the standards, as well as facilitate the nurse in
interventions in accordance with the NOC and the filling. For further research needs to be
NIC, where the target score outcome can be done research on the effectiveness of using the
modified with lists the normal standard of the target score ourcome compared with normal
best conditions of the patient and also for the data usage for the accuracy of data on nursing
manufacture activity interventions need to be interventions made by the NOC
made in full either act independently or
collaborative actions, should be evaluated on a
REFERENCES
regular basis regarding the use of language
standards of nursing and nursing interventions Danim, S., 2008. Kinerja Staf dan Organisasi,
in accordance with the standards applicable at Bandung: Pustaka setia.
any given moment. Hasibuan, M.S.., 2005. Manajemen Sumber
Daya Manusia revisi., Jakarta: Bumi
CONCLUSIONS & SUGGESTIONS aksara.
Herdman & Kamitsuru, 2015. Nursing
Conclusions
Diagnoses; definition and classification
Recommendations outcomes of the 2015-2017 Tenth edit., uk: Wiley
Focus Group Discussion (FGD) in the Blackwell.
development of instrument-based nursing Nusalam, 2013. Metodologi penelitian ilmu
documentation Standardized Nursing Language keperawatan, Jakarta: Salemba Medika.
(NANDA-I, NOC, NIC) in the Lotus room Okaisu, E.M., Kalikwani, F., Wanyana, G. &
Amelia Pare hospital in the form of a check list Coetzee, M., 2014. Improving the quality
that nursing diagnosis instrument based on of nursing documentation: An action
NANDA-International, intervention nursing by research project’, Curationis. Available
NOC and NIC. Instruments of diagnosis and at: Art. #1251, 11 pages. http://dx.doi.
intervention, based nursing Standardized Nursing org/10.4102/curationis. v37i1.1251.
Language (NANDA-I, NOC, NIC) are valid and [Accessed October 6, 2015].
reliable. Training charging instrument-based nursing Potter, P, & P., 2011. Basic nursing Ed. 7th.,
documentation Standardized Nursing Language Canada: Mosby Elsevier.
(NANDA-I, NOC, NIC) in RS Amelia Pare went Rutherford, M.., 2008. Standardized Nursing
smoothly and was held on 13 April 2016 attended by 47 Language: What Does It Mean for
participants in 2 stages. Application of instrument-based Nursing Practice? Available at:
nursing diagnosis and intervention Standardized www.nursingworld.org/MainMenuCateg
Nursing Language (NANDA-I, NOC, NIC) in ories /ANAMarket
the Lotus room Amelia Pare Hospital showed place/ANAPeriodicals/OJI [Accessed
that the ability of the nurse in charge of October 10, 2015].
nursing diagnosis instrument either wholly Setiadi, 2012. Konsep & Penulisan
(100%), and nursing interventions most ( 75%) Dokumentasi Asuhan Keperawatan,
either. Recommendations outcomes of the Yogyakarta: Graha Ilmu.
Focus Group Discussion (FGD) on the Siswanto, MH., Hariyati, TS., S., 2013. Faktor-
instrument nursing documentation that nursing faktor yang berhubungan dengan
documentation standard evaluation instruments kelengkapan pendokumentasian asuhan
need to be observed on a regular basis and can keperawatan. Available at:
be developed according to the policies in force http://jki.ui.ac.id/
at any given moment. index.php/jki/aticle/view/5 [Accessed
October 1, 2015].

163
Jurnal Ners Vol 11 No 2 Oktober 2016: 157-163

164
KONDISI PEREKONOMIAN DAN PENGETAHUAN KELUARGA YANG RENDAH
MEMICU PENGABAIAN LANSIA PEREMPUAN DI KELUARGA BESAR

(Poverty and Lack of Knowledge Cause Negligence of Female Elders Living in Extended
Families)

Setho Hadisuyatmana,* M Ruli Maulana,* Makhfudli Makhfudli*


*Program Studi Pendidikan Ners Fakultas Keperawatan
Email: setho.h@fkp.unair.ac.id

ABSTRAK
Pendahuluan: Pengabaian lansia yang melibatkan perempuan usia lanjut seringkali tidak dilaporkan di Ampenan Nusa
Tenggara Barat. Meskipun bukti ilmiah terpublikasi masih sangat kurang untuk mendukung signifikansi fenomena ini,
sebuah pilot studi menunjukkan bahwa lansia yang tinggal bersama keluarga di Ampenan hidup dalam keadaan kotor, kulit
kering, dan mengalami kurang gizi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi faktor berhubungan dengan
kasus-kasus yang tidak dilaporkan pada kelompok lansia tersebut. Metode: Penelitian ini menggunakan pendekatan cross
sectional secara deskriptif analitik. Tiga puluh empat keluarga besar yang tinggal dengan dan merawat lansia perempuan di
wilayah kerja Puskesmas Ampenan dilibatkan secara purposif sebagai partisipan dalam penelitian ini. Data tentang kesadaran
keluarga terhadap penelantaran lansia dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan berdasarkan Elder
Abuse Instrumen (EAI) melalui komponen checklist dan kecurigaan terhadap perilaku pengabaian pada lansia perempuan
didapatkan menggunakan checklist 13-item dari EAI. Data kemudian dianalisis dengan menggunakan Spearman rho dengan
tingkat kealpaan α ≤ 0,05. Hasil: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan keluarga memiliki korelasi
yang kuat dengan peristiwa pengabaian lansia (p = 0,000 dengan r = 0.643). Diskusi: Analisis temuan ini menunjukkan
bahwa tidak hanya kurangnya pengetahuan keluarga, tetapi juga situasi ekonomi yang buruk memicu mereka secara tidak
sengaja mengabaikan orang tua perempuan mereka. Hasil ini menutup kesenjangan kurangnya bukti yang dapat menjelaskan
faktor-faktor berhubungan dengan kejadian pengabaian lansia di kawasan timur Indonesia. Penelitian lebih lanjut diperlukan
untuk menjelaskan signifikansi dan luasan dampak dari pengabaian terhadap lansia. Peneliti menyarankan bahwa Dinas
Kesehatan, Puskesmas dan profesional kesehatan memiliki peran penting untuk mendidik masyarakat sebagai langkah
pertama untuk meningkatkan kualitas hidup dan menciptakan proses penuaan yang sejahtera bagi lansia.
Kata kunci: pengabaian, lansia, pengetahuan, ekonomi, Indonesia

ABSTRACT
Introduction: Elder neglect remains as unreported ptoblem that involves old women in Ampenan West Nusa Tenggara.
Despite the paucity of evidence to report the significance, an earlier pilot study showed that elders who lived with their
family in Ampenan were found dirty, with dry skin and malnourished. The purpose of this study was to explore the
correlating factors of the unreported cases of neglect among these elders. Method: This study was a cross-sectional study
conducted using a descriptive analytic approach. Thirty-four extended families lived with female elders in the working area
of Puskesmas Ampenan and were purposively involved as participants in this study. Family awareness of abuse was collected
using a questionnaire developed based on an Elder Abuse Instrument component checklist and the suspicion of instances of
neglect among the elders was collected using the 13-item checklist from the Elder Abuse Instrument. The data were then
analysed using Spearman’s rho (α ≤ 0,05). Result: The results show that a family’s lack of knowledge has a strong
correlation with elder neglect (p= 0,000 with r= 0,643). Discussion: The analysis of this finding suggests that not only were
the families lacking in knowledge, but they were also being burdened by poor economic situations that triggered the
unnecessary neglect of their female elders. These results bridge the paucity of evidence to explain the correlating factors with
the incidence of elder abuse in eastern Indonesia. Further research is necessary to explain the size and the impact of neglect
towards elders. It is suggested that local departments of health, Puskesmas and health professionals should educate the
community as the first step to improving the elders’ quality of life and promoting healthy aging.
Keyword: neglect, elder, knowledge, economic, Indonesia
__________________________________________________________________________________

INTRODUCTION isolation, leaving the elder to stay in damp


clothing, or other harmful situations. Poor
Neglect is one of the most common
hygiene, having skin problems, being
family mistreatments towards elder (Alizadeh-
malnourished and living in a filthy space are the
Khoei et al. 2014; Kaur et al. 2015). Neglect
major indicators of neglect (Elder Abuse
can be defined as intentional or unintentional
Prevention Unit 2014).
failure in providing basic care for the elder
The World Health Organization (2015)
(Maurier & Smith 2005). This definition also
confirms that most of the cases occurred in
refers to self and carer’s failures in providing
extended families and were misdiagnosed. The
proper food, physical and psychological

220
Pengabaian Lansia Perempuan (Setho Hadisuyatmana, dkk.)

Bureau of Justice Statistics (2012) reported that Health Research under the article number
in the United States about 2.2 million cases of 442/EC/KEPK/FKUA/2016. This study used a
mistreatment are reported annually. About descriptive analytical approach, a cross-
67.3% of the victims were female (National sectional method. Thirty-four extended families
Center on Elder Abuse 2015). Similarly, cases that were taking care of grandmothers and/or
also occurred in Spain. Marmolejo (2008) their female parents-in-law and had more than
reported that the victims were mostly female one child in a house were involved as the unit
elders. The fact that they could live longer, be of analysis. Both male and female (husbands
more financially dependent, and more prone to and wives) adults’ knowledge of how to care
chronic diseases (when compared with the for elders was analysed as an independent
opposite gender) have made them vulnerable as variable, while the possibility of neglect
victims of abuse (Anetzberger 2012). experienced by female-older members
Earlier studies added advanced age, (grandmothers) of the family was the dependent
dependency, interfamilial conflict, depression, variable.
isolation, and poor health as main factors that The data for both variables were
contribute to neglect (Alizadeh-Khoei et al. collected through questionnaires and a checklist
2014; Begley & Matthews 2010; Maryam et al. adapted from the Fulmer’s (2003) Elder Abuse
2012). Furthermore, burdened stress in Index (EAI). The collected data were then
providing care for all the members, and the analysed carefully using Spearman’s Rho test
economic situation of the family also triggers with a significant level of 95%.
the mistreatment of elders (Maurier & Smith
2005). In addition, neglect could be a result of RESULTS
caregivers’ lack of awareness (Bureau of Justice
The demographical data in Table 1 shows
Statistics 2012).
that most of the adults in the families were of a
A pilot to this study showed that elders
productive age of 25 to 45 years old. About
who lived with their families in the sub-district
79% of the adult females in the families were
of Ampenan Tengah of West Nusa Tenggara
full-time mothers who were not only taking
were found dirty, with dry skin, and
care of their female-elder family members, but
malnourished. They were left alone in their
also their children. It can be assumed that the
family-houses while the younger adults were
working outside. Thus, this study was designed Table 1. Demographical distribution of the
to explain further the contributors to elder families involved as participants in the study.
neglect in the working area of Puskesmas No Characteristics total %
Ampenan in West Nusa Tenggara. Age of the adult
1 respondents
METHOD a. 26-35 y.o. 22 64.7
This study explored the correlations b. 36-45 y.o. 12 35.2
between the second generation’s knowledge of Total 34 100
how to care for their female elder and the Level of highest
possibility of elder neglect in families. The 2 education
a. Primary 25 74
working area of one public health centre
(Puskesmas) in Mataram, the capital region of a b. High school 8 24
province on the Island of Nusa Tenggara c. Tertiary 1 2.9
Total 34 100
Puskesmas Ampenan was selected prior to the
3 Occupation
earlier pilot observation which showed that
a. Housewife 27 79
more than thirteen female elders living in that
b. Seller 3 8.8
area were in poor condition and left alone
c. Employee 1 2.9
without support for most of the day. According
e. Others (uncertainty) 3 8.8
to the definition proposed by the Elder Abuse Total 34 100
Prevention Unit (2014), their conditions could 4 Elders’ age
be considered to be neglect. a. 66-70 y.o. 18 53
The ethical clearance of this study has b. 71-75 y.o. 12 35
been approved by the Faculty of Medicine c. >75 y.o. 4 12
Universitas Airlangga Ethical Committee on Total 34 100

221
Jurnal Ners Vol. 11 No.2 Oktober 2016: 220-223

income of these families came from the 4).


husbands only. DISCUSSION
Almost all of the adult respondents have Education is one of the supporting
limited knowledge, reflected in their highest factors for individuals in gaining and
degree of education. The data gathered from synthesising information. (Notoatmodjo (2007)
the questionnaire-guided interviews showed asserts that the higher the education the more
that the adults’ understandings of elder abuse knowledge an individual can get. This means
were poor. Table 2 shows that only three that the higher the level of education the more
families had enough awareness of abuse, while information individuals would gain, as well as
about 47.1% others did not know anything improving their broad knowledge.
about abuse. The results of this study imply that
almost half of the involved respondents
The test using EAI showed that 41.2% of
neglected their female elders. They were mostly
the female elders who were members of the
malnourished and poor. Among the suspected
families as responders were suspected of being
contributors, families’ lack of awareness about
unintentionally neglected. However, the test
elder neglect was identified to correlate
also revealed that the other 58.8% elders were
significantly with the unreported cases. IN the
not neglected (See Table 3).
authors’ opinion, participants’ lack of knowledge
The statistical test (Spearman’s Rho) has made them unable to identify whether they
revealed that adults’ (referring to husband and have treated their elders correctly. The
wife) knowledge about abuse correlates with respondents’ lack of knowledge was suspected
the prevalence of elder neglect (p=0.001). It because of the small flow of information in
also indicated that knowledge has a strong Ampenan, the small village in West Nusa
correlation with neglect (r=0.643) (See Table Tenggara, the place they lived. The Puskesmas
(local public health service) in Ampenan had
Table 2. Family awareness of elder abuse in the never been involved with families nor provided
working area of Puskesmas Ampenan, information about elders’ health. On the other
year 2016 hand, there is no evidence to support that elder
Knowledge and abuse is either an important or familiar topic.
No Total %
awareness Therefore, unfamiliarity of elder abuse became
1 Sufficient 3 8,8 one major contributor to the high prevalence of
3 Fair 15 44,1
unreported neglect.
4 Insufficient 16 47,1
This study also suggests that poor
Total 34 100
financial support is another factor in neglect.
This finding showed that most of the neglected
Table 3. The result of EAI test for the elders elders lived in families with low economic
observed in the study status, where daily needs are often short.
Elder Assessment
No Total % According to the American Psychological
Instrument
1 Not neglected 20 58.8 Association (2012) this situation could lead to
History of being family stress and triggers neglect of elders. The
2 14 41.2 situation was worse for elders who lived with
neglected
Total 34 100 families where the householders do not have
permanent work. The householders would have
Table 4. Strong correlation between knowledge been burdened with their responsibility in
and elder neglect providing proper living conditions for their
EA families with children and also for their elders.
Elder Abuse Given that the majority of householders in
Awarene Total %
Assessment Ampenan were unemployed and did not have
ss
Non-
% Neglect % permanent work, it is reasonable to conclude
neglect
that elders were unnecessarily neglected.
Sufficien
3 8.8 0 0 3 8.8 The awareness of a family plays a
t
major role as a predisposing factor to an act of
Fair 13 38.2 2 5.9 15 44.4
abuse (Notoatmodjo 2007). Neglected elders as
Insufficie a subject of this study lived with families who
4 11.8 12 35.3 16 47.1
nt
Total 20 58.8 14 41.2 34 100
p = 0,000 r = 0,643 222
Pengabaian Lansia Perempuan (Setho Hadisuyatmana, dkk.)

were not aware of elder abuse. This implies a Solutions, The American Psychological
strong correlation between the unfamiliarity of Association, Washington.
abuse as a health issue and the incidence of Anetzberger, G, 2012, 'An update on the nature
neglect. This study concludes that the lack of and scope of elder abuse', Generations,
information resources, the insufficient effort by vol. 36, no. 3, pp. 12–20.
Puskesmas to involve families, and unemployment Begley, E & Matthews, F, 2010, 'Protecting
promotes the unreported cases of neglect in older adults: A policy and legal review of
Ampenan. Furthermore, the number of neglect "Elder Abuse in Ireland', Journal of
could continue to rise as unimportant message Studies, vol. 99, no. 393.
in eastern Indonesia. Therefore, it is suggested Bureau of Justice Statistics 2012, Half of
that the local department of health, Puskesmas Violent Victimizations of the Elderly in
and health professionals educate the community Michigan from 2005–2009 Involved
as the first step to improving the elders’ quality Serious Acts of Violence, The United
of life and promoting healthy aging. States Department of justice, Michigan,
viewed 28 October 2016,
CONCLUSION AND RECOMMENDATION <http://www.bjs.gov/content/pub/press/v
Conclusion cerlem0509pr.cfm%3E.
Elder Abuse Prevention Unit 2014, Elder
The unfamiliarity of elder abuse was Abuse: Neglect, Queensland, viewed 28
highlighted as factors that correlates with October 2016,
neglect experienced by elders who lived in <http://www.eapu.com.au/elder-
extended families. The insufficient knowledge abuse/neglect%3E.
among the adults of extended families with Kaur, J, Kaur, J & Sujata, N, 2015,
whom the elders lived was strongly correlated Comparative study on perceived abuse
with unreported cases of neglect. The poor and and social neglect among rural and urban
burden of economic welfare in Ampenan are geriatric population. Indian journal of
also correlated with the unnecessary acts of psychiatry, 57(4), p.375.
abuse by families. These results add to the Marmolejo, II 2008, Maltrato de personas
available evidence found in earlier studies and mayores en la familia en España,
theories. However, this study did not explain Fundación De La Comunitat Valenciana
the extent of the abuse and how big the impact Para El Estudio De La Violencia (Centro
of neglect toward the elders was. These results Reina Sofía), Valencia.
bridge the paucity of evidence to explain the Maryam, RS, Rosidawati, Riasmini, N & Siti,
correlating factors for the incidence of elder SE 2012, 'Beban keluarga merawat lansia
abuse in eastern Indonesia. dapat memicu tindakan kekerasan dan
Recommendation penelantaran terhadap lansia', Jurnal
Keperawatan Indonesia, vol. 15, no. 3,
It is suggested that the local department pp. 143–150.
of health, Puskesmas and health professionals Maurier, FA & Smith, CM, 2005,
educate the community as the first step to Community/Public Health Nursing
improving elders’ quality of life and promoting Practice: Health for Families and
healthy aging. Populations, Elseviers Saunders.
National Center on Elder Abuse 2015, Research
REFERENCE Statistics/Data: What We Do, National
Alizadeh-Khoei, M, Sharifi, F, Hossain, SZ, Center on Elder Abuse, California,
Fakhrzadeh, H & Salimi, Z, 2014, 'Elder viewed 28 Ocober 2016,
Abuse: Risk Factors of Abuse in Elderly <https://ncea.acl.gov/whatwedo/research/
Community-Dwelling Iranians', statistics.html>.
Educational Gerontology, vol. 40, no. 7, Notoatmodjo, S, 2007, Promosi Kesehatan dan
pp. 543–554. Perilaku, Rineka Cipta, Jakarta.
American Psychological Association 2012, World Health Organization, 2015, World
Elder Abuse & Neglect In Search of Report on Ageing and Health, WH
Organization, Luxembourg.

223
MEKANISME KOPING PADA ODHA DENGAN PENDEKATAN
TEORI ADAPTASI CALLISTA ROY
(Coping Mechanism on People Living with HIV Using Theory of Adaptation Callista Roy)

Sandu Siyoto*, Yuly Peristiowati*, Eva Agustina*


*STIKes Surya Mitra Husada Kediri
Email : siyotos@gmail.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Dampak negatif yang ditimbulkan oleh individu yang hidup dengan HIV/AIDS adalah masalah fisik,
psikososial dan emosional, sehingga ODHA perlu untuk meningkatkan mekanisme koping kearah adaptif. Roy menjelaskan
ada 3 stimulus yang dapat mempengaruhi mekanisme koping yaitu stimulus fokal, stimulus kontektual,stimulus residual.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan mekanisme koping berdasarkan Teori
Adaptasi Roy. Metode: Desain penelitian menggunakan analitik korelasional pendekatan cross sectional, 30 responden
dipilih dengantehnik purposive sampling.Instrumen penelitian menggunakan kuesioner. Hasil: Hasil penelitian menunjukan
stimulus fokal, stimulus kontektual, adan stimulus residual berhubungan dengan mekanisme koping pada ODHA, sebagian
besar responden memiliki mekanisme koping negatif sebanyak 18 responden (60.0%) dan mekanisme koping positif
sebanyak 12 responden (40.0%). Diskusi: Berdasarkan hasil analisa menunjukan ada hubungan stimulus fokal p-value =
0.018 dan stimulus kontektual p-value = 0.004, sedangkan stimulus residual tidak ada hubungannya dengan mekanisme
koping pada ODHA di KDS friendship plus Kota Kediri.Selama bergabung dalam kelompok dukungan sebaya ODHA
mempunyai wadah untuk mencurahkan perasaan dan emosi serta dapat berkomunikasi sosial dengan baik, sehingga adanya
stimulus fokal dan kontektual dari KDS dapat menstimulasi respon kognator dan regulator yang dapat mempengaruhi fungsi
fisiologis sehingga mampu beradaptasi secara adaptif.

Kata Kunci: Teori adaptasi Roy, Stimulus Fokal, Kontektual, Residual, Mekanisme Koping, ODHA.

ABSTRACT
Introduction: The negative impact caused by people living with HIV/AIDS is a matter of physical, psychosocial and
emotional, so that people living with HIV need to improve towards adaptive coping mechanisms. Roy explained that there
are three stimulus that can influence the coping mechanisms, there are stimulus focal, contextual stimulus, stimulus residual.
The purpose of this study was to determine the factors related with coping mechanisms based on the Roy Adaptation Theory.
Methods: The study design using analytic correlational cross-sectional approach, 30 respondents were selected by purposive
sampling technique. The research instrument used questionnaire. Results: The results showed focal stimulus, stimulus
contextual, adan residual stimulus associated with coping mechanisms in people living with HIV, the majority of respondents
have a negative coping mechanisms as many as 18 respondents (60.0%) and positive coping mechanisms as much as 12
respondents (40.0%). Discussion: Based on the analysis showed there is relationship stimulus focal p-value = 0.018 and
contextual stimulus p-value = 0.004, while the residual stimulus doesn’t have relation with the coping mechanisms of people
living with HIV in KDS friendship plus Kediri. During join the peer support groups people with HIV has a place to share the
feelings and emotions and be able to communicate social well, so that their focal and contextual stimuli can stimulate a
response from KDS cognator and regulators that can affect physiological functions so they can adapt adaptively.
Keywords: Roy adaptation theory, Stimulus Focal, contextual, Residual, Coping Mechanisms, people living with HIV.

PENDAHULUAN
HIV/AIDS merupakan masalah kesehatan Penderita HIV/AIDS mempunyai
yang mengancam Indonesia dan banyak negara masalah terkait dengan mekanisme koping,
di seluruh dunia. Saat ini tidak ada negara yang karena masih banyaknya stigma negatif dari
terbebas dari masalah HIV/AIDS. HIV (Human masyarakat tentang HIV/AIDS sehingga
Immunodeficiency Virus) adalah virus yang banyak penderita HIV/AIDS yang mengisolasi
menyerang system kekebalan tubuh manusia diri dari lingkungannya dan banyak penderita
lalu menimbulkan AIDS. AIDS (Acquired HIV/AIDS yang menganggap dirinya tidak
Immuno Deficiency Sindrom) merupakan berguna lagi. Dengan adanya gangguan psikis
kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh pada pasien HIV/AIDS sehingga berakibat juga
virus HIV yang merusak sistem kekebalan pada penurunan sistem kekebalan tubuh dan
tubuh manusia (Zein 2006) sistem imun (Yayasan Spiritia 2006).

256
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 256-260

Berdasarkan studi pendahuluan yang diperlukan pertukaran informasi secara


dilakukan peneliti di Kelompok Dukungan mendetail dan menyeluruh antar sesama pasien
Sebaya Friendship Plus terdapat ODHA HIV. Model Adaptasi Roy menjelaskan adanya
sebanyak 221 orang dan dari 10 penderita pertahanan dan peningkatan kemampuan proses
didapatkan 7 orang dengan mekanisme koping adaptasi pasien terhadap stimulus kearah
negatif seperti menutup diri, menganggap koping yang lebih adaptif.
dirinya tidak berguna dan mengasingkan diri Berdasarkan uraian diatas, maka penulis
dari masyarakat, dan 3 orang dengan mekanisme tertarik untuk melakukan penelitian dengan
koping positif terlihat dengan dirinya masih judul Analisis Faktor yang berhubungan dengan
mempunyai rasa percaya diri yang tinggi,menggap Mekanisme Koping pada ODHA (Orang
dirinya patut menjadi tokoh dimasyarakat. Dinas Dengan HIV/AIDS) Berdasarkan pendekatan
kesehatan Kota Kediri, mulai tahun 2003 – Teori Adaptasi Callista Roy di Kota Kediri.
2015 dengan kumulatif ditemukan 644 orang
terinfeksi HIV/AIDS, dari jumlah tersebut BAHAN DAN METODE
ditemukan 49 orang meninggal dan 595 orang
Desain Penelitian ini menggunakan
masih hidup. Penderita HIV/AIDS sangat mudah
“Analitik Korelasional”dengan menggunakan
merasa bersalah dan menerima penolakan dari
model rancangan cross sectiona.lPopulasipenelitian
sekitarnya, hal inidisebabkan karena anggapan
ini semua ODHA yang ada di Kelompok
bahwa tingkah laku mereka, terutama tingkah
Dukungan Sebaya Friendship Plus di Kota
laku seksual, dapat membahayakan orang lain.
Kediri yang berjumlah 221 orang. Tehnik
Penderita HIV/AIDS akan mengalami berbagai
sampling Purposivedenganjumlah sampel 30
stresor atau stimulus yang dapat mempengaruhi
responden. Instrumen penelitian menggunakanKuesioner.
mekanisme koping, stimulus atau input yang
analisis data menggunakan uji statistik Regresi
masuk diantaranya adalah stimulus fokal,
Logistik α = 0,05.
stimulus konstektual dan stimulus residual
sehingga ODHA membutuhkan mekanisme
HASIL
koping yang tepat untuk upaya yang diarahkan
Data Umum
pada pengelolaan stressor (Roy, Sr 2009).
Data umum akan menyajikan karakteristik
Individu yang utuh dan sehat, akan mampu
responden.Berdasarkan karakteristik responden
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
menunjukkan sebagian besar usia resonden
biopsikososial menggunakan koping yang
berumur 25-35 tahun sebanyak 20 (67%), 18
positif maupun yang negatif. Untuk mampu
responden (60%) berjenis kelamin laki-laki.
beradaptasi tiap individu akan berespon
Sebagian besar sudah pernah mendapatkan
terhadap kebutuhan fisiologis, konsep diri yang
informasi tentang HIV/AIDS sebanyak 22
positif, mampu memelihara integritas diri,
responden (73%) dan sebanyak 13 responden
selalu berada pada rentang sehat sakit untuk
(43%) telah terkena HIV/AIDS selama ≤1
memelihara proses adaptasi. Demikian besar
tahun.
dampak mekanisme koping adaptif untuk
kualitas hidup pada pasien HIV reaktif maka

Data Khusus
Tabel 1Mekanisme Koping pada ODHA di KDS Friendship Plus Kota Kediri
No. Kategori Frekuensi Presentas
e
1. negatif 18 60%
2. positif 12 40%
Jumlah 30 100

Tabel 2.Stimulus fokal pada ODHA di KDS Friendship Plus Kota


No. Kategori Frekuensi Prosentase
1. Rendah 10 33.3%
2. Sedang 8 26.7%
3. Tinggi 12 40.0%
30 100%

257
Mekanisme Koping ODHA Dengan Pendekatan Teori Adaptasi C. Roy (Sandu, dkk)

Tabel 3. Stimulus kontektual pada ODHA di KDS Friendship Plus Kota Kediri

No. Kategori Frekuensi Presentasi


1. Rendah 12 40.0%
2. Sedang 10 33.3%
3. Tinggi 8 26.7%
30 100%

Tabel 4. Stimulus residual pada ODHA di KDS Friendship Plus Kota Kediri

No. Kategori Frekuensi Presentasi


1. Rendah 17 56.7%
2. Sedang 7 23.3%
3. Tinggi 6 20.0%
30 100%

Tabel 5. Hasil Analisa Data : uji statistik regresi logistik faktor stimulus dengan mekanisme koping

No. Kategori Nilai Signifikan


1. Stimulus Fokal 0.018
2. Stimulus Kontektual 0.004
3. Stimulus Residual 0.111

Berdasarkan uji statistik regresi logistik faktor dengan nilai Uji Wald stimulus kontektual
yang paling dominan terhadap mekanisme adalah 8.244 dan nilai signifikan 0.004 <
koping adalah faktor stimulus kontektual (0.05).

PEMBAHASAN mekanisme koping pada ODHA dengan p-


value = 0.018 < (0.05). Stimulus kontektual
Hasil penelitian di KDS Kota Kediri di
dengan mekanisme koping menunjukan hasil
dapatkan bahwa sebagian besar ODHA
p-value = 0.004 < (0.05). stimulus residual
memiliki mekanisme koping yang negatif yaitu
dengan mekanisme koping menunjukan hasil
sebanyak 18 responden dengan presentase
p-value = 0.111 > (0.05).
(60.0%) . Stimulus fokal dengan kategori
Mekanisme koping merupakan distorsi
tinggi sebanyak 12 responden yaitu (40.0%),
kognitif yang digunakan oleh seseorang untuk
stimulus fokal dengan kategori rendah
mempertahankan rasa kendali terhadap
sebanyak 10 responden yaitu sebesar (33.3%)
situasi,mengurangi rasa tidak aman, dan
stimulus fokal dengan kategori sedang
menghadapi situasi yang menimbulkan stress
sebanyak 8 responden yaitu sebesar (26.7%,)
(Videbeck, 2011). Roy mengemukakan bahwa
dan stimulus fokal dengan kategori tinggi
manusia sebagai sebuah sistim yang dapat
sebanyak 12 responden (40.0%). Stimulus
menyesuaikan diri (adaptive system). Sebagai
kontektual dengan kategori rendah adalah
sistim yang dapat menyesuaikan diri manusia
sebanyak 12 responden yaitu sebesar
dapat digambarkan secara holistik (bio,
(40.0%)responden dengan stimulus kontektual
psicho, Sosial) sebagai satu kesatuan yang
kategori sedang adalah sebanyak 10 responden
mempunyai Input (masukan), Control dan
(33.3%) dan stimulus kontektual dengan
Feedback Processes dan Output
kategori tinggi adalah sebanyak 8 respoden
(keluaran/hasil). Proses kontrol adalah
(26.7%). stimulus residual dalam kategori
Mekanisme Koping yang dimanifestasikan
rendah sebanyak 17 responden yaitu sebesar
dengan cara-cara penyesuaian diri. Lebih
(56.7%) dan yang memiliki stimulus residual
spesifik manusia didefinisikan sebagai sebuah
dalam kategori tinggi yaitu sebesar 6
sistem yang dapat menyesuaikan diri dengan
responden (20.0%). Hasil analisis dari uji
proses mekanisme kognator dan regulator
statistik regresi logistik menunjukan bahwa
untuk mempertahankan adaptasi dalam empat
ada hubungan antara stimulus fokal dengan

258
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 256-260

cara-cara penyesuaian yaitu : Fungsi merasa gagal dalam hidup dan berakibat ke
Fisiologis, Konsep diri, Fungsi peran, dan mekanisme koping yang negatif.
Interdependensi (Roy, Sr 2009). Koping yang efektif atau mekanisme
Stimulus Fokalmerupakan stimulus yang koping yang positif menepati tempat yang
secara langsung dapat mempengaruhi suatu sentral terhadap ketahanan tubuh dan daya
individu untuk berperilaku menuju mekanisme penolakan tubuh terhadap gangguan maupun
koping yang adaptif. Dalam penelitian ini serangan suatu penyakit baik bersifat fisik
stimulus fokal adalah adanya stigma negatif maupun psikis dan social (Nursalam dan Ninuk
dari masyarakat atau lingkungan sekitar dan 2013).
penolakan keluarga terhadap ODHA yang Dalam penelitian ini stimulus residual
dapat mempengaruhi seorang individu dalam pada ODHA adalah sejauh mana presepsi
menghadapi stimulus yang masuk untuk ODHA serta keyakinan terhadap penyakit
menuju respon mekanisme koping yang positif HIV/AIDS. Sebagian ODHA yang mempunyai
. persepsi bahwa HIV/AIDS adalah penyakit
Roy menjelaskan bahwa respon yang yang telah membuat hidup ODHA tidak ada
menyebabkan penurunan integritas tubuh akan gunanya lagi. Sehingga dengan adanya
menimbulkan suatu kebutuhan dan persepsi ODHA yang membut hidupnya tidak
menyebabkan individu tersebut berespon berguna lagi akan mempengaruhi dampak dari
melalui upaya atau perilaku tertentu. Setiap mekanisme koping, namun sebagian ODHA
manusia selalu berusaha menanggulangi juga tidak mau memikirkan hal tersebut
perubahan status kesehatan dan perawat harus mereka sudah mengetahui cara pengobatan
merespon untuk membantu manusia tentang HIV/AIDS dan akan tetap meneruskan
beradaptasi terhadap perubahan ini.5 hidupnya walaupun sebagai ODHA. Mereka
Stimulus kontektual merupakan percaya bahwa ARV adalah terapi yang dapat
stimulus yang dapat menunjang terjadinya meningkatkan kualitas hidupnya.
sakit (faktor presipitasi) seperti keadaan tidak Persepsi adalah pengamatan tentang objek
sehat. Keadaan ini tidak terlihat langsung pada , peristiwa atau hubungan-hubungan yang
saat ini, misalnya penurunan daya tahan diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan
tubuh,lingkungan yang tidak sehat dan isolasi menafsirkan pesan proses menginterpretasikan
sosial. Banyak ODHA yang ketika mereka rangsangan (input) dengan penerimaan
mengalami gangguan psikis dari luar dan informasi, dengan kata lain persepsi dapat
menyebabkan terganggunya psikis atau beban juga didefenisikan sebagai segala sesuatu yang
pikiran sehingga mengakibatkan sistem imun dialami manusia (Jalaludin Rakhmat 2007).
ODHA yang rentan akan terjadi penurunan Faktor stimulus kontektual merupakan
sehingga akan mempengaruhi CD4 pada faktor yang paling dominan,dengan nilai Uji
ODHA. Wald stimulus kontektual adalah 8.244 dan
Stimulus residual adalah karakteristik nilai signifikan p-value 0.004 < 0.05. Stimulus
atau riwayat seseorang dan timbul secara kontektual dalam penelitian ini adalah adanya
relevan sesuai dengan situasi yang dihadapi stimulus lain yang merangsang seseorang baik
tetapi sulit diukur secara objektif. Stimulus internal maupun eksternal serta mempengaruhi
residual merupakan sikap, keyakinan dan situasi dan dapat diobservasi, diukur, dan
pemahaman individu yang dapat secara subjektif disampaikan oleh individu.
mempengaruhi terjadinya keadaan tidak sehat, Rangsangan ini muncul secara bersamaan
atau disebut dengan Faktor Predisposisi, dimana dapat menimbulkan respon mekanisme
sehingga terjadi kondisi Fokal, misalnya : yang negatif (Roy, Sr 2009).
Persepsi pasien tentang penyakit, gaya hidup, Roy mendefinisikan lingkungan
dan fungsi peran.(Wilkins n.d., 2006) sebagai semua kondisi yang berasal dari
Hal ini menunjukan bahwa ODHA yang internal dan eksternal,yang mempengaruhi dan
mendapatkan stimulus fokal akan berakibat terhadap perkembangan dari perilaku
mempengaruhi mekanisme koping kearah yang seseorang dan kelompok untuk menuju ke
negatif, karena masih banyak ODHA yang mekanisme koping yang adaptif. Yang
mendapatkan stigma dari masyarakat dan juga mempengaruhi suatu stimulus kontektual
penolakan dari keluarga, sehingga ODHA adalah adanya perubahan eksternal yaitu
sering merasa hidupnya tidak berguna lagi adanya gangguan fisik, kimiawi, psikologis.
Sedangkan adanya perubahan internal yaitu

259
Mekanisme Koping ODHA Dengan Pendekatan Teori Adaptasi C. Roy (Sandu, dkk)

adanya gangguan proses mental (pengalaman, ketenaga kesehatan jika terjadi masalah fisik
emosional dan kepribadian) dan proses stressor maupun psikis.
biologis (sel maupun molekuler) (Nursalam, &
Kurniawati 2008). DAFTAR PUSTAKA
Jalaludin Rakhmat, 2007. Persepsi Dalam
SIMPULAN DAN SARAN
Proses Belajar Mengajar, Jakarta:
Simpulan
rajawali pers.
Nursalam dan Ninuk, 2013. Asuhan
Berdasarkan hasil uji statistik
Keperawatan pada Pasien Terinfeksi
menggunakan Regresi Logistik kesalahan α <
HIV/AIDS, Jakarta: Salemba Medika.
0,05 didapatkan hasil signifikan nilai P = 0.018
Nursalam, & Kurniawati, N., 2008. Asuhan
< 0.05 untuk stimulus fokal,stimulus
Keperawatan pada Pasien Terinfeksi
kontektual P = 0.004< 0.05yang berarti ada
HIV/AIDS., Jakarta: Salemba Medika.
hubungan dengan Mekanisme Koping pada
Roy, Sr, C., 2009. The Roy adaptation model
ODHA dan stimulus residual p = 0.111 >
(3rd ed.). upper saddle River, NJ :
(0.05) yang berarti tidak ada hubungan dengan
Person. Tomey and Alligood M.R. 2006.
mekanisme koping pada ODHA, faktor yang
Nursing theoriest, utilization and
paling dominan adalah faktor stimulus
application, Mosby: Elsevier.
kontektual dengan nilai Uji Wald stimulus
Wilkins, K.W.&, Kluwer/Lippincott Williams
kontektual adalah 8.244 dengan nilai signifikan
& Wilkins.
p-value 0.004 < 0.05.
Yayasan Spiritia, 2006. Lembaran Informasi
Saran tentang HIV dan AIDS untuk Orang Yang
Hidup Dengan HIV dan AIDS (ODHA).,
Bagi responden Diharapkan ODHA
Jakarta: Yayasan spiritia.
(Orang Dengan HIV/AIDS) lebih memiliki
Zein, U., 2006. seputar HIV/AIDS yang Perlu
sikap percaya diri dalam melakukan aktifitas
Anda Ketahui, medan: USU Press.
sehari-hari, dan juga ODHA bisa bertanya

260
KINERJA BIDAN DALAM DETEKSI DINI PENYIMPANGAN TUMBUH
KEMBANG ANAK
(Midwife’s Performance On Early Detection Of Deviations In Child’s Growth And
Development)

Sri Utami*, Nursalam**, Rachmat Hargono***, Rekawati Susilaningrum*


*Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jl. Pucang Jajar Tengah no. 56 Surabaya, 60282
**Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
*** Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Email: bu.sri.utami67@gmail.com

ABSTRAK

Introduction: Anak merupakan generasi penerus bangsa, mereka harus dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Salah
satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui deteksi dini penyimpangan tumbuh kembang anak. Tujuan penelitian ini
adalah menyusun model peningkatan kinerja bidan melalui optimalisasi strategi self leadership. Metode: jenis penelitian ini
adalah obsrvasional dengan rancangan cross sectional, subyek yang diteliti adalah sebagian bidan di Puskesmas wilayah
kerja Dinas Kesehatan Kota Surabaya, dipilih secara propotional random sampling, sejumlah 222 responden. Variabel
eksogennya adalah job design, riwayat pelatihan DDTK, strategi self leadership, kemampuan bidan, aktivitas bidan dalam
DDTK, varibel endogennya adalah hasil capaian bidan dalam DDTK. Analisis data menggunakan metode Partial Least
Square (PLS). Hasil: dari hasil analisis inner model diperoleh nilai T-statistik pada pengaruh strategi self leadership terhadap
peningkatan kemampuan bidan, pengaruh kemampuan terhadap peningkatan kinerja aktivitas, strategi self leadership
terhadap peningkatan kinerja aktivitas dan terhadap peningkatan hasil capaian dalam deteksi dini penyimpangan tumbuh
kembang didapatkan niali T-statistik lebih besar dari nilai T-tabel (1,96). Sedangkan untuk training SDIDTK tidak
berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan bidan, tidak berpengaruh terhadap peningkatan kinerja aktivitas bidan, begitu
juga job design tidak terdapat pengaruh terhadap peningkatan kemampuan bidan dan terhadap peningkatan kinerja aktivitas
bidan dalam deteksi dini penyimpangan tumbuh kembang anak karena diperoleh nilai T-statistik lebih kecil dari T-tabel
(<1,96). Diskusi: Optimalisasi kemampuan self-leadership bidan merupakan faktor yang perlu diperhatikan sebagai upaya
peningkatan kinerja bidan dalam deteksi dini pemyimpangan tumbuh kembang anak.

Kata Kunci: tumbuh kembang anak, job desain, training , strategi self leadership, kinerja.

ABSTRACT

Introduction: Children are the future of a nation.They should be able to grow and develop optimally. One effort that can be
done to help children grow and develop optimally is through an early detection of deviationsin child’s growth. The purpose
of this study was to develop a model of midwife performance improvement through the optimization of self leadership
strategy. Method: This study was an observational study with cross sectional design. The subjects were 222 midwives
working at the health center services in the area of Surabaya Health Department taken by using proportional random
sampling technique. Exogenous variables were job design, history of training of early detection of deviationsin child’s
growth, self leadership strategy, midwife skill, midwife activity in early detection of deviationsin child’s growth,
andendogenous variable was midwife performance in early detection of deviationsin child’s growth. Data were analyzed
using Partial Least Square (PLS). Result: The result of inner model analysis showed that the value of T-statistic of the
influence of self leadership strategyon midwife performance improvement, the influence of midwife skill on activity
performance improvement, the influence of self leadership strategyon activity performance improvement and on midwife
performance improvement was higher than T-table (1.96). Whereas, training of early detection of deviationsin child’s growth
did not influence midwife skill improvement since the value of T-statistic was lower than T-table (<1.96). In addition, there
was also no influence of job design on midwife skill improvement and on midwife activity performance improvement in early
detection of deviationsin child’s growth. Discussion: Optimization of midwife self-leadership ability is a factor to be
considered as an effort to improve the performance of midwives in early detection of deviationsin child’s growth.

Key words: child’s growth and develoment, job desain, training, self leadership strategy, performance.

PENDAHULUAN populasi, maka tumbuh kembang balita di


Indonesia perlu mendapat perhatian serius
Anak harus tumbuh dan berkembang (Depkes. RI., 2007). Deteksi dini penyimpangan
secara optimal sampai dewasa agar dia dapat tumbuh kembang anak merupakan upaya yang
menjadi generasi penerus bangsa yang sangat penting untuk dilakukan mulai dari
berkualitas. Mengingat jumlah balita sangat tingkat keluarga, masyarakat dan tingkat pelayanan
besar, yaitu sekitar 10 persen dari seluruh dasar, hal ini bertujuan untuk mengenali sedini
Jurnal Ners Vol. 11 No.2 Oktober 2016: 201-209

mungkin terjadinya gangguan pertumbuhan BAHAN DAN METODE


dan perkembangan anak (Depkes. RI., 2007).
Jenis penelitian ini adalah analitik
Target cakupan Deteksi Dini Tumbuh
observasional, dengan pendekatan crossectional,
Kembang (DDTK) anak balita dan anak pra
Waktu penelitian mulai Januari 2015-Juni
sekolah telah ditetapkan sebesar 90%.
2016. Subyek dalam penelitian ini adalah
Ketetapan tersebut sesuai dengan Surat Keputusan
sebagian bidan di Puskesmas Wilayah kerja
Menteri Kesehatan RI No. 1457/Menkes/SK/X/2003
Dinas Kesehatan Kota Surabaya, dengan
tentang Standar Pelayanan minimal (SPM)
kriteria inklusi: Pendidikan minimal Diploma
Bidang Kesehatan Di Kabupaten/Kota Bab II
III Kebidanan, pelaksana dalam kegiatan
pasal 2 butir b. Di Surabaya belum semua
deteksi dini tumbuh kembang anak, bersedia
Puskesmas mencapai pelaksanaan deteksi
menjadi responden. sebesar 222bidan yang
tumbuh kembang anak sesuai target. Tahun
tersebar di 43 Puskesmas, tehnik pengambilan
2011 dari 60 Puskesmas masih ada 46 (77%)
sampel menggunakan proposionalrandom
Puskesmas yang capaian DDTK pada balita
sampling. Variabel eksogennya adalah job
dan 38 (63%) Puskesmas pada anak pra
design, riwayat pelatihan DDTK, strategi self
sekolah yang masih dibawah target. Pada tahun
leadership, kemampuan bidan, variabel
2012 dari 62 Puskesmas, masih ada 47 (76%)
endogennya adalah aktivitas dan hasil capaian
Puskesmas yang capaian DDTK pada balita
bidan dalam DDTK. Intrumen yang digunakan
dan 36 (58%) Puskesmas pada anak pra
adalah kuesioner dan untuk kinerja menggunakan
sekolah yang masih dibawah target. Pada tahun
lembar pengumpul data. Analisis data
2013 dari 62 Puskesmas, masih ada 31 (50%)
menggunakan Structural Equation Modelling
Puskesmas yang capaian DDTK pada balita
(SEM) berbasis variance yang disering disebut
dan 25 (40%) Puskesmas pada anak pra
dengan Partial Least Square(PLS).
sekolah yang masih dibawah target (Dinas
Kesehatan Kota Surabaya 2013; Dinkes
Propinsi Jawa Timur 2012; Dinas Kesehatan HASIL
Kota Surabaya 2012; Dinas Kesehatan Kota Hasil penelitian ini menyajikan data
Surabaya 2010)(Dinas Kesehatan Kota karakteristik responden dan Deskripsi variabel
Surabaya, 2011, 2012, 2013) sertahasil analisis inferensial. Hasil penelitian
Beberapa faktor yang mempengaruhi selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut.
kinerja, meliputi faktor organisasi, faktor ini Berdasarkan tabel 1 dapat dijelaskan bahwa,
terdiri dari sistem perhargaan, penetapan beban kerja bidan mayoritas dalam kategori
tujuan termasuk di dalamnya adalah visi dan cukup. Waktu yang dimiliki untuk melaksanakan
misi organisasi, sistem seleksi pegawai, adanya pekerjaannya mayoritas dalam kategori cukup,
pelatihan dan pengembangan dari sumber daya beban kerja yang dirasakan bidan mayoritas
yang ada. Faktor berikutnya adalah faktor dalam kategori berat, keterampilan yang dibutuhkan
karakteristik pekerjaan, faktor ini meliputi untuk menyelesaikan tugas mayoritas dalam
desain pekerjaan, jadwal kerja, umpan balik kategori cukup.
tujuan hasil pekerjaan. Variasi dalam pekerjaan yang dilakukan
Salah satu upaya untuk meningkatkan mayoritas dalam kategori banyak variasi, dan
kinerja bidan dapat dilaksanakan melalui mayoritas membutuhkan pemikiran yang
pendekatan self-leadership. Self-leadership cukup banyak. Berdasarkan tabel 2 dapat
merupakan faktor penting dalam mengoptimalkan dijelaskan bahwa mayoritas bidan belum
kemampuan diri bidan, karena dengan pernah mengikuti pelatihan tentang DDTK,
kemampuan self-leadership akan meningkatkan dan mayoritas terlibat dalam kegiatan DDTK
kepercayaan diri bidan terhadap kemampuannya antara 6-10 tahun. Berdasarkan tabel 3
dalam melaksanakan tugastugasnya dan hal ini diketahui bahwa mayoritas bidan dengan
dapat meninkatkan berbagai faktor yang strategi self-leadership dalam kategori cukup
berpengaruh terhadap peningkatan kinerja. yang ditunjukkan oleh (>50%) bidan memiliki
Tujuan penelitian ini adalah menyusun model strategi berfokus perilaku, strategi imbalan
peningkatan kinerja bidan melalui optimalisasi alami, strategi pola berpikir konstruktif dalam
strategi self leadership. kategori cukup
Kinerja Bidan Dalam Deteksi Dini (Sri Utami, dkk)

Tabel 1. Diskripsi Karakteristik Pekerjaan atau Job Desain


No. Indikator kategori Frekuensi
Σ %
1. Beban kerja Sedikit 36 16,2
cukup 165 74,3
banyak 21 9,5
2. Butuh waktu kurang 52 23,4
Cukup 152 68,5
Banyak 18 8,1
3. Beban fisik Ringan 8 3,6
Sedang 64 28,8
berat 150 67,6
4. Kebutuhan keterampilan sedikit 9 4,1
Cukup 176 79,3
Banyak 37 16,7
5. Variasi pekerjaan Kurang 4 1,8
Cukup 41 18,5
banyak 177 79,7
6. Butuh pemikiran Sedikit 12 5,4
Cukup 175 78,8
Banyak 35 15,8
Tabel 2. Deskripsi Riwayat Training
No. Indikator kategori Frekuensi
Σ %
1. Riwayat training Belum pernah 178 80.2
Sudah pernah 44 19.8
2. Lama ketrerlibatan dalam DDTK 3-5 tahun 101 45.5
6-10 tahun 107 48.2
11-15 tahun 10 4.5
16-20 tahun 4 1.8

Tabel 3. Deskripsi Self leadership


No. Indikator kategori Frekuensi
Σ %
1. Behavior Focused Strategies Kurang 23 10.4
Cukup 121 54.5
Baik 78 35.1
2. Natural Reward Strategies Kurang 16 7.2
Cukup 125 56.3
Baik 81 36.5
3. Constuctive Thought Pattern Strategies Kurang 18 8.1
Cukup 132 59.5
Baik 72 32.4

Tabel 4. Deskripsi Kemampuan Bidan tentang Deteksi Tumbuh Kembang Anak


No. Indikator kategori Frekuensi
Σ %
1 Kemampuan deteksi pertumbuhan Kurang 31 14,0
Cukup 102 45,9
Baik 89 40,1
2 Kemampuan deteksi perkembangan Kurang 32 14,4
Cukup 98 44,1
Baik 222 41,4

203
Jurnal Ners Vol. 11 No.2 Oktober 2016: 201-209

Tabel 5. Deskripsi aktivitas Bidan Dalam Deteksi Penyimpangan Tumbuh Kembang Anak
No. Aktivitas bidan Kategori Frekuensi
Σ %
1. Deteksi penyimpangan pertumbuhan bayi Kadang-kadang 3 1.4
Sering 14 6.3
Selalu 205 92.3
2. Deteksi pertumbuhan balita dan anak pra sekolah Kadang-kadang 25 11.3
Sering 99 44.6
Selalu 98 44.1
3. Deteksi penyimpangan perkembangan bayi Tidak pernah 3 1.4
Kadang-kadang 40 18.0
Sering 101 45.5
Selalu 78 35.1
4. Deteksi penyimpangan perkembangan balita dan anak pra Tidak pernah 2 .9
sekolah Kadang-kadang 50 22.6
Sering 104 46.8
Selalu 66 29.7
5. TDL dan TDD Tidak pernah 8 3.6
Kadang-kadang 51 23.0
Sering 98 44.1
Selalu 65 29.3
6. Deteksi mental emosional (MME, autis, GPPH) Tidak pernah 22 9.9
Kadang-kadang 81 36.5
Sering 79 35.6
Selalu 40 18.0

Tabel 6. Deskripsi Hasil Capaian/Hasil Layanan Bidan Dalam Deteksi Penyimpangan Tumbuh Kembang Anak
No. Hasil capaian bidan Kategori Frekuensi
Σ %
1. Deteksi penyimpangan pertumbuhan bayi Kurang 15 6.8
Cukup 58 26.1
Baik 149 67.1
2. Deteksi penyimpangan pertumbuhan balita dan anak pra Kurang 18 8.1
sekolah Cukup 68 30.6
Baik 136 61.3
3. Deteksi penyimpangan perkembangan bayi Kurang 22 9.9
Cukup 60 27.0
Baik 140 63.1
4. Deteksi penyimpangan perkembangan balita dan anak pra Kurang 29 13.1
sekolah Cukup 64 28.8
Baik 129 58.1
5. Deteksi TDD dan TDL Kurang 72 32.4
Cukup 39 17.6
Baik 111 50.0
6. Deteksi MME, autis, GPPH Kurang 117 52.7
Cukup 34 15.3
Baik 71 32.0

Berdasarkan tabel 5 diketahui bahwa bidan dalam deteksi dini penyimpangan


aktivitas bidan dalam deteksi penyimpangan pertumbuhan pada balita dan anak pra sekolah,
pertumbuhan pada bayi mayoritas (92,3%) deteksi penyimpangan perkembangan, tes daya
bidan selalu melakukan setiap bulan sesuai dengar, tes daya lihat, deteksi MME, autis,
dengan umur anak. sedangkan untuk aktivitas maupun GPPH pada bayi, balita dan anak pra
Kinerja Bidan Dalam Deteksi Dini (Sri Utami, dkk)

sekolah sering dilakukan tetapi belum selalu Tahap model Pengukuran (Outer Model)
sesuai jadwal yang dibutuhkan anak. Berdasarkan Hasil pengujian model pengukuran (outer
tabel 6 diketahui bahwa mayoritas (sekitar model) pada pengujian validitas konvergen
50%-67,1%) bidan telah melakukan deteksi didapatkan 4 indikator dari faktor job design
dini penyimpangan pertumbuhan, penyimpangan yaitu indikator beban kerja, kebutuhan waktu,
perkembangan, tes daya dengar, tes daya lihat beban fisik, dan variasi pekerjaan diperoleh
pada ≥ 90 % bayi, balita dan anak prasekolah nilai faktor loading kurang dari 0,5 sehingga
dalam kategori baik. Sedangkan pelayanan indikator tersebut dinyatakan tidak valid
deteksi MME, autis, GPPH mayoritas (52.7) mengukur konstraknya. sedangkan untuk
bidan dalam kategori kurang, artinya mayoritas indikator dari masing-masing indikator dari
bidan dapat melakukan deteksi pada ≤ 45 % kontruks atau variabel yang lainnya memiliki
bayi, balita dan anak prasekolah yang ada di nilai loading faktor lebih besar dari 0,5 yang
wilayah kerjanya. Selanjutnya untuk data di berarti semua indikator tersebut dinyatakan
analisis dengan menggunakan SEM-PLS. valid dapat mengukur konstruknya.
Terdapat dua pengujian mendasar, yaitu Hasil pengujian menunjukkan bahwa
pengujian model pengukuran (outer model), reliabilitas konstruk (variabel) seluruh variabel
dan pengujian model struktural (inner model). memiliki nilai composite reliability lebih besar
dari 0,7. Sehingga reliabel dinyatakan semua
variabel tersebut reliabel.

Tabel 7. Analisis Model Pengukuran (Outer Model)


Variabel Dimensi/ Faktor Faktor Keterangan
Laten/Kontruk Indikator loading loading
tahap 1 tahap2

Job design Beban kerja 0.45 tidak valid


Kebutuhan Waktu 0.49 tidak valid
Beban fisik -0.73 tidak valid
keterampilan 0.67 0.89 valid
variasi -0.48 tidak valid
Butuh pemikiran 0.73 0.92 valid
Training SDIDTK Lama terlibat DDTK 0.94 1.00 valid
Pelatihan DDTK 0.58 tidak valid
Strategi Self Behavior focused 0.92 0.92 valid
Leadership Constructive 0.91 0.92 valid
natural reward 0.91 0.91 valid
KemampuanBidan Deteksi perkembangan 0.98 0.98 valid
Deteksi pertumbuhan 0.98 0.98 valid
KinerjaAktivitas deteksi masalah emosi 0.77 0.77 valid
Deteksi perkembang 0.84 0.84 valid
TDD dan TDL 0.81 0.82 valid
Deteksi pertumbuhan 0.74 0.74 valid
Strategi Self Behavior focused 0.92 0.92 valid
Leadership Constructive 0.91 0.92 valid
natural reward 0.91 0.91 valid
Hasilcapaian deteksi masalah emosi 0.69 0.69 valid
Deteksi perkembang 0.8427 0.84 valid
TDD dan TDL 0.7841 0.78 valid
Deteksi pertumbuhan 0.8186 0.82 valid
205
Jurnal Ners Vol. 11 No.2 Oktober 2016: 201-209

Tahap Structural Model

Gambar 5.
Uji Structural Model
1. Pengujian Hipotesis
Berikut adalah nilai estimate dari masing – masing hubungan antar variabel penelitian :
Tabel 5.

Gambar 1. Model Peningkatan Kinerja Bidan melalui (model awal)

Tabel 8. Nilai Koefisien Estimate Antar Variabel


Original
T Statistics
Hubunganantarvariabel Sample PenerimaanHipotesis
(|O/STERR|)
(O)
Training SDIDTK -> Kemampuan Bidan 0.0124 0.2144 Ho diterima
Job Desain -> Kemampuan Bidan -0.0772 1.1732 Ho diterima
Job Desain -> Kinerja Aktivitas 0.0607 1.1027 Ho diterima
Training SDIDTK -> Kinerja Aktivitas 0.0687 1.2602 Ho diterima
Kemampuan Bidan -> Kinerja Aktivitas 0.2979 5.3766 Ho ditolak
Strategi Self Leadership -> Kemampuan Bidan 0.5588 12.6447 Ho ditolak
Strategi Self Leadership -> Kinerja Aktivitas 0.4503 7.7281 Ho ditolak
Strategi Self Leadership -> Hasil Capaian 0.4330 6.3142 Ho ditolak
Kinerja Aktivitas -> Hasil Capaian 0.2525 3.3834 Ho ditolak

Tahap structural model ini bertujuan lainnya diterima dengan nilai t-statistik > 1,96.
untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh antar Hipotesis penelitian yang diterima atau Ho
variabel. Variabel dikatakan memiliki ditolak, adalah ada pengaruh kemampuan
pengaruh apabila t hitung lebih besar dari t bidan terhadap peningkatan kinerja aktivitas,
standar. t standar pada penelitian ini sebesar ada pengaruh kinerja aktivitas terhadap
1,96. Demikian juga apabila hubungan antara peningkatan hasil capaian, ada pengaruh
variabel negatif maka keputusannya adalah Strategi Self Leadership terhadap peningkatan
jika – t hitung lebih kecil dari – t Ftabel. hasil capaian, ada pengaruh Strategi Self Leadership
Berdasarkan gambar 1 menunjukkan bahwa terhadap peningkatan kemampuan bidan dan
dari 9 hipotesis atau pengaruh antar variabel, ada pengaruh strategi self leadership terhadap
terdapat 4 pengaruh antar variable yang peningkatan kinerja aktivitas. Sedangkan
terbukti tidak ada pengaruh karena memiliki 4 Hipotesis tidak diterima atau Ho diterima
nilai t-staatistik < 1,96, sedangkan 5 hipotesis yaitu tidak ada pengaruh signifikan Job Desain
Kinerja Bidan Dalam Deteksi Dini (Sri Utami, dkk)

X4
kemampp

X3self-
Y2 hasil
leaders
capaian
hip

Y1
aktivitas

Gambar 2. Model Peningkatan Kinerja Bidan (ModelAkhir)

terhadap peningkatan kemampuan Bidan, tidak menggunakan rumus Tanenhaus (2004), dari
terdapat pengaruh Job Desain terhadap hasil perhitungan tersebut dapat diperoleh nilai
peningkatan kinerja Kinerja Aktivitas, tidak GOF index sebesar 0,4977 yang berarti goodnes
terdapat pengaruh riwayat training SDIDTK of fit dari model ini adalah bagus/besar.
terhadap peningkatan kemampuan Bidan dan
tidak terdapat pengaruh Riwayat training PEMBAHASAN
SDIDTK dengan Kinerja Aktivitas. Sehingga
Self-leadership atau kepemimpinan diri
dari hasil tersebut di atas diperoleh hasil model
merupakan serangkaian proses yang digunakan
akhir seperti pada gambar berikut. Nilai T
individu untuk mengendalikan perilaku mereka
statistik pada masing-masing pengaruh antar
sendiri (Robbins SP. 2006). Strategi self-
variabel dapat dilihat pada tabel 8.
leadership merupakan kemampuan awal yang
Berdasarkan hasil pada tabel 8, maka diperoleh
mempunyai pengaruh terhadap berbagai aspek
hasil model akhir seperti pada gambar berikut
yang dapat meningkatkan kinerja. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa strategi self
Pengujian Goodness of Fit
leadership berpengaruh langsung maupun
Pengujian Goodness of fit dari inner tidak langsung terhadap kinerja aktivitas
model/analisis struktural model dilakukan maupun terhadap kinerja hasil capaian layanan
untuk memastikan bahwa model struktural bidan dalam deteksi dini penyimpangan
yang dibangun termasuk robust dan akurat. pertumbuhan dan perkembangan anak, pengaruh
Evaluasi inner model dapat dilihat dari tidak langsung tersebut dimediasi oleh
beberapa indikator yang meliputi: Koefisien kemampuan dalam deteksi dini penyimpangan
determinasi (R2) nilai ini menjelaskan seberapa pertumbuhan dan perkembangan anak.
besar variabel eksogen (independen/bebas) Kemampuan diri adalah kepercayaan individu
pada model mampu menerangkan variabel bahwa ia dapat melakukan tugas tertentu
endogen (dependen/terikat). Hasil analisis R- dengan menerapkan kemampuannya secara
square diperoleh nilai R2 kinerja hasil capaian benar (Wirawan 2013). Kemampuan tersebut
= 0.3875, Kemampuan bidan = 0.3063, Kinerja tercermin dalam pengetahuan dan keterampilan
aktivitas = 0.4569. dilanjutkan dengan bidak dalam melaksanakan kegiatan deteksi dini
menghitung nilai Predictive Relevance (Q2), penyimpangan pertumbuhan dan perkembangan
Nilai dari Q-square dapat dihitung dengan anak.
perhitungan sebagai berikut : Q2 = 1 – (1 – Pengaruh stategi self leadership baik
0.3875) (1 - 0.3063) (1 - 0.4569) = 0.7692. langsung maupun melalui jaliur tidak langsung
Berdasarkan hasil dari perhitungan Q-square terhadap kinerja bidan karena berbagai strategi
dapat dilihat bahwa nilai Q-square sebesar dari self-leadership mempunyai peranan masing-
0.7692. karena nilai Q2 > 0, dapat disimpulkan masing yang mempunyai pengaruh positif
bahwa model memiliki tingkat prediksi yang terhadap berbagai aspek yang dapat
baik. Selanjutnya dapat dihitung juga nilai meningkatkan kinerja. Strategi tersebut
Goodness of Fit Index (GoF) dengan meliputi:
207
Jurnal Ners Vol. 11 No.2 Oktober 2016: 201-209

Strategi Pola Pikir Konstruktif self control (a sense of self-control), dan rasa
(Constructive Thought Pattern Strategies), Strategi tujuan (a sense of purpose). Redesign dari
ini melibatkan kreasi dan proses berpikir yang konteks pekerjaan anda (Redesign of the
konstruktif, dirancang untuk membantu Context of your work) merupakan kegiatan
formasi pola pikir yang konstruktif dan cara- mendesain ulang lingkungan sekitar pekerjaan
cara yang positif mempengaruhi kinerja atau mengubah waktu dan tempat kerja untuk
individu. Membangun kebiasaan atau pola meningkatkan manfaat alami yang berasal dari
konstruktif dan efektif dalam pemikiran kita lingkungan terdekat (Yutthana, 2010).
(misalnya, kecenderungan untuk mencari Strategi berfokus Perilaku (Behavior
peluang daripada hambatan yang tertanam Focused Strategies), Strategi terfokus pada
dalam tantangan) dengan mengelola: keyakinan dan perilaku dilaksanakan untuk meningkatkan
asumsi (beliefs and assumptions) melalui kesadaran diri dalam memfasilitasi manajemen
proses. (Jeffery, et al., 2012) melalui proses perilaku, terutama manajemen perilaku yang
identifikasi dan pengubahan berbagai keyakinan terkait dengan tugas-tugas yang dibutuhkan
yang keliru ini, individu dapat meminimalkan tetapi tidak menyenangkan. Strategi ini meliputi
proses pemikiran yang disfungsional dan observasi diri, penentuan tujuan diri,
terlibat dalam proses kognisi yang lebih memberikan imbalan diri sendiri, menghukum
rasional dan efektif.Strategi pola pemikiran diri sendiri dan memberi petunjuk diri sendiri.
konstruktif ini terdiri dari: a) self observation, Mengobservasi diri sendiri meliputi meningkatkan
b) self goal setting, c) self reward, d) self kesadaran diri ketika dan mengapa seseorang
punishment, e) self cueing (Manz and Sims melakukan perilaku tertentu. Jenis kesadaran
1997). diri ini merupakan langkah pertama yang
Strategi Imbalan Alamiah (Natural diperlukan untuk mengubah atau menghilangkan
Reward Strategies), Strategi ini adalah strategi perilaku yang tidak efektif dan tidak produktif.
yang dilakukan dengan menciptakan reward Dengan mempergunakan informasi yang
yang alami yang ditujukan untuk mendapatkan akurat mengenai perilaku dewasa ini dan level
penghargaan terhadap aktivitas yang dilakukan. kinerja, seseorang akan dapat lebih efektif
Menurut (Manz and Sims, 1997) ada dua menentukan perilaku mengubah tujuan untuk
strategi yang dilakukan, yaitu dengan diri sendiri. Perilaku yang terfokus pada
menciptakan features yang lebih menyenangkan strategi self-leadership dirancang untuk
pada aktivitas sehingga tugas-tugasnya sendiri mendorong perilaku-perilaku positif sesuai
menjadi reward yang bersifat alami. Selain itu harapan yang mengarah pada keluaran sukses,
dapat dengan cara memfokuskan perhatian dan menekan perilaku-perilaku negatif yang
pada tugas-tugas yang tidak menyenangkan tidak diharapkan yang mengarah pada kegagalan
tetapi ada aspek penghargaan. Kedua cara ini (Manz, et. al. 1997). Namun menghukum diri
akan menciptakan perasaan kompeten dan yang berlebihan, termasuk kritik diri yang
meningkatkan motivasi instrinsik sehingga keras dan realistis, dapat menyebabkan
dapat meningkatkan kinerja. Strategi ini lebih perasaan bersalah dan tidak mampu, hal ini
memfokuskan pada aspek positif yang harus dihindarkan (Jeffery, et al.,2012).
diberikan oleh tugas atau aktivitas.
Reward yang alami akan diperoleh dari KESIMPULAN DAN SARAN
insentif yang dibangun dari tugas itu sendiri.
Strategi imbalan alami merupakan strategi Kesimpulan
yang dilakukan dengan menciptakan imbalan
Strategi self-leadership merupakan
alami yang ditujukan untuk mendapatkan
faktor penting yang dapat meningkatkan
penghargaan terhadap aktivitas yang dilakukan.
berbagai aspek yang dapat berpengaruh
Ada dua strategi yaitu self-redesign of tasks,
terhadap peningkatan kinerja bidan dalam
merupakan self redesign dari apa yang
deteksi dini penyimpangan tumbuh kembang
dilakukan dan bagaimana melakukan pekerjaan
anak. Self-leadership yang tinggi seorang
untuk meningkatkan tingkat penghargaan
bidan akan memiliki persepsi yang baik
alami dalam pekerjaan. Natural reward merupakan
terhadap kemampuan dirinya, sehingga mereka
bagian terpisah dari tugas itu sendiri (yaitu
akan melaksanakan kegiatan/aktivitas dalam
pekerjaan, seperti hobi hal ini menjadi imbalan)
deteksi dini sesuai dengan jadwal dan
dari hasil kegiatan yang menyebababkan ada
kebutuhan anak. Aktivitas deteksi yang sesuai
perasaan kompeten (a sense of competence),merasa
Kinerja Bidan Dalam Deteksi Dini (Sri Utami, dkk)

dengan jadwal dan kebutuhan anak anak dapat Dinas Kesehatan Kota Surabaya,
meningkatkan hasil capaian layanan bidan Surabaya: Dinkes Kota Surabaya.
dalam deteksi dini penyimpangan tumbuh Dinkes Propinsi Jawa Timur, 2012. Profil
kembang anak. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur
Surabaya, ed., Dinkes Propinsi Jawa
Saran
Timur.
Mengingat sebagian besar bidan masih Jeffery D. Houghton, David Dawley, T.C.D.,
memiliki kemampuan self-leadership dalam 2012. The Abbreviated Self-leadership
kategori cukup maka disarankan perlu adanya Questionnaire (ASLQ)o Title.
upaya peningkatan kemampuan self-leadership International Journal of Leadership
yang dapat dicapai melalui pelatihan maupun Studies, Vol 7, pp.216–232.
pembelajaran secara mandiri atau alamiah Manz, Charles C and Sims, J., 1997. The New
dengan pemberian motivasi, otonomi dan SuperleadershipLeading Others To Lead
kesempatan pada bidan untuk dapat memimpin Themselves, San Francisco: Berret-
dirinya sendiri. Koehler Publishers, Inc.
Robbins SP., 2006. Perilaku Organisasi
REFERENSI Kontroversi, Aplikasi Edisi Baha.,
Jakarta: PT. Prehallindo.
Depkes, R.., 2007. Pedoman Pelaksanaan Wirawan, 2013. Kepemimpinan Teori,
Stimulasi, Deteksi dan intervensi Dini Psikologi, Perilaku Organisasi, Aplikasi
Tumbuh Kembang Anak, Jakarta: Dirjen dan Penelitian, Jakarta,: PT Raja
Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Grafindo Persada.
Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2013. Profil Yutthana C, 2010. an Examination of Self-
Dinas Kesehatan Kota Surabaya, leadership Performance Mecahanism
Surabaya: Dinkes Kota Surabaya. model In Thai Private Organization,. The
Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2012. Profil Journal of Behavioral Science, 5(1),
Dinas Kesehatan Kota Surabaya, pp.15–32.
Surabaya: Dinkes Kota Surabaya.
Dinas Kesehatan Kota Surabaya, 2010. Profil

209
Merawat Pasien Gangguan Jiwa (Ah. Yusuf, dkk)

KOMPETENSI PERAWAT DALAM MERAWAT PASIEN GANGGUAN JIWA


(Nursing Competencies in Taking Care Patient with Mental Disorders)

Ah. Yusuf, Rizki Fitryasari, Hanik Endang Nihayati, Rr. Dian Tristiana
Fakultas Keperawatan Universitas AirlanggaKampus C Unair Jl. Mulyorejo Surabaya
Email: ah-yusuf@fkp.unair.ac.id

ABSTRAK
Pendahuluan: Kompetensi yang dimiliki perawat dapat menjadi sebuah kemampuan yang baik apabila didukung oleh
persepsi perawat yang positif tentang kompetensi itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kompetensi
perawat dalam merawat pasien gangguan jiwa dan hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan kompetensi tersebut.
Metode: Penelitian menggunakan desain kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif. Populasi penelitian adalah
perawat yang bekerja di Rumah Sakit Jiwa, sampel penelitian diperoleh dengan purposive sampling, Partisipan terdiri dari 17
perawat yang bekerja di dua Rumah Sakit Jiwa terbesar di Jawa Timur. Metode pengumpulan data menggunakan wawancara
mendalam dan focus group discussion (FGD). Alat pengumpulan data yang digunakan adalah media player (MP-4), pedoman
FGD dan catatan lapangan. Data diolah dengan analisis tematik menurut Colaizzi. Hasil: Hasil penelitian meliputi 8 tema,
yaitu bahwa persepsi perawat tentang kompetensi perawat RSJ dalam merawat pasien gangguan jiwa adalah melaksanakan
asuhan keperawatan, melaksanakan Standar Prosedur Operasional (SPO) di ruangan dan melaksanakan terapi modalitas
keperawatan jiwa. Sementara perawat menjumpai hambatan saat mengaplikasikan kompetensi dalam pelaksanaan
dokumentasi keperawatan, keterbatasan fasilitas, kurang efektifnya pelakasanaan manajemen ruangan, keterbatasan sumber
daya manusia serta kondisi pasien yang dirawat. Diskusi: Temuan penelitian dapat dimanfaatkan oleh perawat sebagai bahan
untuk mengembangkan desain format dokumentasi pasien gangguan jiwa yang lebih efektif dan diharapkan manajemen
rumah sakit untuk lebih memperhatikan aspek pengarahan dan supervisi dalam pelaksanaan kompetensi perawat. Penelitian
yang disarankan untuk dikembangkan berdasarkan temuan penelitian adalah melihat hubungan pelaksanaan supervisi
keperawatan terhadap peningkatan kinerja dan kepuasan perawat
Kata kunci : kompetensi, perawat, gangguan jiwa.

ABSTRACT
Introduction: Competences of the nurse can be a good ability when supported with a positive perception of nurses about the
competence itself. This study describe the nurse competencies in taking care patients with mental disorders and barriers in
the implementation of these competencies. Methods: This study design used qualitative descriptive phenomenology.
Population was nurse who worked at the Mental Hospital. Participants were 17 nurses from two Mental Hospital in East
Java which obtained by purposive sampling. Data was collected by indepth interview and focus group discussion (FGD).
Equipment tools used media player, FGD guidelines and field notes. The data were analyzed by thematically analysis based
Colaizzi. Result: The results produce eight themes. The nurse's perception of competence in caring for patients with mental
disorders are implementing nursing care, Standard Procedures Operational (SPO) and nursing modality therapy. While
nurses encounter obstacles when applying competence in the implementation of nursing documentation, limited facilities, the
lack of effectiveness management system, limited human resource and the condition of the patient. Discussion: The findings
of this study can be used by nurses as a material to develop documentation formats more effectively and hospital
management are expected to pay more attention to aspects of the guidance and supervision of the implementation of
competence. Research suggested based on the findings is to analyze the relationship between supervision and nurse’s
performance and satisfaction
Keyword: Nurse, Competencies, Mental Disorder

PENDAHULUAN intelektual, teknikal, dan interpersonal serta


bertanggung jawab terhadap tindakan yang
Pelayanan keperawatan merupakan
dilakukan.
bagian tidak terpisahkan dari pelayanan
Kompetensi perawat berhubungan erat
kesehatan yang berperan dalam mencapai
dengan kemampuan dan motivasi kerja yang
derajat kesehatan yang optimal pada tatanan
kuat dalam memberikan pelayanan. Kompetensi
individu, keluarga dan masyarakat. Pelayanan
yang dimiliki perawat, tercermin pada
keperawatan di rumah sakit sebagai ujung
pelaksanaan tugas keperawatan dalam
tombak yang mampu menjadi daya ungkit
pelayanan kepada pasien, tidak terkecuali pada
yang besar dalam upaya pembagunan kesehatan
perawat di Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
(Depkes RI, 1999). Profesionalisme perawat,
Kompetensi perawat jiwa dapat diperoleh
khususnya pelayanan keperawatan di rumah
melalui proses pendidikan formal maupun
sakit dimulai dari komitmen dan internalisasi
pelatihan dalam lingkup kesehatan jiwa.
perawat terhadap profesi keperawatan itu
Kompetensi yang dimiliki seoarang perawat
sendiri. Perawat dituntut memiliki kemampuan

230
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 230-239

dapat menjadi sebuah kemampuan yang adalah perawat yang bekerja di RSJ dengan
maksimal apabila didukung dengan persepsi kriteria: telah bekerja minimal 1 tahun,
perawat yang positif tentang kompetensi itu berpendidikan minimal DIII keperawatan,
sendiri. mampu berkomunikasi dengan baik serta sehat
Hasil wawancara pada beberapa perawat fisik dan mental saat dilakukan pengambilan
di RSJ di Jawa Timur terkait pandangan data.
perawat tentang profesi dan kemampuan kerja Partisipan terdiri dari 10 perawat dari
perawat di RSJ menunjukkan keanekaragaman RSJ Menur dan 7 perawat dari RSJ Lawang.
fakta. Ada yang menyampaikan bahwa selama Metode pengumpulan data yang digunakan
ini perawat masih berpikiran sebagai pembantu adalah indepth interview dan focus group
dokter, tidak jelas bidang garapnya, kurang discussion (FGD). Alat pengumpulan data
percaya diri bila berhadapan dengan profesi yang digunakan adalah Media Player (MP-4),
kesehatan yang lain, belum sepenuh hati dalam pedoman wawancara, catatan lapangan dan diri
menjalankan aktivitas keperawatan, belum peneliti. FGD dilaksanakan menjadi dua
optimal berinteraksi dengan pasien,terlalu kelompok, yaitu kelompok perawat RSJ Menur
banyak tugas dokumentasi dan masih belum dan kelompok RSJ Lawang di tempat dan waktu
memahami secara tuntas pemberian asuhan yang berbeda dengan menggunakan stimulasi
keperawatan secara holistik. Sementara disisi pertanyaan yang sama.Data yang diperoleh
lain ada perawat yang memiliki pandangan dari hasil FGD dan field note dibuat transkrip
positif bahwa menjadi perawat di RSJ verbatim selanjutnya proses analisa dalam
merupakan tugas mulia dan merasa senang penelitian ini menggunakan sembilan langkah
ketika pasien yang dirawat mampu mandiri dan menurut Colaizzi.
diijinkan pulang dari RSJ. Pihak RSJ juga
sangat menyadari keberagaman pandangan HASIL
perawat tersebut dan sudah berupaya untuk
Peneliti mengidentifikasi 8 tema sebagai
meminimalkan dampak yang terjadi terutama
hasil penelitian. Proses pemunculan tema
terhadap kinerja perawat. Pihak manajemen
tersebut diuraikan berdasarkan tujuan
RSJ sering melakukan pertemuan rutin dengan
penelitian.Tujuan penelitian pertama adalah
perawat, banyak berdiskusi dengan jajaran
persepsi perawat tentang kompetensi perawat
pimpinan RSJ dan mengirim perawat untuk
dalam merawat pasien gangguan jiwa, terdiri
mengikuti pelatihan serta menerapakan sistem
dari 3 tema, yaitu melaksanakan asuhan
reward.
keperawatan, melaksanakan standar prosedur
Fenomena dan fakta terhadap profesi
operasional (SPO) di ruangan dan melaksanakan
perawat tersebut merupakan permasalahan
terapi modalitas keperawatan jiwa. Tujuan
yang menarik untuk ditelusuri, sehingga
penelitian 2 adalah hambatan yang ditemui
peneliti ingin mendapatkan gambaran secara
dalam mengaplikasikan kompetensi sebagai
kualitatif terkait persepsi perawat RSJ terhadap
perawat jiwa meliputi 5 tema, yaitu hambatan
kompetensi merawat pasien gangguan jiwadan
dalam pelaksanaan dokumentasi keperawatan,
hambatan yang dirasakan selama
fasilitas yang terbatas, kurang efektifnya
mengaplikasikan kompetensi tersebut.
pelakasanaan manajemen di ruangan, kondisi
sumber daya manusia yang dimiliki serta
BAHAN DAN METODE
kondisi pasien yang dirawat.
Penelitian menggunakan desain
kualitatif dengan pendekatan fenomenologi Persepsi tentang kompetensi perawat
deskriptif untuk menggambarkan kompetensi dalam merawat pasien gangguan jiwa
perawat dalam pasien gangguan jiwa. Tema 1. Memberikan asuhan keperawatan
Kompetensi perawat diukur berdasarkan jiwa
persepsi perawat RSJ tentang kinerja yang Memberikan asuhan keperawatan jiwa
harus dimiliki selama bekerja di RSJ. Populasi kepada pasien merupakan kompetensi yang
penelitian adalah perawat yang bekerja di RSJ dilakukan perawat RSJ terdiri dari tahapan
Menur dan Lawang, pemilihan sampel asuhan keperawatan dan format dokumentasi
menggunakan purposive sampling yaitu askep. Tahapan dalam memberikan asuhan
metode pemilihan sampel yang sesuai dengan keperawatan meliputi pengkajian, perencanaan,
tujuan penelitian. Seluruh partisipan penelitian implementasi dan evaluasi.

231
Merawat Pasien Gangguan Jiwa (Ah. Yusuf, dkk)

“…mulai dari pengkajian sampai yang telah di modifikasi dan disesuaikan


evaluasi….” dengan kebutuhan akreditasi rumah sakit.
“..asesmen sampai evaluasi….” Beberapa jenis dokumentasi yang
“…tahapnya pengkajian, perencanaan, dikembangkan meliputi catatan
implementasi dan evaluasi” perkembangan, catatan terintegrasi dan
Pengkajian yang dilakukan dibedakan pengkajian resiko khususnya pada pasien
berdasarkan lokasi pasien dirawat, seperti dengan perilaku kekerasan. Cara pengisian
pengkajian untuk pasien gangguan jiwa format pengkajian dan intervensi juga
dewasa, NAPZA, anak atau geriatri. mengalami modifikasi menjadi lebih sederhana
“..ada format asesmen awal…asesmen dengan model checklist.
dewasa…poli dan IGD..” “….catatan perkembangan….”
“…asesmen unit khusus seperti NAPZA, “….cppt…”
anak remaja, geriatri…” “….pake model check list….”
Aspek yang dikaji meliputi alasan
Tema 2 Melaksanakan Standar Prosedur
masuk, predisposisi, presipitasi, psikososial,
Operasional (SPO)
status mental, mekanisme koping dan
Perawat di RSJ menjalankan sejumlah
kebutuhan persiapan pulang. Seperti yang
SPO dalam merawat pasien gangguan jiwa.
dinyatakan oleh informan di bawah ini.
Beberapa jenis SPO menjadi wajib untuk
“…dikaji dulu alasan masuk,
dipahami dan dijalankan seluruh perawat
predisposisi, psikososial, status mental,
melalui proses sosialisasi secara bertahap dari
kebutuhan pulang, persiapan pulang…”
kepala ruangan ke perawat ruangan. SPO yang
“…anamnese status mentalnya dulu….”
sudah tersedia meliputi SPO tentang pengisian
Perencanan asuhan keperawatan
format dokumentasi keperawatan dan
dilakukan secara manual berdasarkan 10
ditambahkan SPO sesuai dengan kebutuhan
Standar Asuhan Keperawatan yang meliputi
akreditasi rumah sakit dan saat ini sedang
masalah keperawatan Halusinasi, Waham,
dikembangkan SPO untuk keamanan pasien
Isolasi Sosial, Harga Diri Rendah, Resiko
dan perawat.
Bunuh Diri, Perilaku Kekerasan, Defisit
“ …Standar operasional prosedur untuk
perawatan Diri: Mandi, Makan, Eliminasi,
askep sudah ada…”
Berhias. Sementara di RSJ Lawang telah
“….SPO tersosialisasi rutin setiap rapat
dilakukan sistem komputerisasi khususnya
rutin…”
untuk di bagian rawat jalan.
“…sepuluh diagnosa keperawatan….” Tema 3 Melakukan terapi modalitas
“…..sepuluh SAK….” keperawatan jiwa.
“…sistem online untuk IGD (NIC Kompetensi melaksanakan terapi
NOC)…” modalitas keperawatan disampaikan berdasarkan
Implementasi yang dilakukan menggunakan jenis, pelaksana, waktu, fasilitas, tempat dan
pendekatan strategi pelaksanaan yang metode. Jenis yang paling sering dilaksanakan
dilaksanakan sesuai dengan perencanaan yang adalah Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) dengan
telah di susun. Evaluasi asuhan keperawatan berbagai topik dan Pendidikan Kesehatan
dilaksanakan dengan membuat catatan Keluarga di Rumah Sakit (PKRS) dan di
perkembangan setiap shift yang diisi oleh masyarakat.
perawat pelaksana dengan format SOAP, “…berjalan rutin (TAK)…”
sementara perawat yang berperan sebagai “…TAK rutin…”
ketua tim akan melakukan evaluasi “…pendidikan ke keluarga sesuai SP
berdasarkan catatan perkembangan ke catatan (Obat)…”
terintergasi dengan format SBAR. Kedua jenis terapi modalitas tersebut
“….CPPT diisi dalam bentuk pakem dilakanakan baik oleh perawat ruangan
yaitu SOAP…..” maupun mahasiswa perawat yang telah
“….kita pakai SOAP….” terjadwal secara rutin. Fasilitas pendukung
“….untuk komunikasi antardisiplin diisi untuk kedua terapi modalitasi ini sudah cukup
katim (SBAR)…” memadai seperti adanya SPO, format
Format yang digunakan dalam dokumentasi, leaflet dan alat terapi. TAK
melakukan asuhan keperawatan di RSJ menur dilaksanakan di ruangan maupun ruang
maupun Lawang menggunakan format standar rehabilitasi, sementara PKRS dilakukan di

232
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 230-239

ruang yang terdapat keluarga diijinkan untuk ada format untuk masalah nyeri pada pasien
menunggu seperti rawat jalan, ruang akut dan jiwa…..”
juga di lingkungan masyarakat yang menjadi Ketidaklengkapan juga termasuk banyak
wilayah kerja RSJ. Metode yang komponen format yang tidak terisi sesuai SPO
dikembangkan dalam pemberian terapi dan kosong tidak diisi.
modalitas berdasarkan tujuan, modifikasi cara, “…banyak yang kosong…”
tahapan dan bentuk terapi. TAK dapat “…banyak yang tidak diisi…”
diberikan dengan tujuan menciptakan Pengisian data dokumentasi yang
lingkungan yang terapeutik atau mengajarkan menjadi hambatan dan perlu perhatian khusus
life skill pada pasien, sehingga bentuk kegiatan adalah validitas data yang dituliskan oleh
TAK di modifikasi untuk mencapai tujuan dan perawat. Subjektivitas perawat dalam menuliskan
diberikan bertahap sesuai dengan kemampuan evaluasi asuhan keperawatan masih mendominasi
yang dicapai oleh pasien. sehingga evaluasi yang ada di catatan
perkembangan kurang menggambarkan kondisi
Persepsi perawat RSJ tentang hambatan yang pasien secara rinci.
dijumpai selama menerapkan kompetensi
dalam merawat pasien gagguan jiwa. Tema 5. Fasilitas
Fasilitas yang tersedia di RSJ masih
Tema 4. Dokumentasi Keperawatan menjadi salah satu hambatan yang dirasakan
Perawat RSJ dalam membuat saat perawat akan menerapkan tindakan sesuai
dokumentasi keperawatan menemui beberapa dengan SPO yang ada. Seperti SPO untuk
hambatan seperti ketidaklengkapan jenis menerapkan asuhan keperawatan ADL mandi
format SAK yang seharusnya ada, misalnya pada pasien belum ditunjang dengan
format di UGD, PICU, Poli Jiwa Anak dan kelengkapan alat mandi dan fasilitas
SPO khusus untuk ADL pasien. Hal ini sesuai kebersihan pribadi pasien. Sehingga perawat
yang disampaikan oleh partisipan banyak melakukan modifikasi sesuai dengan
“…format pengkajian di UGD masih ketersediaan yang ada.
belum ada….” “…tidak ada sabun, handuk,…”
“….lembar untuk mengkaji jiwa anak “..pasien tidak punya alat mandi
masih belum ada…” sendiri….”
“…..belum ada standar operasional
prosedur untuk ADL pasien…” Tema 6. Manajemen Ruangan
“…RS belum ada pijakan paten untuk Pelaksanaan manajemen di ruangan
membuat PICU…instrument untuk terutama aspek perencanaan masih menjadi
keperawatan masih belum ada….” hambatan yang mempengaruhi kinerja asuhan
Format yang digunakan masih dalam keperawatan pada perawat ruangan. Deskripsi
proses pengembangan dan evaluasi sehingga tugas yang tidak jelas terutama dalam
terkadang menimbulkan berbagai persepsi pelaksanaan terapi modalitas seperti TAK dan
yang beragam dan berdampak pada hasil PKRS menimbulkan ketidaknyamanan diantara
pengisian yang juga beranekaragam. perawat pelaksana sehingga mempengaruhi kinerja
“….pengisian format pengkajian masih perawat. Selain itu keterbatasan kewenangan
Indonesia raya….” perawat untuk melakukan terapi modalitas
“….banyak yang tidak mengerti…..” yang tidak dipayungi oleh kebijakan rumah
Kondisi tersebut dirasakan menjadi sakit dan ruangan membuat jenis terapi
hambatan terutama apabila harus modalitas yang dapat dilaksanakan baru
berkomunikasi dengan disiplin ilmu yang lain sebatas TAK dan PKRS.
seperti dengan pihak medis, psikolog maupun Aspek pengawasan dalam manajemen
okupasi terapis. Ketidaklengkapan juga masih ruangan juga menjadi hambatan bagi perawat
dijumpai pada simbol khusus yang perlu untuk ruangan dalam menjalankan kompetensi
dimodifikasi, misalnya untuk mengkaji sebagai perawat secara optimal. Kegiatan TAK
masalah nyeri pada pasien gangguan jiwa di ruang rehabilitasi telah dilakukan evaluasi,
belum ditemukan model yang tepat. namun tidak tersampaikan kepada perawat
“…kami masih bingung bagaimana sih pengelola pasien dan masih kurangnya aspek
triage untuk pasien jiwa….” pengawasan untuk menindaklanjuti hasil
“….karena ada akreditasi RS, ada yang evaluasi tersebut membuat kemajuan
namanya patient safety….nah…kami belum kemampuan pasien tidak menjadi bagian dari

233
Merawat Pasien Gangguan Jiwa (Ah. Yusuf, dkk)

evaluasi perawat ruangan. Selain itu sistem PEMBAHASAN


reward yang masih belum sesuai dengan
Kompetensi perawat merupakan
kinerja pelaksanaan terapi modalitas seperti
tingkatan kinerja (performance) dasar perawat
TAK, menjadi salah satu alasan perawat untuk
dalam tatanan klinis yang harus dimiliki perawat
tidak bekerja secara maksimal.
untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan,
Tema 7. Sumber Daya Manusia keterampilan, pengambilan dan penguasaan
Pelaksanaan kompetensi perawat di RSJ dalam melaksanakan tugas sebagai seorang
dirasakan menemui hambatan akibat dari perawat. Kompetensi merupakan campuran dari
keberagaman kondisi sumber daya manusia sebuah keterampilan (skill) dengan karakteristik
yang tersedia. Tingkat pendidikan yang personal (Hye-Won & Mi-Ran 2014;
bervariasi dari tingkat SPK, DIII, S1 Ners, Mohtashami et al. 2013). Hasil penelitian ini
Magister dan Spesialis mempengaruhi tingkat didapatkan beberapa tema terkait dengan
pengetahuan perawat dalam menerapkan kompetensi perawat dalam merawat pasien
asuhan keperawatan. Perbedaan persepsi masih dengan gangguan jiwa.
sering ditemukan dalam hal menentukan diagnosa
Tema 1 Memberikan asuhan keperawatan
keperawatan dan menuliskan di format
jiwa
dokumentasi keperawatan. Masa kerja perawat
Asuhan keperawatan adalah tindakan
yang juga bervariasi juga menjadi kendala
mandiri perawat profesional atau ners melalui
dimana perawat yang masih baru perlu
kerjasama yang bersifat kolaboratif, baik
mempelajari kebiasaan yang telah ada dan seni
dengan klien maupun tenaga kesehatan lainnya
dalam mengatasi permasalahan selama
dalam upaya memberikan asuhan keperawatan
berhadapan dengan pasien gangguan jiwa.
yang holistik sesuai dengan wewenang dan
Jumlah perawat yang terbatas apabila di
tanggung jawabnya pada berbagai tatanan
bandingkan dengan jumlah pasien, terutama
pelayanan termasuk praktik keperawatan
pada shift sore dan malam hari di ruang akut
individu dan berkelompok (Nursalam, 2003
menyebabkan beban kerja perawat yang tinggi.
dalam Muhith, 2015). Hasil penelitian
Beban kerja perawat selain akibat dari ketidak
menunjukkan tahapan yang dilakukan dalam
seimbangan tersebut juga akibat dari beberapa
melakukan asuhan keperawatan adalah
perawat harus menjabat secara struktural
pengkajian, perencanaan, implementasi dan
sehingga waktu banyak tersita untuk kegiatan
evaluasi. Berdasar Ruang lingkup dan standar
selain di ruang rawat. Selain itu duplikasi
praktik keperawatan jiwa, ruang lingkup dan
beberapa format dokumentasi keperawatan
standar praktik dibagi menjadi dua yaitu
yang harus dilengkapi selama merawat pasien
standar praktik dan standar kinerja professional
masih menjadi hambatan untuk dapat bekerja
(professional performance). Standar praktik
secara efisien meskipun beberapa format sudah
merujuk pada perawatan yang klien terima dari
dimodifikasi dengan bentuk yang lebih
perawat kesehatan jiwa yang telah teregistrasi
sederhana.
dan berdasarkan proses keperawatan. Standar
Tema 8 Kondisi pasien praktik ini meliputi pengkajian, diagnosis,
Perawat RSJ dalam menjalankan perencanaan, implementasi dan evaluasi
kompetensi sebagai perawat ruangan juga (Ballard 2012). Secara garis besar tahapan
mendapatkan hambatan akibat dari ketidakpatuhan yang dilakukan sudah sesuai dengan standar
pasien dalam menjalani program pengobatan di rumah praktik keperawatan.
sakit. Kondisi penyakit yang dialami pasien gangguan Pengkajian yang dilakukan dibedakan
jiwa membuat pasien memiliki pola pikir, pengendalian berdasar lokasi yaitu unit Napza, unit anak dan
emosi dan perilaku yang unik, sehingga perawat harus remaja, dan unit geriatri. Masing-masing unit
memiliki kemampuan untuk mengarahkan agar pasien memiliki kekhususan terkait fokus pengkajian
mau mengikuti program terapi yang telah direncanakan yang harus dilakukan. Pengkajian dilakukan
bersama tim kesehatan yang lain. Bagi sebagian perawat untuk mendapatkan data subyektif dan
perawat ketidakpatuhan merupakan tantangan data obyektif termasuk di dalamnya obeservasi
tersendiri, namun tetap menjadi faktor klien selama proses wawancara. Pengkajian juga
penghambat dalam menjalankan peran dan meliputi keluhan utama atau masalah utama,
fungsi sebagai perawat di tatanan RSJ. kondisi fisik secara umum, status kesehatan
mental dan emosional, riwayat keluarga dan
klien, sistem dukungan dalam keluarga,

234
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 230-239

kelompok sosial atau komunitas, ADL (Activity Daily Tema 3 Melakukan terapi modalitas keperawatan
Living), kebiasaan kesehatan dan kepercayaan, jiwa.
penyalahgunaan obat, penggunaan obat, hubungan
Terapi modalitas yang dilakukan
interpersonal, resiko menciderai diri sendiri dan
jenisnya berupa TAK (Terapi aktivitas
orang lain, koping, kepercayaan dan spiritual dan
Kelompok) dan PKRS (Penyuluhan).
faktor lain yang mempengaruhi kemampuan
Pemberian terapi baik psikofarmaka maupun
klien untuk berfungsi dan berespons pada
keperawatan yang tepat dan akurat saja
perawatan (Ballard 2012; Yusuf et al. 2014).
tidaklah cukup pada klien gangguan jiwa,
Perencanaan dilakukan secara manual
tetapi harus disusul atau bahkan paralel dengan
dan terkomputerisasi. Pelaksanaan dengan cara
terapi modalitas salah satunya dengan TAK
manual memang lebih banyak menghabiskan waktu
yang secara kontinue dan teratur sampai
perawat.Proses implementasi sama-sama
berfungsinya kembali perilaku normatif yang stabil
menggunakan SP (Strategi Pelaksanaan).
atau dalam istilah keperawatan perilakunya adaptif
Tahapan evaluasi masih ada beberapa hal yang
(Susana, 2007). Pelaksanaan yang rutin diharapkan
berbeda seperti jenis format evaluasi dan cara
akan meningkatkan hasil di pasien. Pelaksana
mengisi. Hasil penelitian (Rutledge et al. 2013)
terapi modalitas adalah perawat dan
menyatakan bahwa perawat jiwa mampu
mahasiswa keperawatan. Pelaksana terapi
melakukan pengkajian pada pasien dengan
modalitas harus mengetahui proses dan cara
gangguan jiwa namun tidak percaya diri dalam
pelaksanaan terapi modalitas. Sedangkan ECT
memberikan intervensi terkait perawatan
dilakukan oleh dokter dengan perawat
pasien.
memberikan asistensi. Waktu pelaksanaan
TAK adalah rutin dan terjadwal sedangkan
Tema 2 Melaksanakan Standar Prosedur
untuk PKRS sesuai dengan kebutuhan klien.
Operasional (SPO)
Edukasi dan pemberian informasi sudah
Hasil penelitian didapatkan terkait SPO dilakukan, namun belum berupa psikoterapi.
berupa jenis dan pelaksanaan. Jenis SPO berisi Hal ini berkaitan dengan tingkat pengetahuan
tentang asuhan keperawatan pada klien dan perawat dan belum adanya SPO tentang
beberapa dimodifikasi disesuaikan dengan JCI pelaksanaannya. Fasilitas pendukung dalam
terkait akreditasi RSJ. Sebuah SPO adalah pelaksanaan terapi modalitas ini berupa leaflet,
suatu set instruksi yang memiliki kekuatan format dokumentasi dan adanya SPO. Tempat
sebagai suatu petunjuk atau direktif. Hal ini pelaksanaan di dalam rumah sakit dan luar
mencakup proses pelayanan yang memiliki suatu rumah sakit. Metode pemberian berdasarkan
prosedur pasti atau terstandardisasi, tanpa dari tujuan, modifikasi, dan bertahap.
kehilangan keefektifannya. SPO lebih spesifik
dari guideline dan dijelaskan dengan lebih Tema 4. Dokumentasi Keperawatan
detail. SPO menjelaskan kriteria tertentu secara Pelaksanaan dokumentasi keperawatan
komprehensif tentang langkah-langkah suatu menemui hambatan dalam bentuk ketidaklengkapan
kondisi klinis tertentu (Rao et al. 2011). SPO format Standar Asuhan Keperawatan (SAK) terutama
juga sesuai dengan rumah sakit masing- untuk ruangan dengan karakteristik khusus dan
masing. Setiap sistem manajemen kualitas perbedaan persepsi perawat dalam proses
yang baik selalu didasari oleh SOP yang pendokumentasian. Dokumentasi keperawatan sangat
kemudian disosialisasikan kepada seluruh pihak penting (Iyer & Comp, 2005) menurut ANA (2000
yang berkompeten untuk melaksanakannya secara dalam Nursalam, 2008) dokumentasi merupakan
rutin. Sosialisasi rutin ini perlu dilakukan agar pernyataan bahwa perawat bertanggung jawab dalam
perawat mengetahui dan mampu mengaplikasikan melakukan asuhan keperawatan, termasuk dalam
keterampilannya sesuai SPO yang telah dibuat. mengumpulkan data, mengkaji status kesehatan klien,
SPO diperlukan untuk memastikan bahwa menentukan rencana asuhan keperawatan, mengevaluasi
strategi implementasi tidak diabaikan. SPO efektivitas asuhan dan mengkaji ulang serta merevisi
sebaiknya tersedia di tempat konsultasi pasien, kembali rencana asuhan keperawatan. Keberadaan
di unit rawat jalan serta di ruang rawat inap ruangan dengan karakteristik khusus di RSJ seperti ruang
serta tempat yang berkaitan dengan perawatan gawat darurat(UGD), ruang intensif (PICU), ruang
pasien (Rao et al. 2011). khusus anak, geriatri dan ruang khusus NAPZA,
menjadikan perlu untuk dikembangkan format
dokumentasi khusus yang menjawab

235
Merawat Pasien Gangguan Jiwa (Ah. Yusuf, dkk)

kebutuhan tersebut. Format khusus telah bahwa dokumentasi yang telah dilakukan
dicoba untuk dikembangkan untuk proses merupakan kinerja yang harus diperbaiki.
Traigedi UGD, namun masih belum jelas Sehingga kemampuan dokumentasi asuhan
untuk mengukur tingkat kegawatan pasien. keperawatan di RSJ menjadi aspek yang perlu
Format Standar Asuhan Keperawatan di ruang diperhatikan untuk menunjang pencapaian
PICU dan poli khusus Anakmasih belum kompetensi perawat dalam melaksanakan
lengkap karena dalam proses pengembangan asuhan keperawatan secara menyeluruh.
termasuk cara pengisian dengan benar.
Dinamika perubahan dan perkembangan Tema 5. Fasilitas
format dokumentasi menuntut perawat untuk
Fasilitas yang tersedia di RSJ mesih
mudah beradaptasi dan segera memahami
menjadi salah satu hambatan yang dirasakan
perubahan tersebut. Kenyataan yang dihadapi
saat perawat akan menerapkan tindakan sesuai
belum 100% format dokumentasi keperawatan
dengan SPO yang ada. Perawat dalam
tersisi lengkap dan benar, hal tersebut bisa
melaksanakan SPO untuk merawat pasien
disebabkan oleh perbedaan persepsi perawat
gangguan jiwa membutuhkan dukungan fasilitas
dalam pengisian format. Persepsi merupakan
rumah sakit. Fasilitas yang dibutuhkan sebaiknya
proses dimana individu menyeleksi dan
diidentifikasi dan direncanakan berdasarkan kebutuhan
memilih aspek khusus dari berbagai situasi
(Depkes RI, 2008). Dalam upaya tersebut
yang diterima lalu mengorganisasikannya
dibutuhkan perencanaan dari kepala ruangan
dalam sebuah pola yang diwujudkan dalam
untuk menyusun sumber daya yang dimiliki
bentuk sikap dan perilaku.Perbedaan informasi
dan dibutuhkan, menentukan strategi sehingga
yang diterima oleh perawat terkait pengisian
tujuan dapat tercapai(Simamora, 2012).
format dapat menyebabkan cara pengisian
Pelaksanaan kegiatan asuhan keperawatan
yang berbeda bahkan kebingungan sehingga
yang sering terkendala dengan fasilitas
perawat cenderung tidak mengisi format
ruangan adalah pemenuhan kebutuhan
dengan lengkap. Sehingga setiap perubahan
kebersihan diri yang belum dapat dilaksanakan
format yang terjadi harus dilakukan secara
sesuai dengan SPO yang ada. Keterbatasan
terencana dan tersosialisasi dengan baik di
peralatan mandi seperti sabun, shampo,
seluruh personil perawat yang berdinas di
handuk, sikat dan pasta gigi untuk setiap
ruangan rawat pasien.
pasien menstimulasi perawat untuk melakukan
Hambatan lain yang ditemukan dalam
modifikasi sehingga kebutuhan tersebut dapat
melakukan dokumentasi adalah validitas data
terpenuhi. Kondisi pasien gangguan jiwa yang
yang dituliskan masih berdasarkan
belum dapat menjaga barang pribadi untuk
rutinitas.Pelaksanaan asuhan keperawatan
kebersihan diri menjadi faktor yang harus
masih bersifat rutin sehingga tidak sesuai
dipertimbangkan agar kebutuhan kebersihan
prioritas masalah dan kebutuhan pasien,
diri pasien dapat terpenuhi.
sementara evaluasi hanya melakukan evaluasi
formatif yaitu evaluasi yang dilakukan setelah
Tema 6. Manajemen Ruangan
dilaksanakan intervensi keperawatan tertentu,
namun jarang melakukan evaluasi sumatif Manajemen ruangan yang telah
sehingga perkembangan atau kemajuan dilakukan dengan baik masih perlu
masalah keperawatan tidak ditindaklanjuti. Hal mendapatkan perhatian dalam aspek
ini sangat prinsip sehingga bila tidak dilakukan perencanaan, khususnya terkait dengan
akan mempengaruhi kinerja perawat secara deskripsi tugas dalam pelaksanaan terapi
keseluruhan dalam merawat pasien. Kinerja modalitas keperawatan seperti TAK dan
perawat khususnya dalam melakukan PKRS. Uraian tugas tenaga perawatan sangat
dokumentasi keperawatan dapat dipengaruhi penting dan bermanfaat untuk membantu
oleh motivasi(Budiawan, Suarjana & Wijaya, tenaga perawatan mengetahui dengan pasti
2015). Salah satu bentuk motivasi adalah tugasnya, apa yang akan dicapai dan
adanya reward dan punisment yang efektif. mencegah tumpang tindih maupun
Situasi yang didapatkan bahwa dokumentasi terlupakannya suatu tugas (Depkes RI, 1999).
berdasarkan rutinitas yang telah dilakukan oleh Deskripsi tugas sebagai pelaksana kegiatan
perawat belum bersentuhan dengan aspek TAK dan PKRS yang tidak jelas dan tidak
motivasi baik yang bersifat reward maupun terjadwal dengan baik menimbulkan ketidaknyamanan
punishment, sehingga perawat tidak merasakan diantara perawat pelaksana, perawat yang

236
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 230-239

berperan sebagai pemimpin kegiatan berpusat pengawasan sehingga dapat meningkatkan


pada beberapa orang saja, sementara dampak kinerja perawat (Mandagi, Umboh & Rattu,
finansial dikenakan untuk seluruh perawat. 2015). Hasil supervisi tersebut dapat diikuti
Kondisi tersebut menyebabkan ketimpangan oleh sistem reward dan punisment yeang jelas,
dimana perawat yang tidak bertugas menjadi sehingga akan dirasakan efektif dan
enggan untuk bergantian menjadi pemimpin memberikan dampak yang jelas terhadap
TAK maupun PKRS. Situasi tersebut kinerja perawat ruangan.
menumbuhkan ketidaknyamanan dan
mempengaruhi kinerja perawat. Tema 7. Sumber Daya Manusia
Selain itu keterbatasan kewenangan
Pelaksanaan kompetensi perawat di RSJ
perawat untuk melakukan terapi modalitas
dirasakan menemui hambatan akibat dari
yang tidak dipayungi oleh kebijakan rumah
keberagaman kondisi sumber daya manusia
sakit dan ruangan membuat jenis terapi
yang tersedia. Tingkat pendidikan yang
modalitas yang dapat dilaksanakan baru
bervariasi di RSJ dari tingkat SPK, DIII, S1
sebatas TAK dan PKRS. Kepala Ruangan
Ners, Magister dan Spesialis mempengaruhi tingkat
memiliki kewenangan untuk merencanakan
pengetahuan perawat dalam menerapkan asuhan
dan menentukan jenis kegiatan asuhan
keperawatan. Pendidikan merupakan salah satu
keperawatan yang akan diselenggarakan sesuai
kebutuhan dasar manusia yang diperlukan untuk
kebutuhan pasien (Depkes RI, 1999). Kegiatan
pengembangan diri dimana semakin tinggi tingkat
terapi modalitas merupakan salah satu
pendidikan, semakin mudah mereka menerima serta
kebutuhan pasien gangguan jiwa untuk
mengembangkan pengetahuan dan teknologi
mengembalikan fungsi sosial yang hilang
(Grossmann, 1999) dan mendukung mendukung
akibat proses penyakit. Beberapa jenis terapi
produktivitas kerja (Arfrida, 2003). Pencapaian
modalitas seperti terapi kognitif, terapi
kinerja asuhan keperawatan dengan situasi variasi tingkat
perilaku dan terapi keluarga merupakan
pendidikan harus didukung dengan persamaan persepsi
kebutuhan bagi pasien gangguan jiwa, dilain
terhadap pekerjaan yang akan dilakukan. Hambatan
sisi adanya pembatasan kewenangan bahwa
yang ditemui, bahwa perbedaan persepsi masih
terapi modalitas tersebut hanya boleh
sering ditemukan dalam hal menentukan
dilakukan oleh Ners Spesialis Jiwa (Konsesnsus
diagnosa keperawatan dan cara menuliskan di
konferensi nasional keperawatan jiwa) menjadi
format dokumentasi keperawatan perlu
kendala karena jumlah Ners Spesialis yang
dijembatani dengan kegiatan penyamaan
sangat terbatas, terutama di RSJ. Sehingga
persepsi serta didukung oleh ketersediaan
diperlukan adanya kebijakan rumah sakit yang
format dokumentasi dan manual pengisian
dapat memfasilitasi kepala ruangan untuk
yang jelas dan terstandar.
dapat merencanakan kebutuhan terapi
Perbedaan dan variasi masa kerja
modalitas sesuai dengan kebutuhan pasien.
perawat juga mempengaruhi pencapaian
Aspek pengawasan dalam manajemen
kinerja perawat. Pengalaman bekerja
ruangan juga menjadi hambatan bagi perawat
menumbuhkan sikap kerja, kecakapan dan
ruangan dalam menjalankan kompetensi
ketrampilan kerja yang berkualitas (Harsiwi,
sebagai perawat secara optimal. Kepala
2003) dan mempengaruhi kinerja perawat
ruangan berperan dalam melakukan
(Faizin & Winarsih, 2008). Perawat di RSJ
pengawasan dan penilaian pelaksanaan asuhan
dengan masa kerja kurang dari 3 tahun perlu
keperawatan yang telah ditentukan termasuk
mempelajari kebiasaan yang telah ada dan seni
sistem pencatatan dan pelaporan asuhan
dalam mengatasi permasalahan selama
keperawatan dan kegiatan yang dilakukan di
berhadapan dengan pasien gangguan jiwa.
ruang rawat (Depkes RI, 1999). Kegiatan TAK
Sementara perawat yang sudah bekerja lebih
di ruang rehabilitasi telah dilakukan dan hasil
dari 5 tahun juga perlu mendapatkan informasi
evaluasi kemampuan juga telah
terkait penanganan pasien yang efektif
didokumentasikan, namun tidak tersampaikan
berdasar kemajuan informasi dan teknologi,
kepada perawat pengelola pasien. Belum
sehingga pelaksanaan asuhan keperawatan
efektifnya fungsi pengawasan yang sudah
pasien gangguan jiwa menjadi lebih optimal.
dilaksanakan tidak memberikan dampak bagi
Ketersediaan jumlah perawat RSJ
perawat untuk menindaklanjuti hasil evaluasi
apabila di bandingkan dengan jumlah pasien,
yang telah ada. Kepala ruangan perlu untuk
terutama pada shift sore dan malam hari
meningkatakan kegiatan supervisi dalam rangka

237
Merawat Pasien Gangguan Jiwa (Ah. Yusuf, dkk)

menyebabkan beban kerja perawat yang pengobatan. Perawat sebagai tenaga kesehatan
tinggi.Kurniadi (2013) menyebutkan bahwa memiliki peranan penting untuk menjadikan
beban kerja perawat RSJ dipengaruhi oleh pasien patuh terhadap proses pengobatan.
kondisi pasien yang selalu berubah, jumlah Parashos & Xiromeritis (2000) menyebutkan
rerata jam perawatan yang dibutuhkan untuk 54% pasien gangguan jiwa patuh terhadap
pelayanan langsung pasien dan dokumentasi pengobatan akibat adanya hubungan saling
asuhan keperawatan serta banyaknya tugas percaya antara pasien dan tenaga kesehatan.
tambahan yang harus dikerjakan oleh perawat Hubungan saling percaya dapat dibina melalui
sehingga dapat mempengaruhi kinerja perawat kepedulian dan ketulusan perawat dalam
tersebut. Ketidakseimbangan jumlah perawat memahami kondisi sakit pasien. Selain itu
dan pasien yaitumenyebabkan waktu perawat harus memiliki strategi unik untuk
pelayanan langsung ke pasien dirasakan menciptakan kondisi yang nyaman dan tidak
terbatas terutama pada shift sore dan malam menimbulkan kejenuhan selama pemberian
hari. Sementara shift pagi, meskipun jumlah TAK dan Terapi Rehabilitasi, sehingga pasien
perawat yang bertugas lebih banyak, tetapi mau mengikuti program terapi yang telah
beberapa perawat harus merangkap sebagai direncanakan bersama tim kesehatan yang lain.
pejabat struktural atau sebagai penanggung Perawat harus memiliki persepsi positif
jawab dalam kegiatan rumah sakit, sehingga terhadap perilaku pasien dan tidak menyerah
waktu banyak tersita untuk kegiatan selain di untuk melaksanakan TAK dan Terapi
ruang rawat. Selain itu duplikasi beberapa Rehabilitasi sebagai bagian dari komptensi
format dokumentasi keperawatan yang harus perawat di tatanan RSJ.
dilengkapi selama merawat pasien, meskipun
beberapa format sudah dimodifikasi dengan SIMPULAN DAN SARAN
lebih sederhana, menyebabkan semakin
Simpulan
terbatasnya jumlah waktu dalam pelayanan
Persepsi perawat tentang kompetensi
langsung ke pasien. Situasi dan kondisi
perawat dalam merawat pasien gangguan jiwa
tersebut dirasakan sebagai beban oleh perawat
adalah melaksanakan asuhan keperawatan,
dan dapat mempengaruhi kinerja perawat
melaksanakan Standar Prosedur Operasional
dalam melaksanakan asuhan keperawatan pada
(SPO) di ruangan dan melaksanakan terapi
pasien gangguan jiwa.
modalitas keperawatan jiwa. Perawat dalam
mengaplikasikan kompetensi sebagai perawat jiwa
Tema 8 Kondisi pasien
menjumpai hambatan dalam pelaksanaan dokumentasi
Perawat RSJ dalam menjalankan keperawatan, keterbatasan fasilitas, kurang efektifnya
kompetensi sebagai perawat ruangan juga pelakasanaan manajemen ruangan, keterbatasan
mendapatkan hambatan akibat dari sumber daya manusia serta kondisi pasien yang
ketidakpatuhan pasien dalam menjalani program dirawat.
pengobatan di rumah sakit. Kepatuhan merupakan tingkat
perilaku klien dalam hal pengobatan yang terkait Saran
kemauan mengikuti saran petugas kesehatan
Temuan penelitian ini dapat
(Kyngas, Duffy & Kroll, 2000) . Pasien
dimanfaatkan oleh perawat sebagai bahan
gangguan jiwa cenderung mengalami
untuk mengembangkan desain format
ketidakpatuhan terhadap pengobatan yang
dokumentasi pasien gangguan jiwa yang lebih
telah direncanakan oleh perawat, seperti TAK
efektif dan diharapkan manajemen rumah sakit
dan Terapi Rehabilitasi saat pasien masih
untuk lebih memperhatikan aspek pengarahan
menjalani rawat inap di RSJ. Gangguan jiwa
dan supervisi dalam pelaksanaan kompetensi
yang bersifat kronis dan membutuhkan
perawat. Penelitian yang disarankan untuk
pengobatan dalam jangka waktu lama
dikembangkan berdasarkan temuan penelitian
menumbuhkan ketegangan dan tingkat
adalah melihat hubungan pelaksanaan
kejenuhan pasien sehingga menyebabkan
supervisi keperawatan terhadap peningkatan
ketidakpatuhan. Hussar (1995) menjelaskan
kinerja dan kepuasan perawat.
bahwa pasien dengan penyakit kronis
kemungkinan besar menunjukkan sikap
kooperatif yang rendah terhadap pengobatan
akibat dari perasaan rendah diri akan lamanya

238
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 230-239

KEPUSTAKAAN Kurniadi, A., 2013. Manajemen Keperawatan dan


Prospektifnya: Teori, Konsep dan Aplikasi,
Arfrida, 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia,
Jakarta: Badan Penerbit FKUI.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Kyngas, H., Duffy, M.E. & Krol, T., 2000. Review
Ballard, K.A., 2012. Issues and Trends in Psychiatric
Conceptual Analysis of Compliance. Journal
Mental Health Nursing. In Psychiatric
of Clinical Nursing, 5(3).
Nursing. Jones and Barlett Publisher, pp. 21–
38. Available at: Mandagi, F.M., Umboh, J.M.L. & Rattu, J.A.M.,
http://nursing.jbpub.com/book/psychiatric. 2015. Analisis Faktor-Faktor yang
Berhunungan dengan Kinerja Perawat dalam
Budiawan, I.N., Suarjana, I.K. & Wijaya, I.P.G.,
Menerapkan Asuhan Keperawatan di RSU
2015. Hubungan Kompetensi , Motivasi dan
Bathesda GMIM Tomohon. Jurnal e-
Beban Kerja dengan Kinerja Perawat
Biomedik, 3(3).
Pelaksana di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali.
Public Health and Preventive Medicine Mohtashami, J. et al., 2013. Competency-based
Archive, 3(2). curriculum education in mental health nursing.
Open Journal of Nursing, 3, pp.545–551.
Depkes RI, 1999. Pedoman Uraian Tugas Tenaga
Available at:
Keperawatan di Rumah Sakit, Jakarta:
(http://www.scirp.org/journal/ojn/).
Direktorat Pelayanan Medik.
Muhith, A., 2015. Pendidikan Keperawatan Jiwa:
Depkes RI, 2008. Standar Pelayanan Minimal
Teori dan Aplikasi M. Bendetu, ed.,
Rumah Sakit, Jakarta: Departemen Kesehatan
Yogyakarta: CV Andi Offset (Penerbit Andi).
Republik Indonesia.
Nursalam, 2008. Proses Dan Dokumentasi
Faizin, A. & Winarsih, 2008. Hubungan Tingkat
Keperawatan: Konsep dan Praktik, Jakarta:
Pendidikan dan Lama Kerja Perawat dengan
Salemba Medika.
Kinerja Perawat di RSU Pandan Arang
Kabupaten Boyolali. Berita Ilmu Parashos, I.A. & Xiromeritis, K.O., 2000. The
Keperawatan, 1(3), pp.137–142. Problem of Non-Compliance in Skizofrenia:
Opinion of Patients and Their Relatives.
Grossmann, M., 1999. The Human Capital Model of
Journal of Clinical Nursing, 4(3).
The Demand for Health, Cambridge: National
Bureau of Economic Research. Rao, T.S.S., Radhakrishnan, R. & Andrade, C.,
2011. Standard operating procedures for
Harsiwi, A.M., 2003. Hubungan Kepemimpinan
clinical practice. Indian Journal of Psychiatry,
Transformasional dan Karekteristik Personal
15(1), pp.1–3.
Pemimpin. Journal Bisnis dan Ekonomi, 5(1).
Rutledge, D.N. et al., 2013. Hospital Staff Nurse
Hussar, S.A., 1995. Patient Compliance in
Perceptions of Competency to Care for
Remington: The Science and Practice of
Patients With Psychiatric or Behavioral Health
Pharmacy 2nd ed., Philadephia: The
Concerns. Journal for Nurses in Professional
Philadelphia Collage of Pharmacy and
Development, 29(5), pp.255–262. Available at:
Science.
www.jnpdonline.com.
Hye-Won, K. & Mi-Ran, K., 2014. Nursing
Simamora, H., 2012. Manajemen Sumber Daya
Competency as Experienced by Hospital
Manusia 3rd ed., Bandung: Pustaka Setia.
Nurses in a Clinical Nursing Unit.
International Journal of Bio-Science and Bio- Yusuf, A., Fitryasari, R. & Nihayati, H.E., 2014.
Technology, 6(4), pp.235–244. Buku Ajar Keperawatan Jiwa 1st ed.,
Surabaya: Salemba.
Iyer, P.W. & Comp, N.H., 2005. Dokumentasi
Keperawatan: Suaru Proses Pendekatan
Proses Keperrawatan 3, ed., Jakarta: EGC.

239
PERNIKAHAN DINI BERBASIS TRANSKULTURAL NURSING DI DESA KARA
KECAMATAN TORJUN SAMPANG MADURA

(Early Marriage Based on Transcultural Nursing Theory in Kara Village Sampang)

Esti Yunitasari*, Retnayu Pradanie*, Ayu Susilawati*


*Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Kampus C Jl Mulyorejo Surabaya, Telp. 031 5913754
Email: esti-y@fkp.unair.ac.id

ABSTRAK
Pendahuluan: Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai penjuru dunia dengan berbagai latarbelakang.
Pernikahan pada usia dini cenderung berdampak negatif dari segi pendidikan, sosial, ekonomi, psikologis, fisik, dan terutama
bagi kesehatan reproduksi perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan
pernikahan dini berbasis Teori Transcultural Nursing di Desa Kara Kecamatan Torjun Sampang. Metode: Penelitian ini
menggunakan desain diskriptif analitik dengan jenis cross sectional. Sampel penelitian ini adalah wanita yang menikah pada
Januari 2015-Februari 2016 di Desa Kara Kecamatan Torjun Sampang sebanyak 39 orang. Pemilihan sampel dilakukan
dengan cara purposive sampling. Variabel bebas penelitian ini adalah pengetahuan, budaya, dukungan keluarga, ekonomi,
teknologi dan variabel terikat adalah pernikahan dini Data diperoleh dengan menggunakan kuisioner. Analisis data
menggunakan uji chi square dengan tingkat signifikasi α < 0,05. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan yang
signifikan antara faktor budaya (p=0,013), faktor dukungan keluarga (p=0,001), faktor ekonomi (p=0,040), dan faktor
teknologi (p=0,002) dengan pernikahan dini sedangkan faktor pengetahuan tidak berhubungan dengan pernikahan dini yang
terjadi di Desa Kara. Pembahasan: Sehubungan dengan hasil penelitian ini, diharapkan upaya dari pihak-pihak terkait untuk
memberikan pendidikan kesehatan yang diikuti oleh remaja yang belum menikah untuk mencegah pernikahan dini.

Kata kunci: pernikahan dini, Pengetahuan, Budaya, dukungan Keluarga, Ekonomi, dan Teknologi

ABSTRACT
Introduction: The early-age marriage is still happened in the world with many reasons. Early marriage has many negative
impacts on education, social, economic, psychological, and reproductive health. The purpose of this study is to analyze the
factors of early marriage based on Transcultural Nursing theory. Methods: Design used in this research was cross-sectional
approach. The sampel was women who got married between January 2015 and February 2016. The 39 sample respondents
were chosen by purposive sampling technique. The independent variables in this study were knowledge, culture, family
suport, economic, technology and the dependent variable was early marriage. The data were collected by using
questionnaire and analyzed by using chi square test. Results: The results showed significant correlation between cultural
factor (p=0.013), family support factor (=0,001), economic factor (p=0,040), and technology factor (p=0,002) with early
marriage, while knowledge factor have not significant correlation with early marriage. Discussion: By the result of this
study, it was expected there will be some actions together with relevant parties to give health education for adolescent who
has married yet to prevent early marriage.

Keywords: early marriage, knowledge, culture, support family, economic, and technology.
_______________________________________________________________________________________________

INTRODUCTION early marriages presentation in Kara is still


The age of married for women is one of very high. Thus, it is important to investigate
the factors that affect the health status of the factors associated with early marriage
mothers and children. According to the based on Transcultural Nursing theory in
national family planning agency (BKKBN) Torjun village Sub district Kara, Sampang
determine the ideal age for girls to get marry Madura.
considering the medical and psychological Data from BPS (2013) showed that the
condition is after the age of 20 years while for number of women aged 10 years and under 17
male is 25 years old above, because at this age years in East Java on 2011-2013 was 26.33%.
the reproductive system can function properly. The number of early marriage is still high in
Initial data collection from the religious affairs Bondowoso (53.26%), Situbondo (51.54%),
office in the village of Torjun in January to Probolinggo (48.09%), Sumenep (45.08%), and
February 2016 showed data that there were Sampang (43.33%). Those caused by various
41% of women married before the age of 21 factors such as cultural factors, economics,
years. Sixty nine of 218 women in Kara, 69 technology and knowledge. Desiyanti (2015)
were married and 34 of them were married said that other factors that influenced early
before the age of 20 years. It means that the marriage is parents support. Parents have

164
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016:164-169

authority to delay the marriage of their impact of early marriage), culture (values and
children. Reproductive health problems began norms of early marriage, social interaction
with sexual activity. Early marriage could be a communities, tradition early marriage in the
matter of reproductive health because the community), family support (emotional,
earlier age, the longer time span for cognitive, and material), economic (family
reproduction (Riskesdas 2013). income), technology (access to information
Early marriage has many consequences technology, acces media massa and the press,
on education, health, economic, and family and access to electronic tools and
harmony. Girls who married before 20 have environment). The data were then analyzed
increased risk of school drop out. Early using statistical test Chi Square α≤0,05 level of
marriage of young females have a risk in significance.
reproductive health and also counts for the
consequences of early pregnancy and RESULT
increasing maternal mortality (Noviyanti, W.
Socio-demographic characteristics of
& Trihandini 2013). This is in line with
the samples shown that almost (51.3%) of
research conducted by Sarwono in Lestari
respondents were 20-35 years, and majority
2013 said that of women who married before
they were married on aged under 20 years old
the ideal age tend to have health problems: the
(66.7%). Early marriage has the risk of
reproductive organs are immature causes
complications during pregnancy because of the
uterine contractions, the reproductive period is
immature reproductive organs. Most
longer trigger the risk of cervical cancer,
respondents had junior high school education
anemia in pregnancy causes low birth weight,
bacground (64.1%), only 1 respondents
and complication during pregnancy.
finished higher education and 33.3%
According to BKKBN (2012) cultural
respondents classified as having a low
factors are still the main reason that caused
education level. Background of education is
early marriage among girls in East Java. The
one of the internal factors that can affect a
cultural dimension in Madura is still very
person's decision making. Education is one of
strong makes analysis of the problem with the
the main factors that determine the quality of
transcultural approach is needed. Effort to
life, the higher education level, the smaller
identify factors associated with early marriage
intention to get married at an early age. On job
in the Madurese community can use the
categories, majority of respondents were
transcultural theory because of early marriage
housewifes (69.2%) and and the others were
in the Madurese community is a culture or
farmers and private sector worker.
habit that carried on from generation to
generation. Table 1 The correlation between knowledge
and early marriage evidence in Kara,
MATERIAL & METHODS
Madura
Design used in this research was cross- Knowle
Early Marriage Total
sectional approach. The samples were 39 No Yes
dege
f % F % ∑ %
women who got married from January 2015
Lack 2 5.1 6 15.4 8 20.5
until February 2016. The samples were chosen Enough 3 7.7 7 17.9 10 25.6
by purposive sampling technique. The Good 8 20.5 13 33.3 21 53.8
independent variables in this study were Total 13 33.3 26 66.7 39 100.0
knowledge, culture, family suport, economic, Uji chi square p = 0.773
technology and the dependent variable was Coefficient contingency = 0.114
early marriage. The data were collected by
using questionnaire and analyzed by using chi Table 2. Correlation between culture belief
square test. This research was conducted for 4 with early marriage evidence Kara
Early Marriage Total
days, on 25-26 June 2016 and 2-3 July 2016.
Culture No Yes
Instruments used in the form of a f % F % ∑ %
questionnaire drawn from research instruments Embarace 3 7.7 17 43.6 20 51.3
by Priyanti (2013), Kharimaswatii (2014) and Not Embarace 10 25.6 9 23.1 19 48.7
Arika (2013). The questionnaire consist of 10 Total 13 33.3 26 66.7 39 100.0
questions about knowledge (the definition of Uji chi square p = 0.013
Coefficient contingency = 0.371
early marriage, the ideal age to get married, the

165
Pernikahan Dini Berbasis Transkultural Nursing (Esti Yunitasari, dkk)

Tabel 3 Assosiations family support with early Different educational levels will affect
marriage based on transcultural different behavior in the decision to marry or
nursing in Kara, Sampang not. Some people who do not continue their
Family
Early marriage Total education to higher levels tend to be
No Yes productive so that a woman will decide to get
support
F % F % ∑ %
married early (Qibtiyah, 2014). But women
Support 3 7.7 20 51.3 23 59.0
Not 10 25.6 6 15.4 16 41.0 who have a good knowledge will not
support necessarily be married at the ideal age, because
Total 13 33.3 26 66.7 39 100.0 there are several other factors such as social
Uji chi square p = 0.001 support and support for families who have a
Coefficient contingency = 0.459 strong influence on the decision of a woman to
get married early. This is also reinforced by the
Table 4 Assosiations of economics and early theory of Leininger (1991) say that family
marriage based on transcultural support is very influential on a person's
nursing in Kara, Sampang knowledge. High family support will affect a
Early marriage Total
Ekonom person's knowledge to be good because there is
No Yes
ics family support elements in the cognitive
F % F % ∑ %
Less 11 28.2 26 66.7 37 94.9 support which many families on these
More 2 5.1 0 0 2 5.1 elements provide guidance, advice, and
Total 13 33.3 26 66.7 39 100.0 counsel. A good knowledge alone is not
Uji chi square p = 0.040 enough if the family support to get early
Coefficient contingency = 0.312
marriage.
Cultural aspect in the community has a
Majority respondents have low
strong influence on early marriage. The result
economic level (94.9%), and those who
showed the relationship between culture with
married at early age were 26 people (66.7%),
early marriage. Individuals as social beings can
while no respondents with upper middle
not be separated from the environment in
income who married at early age.
which they live by the norms and customs that
Assosiations of technology and early
are always binding, for example is weddings
marriage based on transcultural nursing
(Syairwan, 2015). Cultural factors that
showed that 16 respondents (41%) in the less
influence most in this study lies in the values
categories of use of technology and 15
and norms of early marriage developed in the
respondents (38,5%) were married at early age.
community. This is evident from the
respondents' answers when completing the
DISCUSSION
questionnaire almost respondent agree with the
The number of women who married at
prevailing belief is better to early get married
early age is greater than women who married
than dating. There isi Paradigm miss
in ideal age. That is because there are several
understanding the religion that is speeding up
factors that support women to choosed to
the wedding to avoid promiscuity and adultery
married earlier. These factors include
reinforces early marriage. The results also
knowledge, culture, family support, economic,
supported by research conducted by Rusiani
and technology. Knowledge influenced by
2013 obtained the fact that people do because
education, mass media or information, socio-
it follows the tradition of early marriage, it is
cultural, family support, environment,
because the tradition is still strong. Community
experience, and age (Rahmawati, 2010) .
interest did early marriage is influenced by the
Basd on the results of this study,
environment around the dwelling and desires
knowledge is not related to early marriage
of the individuals themselves.
because there were other factors that more
According to the theory of Leininger's
influence early marriage decision. According
Transcultural Nursing stated that the behavior,
to Leininger (2002) educational background
values, beliefs and groups based on their
have an impact on the absorption of
individual needs must be taken to ensure that
information. Someone who has a higher
the nursing care provided effective and
education will also have a good knowledge.
satisfactory. Culture early marriage in Kara
Knowledge without a good education would
Village community if it continues will be harm
enable women choose the wrong decision.
in health status, so that health providers as

166
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016:164-169

nurses as care giver should seek common (Leininger, 1978). Utilization HP with various
cultural restructuring their culture. features to provide ease in finding information
Family support have an important role in but besides that it also had a negative impact
early marriage. According Desiyanti (2015) and positive impact. Technological factors
mentions the factors that influenced early associated with early marriage, namely access
marriage is the role of parents in this regard to the mass media and the press. Data analysis
have contributed greatly to the decision of can show that of the respondents at the time of
child marriage. Parents have the authority to filling the questionnaire majority of
delay the age of marriage. Family support respondents answered never get counseling
related to early marriage because of family about early marriage and most respondents
support will influence a child's decision to get answered that widespread exposure to sex in
married at an early age. According Daryanto the media led to increasingly attract attention
(1998) in Firanika (2010) prevailing belief in to prefer to get married. The mass media is
the family as well as the role of parents in also a factor that affects a person to behave.
decision-making in the family contributed to Access to information obtained indirectly can
the women's age at first marriage. In Undang make them behave over the information
Undang Pernikahan Chapter II Article 6 acquired .
confirms that to enter into marriage of a child According Qibtiyah (2014) received
who has not attained the age of 21 years must information capable of affecting the public
obtain permission from both parents. Although mindset. Almost every day the public was
it has been allowed to get married, the role of treated to the spectacle television that tells the
parents are needed to guide, help, and gave story of early marriage, dating, violence etc.
permission to all its responsibilities. Many spectacle educate but also there needs to
Results of research conducted by be filtered. According Astuty (2013)
Rahmawati (2010) showed that the decision to phenomenon of young age marriages are a
marry can not be separated from the influence phenomenon today is not only influenced by
of parents or family, within tribe Osing the lack of awareness and knowledge but
decision making girls to marry much share the indirectly influenced by a "role model" from
parents in it even still exist that all the the world of entertainment to watch.
decisions on the parents so that the child must
follow their parents in terms of marriage. CONCLUSION AND RECOMMENDATION
In this study economics associated with
early marriage. A person with poor economic Conclusion
From the result we conclude that factors
conditions were more likely to marry at an
associated with early marriage is a cultural,
early age due to marry soon expected to raise
family support, economic level, and
the degree of economic family (Faaulina,
technology. Knowledge was not significantly
2014). Economic motive behind parents
assosiated with early marriage.
decided to marry off their children in the hope
of reducing the financial burden of families Recommendation
because, when his son married the life of the In relation to the factors related to the
child borne by the husband. The level of the early marriage, it is recommended to involve
poor economy will encourage early marriage. religious leaders and community leaders in an
The results of the study by the Center for effort to socialize maturation age of marriage.
Research on population BKKBN in 2011 Enhancing the role of health workers in health
which stated that the economic factor is the information and education about early
most dominant factor for age at first marriage, marriage and its impact on the health of
especially in rural areas with married then unmarried young people in order to prevent
there is help parents to work in the fields in early marriage.
order to harvest more abundant
Existing technology in society also REFERENCES
influence early marriage. Technology is one of
the cultural dimension that can affect a Arika, N.H.N., 2013. Analisis Faktor Yang
person's health in this case relates to one's Berhubungan Dengan Pengetahuan Ibu
perception of the use and utilization of Dalam Pemenuhan Status Gizi Anak
technology to manage health problems Usia 6-24 Bulan Berdasarkan Teori

167
Pernikahan Dini Berbasis Transkultural Nursing (Esti Yunitasari, dkk)

Transkultural Nursing Di Posyandu 15/08/10/angka-pernikahan-dini-di-


Dusun Klagen Peterongan Jombang. jawa-timur-lebih-tinggi-dari-rata-rata-
Universtas Airlangga. nasional?page=1..
Astuty, S.., 2013. Faktor Penyebab Terjadinya Astuty 2013; BKKBN 2012; Desiyanti 2015;
Perkawinan Usia Muda di Kalangan Firanika 2010; Kharimaswatii 2014;
Remaja di Desa Tembung Deli Serdang. Leinngeer 2002; Lestari 2013;
universitas Sumatra utara. Noviyanti, W. & Trihandini 2013;
BKKBN, 2012. Kajian Pernikahan Dini Pada Priyanti 2013; Qibtiyah 2014; Riskesdas
Beberapa Provinsi Di Indonesia., 2013; Syairwan 2015)Arika, N.H.N.,
Jakarta. 2013. Analisis Faktor Yang
Desiyanti, 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Pengetahuan Ibu
Berhubungan Terhadap Pernikahan Dini Dalam Pemenuhan Status Gizi Anak
Pada Pasangan Usia Subur di Usia 6-24 Bulan Berdasarkan Teori
Kecamatan Mapanget Kota Manado. Transkultural Nursing Di Posyandu
Jurnal STIKES Muhammadiyah Dusun Klagen Peterongan Jombang.
Manado, 5, pp.pp.270–280. Universtas Airlangga.
Firanika, R., 2010. Aspek Budaya dalam Astuty, S.., 2013. Faktor Penyebab Terjadinya
Pemberian ASI Esklusif di Kelurahan Perkawinan Usia Muda di Kalangan
Bubulak Kota Bogor Tahun 2010. UIN Remaja di Desa Tembung Deli Serdang.
Syarif Hidayatullah. universitas Sumatra utara.
Kharimaswatii, E., 2014. Analisis Faktor BKKBN, 2012. Kajian Pernikahan Dini Pada
Pemberian Asi Esklusif Pada Bayi Beberapa Provinsi Di Indonesia.,
Berdasarkan Teori Perilaku WHO Di Jakarta.
Wilayah Puskesmas Mulyorejo Desiyanti, 2015. Faktor-Faktor yang
Surabaya. Universitas Airlangga, Berhubungan Terhadap Pernikahan Dini
Surabaya. Pada Pasangan Usia Subur di Kecamatan
Leinngeer, 2002. Cultural Care Theory: A Mapanget Kota Manado. Jurnal STIKES
Major Contribution To Advance Muhammadiyah Manado, 5, pp.pp.270–
Transcultural Nursing and Knowledge. 280.
Journal of Transcultural Nursing,, 13, Firanika, R., 2010. Aspek Budaya dalam
p.p.189. Pemberian ASI Esklusif di Kelurahan
Lestari, P., 2013. Tingkat Pengetahuan Remaja Bubulak Kota Bogor Tahun 2010. UIN
Putri Tentang Resiko Pernikahan Dini Syarif Hidayatullah.
Di Desa Jekawal Tangen Sragen Tahun Kharimaswatii, E., 2014. Analisis Faktor
2013, Srakarta. Pemberian Asi Esklusif Pada Bayi
Noviyanti, W. & Trihandini, I., 2013. Analisa Berdasarkan Teori Perilaku WHO Di
Data Sekunder Survei Demografi Wilayah Puskesmas Mulyorejo Surabaya.
Kesehatan Indonesia 2007: Tren dan Universitas Airlangga, Surabaya.
Dampak Pernikahan Dini. Jurnal Leinngeer, 2002. Cultural Care Theory: A
Fakultas Kesehatan Masyarakat: Major Contribution To Advance
Universitas Indonesia,, pp.1–18. Transcultural Nursing and Knowledge.
Priyanti, 2013. Faktor-Faktor Yang Journal of Transcultural Nursing,, 13,
Berhubungan Dengan Perkawinan Usia p.p.189.
Muda Di Deli Serdang, Sumatera Utara. Lestari, P., 2013. Tingkat Pengetahuan Remaja
Qibtiyah, M., 2014. Pengaruh Faktor Sosial, Putri Tentang Resiko Pernikahan Dini Di
Ekonomi, Budaya, Terhadap Usia Desa Jekawal Tangen Sragen Tahun
Kawin Pertama Muda Perempuan 2013, Srakarta.
Wilayah Urban dan Rural di Kabupaten Noviyanti, W. & Trihandini, I., 2013. Analisa
Tuban. Universitas Airlangga, Surabaya. Data Sekunder Survei Demografi
Riskesdas, 2013. Pokok Pokok Hasil Riskesdas Kesehatan Indonesia 2007: Tren dan
Jawa Timur 2013, Jakarta. Dampak Pernikahan Dini. Jurnal
Syairwan, I., 2015. ngka Pernikahan Dini di Fakultas Kesehatan Masyarakat:
Jawa Timur Lebih Tinggi dari Rata rata Universitas Indonesia,, pp.1–18.
Nasional. Available. Available at: Priyanti, 2013. Faktor-Faktor Yang
http://www.tribunnews.com/regional/20 Berhubungan Dengan Perkawinan Usia

168
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016:164-169

Muda Di Deli Serdang, Sumatera Utara.


Qibtiyah, M., 2014. Pengaruh Faktor Sosial,
Ekonomi, Budaya, Terhadap Usia
Kawin Pertama Muda Perempuan
Wilayah Urban dan Rural di Kabupaten
Tuban. Universitas Airlangga, Surabaya.
Riskesdas, 2013. Pokok Pokok Hasil Riskesdas
Jawa Timur 2013, Jakarta.
Syairwan, I., 2015. ngka Pernikahan Dini di
Jawa Timur Lebih Tinggi dari Rata rata
Nasional. Available. Available at:
http://www.tribunnews.com/regional/20
15/08/10/angka-pernikahan-dini-di-
jawa-timur-lebih-tinggi-dari-rata-rata-
nasional?page=1..

169
FAKTOR PERSONAL, SELF EFFICACY DAN UPAYA PENCEGAHAN KANKER
SERVIKS PADA PEREMPUAN USIA PRODUKTIF

(Personality Factor, Self Efficacy and Prevention of Cervical Cancer among Childbearing
Age Women)

Ni Ketut Alit Armini*, Iqlima Dwi Kurnia*, Fani Lailatul Hikmah*


*Faculty of Nursing Universitas Airlangga
Kampus C Jl. Mulyorejo Surabaya, Telp. 031 5913754,
Email: nk.alita@fkp.unair.ac.id

ABSTRAK
Pendahuluan: Kanker serviks menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Program pencegahan
kanker serviks yang kurang baik menyebabkan keterlambatan penanganan sehingga sebagian besar responden mengalami
kanker serviks stadium lanjut. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan faktor personal, self efficacy dengan upaya
pencegahan kanker serviks pada wanita usia produktif. Metode: desain penelitian ini adalah deskriptif korelatif dengan
pendekatan cross sectional. Populasinya adalah semua wanita usia produktif di wilayah Puskesmas Kenjeran Surabaya. Besar
sampelnya adalah 64 responden wanita usia produktif dengan menggunakan Probability Simple Random Sampling. Variabel
independen adalah faktor personal dan self efficacy. Variable dependen adalah upaya pencegahan primer dan sekunder. Data
dianalisis menggunakan uji statistik Spearman’s rho untuk mengetahui variable yang berhubungan dengan upaya pencegahan
kanker serviks. Hasil: hasil penelitian menunjukkan hubungan antara faktor personal dan upaya pencegahan kanker serviks
menghasilkan p = 0,025 (α ≤ 0,05). Sedangkan variable hubungan self efficacy dengan upaya pencegahan kanker serviks pada
wanita usia produktif menghasilkan p = 0,094 (α ≤ 0,05). Diskusi: Faktor personal berhubungan dengan upaya pencegahan
kanker serviks pada wanita usia produktif sedangkan self efficacy tidak berhubungan dengan upaya pencegahan kanker
serviks pada wanita usia produktif. Untuk peneliti selanjutnya dapat menggunakan variabel lain dari teori Health Promotion
Model untuk melakukan upaya pencegahan kanker serviks.

Kata kunci : wanita usia produktif, kanker servik, self efficacy, faktor personal.

ABSTRACT
Introduction: Cervical cancer is a major cause of morbidity and mortality worldwide. Bad cervical cancer prevention
program cause delays in treatment. Thus, leading most of the respondents had cervical cancer in advance stadium. The study
aims to determine the correlation of personal factors, self efficacy in the prevention of cervical cancer in women of
childbearing age. Methods: The study design was descriptive correlative with cross sectional approach. The population were
all women of childbearing age in Puskesmas Kenjeran Surabaya. Samples were 64 respondents gathered by using simple
random sampling. The independent variable were the personal factor and self efficacy. The dependent variable was the
primary and secondary prevention efforts. Data were analyzed using Spearman's rho test to determine the variables which
associated with the prevention of cervical cancer. Results: The results showed the correlation between personal factors and
prevention of cervical cancer with p = 0.025 (α ≤ 0.05). While self efficacy had no correlation with the prevention of cervical
cancer with p = 0.094 (α ≤ 0.05). Discussion: Personal factors related to the prevention of cervical cancer in women of
childbearing age, while self efficacy is not related to the prevention of cervical cancer in women of childbearing age. For the
next researcher to use other variables of the theory Health Promotion Model to take steps to prevent cervical cancer.
Keywords: women of childbearing age, cervical cancer, self efficacy, personal factors.

INTRODUCTION broad view on the biopsychosocial


Cancer affects all levels of society phenomenon of human health. Clinical
from low and upper economic level, old and indicators in the theory were interpersonal
young, low or high educated (Depkes 2011). behaviors, social support, socioeconomic
Risk population requires prevention efforts as status, mood, complaints, hormone levels,
early as possible in order to implement healthy antibody status. Human responses determine
behavior (Anthony M et al 2010). Cervical indicators of healthy or unhealthy. HPM theory
cancer is a malignant tumor that grows in the is a theory that explains and predicts the
the lowest part of the uterus and could attached interaction between environmental factors and
to the top of the vagina. perceptions that can affect health.
Nursing theory focuses on prevention Cervical cancer is a major cause of
and promotion of health behaviors is the morbidity and mortality in the world,
Health Promotion Model (HPM) by Nolla J according to World Health Organization
Pender (2002). The theory encourages the use (WHO) estimates that in 2012 the incidence of
of integrative model of health, which takes a cancer is about 14 million new cases and 7.6

294
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 294-299

million deaths. Figures Cervical Cancer are no longer in the childbearing age. Some of
Incidence varies greatly. Cervical cancer is the the risk factors of infection HPV among
second most common cancer to strike women others, women who married at the age of 18
in developing countries is expected in 2012 years are at risk 5-fold infected with HPV,
about 270,000 women die from cervical women with sexual activity high and have
cancer. In Indonesia, the prevalence of cervical multiple partners, smokers, have a history of
cancer cases is quite high. Globocan based on venereal disease, parity (number of births) ,
data from 2008, found 20 cases of cervical use of oral contraceptives in the long term.
cancer deaths every day. The disease is also a There is a significant relationship between the
top ten cause of death in Indonesia (Herman level of education, occupation, income,
2014). Nationally, the prevalence of cancer in knowledge and attitudes of women EFA with a
the population of all ages in Indonesia in 2013 Pap smear in Banda Aceh (Nurhasanah, 2008).
was 1.4 ‰ or estimated to be around 347 792 Health Promotion Model is a model for nurses
people. Yogyakarta province had the highest to explore the complex biopsychosocial
prevalence of cancer, which amounted to 4.1 processes, which motivates people to behave in
‰. Based on the estimated number of cervical certain ways, which is intended to improve the
cancer is the cancer with the highest health status (Tommey, A.M & Alligood
prevalence in Indonesia in 2013, which 2006). Decrease the severity of cervical cancer
amounted to 0.8 ‰ of cervical cancer. Based is very important, especially the prevention of
on the estimated number of cervical cancer are cervical cancer in Women of childbearing age.
highest in the province of East Java and Communities with low socioeconomic have
Central Java Province. The incidence of less opportunity to do prevention by Pap smear
cervical cancer in Surabaya each year has (Wilopo 2010). IVA test and Pap smears in
decreased, the estimation Surabaya City Health Women of childbearing age are still not
Office in 2011 approximately 17.97%, in 2012 maximized due to fear and shame to double
amounted to 17.13%, and 14.31% in 2013. check the cervix rechildbearing organs against
According to previous research, the behavior health workers (Candraningsih 2011).
of cervical cancer prevention is affected
because of their holistic and complex METHOD
interaction of the individual with the This research used descriptive
environment in the surrounding areas correlational design with cross sectional
(Chusairi,A & Hartini 2003) these things that approach. Population of study were 193 people
influence the decision to take precautions. and the samples were 64 people. The sampling
In addition there are other factors that technique used in this study was simple
can influence the behavior of prevention, random sampling. The independent variables
namely internal and external factors of in this study were personal factors (biological,
patients, such as beliefs, spiritual psychological, and sociocultural) and self
encouragement, confidence, financial efficacy. The dependent variable in this study
condition and culture that had been used in the was primary and secondary prevention.
search for prevention efforts. Cultural Instrument used in this study was a
backgrounds have an important influence on questionnaire. Personal factors questionnaires
aspects of community life, including their associated with a domain statement to measure
beliefs, behaviors, perceptions, emotions and biological, psychological, and sociocultural
attitudes to the disease that has significance for containing 10 items of questions with answer
health (Herman 2014). Self-efficacy affects the choices strongly agree, agree, neutral, disagree,
motivation and confidence of every woman to strongly disagree. Self-efficacy questionnaire
perform on cervical cancer prevention. WHO containing 10 items of questions with answer
said in developing countries cervical cancer is choices strongly agree, agree, neutral, disagree,
ranked top among various types of cancer that strongly disagree. Questionnaires primary and
causes death in women in the world who attack secondary prevention efforts related to healthy
the childbearing age. The main cause of check regularly, avoiding smoking, regular
cervical cancer is infection Human Papilloma physical activity, a balanced diet, adequate
Virus (HPV). rest, stress management which contains 6
HPV infection can strike women, questions with answer choices often, rarely,
ranging from 20-year-old woman until women never. This research was conducted in

295
Faktor Personal, Self efficacy dan Upaya Pencegahan Kanker (Ni Ketut Alit Armini, dkk)

Puskesmas Kenjeran Surabaya. Any data will children, from these results indicate that the
be measured using Spearman's rho that if the risk of cervical cancer due to high parity, is
set value of significance  ≤ 0,05. able to reduce the incidence of cervical cancer
in the region Kenjeran Surabaya. 65.6% (42
RESULT people) had lack of knowledge about cervical
Table 1. Respondent characteristic (n=64) cancer, 98.4% (63 people) have never done
No Responden F % IVA examination / pap smear, and 100% (64
1 Age 18-35 years old 36 56,3
36-50 years old 28 43,7
people) have never done the HPV vaccine.
2 Activity Wife 39 60,93 Those data indicates that the majority of
Comerce 8 12,5 women in childbearing age have less
Labour 4 6,25 prevention efforts.
Swasta 13 20,31
3 Education Not School 3 4,68
Elementary 19 29,6 Table 3. Personal factor, Self efficacy, cervical
JHS 23 35,9 cancer prevention (n=64)
SHS 17 26,5 Variable Cathegory f %
University 2 3,125 Personal Factor Negative 30 47
4 Salary ≤Rp. 3.045.000 58 90,6 Positive 34 53
>Rp. 3.045.000 6 9,4 Self Efficacy Weak 43 67
Strong 21 33
Table 2. Reproduction history (n=64) Prevention less 31 48
Good 33 52
No Characteristic Criteria f %
1 Child 0-2 children 47 73,4
>2 children 17 26,5 Table 3 shows personal factor in cervical
2
Information
No 42 65,6 cancer prevention at Kenjeran health center of
about cancer
Surabaya. Most of the respondents had positive
Yes 22 34,4
Check personal factors leading to good prevention
3 IVA/Pap No 63 98,5 behavior. 43 (67%) respondents had weak self
Smear
Yes 1 1,5
efficacy. Respondents who had weak self-
4 Vaksin HPV No 64 100 efficacy will affect both primary and
secondary prevention of cervical cancer. Most
According to the table 1 above of the respondents had never received
concerning the characteristics of respondents counseling about cervical cancer is that it can
shows that in the age range 18-35 years there improve healthy behaviors for the prevention
are 36 mother with a frequency (56.3%). Ages of cervical cancer increases.
18-35 have the opportunity to multiply to
cervical cancer prevention efforts. Most jobs of Table 4. Correlation between personality factor
most respondents is to be a housewife mother and cervical cancer prevention
Prevention Total
with a frequency of at least 39 (60.93%). Most Bad Good
housewives around puskesmas Kenjeran have Personality
Factor f % f % Σ %
good social relationships so that health Negative 19 61,2 11 33,3 30 46,8
information about cervical cancer prevention Positive 12 38,8 22 66,7 34 53,2
can be seen easily. Last Education Total 31 100 33 100 64 100
Spearman rho p = 0,025 r = 0,280
respondents, 35.9% (23 persons) have SMP.
This resulted in a lack of information obtained
Table 4 indicates that personality factor
in formal education, so that could affect
had less correlation with cervical cancer
prevention efforts. Family income in one
prevention behavior. Respondents who had
month there were 90.6% (58 people) ≤ Rp
positive personality behavior tended to had
3.045.000 million. This has an impact on the
good prevention behavior, but still a few
behavior of primary and secondary prevention
number of respondents who had negative
efforts of local residents Kenjeran PHC
personal factor also had good prevention
Surabaya.
behavior.
According to the table 2 on the
rechildbearing history of respondents that the
Tabel 5. Correlation between self efficacy and
number of children, knowledge of cervical
cervical cancer prevention
cancer, IVA examination / Pap, HPV vaccine. Self Prevention Total
There were 73.4% (47 persons) have 0-2 effiacy Bad Good

296
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 294-299

f % f % Σ % respondents can not manage stress well and are


Weak 24 77,4 19 57,5 43 67,1
Strong 7 22,6 14 42,5 21 32,9
reluctant to undertake secondary examination
Total 31 100 33 100 64 100 of cervical cancer. But there are 11
Spearman rho p = 0,094 r = 0,211 respondents with a negative personal factors
but has a good prevention efforts.
There were no correlation between self In this research, many respondents
efficacy and prevention behavior of cervical already implemented primary prevention in
cancer. It can be seen from the data on table 5 their daily behavior, such as avoiding smoking,
that majority women in childbearing age had doing regular physical activity, implementing a
weak self efficacy but they had good healthy diet and adequate rest. All these
prevention behavior. behaviors may reduce the incidence of cervical
cancer. The action has not been done by the
DISCUSSION respondent in the prevention of cervical cancer
Most respondents had positive was the Pap smear and Acetic acid visual
personal factors and good prevention. Personal inspection (AVI test). Family support and
factors can improve a woman to take steps to cadres to implement the health actions were
prevent cervical cancer. One of the components very influential in the local area. There was a
in the personal factor is age. The demographic correlation between personal factors and
data were obtained that majority of prevention of cervical cancer, because of
respondents were aged 18-35 years and 36-50 personal factors will positively lead to the
years old. Age affects prevention by increasing improvement of health and prevention
knowledge acquired. At the middle age, people behavior. It would also require regular
will be more actively involved in community counseling program so that every woman of
and social life (Rahayu, et al 2014). childbearing age in Kenjeran can understand
Good prevention among 22 respondents aboutb cervical cancer prevention and
can be also caused by followed the cervical undertake primary prevention behaviors in
cancer education. Respondents were mostly as their daily lives, as well as secondary
housewives were able to influence the level of prevention with AVI examination or a pap
knowledge for social interaction into successful smear regularly.
healthy behavior of each individual. Social and The results showed self-efficacy is not
cultural interaction increased the prevention of related to the prevention of cervical cancer in
cervical cancer because it can provide an women of childbearing age in Puskesmas
emotional benefit or affect the behavior included Kenjeran Surabaya. Some respondents did not
in preventive medicine (Supartiningsi 2003). understand how to prevent cervical cancer in
Personal factors related to the prevention of women of childbearing age. Most respondents
cervical cancer because inividu with positive have a poor self-efficacy and a small portion of
personal factors such as avoiding marriage respondents have a strong self-efficacy.
under 18 years of age, not using hormonal Recapitulation of self-efficacy questionnaire
birth control in the same period of 5 years, indicated that the respondents were sure to do
avoiding cigarette smoke, can increase an the primary and secondary prevention of
individual effort to prevent cervical cancer. cervical cancer, so that respondents could
There are several reasons that make the improve self efficacy and eliminated anxiety to
12 respondents have bad prevention behavior do prevention. Self-efficacy is the belief to
despite having good personal factors. It can be take the desired action, self-efficacy is a
seen through their perception, that pap smear person's background to perform an action or
test only need to be performed by women who control certain situations (Bandura 1994).
had unsafe sexual behavior (changing sexual Experience and family support also affects the
parters). primary and secondary prevention of cervical
Based on demographic data there are 42 cancer. The majority of respondents have 0-2
respondents who did not know about cervical children and a small proportion of respondents
cancer, 63 respondents had never perform pap have more than two children, thereby
smears and nearly all respondents never do increasing the risk of cervical cancer.
HPV vaccines. This is because women of Motivation, self-efficacy, and self-confidence
childbearing age have not received information is an important part of healthy behaviors
about the prevention of cervical cancer so that

297
Faktor Personal, Self efficacy dan Upaya Pencegahan Kanker (Ni Ketut Alit Armini, dkk)

(Rosenstock 1976). Self-efficacy plays a role increase confidence, reduce anxiety levels,
in creating healthy behaviors in a person. improving preventive behaviors in yourself.
There were respondents who had self-
efficacy is weak but able to take steps to CONCLUSION AND RECOMMENDATION
prevent cervical cancer. This caused by a low
Conclusion
educational background hence lack of
Women of childbearing age who have
knowledge about prevention of cervical
positive personal factors tend to have good
cancer. In addition there were respondents who
prevention behavior while those who have
had strong self-efficacy but less prevention
strong self-efficacy lean to have less cervical
efforts. The respondents did not know about
prevention behavior of cervical cancer.
cervical cancer prevention, have a rest period
of less than 8 hours per day and can not Recommendation
manage stress. When viewed from the level of Health provider at Puskesmas Kenjeran
anxiety, the respondents had lower levels of needs to improve the knowledge among
anxiety. This may affect the prevention of women of child bearing age, because good
respondents. Despite having self-efficacy is knowledge will increase good prevention
less but still there is a sense to maintain health behavior of cervical cancer. Health education
and prevention, especially primary prevention can be held among the cadres (community
of cervical cancer. health volunteer), so they can spread the
Respondents who have strong self- knowledge through their community and
efficacy and good prevention efforts as many reduce the incidence of cervical cancer.
as 14 people. One supporting factor is the level
of education. Most respondents were middle REFERENCE
and high school graduates. Education is a tool Anthony M et al, 2010. Stroke prvnton:
that can be used to improve behavior in social Awaeeness of risk factors for Stroke
life. The level of education effect in response Among African american Resident in the
to a stressor that comes from outside. People Missisipi Delta Region. Journal of the
who have a higher education will provide a National Medical Assosiation, 102(2),
more rational response than the low education pp.84–89.
or no education at all. Secondly, information Bandura, A., 1994. Self-efficacy. In V.S
obtained from formal and non formal Ramachaudran (Ed), Encyclopedia of
education can increase knowledge. Information human behavior, New York: acadmc
emerging from cognitive can provide the press.
foundation for the formation of knowledge. Candraningsih, 2011. Hubungan Tingkat
According Erfandi (2009) factors that affect a Pengetahuan WUS Tentang Kanker
person's level of knowledge among others, Serviks dengan Praktek Deteksi Dini
education, media, environment, experience, Kanker Serviks di BPS Is Manyaran
age, socio-cultural and economic. Semarang. Available at:
Based on the interview, respondents http//ejournal.ac.id/index.php/ilmukepera
are sure to maintain good health and will take watan/search.
steps to prevent cervical cancer as early as Chusairi,A & Hartini, N., 2003. Health seeking
possible. This indicates that respondents have a behavior pada penderita paliatif,
good self-efficacy. Respondents perform surabaya: Airlangga.
various prevention efforts because they feel Depkes, 2011. kejadian kanker serviks.
uncomfortable if the risk for cervical cancer. Available at: <http://depkes.go.id.
There is a relationship between preventive Herman, 2014. Kesadaran untuk Deteksi Dini
behaviors with good self-efficacy, due to the kanker Serviks Masih Rendah. Media
high value of self-efficacy individuals able to Release. 4 Juli. Yayasan Kanker
direct people to behave. On average Indonesia. Available at:
respondents experiencing high anxiety before .<http://yayasankankerindonesia.org/201
performing a secondary examination of 4/kesadaran-untuk-deteksi-dini-kanker-
cervical cancer. This causes the respondents serviks-masih-rendah/>..
are reluctant to undergo examinations and Pap Rahayu s, 2010. Peran kader paguyupan
smears AVI related to the prevention of perempuan waspada kanker (PPWK)
cervical cancer. Strong self-efficacy will dalam mei=ningkatkan kesadaran

298
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 294-299

masyarakat untuk deteksi dini kanker


servik. Universitas 11 maret.
Rosenstock, I.M., 1976. The health belief
model and preventive health behavior.
Health education Monographs,
Supartiningsi, 2003. Peran ganda perempuan ,
sebuah analisis filosofi kritis. Jurnal
filsfat.
Tommey, A.M & Alligood, M.., 2006. Nursing
theorists and their work.Six Edition.St.
Louis Missouri, Mosby.Verralls,S six
editio.,
Wilopo, 2010. Epidemiologi dan Pencegahan
Kanker Leher Rahim. Available at:
http://chnrl.net/mkia-kr/files/CaCervic-
texfinal.pdf.

299
ROLE ATTAINMETN IBU DALAM PEMBERIAN MP – ASI DENGAN
PENINGKATAN BERAT BADAN BAYI USIA 6-12 BULAN
(Mother’s role Attaintment in Giving Additional Food For Baby Weight
of Age 6-12 Months)

Ririn Probowati*, Heri wibowo*, Septi Fitrah Ningtyas*, Mamik ratnawati *,


Nursalam**
*
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Pemkab Jombang
**
Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Email: ririn_probowati@yahoo.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Role Attainment ibu dalam pemberian Makanan Pendamping ASI (MP- ASI) akan mempengaruhi barat
badan bayi. Tujuan penelitian menganalisis role attainmet ibu dalam pemberian MP-ASI dengan berat badan bayi Usia 6 –
12 bulan diwilayah kerja Puskesmas Jogoloyo Jombang. Metode: Desain penelitian retrospektif, populasi semua ibu yang
memiliki bayi usia 6-12 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Jogoloyo Sumobito Jombang bulan Juli 2016 sejumlah 327
orang dengan jumlah sampel 130 orang dengan tehnik simple random sampling. Variabel independen role attainment ibu
dalam kompetensi pemberian MP ASI. Variabel dependent bayi usia 6-12 bulan. Pengumpulan data menggunakan kuesioner
dan observasi buku KIA. Analisa data menggunakan chi square dengan taraf signifikan 0,05. Hasil: Hasil analisa
menggunakan uji chi squaredidapatkan bahwa ρ = 0,005< 0,05 yang artinya ada hubungan role attainment dalam pemberian
MP-ASI dengan pertumbuhan bayi usia 6 – 12 bulan. Diskusi: Role attainment ibu dalam pemberian MP ASI mempengaruhi
berat badan bayi. Setelah umur 6 bulan bayi harus mendapatkan MP ASI karena ASI sudah tidak mencukupi kandungan gizi
untuk pertumbuhan bayi.
Kata kunci : role attainment, MP –ASI, Pertumbuhan bayi

ABSTRACT
Introduction: Mother’s Role Attainment in giving additional food will affect growth in infants. The study aims to analyze
the role of mothers in the attainmet competency in giving additional food with infant growth Age 6-12 months working area
Jogoloyo Jombang Health care centre. Methods: Design used in this study was retrospectives, the population was mother of
babies aged 6-12 months in Health care centre Jombang Jogoloyo Sumobito on July 2016. Simple random sampling
technique was used in this study, with sample were 130 mother. The independent variables were maternal role attainment in
the competence of giving complementary feeding. The dependent variable were growth of infants aged 6-12 months. Data
was collected using questionnaires and observation KIA book and analyzed using chi square with a significance level of 0.05.
Results: Results showed that ρ = 0.005 <0.05, which means that there is a relation role Attainment in giving additional food
to the growth of infants aged 6-12 months. Discussion: Mother Role Attainment in giving additional food affect the babies
weight. After the age of 6 months babies should receive additional food because breast milk is not sufficient nutrients to the
baby's growth.
Keywords: Role attainment, MP -ASI, baby's growth
____________________________________________________________________________________________________

PENDAHULUAN saat bersekolah, anak akan mudah sakit setelah


dewasa sulit mencari pekerjaan. Pada akhirnya
Masa bayi termasuk didalam masa periode
anak menjadi beban keluarga dan negara. Kebutuhan
EMAS yang terbagi dari umur 0-6 bulan hanya
nutrisi yang sebagian besar diperoleh dari ASI
mendapatkan ASI saja yang disebut ASI Eklusif dan
karena kandungan zat gizi pada ASI sangat
umur 6-12 bulan mulai diperkenalkan dengan makanan
kompleks dan sudah sangat memenuhi gisi
Pendamping ASI (MP-ASI) Pada masa Bayi
bagi pertumbuhan bayi. Mulai usia 6 bulan, secara
terjadi pertumbuhan otak sangat pesat yang dapat
fisiologis kandungan ASI sudah tidak cukup
mendukung proses pertumbuhananak dengan sempurna.
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi bayi, bayi mulai
Kekurangan gisi dimasa bayi tidak dapat diperbaiki
meningkat kebutuhan nutrisi untuk melakukan aktifitas
dimasa–masa kehidupan selanjutnya, pertumbuhan
yang lebih misalnya untuk miring kiri kanan, tertawa,
jasmanii menjadii pendek, pertumbuhan otak terhambat
duduk, merangkak, memegang, belajar berjalan dan
anak akan tidak cerdasdan perkembangan kemampuan
pada saat ini lambung bayi telah siap
terhambat, anak akan sulit mengikuti pelajaran
menerima makanan tambahan dan pertumbuhan

170
Role Attainment Ibu dalam MP-ASI (Ririn, dkk)

gigi di mulai umur 6 bulan yang akan membantu menyebabkan terjadinya kekurangan gizi dan bila berlebih
memecahkan makanan dimulut sebelum masuk ke dalam akan terjadi kegemukan (Septiana 2009).
lambung oleh Karena itu pemberian makanan Role attainment ibu dalam kompetensi
pendamping air susu ibu (MP-ASI) sangat diperlukan pemberian MP ASI dapat diperoleh ibu dengan
(Yogi 2014). Pemberian MP-ASI ini diberikan bersamaan mencari informasi kepada petugas kesehatan
dengan pemberian ASI dahulu baru diberikan MP ASI atau kader kesehatan yang dipandang berhasil
yang dimulai dari makanan bubur, sari buah dalam bentuk melakukan pemberian MP ASI. Pemberian MP
cair dan secara bertahap dalam bentuk setengah ASI tentang jenis makanan, frekuensi pemberian, waktu
padat dan selanjutnya padat. mulai usia 6 pemberian, tahapan pemberian makanan, cara pemberian
bulan hingga 24 bulan. Seiring bertambahnya dan cara membuatnya.
usia bayi mulai usia 6 bulan diperkenalkan
dengan makanan pendamping untuk memenuhi BAHAN DAN METODE
kebutuhan giziny (Riksani 2012). Hal ini sejalan
Desain penelitian yang digunakan adalah korelasi
dengan program World Health Organization (WHO)
dengan retrospektif yaitu. rancangan penelitian dengan
yakni Global Strategy on Infant Young Child
melakukan pengukuran atau pengamatan pada saat yang
feeding yang secara khusus menyebutkan kebijakan
lalu (Nusalam 2013) dengan mengobservasi grafik
pemberian ASI bagi bayi sampai usia enam bulan dan
pertumbuhan di dalam buku KIA untuk 2 bulan berturut-
mulai pemberian makanan pendamping MP-ASI yang
turut. Populasinya adalah semua ibu yang memiliki bayi
memadai pada usia 6 bulan dan diteruskan hingga anak
usia 6-12 bulan diwilayah kerja Puskesmas Jogoloyo
berusia dua tahun atau lebih dapat membantu proses
Jombang sejumlah 327responden pada bulan Juli 2016
tumbuh kembang bayi (Depkes RI 2013)
dengan sampel penelitian sebanyak 130
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
respondent dengan kriteria mempunyai buku
2013 Pemberian MP-ASI pada bayi di Indonesia masih
KIA dengan grafik pertumbuhan minimal 3
sangat rendah dimana baru mencapai 48,6% bayi yang
bulan berturut –turut yang terisi dengan tehnik
mendapat ASI ekslusif hingga enam bulan dari target 75%.
simple random sampling yaitu pengambilan
Penelitian yang dilakukan di daerah pedesaan di Jawa
sampel pada anggota populasi secara acak
Timur, ditemukan bahwa praktek pemberian makan pada
dengan lotrey (Setiadi 2013).
bayi sebelum usia 6 bulan mencapai 32,4%, dan pada usia
Penelitian ini menggunakan uji statistik
tersebut didapatkan 66,7% jenis makanan yang diberikan
chi square dengan tingkat signifikan 0,05
adalah pisang (Dinkes Jatim 2014) Data Kabupaten
untuk mengetahui hubungan antara variabel
Jombang pada tahun 2014 balita yang mengalami gizi
role attainment ibu kompetensi pemberian MP
kurang sebanyak 2.184 (6,14%) laki-laki dan 2.426 (6,93%)
ASI dengan pertumbuhan bayi 6 – 12 bulan.
perempuan. Balita dengan gizi sangat kurang sebanyak 148
HASIL
(0,24%) laki-laki dan 224 (0,64%) perempuan.
Role attainment ibu dalam kompetensi Table 1. Role attainment ibu dalam
pemberian MP ASI akan berdampak pada kompetensi pemberian MP-ASI
pertumbuhan bayi Nampak pada berat badan
tidak sesuai dengan umur dan dampak No Role Frek (F) Prosentase
terhadap perkembangan anak akan menjadi Attainment
apatis, mengalami gangguan bicara dan 1 Baik 20 15.4
gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan 2 Cukup 70 54
dampak jangka panjang adalah mengalami 3 Kurang 40 30.6
penurunan kepandaian, anak menjadi pendek, Total 130 100
sering sakit, skor tes IQ rendah,, penurunan
perkembangan kognitif, penurunan integrasi
sensori, dan gangguan pemusatan perhatian Tabel 2 Berat Badan Bayi 6-12 bulan
(Soekirman 2010) Kekurangan gizi merupakan
faktor utama yang menyebabkan kematian bayi N Berat badan frekwen Prosent
dan balita. Masalah pertumbuh dan perkembang pada o si ase (%)
bayi dan anak < 2 tahun sebagian besar di pengaruhi oleh (f)
pemberian makanan tambahan yang tidak sesuai dengan 1. Naik 60 47.2
kebutuhan bayi baik ditinjau dari jenis, jumlah, cara 2. Tidak naik 70 53.8
memasak MP ASI. Pemberian makanan adalah salah Total 130 100
satu faktor yang mempengaruhi status gizi bayi.
Pemberian makanan yang kurang tepat dapat

171
Jurnal Ners Vol 11 No 2. Oktober 2016:170-175
Tabel 3. Tabulasi silang role attainment kesehatan melalui kegiatan ibu-ibu misalnya
ibu dengan pertumbuhan bayi kegiatan PKK, pengajian.
Faktor umur, pendidikan ibu, sumber
Role Pertumbuhan bayi informasi juga memegang peran penting dalam
attainment pencapaian peran (M.R Alligo 2006). Sebagian
Naik Tidak Total besar (72.3%) ibu berumur 20-35 tahun
naik sebanyak 94 ibu. Sebagian besar(75.4%)
f % f % f % pendidikan ibu menengah sebanyak 98 ibu. Sebagian
Baik 12 20 8 11.5 20 15. besar (85.6%) ibu pernah mendapatkan informasi
4 tentang MP ASI sebanyak 111 ibu Sebagian
Cukup 32 53.3 38 54.2 70 53. besar(89.2%) sumber informasi petugas kesehatan
8 sebanyak 116 ibu. Umur, pendidikan, sumber informasi
Kurang 16 26.7 24 34.3 40 30. tentang pemberian MP ASI mempengaruhi.. Kelompok
6 uisa produktif dan pendidikan menengah akan
Jumlah 60 100 70 100 130 100 mempermudah seorang ibu menerima informasi baru
Uji chi square= 0,005 yang diberikan oleh orang lain. Sumber informasi yang
berasal dari petugas kesehatan membuat seorang ibu
percaya bahwa informasi yang diberikan adalah benar dan
Nilai pearson correlation sebesar 0,644
tepat karena yang memberikan adalah orang yang
sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan
role attainment ibu dalam kompetensi pemberian berkompetence.
Role attainment/ pencapaian peran ibu juga
MP-ASI dengan pertumbuhan bayi usia 6 – 12 bulan adalah
dipengaruhi oleh pengalaman sebelumnya. Seorang ibu
kuat dan arah hubungannya positif artinya
semakin banyak ibu yang mempunyai role bila sudah pernah memberikan MP ASI kepada
bayi dan bayi tumbuh dengan baik akan
attainment dalam kompetensi pemberian MP-
memberikan pengalaman yang menyenangkan
ASI cukup maka berat badan bayi akan
bagi seorang ibu dan akan menjadikan
mengalami kenaikan.
pembelajaran yang sanagat bearti. Hal ini akan
di lakukan lagi bagi seorang ibu untuk bayi-
PEMBAHASAN
bayi selanjutnya. Sebaliknya bila seorang ibu
Role Attainment Ibu dalam Pemberian MP sebelumnya gagal memberikan MP ASI
ASI Karena pertumbuhan bayi tidak sesuai dengan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa grafik pertumbuhan di buku KIA maka ibu
sebagian besar (54%) role attainment ibu akan takut/ tidak mau memberikan MP ASI
dalam pemberian MP-ASI dalam katagori kepada bayi lagi takut terulang pengalaman
cukup sebanyak 70 orang. yang tidak menyenangkan Hal ini dapat dilihat
Role attainment ibu merupakan suatu pencapaian dari jumlah anak, posisi anak saat ini, umur
peran yang dicapai oleh seorang wanita/ibu dalam dan pendidikan dan ibu. Sumberinformasi
melakukan pengasuhan dalam hal ini adalah pengasuhan Status pekerjaan seseorang menunjukkan
dalam kemampuan memberikan MP ASI kepada bayi tingkat penghasilan seseorang dan waktu luang
umur 6-12 bulan. Role attainment atau pencapaian peran yang dimiliki. Ibu yang tidak bekerja atau ibu
sebagai ibu dipengaruhi oleh system pendukung social rumah tangga memiliki banyak waktu luang
yang meliputi pasangan hidup, keluarga, teman dan dalam mengurus keluarga. Hasil penelitian
masyarakat di sekitar tempat tinggal. Sistem pendukung Kim Jihyaongungand K.A.S Wickrama 2013)
social dapat diberlikanan melalikan melalui interaksi social status pekerjaan ibu mempengaruhi harga diri
dan dukungan social (Kim Jihyaongungand K.A.S dan pola asuh pada bayi. Harga diri tinggi akan
Wickrama 2013). Interaksi social dapat dilakukan oleh membuat seorang ibu dapat melaksanakan
ayah/keluarga/masyarakat khususnya tenaga pemberian MP ASI dengan baik. Pada ibu
kesehatan yang mempunyai kemampuan dalam tidak bekerja mempunyai harga diri yang
memberikan informasi cara pemberian MP kurang karena merasa hidupnya hanya
ASI yang tepat dan benar. dukungan social bergantung pada suami, hal ini diperlukan
dapat diberikan oleh masyarakat disekitar suatu dorongan untuk meningkatkan harga diri
tempat tinggal ibu dengan fasilitasi kegiatan ibu bahwa ibu mampu untu memberiakn MP
berupa POSYANDU atau penyuluhan – ASI dengan baik.
penyuluhan yang dilakukan oleh petugas Role attainment ibu dalam kompetensi
pemberian MP ASI adalah pemberian MP-

172
Role Attainment Ibu dalam MP-ASI (Ririn, dkk)

ASI yang sesuai dengan dengan tahapan usia pemberian MP-ASI yang sesuai pada bayi usia
bayi, jenis makanan yang diberikan dan jadwal 6 – 12 bulan. Sedikitnya ibu memperoleh
pemberian makanan pendamping ASI. informasi tentang pola pemberian MP-ASI
Role attainment ibu dalam kompetensi menyebabkan ibu memberikan makanan pendamping
pemberian MP ASI dapat dilihat dari jawaban ASI yang salah yaitu tidak sesuai jenis, jumlah
responden pada kuesioner dimana ibu mulai dan jadwal makan bayi, bahkan ibu cenderung
memberikan makanan pendamping ASI sejak memberikan makanan pendamping ASI secara dini serta
usia 6 bulan dengan mengurangi frekwensi tidak sedikit ibu yang menghentikan pemberian ASI pada
ASI karena bayi sudah kenyang. dan di berikan bayi.
MP ASI dahulu baru ASI. Pemberian
makanan pendamping seperti susu formula, Berat Badan Bayi
bubur sari buah, sayuran dengan bentuk yang
Pertumbuhan adalah bertambahnya
menarik dan sesuai dengan usia bayi. MP-ASI
ukuran sel seluruh bagian tubuh yang bersifat
ini diberikan bersamaan dengan ASII mulai
kuantitatif dan dapat diukur. Pertumbuhan
usia 6 bulan hingga 12 bulan. Seiring
yang naik dapat dilihat dari berat badan bayi
bertambahnya usia bayi, setelah bayi berusia 6
yang mengalami kenaikan jika dibandingkan
bulan, mulai diperkenalkan dengan makanan
dengan berat badan bulan yang lalu (Syamsu
pendamping untuk memenuhi kebutuhan
2012).
gizinya.Pada usia 6 - 9 bulan mulai diperkenanalkan
Sebagian besar bayi yang mengalami
dari yang cair yaitu sari buah, bubur susu nasi
kenaikan berat badan dapat dilihat dari
tim saring kemudian secara bertahap
peningkatan berat badan bayi dibandingkan
diperkenalkan dengan makanan yang
dengan berat badan sebelumnya dengan
bertekstur lebih kasar (semi padat), yaitu nasi
kriteria pertumbuhan/ kenaikan berat badan
tim tanpa disaring.Jenis sayur dan buah yang disarankan:
sama dengan kenaikan berat badan minimal
tomat, wortel, bayam, sawi,cambah, kacang polong,
(KBM) atau lebih (Kementerian Kesehatan
kentang, labu kuning, kacang merah, mangga, blewah,
Republik Indonesia, 2012) sesuai dengan kartu
timun, apokat, apel, papaya, melon Bisa juga
menuju Sehat (KMS). Bayi yang tidak naik
ditambahkan ayam, daging sapi giling, hati
dengan kriteria grafik berat badan mendatar
ayam/sapi, ikan segar tampa duri (salmon,
Atau menurun memotong garis pertumbuhan
kakap, gurami, tuna, tonggkol, lele) tahu,
dibawahnya atau kenaikan berat badan kurang
tempe, dan telur ayam kampung.
dari KBM.
Pemberian MPASI dilakukan di sela-
Pada kelompok usia bayi serng
sela pemberian ASI dan dilakukan secara
mengalami sakit, hal ini disebabkan karena
bertahap pula. Misalnya untuk pertama 1 kali
system kekebalan tubuh bayi sedang
dalam sehari, kemudian meningkat menjadi 3
berkembang dan memerlukan immunisasi dalam
kali dalam sehari. Ibu yang tidak bekerja atau
upaya menimbulkan/meningkatkan kekebalan
ibu rumah tangga menyebabkan responden
terhadap penyakit pada bayi yang sebagian
mempunyai banyak waktu luang dalam
dilakukan dengan route suntikan yang
pemberian MP-ASI, ibu lebih banyak perhatian
berdampak pada bayi akan merasakan tidak
terhadap anaknya seperti memperhatikan jenis makanan
nyaman atau mengalamii peningkatan suhu
yang dikonsumsi dan sangat telaten dalam menyuapi
tubuh. Untuk melawan proses penyakit
anak, selain itu ibu yang tidak bekerja mempunyai banyak
dibutuhkan nutrisi tambahan selain nutrisi
waktu luang untuk mencari informasi dari berbagai media
yang pokok untuk pembentukan sel yang baru.
seperti majalah, tayangan televisi yang berisikan menu
Pada bayi yang sakit biasanya terjadi
atau resep masakan sehingga ibu mempunyai
penurunan nafsu makan yang pada saat itu
pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang menu
akan mempengaruhi perubahan berat badan
makanan yang sesuai dengan usia anak.
yang dratis, setelah bayi melewati masa
Semakin banyak informasi yang didapat
tersebut bayi akan meningkat nafsu makannya.
maka pengetahuan dan pemahaman yang
Pada kelompok usia 6-12 bulan terjadi
dimiliki oleh responden semakin meningkat
perkembangan yang pesat misalnya mulai
(Notoadmodjoo 2010).
melakukan aktifitas berupa miring kanan kiri,
Responden yang belum pernah mendapatkan merangkat duduk, berdiri, berlatih berjalan,
informasi tentang pola pemberian MP-ASI maka memegang, berceloteh, menangis membutuhkan
responden tidak dapat mengerti bagaimana pola nutria yang meningkat dan pada saat ini gigi

173
Jurnal Ners Vol 11 No 2. Oktober 2016:170-175
bayi tumbuh pertama kali yang kadang-kadang ibu bekerja dapat datang ke BPM (bidan
membuat bayi tidak nyaman, sering reweldan Praktek Mandiri) yang ada pada setiap desa
pengalaman pertama bagi bayi untuk untuk memantau kesehatan bayi dan
perubahan jenis makan yang dimasukan lewat memperoleh informasi tentang pengasuhan
mulut membuat bayi harus beradaptasi. Hal pada bayi khususnya pemberian MP ASI.
tersebut biasanya membuat bayi tidak bernafsu Selain itu kegiatan yang digerakan oleh
untuk makan dan akan berdampak pada masyarakat ada kelompok pendukung ASI (KP
perubahan berat badan. Bila fase tersebut ASI) yaitu sekelompok orang berkumpul untuk
sudah dapat dilalui bayi akan meningkat nafsu memberikan dukungan kepada ibu yang
makannya sedang memberikan ASI pada bayinya .
Didalam kegiatan tersebut banyak dilakukan
Role Attainment Ibu dalam Pemberian MP-
penyuluhan kesehatan tentang pengasuhan
ASI dengan Pertumbuhan Bayi Usia 6-12
pada bayi termasuk didalamnya penyuluhan
Bulan
tentang pemberian MP ASI. Apabila ibu lebih
Sebagian besar( 54.2%) role
rajin datang ke pusat pelayanan kesehatan dan
attainment/ pencapaian peran ibu dalam
mengikuti kegiatan di masyarakat yang
kompetensi pemberian MP ASI dalam katagori
berhubungan dengan pengasuhan pada bayi
cukup dengan berat bada dalam katagori tidak
akan berdampak pada pengetahuan yang
naik sebesar 38 responden, tetapi juga sebagian besar (
meningkat yang pada akhirnya akan
53.3%) role attainment/ pencapaian peran ibu dalam
mempengaruhi role attainment ibu menjadi
pemberian MP ASI dalam katagori cukup dengan
baik.
berat badan dalam katagori naik sebesar 32
responden.
SIMPULAN SARAN
Hasil analissis menggunakan uji statistik
didapatkan bahwa ρ = 0,005< 0,05 yang Simpulan
artinya ada hubungan Role attainment ibu
Role attainment ibu dalam kompetensi
dalam kompetensi pemberian MP-ASI dengan
pemberian MP ASI pada bayi yang cukup
pertumbuhan bayi usia 6-12 bulan.
mempengaruhi kenakan berat badan bayi
Nilai pearson correlation sebesar 0,644
Perubahan berat badan bayi selain
sehingga dapat disimpulkan bahwa hubungan
dipengaruhi oleh role attainment dipengaruhi
Role attainment ibu dalam kompetensi
oleh status kesehatan bayi
pemberian MP-ASI dengan pertumbuhan bayi
Semakin baik role attainment ibu dalam
usia 6-12 bulan adalah kuat atau erat dan arah
kompetensi pemberian MP ASI akan semakin
hubungannya positif artinya semakin banyak
baik mempengaruhi kenaikan berat badan bayi
bayi dengan role attainment ibu pemberian
MP-ASI cukup maka pertumbuhan bayi akan
Saran
mengalami kenaikan.
Role attainment/ pencapaian peran ibu Diharapkan Ibu meningkatan role
dalam pemberian MP ASI dalam katagori cukup attainment dengan memperdayakan dukungan
dapat menyebabkan pertumbuhan bayi social yang ada di masyarakat yaitu aktif
mengalami kenaikan berat badan. mengikuti kegiatan POSYANDU, KP ASI
Kompetensi diperlukan dalam role attainment/ Bagi Petugas kesehatan diharapkan
pencapaian peran (Mercer R 2006). Kompetensi mempertahankan dan meningkatkan
merupakan suatu kemampuan ibu dalam melaksanakan penyuluhan tentang pemberian Mp-Asi yang
suatu kegiatan dalam hal ini adalah kompetensi bervariasi sesuai dengan tahapan usia bayi.
pemberian MP ASI. Kompetensi dapat diperoleh
melalui pengalaman sebelumnya, informasi yang benar Bagi Peneliti Selanjutnya, diharapkan
dan dukungan sosial. Pada ibu yang mempunyai bayi di dapat melakukan penelitian untuk bayi sampai
masyarakat yang di fasilitasi oleh Puskesmas umur 24 bulan
dapat mengikuti kegiatan POSYANDU untuk KEPUSTAKAAN
pemantauan kesehatan bayi dan menambah
informasi tentang pengasuhan pada bayi Jatim, D., 2014. Data Status Gizi
khususnya pemberian MP ASI. Ibu bila tidak Berdasarkan Dinkes propinsi Jwa Timur 2014.
mempunyai waktu untuk mengikuti kegiatan Available at: www.dinkes-jatim.go.id
POSYANDU yang diadakan pagi hari Karena [Accessed February 12, 2015].

174
Role Attainment Ibu dalam MP-ASI (Ririn, dkk)

Kim Jihyaongungand K.A.S Wickrama, 2013.


Mother’s Working Status and infant
Develoment: Mediational Procesess.
Journal of Family Issues, xx(x).
M.R Alligo, A.. T., 2006. Nursing Theoritis
and their work edisi 7., Mosby Inc St
Louis Missouri.
Mercer R, W. LO, 2006. A review Of Nursing
Intervention Faster Becoming a Mother,
Departement of Family Health Nursing
in The Univercity of California, USA:
San Fransisco, Burlingame.
Notoadmodjoo, 2010. Metodologi Penelitian
Kesehatan., Jakarta: Rineka Cipta.
Nusalam, 2013. Konsep dan Penerapan
Metodologi Penelitian Iimu
Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika.
RI, D., 2013. No Title, Jakarta: Depkes.
Riksani, 2012. Gambaran Pengetahun Ibu yang
Memberikan MP-ASI Pada Bayi Kurang
Dari 6 Bulan. Available at: www.google-
cendekia.com [Accessed February 12,
2015].
Septiana, 2009. Hubungan Antara Pola
Pemberian Makanan Pendamping ASI
(MP-ASI) dan Status Gizi Balita Usia 6-
24 bulan di Wilayah Kerja Puskesmas
Gedongtengen Yogyakarta. Available at:
www.googlecendekia.com.
Setiadi, 2013. Metodelogi Penelitian
Kesehatan, Jakarta: EGC.
Soekirman, 2010. Ilmu Gizi dan Aplikasinya
Untuk Keluarga dan Masyarakat,
Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Syams, 2012. Psikologi Perkembangan.,
Jakarta: EGC.
Yogi, 2014. Pengaruh Pola Pemberian ASI dan
Pola Makanan Pendamping ASI
Terhadap Status Gizi Bayi Usia 6-12
bulan. Available at: www.google-
cendekia.com [Accessed February 12,
2015].

175
KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PADA PASIEN DIABETES MELLITUS TIPE 2
DI PUSKESMAS MULYOREJO SURABAYA
(Psychological Well Being In Type 2 Diabetes Mellitus Patients In Mulyorejo Public
Health Center Surabaya)

Rr Dian Tristiana*, Kusnanto*, Ika Yuni Widyawati*, Ah Yusuf*, Rizki Fitryasari*


Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, Surabaya, Indonesia
Email: diantristiana@fkp.unair.ac.id

ABSTRAK
Pendahuluan: Hidup dengan penyakit kronis seperti diabetes mellitus tipe 2 akan membuat pasien mengalami perubahan
atau ketidakseimbangan antara biologis, psikologis, sosial dan spiritual. Salah satu aspek psikologi pada pasien dengan
Diabetes mellitus tipe 2 adalah kesejahteraan psikologis (PWB). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi
deskripsi PWB pada pasien tipe 2 Diabetes mellitus dalam enam aspek PWB dan PWB memfasilitasi dan faktor penghambat
pada pasien DM tipe 2. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif pendekatan studi kasus. Subjek
penelitian adalah 7 peserta yang memenuhi kriteria inklusi. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terstruktur dan
observasi. Analisis data dilakukan dengan analisis tematik. Hasil dan Analisis Penelitian ini dihasilkan 14 tema. Hasil: Hasil
penelitian menunjukkan bahwa proses pasien DM tipe 2 mengalami proses transisi dari kondisi sehat dalam kondisi sakit.
Proses transisi dimulai dengan respon kehilangan siklik yang mempengaruhi tipe 2 DM pasien untuk kontrol diri dan
membuat hak pengambilan keputusan untuk perawatan diri. Pengendalian diri akan membuat tipe 2 pasien DM mampu
beradaptasi dan terlibat dengan pengalaman baru yang menjadi kebiasaan baru untuk tipe 2 pasien DM dan akan
memfasilitasi tipe 2 pasien DM dalam beradaptasi dengan lingkungan internal dan eksternal dan membuat pasien DM tipe 2
memiliki harapan positif dalam hidup mereka. Diskusi: Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi staf kesehatan profesional
untuk membuat penilaian tentang PWB di DM tipe 2 pasien, perawat diharapkan dapat membantu pasien dalam transisi
dengan kondisi DM tipe 2.
Kata kunci: psikologis kesejahteraan, tipe 2 Diabetes mellitus, kualitatif

ABSTRACT
Introduction: Living with chronic diseases such as Diabetes mellitus type 2 will make patients experience change or
imbalance include biological, psychological, social and spiritual. One of psychology aspects in patients with Diabetes
mellitus type 2 is psychological well being (PWB). The purpose of this research was to explore the description of PWB in
patients of type 2 Diabetes mellitus in six aspects of PWB and PWB facilitate and inhibitor factors in type 2 DM patients.
Methods: This research used qualitative design research with case studies approach. The subject of research was seven
participants who met the inclusion criteria. Data collection was done by structured interview and observation. Data analysis
was done by thematic analysis. Results: This study generated 14 themes. The result showed that the process of type 2 DM
patients subjected to the process of transition from a healthy condition into ill condition. The transition process started with
cyclic lose response which influence type 2 DM patient to self control and make a right decision-making to self care. Self-
control would make type 2 DM patients able to adapt and engage with new experiences that become a new habit for type 2
DM patients and will facilitate type 2 DM patients in adapting to the internal and external environment and make type 2 DM
patients have a positive hope in their life. Discussio: finding in this study would hopefully be beneficial for professional
health staff to make assessment about PWB in type 2 DM patients, nurse hopefully can assist patients in transition with the
condition of type 2 DM.
Key words: psychological well being, type 2 Diabetes mellitus, qualitative
_______________________________________________________________________________

PENDAHULUAN meliputi biologi, psikologi, sosial dan spiritual pasien


serta memberikan dampak pada kehidupan keluarga
Diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu
pasien (WHO, 2014).
penyakit kronis dengan angka kejadian tinggi dimana
Variabel psikologis merupakan hal yang
WHO memperkirakan penyakit DM akan menjadi
penting karena kepercayaan akan kesehatan,
epidemi global pada abad 21 dan 70% kasus DM ada di
pengetahuan dan perilaku pada pasien DM akan
negara-negara berkembang (Tol et al., 2013) termasuk
mempengaruhi pasien DM dalam mengontrol
diantaranya adalah negara Indonesia. Diagnosa DM tipe
penyakitnya (Miley, 1999). Hasil wawancara
2 serta banyaknya perawatan yang dilakukan akan
yang dilakukan pada 18 April 2014 di
menimbulkan perubahan atau ketidakseimbangan yang
puskesmas Mulyorejo, didapatkan bahwa 3 dari
147
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 147-156

4 pasien menyatakan bahwa pasien jenuh penanganannya. Hidup dengan DM berarti beradaptasi
dengan rutinitas yang mereka lakukan sehingga dengan kondisi DM, mengembangkan pola dan
menyebabkan pasien tidak patuh dengan pola beradaptasi dengan perubahan.
diet dan aktivitas fisik yang dilakukan. Dua Psychological well being yang positif
orang pasien mengatakan putus asa dengan tidak muncul dengan sendirinya pada pasien
penyakit DM yang diderita, terkadang tidak DM tipe 2. Banyak faktor yang mempengaruhi
mau makan karena takut dengan komplikasi kondisi PWB pasien DM tipe 2. Respon
yang akan terjadi. Seorang pasien mengatakan psikologis pasien DM tipe 2 merupakan hal
mengurangi aktivitas berkumpul dengan teman- yang subyektif dan unik sesuai pengalaman
temannya. Seorang pasien masih belum mau individu. Proses transisi tiap individu juga
menerima jika dirinya terkena DM. merupakan hal yang subyektif, oleh sebab itu
Perawatan jangka panjang yang harus peneliti perlu untuk menggunakan penelitian
dijalani pasien DM sangat sulit dikontrol secara kualitatif untuk menggali PWB pada pasien
efektif, sehingga sangat penting memperhatikan DM tipe 2 serta faktor apa saja yang
aspek psikologis selain aspek fisik pasien DM mempengaruhi PWB pada pasien DM tipe 2.
tipe 2. Psychological Well Being (PWB)
merupakan salah satu bagian dari area psikologi BAHAN DAN METODE
positif umum yang disebut sebagai subjective
Peneliti ingin mengeksplorasi kondisi
well being (SWB) yang merupakan suatu
PWB pada pasien DM tipe 2 dari subyektivitas
ukuran berfungsi secara positif dalam tingkat
partisipan yang menderita DM tipe 2.
individu. Pasien DM tipe 2 yang memiliki PWB
Pengalaman partisipan bersifat unik sesuai
yang rendah akan berakibat pada rendahnya
dengan karakteristik partisipan sehingga tidak
tingkat perawatan diri (self care) (Peyrot et al.,
dapat digambarkan secara kuantitatif. Penelitian
2005). Tingkat perawatan diri yang rendah akan
ini menggunakan metode kualitatif dengan
mengakibatkan peningkatan terjadinya komplikasi
pendekatan case study.
(Davis, 2010; Kusnanto, 2013). Menurut WHO,
Alat bantu pangambilan data penelitian
Psychological Well Being adalah sebuah appraisal
pada penelitian kualitatif dengan pendekatan
subyektif fungsi seorang individu dalam realisasi-
studi kasus ini sebagai berikut: pedoman
diri (Keyes, 2013). Psychological Well Being
wawancara, catatan lapangan/field note (mencatat data yang
(PWB) merupakan salah satu bagian dari area
didapatkan ketika wawancara): seperti ekspresi partisipan
psikologi positif umum yang disebut sebagai
dan lainnya dan recorder/perekam berupa voice recorder.
subjective well being (SWB) yang mana
Panduan wawancara pada penelitian ini
merupakan suatu ukuran berfungsi secara
dikembangkan dari teori psychological well
positif dalam tingkat individu. Pengukuran
being dari Ryff dan berpedoman pada teori
PWB akan memberikan petunjuk mengenai apa
transisi Meleis.
yang sedang terjadi pada pasien dalam
Pengambilan data dengan metode
mengelola penyakitnya dan memberikan
triangulasi yaitu wawancara dan observasi.
gambaran pada petugas kesehatan tentang cara
Subyek penelitian yang menjadi partisipan
pendekatan kepada pasien dalam meningkatkan
sesuai dengan kriteria inklusi penelitian dan
kontrol (Miley, 1999).
diambil secara snowball sampling.
Konsep transisi memiliki kaitan yang erat
Tahapan analisis data pada penelitian ini
dengan kesehatan dan well being karena
menggunakan metode Colaizzi (1978) dalam
mencakup adaptasi proses psikologis yang
(Streubert & Carpenter, 2003).
harus dilakukan oleh pasien (Meleis, Sawyer,
Im, Messias, & Schumacher, 2000). Transisi
HASIL
dari kondisi sehat ke kondisi sakit pada pasien
DM tipe 2 diperlukan untuk keberhasilan Penelitian ini menghasilkan 14 (empat
manajemen diri pasien DM tipe 2 (McEwen, belas) tema yang dijabarkan sesuai tujuan
Baird, Pasvogel, & Gallegos, 2007). Proses penelitian. Gambaran kesejahteraan psikologis
transisi tersebut telah dijelaskan oleh Kralik et pasien Diabetes meliitus tipe 2 dapat
al (2004) dalam (Jutterstrom, 2013) sebagai digambarkan dari tema respons kehilangan,
sebuah proses yang harus dialami individu kontrol/kendali diri, pengambilan keputusan,
untuk mencapai keseimbangan dalam penyesuaian diri, keterlibatan, adaptasi
memaknai kehidupan dan pada waktu yang lingkungan, kemampuan berhubungan dengan
sama mengalami dampak dari penyakit dan orang lain dan kesembuhan. Faktor yang

148
Kesejahteraan Psikologis Pasien DM Tipe 2 (Rr. Dian, dkk)

mempengaruhi kondisi kesejahteraan psikologi “…saya makan pokoknya saya kalo di


pasien Diabetes mellitus tipe 2 dapat mantenan gitu saya nggak pernah ngambil
digambarkan melalui tema dukungan sosial, mbak…” (P2)
sumber informasi, pengetahuan, sikap, persepsi “…. suami saya tak kasih tahu kamu
dan kepercayaan/keyakinan, ketersediaan kalo pengen njajan gak popo titipo aku tak
sumber daya pribadi, dan layanan kesehatan. nganu aku tak gak, punya panganan sego
jagung tak urap kelopo saya gitu gak pa pa
Penerimaan diri daripada saya sakit mbak jadi saya legowo….”
(P1)
Tema 1: Respon Kehilangan
“…..kadang menerima kadang kalo
Hubungan Positif dengan Orang Lain
waktu pas rodok rodok galau yo gitu cik enakee
(Positive relation with other)
orang yang nggak berpenyakit….” (P7)
“….dijalani saja mbak…hidup mati kan Tema 7: Hubungan dengan orang lain
takdir allah…” (P4) “…… sekarang tambah semangat
Otonomi (Autonomy) (kegiatan di luar rumah)……” (P2)
Tema 2: Kendali/kontrol pribadi “….kadang gitu heem menyesuaikan
“iya saya ngatur sendiri (diet)….” (P1) heem kalau pas endak gitu (hubungan seks) ya
“…….daripada ngobatin mending saya gulanya bagus gitu ya anu santai gitu,
nggak makan (makanan yang dilarang dokter) pokoknya kudu nyadar…..” (P1)
wis….” (P3)
“…….kalo bisa saya menjaga sampai
Tujuan Hidup (Purpose of life)
akhir hayat saya kalo bisa dijaga….” (P4)
Tema 3: Pengambilan keputusan Tema 8: Harapan
“…….saya sendiri sebagai pelakunya “….… aku tak diet supoyo engko sampe
saya kan yang tahu diri saya yang lebih saya iso jalan-jalan maneh karo cucu ambek anak
sendiri… (berkaitan dengan perawatan)…” gitu…” (P1)
(P1)
Faktor Pendorong dan Penghambat
“….… daripada saya mengobati itu lebih lebih
baik saya taat…” (P3) Tema 9: Dukungan social
“….tambah anak anak ini tambah buk
Pertumbuhan pribadi (Personal growth) ati ati lho yo iyo hehehe…malah makan ati ati
Tema 4: Penyesuaian diri buk biar sehat iya anak anak begitu,…” (P1)
“…trus sekarang saya pegang “…dokter nah saya itu dah semangat
pokoknya saya kalo makan gini tu gitu jadi saya semangat hidup harus terus saya itu wis
trus tak buat kunci gitu lho mbak, heheh...kunci ak…saya kalo terasa itu tho ibu ndak boleh
tak buat kunci oo berarti aku sekarang sudah (mengibaskan tangan) kepikiran begitu, orang
lain mungkin…” (P1) hidup harus semangat ininya…” (P3)
“….makan gorengan orang yang jual itu “…Cuma mengingatkan bu ati-ati..” (P2)
tapi yo tetep aja nyamilnya itu saya nggak bisa “…… setiap bulan tu ada yang mbantu
dok saya lebih baik ndak makan pokoknya lebih susu ituuu diabetes yang satu bantu anlene….”
baik meninggalkan makan daripada (P4)
meninggalkan nyamilnya itu aku bilang gitu…”
(P7) Sumber Informasi
Tema 5: keterlibatan Tema 10: Sumber informasi
“….diibaratkan kayak ikut KB aja kalo “…dokter, heem, dokter,… (informasi
saya ikut KB kan setiap hari (minum obat), oo yang diperoleh)” (P1)
gitu,…” (P4) “….ahli gizi di puskesmas itu suruh
“…..dari dulu saya tetap gak bisa makan ini lho apa sego jaguung sego jaguung
merubah pola makan….” (P7) sudah ya….” (P2)
Penguasaan Lingkungan (Environment
mastery) Pengetahuan
Tema 6: Adaptasi Lingkungan Tema 11: Pengetahuan
“…Makannya itu kalo peraturannya tujuh
sendok , jadi kalo pagi ya pagi jam umpamanya
149
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 147-156

saya sarapan jam tujuh ya lima jam jadi PEMBAHASAN


delapan Sembilan sepuluh (menghitung
menggunakan tangan) sepuluh ini snak, heemm Respons Kehilangan
jadi nggak boleh makan snek snek lain, jadi nek
Penelitian ini menemukan bahwa tahapan
kalo sudah sarapan ya jam tujuh ya jam
pada respons kehilangan mulai terjadi saat
sepuluh itu makan roti apa makan apa gitu kalo
pasien mendengar diagnosa penyakit DM tipe 2.
buah mungkin habis makan nasi nggak pa pa
Tahapan atau fase dari kehilangan ini
heem tapi sneknya tiga jam sesudah itu tiga jam
teridentifikasi terdiri dari lima tahap yaitu
ya jadi jam tujuh ya lapan Sembilan sepuluh
menyangkal, marah, menawar, depresi dan
sebelas dua belas lima jam ini makan lagi tapi
menerima. Tahapan ini sama dengan tahapan
minum obat dulu heem gitu…” (P1)
proses kehilangan yang dikembangkan oleh
Sikap, Persepsi dan Kepercayaan (Kubbler-Ross, 2005) yang terdiri dari lima
Komitmen tahap. Partisipan tujuh telah berada dalam fase
penerimaan, namun belum mengakhiri respon
Pada sub tema komitmen, partisipan
kehilangan pada tahap menerima namun
menyampaikan komitmennya dalam melakukan
perasaan tersebut kembali dirasakan oleh
perawatan yang diungkapkan melaui transkrip
partisipan kembali yaitu pada tahap tawar
wawancara di bawah ini:
menawar.
“…jadi apapun pokoknya saya
Partisipan tujuh mengalami masalah yang
jalankan perintahnya dokter saya diet gitu
berkaitan dengan kondisi penyakitnya. Temuan
aja…” (P1)
penelitian ini sejalan dengan penelitian Blaska
“…jangan sampe sakit lagi jangan
(1998) dalam (Fitryasari, 2009) tentang “model
sampe makan makanan yang menimbulkan
siklus berduka”, yaitu suatu model dimana
sakit....” (P3)
mengalami perasaan berduka sesaat namun
Hal yang sulit dipatuhi
terus berulang. Mallow dan Betchel (1999)
“…….orang diabetes itu ya emang
dalam Collins (2008) juga menyatakan hal yang
gejalanya tidak bisa untuk mengendalikan diri
sama yaitu merupakan bentuk berduka kronis,
dalam hal makan itu ya iya kalo makan makan
yaitu perasaan berduka yang dialami secara
yang biasa tu utuh nggak tak jamah aku yo
pervasif, permanen, berulang dan terus dialami
ngombe es teh halah es teh apa malah malah
sepanjang masa. Hal ini sejalan dengan
penyakit tapi kalo enak enak es teller
penelitian (Nash, 2014) yang menunjukkan
apa…makan akuu yaa percuma ngombe gak
bahwa proses kehilangan berlangsung seumur
enak nggarai penyakit lah sing enak sisan gitu
hidup, pasien yang didiagnosa DM tipe 2 dapat
aku…” (P5)
kembali lagi pada tahapan sebelumnya, terjebak
Strategi meningkatkan kesehatan pada tahapan menyangkal maupun tahapan
“…diminumi atau kadang itu minum itu lainnya. Partisipan yang masih belum ke
lho mahkota dewa itu bisa, bisa turun…” (P6) tahapan penerimaan masih memiliki tingkat
perawatan diri yang rendah. Hal ini sejalan
Ketersediaan Sumber Daya Pribadi dengan penelitian (Schmitt et al., 2014) yang
“…saya sakit itu langsung beli alatnya menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat
saya cek sendiri…” (P6) penolakan diagnosa Diabetes mellitus tipe 2
“…didukung kalo misalnya saya minta berkaitan erat dengan koping yang rendah,
cek up gitu ya dikasih uang Sembilan ratus penurunan tingkat perawatan diri, peningkatan
tujuh ratus tapi gak mau mengantar…” (P4) distres DM tipe 2 dan penurunan kontrol
glikemik.
Layanan kesehatan
“…dokter umum…” (P2) Kontrol Pribadi
“…dokter spesialis…” (P3)
“….ke puskesmas…” (P7) Martin dan Pear (1999) menjelaskan
“….apotek…” (P1) bahwa kontrol diri adalah ketika individu
“…rumah sakit…” (P4) melakukan upaya tertentu yang dapat
mengatur lingkungan sekitarnya untuk
mengarahkan konsekuensi perilakunya sendiri.
Kendali diri diartikan sebagai pengaturan diri

150
Kesejahteraan Psikologis Pasien DM Tipe 2 (Rr. Dian, dkk)

dalam berperilaku (Ningrum & Hasanat, 2010). tingkat usaha dalam pengambilan keputusan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kontrol dalam melakukan suatu perilaku (Evans et al.,
diri yang rendah berhubungan dengan 2011).
penurunan tingkat kepatuhan terhadap aktivitas
dan diet (Hagger, Panetta, Leung, & G.Wang,
Penyesuaian Diri
2013).
Hasil penelitian (Basyiroh, 2011) Menurut White dalam (Bharatasari,
menunjukkan bahwa pasien dengan kontrol diri 2008), penyesuaian diri atau disebut juga
yang baik cenderung lebih mampu mematuhi adaptasi adalah proses penyesuaian terhadap
pengobatan. Empat partisipan mampu suatu perubahan. Penyesuaian diri pasien DM
mengontrol dirinya dalam hal diet sedangkan tipe 2 yang efektif terukur dari seberapa baik
ketiga partisipan cenderung tidak mampu seseorang mengatasi perubahan yang terjadi
mengontrol dirinya sehingga tidak mampu dalam hidupnya. Menurut Haber dan Runyon
mengatur diet yang dianjurkan. Hal ini sejalan dalam (Hasibuan, 2010), penyesuaian diri yang
dengan hasil penelitian yang telah dilakukan efektif adalah dengan menerima keterbatasan
Hagger et al (2013) dan Basyiroh (2011). yang tidak bisa berubah dan secara aktif
memodifikasi keterbatasan yang masih bisa
Pengambilan Keputusan diubah. Keterbatasan yang tidak bisa diubah
pada pasien DM tipe 2 adalah kondisi penyakit
Pasien DM tipe 2 yang memiliki kontrol
DM tipe 2 yang diderita. Pasien DM tipe 2
diri maka pengambilan keputusannya juga
harus melakukan penyesuaian diri yang bisa
positif hal ini sesuai dengan penelitian
diubah seperti melakukan perubahan pola
sebelumnya dimana kontrol diri mempengaruhi
makan, aktivitas, obat, kontrol serta perawatan
tingkat usaha dalam pengambilan keputusan
lain sesuai dengan yang dianjurkan dalam
dalam melakukan suatu perilaku (Evans, Dillon,
perawatan diri pasien DM tipe 2.
Goldin, & Krueger, 2011).
Tahapan pengambilan keputusan menurut
Keterlibatan
Simon (1980) dalam Kadarsah (2002) terdiri
dari empat tahap yaitu: (1) Intelligence, tahap Perubahan dalam identitas, peran,
ini merupakan proses penelusuran dan hubungan, kemampuan dan pola perilaku
pendeteksian dari lingkup problematika serta diharapkan membawa ke dalam perubahan
proses pengenalan masalah; (2) Design, tahap proses internal sama halnya dengan proses
ini adalah proses menemukan, mengembangkan, dan eksternal (Tomey & Alligood, 2010). Partisipan
menganalisis alternatif tindakan yang bisa yang sudah terlibat dengan perubahan perilaku
dilakukan. Tahap ini meliputi proses untuk yang baru menganggap perubahan tersebut
mengerti masalah, menurunkan solusi, dan sebagai suatu kebiasaan baru. Hal ini sejalan
menguji kelayakan solusi, (3) Choice, tahap ini dengan hasil penelitian (Graffigna, Barello,
dilakukan proses pemilihan diantara berbagai Libreri, & Bosio, 2014) yang menyatakan
alternatif tindakan yang mungkin akan bahwa keterlibatan (engagement) memainkan
dijalankan. Tahap ini meliputi pencarian, peran penting dalam meningkatkan perilaku
evaluasi, dan rekomendasi solusi yang sesuai kesehatan dan keluaran klinis.
untuk model yang telah dibuat; (4) Penyesuaian diri pasien DM tipe 2 yang
Implementation, tahap ini adalah tahap efektif terukur dari seberapa baik seseorang
pelaksanaan dari keputusan yang telah diambil. mengatasi perubahan yang terjadi dalam
Pada tahap ini diperlukan untuk menyusun hidupnya. Menurut Haber dan Runyon dalam
serangkaian tindakan yang terencana, sehingga Hasibuan (2010), penyesuaian diri yang efektif
hasil keputusan dapat dipantau dan disesuaikan adalah dengan menerima keterbatasan yang
apabila diperlukan perbaikan. tidak bisa berubah dan secara aktif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua memodifikasi keterbatasan yang masih bisa
partisipan sudah dalam tahap implementasi diubah. Keterbatasan yang tidak bisa diubah
yaitu dengan menerapkan perawatan diabetes. pada pasien DM tipe 2 adalah kondisi penyakit
Pasien DM tipe 2 yang memiliki kontrol diri DM tipe 2 yang diderita. Pasien DM tipe 2
yang baik maka pengambilan keputusannya harus melakukan penyesuaian diri yang bisa
juga positif hal ini sesuai dengan penelitian diubah seperti melakukan perubahan pola
sebelumnya dimana kontrol diri mempengaruhi makan, aktivitas, obat, kontrol serta perawatan

151
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 147-156

lain sesuai dengan yang dianjurkan dalam Kondisi transisi adalah keadaan yang
perawatan diri pasien DM tipe 2. mempengaruhi cara seseorang melalui sebuah
proses transisi. kondisi transisi ini diartikan
Adaptasi Lingkungan sebagai faktor pendorong dan penghambat
proses transisi. Kondisi transisi ini mencakup
Seseorang yang sehat dapat mengenali
faktor personal, faktor komunitas, atau faktor
kebutuhan personalnya dan juga merasa mampu
sosial yang mungkin memfasilitasi atau
untuk berperan aktif dalam mendapatkan apa
menghambat proses transisi dan hasil yang
yang diinginkan dari lingkungannya (Keyes,
sehat. Dalam penelitian ini didapatkan faktor
2005). Partisipan dengan penguasaan
internal dan eksternal seperti dukungan sosial,
lingkungan yang negatif cenderung tidak
sumber informasi, pengetahuan, sikap, nilai dan
mampu berperan aktif dalam mendapatkan apa
keyakinan, ketersedian sumber daya pribadi,
yang diinginkan, partisipan cenderung
dan layanan kesehatan. Indikator hasil yang
mengikuti lingkungannya. Pasien DM tipe 2
akan dicapai berupa kondisi PWB yang baik
harus mampu mengatur lingkungan internal dan
yang diartikan sebagai pencapaian suatu
eksternal agar dapat mendukung perawatan diri
keterampilan peran dan kenyamanan dengan
terkait penyakit DM tipe 2 yang diderita.
perilaku yang diperlukan dengan situasi yang
Hubungan dengan Orang Lain baru . Keperawatan terapeutik yang diharapkan
(Ryff, 1989) menggambarkan individu dalam penelitian ini yaitu kemampuan perawat
yang memiliki hubungan yang positif dengan dalam pengkajian kesiapan dan persiapan
orang lain sebagai individu yang memiliki proses transisi pasien DM tipe 2.
hubungan yang hangat, memuaskan, dan saling Dukungan sosial merupakan bentuk
percaya satu sama lain, memperhatian interaksi antar individu yang memberikan
kesejahteraan orang sekitarnya, mampu kenyamanan fisik dan psikologis melalui
berempati dan mengasihi serta terlibat dalam terpenuhinya kebutuhan akan afeksi serta
hubungan timbal balik. Relasi yang positif keamanan. Hasil penelitian Yuan et al (2009)
dengan orang lain juga menyatakan adanya dalam (Antari, Rasdini, & Triyani, n.d.)
kepuasan terhadap kontak sosial dan relasi Dukungan sosial dapat berperan meningkatkan
(Keyes, 2005). kualitas hidup pada penderita Diabetes mellitus
Kemampuan berhubungan dengan orang tipe 2 dengan meregulasi proses psikologis dan
lain tidak berkaitan dengan diagnosa DM tipe 2. memfasilitasi perubahan perilaku. Bentuk-
Partisipan tetap mampu berhubungan dengan Bentuk Dukungan Sosial menurut Sarafino
orang lain walaupun terjadi perubahan emosi (2002) dalam (Pudner, 2005) yaitu: 1)
yang dirasakan seperti yang diungkapkan oleh Dukungan emosional yang mencakup ungkapan
partisipan dua dan tujuh. Rasa cepat marah dan empati, kepedulian dan perhatian terhadap
tidak mampu mengendalikan diri setelah orang yang bersangkutan. Dukungan emosional
didiagnosa DM tipe 2 diungkapkan oleh merupakan ekspresi dari afeksi, kepercayaan,
partisipan tujuh, namun partisipan masih bisa perhatian, dan perasaan didengarkan. Kesediaan
berhubungan baik dengan orang lain. Kondisi untuk mendengar keluhan seseorang akan
hubungan dengan orang lain, adanya konflik memberikan dampak positif sebagai sarana
dan masalah antara pasien DM tipe 2 dengan pelepasan emosi, mengurangi kecemasan,
orang lain yang mempengaruhi pasien DM tipe membuat individu merasa nyaman, tenteram,
2 dalam melakukan perawatan diri. diperhatikan, serta dicintai saat menghadapi
berbagai tekanan dalam hidup mereka;
Harapan 2)Dukungan instrumental mencakup bantuan
Seligman (2005) dalam (Maghfirah, langsung, dapat berupa jasa, waktu, atau uang.
2013) menyatakan bahwa optimisme dan Misalnya pinjaman uang bagi individu atau
harapan memberikan daya tahan yang lebih baik menghibur saat individu mengalami stres.
dalam menghadapi depresi ketika musibah Dukungan ini membantu individu dalam
terjadi di masa depan. Individu dikatakan melaksanakan aktivitasnya; 3) Dukungan
memiliki tujuan dalam hidup dan perasaan informatif mencakup pemberian nasehat,
terarah, merasakan makna dan tujuan dari petunjuk-petunjuk, saran-saran, informasi atau
kehidupan yang sedang dan telah dilaluinya umpan balik. Dukungan ini membantu individu
serta mempunyai tujuan hidup. mengatasi masalah dengan cara memperluas
wawasan dan pemahaman individu terhadap

152
Kesejahteraan Psikologis Pasien DM Tipe 2 (Rr. Dian, dkk)

masalah yang dihadapi. Informasi tersebut Ketersediaan Sumber Daya Pribadi


diperlukan untuk mengambil keputusan dan
(Cumming & Mays, 2011) mengungkapkan
memecahkan masalah secara praktis. Dukungan
bahwa kemampuan individu membayar biaya
informatif ini juga membantu individu
pelayanan dan pemeliharaan kesehatan akan
mengambil keputusan karena mencakup
mempengaruhi bagaimana mereka menggunakan
mekanisme penyediaan informasi, pemberian
pelayanan kesehatan. Penelitian serupa juga
nasihat, dan petunjuk; 4) ukungan persahabatan
sejalan dengan (Clark & Utz, 2014) yang
mencakup kesediaan waktu orang lain untuk
menyatakan bahwa biaya berkaitan dengan
menghabiskan waktu atau bersama dengan
manajemen diabetes yang dilakukan oleh pasien
individu, dengan demikian akan memberikan
DM tipe 2.
rasa keanggotaan dari suatu kelompok yang
saling berbagi minat dan melakukan aktivitas
Layanan Kesehatan
sosial bersama.
Beberapa alasan memilih layanan kesehatan
Sumber Informasi adalah dari faktor biaya, kelengkapan sarana
pemeriksaan dan jarak tempuh serta keramahan
Peran sumber informasi adalah meningkatkan
petugas kesehatan. Komunikasi antara pasien
pengetahuan pasien. Pengetahuan dan informasi
dengan petugas kesehatan juga mempengaruhi
dapat memotivasi pasien untuk mencari
pemilihan sarana kesehatan oleh pasien DM
perawatan yang tepat dan menginspirasi pasien
tipe 2.
melakukan sesutau yang berkaitan dengan penyakitnya
(Kiberenge, Ndegwa, & Muchemi, 2010).
Integrasi Hasil Penelitian pada Model Teori
Transisi Meleis
Sikap, Persepsi dan Kepercayaan
Transisi dari kondisi sehat ke kondisi sakit akan
Green dalam Nursalam (2013) menjelaskan
mempengaruhi pasien Diabetes mellitus tipe 2.
faktor-faktor predisposisi merupakan faktor internal
Suatu proses transisi dipengaruhi oleh faktor
yang ada pada diri individu, keluarga, kelompok atau
pendorong dan faktor penghambat dalam
masyarakat yang mempermudah individu untuk
transisi itu sendiri. Suatu proses transisi diawali
berperilaku yang terwujud dalam pengetahuan,
dengan tipe dan pola transisi, dimana dalam
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan
penelitian ini diartikan sebagai perubahan dari
norma.
kondisi sehat dan sakit yaitu diagnosa penyakit
Kegagalan untuk mematuhi seharusnya
DM tipe 2. Perubahan tersebut menyebabkan
tidak semata mata disalahkan pada pasien,
suatu respons terhadap kondisi transisi yaitu
karena kepatuhan adalah produk dari perilaku
suatu respons kehilangan kondisi sehat dimana
dalam kaitannya dengan pengobatan, perilaku
setiap orang memiliki respons yang berbeda.
penyedia perawatan kesehatan, serta kondisi
Kondisi transisi adalah keadaan yang
lingkungan dimana pasien dan penyedia bekerja
mempengaruhi cara seseorang melalui sebuah
secara individual dan bersama sama. Kepatuhan
proses transisi. kondisi transisi ini diartikan
harus dilihat sebagai akhir produk dari
sebagai faktor pendorong dan penghambat
hubungan yang dibangun atas hormat,
proses transisi. Kondisi transisi ini mencakup
partisipasi aktif dan kemitraan antara pasien dan
faktor personal, faktor komunitas, atau faktor
perawatan kesehatan professional, yang tidak
sosial yang mungkin memfasilitasi atau
melibatkan paksaan atau manipulasi dari salah
menghambat proses transisi dan hasil yang
satu pihak (Melastuti, 2013). Kamaluddin
sehat. Dalam penelitian ini didapatkan faktor
(2009) juga menjelaskan ada beberapa faktor
internal dan eksternal seperti dukungan sosial,
yang bisa mempengaruhi kepatuhan pasien
sumber informasi, pengetahuan, sikap, nilai dan
diantaranya faktor pendidikan, konsep diri,
keyakinan, ketersedian sumber daya pribadi,
pengetahuan pasien, keterlibatan tenaga
dan layanan kesehatan. Indikator hasil yang
kesehatan dan keterlibatan keluarga. Diperlukan
akan dicapai berupa kondisi PWB yang baik
kerja sama antara pasien, keluarga dan tenaga
yang diartikan sebagai pencapaian suatu
kesehatan untuk tetap memberikan dukungan
keterampilan peran dan kenyamanan dengan
kepada pasien agar pasien mempunyai motivasi
perilaku yang diperlukan dengan situasi yang
dalam meningkatkan kepatuhan.
baru . Keperawatan terapeutik yang diharapkan
dalam penelitian ini yaitu kemampuan perawat

153
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 147-156

dalam pengkajian kesiapan dan persiapan perawatan diri merupakan suatu proses
proses transisi pasien DM tipe 2. penyesuaian diri dimana pasien secara bertahap
akan terlibat. Petugas kesehatan juga sebaiknya
SIMPULAN DAN SARAN mengkaji prioritas seseorang dan menemukan
cara agar prioritas itu dapat sejalan dengan
Pasien dengan DM tipe 2 akan mengalami proses
perawatan diri yang akan dilakukan oleh pasien
transisi dari kondisi sehat ke kondisi sakit yang akan
DM tipe 2.
mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya. Sejak awal
Pendidikan ilmu keperawatan diharapkan
mengetahui diagnosa terkena DM tipe 2, pasien
mampu memanfaatkan hasil penelitian ini
DM tipe 2 akan mengalami respons kehilangan
sebagai topik bahasan dalam kelas maupun
melalui lima tahapan yaitu menyangkal, marah,
praktik di masyarakat secara langsung. Proses
menawar, depresi dan menerima. Perasaan
transisi diperlukan oleh pasien dengan penyakit
kehilangan ini kembali terjadi secara fluktuatif
kronis yaitu DM tipe 2 untuk mencapai kondisi
dan berulang meskipun pasien DM tipe 2 telah
pencapaian penuh dan keterampilan yang
mencapai tahapan menerima yaitu pada saat
optimal. Perawat dapat mengembangkan
pasien DM tipe 2 menemui suatu keadaan yang
pendekatan psikologis pada pasien yang baru
menyebabkan kembali perasaan kehilangan
didiagnosa DM tipe 2 serta mendampingi
tersebut.
proses transisi hingga pasien DM tipe 2 dapat
Pasien dengan DM tipe 2 dalam mencapai kondisi
mandiri melakukan perawatan diri.
PWB yang positif dipengaruhi oleh faktor internal
Peneliti disarankan juga menggali lebih
dan faktor eksternal. Faktor internal berupa
jauh lagi hubungan antara penerimaan diri
pengetahuan, sikap, nilai dan kepercayaan,
pasien DM tipe 2 dengan kontrol diri, proses
ketersediaan sumber daya pribadi. Faktor
aktivasi pasien DM tipe 2 hingga terjadi
internal ini berasal dari diri pasien DM tipe 2
engagement perawatan diri, dimensi-dimensi
sendiri serta dari keluarga. Faktor eksternal
engagement pada pasien DM tipe 2, waktu yang
berupa dukungan sosial, sumber informasi, dan
diperlukan pasien DM tipe 2 untuk melalui
layanan kesehatan.
tahapan kehilangan, melakukan adaptasi dengan
Secara umum dapat disimpulkan, bahwa
perilaku baru, waktu yang diperlukan pasien
seluruh tema yang didapat dari penelitian ini
DM tipe 2 dalam proses engagement, perceived
dapat dijelaskan dalam teori transisi Meleis.
support yang dirasakan oleh pasien DM tipe 2
Seseorang yang didiagnosa penyakit DM tipe 2
terhadap kondisi PWB dan kepatuhan
memerlukan suatu proses transisi agar mencapai
mengikuti perawatan diri.
suatu keterampilan peran dan kenyamanan
Metodologi penelitian yang telah
dengan perilaku yang diperlukan dengan situasi
digunakan dalam penelitian ini disarankan
yang baru. Proses transisi ini diawali oleh
untuk lebih ditingkatkan untuk menambah
adanya dasar transisi yaitu tipe transisi yang
variasi data penelitian yang diperoleh. Terutama
berupa diagnosa penyakit DM tipe 2, kondisi
dalam hal penetapan sampel seperti keluarga
transisi yang berupa faktor pendorong dan
pasien, lingkungan sekitar pasien serta paetugas
penghambat proses transisi, pola respons pasien
kesehatan.
DM tipe 2 yang merupakan cara pasien
memanajemen diri dalam melakukan perubahan
ETHICAL CLEARANCE
serta indikator hasil yang berupa kesejahteraan
psikologis (PWB) yang positif. Penelitian ini telah menerima ethical
Pihak puskesmas sebagai tempat pasien approval oleh komisi etik penelitian kesehatan
DM tipe 2 melakukan pemeriksaan terutama fakultas kesehatan masyarakat universitas
perawat hendaknya menyediakan waktu untuk airlangga Surabaya No 421-KEPK
melakukan pengkajian terkait perubahan yang
akan dilakukan oleh pasien DM tipe 2 sejak KEPUSTAKAAN
awal dilakukan diagnosis hingga mencapai
Antari, G. A. A., Rasdini, I. G. A., & Triyani,
tahap pencapaian yang ingin dicapai. Peran
G. A. P. (n.d.). Besar Pengaruh
petugas kesehatan cukup penting dalam proses
DUkungan Sosial Terhadap Kualitas
penyesuaian diri pasien DM tipe 2 yaitu dengan
Hidup Pada Penderita DM tipe 2 di
membantu pasien DM tipe 2 dengan
Poliklinik Interna RSUP Sanglah.
memberikan edukasi tentang kondisi penyakit
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas
kronis yaitu DM tipe 2 dan menjelaskan bahwa
Kedokteran Universitas Udayana.

154
Kesejahteraan Psikologis Pasien DM Tipe 2 (Rr. Dian, dkk)

Retrieved from portalgaruda.org Psychology of Stress (pp. 1–15). New


York: Nova Science Publishers.
Basyiroh, A. N. (2011). Hubungan antara
kontrol diri dengan kepatuhanterhadap Keyes, C. L. (2013). Gender and Subjective
pengobatan pada pasien diabetes melitus Well Being in The United States: From
tipe 2di rsud dr. Moewardi surakarta. Subjective Well Being To Complete
Mental Health. In Kimberly V. Oxington
Bharatasari, T. A. (2008). Strategi Koping
(Ed.), Psychology of Stress (pp. 1–15).
Pengidap Diabetes Mellitus.
New York: Nova Science Publisher.
Clark, M. L., & Utz, S. W. (2014). Social
Kiberenge, M. W., Ndegwa, Z. M., &
determinants of type 2 diabetes and health
Muchemi, E. W. (2010). Knowledge,
in the United States. World J Diabetes,
attitude and practices related to diabetes
5(3), 296–304.
among community members in four
Cumming, J., & Mays, N. (2011). New provinces in Kenya: a cross-sectional
Zealand‟s Primary Health Care Strategy: study. The Pan African Medical Journal.
early effects of the new financing and
Kubbler-Ross, E. (2005). On Grief and
payment system for general practice and
Grieving: Finding The Meaning of Grief
future challenges. Health Economics,
Through The Five Stages of Loss.
Policy, and Law, 6(1), 1–21.
Retrieved August 20, 2014, from
http://doi.org/http://dx.doi.org/10.1017/S1
www.proquest.umi.com
744133109990260
Kusnanto. (2013). Pengembangan Model Self
Davis, M. (2010). Psychological aspects of
Care Management-Holistic
Diabetes Management. UK: Elsevier.
Psychospiritual Care Terhadap Respon
Evans, A. M., Dillon, K. D., Goldin, G., & Holistik Penderita Diabetes mellitus Tipe
Krueger, J. I. (2011). Trust and self- 2. Dissertation. Universitas Airlangga.
control: The moderating role of the
Maghfirah, S. (2013). Optimisme Dan Stres
default. Judgement and Decision Making
Pada Pasien Diabetes Mellitus. Jurnal
Journal, 6(7), 697–705.
Florence.
Fitryasari, R. (2009). Pengalaman Keluarga
McEwen, M., Baird, M., Pasvogel, A., &
dalam Merawat Anak dengan Autisme di
Gallegos, G. (2007). Health-illness
Sekolah Kebutuhan Khusus Bangun
transition experiences among Mexican
Bangsa Surabaya. Universitas Indonesia.
immigrant women with diabetes. Fam
Graffigna, G., Barello, S., Libreri, C., & Bosio, Community Health, 30(3), 201–12.
C. A. (2014). How to engage type-2
Meleis, A. I., Sawyer, L. M., Im, E.-O.,
diabetic patients in their own health
Messias, D. K., & Schumacher, K. (2000).
management: implications for clinical
Experiencing Transitions: An Emerging
practice. BMC Public Health, 14, 648.
Middle-Range Theory. Adv Nurs Sci,
Hagger, M., Panetta, G., Leung, C.-M., & 23(1), 12–28.
G.Wang, G. (2013). Chronic Inhibition,
Miley, W. (1999). The Psychology of Well
Self-Control and Eating Behavior: Test of
Being. British: Praeger Publisher.
a „Resource Depletion Model. Ploss One.
Nash, J. (2014). Understanding the
Hasibuan, C. (2010). Penyesuaian Diri
psychological impact of diabetes and the
Penderita Komplikasi Diabetes.
role of clinical psychology. Journal of
Jutterstrom, L. (2013). Illness integration, self- Diabetes Nursing, 18(4), 137–142.
management and patient-centred support
Ningrum, R. P., & Hasanat, N. (2010).
in type 2 diabetes. Sweden: Umea
Dinamika Regulasi Diri Pada PEnderita
University. Dissertation.
Diabetes Mellitus Tipe 2. In First National
Keyes, C. L. (2005). Gender and Subjective Conference on Biopsychology (pp. 235–
Well Being in The United States: From 246).
Subjective Well Being To Complete
Peyrot, M., Rubin, R. R., Lauritzen, T., Snoeks,
Mental Health. In K. V. Oxington (Ed.),
F. J., Matthews, D. R., & Skovlund, S. E.

155
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 147-156

(2005). Psychosocial problems and


barriers to improved diabetes
management: results of the Cross-National
Diabetes Attitudes, Wishes and Needs
(DAWN) Study. Diabetic Medicine,
1379–1385.
Pudner, R. (2005). Nursing The Surgical
patients (2nd ed.). Elsevier.
Ryff, C. (1989). Happiness is everything, or is
it? Explorations on the meaning of
psychological well-being. Journal of
Personality and Social Psychology, 1069–
1081.
Schmitt, A., Reimer, A., Kulzer, B., Haak, T.,
Gahr, A., & Hermans, N. (2014).
Assessment of diabetes acceptance can
help identify patients with ineffective
diabetes self-care and poor diabetes
control. Diabetic Medicine.
Streubert, H., & Carpenter, D. (2003).
Qualitative Research in Nursing:
Advancing The Humanistic Imperative.
Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins.
Tol, A., Baghbanian, A., Mohebbi, B.,
Shojaeizadeh, D., Azam, K., & Esmaeeli,
S. (2013). Empowerment Assessment and
Influential Factors Among Patients with
Type 2 Diabetes. J Diabetes Metab Disord
.
Tomey, A., & Alligood, M. (2010). Nursing
Theorists and Their Work (7th ed.).
Missouri: Mosby Elsevier.
WHO. (2014). Diabetes: the cost of diabetes.
Retrieved March 28, 2014, from
http://www.who.int/mediacentre/factsheet
s/fs236/en/

156
ASUHAN KEPERAWATAN PSIKOSOSIAL PADA IBU NIFAS DALAM
MENGHADAPI ASI BELUM KELUAR PADA 0-3 HARI PASCASALIN

(Psychosocial Nursing Care for Mother who can’t Produce Breast Milk on 0-3rd days of
Postpartum Period)

Sherly Jeniawaty*, Sri Utami*, Queen Khoirun Nisa’ Mairo*


*Poltekkes Kemenkes Surabaya
Email: sherlyjeniawaty@gmail.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Faktor utama pembentuk harapan adalah pengalaman masa lalu. Asuhan keperawatan yang akrab akan
meningkatkan tercapainya harapan yang realistis. Pengalaman terdahulu memunculkan pengetahuan yang lebih rinci tentang
layanan dan mempromosikan harapan tentang perawatan untuk periode post partum dan menyusui. Penelitian ini bertujuan
untuk mengeksplorasi pengalaman dan harapan asuhan keperawatan psikososial bagi ibu pada periode postpartum untuk
menangani ASI belum keluar di 0-3 hari setelah melahirkan di Puskesmas Tanah Kali kedinding Surabaya. Metode:
Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan hermaneutic-fenomenologis. Subyek penelitian adalah wanita dengan
periode postpartum lebih dari 3 hari sampai 2 minggu setelah melahirkan. Sampel dipilih dengan teknik purposive sampling.
Data diolah menggunakan analisis collaizi. Hasil: Hasil dikelompokkan menjadi pengalaman merasa "keluhan fisik dan
psikologis" ketika susu belum keluar, dan harapan pada perawatan psikososial untuk mengatasi ASI belum keluar. Diskusi:
Selanjutnya, disimpulkan bahwa keperawatan psikososial perawatan yang diberikan ketika susu belum keluar, bisa menjadi
pengalaman ibu dalam rangka mencapai keberlanjutan keberhasilan menyusui.
Kata kunci: ASI, pengalaman, harapan, asuhan keperawatan psikososial

ABSTRACT
Introduction: The first factor as forming expectations was past experience. Familiarity with nursing care services would
increase the likelihood of a realist expectations. Previous experience gave rise to more detailed knowledge about the services
and promoting expectations about nursing care for post partum and breastfeeding period. This study aimed to explore the
experiences and expectations of psychosocial nursing care for mothers in the postpartum period in order to deal with breast
milk has not come out in 0-3 days postnatal in Public Health Center of Tanah Kali Kedinding Surabaya. Method: This
qualitatif study used hermaneutic-phenomenological approach. Subjects were women with postpartum period was more of 3
days to 2 weeks after delivery. Samples were selected by purposive sampling technique. Data was processed using analysis of
collaizi. Results: Results are grouped into the experience felt “physical and psychological complaints” when the milk has not
come out, and expectation on psychosocial nursing care in order to deal with breast milk has not come out. Discussion:
Furthermore, it was concluded that psychosocial nursing care given when the milk has not come out, can become mother’s
experiences in order to achieve sustainability of successful breastfeeding.
Keywords: breast milk, experience, expectation, psychosocial nursing care

PENDAHULUAN eksklusif (39,8%), menyusui predominan (5,1


%) dan menyusui parsial (55,1%). SDKI tahun
MDGs yang memiliki target untuk
2012 menunjukkan cakupan ASI di Indonesia
mencapai kesejahteraan rakyat dan pembangunan
mengalami peningkatan menjadi 42% dari
masyarakat anggota deklarasi telah berakhir
32% dari data SDKI 2007. Akan tetapi, perlu
pada akhir 2015. Setelah itu, Indonesia harus
diketahui bahwa cakupan presentase ini masih
melanjutkan perjuangan pembangunan dengan
dibawah 50% sebagaimana target cakupan
misi SDGs atau Sustainable Development
yang ditentukan oleh WHO. Saat ini angka
Goals (tujuan pembangunan berkelanjutan)
kelahiran di Indonesia yang mencapai 4,7 juta
tahun 2016-2030 yang salah satu target
per tahun, sehingga bisa diambil kesimpulan
lanjutan dari MDGs yaitu meningkatkan
bayi yang menerima ASI tidak mencapai
tingkat pemberian ASI eksklusif dalam 6 bulan
separuhnya (R. 2015)
pertama sampai setidaknya 50%.
Menurunnya angka pemberian ASI
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin)
dapat disebabkan oleh berbagai hal, baik yang
Kemenkes 2015 menunjukkan cakupan ASI
berasal dari faktor ibu, bayi, maupun
Eksklusif baru sebesar 54,3 persen dari target
lingkungan. Faktor yang berhubungan dengan
80 persen, sedangkan Riskesdas 2013 prosentase
ibu menjadi salah satu bagian penting dalam
menyusui pada bayi 0 bulan adalah menyusui
261
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 261-268

menurunnya tingkat pemberian ASI bagi hermeneutika-fenomenologi. Subjek penelitian


bayinya. Faktor yang dapat mempengaruhi ibu adalah ibu nifas yang masa nifasnya lebih dari
untuk tidak memberikan ASI kepada bayinya 3 hari dan maksimal 2 minggu setelah
antara lain produksi ASI yang kurang, persalinan. Sampel dipilih dengan purposive
pemahaman ibu yang kurang tentang tata sampling. Pengumpulan data untuk penelitian
laksana laktasi yang benar, ibu ingin menyusui ini dilakukan melalui suatu wawancara
kembali setelah bayi diberi formula (relaktasi), mendalam antara peneliti dan sumber
bayi terlanjur mendapatkan prelakteal feeding informasi, karena sumber data utama dalam
(pemberian air gula/dekstrosa, susu formula penelitian dengan pendekatan fenomenologi
pada hari hari pertama kelahiran), masalah berasal dari percakapan mendalam antara
pada ibu (puting lecet, puting luka, payudara peneliti dan informan (Polit & Hungler 2001).
bengkak, mastitis dan abses), ibu hamil lagi Analisis data menggunakan langkah analisa
padahal masih menyusui, ibu bekerja, tingkat Collaizi dan triangulasi.
pendidikan dan adanya kelainan pada bayi
(bayi sakit, abnormalitas bayi), serta faktor HASIL
psikologis ibu.
Analisis tema dilakukan pada semua
Di Indonesia banyak terjadi kegagalan
data transkrip yang dikumpulkan dari
dalam pemberian ASI eksklusif karena
wawancara mendalam terhadap informan.
kekeliruan dalam praktek pemberian ASI
Berdasarkan analisis tersebut didapatkan 11
dalam 3 hari pertama kelahiran bayi. Tiga hari
kelompok tema, yaitu (1) pengalaman
pertama kelahiran bayi merupakan masa yang
merasakan keluhan fisik saat ASI belum
sangat penting dalam keberhasilan pemberian
keluar, (2) keluhan psikologis saat ASI belum
ASI, karena pada saat ini menentukan apakah
keluar, (3) Upaya mengatasi saat ASI belum
pemberian ASI eksklusif akan berhasil atau
keluar, (4) respon keluarga saat ASI belum
tidak, demikian juga untuk keberhasilan
keluar, (5) pengalaman memperoleh asuhan
menyusui selanjutnya.
kebidanan fisik saat ASI belum keluar, (6)
Penelitian ini dilakukan wilayah kerja
pengalaman dan persepsi memperoleh asuhan
Puskesmas Tanah Kali Kedinding Surabaya
kebidanan psikososial saat ASI belum keluar
karena termasuk Puskesmas PONED (Pelayanan
dan (7) harapan terhadap asuhan kebidanan
Obstetri Neonatal Emergensi Dasar) yang
psikososial saat ASI belum keluar.
angka persalinannya lebih tinggi diantara 8
Pengalaman informan dalam
puskesmas PONED lainnya (Tanjungsari,
menghadapi ASI belum keluar, beberapa ibu
Simomulyo, Balongsari, Sememi, Medokan
merasakan keluhan fisik berupa nyeri pada
Ayu, Banyu Urip, Jagir) dan Puskesmas Tanah
payudara dan ada yang merasakan kosong
kali Kedinding untuk cakupan ASI masih
pada payudara artinya tidak merasakan sakit
dibawah target propinsi jawa timur sebesar
pada payudara. Seperti pernyataan informan
75% dan target nasional sebesar 80% yaitu
berikut ini:
54,95%.
“......hari pertama merasa nyerinya tidak
Bidan memegang peranan kunci
seberapa hanya kemeng tapi ASI belum
terkait pemberian asuhan fisik maupun psikis
keluar juga, setelah hari kedua bertambah
masa nifas yang mendukung peningkatan
sakit tapi tetap belum keluar, setelah hari
kondisi ibu kearah yang lebih positif, ibu yang
ketiga sudah keluar tetapi sedikit....”(P1)
berada pada kondisi kesulitan menyusui 0-3
Keluhan nyeri pada payudara ini sekitar
hari pascasalin memerlukan seseorang yang
hari ketiga atau keempat sesudah ibu
dapat memberinya pemahaman tentang proses
melahirkan, payudara sering terasa lebih
yang sedang dialaminya dan membantunya
penuh, tegang, serta nyeri. Keadaan seperti itu
untuk tetap berada kondisi yang lebih stabil
disebut engorgement (payudara bengkak),
yang artinya ibu tetap memberikan ASI secara
yang disebabkan oleh adanya statis di vena dan
eksklusif (Moody et al. 2006).
pembuluh darah bening. Ini merupakan tanda
bahwa ASI mulai banyak disekresi. Jika dalam
BAHAN DAN METODE
keadaan tersebut ibu menghindari menyusui
Jenis penelitian yang digunakan adalah karena alasan nyeri, lalu memberi prelacteal
penelitian kualitatif dengan pendekatan feeding (makanan tambahan) pada bayi,
262
Asuhan Keperawatan Psikososial pada Ibu Nifas (Sherly Jeniawati, dkk)

keadaan tersebut justru berlanjut. Payudara menyebabkan bayi sulit mengisap sampai
akan bertambah bengkak atau penuh, karena areola dan isapan hanya pada putingnya saja.
sekresi ASI terus berlangsung, sementara bayi Keluarnya ASI umumnya keluar setelah
tidak disusukan, sehingga tidak terjadi hari ketiga, namun ada beberapa informan
perangsangan pada puting susu yang yang mengalami bahwa ASI nya baru keluar
mengakibatkan refleks oksitosin tidak terjadi sekitar hari ke lima:
dan ASI tidak dikeluarkan, hal ini akan “..ASI saya ndak keluar sama sekali sampai
mengakibatkan ASI tidak keluar. hari ke lima, keluar sedikit tapi ndak keluar
Ada beberapa informan yang tidak lagi sampai sekarang, sedih, bersalah,
merasakan keluhan pada payudaranya dan kecewa, rasane ndak bisa jadi ibu, padahal
merasakan kalau payudaranya kosong setelah saya ingin menyusui karena saya tidak
melahirkan. Berikut pernyataan informan bila bekerja, sedih rasanya bu, tapi yah gimana
ditanya apa yang dikeluhkan secara fisik saat lagi..”(P11).
ASI belum keluar oleh peneliti : Ibu memiliki kemampuan yang berbeda-
“...... saya tidak merasakan susu saya sakit, beda dalam memberikan ASI akan tetapi pada
ngrangsemi atau menteng-menteng, biasa dasarnya ibu memiliki kemampuan yang cukup
saja, kosong rasanya, ASI saya ndak keluar untuk pasokan ASI. Beberapa ibu yang baru
sama sekali...”(P8) melahirkan terkadang baru dapat memberikan
Namun setelah hari kedua dan ketiga ibu sudah ASI pada hari ketiga atau keempat setelah
mulai merasakan kalau nyeri pada sekitar melahirkan. Meskipun demikian umumnya
payudara, pernyataan informan tersebut kondisi keterlambatan ASI hanya dialami oleh
sebagai berikut: ibu dikelahiran bayi pertama.
“......hari pertama sampai kedua tidak sakit Nyeri payudara dan perasaan ASI
pas hari ketiga baru ngrangsemi dan keluar kosong menjadi keluhan pada ibu saat ASI
ASI sedikit...”(P3) belum keluar, beberapa juga mengeluh nyeri
Walau ASI sudah berproduksi sejak pada puting susunya sedangkan keluhan
hamil 20 minggu, namun tidak keluar dari kelelahan fisik menjadi keluhan utama yang
payudara, atau hanya keluar setetes-setetes dialami oleh semua ibu menyusui pada saat
yang ditemui saat hamil semakin besar adalah mengalami ASI belum keluar. Pernyataan
karena adanya hormone kehamilan yang tersebut sebagai berikut :
menahannya, dan hormone kehamilan ini “.... setelah melahirkan kondisi saya gemetar,
berpusat pada ari-ari. Dimana saat ibu ndredek semua badan saya, rasane lemes bu,
melahirkan, dan ari-ari ibu lepas dari rahim, persalinannya dipacu jadi rasane kesel, ASI
lalu kadar hormone kehamilan yang turun, saya belum keluar jadi ya ndak disusoni
maka ASI dapat keluar dari payudara Ibu. setelah nglahirkan....”(P4)
Namun terdapat jeda sampai 3 hari atau 72 jam
pasca bersalin, karena sisa hormon kehamilan PEMBAHASAN
yang masih tersisa di pembuluh darah ibu dan
Pengalaman merasakan keluhan fisik saat
akan semakin hilang dalam jangka waktu 3
ASI belum keluar
hari pasca bersalin, selain keluhan nyeri
Hasil wawancara didapatkan beberapa
payudara ada juga informan yang mengeluh
ibu mengeluhkan kalau payudaranya terasa
lecet dan nyeri di sekitar puting, pernyataan
nyeri dan beberapa merasakan tidak nyeri,
informan tersebut adalah sebagai berikut :
sedangkan untuk kelelahan, semua ibu yang
“......walah ngrangsemi bu, tapi belum
mengeluh ASI nya belum keluar merasakan
keluar, menteng-menteng rasane sakit bu trus
kalau dirinya merasa kelelahan setelah
putingnya lecet malah nyeri rasanya tapi
melewati persalinan, ibu merasakan kalau
belum keluar susune malah yang keluar
dalam proses persalinannya berjalan lama,
darah, perih nek disenggol bu.....”(P2)
sehingga menguras tenaganya.
Keadaan lecet pada puting dapat
Secara umum faktor fisik kesehatan
disebabkan oleh tekhnik menyusui yang
ibu menyusui dapat menyebabkan ASI belum
kurang benar serta perawatan payudara yang
keluar secara langsung setelah proses persalinan.
menggunakan sabun, lotion, cream, alkohol
Faktor fisik kesehatan ibu menyusui yang
yang dapat mengiritasi puting susu serta tali
dirasakan ibu saat ASI beum keluar antara lain
lidah (frenulum linguae) bayi pendek, sehingga
263
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 261-268

:kelelahan fisik, ibu merasakan lelah, capek adalah hormon prolaktin dan oksitosin. Bila
setelah mengalami proses persalinan dari mulai ibu dalam kondisi stress, kebingungan, pikiran
proses kala 1 sampai dengan kala 2, kontraksi kacau takut maupun cemas akan mempengaruhi
yang dialami dan dirasakan ibu tergantung dari pelepasan oksitosin dari neurohipofise sehingga
koping ibu. Ibu yang mengalami proses terjadi bloking pada reflek let down. Kondisi
persalinan yang panjang, lelah, nyeri, akan emosional distress yang dialami seorang ibu
mempengaruhi refleks oksitosin yang akhirnya akan mempengaruhi pelepasan hormon adrenalin
menekan pengeluaran ASI. Proses persalinan (epineprin) yang menyebabkan vasokonstriksi
yang panjang akan menyebabkan kelelahan pembuluh darah alveoli, sehingga oksitosin
fisik pada ibu, yang akan mempengaruhi tidak dapat mencapai mioepitelium (T et al.
pelepasan oksitosin dari neurohipofise sehingga 1994).
terjadi blocking pada reflek let down (T et al. Kondisi psikis bisa terganggu karena
1994). setelah melahirkan ibu memerlukan adaptasi
Nyeri pada daerah payudara, perasaan pada peran baru dan tanggung jawab menjadi
nyeri yang hebat dapat menyebabkan timbulnya seorang ibu. Dari kebiasaan ibu yang dapat
masalah yaitu ASI tidak keluar, dan akan tidur dengan nyenyak di malam hari, harus
keluar bila dilakukan perawatan payudara serta sering terbangun oleh tangisan bayi yang haus
penghisapan yang adekuat. Keadaan nyeri ataupun mengompol. Keesokan harinya ibu
payudara bila tidak segera ditangani akan harus menjalani aktifitas sebagai ibu rumah
menimbulkan masalah baru yaitu pengeluaran tangga, hal tersebut akan bertambah parah
yang tidak lancar akibat sumbatan ASI yang apabila tidak adanya dukungan keluarga untuk
tidak dihisap bayinya, adakalanya bayi setelah membantu merawat bayi dan mengerjakan
lahir tidak mau menghisap dan masih tidak pekerjaan rumah tangga. Perasaan bersalah
sadar, hal ini akibat efek pembiusan dan juga akan timbul ketika ibu merasa tidak bisa
adanya kesulitan saat kelahiran. Bayi baru lahir memberi ASI pada bayinya. Oleh karena itu,
yang mengalami stres saat kehamilan dan diharapkan ibu mampu beradaptasi dengan
persalinan bisa menjadi sangat lemah dan baik agar ibu bisa menjalani tanggung jawab
mengantuk untuk menghisap secara efektif barunya, tanpa ada perasaan tertekan ataupun
pada susu, bahkan jika kapasitas laktasional bersalah.
dari ibu cukup, maka akan menimbulkan Taking in, periode ini terjadi 1–2 hari
gangguan laktogenesis apabila pengeluaran sesudah melahirkan. Ibu baru pada umumnya
tidak adekuat (Guyton & Hall 1996). pasif dan tergantung, perhatiannya tertuju pada
Pada payudara yang tidak ada rasa nyeri kekhawatiran akan tubuhnya sehingga cenderung
dan terasa kosong, ibu akan mendapatkan pasif terhadap lingkungannya. Ketidaknyamanan
pengeluaran ASI nya belum keluar lebih lama yang dialami antara lain rasa mules, nyeri pada
ada yang empat hari baru keluar, ada yang lima luka jahitan, kurang tidur, kelelahan. Hal yang
hari baru keluar,dan ibu yang merasakan nyeri perlu diperhatikan pada fase ini adalah istirahat
pada payudara setelah melahirkan akan cukup, komunikasi yang baik dan asupan
mendapati ASI nya keluar hari berikutnya, nutrisi. Gangguan psikologis yang dapat dialami
artinya bila ibu merasa ngrangsemi atau oleh ibu pada fase ini adalah: kekecewaan pada
merasakan nyeri pada payudaranya akan bayinya, ketidaknyamanan sebagai akibat
mendapatkan lebih cepat air susunya keluar perubahan fisik yang dialami, rasa bersalah
lebih awal. karena belum menyusui bayinya, kritikan suami
atau keluarga tentang perawatan bayinya.
Pengalaman merasakan keluhan psikis saat Taking hold, periode ini berlangsung
ASI belum keluar pada hari 2–4 post partum, ibu menjadi
Penelitian ini sejalan dengan hasil perhatian pada kemampuannya orang tua yang
penelitian Dewey (2001) dari ibu yang sukses dan meningkatkan tanggung jawabnya
mengalami stres saat kehamilan dan persalinan terhadap bayi. Ibu merasa khawatir akan
mengalami masalah ASI belum keluar saat ketidakmampuan dan rasa tanggung jawab
masa nifas atau pascasalin. Kadar hormon dalam perawatan bayinya. Perasaan ibu lebih
estrogen dan progesteron menurun segera sensitive sehingga mudah tersinggung. Hal
setelah plasenta lahir, dua hormon yang yang perlu diperhatikan adalah komunikasi
bertanggung jawab dalam dalam proses laktasi yang baik, dukungan dan pemberian
264
Asuhan Keperawatan Psikososial pada Ibu Nifas (Sherly Jeniawati, dkk)

penyuluhan/pendidikan kesehatan tentang menjalani pelatihan khusus dalam penggunaan


perawatan diri dan bayinya. Tugas bidan antara dan pemberian dosis yang tepat.Untuk
lain: mengajarkan cara perawatan bayi, cara perawatan payudara mulai dari pemijatan dan
menyusui yang benar, cara perawatan luka melakukan senam payudara saat hamil dan
jahitan, senam nifas, pendidikan kesehatan pascamelahirkan, hal ini dapat membantu
gizi, istirahat, kebersihan diri dan lain-lain. meningkatkan produksi ASI saat ibu
Letting go, periode ini sangat menyusui.
berpengaruh terhadap waktu dan perhatian Tindakan psikis yang dilakukan
yang diberikan oleh keluarga ,Ibu mengambil berupa memberi motivasi, dukungan pada ibu
tanggung jawab terhadap perawatan bayi, saat mengalami masalah ASI belum keluar,
Depresi post partum umumnya terjadi pada dukungan tersebut berupa nasehat dan tindakan
periode ini Fase ini merupakan fase menerima untuk membantu perawatan sebagai seorang
tanggungjawab akan peran barunya. Fase ini ibu dengan membantu menyiapkan makanan
berlangsung 10 hari setelah melahirkan. Ibu pendamping ASI yaitu adanya tuntutan untuk
sudah mulai dapat menyesuaikan diri dengan segera menyusui yang membuat ibu tertekan.
ketergantungan bayinya. Terjadi peningkatan Suasana hati yang nyaman dan gembira sangat
akan perawatan diri dan bayinya. Ibu merasa mempengaruhi produksi ASI. Sebaliknya hati
percaya diri akan peran barunya, lebih mandiri yang stress (misalnya baru beradaptasi dengan
dalam memenuhi kebutuhan dirinya dan si bayi ketika baru pertama punya anak,
bayinya. tuntutan yang tinggi untuk segera dapat
menyusui atau stress karena pekerjaan) dapat
Upaya mengatasi keluhan saat ASI belum menghambat produksi ASI (J 2015).
keluar Tindakan spiritual merupakan pengalaman
Upaya mengatasi ASI belum keluar informan terakhir, hal ini berupa perasaan
sesuai dengan pengalaman informan, terdiri pasrah atas segala sesuatu yang terjadi yaitu
dari beberapa macam yaitu dengan tindakan dengan selalu memanjatkan doa agar proses
fisik, tindakan psikis dan tindakan spiritual. perawatan yaitu pemberian ASI berjalan
Tindakan fisik yang dilakuakan lancar.
informan yaitu dengan minum obat pelancar
ASI, perawatan payudara, pemberian nutrisi Respon keluarga saat ASI belum keluar
berupa makanan misalnya makan kacang tanah Respon keluarga saat ASI ibu belum
dan spriet, makan sayur luntas atau sayur keluar, yaitu dengan memberi dukungan
sayuran dan pijat pada tubuh untuk emosional, dan memberi bantuan fisik, namun
menghilangkan kelelahan fisik. Menurut (J juga ada beberapa informan megatakan bahwa
2015) mengatakan bahwa konsumsi sayuran keluarga merasa bingung dan cemas.
beberapa makanan terbukti memperbanyak Dukungan emosional dapat diperoleh
ASI. Yang umum digunakan adalah pepaya, dari keluarga terutama suami. Tidak akan ada
daun katuk, buah pare, wortel, bayam, bawang artinya motivasi yang kuat dari dalam diri si
putih dan kacang-kacangan adalah beberapa ibu untuk memberikan yang terbaik untuk
contoh makanan yang baik untuk ibu buah hati yaitu ASI, jika suami atau ayah si
menyusui. Cukupi kebutuhan gizi ibu dan bayi beserta seluruh keluarga (orang tua/
sebisa mungkin hindari penggunaan suplemen mertua, saudara) tidak memberi dukungan
atau obat-obatan sebagai cara memperbanyak (Moody et al. 2006).
ASI. Hal ini sejalan dengan pernyataan Memberi bantuan fisik pada ibu juga
(Varney et al. 2008) yang mengatakan banyak merupakan respon keluarga saat mengalami
budaya memiliki galaktogogue (zat yang masalah ASI. Disini sebetulnya peran besar
dianggap dapat meningkatkan suplai susu). ayah. Jika Ayah mendukung maka ASI akan
Tidak terdapat bukti bahwa konsumsi lancar atau sebaliknya. Mendukung bisa dengan
minuman herbal atau makanan tertentu akan berbagai cara mulai dari menyemangati istri
meningkatkan suplai susu, bahkan jamu-jamu hingga hal-hal lain seperti menyendawakan
tertentu dapat membahayakan. Herbal dan bayi setelah menyusui, menggendong bayi
obat pelancar ASI harus digunakan sama untuk disusukan ke ibunya serta membantu
halnya dengan medikasi lain dan harus menyiapkan perawatan yang diperlukan ibu (J
diresepkan hanya oleh orang-orang yang telah 2015).
265
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 261-268

Bingung dan cemas juga merupakan dirinya merasa lelah karena setelah melalui
respon yang dialami beberapa informan proses persalinan, dan ibu mengakui kalau
keluarga, hal ini merupakan termasuk respon untuk menyusui bayinya menunggu bayinya
negatif yang muncul saat ASI ibu belum bangun sendiri.
keluar.Tuntutan yang tinggi dari keluarga Perawatan payudara merupakan salah
untuk segera menyusui akan membuat suasana satu asuhan kebidanan yang menurut beberapa
hati tidak nyaman dan tidak rileks, minimalisir informan yang dianjurkan oleh ibu saat
perasaan stress, bantu ibu untuk rileks dan mengalami ASI belum keluar.Perawatan
mengajak ibu untuk melakukan atau payudara seperti melakukan pemijatan dan
mengerjakan hal-hal yang menyenangkan senam payudara serta kompres air hangat dan
perasaan ibu, mengajak memikirkan hal-hal dingin, berfungsi untuk menjaga bentuk
yang gembira (J 2015). payudara dan merangsang serta meningkatkan
produksi ASI (Dr. Widodo J,2015).
Pengalaman memperoleh asuhan keperawatan Rangsangan otot-otot payudara diperlukan
fisik saat ASI belum keluar untuk memperbanyak air susu ibu dengan
Pengalaman memperoleh asuhan mengaktivasi kelenjar-kelenjarnya.otot-otot
kebidanan fisik saat ASI belum keluar yaitu payudara terdiri dari otot-otot polos. Dengan
semua informan mengungkapkan adanya adanya rangsangan, otot-otot akan berkontraksi
asuhan kebidanan yang diberikan bidan dengan lebih dan kontraksi ini diperlukan dalam
menasehati untuk memberikan ASI tanpa laktasi.rangsangan pada payudara dapat
jadwal on demand, dan beberapa informan dilakukan dengan masase atau mengurut atau
mengingat bahwa dirinya pernah diberikan menyiram payudara dengan air hangat dan
nasehat untuk melakukan perawatan payudara dingin secara bergantian (B.R 1997). Namun
serta pentingnya nutrisi dan asupan cairan. pengalaman beberapa informan untuk caranya
Menyusui 2-3 jam, adalah cara terbaik sering informan mengatakan kalau tidak tau
memperbanyak ASI, bayi yang baru lahir caranya, dan jarang melakukannya.
membutuhkan susu setiap 2-3 jam, tanpa Nutrisi dan asupan cairan sangat
peduli siang atau malam hari. Produksi ASI penting diperhatikan untuk ibu menyusui.
pada tubuh wanita mengikuti prinsip supply Pengalaman beberapa ibu saat ASI belum
dandemand, artinya tubuh memproduksi ASI keluar, asuhan kebidanan yang diberikan bidan
sesuai dengan kebutuhan bayi. Jadi bila ibu yaitu dengan menganjurkan ibu untuk tidak
rutin menyusui setiap 2-3 jam sampai bayi tarak makanan dan minuman kecuali kalau ibu
kenyang, payudara akan mengirim perintah ke alergi terhadap makanan tertentu sebaiknya
otak untuk memproduksi ASI sebanyak dihindari. Makanan diperlukan oleh ibu dalam
kebutuhan tersebut. Produksi ASI akan jumlah lebih banyak dari hamil sampai dengan
bertambah dalam waktu 3-7 hari sesuai menyusui, jadi ibu dianjurkan untuk tidak diet
instruksi tersebut.Bila ibu tidak konsisten dan (Walsh 2001). Diet yang tidak sehat sehingga
jarang menyusui, produksi ASI pun tidak akan menyebabkan dehidrasi dapat mempengaruhi
terjadi atau berkurang. Produksi ASI dipengaruhi kualitas dan kuantitas ASI. Pastikan untuk
oleh hormon prolaktin yang jumlahnya selalu memenuhi kebutuhan nutrisi saat
ditentukan oleh seberapa banyak dan sering menyusui dan konsumsi air putih 8 gelas
ASI dikeluarkan dari payudara ibu, baik sehari. Namun hal ini diakui informan kalau
dengan menyusui atau memerah ASI. porsi untuk makanan tidak mengalami jumlah
Sehingga apabila ASI jarang dikeluarkan peningkatan sampai dua kali lipat.
dengan sendirinya ASI akan menurun atau
berhenti.Memompa ASI bisa menjadi salah Pengalaman dan persepsi memperoleh
satu cara untuk memperbanyak produksi ASI asuhan keperawatan psikososial saat ASI
(Varney et al. 2008). belum keluar
Semua informan memang mengatakan Pengalaman memperoleh asuhan
diberi nasehat untuk sering menyusui oleh kebidanan psikososial saat ASI belum keluar
bidan, namun hal ini diakui oleh informan yaitu sebagian besar informan mengungkapkan
bahwa untuk menyusui bayinya, ibu kasihan adanya asuhan kebidanan yang diberikan bidan
untuk membangunkan bayinya dan merasa dengan melaksanakan IMD setelah bayi lahir
nyaman kalau anaknya tidur dulu, karena saat persalinan, rawat gabung, memberikan
266
Asuhan Keperawatan Psikososial pada Ibu Nifas (Sherly Jeniawati, dkk)

suport, mengizinkan suami serta keluarga eksklusif, khususnya pengaruh sosial yang
untuk menemani, menciptakan suasana tenang tidak mendukung pemberian ASI seperti
dan nyaman, kemudian mengikutsertakan adanya larangan pemberian kolostrum. Petugas
keluarga dalam perawatan ibu dan bayi. kesehatan memberikan pengetahuan tentang
Menempatkan bayi di payudara ibu manfaat pemberian ASI, serta keuntungan bagi
segera setelah lahir atau Inisiasi Menyusui bayi dan ibu. Keluarga dilibatkan untuk
Dini, hal ini dapat membantu pengeluaran memberi dukungan kepada ibu, menciptakan
plasenta secara alami, begitu plasenta keluar, suasana yang menyenangkan dan memberikan
hormon pembuat susu akan berproduksi yaitu semangat yang besar bagi ibu untuk
prolaktin. Hormon ini memicu payudara untuk memberikan ASI. Keluarga harus menjauhkan
memproduksi susu dan juga memiliki efek permasalahan dari dalam hati ibu, menjaga
menenangkan dan merilekskan ibu.Ada bukti emosi, kecemasan dan kepanikan yang
bahwa bayi yang segera menyusu setelah lahir berlebihan demi kelancaran dan
mempunyai kemungkinan dua kali lebih besar keberhasilan pemberian ASI (Vivian 2011).
untuk tetap menyusu di akhir minggu kedua
dibandingkan bayi yang menyusu lebih lambat Harapan Asuhan Keperawatan saat
(White,A,Freeth, S,O’Brien,M,1992) Menghadapi ASI belum keluar
Mendukung roming in atau rawat Harapan asuhan keperawatan psikososial
gabung akan membantu memberikan suasana saat ASI belum keluar yaitu sebagian besar
yang menyenangkan, tenang dan nyaman akan informan mengungkapkan ingin diberikan adanya
membantu saat-saat berduaan dan terciptanya asuhan keperawatan psikososial yang tidak
hubungan psikologis antara ibu dan bayi. Ibu memaksa dan disesuaikan dengan keadaan
sebaiknya dijauhkan dari ketidaknyamanan dirinya artinya diberikan pilihan, memberikan
psikologis seperti emosi, panik, kecemasan dan konseling sekaligus mempraktikkannya,
kekhawatiran berlebihan. Ibu yang mengalami dukungan dari petugas berupa kata-kata yang
ganggua psikologis ini, sebaiknya berusaha meyakinkan sehingga dapat membangun
dengan motivasi dan dorongan dari dirinya kepercayaan diri dalam menyusui bayinya,
sendiri untuk mengatasi masalah-masalah menginginkan sosok petugas yang mampu
psikologis yang timbul. Ibu memerlukan menenangkan dirinya sehingga sabar untuk
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak tidak tergesa-gesa memberi formula tanpa ada
yang menolong ibu agar dapat melewati masa indikasi, mendapatka pelayanan dari petugas
sulit yang dihadapinya, salah satunya adalah yang ahlinya atau kompeten yang sudah
oleh petugas kesehatan (Vivian, 2011). berpengalaman, petugas cepat tanggap untuk
Memberikan suport, mengizinkan suami segera memberikan solusi penyelesaian, jangan
serta keluarga untuk menemani, menciptakan sampai ibu dan keluarga mengambil alternatif
suasana tenang dan nyaman, kemudian sendiri yang seharusnya tidak diperbolehkan
mengikutsertakan keluarga dalam perawatan diberikan pada bayinya.
ibu dan bayi. Peran bidan sangat penting dalam Asuhan Keperawatan yang diberikan 0-3
memberikan asuhan kebidanan di dalam hari pascasalin akan menentukan keberhasilan
membantu seorang ibu untuk menyusui dengan menyusui dan menjadikan sebuah pengalaman
nyaman dan menentukan keberhasilan serta harapan untuk menyusui selanjutnya.
menyusui selanjutnya secara eksklusif. Wanita Pengalaman pertama menyusui dapat
yang baru melahirkan atau pascasalin menimbulkan perasaan yang sangat kuat,
membutuhkan banyak dukungan emosional pengalaman yang sensual dan memuaskan,
dan praktikal, pada hari-hari pertama di rumah unik bagi setiap wanita dan bagi beberapa
bersalin maupun di rumah, dukungan ini tidak wanita, pengalamannya tidak bisa diungkapkan
hanya bisa dari bidan sebagai petugas dengan kata-kata (J 2015).
kesehatan tetapi juga didapat dari pasangan,
keluarga atau teman. (Jane Moody, 2006) SIMPULAN DAN SARAN
Petugas kesehatan dalam memberikan
Simpulan
dukungan kepada ibu menyusui, memiliki
peran dalam penyuluhan dan memberikan Asuhan keperawatan psikososial harus
dorongan kepada ibu dengan cara menyampaikan selalu dipegang oleh petugas kesehatan dalam
informasi tentang keberhasilan pemberian ASI rangka keberhasilan menyusui secara eksklusif
267
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 261-268

Saran Moody, J., Jane, B. & Karen, H., 2006.


Menyusui Cara Mudah, Praktis &
Pembentukan Kelompok Pendukung
Nyaman, Jakarta: Arcan.
ASI (KP-ASI) perlu disosialisasikan dalam
rangka peningkatan cakupan ASI di wilayah Polit, D.F. & Hungler, B.P., 2001. Nursing
kerja Puskesmas Tanah Kalikedinding research: Principles and methods 6th ed.,
Surabaya. Bagi ibu menyusui, menumbuhkan Philadelphia: Lippincott.
keyakinan kuat atau kepercayaan dirinya bahwa
R., W., 2015. Cakupan ASI 42 Persen, Ibu
mampu untuk menyusui dan sabar dalam
Menyusui Butuh Dukungan. Kompas.
menghadapi masalah ASI belum keluar,
memberi pengertian bahwa ASI belum keluar T, U. et al., 1994. Influence of psychological
0-3 hari pascasalin adalah hal yang fisiologis, stress on suckling-induced pulsatile oxytocin
serta jangan tergesa-gesa untuk mengambil release. University of Tokushima Japan.
keputusan untuk memberi formula bila kondisi Varney, H., Kriebs & Carolyn, 2008. Buku
bayi normal. Ajar Asuhan Kebidanan 4th ed., Jakarta:
EGC.
KEPUSTAKAAN
Vivian, 2011. Asuhan Kebidanan pada ibu
B.R, S., 1997. Mayes Midwifery, London: nifas, Jakarta: Salemba Medika.
Bailirre Tindall.
Walsh, L. V., 2001. Midwifery, New York:
Guyton & Hall, 1996. Fisiologi Kedokteran, Saunders Company.
Jakarta: EGC.
J, W., 2015. Permasalahan Pemberian ASI.
Available at: www.asilaktasi.com.

268
EFEK MIE PISANG DAN SUKUN TERHADAP GLUKOSA DARAH SEWAKTU
(The Effect of Banana and Breadfruits Noodles on Glucose Levels)

Nursalam, Rista Fauziningtyas, Candra Panji Asmoro, Kusnanto, Meryana adriani


Fakultas Keperawatan UNAIR/ Kampus C Unair, Mulyorejo, Surabaya
email: nursalam@fkp.unair.ac.id

ABSTRAK
Pendahuluan: Kesadaran masyarakat terhadap gaya hidup sehat menyebabkan perubahan pada pemilihan bahan makanan
untuk dikonsumsi. Penambahan tepung Pisang dan Sukun meningkatkan kadar serat pada mie. Tujuan penelitian ini adalah
untuk menentukan komposisi tepung pengganti pada mie yang berefek pada peningkatan GDS paling rendah. Metode:
Desain penelitian ini adalah control group pretest posttest design. Sampel didapatkan sebanyak 58 orang mahasiswa Fakultas
Keperawatan Unair yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 58 sampel dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu mie A
(kontrol), B (subtitusi 30%) dan C (subtitusi 20%). Pemeriksaan GDS dilakukan sebelum pemberian Mi dan 60 menit setelah
pemberian mi. Analisa data yang digunakan adalah dengan ANOVA one way. Hasil: Berdasarkan uji ANOVA one way
didapatkan p=0,000 (p<0,050) yang berarti ada perbedaan hasil pada ke tiga kelompok tersebut. Kenaikan tertinggi Nilai
GDS adalah pada kelompok mi A dan terendah kelompok mi B. Diskusi: Penambahan tepung pisang dan sukun pada mie
dapat menurunkan kenaikan nilai GDS responden bukan penderita DM. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk
mengetahui kandungan mi dengan tepung pisang dan sukun dan respon GDS pada penderita DM.
Kata Kunci: Mie, Tepung, Pisang, Sukun, Gula Darah, Diabetes

ABSTRACT
Introduction: Public awareness of healthy lifestyles cause a change in the selection of foodstuffs for consumption. Bananas
and breadfruit flour additions increase the fiber content on the noodles. The purpose of this study was to determine the
composition of noodles flour substitute on the effect on an increase in the lowest Glucose levels. Methods: The research
design was pretest posttest control group design. Sample obtained as many as 58 students of the Faculty of Nursing
University of Airlangga who meet the inclusion and exclusion criteria. 58 samples were divided into three groups, namely
Noodles A (control), B (substitution 30%) and C (substitution 20%). Glucose levels examination carried out before eating
noodles and 60 minutes after eat it. The data analysis of this study was the one-way ANOVA. Results: Based on the one-way
ANOVA test was obtained p = 0.000 (p <0.050), which means no differences in outcomes in all three groups. The highest
increasing of glucose levels is group A and the lowest in group B. Discussion: The addition of banana and breadfruit flour
on the noodles can reduce the increase in the glucose levels after eat it. Further research needs to be done to determine the
content of noodles with a banana and breadfruit flour and glucose’s responses in patients with diabetic mellitus.
Keyword : Noodles, Flour, Banana, Breadfruit,Glucose, Diabetic Mellitus.

PENDAHULUAN Inggris, dan Tanzania (Handajani et al., 2010).


Salah satu penyakit degeneratif yang paling
Penyakit degeneratif menimbulkan
banyak di derita adalah Diabetes mellitus
permasalahan bagi negara di seluruh dunia.
(DM). Pada tahun 2014 sebanyak 422 juta
Beban pembiayaan untuk perawatan dan
orang di seluruh dunia menderita DM (World
pengobatan penyakit degeneratif menyebabkan
Health Organization, 2016). Penduduk Indonesia di
kerugian hingga miliar dolar (World Health
atas 20 tahun sebanyak 125 juta, dengan
Organization, 2016). Kemajuan ilmu kesehatan
prevalensi DM sebesar 4,6% maka diperkirakan
yang sangat pesat belum dapat menyelesaikan
pada tahun 2000 jumlah penderita DM
permasalahan tersebut. Sampai saat ini penyakit
berjumlah 5,6 juta orang. Sedangkan pada
degeneratif telah menjadi penyebab kematian
tahun 2020 akan didapatkan sekitar 8,2 juta
terbesar di dunia (Handajani, Roosihermiatie,
penderita DM (Handajani et al., 2010). Oleh
& Maryani, 2010).
karena itu dibutuhkan upaya untuk menanggulangi
Sebanyak kurang lebih 17 juta jiwa permasalahan tersebut. Salah satu upaya yang
meninggal lebih awal setiap tahun akibat dapat dilakukan adalah dengan merubah gaya
penyakit degeneratif. Di beberapa negara hidup menjadi lebih sehat.
dengan pendapatan nasional rendah dan sedang
Kesadaran masyarakat terhadap gaya
kematian akibat penyakit degeneratif mencapai
hidup sehat menyebabkan perubahan pada
80%. Negara tersebut antara lain yaitu Brazilia,
pemilihan bahan makanan untuk dikonsumsi.
Kanada, Cina, India, Nigeria, Pakistan, Rusia,

246
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 246-250

Berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes boleh terjadi pada penderita DM. Sehingga
mellitus, stroke, serangan jantung telah membuat peneliti berupaya untuk mencari bahan lain
masyarakat semakin waspada terhadap makanan yang dapat digunakan sebagai bahan baku
yang dikonsumsi (Ningrum, Nisa, & Pangastuti, 2013). pembuatan mi.
Salah satu penyakit degeneratif yang
Sukun diketahui memiliki IG rendah
disebabkan karena pola konsumsi makanan
sekitar 23-60 dengan kandungan pati yang
yang tidak sehat adalah DM. Makanan yang
cukup tinggi. Selain itu Sukun juga memiliki
dapat menjadi pemicu DM adalah makanan
kandungan vitamin dan juga mineral yang
berlemak, berminyak, mengandung banyak
lebih jika dibandingkan dengan tepung terigu
gula dan tinggi karbohidrat, serta kurang serat
(Prahandoko, 2013). Pisang memiliki nilai IG
(Umar, Bodhi, & Kepel, 2013).
59 dan kandungan serat 0,6 g/100g, serta
Diabetes mellitus adalah gangguan kronis dari vitamin dan mineral yang juga lebih dibandingkan
metabolisme karbohidrat , protein, dan lemak. dengan tepung terigu. Selain itu pisang
Gangguan ini terjadi akibat perbedaan antara diketahui memiliki kandungan kalium (Witono
jumlah insulin yang dibutuhkan oleh tubuh dan et al., 2012). Kalium diketahui berfungsi untuk
jumlah insulin yang tersedia. Sel beta pankreas membantu kerja insulin membuka membran
memproduksi insulin dan C- peptida, yang sel dan memasukkan glukosa ke dalam sel
disimpan dalam granul sekresi dari sel beta dan tubuh (Smeltze & Bare, 2004). Kedua bahan
dilepaskan ke dalam aliran darah pada saat tersebut merupakan bahan makanan yang
kadar glukosa darah meningkat. Insulin banyak terdapat di Indonesia dan harga
mengangkut glukosa dan asam amino melintasi terjangkau (Safriani et al., 2013).
membran sel tubuh, terutama sel otot dan
lemak. Mekanisme ini akan meningkatkan
penyimpanan hati glikogen, bahan penyimpanan BAHAN DAN METODE PENELITIAN
karbohidrat kepala, dan membantu dalam Penelitian ini telah mendapatkan
metabolisme trigliserida, asam nukleat, dan sertifikat layak etik dari Komisi Etik Fakultas
protein (Sommers, Johson, & Beery, 2007). Keperawatan Unair dengan Nomor 216-KEPK
Faktor resiko penyakit DM type 2 adalah Riset yang dilakukan merupakan quasy
obesitas, olahraga yang tidak teratur, gaya experiment yang berdesain control group
hidup dan konsumsi makanan yang tidak sehat pretest postttest design (Clamp, Gough, &
dan riwayat keluarga dengan DM (Kurnawan, Land, 2004). Peneliti memberikan 3 macam mi
2010; World Health Organization, 2016). DM kepada 3 kelompok, yaitu mie dengan bahan
dapat dicegah dengan mengontrol berat badan, tepung terigu, mie berbahan tepung pisang dan
meningkatkan latihan dan aktifitas, merubah sukun sebanyak 30% dan 20%. Kemudian
gaya hidup yang lebih sehat dan konsumsi peneliti mengukur glukosa darah sewaktu
makanan seimbang. (GDS) sebelum dan sesudah pemberian mi
Pemilihan makanan sehat perlu dilakukan dengan stick glukometer merk Nesco. Perlakuan
untuk menjaga kadar glukosa darah. Salah satu dilakukan pada saat sarapan pagi yaitu jam
makanan yang dapat menjaga glukosa darah 07.00. Pengambilan darah untuk posttest
adalah makanan dengan tinggi serat. Serat dilakukan 60 menit setelah perlakuan (Ningrum et al.,
belum lama ini diketahui dapat membantu 2013). Pre test diambil sebelum perlakuan.
meregulasi kadar glukosa darah (Saputro & Subjek penelitian diminta untuk tidak mengkonsumsi
Estiasih, 2015). Namun dengan tingginya makanan apapun setelah bangun tidur, hanya
aktivitas masyarakat beberapa dekade ini diperbolehkan minum air putih.
masyarakat juga membutuhkan makanan yang Penentuan sampel menggunakan purposive
mudah diolah. Salah satu bahan makanan yang sampling (Budijanto, 2013; Clamp et al., 2004)
digemari masyarakat Indonesia dan mudah dan dilakukan pada bulan Agustus-September
diolah adalah mi (Koswara, 2009). Mi 2016. Subjek penelitian berjumlah 58 orang
berbahan tepung terigu diketahui memiliki Mahasiswa FKp Unair yang dibagi menjadi 3
indeks glikemik (IG) yang sangat tinggi yaitu kelompok, yaitu kelompok A (Kelompok
85 (Witono, Kumalaputri, & Lukmana, 2012). kontrol berjumlah 19 orang), kelompok B (mi
Bahan makanan dengan IG tinggi akan dengan tepung subtitusi 30%), dan kelompok C
meningkatkan kadar glukosa dengan cepat (mie dengan tepung subtitusi 20%). Pemilihan
(Arif & Budiyanto, 2013). Kondisi yang tidak

247
Efek Mie Instan dan Sukun Terhadap Gula Darah Sewaktu (Nursalam, dkk)

subjek penelitian ditentukan dengan kriteria Hasil


inkulusi dan eksklusi. Kriteria inklusi yang
Karakteristik Responden
ditetapkan adalah, IMT normal yaitu 18,5-
22,9, Usia 20-30 tahun (Kurnawan, 2010). Responden yang dipilih berjumlah 58
Kriteria eksklusi yang ditentukan oleh peneliti orang, 46 orang perempuan dan 12 orang laki-
adalah penderita Diabetes Mellitus (DM), laki. Semua responden dalam status gizi yang
Sirosis Hepatis (SH), Gagal Ginjal Kronis baik ditentukan dengan nilai IMT dalam
(GGK), penyakit infeksi yang mempengaruhi rentang normal dan tidak menderita penyakit
metabolisme (TBC), Kanker/ Tumor. Mengkonsumsi yang mempengaruhi metabolisme tubuh.
obat-obatan dan Perokok (Ningrum et al., Karakteristik sampel berupa umur, berat
2013). badan, tinggi badan, IMT dan kondisi
kesehatan dikumpulkan untuk mengetahui
Bahan yang digunakan di dalam penelitian antara
responden yang memenuhi kriteria inklusi dan
lain mi kontrol dengan komposisi: telur, tepung
eksklusi. Kriteria untuk penyakit yang diderita
terigu, tepung tapioka, garam, minyak, air,
oleh responden diketahui dengan cara menanyakan
kaldu ayam bubuk. Mi dengan tepung subtitusi
kepada responden mengenai penyakit yang diderita
30%, komposisi: telur, tepung terigu, tepung
saat ini dan riwayat penyakit keluarga
tapioka, garam, minyak, air, kaldu ayam
penderita. Anamnesis ini diperlukan untuk
bubuk, Tepung pisang dan sukun dengan berat
mengetahui kemungkinan subjek memiliki
30% dari berat tepung terigu. Mie dengan
resiko DM. Umur rata-rata responden adalah
tepung subtitusi 20%, komposisi: telur, tepung
22,8 tahun, dengan rata-rata berat badan 52,1
terigu, tepung tapioka, garam, minyak, air,
kg dan tinggi badan 161 cm dengan IMT 20,1.
kaldu ayam bubuk, tepung pisang dan sukun
dengan berat 20% dari berat tepung terigu.
Respon GDS terhadap Mie A, B dan C
(Koswara, 2009; Nasution, 2005). Ketiga mi
diolah seperti mi ayam dengan tambahan Rerata nilai GDS pre test dan post test
bawang putih, bawang merah, gula garam, menunjukkan rerata nilai GDS sebelum
minyak bawang, ayam, daun bawang dan diberikan perlakuan tertinggi adalah kelompok
selada. Tiap jenis mie disajikan dengan berat mie A, yaitu 71, 84 mg/dL dan terendah pada
100 gr. Alat yang digunakan antara lain kelompok mie C yaitu 71,21 mg/dL. Hasil
Glukometer dan strip stick merk nesco, jarum, analisa menggunakan ANOVA one way
alkohol swab, timbangan berat badan, didapatkan nilai p= 0,960 (p<0,050), artinya
pengukur tinggi badan. Hasil yang didapatkan rerata nilai GDS pada ketiga kelompok (mie A,
dalam penelitian ini dianalisa menggunakan uji B dan C) sama atau tidak ada perbedaan.
paired t test untuk mengetahui ada perbedaan Setelah 60 menit pemberian mie A, B dan C
antara nilai GDS pre test dan post test di setiap dilakukan pemeriksaan GDS kembali sebagai
kelompok. Uji One Way Annova digunakan nilai posttest. Dari pemeriksaan GDS diketahui
untuk mengetahui perbedaan pada 3 kelompok (tabel 1) bahwa kelompok yang memiliki
perlakuan. rerata nilai GDS tertinggi adalah mie A
(kontrol) dan trendah pada mie B (subtitusi
30%) yaitu 77,70 mg/dL. Hasil Hasil analisa
dengan uji menggunakan ANOVA one way,
yaitu p= 0,000 (p<0,050), artinya rerata nilai
GDS pada ketiga kelompok (mie A, B dan C)
ada perbedaan yang signifikan.
Rata-rata kenaikan GDS
Tabel 1. Rerata kenaikan GDS dalam 60 menit setelah pemberian mie A, B dan C
Jenis Mie f Mean
Mi A (kontrol) 19 +25.7
Mi B (subtitusi 30%) 20 +6.2
Mi C (subtitusi 20%) 19 +12.2
Total 58 +14.8

248
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 246-250

pencernaan dan menghambat aktivitas enzim.


Kondisi ini membuat proses pencernaan pati
Setelah 60 menit pemberian mie A, B
menjadi lambat dan respons glukosa darah pun
dan C dilakukan pemeriksaan GDS diketahui
akan lebih rendah (Arif & Budiyanto, 2013).
rerata kenaikan GDS tertinggi adalah pada
Bahan makanan yang memilikikadar lemak
kelompok yang diberikan mi A yaitu 25,7
yang tinggi cenderung memperlambat laju
mg/dL dan terendah pada kelompok mie B
pengosongan lambung, sehingga laju
yaitu 6,2 mg/dL.
pencernaan makanan pada usus halus juga
lambat. Sementara itu, kadar protein yang
PEMBAHASAN tinggi kemungkinan dapat merangsang sekresi
insulin sehingga glukosa darah terkendali (Arif
Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa & Budiyanto, 2013).
rerata nilai GDS posttest terdapat perbedaan
yang sangat signifikan diantara ketiga Berdasarkan Keperawatan komplementer
kelompok dengan pemberian mi A, B dan C. makanan dapat digunakan sebagai terapi atau media
Lebih jauh dijelaskan pada tabel 3 bahwa perawatan, dikenal dengan istilah “Functional food and
perbedaan tersebut terlihat pada kenaikan GDS Nutraceutical”. Makanan yang dikonsumsi
setelah konsumsi mi. Kenaikan GDS terendah perlu diketahui fungsi di dalam tubuh, baik
pada mi B yaitu mie dengan subtitusi tepung sebagai bahan makanan yang mengoptimalkan
pisang dan sukun sebesar 30% dari jumlah kesehatan maupun sebagai bahan makanan
tepung terigu. untuk mencegah penyakit. Hal yang perlu
diperhatikan dalam penggunaan makanan
Respon kenaikan glukosa darah sebagai media terapi dan perawatan adalah
dipengaruhi oleh 2 hal utama yaitu kondisi harus berdasarkan evidence (Snyder &
tubuh responden dan bahan makanan yang Lindquist, n.d.). Artinya perlu dilakukan
dikonsumsi. Pada penelitian ini responden penelitian pada kandungan bahan makanan dan
yang terlibat memiliki kondisi tubuh yang reaksi di dalam tubuh, baik tubuh yang sehat
sama yaitu yang memnuhi kriteria inklusi dan maupun yang sedang sakit. Beberapa jenis
eksklusi. Responden dengan nilai IMT dalam bahan makanan yang telah terbukti dapat
rentang normal (18-22,5) dan tidak memiliki digunakan sebagai media terapi dan perawatan
riwayat penyakit (DM, SH, TBC, Kanker/Tumor dan adalah probiotics, Coenzyme Q10, Glucosamine,
GGK) diharapkan memiliki metabolime yang Chondroitin Sulfate, dan Collagen Hydrolysate
baik. Selain itu pemilihan usia responden 20- (untuk osteoarthitis), teh hijau dan lain
30 tahun bertujuan tidak terjadi kenaikan kadar sebagainya
glukosa darah. Pada usia lebih dari 30 tahun,
kadar glukosa darah akan naik 1-2 mg%/tahun
pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 SIMPULAN & SARAN
mg%/tahun pada 2 jam setelah makan.1,3 Simpulan
(Kurnawan, 2010).
Penggantian tepung terigu dengan
Faktor lain yang mempengaruhi respon tepung sukun terbukti dapat menurunkan kenaikan
kenaikan kadar glukosa darah adalah dari glukosa darah sewaktu pada responden bukan penderita
bahan makanan. Faktor ini dirinnci sebagai DM. Subtitusi tepung pisang dan sukun sebnyaka 30%
berikut kadar serat, perbandingan amilosa dan memberikan efek kenaikan GDS paling sedikit.
amilopektin, daya cerna pati, kadar lemak dan Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh kadar serat
protein, dan cara pengolahan. Masing-masing dan kalium yang lebih tinggi pada tepung
komponen tersebut memberikan kontribusi dan pisang dan sukun apabila dibandingkan dengan
saling berpengaruh hingga menghasilkan tepung terigu.
respons glikemik yang berbeda (Arif &
Saran
Budiyanto, 2013). Kandungan serat pangan
yang tinggi berkontribusi pada glukosa darah. Peneliti menyarankan untuk penelitian selanjutnya
Serat larut yang berbentuk viskus dapat dapat dilakukan penelitian kandungan mie dengan
memperpanjang waktu pengosongan lambung subtitusi tepung pisang dan sukun. Selain itu
(Kusharto, 2006). Serat utuh dapat bertindak perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai efek
sebagai barier pada pencernaan, sehingga pemberian mi tepung pisang dan sukun terhadapa
memperlambat laju makanan pada saluran

249
Efek Mie Instan dan Sukun Terhadap Gula Darah Sewaktu (Nursalam, dkk)

kadar glukosa darah penderita Diabetes glikemik sponge cake sebagai jajanan
Mellitus. berbasis karbohidrat pada subyek bukan
penyandang diabetes melitus in prosiding
Perawat dapat berkolaborasi dengan ahli
Seminar Nasional Food Habit and
gizi untuk membuat mie dengan penambahan
Degenerative Diseases (pp. 109–119).
tepung sukun dan pisang, sehingga dapat
Prahandoko, T. P. (2013). Pengaruh substitusi
digunakan sebagai alternatif makanan untuk
tepung sukun (.
diet DM.
Safriani, N., Moulana, R., Studi, P., Hasil, T.,
KEPUSTAKAAN Pertanian, F., & Kuala, U. S. (2013).
Pemanfaatan pasta sukun (Artocarpus
Arif, A. Bin, & Budiyanto, A. (2013). Altilis) pada pembuatan mie kering, (2),
Glicemic Index of Foods and Its 17–24.
Affecting Factors. J Litbang Pert, 32(2). Saputro, P. S., & Estiasih, T. (2015). Pengaruh
Budijanto, D. (2013). Populasi, Sampling, dan Polisakarida Larut Ir (PLA) dan serat
Besar Sampel. Retrieved September 20, pangan Umbi-Umbian Terhadap Glukosa
2016, from Darah: Kajian Pustaka: Effect of Water
http://www.risbinkes.litbang.depkes.go.id Soluble Pollysacarides and Dietary Fiber
/2015/wp- Tubers on Blood Glucose : A review.
content/uploads/2013/02/SAMPLING- Jurnal Pangan Dan Agroindustri, 3(2),
DAN-BESAR-SAMPEL.pdf 756–762.
Clamp, C. G. L., Gough, S., & Land, L. Smeltze, S. C., & Bare, B. (2004). Textbook of
(2004). Resources for Nursing Research Medical-Surgical Nursing (10th ed.).
(4th ed.). London: SAGE Publication New York: Lipincot williams & Wilkins.
Ltd. Snyder, M., & Lindquist, R. (n.d.).
Handajani, A., Roosihermiatie, B., & Maryani, Complementary / Alternative Therapies
H. (2010). Faktor-faktor yang in Nursing (5th ed.). Nee York: Springer
Berhubungan dengan Pola Kematian Link.
Pada Penyakit Degeneratif di Indonesia. Sommers, M. S., Johson, S. A., & Beery, T. A.
Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 13, (2007). DISEASES and DISORDERS A
42–53. Nursing Therapeutics Manual (3rd ed.).
Koswara, S. (2009). Teknologi pengolahan Philadelphia: F.A. Davis Company.
mie. Umar, F. A., Bodhi, W., & Kepel, B. J. (2013).
Kurnawan, I. (2010). Diabetes Melitus Tipe 2 Gambaran gula darah darah pada remaja
pada Usia Lanjut. Public Health, 576– obes di minahasa 1. Jurnal E-Biomedik
584. (eBM), 1(1), 265–269.
Kusharto, C. M. (2006). Serat Makanan Dan Witono, J. ., Kumalaputri, A. J., & Lukmana,
Kesehatan. Jurnal Gizi Dan Panga, H. S. (2012). Optimasi Rasio tepung
1(November), 45–54. terigu, tepung pisang dan tepung Ubi
Nasution, E. Z. (2005). Pembuatan mie kering Jalar, serta konsentrasi zat aditif pada
dari tepung terigu dengan tepung rumput pembuatan Mie. .
laut yang difortifikasi dengan kacang World Health Organization. (2016). Global
kedelai. Jurnal Sains Kmia, 9(2), 87–91. Report on Diabetes. http://doi.org/ISBN
Ningrum, D. R., Nisa, F. Z., & Pangastuti, R. 978 92 4 156525 7
(2013). Indeks Glikemik dan beban

250
FAKTOR PENCETUS GEJALA DAN PERILAKU PENCEGAHAN SYSTEMIC
LUPUS ERYTHEMATOSUS

(Precipitating Factors and Preventive Behavior towards the Exposures of Systemic Lupus
Erythematosus)

Ni Putu Wulan Purnama Sari


Fakultas Keperawatan, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Telp. (031) 99005299
Email: moonygalz@yahoo.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Systemic Lupus Erythematosus (lupus) dan kekambuhan gejalanya yang sulit diprediksi berpotensi
menurunkan kualitas hidup penderita lupus secara signifikan. Faktor pencetus gejala lupus perlu dikurangi paparannya
melalui perilaku pencegahan untuk menurunkan frekuensi kekambuhan. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan
antara faktor pencetus gejala lupus dan perilaku pencegahan paparannya. Metode: Penelitian korelasional ini menggunakan
desain cross-sectional. Populasi adalah semua penderita lupus yang rawat jalan di Poli Rheumatologi RSUD Dr. Soetomo,
Surabaya. Sampel adalah penderita lupus yang rawat jalan pada bulan Oktober-Desember 2014 dan memenuhi kriteria
sampel. Besar sampel 36 dipilih dengan teknik total sampling. Variabel independen faktor pencetus gejala lupus; variabel
dependen pengetahuan lupus, sikap (efikasi diri) dan tindakan pencegahan. Instrumen penelitian meliputi kuesioner faktor
pencetus gejala lupus dan ODAPUS-HEBI (bagian 1,2,3). Analisis data dengan uji korelasi Spearman Rho dengan α < 0.05.
Hasil: Mayoritas responden berusia dewasa akhir, sudah menikah, lulusan SMA dan masih aktif bekerja. Rentang lama sakit
lupus mayoritas 1-2 tahun. Faktor pencetus gejala lupus mayoritas adalah stres fisik (66,7%). Gejala lupus yang paling sering
kambuh adalah nyeri sendi. Tingkat pengetahuan seluruhnya tinggi, sikap mayoritas tinggi dan tindakan pencegahan
mayoritas optimal. Tidak ada hubungan antara faktor pencetus gejala dengan pengetahuan lupus (p = 0,342) dan dengan
sikap (p = 0,651). Ada hubungan yang lemah namun signifikan antara faktor pencetus gejala dengan tindakan pencegahan (r
= 0,360; p = 0,031). Diskusi: Faktor pencetus gejala lupus berbeda-beda di antara para penderita lupus sehingga tindakan
pencegahan yang dilakukan juga menyesuaikan dengan jenis paparan faktor pencetus. Tindakan pencegahan yang dilakukan
secara optimal dapat meminimalisir kekambuhan gejala lupus. Ada hubungan antara faktor pencetus gejala dengan tindakan
pencegahan paparannya pada penderita lupus.
Kata Kunci: Systemic Lupus Erythematosus (SLE), faktor pencetus gejala, perilaku pencegahan

ABSTRACT
Introduction: Systemic Lupus Erythematosus (lupus) and its unpredictable flares have lowering the patients’ quality of life
significantly. Precipitating factors’ exposures need to be reduced by doing preventive behaviors to reduce the frequency of
lupus flare. This study aimed to analyze the correlation between precipitating factors and preventive behavior in lupus
patients. Method: This is a cros-sectional study. Population was all lupus patients doing regular check-up in Rheumatology
Unit of Dr. Soetomo Public Hospital, Surabaya. Sample was lupus patients who did regular check-up in the period of
October-December 2014 and matched to sample’s criteria. Sample size was 36 enrolled by means of total sampling.
Independent variabel: precipitating factors of lupus flare; dependent variable: knowledge of lupus, attitude (self-efficacy)
and preventive action towards exposures. Instruments used were questionnaire of lupus precipitating factors and ODAPUS-
HEBI (part 1,2,3). Data analysis used Spearman Rho correlation with α<0.05. Result: Most respondents are late adulthood,
get married, high school graduates and actively working. The majority had lupus for 1-2 years. Precipitating factors were
mostly physical stres (66.7%). Symptom of lupus that most often relapse was joint pain. Knowledge of lupus in all
respondents was high, as for attitude mostly were high and most respondents doing optimal preventive action. There was no
correlation between the precipitating factors of lupus flare with lupus knowledge (p=0.342) and attitude (p=0.651). There
was a weak but significant correlation between the precipitating factors with preventive action (r = 0.360; p=0.031).
Discussion: Precipitating factors of lupus flare vary among patients so that preventive actions taken adjust to the type of
exposure. The preventive action taken optimally could minimize the recurrence of lupus flare. There is a correlation between
the precipitating factors of flare with preventive action in lupus patients.
Keywords: Systemic Lupus Erythematosus (SLE), precipitating factors of lupus flare, preventive behavior

PENDAHULUAN dengan lupus). Kehidupan odapus bisa berubah


drastis sejak sakit lupus dan mereka merasa
Lupus adalah penyakit dimana sistem
sangat sulit untuk mengelola penyakit ini (De
imun, yang normalnya memerangi infeksi,
Barros et al. 2012). Dalam kehidupannya,
mulai menyerang sel sehat dalam tubuh.
odapus akan beberapa kali mengalami suatu
Fenomena ini disebut autoimun dan apa yang
periode kemunculan gejala lupus yang parah
diserang oleh sistem imun disebut autoantigen
(lupus flares) dan periode lainnya dimana
(Laura K. DeLong, MD 2012). Para penderita
gejalanya lebih ringan. Sebenarnya gejala
lupus sering disebut dengan odapus (orang
lupus bisa diatasi secara efektif dengan terapi

213
Jurnal Ners Volume 11 No. 2: 213-219

yang sudah ada sekarang, namun untuk saat ini organ tubuh, seperti persendian, kulit, ginjal,
belum ditemukan obat apapun yang dapat jantung, paru-paru, pembuluh darah, dan otak
menyembuhkan penyakit lupus (Ferenkeh- (NIAMS 2012; Ferenkeh-Koroma 2012; Nery
Koroma 2012). et al. n.d.). Gejala lupus yang paling sering
Lupus merupakan penyakit autoimun dilaporkan oleh odapus adalah demam, ruam
kronis yang tanda dan gejalanya dapat menetap kulit karena fotosensitif, sendi yang
selama lebih dari enam minggu dan seringnya bengkak/nyeri, kelemahan/kelelahan, dan
hingga beberapa tahun (Lupus Foundation of gangguan ginjal (Gallop et al. 2012; Ferenkeh-
America 2012). Namun demikian, ada juga Koroma 2012; NIAMS 2012; Nery et al. n.d.).
odapus yang berhasil mengendalikan gejala Komplikasi renal, neurologikal, dan
lupus dengan baik sehingga tampak seperti hematologikal adalah yang paling sering
orang sehat (kategori Quiescent). Memang ditemukan pada odapus (Kannangara et al.
kemunculan gejala lupus tidak akan selalu 2008).
sama antara odapus satu dengan yang lain, ada Baik manifestasi klinis maupun
banyak faktor yang dapat mempengaruhi hal komplikasi penyakit lupus keduanya
ini. Peningkatan intensitas paparan faktor berpotensi menurunkan derajat kesehatan
pencetus tentunya akan menyebabkan gejala odapus, dan dapat berakibat fatal hingga
lupus lebih sering muncul. Untuk menyebabkan kematian. Gejala lupus yang
mengantisipasi hal ini maka odapus perlu muncul sewaktu-waktu sangat berpotensi
memiliki pengetahuan sensoris yang memadai untuk mengganggu aktivitas sehari-hari dan
tentang penyakit lupus dan efikasi diri yang menimbulkan banyak masalah lain. Agar dapat
tinggi guna memfasilitasi tindakan pencegahan mencapai status kesehatan yang optimal dan
paparan faktor pencetus. Namun demikian, kualitas hidup yang tinggi maka odapus harus
hubungan antara faktor pencetus gejala dan bersikap proaktif dalam pengelolaan
perilaku pencegahan paparannya pada penyakitnya. Salah satu caranya adalah dengan
penderita lupus masih belum jelas. berperilaku sehat dan mengelola penyakit
Lupus telah diderita setidaknya oleh lupus secara mandiri melalui tindakan
lima juta orang di seluruh dunia. Lupus dapat pencegahan paparan faktor pencetus. Untuk itu
menyerang pria dan wanita di semua usia, diperlukan pengetahuan yang memadai dan
namun 90% dari orang yang terdiagnosis lupus sikap yang positif (L.W. Green & Kreuter
adalah wanita, dan usia rentan lupus adalah 15- 1991). Hubungan antara faktor pencetus gejala
44 tahun. 70% kasus lupus berupa SLE dan perilaku pencegahan paparannya pada
(Systemic Lupus Erythematosus), 10% berupa penderita lupus perlu diteliti lebih lanjut.
CLE (Cutaneous Lupus Erythematosus), 10% Penelitian ini bertujuan menganalisis
berupa drug-induced lupus, dan 5% lainnya hubungan antara faktor pencetus gejala lupus
berupa neonatal lupus (S.L.E. Lupus dan perilaku pencegahan paparannya.
Foundation 2012). Di Indonesia, estimasi
jumlah penderita lupus sekitar 200-300 ribu BAHAN DAN METODE
orang, perbandingan jumlah penderita lupus
Penelitian ini merupakan penelitian
pria dan wanita adalah 1:6-10, sehingga lupus
korelasional dengan pendekatan cross-
sering disebut penyakit kaum wanita. Tren
sectional. Populasi adalah semua penderita
penyakit lupus di negara kita terus
lupus murni (tanpa komplikasi organ) yang
menunjukkan peningkatan setiap tahunnya
rawat jalan di Poli Rheumatologi RSUD Dr.
(Yayasan Lupus Indonesia 2012; Utomo
Soetomo Surabaya. Populasi terjangkau
2012).
adalah semua penderita lupus murni yang
Penyebab lupus masih belum
rawat jalan di Poli Rheumatologi RSUD Dr.
sepenuhnya dimengerti, namun beberapa ahli
Soetomo Surabaya pada bulan Oktober-
berpendapat bahwa penyebab lupus berasal
Desember 2014, sebanyak 54 orang. Kriteria
dari beberapa faktor, yaitu: genetik,
sampel: 1) kriteria inklusi: sakit lupus minimal
lingkungan (sinar UV, obat-obatan, infeksi,
6 bulan, usia dewasa (19-44 tahun), minimal
trauma/kecelakaan), faktor internal (stres
lulusan SMP, pernah mengikuti Pelatihan
emosional, stres fisik, demam, dan hormon
Manajemen Perawatan Diri untuk Penderita
estrogen) (Lupus Foundation of America 2012;
Lupus yang dilaksanakan peneliti (Sari, 2015);
Stichweh & Pascual 2005). Lupus dapat
2) kriteria eksklusi: hospitalisasi, mengalami
menyebabkan inflamasi dan merusak berbagai

214
Faktor Pencetus Gejala dan Perilaku Pencegahan SLE (Ni Putu Wulan P.S.)

gangguan jiwa, bekerja sebagai tenaga terhadap 18 responden yang rawat jalan di Poli
kesehatan (khususnya dokter / perawat). Dari Rheumatologi RSUD Dr. Soetomo pada bulan
54 orang anggota populasi terjangkau Februari 2015 menunjukkan hasil sebagai
diperoleh 36 orang yang memenuhi kriteria berikut.
sampel. Sampel dalam penelitian ini adalah
total populasi (total sampling), sehingga 36 Tabel 1.Hasil Uji Instrumen ODAPUS-HEBI
orang penderita lupus yang memenuhi kriteria Instrumen Validitas Reliabilitas
sampel dijadikan responden penelitian ODAPUS-HEBI (r) (α)
Bagian 1. Pengetahuan 0,477 - 0,774 0,519
seluruhnya. Bagian 2. Efikasi Diri 0,503 – 0,903 0,927
Variabel independen dalam penelitian Bagian 3. Tindakan 0,547 – 0,908 0,945
ini adalah faktor pencetus gejala lupus. Pencegahan Paparan
Variabel dependen terdiri dari tiga domain
perilaku, yaitu: pengetahuan tentang lupus, Tabel di atas menunjukkan instrumen
sikap (efikasi diri) dan tindakan pencegahan ODAPUS-HEBI valid dan reliabel. Setelah
paparan. Peneliti mengembang-kan sendiri alat data perilaku pencegahan paparan di-scoring
ukur untuk mengidentifikasi semua variabel maka masing-masing bagian dikategorikan
penelitian. berdasarkan domain:
Berdasarkan literatur, faktor pencetus 1. Pengetahuan:
gejala lupus terdiri dari sinar UV (dari a. Rendah (0-15).
matahari dan/atau bola lampu fluorosens), b. Cukup (16-30).
obat-obatan (golongan antibiotika: Tetrasiklin, c. Tinggi (31-47).
Penicillin, anti-fungal, golongan sulfa; dan 2. Sikap (efikasi diri):
golongan non-antibiotika: anti-convulsan, anti- a. Rendah (20-60).
hipertensi, pil kontrasepsi), infeksi, demam, b. Cukup (61-90).
trauma/kecelakaan, stres emosional (perceraian, c. Tinggi (91-120).
kematian anggota keluarga, kondisi sakit, atau 3. Tindakan pencegahan paparan:
masalah kehidupan lainnya), dan stres fisik a. Kurang (25-65).
(kelelahan, pembedahan, kekerasan, kehamilan, b. Cukup (66-105).
persalinan) (Lupus Foundation of America c. Optimal (106-150).
2012; Nadhiroh 2007; Stichweh & Pascual Setelah semua data penelitian
2005). Peneliti kemudian membuat pertanyaan terkumpul maka dilakukan editing, scoring,
sesuai dengan faktor pencetus di atas dalam tabulating dan uji hipotesis. Uji korelasi
bentuk kuesioner pertanyaan tertutup dengan Spearman Rho digunakan untuk menganalisis
pilihan jawaban ya (nilai 1) dan tidak (nilai 0). hubungan antara faktor pencetus gejala lupus
Jumlah pertanyaan 26 item dan diperlukan dan perilaku pencegahan paparannya, yang
waktu 30 menit untuk menjawab semuanya. terdiri dari domain pengetahuan, sikap dan
Setelah di-scoring maka data faktor pencetus tindakan. Hipotesis penelitian diterima jika
dikategorikan berdasarkan intensitas paparannya: signifikansi data kurang dari nilai α (0,05).
1) paparan minimal (0-9) ; 2) paparan sedang
(10-18) ; 3) paparan tinggi (19-26). HASIL
Peneliti mengembangkan sendiri alat
ukur untuk menilai perilaku kesehatan pada Jumlah responden penelitian sebanyak
odapus dan memberinya nama ODAPUS- 36 orang. Mayoritas responden berusia dewasa
HEBI (Odapus Health Behaviour) (Sari, 2015). akhir (44,4%), sudah menikah dan tinggal
Instrumen ini pada awalnya terdiri dari empat bersama suaminya (77,8%), lulusan SMA
bagian, yaitu: 1) 20 pertanyaan pilihan ganda (83,3%), aktif bekerja sebagai wirausaha
untuk mengkaji pengetahuan lupus, 2) 20 (33,3%) dan pegawai swasta (33,3%) dengan
pernyataan untuk mengkaji efikasi diri, 3) 25 penghasilan mandiri lebih dari Rp. 1,5 – 2 juta
pernyataan untuk mengkaji tindakan perbulan (33,3%). Pada penelitian ini, lupus
pencegahan paparan faktor pencetus dan 4) 25 banyak diderita oleh wanita usia produktif
pernyataan untuk mengkaji aktivitas perawatan dengan latar belakang pendidikan SMA yang
diri. Dalam penelitian ini, peneliti hanya sudah menikah dan masih aktif bekerja. Data
menggunakan instrumen ODAPUS-HEBI demografi responden sebagai berikut.
bagian 1, 2 dan 3 disesuaikan dengan variabel
penelitian. Uji coba instrumen yang dilakukan

215
Jurnal Ners Volume 11 No. 2: 213-219

Tabel 2. Data Demografi Responden terhitung sejak awal diagnosis lupus hingga
Karakteristik Frekuensi Persentase saat penelitian. Data primer meliputi lama sakit
1. Usia lupus, gejala yang pernah dialami dan faktor
a. 17-25 tahun 8 22,2
(remaja akhir)
pencetus gejala lupus yang disadari. Data
a. 26-35 tahun 12 33,3 primer penting untuk dikaji karena
(dewasa awal) kekambuhan lupus bisa diprediksi melalui
b. 36-45 tahun 16 44,4 paparannya atau dapat diperoleh gambarannya
(dewasa akhir) secara umum. Berdasarkan data primer sebagian
2. Status Pernikahan 28 77,8
a. Menikah 8 22,2 besar responden sakit lupus sejak 1-2 tahun
b. Single yang lalu (33,3%). Gejala lupus terbanyak
3. Pendidikan adalah arthritis (61,1%). Faktor pencetus
a. SMA 30 83,3 mayoritas adalah stres fisik/kelelahan (66,7%).
b. S1 6 16,7
4. Pekerjaan
Berdasarkan gejala yang dialami dan
a. Ibu rumah tangga 8 22,2 terapi yang didapatkan, seluruh responden
b. Mahasiswa 4 11,1 penelitian ini masuk kategori stabil menurut
c. Wirausaha 12 33,3 Ferenkeh-Koroma (2012) dengan indikator:
d. Pegawai swasta 12 33,3 jarang mengalami lupus flare, gejala yang
5. Penghasilan mandiri
perbulan dialami dapat berupa ruam kulit dan/atau nyeri
a. Belum/tidak dada, terkadang menghubungi petugas kesehatan
berpenghasilan 12 33,3 untuk meminta bantuan, terapi yang didapat
b. 500 ribu – 1 juta 2 5,6 berupa obat kortikosteroid kontinum
c. >1 – 1,5 juta 6 16,7
d. >1,5 – 2 juta 12 33,3
(Methylprednisolone) dan imuno-supresan
e. > 2 juta 4 11,1 (Cyclosporine). Berdasarkan standard
6. Tinggal serumah Perhimpunan Rheumatologi Indonesia (PRI,
dengan 28 77,8 2011), seluruh responden masuk kategori lupus
a. Suami 20 55,6
ringan dengan indikator: mengalami arthritis
b. Anak
c. Orangtua 10 27,8 dan/atau ruam kulit, secara klinis tenang, tidak
d. Saudara 2 5,6 terdapat gejala lupus yang mengancam nyawa,
fungsi organ normal/stabil. Arthritis
Tabel 3. Data Primer Penelitian teridentifikasi sebagai gejala lupus mayoritas
Karakteristik Frekuensi Persentase (61,1%), hal ini sesuai dengan pendapat Dias
1. Lama sakit lupus & Isenberg (2014) bahwa pada gejala lupus
a. < 1 tahun 4 11,1 ringan, persendian adalah organ utama yang
b. >1-2 tahun 12 33,3
c. >2-3 tahun 8 22,2 terkena dampak penyakit lupus. Kelelahan fisik
d. >4-5 tahun 2 5,6 juga teridentifikasi sebagai faktor pencetus
e. > 5 tahun 10 27,8 gejala lupus mayoritas (66,7%), hal ini sesuai
2. Gejala lupus yang dengan pendapat Gordon (2013) bahwa
pernah dialami
a. Demam 8 22,2
kelelahan fisik adalah pencetus gejala lupus
b. Pusing 6 16,7 yang paling umum dimana kelelahan ini tidak
c. Kebingungan 2 5,6 selalu hilang dengan istirahat dan dapat
d. Arthritis 22 61,1 berlangsung lama.
e. Fatigue 12 33,3 Data khusus penelitian terkait variabel
f. Malar rash 6 16,7
g. Nyeri dada saat yang diteliti yang meliputi paparan faktor
nafas dalam 2 5,6 pencetus gejala, pengetahuan tentang lupus,
h. Myalgia 2 5,6 efikasi diri, dan tindakan pencegahan paparan
i. Anemia 4 11,1 faktorpencetus disajikan dalam tabel 4.
3. Faktor pencetus gejala
lupus yang disadari
Mayoritas responden cukup terpapar
a. Stres emosional 16 44,4 oleh faktor pencetus gejala lupus dalam enam
b. Stres fisik 24 66,7 bulan terakhir (88,9%). Semua responden
c. Sinar matahari 4 11,1 memiliki pengetahuan yang tinggi tentang
d. Makan tidak teratur 4 11,1 penyakitnya (100%). Efikasi diri responden
e. Kurang tidur 4 11,1
f. Perubahan hormon 2 5,6 mayoritas juga tinggi (72,2%). Tindakan
pencegahan paparan faktor pencetus gejala
Data primer mencerminkan aktivitas lupus mayoritas optimal (77,8%).
penyakit lupus pada diri responden selama ini, Tabel 4. Data Khusus Penelitian

216
Faktor Pencetus Gejala dan Perilaku Pencegahan SLE (Ni Putu Wulan P.S.)

Variabel Kategori Frekuensi Persentase secara optimal. Masih ada 22,8% responden
Paparan faktor Minimal 4 11,1 yang tidak melaksanakan tindakan pencegahan
pencetus gejala Sedang 32 88,9
secara optimal. Hal ini potensial disebabkan
Tinggi 0 0
Pengetahuan Rendah 0 0 karena para responden tersebut efikasi dirinya
tentang lupus Cukup 0 0 tidak tinggi (masih cukup/ rendah). Ditemukan
Tinggi 36 100 27,8% responden yang efikasi dirinya cukup –
Efikasi diri Rendah 2 5,6 rendah pada saat penelitian. Bila seorang
Cukup 8 22,2 individu memiliki pengetahuan yang sudah
Tinggi 26 72,2
memadai namun keyakinan dirinya
Tindakan Kurang 2 5,6
pencegahan Cukup 6 16,7 kurang/rendah karena berbagai faktor, maka
paparan faktor Optimal 28 77,8 tindakan yang diambilpun menjadi kurang
pencetus maksimal.
Hasil penelitian ini menunjukkan
Hasil uji korelasi Spearman Rho efikasi diri tidak berhubungan dengan faktor
menunjukkan tidak ada hubungan antara faktor pencetus gejala lupus. Efikasi diri merupakan
pencetus gejala dengan pengetahuan lupus cerminan rasa percaya diri seseorang terhadap
(p=0,342) dan dengan sikap (efikasi diri) kemampuan yang dimilikinya untuk dapat
(p=0,651). Ada hubungan yang lemah namun melakukan dan melaksanakan suatu tindakan
signifikan antara faktor pencetus gejala lupus untuk mencapai sebuah tujuan. Mayoritas
dengan tindakan pencegahan paparannya responden yang memiliki efikasi diri tinggi
(r=0,360; p=0,031). (72,2%) mengalami paparan sedang (88,9%)
dan melakukan tindakan pencegahan paparan
PEMBAHASAN faktor pencetus gejala lupus secara optimal
Di dalam penelitian ini, pengetahuan (77,8%). Tinginya efikasi diri responden
tentang lupus tidak berhubungan dengan faktor memfasilitasi optimalnya tindakan pencegahan
pencetus gejala lupus. Dari 100% responden yang diambil.
yang pengetahuannya tinggi, terdapat 88,9% Berdasarkan Precede Proceed Model
responden yang mengalami paparan sedang. dari Green & Kreuter (1991), efikasi diri
Berdasarkan kerangka konseptual yang termasuk sikap yang telah diidentifikasi secara
digunakan dalam penelitian ini, khususnya spesifik dalam domain faktor predisposisi
Precede Proceed Model dari L.W. Green & perilaku kesehatan yang dapat secara langsung
Kreuter (1991), pengetahuan telah diidentifikasi mempengaruhi gaya hidup/tindakan yang
secara spesifik dalam domain faktor diambil individu. Jadi, efikasi diri potensial
predisposisi perilaku kesehatan yang dapat berhubungan dengan tindakan pencegahan
secara langsung mempengaruhi gaya hidup/ yang dilakukan odapus, namun tidak
tindakan yang diambil individu. Pengetahuan berhubungan dengan faktor pencetus gejala
berhubungan dengan tindakan yang diambil lupus.
seseorang untuk mempertahankan status Hasil penelitian ini menunjukkan
kesehatannya. Hal ini selaras dengan hasil tindakan pencegahan paparan faktor pencetus
penelitian yang menunjukkan tidak ada berhubungan dengan faktor pencetus gejala
hubungan signifikan antara pengetahuan dan lupus. Mayoritas responden mengalami paparan
faktor pencetus gejala lupus, namun sedang (88,9%) dan melakukan tindakan
pengetahuan potensial berhubungan dengan pencegahan paparan faktor pencetus gejala
tindakan pencegahan yang dilakukan odapus. lupus secara optimal (77,8%). Ada 11,1%
Pengetahuan merupakan suatu responden yang mengalami paparan sedang
perwujudan dari faktor internal individu yang namun belum melaksanakan tindakan
mempermudah individu untuk berperilaku. pencegahan secara optimal.
Penerapan pengetahuan odapus dalam Faktor pencetus gejala lupus yang
kehidupannya sehari-hari bisa ditunjukkan teridentifikasi dalam penelitian ini meliputi
dalam tindakan pencegahan paparan faktor stres fisik (mayoritas), stres emosional, sinar
pencetus gejala lupus. Hasil penelitian matahari, makan tidak teratur, kurang tidur dan
menunjukkan dari 100% responden yang perubahan hormon (terkait siklus menstruasi
pengetahuannya tinggi, hanya 77,8% dan proses kehamilan). Para responden penelitian
responden yang melakukan tindakan pencegahan menyatakan beberapa kesulitan dalam usahanya
mencegah paparan faktor-faktor pencetus ini

217
Jurnal Ners Volume 11 No. 2: 213-219

karena tuntutan peran, keterbatasan diri maupun KEPUSTAKAAN


sumberdaya yang dimiliki. Namun demikian,
America, L.F. of, 2012. Understanding Lupus.
mayoritas responden bisa melakukan tindakan
Available at: www.lupus.org.
pencegahan secara optimal.
De Barros, B.P., De Souza, C.B. & Kirsztajn,
Faktor pencetus stress fisik relatif sulit
G.M., 2012. The structure of the “lived-
dicegah karena responden merasa sulit menjaga
experience”: analysis of reports from women
tubuh dari rasa lelah akibat bekerja maupun
with systemic lupus erythematosus. Journal
menjalankan perannya sebagai ibu yang harus
of Nursing Education and Practice, 2 (3), p.p
menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Hal
120. Available at:
ini potensial terjadi akibat tingginya tuntutan
http://www.sciedu.ca/journal/index.php/jnep/
peran dan kurangnya dukungan keluarga dalam
article/view/594 [Accessed October 28,
hubungan sosialnya.
2016].
Hasil penelitian lain mendukung hasil
Dias, S.S. et al., 2014. Advances in systemic
penelitian Dias et al. (2014) yang berpendapat
lupus erythematosus. Medicine, 42(3),
bahwa tindakan yang ditujukan untuk
pp.126–133. Available at:
meminimalisir paparan faktor pencetus gejala
http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/
lupus dapat mengurangi kekambuhan lupus.
S1357303913003666 [Accessed October
Tindakan pencegahan ini diperlukan untuk
28, 2016].
mengendalikan kekambuhan gejala lupus dan
Ferenkeh-Koroma, A., 2012. Systemic lupus
mempertahankan status kesehatan odapus tetap
erythematosus: nurse and patient
baik. Green & Kreuter (1991) berpendapat
education. Nursing Standard, 26(39),
bahwa tindakan spesifik yang ditujukan untuk
pp.49–57. Available at:
meningkatkan/mempertahankan status kesehatan
http://rcnpublishing.com/doi/abs/10.7748/
dapat mempengaruhi kualitas hidup individu.
ns2012.05.26.39.49.c9134 [Accessed
Tindakan pencegahan paparan faktor
October 28, 2016].
pencetus yang dilakukan oleh odapus dapat
Foundation, S.L.E.L., 2012. About lupus.
memberi perbaikan yang bermakna pada
Available at: www.lupusny.org.
kekambuhan gejala lupus bila dilakukan
Gallop, K. et al., 2012. Development of a
dengan benar dan rutin. Namun demikian, ada
conceptual model of health-related quality
beberapa jenis faktor pencetus yang dirasa sulit
of life for systemic lupus erythematosus
dicegah, misalnya stres fisik (tergantung
from the patient’s perspective. Lupus,
tuntutan peran), stres emosional (tergantung
21(9), pp.934–43. Available at:
mekanisme koping), sinar matahari (tergantung
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/224
aktivitas), dan lain-lain.
33917 [Accessed October 28, 2016].
Indonesia, Y.L., 2012. Info tentang Lupus.
SIMPULAN DAN SARAN
Available at:
Simpulan www.yayasanlupusindonesia.org.
Faktor pencetus gejala lupus mayoritas Kannangara, L. et al., 2008. A study on
adalah stres fisik / kelelahan. Ada hubungan aggravating factors for exacerbations,
antara faktor pencetus gejala dengan tindakan complications and hospital prevalence of
pencegahan paparannya pada penderita lupus. systemic lupus erythematosus (SLE).
Tidak ada hubungan antara faktor pencetus Available at:
gejala dengan pengetahuan dan efikasi diri http://pgimrepository.cmb.ac.lk:8180/han
(sikap) pada penderita lupus. dle/123456789/2862 [Accessed
November 1, 2016].
Saran
L.W. Green & Kreuter, M.W., 1991. Health
Pendekatan multi-center study dapat Promotion Planning: An Educational and
dilakukan untuk menjangkau jumlah Environmental Approach 2nd ed.,
responden yang lebih besar. Paradigma Mountain View: Mayfield Publishing
penelitian mixed-methods dapat diterapkan Company.
untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih Laura K. DeLong, MD, M., 2012. Vitamin D
akurat. Instrumen baru yang dikembangkan Status, Disease Specific and Quality of
dapat diuji dalam skala yang lebih besar Life Outcomes in Patients With Cutaneous
sehingga bisa distandardisasi. Lupus-Full Text View-ClinicalTrials.gov,

218
Faktor Pencetus Gejala dan Perilaku Pencegahan SLE (Ni Putu Wulan P.S.)

Atlanta, Georgia, United States, 30322. NIAMS, N.I. of A. and M. and S.D., 2012.
Available at: Handout on health: systemic lupus
https://clinicaltrials.gov/ct2/show/NCT01 erythematosus. Available at:
498406. www.niams.nih.gov.
Nadhiroh, F., 2007. Lupus: penyakit seribu Stichweh, D. & Pascual, V., 2005. Systemic
wajah dominan menyerang wanita. lupus erythematosus in children. An
Available at: http://surabaya.detik.com. Pediatr (Barc), 63(4), pp.321–329.
Nery, F.G. et al., Major depressive disorder Available at:
and disease activity in systemic lupus www.analesdepediatria.org/en/pdf/13079
erythematosus. Comprehensive 815/S300/.
psychiatry, 48(1), pp.14–9. Available at: Utomo, Y.W., 2012. Tingkatkan Riset dasar
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/171 Tentang Lupus. Available at:
45276 [Accessed October 28, 2016]. www.health.kompas.com.

219
Peran Asah (3A) Pengasuh (Ilya Krisnana, dkk)

PERAN ASAH (3A) PENGASUH DENGAN PERKEMBANGAN BAHASA ANAK


USIA TODDLER DI TAMAN PENITIPAN ANAK
(Role Of Care Giver Stimulation On Toddler’s Language Development in Day Care)

Ilya Krisnana, Praba Diyan Rachmawati, Mar’atus Sholihah


Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
Kampus C Unair Jalan Mulyorejo Surabaya 60115
Email: ilyakrisnana28@gmail.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Pengasuh di TPA memegang peranan penting dalam mengasah seluruh aspek perkembangan anak. Penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis hubungan peran pengasuh dalam pemberian asah dengan perkembangan bahasa di 3 Taman
Penitipan Anak (TPA) di Surabaya. Metode: Desain penelitian ini menggunakan deskriptif korelasi dengan pendekatan cross
sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah pengasuh dan anak di TPA dengan teknik purposive sampling. 16 pengasuh
dan 33 anak menjadi responden yang ditentukan berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Variabel dependen yang diukur
adalah pemberian asah pengasuh. Variabel independen yang diukur adalah perkembangan bahasa anak. Pengumpulan data
dilakukan dengan menggunakan observasi responden pengasuh dan Denver II pada responden anak. Data dianalisis dengan
menggunakan analisis korelasi non parametrik (Spearman rho) dengan nilai signifikansi α= 0,05. Hasil: Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pemberian asah pengasuh berhubungan dengan perkembangan bahasa anak, nilai p=0,002 dan r=0,0510.
Hal ini menunjukkan adanya hubungan yang cukup kuat dan signifikan antara pemberian asah pengasuh dengan
perkembangan bahasa anak. Diskusi: Hubungan peran pengasuh dalam pemberian asah dengan perkembangan bahasa anak
di tempat penitipan anak signifikan dan berhubungan cukup kuat. Penilti selanjutnya diharapkan dapat mengidentifikasi
faktor genetik, dan faktor lingkungan lainnya.
Kata kunci: perkembangan bahasa, asah, taman penitipan anak, pengasuh, toddler

ABSTRACT
Introduction: Role of caregiver in the day care is really important in every aspect of children development, especially
language development. This study aimed to analyze the relationship between role of caregiver in giving stimulation and
language development toddler in 3 day care in Surabaya. Methods: This study was using cross-sectional study. The
population were children and caregivers in day care with purposive sampling. 16 caregivers and 33 children as respondents,
taken according to inclusion and exclusion criteria. The dependent variable was role of cargiver in giving stimulation. The
independent variable was the toddler language development. Data collection for caregivers stimulation through observation
sheets and for language development children through Denver II, and were analyzed by using non-parametric correlation
analysis (Spearman rho) with significance value α=0.05. Result: The result showed that caregiver in giving stimulation has
correlate with language development toddler (p-value = 0.002, r = 0.0510). Discussion: It can be concluded that correlation
between role of cargiver in giving stimulation with language development toddler was significant and has strong enough
correlation. Further research need to identify more factors such as genetic factor and the other aspects of environmental
factor.
Keywords: language development, stimulation, children day care center, caregiver, toddler

PENDAHULUAN dan 2,3-19% mengalami keterlambatan verbal


(Soetjiningsih 2013). (Hartanto 2011)
Peningkatan prosentase ibu bekerja
menerangkan selama tahun 2007 di poliklinik
diikuti dengan peningkatan jumlah anak yang
tumbuh kembang anak RS Dr. Kariadi Semarang
dititipkan di TPA (Kusumastuti 2013).
didapatkan 22,9% dari 436 kunjungan baru,
Pengasuh di TPA memegang peranan penting
datang dengan keluhan terlambat bicara, 13
dalam proses tumbuh kembang anak terutama
(2,98%) diantaranya didapatkan gangguan
perkembangan bahasa (KEMENDIKBUD
perkembngan bahasa. Berdasarkan hasil survei
2015). Keterlambatan perkembangan bahasa
dari 17 TPA di Surabaya, terdapat 3 TPA yang
pada anak dapat menyebabkan learning
belum mempunyai kurikulum pembelajaran dan
disabilities yang akan membuat anak
belum rutin melakukan stimulasi dalam bentuk
mengalami masalah perilaku dan penyesuaian
bermain sambil belajar. Hasil pengukuran
psikososial (Wijaya 2015).
perkembangan bahasa menggunakan Denver
Prevalensi keterlambatan kemampuan
Development Screening Test (DDST)
berbahasa dilihat pada anak usia dini menurut
menunjukkan 25% termasuk kategori suspek
studi Cochrane terakhir, pada usia 2-4,5 tahun
keterlambatan perkembangan bahasa dari 20
adalah 5-8% mengalami keterlambatan bicara
anak di ketiga TPA.

240
Jurnal Ners Vol. 11 No.2 Oktober 2016: 240-245

Proses pembelajaran perkembangan kriteria inklusi dan eksklusi dengan teknik


bahasa menurut kaum behavioris diperoleh purposive sampling. Variabel dependen yang
melalui rangsangan dari lingkungan. Menurut diukur adalah pemberian asah pengasuh.
salah satu tokoh behavioris (Thorndike 1913) Variabel independen yang diukur adalah
belajar merupakan peristiwa terbentuknya perkembangan bahasa anak. Pengumpulan data
asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang dilakukan dengan menggunakan observasi
disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang responden pengasuh dan Denver II pada
diberikan atas stimulus tersebut. Stimulus yang responden anak. Data dianalisis dengan menggunakan
didapatkan seorang anak di tempat penitipan analisis korelasi non parametrik (Spearman
anak dari pengasuh berupa asah yang rho) dengan nilai signifikansi α= 0,05.
kemudian anak memberikan respon berupa
perkembangan anak. Proses asosiasi yang HASIL
terjadi antara stimulus dan respon menurut
Tabel 1 menunjukkan bahwa sebagian
Thorndike akan mengikuti law of readiness,
besar (37,6%) responden pengasuh di TPA
law of excercise, dan law of effect. Ketiga
memenuhi kebutuhan asah dalam kategori
hukum tersebut membuat stimulasi rutin
kurang, dan mayoritas (63,6%) responden anak di
meningkatkan respon perkembangan anak
TPA memiliki perkembangan bahasa dalam
termasuk perkembangan bahasa (Thorndike
kategori normal.
1913). Berdasarkan data, teori, dan penelitian
Tabel 2 menunjukkan bahwa ada
sebelumnya, peneliti memandang perlu untuk
hubungan antara peran pengasuh dalam
melakukan penelitian tentang hubungan peran
pemberian asah di tempat penitipan anak
pengasuh dalam pemberian asah dengan
dengan perkembangan bahasa anak usia todler.
perkembangan bahasa anak usia todler di TPA.
Dengan menggunakan uji statistik Spearmen’s
Rho (r) dengan tingkat kemaknaan α < 0,05
METODE
didapatkan hasil korelasi r = 0,510 dan nilai p
Desain penelitian ini menggunakan = 0,002.
deskriptif korelasi dengan pendekatan cross Nilai p tersebut berarti H1 diterima dan
sectional. Dilaksanakan di 3 TPA Surabaya H0 ditolak. Hasil statistik tersebut menunjukan
yakni TPA Masha, Cemerlang, Dharma Wanita. hubungan yang kuat antara pemberian asah
Populasi dalam penelitian ini adalah pengasuh pengasuh dengan perkembangan bahasa anak
dan anak di TPA. 16 pengasuh dan 33 anak pada usia todler.
menjadi responden yang ditentukan berdasarkan

Tabel 1 Pemberian asah pengasuh dan perkembangan bahasa anak di TPA Surabaya, Juni 2016
Variabel yang diukur Kategori f %
Baik 5 31,2
Pemberian Asah Cukup 5 31,2
Kurang 6 37,6
Total 16 100
Normal 21 63,6
Perkembangan Bahasa Suspect 11 33,3
Untestable 1 3,1
Total 33 100

Tabel 2 Peran Pengasuh dalam Pemberian Asah dengan Perkembangan Bahasa Anak Usia Todler
Perkembangan Bahasa
Peran Pengasuh dalam Total
Untestable Suspect Normal
Pemberian Asah
F % f % f % f %
Kurang 1 3 7 21,2 4 12,1 12 36,4
Cukup 0 0 3 9,1 7 21,2 10 30,3
Baik 0 0 1 3 10 30,3 11 33,3
Total 1 3 11 33,3 21 63,6 33 100
p = 0,002
Koefisien Korelasi Spearman’s Rho = 0,510

241
Peran Asah (3A) Pengasuh (Ilya Krisnana, dkk)

PEMBAHASAN termasuk kategori usia dewasa muda. Supartini


(2014) menjelaskan bahwa rentang usia yang
Berdasarkan hasil penelitian, responden
tidak terlalu tua atau terlalu muda adalah baik
pengasuh dalam memberikan asah yang
untuk menjalankan peran pengasuhan karena
termasuk kategori kurang memiliki proporsi
memiliki kekuatan fisik dan psikososial, sehingga
paling besar, kemudian yang kategori baik dan
dapat menjalankan peran pengasuhan secara
cukup memiliki proporsi yang sama besar.
optimal. Usia pengasuh mempengaruhi
Pembarian asah pengasuh dalam kategori baik
kesiapan mereka untuk menjadi pengasuh dan
karena pengasuh memberikan asah dengan
menjalankan tugas sebagai pengganti orang tua
memberi contoh, pembiasaan, latihan, dan
sementara. Berdasarkan data demografi yang
kompetisi secara rutin. Menurut KEMENDIKBUD
diperoleh, mayoritas orang tua responden anak
(2015) dalam Juknis TPA, pengasuh dalam
juga pada masa dewasa muda. Pengasuh dan
memberikan asah artinya pengasuh memberi
orang tua yang terlalu muda cenderung belum
dukungan kepada anak untuk dapat belajar
memiliki kesiapan untuk mendidik dan
melalui bermain yang bermakna, menarik, dan
mengarahkan pendidikan anak, mereka beberapa kali
merangsang imajinasi, kreativitas anak untuk
tidak menghiraukan anak dan lebih memilih untuk
melakukan, mengekplorasi, memanipulasi, dan
bersenang-senang sendiri karena masih ingin
menemukan inovasi sesuai dengan minat dan
menikmati masa muda seperti bermain hp saat
gaya belajar anak. Pengasuh yang memberikan
sedang mengasuh anak.
asah dalam kategori baik, dapat menciptakan
Berdasarkan hasil penelitian menunjukan
beberapa komunikasi ketika bermain menjadi
bahwa mayoritas responden anak memiliki
bentuk asah untuk perkembangan bahasa.
perkembangan bahasa normal. Anak yang
Bentuk asah yang mayoritas dilakukan oleh
mengalami suspect keterlambatan perkembangan
semua pengasuh adalah mengasah dengan
bahasa dan untestable hanya sebagian kecil.
membiasakan menyebut nama anak ketika
Mayoritas anak dengan perkembangan bahasa
bermain dan menyebut nama permainan/
normal dapat melewati satu atau lebih
barang saat memberikan ke anak atau meminta
komponen 25-75% menyentuh garis. (Sulistyawati
anak mengambilnya. Thorndike (1913) menyebutkan
2014) menjelaskan bahwa jika anak dapat
dalam law of excercise bahwa hubungan
melewati komponen 25-75% maka artinya
stimulus dan respon akan bertambah erat jika
anak dapat melakukan komponen yang baru
sering digunakan atau dilatih dan akan lenyap
bisa dilakukan oleh 25-75% anak. Perkembangan
sama sekali jika jarang digunakan. Bentuk
bahasa anak yang termasuk kategori normal
pembiasaan pengasuh sebagai salah satu upaya
terlihat berbeda dari anak yang suspect
pemberian asah agar respon perkembangan
keterlambatan perkembangan bahasa. Perbedaan terlihat
anak berjalan dengan normal.
saat dilakukan tes pada setiap komponen, anak dapat
Berdasarkan hasil observasi selama
menjawab lebih cepat dan tepat. Anak dengan
penelitian, pengasuh dalam memberikan asah
perkembangan bahasa normal juga tetap bisa
termasuk kategori cukup, karena pengasuh
melakukan komponen yang anak-anak lain
memberikan asah dengan memberi contoh,
sudah tidak bisa, bahkan terdapat anak dengan
pembiasaan, dan latihan, tetapi tidak memberikan
interpretasi skor advance karena anak dapat
asah dengan kompetisi. Fakta ini sesuai dengan
lulus pada komponen yang terletak di kanan
pernyataan dari Afin (2014) yang menyatakan
garis.
bahwa memberikan asah melalui kompetisi
Mayoritas anak dengan suspect keterlambatan
dilakukan setelah anak cukup mampu menguasai
perkembangan bahasa gagal melewati komponen di
satu bidang yang bisa diandalkan maka bisa
sebelah kiri garis. Sulistyawati (2014) menjelaskan
diikutkan dalam kompetisi yang ada di sekitar.
bahwa bila anak gagal atau menolak melakukan
Penyebab pemberian asah pengasuh termasuk
komponen tes yang terletak berada di sebelah
kategori cukup adalah beberapa pengasuh
kiri garis umur, maka termasuk mengalami
beranggapan bahwa anak usia todler belum
delayed, karena 90 persen anak pada sampel
siap untuk diajak berkompetisi antar terman.
standar telah dapat melewati komponen tersebut. Anak
Berdasarkan hasil peneilitian pemberian
yang mengalami suspect keterlambatan perkembangan
asah oleh pengasuh termasuk dalam kategori
bahasa selain mengalami delayed juga memiliki
kurang karena pengasuh hanya memberikan
interpretasi skor caution, sehingga perlu
asah dengan pembiasaan. Mayoritas pengasuh
dilakukan uji ulang dalam 1-2 pekan untuk
yang memberikan asah dalam kategori kurang
menghilangkan faktor sesaat seperti rasa takut,

242
Jurnal Ners Vol. 11 No.2 Oktober 2016: 240-245

keadaan sakit, dan kelelahan pada waktu skrining sehingga perkembangan bahasa anak berjalan
perkembangan. dengan optimal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat Mayoritas responden anak yang memiliki
anak dengan hasil penilaian perkembangan bahasa perkembangan bahasa normal lebih sering
yang untestable. Pada responden anak yang diasuh oleh pengasuh dengan pemberian asah
mendapatkan intrepretasi hasil untestable, dalam kategori baik dan cukup. Hasil penelitian
terdapat satu komponen delay dan tiga caution bahwa perkembangan bahasa anak yang diasuh
karena anak menolak melakukan bukan karena anak oleh pengasuh yang memberikan asah dengan
gagal melakukan. (Sulistyawati 2014) menyebutkan baik termasuk kategori normal sesuai dengan
bahwa langkah penilaian perkembangan harus diawali pernyataan (Soetjiningsih 2013) bahwa
dengan pemeriksa membangun hubungan yang baik memenuhi kebutuhan asah merupakan cikal
dengan anak dan pengasuh karena saat telah terbina bakal dalam proses belajar (pendidikan dan
hubungan saling percaya maka akan meminimalisir pelatihan) pada anak termasuk belajar memaksimalkan
terjadi penolakan saat dilakukan tes perkembangan. perkembangan bahasa. Perkembangan bahasa anak
Penyebab hasil penilaian perkembangan bahasa yang periode todler yang harus mencapai banyak kemampuan
untestable menunjukkan kesesuian dengan dibandingkan periode lain, membuat pemberian asah
penjelasan Sulistywati. Waktu penelitian yang diperlukan, karena dengan pengasuh yang
terbatas membuat tidak semua anak dengan mudah mempunyai durasi cukup lama berinteraksi
menerima kehadiran peneliti. Perilaku anak dalam dengan anak, mengasah kemampuan secara rutin
beradaptasi dengan orang baru tidak dapat maka perkembangan bahasa anak tidak akan
dianggap sama karena berdasarkan pengalaman saat mengalami keterlambatan.
proses penelitian meskipun peneliti telah Berdasarkan hasil peneilitian pemberian
berusaha membangun hubungan dengan semua asah oleh pengasuh dalam kategori kurang
anak sejak studi pendahuluan, terdapat satu menunjukkan hasil skrining perkembangan
responden anak yang hasil penilaian perkembangan bahasa mayoritas suspect keterlambatan
bahasanya tetap untestable dari sejak studi perkembangan bahasa. Hasil penelitian ini
pendahuluan sampai tes kembali saat penelitian. selaras dengan penelitian Zukhrifatin tahun
Berdasarkan hasil penelitian, diketahui 2006 bahwa anak yang mendapat stimulasi
tingkat korelasi yang cukup artinya hubungan kurang, mayoritas anak mengalami gangguan
antara kedua variabel cukup kuat dan perkembangan. Hasil tersebut menunjukkan
menunjukkan arah yang searah yaitu jika peningkatan kejadian penyimpangan perkembangan
pemberian asah lebih baik maka perkembangan pada anak yang mendapat stimulasi kurang.
bahasa akan normal. Nilai signifikansi yang Disisi lain, fakta di ketiga TPA menunjukkan
cukup signifikan bermakna hubungan antara bahwa meskipun pengasuh pemberian asah
kedua variabel signifikan. Pernyataan diatas dalam kategori kurang, tidak selalu hasil skrining
menunjukkan bahwa hubungan pemberian asah perkembangan bahasa menunjukkan dicurigai
pengasuh dengan perkembangan bahasa anak keterlambatan tetapi juga ada yang normal.
cukup kuat, signifikan dan searah. Berdasarkan Fakta ini menunjukkan ketidaksesuaian dengan
teori(Thorndike 1913) bahwa perkembangan penjelasan yang dikemukakan oleh (Soetjiningsih
bahasa dikendalikan oleh rangsangan dari 2013) bahwa anak yang mendapat stimulasi
lingkungan, karena belajar merupakan peristiwa kurang dan tidak teratur akan mengalami keterlambatan
terbentuknya asosiasi antar stimulus dengan perkembangan termasuk perkembangan bahasa. Hal
respon yang diberikan atas stimulus tersebut. ini dipengaruhi oleh beberapa faktor lain
Maka dari itu, stimulus yang didapatkan seperti kesehatan anak, peran orang tua di
seorang anak di tempat penitipan anak dari rumah dalam berinteraksi dengan anak.
pengasuh berupa asah yang baik direspon oleh Berdasarkan data demografi yang didapatkan,
anak dengan perkembangan yang normal. mayoritas orang tua responden anak memiliki
Hasil penelitian ini selaras dengan penelitian pendidikan terkahir S1 dan pekerjaan swasta/
(Maria 2009) yang menunjukkan terdapat pegawai negeri sipil. (Kliegman 2012) menjelaskan
hubungan antara asah dengan perkembangan orang tua dengan tingkat pendidikan tinggi akan
karena responden anak yang terasah secara memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang
terarah dan penuh kasih sayang akan dapat perkembangan anak, seperti mengetahui cara
mengendalikan dan mengkoordinasi otot-otot bertanya dan memberi perintah pada anak yang
yang melibatkan perasaan emosi dan pikiran tepat sehingga perkembangan bahasa anak
sesuai tahap perkembangan. Orang tua dengan

243
Peran Asah (3A) Pengasuh (Ilya Krisnana, dkk)

pengetahuan yang luas lebih terlibat aktif dengan lingkungan keluarga terutama orang tua
dalam setiap upaya pendidikan anak, yang mengajar, melatih dan memberikan contoh
mengamati segala sesuatu dengan berorientasi berbahasa kepada anak menentukan perkembangan
pada masalah anak, dan selalu menyediakan waktu bahasa anak. Hubungan yang sehat antara orang tua
untuk anak, karena mereka mengetahui kualitas dan anak akan memfasilitasi perkembangan bahasa
interkasi orang tua dan anak sangat menentukan anak, sedangkan hubungan yang tidak sehat
perkembangan anak. (KEMENKES 2013) mengakibatkan anak mengalami kesulitan dalam
menyebutkan bahwa salah satu faktor yang perkembangan bahasa.
mempengaruhi perkembangan anak adalah
pekerjaan orang tua, karena menentukan tingkat SIMPULAN DAN SARAN
sosio-ekonomi yang dimiliki. Anak dari orang tua
Simpulan
yang memiliki penghasilan diatas rata-rata akan
memiliki lingkungan yang baik dan mendapatkan Penelitian ini menyimpulkan bahwa sebagian
pemeriksaan perkembangan secara reguler sehingga besar pemberian asah pengasuh dalam kategori kurang
jika ada gangguan perkembangan dapat dideteksi terutama pada kegiatan mengasah dengan kompetisi.
secara dini. Mayoritas responden anak di tempat penitipan anak
Mayoritas responden anak yang perkembangan memiliki perkembangan bahasa dalam kategori
bahasa normal menerima pemberian asah baik karena normal. Pemberian asah pengasuh mempengaruhi
kegiatan pemberian asah dengan contoh, pembiasaan, perkembangan bahasa anak di tempat penitipan anak.
latihan dan kompetisi diberikan secara rutin. Mayoritas Pemberian asah yang semakin baik akan menyebabkan
anak yang dicurigai mengalami keterlambatan hasil skrining perkembangan bahasa anak termasuk
perkembangan bahasa menerima pemberian asah yang kategori normal. Pemberian asah yang baik adalah
kurang karena kegiatan mengasah dengan memberi pengasuh mengasah perkembangan bahasa dengan
contoh, kompetisi dan latihan tidak semua dilakukan. memberi contoh, pembiasaan, latihan dan kompetisi
Hasil penilitian ini selaras dengan teori (Thorndike 1913) secara rutin dan optimal.
yang menyebutkan bahwa proses asosiasi dalam
Saran
stimulus dan respon memenuhi ketiga hukum yakni law
of readiness, law of excercise, dan law of effect, dengan Perawat diharapkan dapat memberikan
“state of affairs” yang memuaskan, agar hubungan pengetahuan kepada pengasuh bahwa pemberian asah
menjadi lebih kuat. Pemberian asah yang baik akan secara rutin dan optimal kepada anak dapat mencegah
menyebakan perkembangan bahasa normal karena keterlambatan perkembangan bahasa anak. Tempat
ketiga hukum terpenuhi. Law of readiness terpenuhi dari penitipan anak sebaiknya membuat standar operasional
bentuk kegiatan mengasah dengan memberi contoh. prosedur pemberian asah kepada anak sesuai dengan
Pengasuh yang memberikan contoh dapat membuat tahap perkembangan bahasa. Pengasuh diharapkan
anak memiliki “kecenderungan bertindak” menirukan untuk lebih memperhatikan perkembangan anak
pengasuh. Law of excercise terpunuhi dari dengan meningkatkan pemberian asah yang diberikan.
bentuk kegiatan mengasah dengan pembiasaan Peneliti selanjutnya diharapkan dapat melakukan
dan mengasah dengan latihan, karena hubungan penelitian mengenai f aktor -faktor lain
antara asah dari pengasuh dan respon perkembangan yang mempengaruhi perkembanan anak,
bahasa akan semakin kuat jika sering dilatih dan misalnya factor genetik, lingkungan prenatal,
digunakan. Law of effect terpenuhi dari kegiatan dan faktor lingkungan postnatal yang lainnya.
mengasah dengan kompetisi karena dapat menimbulkan
“state of affairs” berupa feedback yang menyenangkan KEPUSTAKAAN
atau menganggu. Anak yang segera mengetahui hasil
belajar dari pengasuh akan dapat meningkatkan Eka, W.H., 2008. Hubungan pola asuh orang tua
motivasi anak dalam belajar. terhadap perkembangan bicara dan bahasa pada
Kedekatan hubungan antara variabel anak usia 2 tahun. Jurnal kesehatan, 1(1).
pemberian asah pengasuh dengan perkembangan Hartanto, F., 2011. Pengaruh Perkembangan Bahasa
bahasa termasuk cukup kuat karena nilai koofisien terhadap Perkembangan Kognitif Anak,
korelasi r=0,510. Kedekatan yang cukup kuat Semarang: Sari Pediatri.
menunjukkan pengasuh memang berperan terhadap KEMENDIKBUD, 2015. NSPK (Norma, Standar,
terhadap perkembangan anak di TPA, tetapi orang tau Prosedur, dan Kriteria) Petunjuk Teknis
maupun lingkungan keluarga juga sangat menentukan. Penyelenggaraan Taman Penitipan Anak,
Fakta ini sesuai dengan pernyataan Yusuf dalam (Eka KEMENKES, 2013. Pedoman Pelaksanaan: Stimulasi,
2008) bahwa proses berinteraksi dan berkomunikasi Deteksi dan Intervensi Dini Tumbu Kembang

244
Jurnal Ners Vol. 11 No.2 Oktober 2016: 240-245

Anak Ditingkat Pelayanan Kesehatan Dasar,


Jakarta.
Kliegman, R.., 2012. Ilmu Kesehatan Anak Nelson 1st
ed., Jakarta: EGC.
Kusumastuti, N.I., 2013. Fenomena taman penitipan
anak bagi perempuan yang bekerja. Jurnal ilmiah
Pendidikan Sosial Antropologi, 3(2).
Maria, F.N., 2009. Hubungan Pola Asah, Asih, Asuh
dengan Tumbuh Kembang Balita Usia 1-3
Tahun. Universitas Airlangga.
Soetjiningsih, 2013. Tumbuh Kembang Anak, Jakarta:
EGC.
Sulistyawati, A., 2014. Deteksi Tumbuh Kembang Anak,
Jakarta: Salemba Medika.
Thorndike, E.., 1913. The psychology of learning 2nd ed.,
New York: Teachers College Press.
Wijaya, S., 2015. Efektivitas Pelatihan Identifikasi Dini
Keterlambatan Bicara pada Anak Usia Pra
Sekolah untuk Meningkatkan Kompetensi
Pedagogik Guru PAUD. In Seminar Nasional
Psikologi - Jilid I. Surakarta: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.

245
Tindakan Tradisional: Sirep (Joni Haryanto, dkk)

TINDAKAN TRADISIONAL: SIREP MEMPENGARUHI KADAR KORTISOL, IFN-


AND IL-10 PADA LANSIA DENGAN GANGGUAN TIDUR
(Traditional Actions: SIREP Influence Cortisol, IFN- and IL-10 In Elderly with Sleep
Disorders)

Joni Haryanto*, Suhartono Taat Putra**


*Fakultas Keperawatan, Universitas Airlangga, Kampus C Mulyorejo Surabaya, 60115
**Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga
E-mail: joni.h.unair@gmail.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Sirep merupakan salah satu tindakan tradisional orang jawa timur Indonesia khususnya suku Tengger. Sirep
dengan menggunakan mantra untuk memenuhi kebutuhan tidur manusia. Lansia di Indonesia adalah seseorang yang memiliki
usia lebih dari 60 tahun. Lansia pada umumnya sering mengalami gangguan pemenuhan kebutuhan tidur namun efek
keperawatan sirep sebagai immunomodulator terhadap kadar kortisol, IFN- dan IL-10 masih belum diketahui. Tujuan
penelitian teridentifikasi karakteristik samples, immunomodulator dan sleep hygiene lansia di Panti Lanjut Usia
Tulungagung. Metode: Populasi sebanyak 70 lansia dengan jumlah sampel 43 lansia. Penelitian ini melibatkan 23 lansia
sebagai kelompok yang diberikan intervensi keperawatan sirep selama 6 bulan (usia rata-rata, 69,6 ± 5,2 tahun) dan 20
kontrol (65,8 ± 5,4 tahun). Kebutuhan tidur dengan tidur dapat diobservasi dengan mengevaluasi tingkat kortisol, IFN-gRα
and IL-10. Biologi molekuler dari sampel ditentukan dengan menggunakan analisis ELISA. Data statistik dianalisis
menggunakan anova dan t-test. Hasil: Setelah intervensi selama 6 bulan, terdapat perubahan yang signifikan kortisol dalam
serum (p=0,0001) dan uji beda intervensi dengan kontrol juga significant (p=0,0013). Perubahan kadar IFN- dalam serum
significant (p=0,0003) dan uji beda intervensi dengan kontrol juga significant (p=0,0164), sedangkan perubahan kadar IL-10
dalam serum significant (p=0,0003) dan uji beda intervensi dengan kontrol no significant (p=0,1143). Diskusi: Hasil
penelitian ini sesuai hipotesis bahwa keperawatan sirep dapat meningkatkan modulator imun pada lansia. Namun, modulator
imun menunjukkan sedikit perbaikan dalam kelompok intervensi keperawatan sirep, hal ini menunjukkan bahwa diperlukan
intervensi yang lebih lama lagi dan lebih sering.
Kata Kunci: Sirep, Kebutuhan tidur lansia, tingkat kortisol, tingkat IFN- , tingkat IL-10

ABSTRACT
Introduction: Sirep, is one of the traditional intervention of people in East Java Indonesia, especially Tengger tribe using
spells to meet the needs of human sleep. Elderly in Indonesia is someone who has more than 60 years of age. Elderly in
general often experience sleep disturbances fulfillment, But the effects of nursing Sirep as an immunomodulator to the levels
of cortisol, IFN-Rα and IL-10 is still unknown in nursing perspective. Method: The population of this study were 70 elderly
with the number of respondents were 43 elderly. They were divided into two groups for 23 elderly with 6-month sirep
intervention (mean age, 69.6 ± 5.2 years) as an experiment group and 20 elderly as control group (65.8 ± 5.4 years). The
need of sleep is implemented to Evaluate the sample of immune modulation, cortisol levels, IFN-Rα and IL-
10. The molecular biology of the samples was determined using ELISA analysis. The statistical analysis of the data used
Determine ANOVA and t-test. Results: After the 6 -month intervention, there re is significant changes in serum cortisol levels
(p = 0.0001) and a different test with a control intervention was also significant (p = 0.00 1 3). Significant changes in
serumlevels of IFN-Rα is (p = 0.0003) and a different test with a control intervention is also significant (p = 0.016 4), while
the change in the levels of IL-10 in serum is significant (p = 0.0003) and test different intervention with no significant control
(p = 0.1143). Discussion: This study supports the hypothesis that sirep can improve immune modulator in elderly. However,
immune modulator showed a slight improvement in the nursing intervention of sirep group, suggesting that a longer or more
frequent sessions of intervention might have an effect.
Key Word: Sirep, Elderly Sleep needs, Cortisol level, IFN- level, IL-10 level

INTRODUCTION East Java is greater than Yogyakarta. Elderly


population majority stays in Folk Home
World Health Organization (WHO,
Elderly (Rahayu 2002; Huang WF 2005)
2005) reports that elderly population is estimated
Elderly generally have a sleep less than
at 9,11% of the total world population. Elderly in
5 hours per day and the prevalence of sleep
Indonesia amounted to 11.34% of the
disorder is about 30-40% in the elderly aged
population. In East Java, the number of
60-69 years (Hashimoto R, Meguro K, Lee E,
elderly at about 11, 40%, where is the second
Kasai M, Ishii H 2006; Lumbantobing 2004;
highest number after Yogyakarta which is at
Hister A 2006).
about 13.04%. (United Nation 2004; Avidan A
Folk Home Elderly In Tulungagung,
2005). In addition, the number population of
East Java Indonesia has 70 elderly aged over
277
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 277- 282

60 years, whom 43 elderly suffered from sleep suppress the body's immunity, namely IFN-
disorder. Sleep disorder in elderly is associated  and IL-10. As a result, the elderly experience
with the severity of the disease in elderly. multiple diseases. (Davis 1995; Fogel J 2003)
The purpose of this research was to
identify characteristics of the samples, MATERIAL AND METHOD
immunomodulator, and sleep hygiene Folk
A Quasy Experimental design was used
Home Elderly elderly in Tulungagung.
in this study to compare pre-post test
The survey from Duke University Center for
intervention in the treatment group: sirep
Demographic Studies (1998) reports that the
intervention (for cortisol level, IFN-gRα and
number of sleeps elderly disturbed ataround
IL-10 in serum) and control groups in Folk
90.4% (Prijosaksono 2002). Philip et al (1999)
Home Elderly in Tulungagung East Java
reports that 85% elderly suffered from failure
Indonesia. The population in this study was
of nighttime sleep (Warwicker, P. , Goodship,
respondents with sleep disorder in the Folk
T. H., & Goodship 1997). Elderly frequently
Home Elderly in Tulungagung East Java
experience insomnia, sleep rhythm disorders,
Indonesia. Sample of this study were taken
namely shortening phase rapid eyes movement
using simple random sampling and the
sleep (REM), also accompanied by elongation phase
inclution criteria was elderly with sleep
of non-rapid eyes movement sleep (N - REM)
disorder. The sample size was 43 elderly
(Risch, N., & Merikangas 1996; Hayflick L
divided into an 23 respondent in intervention
2004).
group and 20 respondent in a control group.
Sleep disturbance affects the human
Independent variable in this study was
circadian cycle. Sleep disorder also causes the
traditional intervention in East Java Indonesia:
decrease of immunity. Lymphocyte T is the
sirep. Dependent variable was cortisol level,
conductor of the immune system, T
IFN-gRα and IL-10 in serum. Analysis of the
lymphocytes proliferates and differentiates into
study used Enzyme Linked Immnunosorbent
cytotoxic T lymphocytes (Tc), lymphocytes T
Assay (ELISA) which is technique indicator
helper (Th), lymphocytes T regulatory (Tr) and
using enzyme with better sensitivity.
lymphocyte T suppressor (Ts). The process of
Data in this study was ratio scale, so
autoimmune diseases in Elderly and degenerative
that to measure the change in pre and post
diseases is a common example. The quality and
sirep nursing intervention and control group
quantity of sleep in elderly is bad. So
used ANOVA meanwhile the comparison of
that, elderly easily overcome the state
post intervention and control used t test or
of multiple deseases (Kirkwood 2005; Wei YH
Mann-Whitney U test with a level significance
1998; Wei YH 2002)
α = 0.05.
Immunity is affected by the human
leukocyte antigen (HLA). Changes in sleep
patterns associated with mutations of genes. A RESULT
person with the sleep disorder narcolepsy with The results of this study showed that 23
cataplexy are HLA DQB1 *0602 allele. Human sample in the traditional East Java of sirep
leukocyte antigen is a gene associated with Indonesia group [mean age ± standard
foreign materials as antigens of the body, which deviation (SD) [69.6 ± 5.2 years] and 20 in the
consists of three loci that are HLA class 1 control group (65.8 ± 5.4 years). There were
consisting of A, B and C, HLA class 2 no adverse events in either group. Table 1
consisting of DR, DQ and DP, whereas HLA shows the baseline characteristics of samples.
class 3 for cytokines and complement The average rate of Traditional East Java of
(Kirkwood 2005; Wei YH 1998; Wei YH Sirep attendance was 95%. There was no
2002) significant difference in the baseline characteristics, age
The significance of HLA DQB (p=0,079), weight (p=0.075), education (years)
*0602 allele is a gene associated antigen (p=0,077), long in folk home (p=0.122), and
recognition by T lymphocytes in the locus 1 body mass index (p=0.783) between the two
and 2 on the allele * 0602 is a type of genes of groups. There are differences between the
people with the sleep disorder narcolepsy with intervention group and control group in a
cataplexy (Kirkwood 2005; Wei YH 2002) significant sleep disorder (p =0.001).
Cortisol is a stress hormone, and increases
when the elderly has sleep disorder which can

278
Tindakan Tradisional: Sirep (Joni Haryanto, dkk)

Table 1 Baseline characteristics of the two groups


Intervention Control
p
n Mean + SD n Mean + SD
Age (year) 23 69.6 ± 5.2 20 65.8 ± 5.4 0.079
Weight (kg) 23 50.2 ± 5.4 20 49.8 ± 6.6 0.075
Education 23 4.5 + 9.2 20 5.1 + 1.9 0,077
Long in Folk Home 23 12.3 + 4.8 20 10.9 + 3.2 0,122
Sleep disorder 23 98.02 +12.58 20 88.31 + 5.46 0.001
Body mass index 23 21.0 ± 2.8 20 20.9 ± 3.0 0.783
SD = Standard deviation
Table 2 Immunomodulator in two groups at baseline and after 6 months
Baseline After 6 month
Intervention Control Intervention Control
p p
n Mean + SD n Mean + SD n Mean + SD n Mean + SD
Cortisol 23 18.95 + 2.13 20 18.98 + 2.26 0.115 23 10.15 + 1.05 20 14.85 + 2.26 0.001
IFN-Rα 23 445.36 + 45.3 20 416.00 + 35.3 0.082 23 499.36 + 122.1 20 422.80 + 121.0 0.016
IL-10 23 24.09 + 3.44 20 25.70 + 3.64 0.211 23 29.45 + 5.72 20 26.00 + 5.44 0.114

Table 3 Sleep hygiene in two groups at baseline and after 6 months


Baseline After 6 month
Intervention Control Intervention Control
p p
n Mean + SD n Mean + SD n Mean + SD n Mean + SD
Quality 23 88.32+ 6.16 20 86.62+6.16 0.311 23 98.02+12.58 20 88.31+ 5.47 0.001
Quantity 23 55.63+ 6.32 20 57.63+ 6.62 0.126 23 63.59+ 7.64 20 65.75+ 6.42 0.691
Problem 23 12.89 + 12.65 20 12.11 + 11.02 0.097 23 09.19 + 10.65 20 11.77 + 10.35 0.003
Needs 23 25.98 + 8.82 20 27.01 + 7.91 0.182 23 18.88 + 7.88 20 26.21 + 8.76 0.003

Table 2 reports a repeated measurement months of intervention is given every two


method, independent t-test was immunomodulator weeks, both groups showed a significant
on the samples of test did not show a difference, with a confidence level (α = 0.05)
significant difference between the traditional then (p = 0.001). Client's condition as samples
East Java of sirep and control groups (IL-10) with the baseline data as in table 1 above, that
and show a significant different between the among the intervention group and the control
traditional East Java of sirep and control group no significant difference. Only sleep
groups after 6 moth intervention cortisol level disorder variable that there is a difference
(p=0,001) and IFN-Rα (p=0.016). Tables 3 between intervention and control groups,
shows a repeated measurement method, namely (p = 0.001). Elderly frequent sleep
independent t-test was sleep hygiene in elderly disturbances and an increase in serum cortisol
on folk home elderly Tulungagung East Java levels due to physical and psychological stress.
Indonesia. The test shows significant different Seniors who experience insomnia associated
between the traditional east java of sirep and with high cortisol levels, IFN-Rα and IL-10
control groups quality sleep, sleep problems producer, namely as macrophages, NK cells
and needs of sleep. and T lymphocytes.
Sirep can improve sleep quality and
DISCUSSION quantity of sleep. The pray of Sirep suggestively
clients can improve the sleep disorder, so the
Cortisol level
client easily initiate sleep and serum cortisol
The initial conditions of elderly before
levels can balance (Yayasan Bali Galang
getting traditional interventions East Java
2002). Sirep an act of personal communication
Indonesia (Sirep) have average levels of
that is effective and able to raise the level of
cortisol in serum (18.95 + 2.13), while the
suggestibility, so clients get a sleep disorder
control group with high levels of serum
and achieved strong expectation condition
cortisol (18.98 + 2.26) showed no significant
serum cortisol elderly clients become balance
difference between two groups: p = 0.115)
(Yayasan bali Galang 2003). Cortisol is
using independent t-test analysis. After 6
balanced to facilitate the development of

279
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 277- 282

immunity of the body, so it is possible clients After 6 months of intervention sirep given
achieve optimal health status. The sirep spells every two weeks, then there is no difference
make the client be sure and suggests, so that between the two intervention groups fallen
the limbic system in the brain to respond to with the control group, with a significance
influence the pre-frontal order hypothalamus level (α = 0.05) then (p = 0.114). Although
secretes corticotrophin relasing factors there are differences between the levels of IL-
balanced. 10 prior to the intervention by 6 months after
Corticotropine generated capable of the intervention (p = 0.003). According to
stimulating the pituitary to produce ACTH and Albright (2003) someone who is experiencing
cortisol-secreting adrenal medulla in balance. chronic insomnia will mutate the gene HLA
Conditions of cortisol in the balance is the DQB allele *0602 so that the activity of T
right amount to maintain healthy body lymphocytes decreased activity Halper 2 and
immunity quality. IL-10 produced no maksimal (Ann Salat, D.H.
2005).
IFN-Rα level
Sirep is not able to increase the activity
Levels of cytokines IFN-Rα level of cells that produce cytokines IL-10 significantly,
produced by such cell monocite, macrophage, but the pray of sirep capable of improving sleep
NK cells and T lymphocytes. Activities of hygiene clients who experience sleep
cells is strongly influenced by the quality and disturbances.
quantity of sleep Elderly. Levels of IFN-Rα
level before intervention was quiet (445.36 + Sleep Hygiene
45.3) and showed not significant different of Sleep hygiene is a combination of
IFN-Rα level with control group (416.00 + quality and quantity of sleep, compared with
35.3) much from the levels of IFN-Rα level in sleep problems and sleep needs of elderly
a statistical test independent t-test with a clients. Condition sleep quality of elderly
significance level (α = 0.05) and outcome (p = before the given intervention fallen between
0.082). After 6 months of intervention sirep the intervention group and control group, both
given once every 2 weeks between the groups there was no significant difference is (p
intervention group and control group with a = 0.311), sedanagkan after 6 months given
significant difference (α = 0.05) and the result intervention fallen into two groups there is a
(p = 0.016). Sirep to improve the quality and significant difference, namely (p = 0.001).
quantity of sleep. Activities of monosite, The quantity of sleep before being given
macrophages, NK cells and T lymphocytes can the actions fallen between the two groups, the
release IFN-Rα level. Sleeps hygiene can intervention fallen to the control group no
significant difference, namely (p = 0.126),
facilitate the activity of IFN-Rα produced of
whereas after 6 months given intervention
cells such as monosite, macrophages, NK cells
fallen once every 2 weeks is also no significant
and T lymphocytes. A Sirep able to create a
difference is (p = 0.691) ,
healthy sleep to elderly clients who active IFN-
Problems sleeping elderly, before being
Rα level experience sleep disturbances, so the
given fallen, both groups between the
cells that produce IFN-Rα level and increase intervention group and control group was not
levels of the cytokine IFN-Rα indicated the significant difference is (p = 0.097), whereas
health of elderly people with the sleep disorder after 6 months of administration fallen once
will improve IFN-Rα. Sirep can increase every 2 weeks both groups significant
levels of IFN-Rα level difference is (p = 0.003), Sleep needs of
IL-10 level elderly, before being given fallen, both groups
Cytokine IL-10 are produced by T between the intervention group and control
lymphocytes, the T Halper 2 as an indicator of group no significant difference, namely (p =
the activity of lymphocytes T as endurance. 0182), whereas after 6 months given intervention
Clients elderly who experience sleep disturbances fallen given every two weeks, there were
before give the sirep intervention had higher significant differences between the intervention
levels of IL-10 with a mean (24.09 + 3.44) in groups fallen with the control group (p =
the intervention group and the control group 0.003).
(25.70 + 3.64) between the two is not According to Philip et al (1999) in his
significant difference, namely (p= 0.211). research 85% Elderly failure nighttime sleep.

280
Tindakan Tradisional: Sirep (Joni Haryanto, dkk)

Elderly often suffer from insomnia, sleep REFERENCE


rhythm disorders, namely shortening phase
Ann Salat, D.H., et. al, 2005. Age-related changes in
repid eyes movement sleep (REM), also
prefrontal white matter measured by diffusion
accompanied by elongation phase of non-repid
tensor imaging. N Y Acad Sci,, 1064, pp.37–49.
eyes movement sleep (N-REM) (Hipolide,
Avidan A, 2005. Epidemiology, Assesment and
D.C., Suchecki, D., Pimentel De Carvalho
Treatment of Insomnia in the Elderly Patient.
Pinto, A., Chiconelli Faria, E., Tufik, S., Luz
Cohen-Mansfield J, W.P., 1997. Management of
2006; Cohen-Mansfield J 1997). Has fallen
verbally disruptive behaviors in nursing home
spells that can improve suggestions and
residents. J Gerontol Ser A Biol Sci Med Sci., 52.
expectations are high for the client, so easily
Davis, 1995. Panduan relaksasi & reduksi stres E. III,
happen personal communication with the sub
ed., Jakarta: EGC.
conscious mind and pre-frontal be
Fogel J, 2003. Behavioral Treatments for insomnia in
comfortable.
primary care setting.
Sirep to improve the quality and
Hashimoto R, Meguro K, Lee E, Kasai M, Ishii H, Y.S.,
quantity of sleep elderly who have sleep
2006. Effect of age and education on the trail
disorders. Sirep also able to reduce sleep
making test and determination of normative data
problems and the needs of elderly sleep with
for Japanese elderly people: the Tajiri Project.
the sleep disorder. Sirep is an activity that
Psychiatry Clin Neurosci, 60(422e8).
promotes effective communication into the
Hayflick L, 2004. The not-so-close relationship between
pre-frontal, so that the hypothalamus secreting
biological aging and ageassociated pathologies in
neurotransmitters like corticotropine relasing
humans. J Gerontol A Biol Sci Med Sci, 59.
factors that can generate activity for secreting
Hipolide, D.C., Suchecki, D., Pimentel De Carvalho
adenocorticotropic pituitary and adrenal glands
Pinto, A., Chiconelli Faria, E., Tufik, S., Luz, J.,
hormone cortisol menskresi within reasonable
2006. Paradoxical sleep deprivation and sleep
limits.
recovery: effects on the hypothalamic-pituitary-
adrenal axis activity, energy balance and body
CONCLUSSION AND RECOMMENDATION
composition of rats. J. Neuroendocrinol, 18,
Conclussion pp.231–238.
This study supports the hypothesis that Hister A, 2006. Growth hormones and the effect on
sirep can improve immune modulator in sleep., Mediresource. Inc. Toronto.
elderly. However, immune modulator showed Huang WF, L.I., 2005. Patterns of sleep-related
a slight improvement in the nursing intervention of medications prescribed to elderly outpatients with
sirep group, suggesting that a longer or more insomnia in Taiwan. Drugs Aging, 22.
frequent sessions of intervention might have an Kirkwood, 2005. Understanding the odd science of
effect. aging. Cell., 120(437e447).
Lumbantobing, 2004. Sleep Disorder. Edisi.136 ed.,
Recommendation Jakarta.
The results of these studies clearly sirep Prijosaksono, A., 2002. Mengatasi insomnia,
generating modules with spells can be used to sURABAYA: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
improve the quality and quantity of sleep, also Politik Universitas Airlangga.
decrease cortisol levels, IFN-Rα and IL-10, Rahayu, 2002. Karakteristik Penyakit Pada Usia Lanjut.
then we recommend to be used as a standard Naskah lengkap temu ilmiah nasional 1 dan
module and nursing care beds meet the needs konferensi kerja III, Perhimpunan Gerontologi
of elderly clients, either level health facilities Medik Indonesia (Pergemi), Semarang: Badan
Level I, Level II Health facilities and Health Penerbit Universitas Diponegoro.
facility Level III. Risch, N., & Merikangas, K., 1996. The future of genetic
studies of complex human diseases. AAAS-Weekly
Acknowledgments Paper Edition, 273, pp.1516– 1517.
This study was supported by Grants-in- United Nation, 2004. In: World Population to 2300,
Aid for Comprehensive Research on Aging New York: Bernan Assoc.
and the Elderly Commissions in East Java Warwicker, P. , Goodship, T. H., & Goodship, J.A.,
Indonesia and Faculty of Nursing Universitas 1997. Three new polymorphisms in the human
Airlangga Surabaya Indonesia. complement factor H gene and promoter region.
Immunogenetics,, 46, pp.437–438.

281
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 277- 282

Wei YH, 1998. Oxidative stress and mitochondrial DNA


mutations in human aging. Proc Soc Exp Biol
Med, 217(53e63.).
Wei YH, L.H., 2002. Oxidative stress, mitochondrial
DNA mutation, and impairment of antioxidant
enzymes in aging. Exp Biol Med (Maywood).,
227(671e682).
Yayasan Bali Galang, 2002. Lontar Usada Pamugpug,
Denpasar: Fakultas Sastra. Universitas Udayana.
Yayasan bali Galang, 2003. Usada Kuranta Bolong,
Denpasar: Fakultas Sastra. Universitas Udayana.

282
Model Pemberdayaan Masyarakat (Miftahul Munir, dkk)

MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SADAR KESEHATAN


(Community Empowerment Aware of Health Model)

Miftahul Munir, Suhartono


School of Nursing Nahdlatul Ulama Institute of Health Science Tuban Indonesia
Jl. Letda Sucipto No. 211 Tuban
Email: munir.stikesnu@gmail.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu keturunan, pelayanan kesehatan, perilaku dan
lingkungan. Faktor perilaku dan lingkungan mempunyai andil paling besar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.
Tujuan dari penelitian ini untuk membuktikan dan menganalisis pengaruh karakteristik individu, self efficacy dan team work
terhadap komitmen dan produktivitas kader kesehatan. Metode: Metode penelitian ini menggunakan penelitian analitik dengan
pendekatan explanatory. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 200 responden. Pengambilan data menggunakan simple random
sampling. Pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner, wawancara dan observasi. Analisis data dengan menggunakan uji
statistik Partial Least Square (PLS). Hasil: Hasil penelitian menunjukkan pengaruh variabel produktivitas kader kesehatan
terhadap investasi ekonomi kesehatan adalah sebesar 0,291 dengan nilai T-statistic sebesar 4,645, dimana nilai T-statistic tersebut
lebih besar dari 1,96 yang berarti produktivitas kader kesehatan berpengaruh signifikan terhadap investasi ekonomi kesehatan, hal
ini menunjukkan pengaruh produktivitas kader kesehatan terhadap investasi ekonomi kesehatan adalah positif, artinya apabila
produktivitas kader kesehatan semakin tinggi maka investasi ekonomi kesehatan juga akan semakin baik. Diskusi: Penelitian ini
dapat dijadikan acuan pemerintah Kabupaten Tuban dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Peningkatan kesehatan
masyarakat harus dilakukan lewat upaya promotif dan preventif, yaitu melalui program produktivitas kader kesehatan.
Produktivitas kader kesehatan memiliki peranan penting dalam upaya peningkatan kesehatan masyarakat, sehingga pemerintah
dapat menghemat dana untuk kesehatan atau investasi ekonomi kesehatan.
Kata kunci: Pemberdayaan Masyarakat, Kader Kesehatan, self-efficasy, komitmen, produktivitas

ABSTRACT
Introduction: Health degree influenced by several factors and the offspring of the Ministry of Health and behavior and the
environment. The behavior and environmental factors have contributed most in improving the degree of community health. The
purpose of this research is to prove and analyzing the influence of the characteristics of the individual, self efficacy and team
work against the commitment and productivity of health cadres. Methods: This research method using analytically research with
explanatory research approach. Samples in this research totaled 200 respondents. The data was taken using simple random
sampling. The collection of data use of the questionnaire, interview and observation. Data analysis was used the statistical test
Partial Least Square (PLS). Result: Research results show the influence of the productivity variable health cadres of economic
investment health is of 0,291 with the value of T-statistic of 4,645, where the value of the T-statistic was greater than 1.96 which
means the productivity of health cadres significant effect of economic investment health, this shows the influence of the
productivity of health cadre of economic investment health was positive, it means that when the productivity of health cadres are
higher then the economic investment will also increasingly good health. Discussion: This research can serve as a reference for
the district government of Tuban in increasing the degree of community health. Improving the health of the community must be
done via promotif efforts and preventive measures through productivity program health cadres. The productivity of health cadres
have an important role in efforts to improve the health of the community so that the government can save the funds for health or
economic investment of health.
Key words: Community empowerment, health cadres, self-efficasy, commitment, productivit.

INTRODUCTION types of diseases, for example polio,


malnutrition cases, outbreaks of dengue fever,
The development of health indicators in
bird flu, diarrhea and HIV/AIDS. In addition to
Indonesia showed a tendency to continue to
the main problem is the cost of increasing health.
improve, among others infant mortality, life
The cost of health care in Indonesia tend to
expectancy, and labor by health professionals.
increase caused by various factors, among others
But on the other hand, health development in
the patterns of degenerative diseases, orientation
Indonesia is currently facing the problem still
on the financing of the curative, advanced
high morbidity, namely the outbreak of several
technology, the development of a sub
288
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 288-292

specialization in medical science and not remove and decide what action is needed to achieve the
also from the inflation rate. desired results, self efficacy is the largest
The degree of health influenced several mediator for human behavior and behavior
factors and the offspring of the Ministry of change, trust individuals give impact on the
Health and behavior and the environment. The behavior of the motivation, the success or failure
behavior and environmental factors have (Munir M, at al. 2016).
contributed most in improving the degree of The important keys from the team work is
community health. Because, to improve the to invite the public to use his experience, articulate
degree of health, then every person has two expectations, determine the main problems faced
obligations, namely behaves is healthy and and formulate effective steps to optimize the
active in maintaining the cleanliness and health potential together (Cornwall A, & Pratt G 2011). The
of the environment around. The behavior contributes development of the productivity of health workers is
large enough contribution to the degree of community needed is to take advantage of the resources available in the
health namely 40 percent, while the environment village efficiently to produce a healthy life in the
contribute 30 percent, genetic factors contribute 20 community (Foster ST 2004). A health workers is expected
percent, and access to health contribute 10 percent to have characteristics, self efficacy, team work and
(Wijono 1999). commitment in performing their duty as health
According to the data from the Central workers.
Statistics Agency Indonesia (2012), Indonesia consists
of sub-district and village 79.075 6793. The MATERIAL AND METHOD
village has started to realize the active standby
The research design used was the study
village as much as 44.255 (55, 96%) from
explanatory research. The population in this
79.075 existing village. Based on the
research is the Tuban district nurse in
coordination meeting village of se East Java
accordance with the criteria for the inclusion of
2013, in East Java there are 7.968 village that
as many as 200, with large samples of research
serves as a standby village from 8.506 existing
respondents determined by 200 using the
village. Active standby village in East Java
technique of simple random sampling.
Province on 2011 reach 91,7 % and rose to
exogenous variables are the characteristics of the
93,7% on 2012.
individual, self efficacy and team work,
The efforts that need to be done in order to
endogenous variable is the commitment as
improve the scope of the services of the behavior
cadres and productivity health cadres. The
of clean and healthy active pratama to levels
instrument used in the collection of data in the form of
madya, full moon or mandiri is doing
the questionnaire. Research analysis using Analysis
Community Self Survey (CSS), community
Techniques Partial this square (PLS) for
leaders are able to perform a survey analysis of
projecting linier relationship between the
self-with health workers, thereby expected to
variables observation. In addition to the number
educate become aware of the health problems
of samples is relatively small, PLS has the
faced by didesanya, as well as the rise of
advantage able to handle complex models with
intention and determination to find the solution,
exogenous variables that have many indicators
including building village health posts as an
and can be used for the indicator with the nature
effort to draw the basic health services to the
of reflective or formative, and does not require
people of the village, therefore needs to be done
the data berdistribusi normal. Partial this square
the selection and entrepreneurship skills for
(PLS) is a method of analysis of the powerful
health professionals.
because it can be applied to all the scale data, not
The characteristics of the individual is the
many need many assumptions and sample size
characteristics of the individuals that consists of
does not have to be large. Partial this square
demographics such as gender, age and social
(PLS) in addition can be used as a confirmation
status such as level of education, work, race and
of the theory can also be used to build
economic status etc. (Suhartono, at al. 2016).
relationships that has no basis in theory or to test
Self Efficacy is the ability of a person to regulate
289
Model Pemberdayaan Masyarakat (Miftahul Munir, dkk)

such a proposition. The conceptual framework RESULT


used in this research will be described in figure 1
The following is the value of the outer
Figure 1. The conceptual framework describes the
loading for each of the indicators on the
influence between the variables examined: the
Participatory Rural Aparisal (PRA), Self Efficay,
individual characteristics (X1), the participatory
Productivity health cadres, Health economic
rural appraisal (X2), self efficacy (X3),
investment and the behavior of a clean and
productivity cadres (Y1), health investment (Y2)
healthy active. Results of the outer loading the
and a clean and healthy life (Y3). This research
first model for each of the indicators also can be
examines the influence of participatory rural
seen in the figure 2.
appraisal and self efficay against the productivity
of health cadres and also as a health Investment
on a clean and healthy life

Participatoy Rural
Appraisal (X 2 )

H1 H2

H4 H7
H5
The characteristics clean and
of the individual Productivity health Health
(X 1 ) cadres (Y 1 ) Investment healthy life
(Y 2 ) (Y 3 )

H1 H3

Self Efficasy (X 3) H6

Figure 1. Conceptual Framework


Work

Figure 2. The results of the hypothesis test

290
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 288-292

Table 1 Results of the Inner Weight and hypothesis test


Hip. The relationship between the variables The Path Description
T stat.
coefficient
H 1a Individual Characteristics The Participatory
0.039 0.142 Not sig

H 1b Individual Characteristics 0.352 2.132 Significant


H2 The participatory rural 3.461
appraisal cadres 0.256 Significant
mln
H3 Self efficacy
cadres 0.464 10.975 Significant

H 4a The participatory rural 3.461


appraisal cadres 0.256 Significant
mln
H 4b Self efficacy
cadres 0.464 10.975 Significant

H5 Health cadres productivity 0.291 4.645 Significant


H6 Health cadres productivity clean and healthy
behavior 0.194 2.642 Significant

H7 Economic Investment clean and healthy


behavior 0.243 3.749 Significant

:
Participatoy Rural
Appraisal (X 2 )

H 1 H 2

H 7
H 4 H 5

Health Investment
The characteristics clean and healthy
Productivity health cadres (Y 2 )
of the individual life (Y )
3
(Y 1 )
(X 1 )

H 1 H 3

Self Efficasy (X 3 )
H 6

Figure 3. Coefficient Model PLS

289
Model Pemberdayaan Masyarakat (Miftahul Munir, dkk)

The results of the hypothesis test can be seen From the table known to the influence of
through the path coefficient on the inner model the variables Self efficacy against the
by comparing the value of t-statistic with critical productivity of 0,464 health cadres is with the
value 1.96. value of T-statistic of 10,975, where the value of
The test result inner model is also can be the T-statistic is greater than 1.96. Thus it can be
seen through the following in figure 3. From the concluded that Self efficacy affect the significant
Figure 3 can be explained the results of the test impact on the productivity of health cadres, so that
the hypothesis as follows: the third hypothesis proven. The influence of the
Self efficacy against the productivity of health
Hypothesis 1: Individual characteristics
cadres is positive, it means that when the Self
significantly influential against the Participatory Rural
efficacy the better the quality of the productivity
Appraisal and Self Efficay on health cadres in the
of health cadres will also be the better.
behavior of a clean and healthy active in Tuban
Regency. Hypothesis 4: The participatory rural appraisal and Self
From the table variable known of the efficacy affect the productivity of health cadres in
individual characteristics significantly influential the behavior of a clean and healthy active in
against the Participatory Rural Appraisal on Tuban Regency.
health cadres was 0.039 with the value of T- From the table known to influence the
statistic of 0,142 where value T-statistic is smaller Participatory Rural Appraisal variable against the
than 1.96. The individual characteristics influence productivity of health cadres on health cadres
toward Self Efficay on health cadres was 0,352 was 0,256 with the value of T-statistic of 3,461
with the value of T-statistic of 2,132 where value where value T-statistic is greater than 1.96. The
T-statistic is greater than 1.96. Thus it can be influence Self Efficay variable against the
concluded that the quality of individual characteristics productivity of health cadres on health cadres
influential significantly against the Participatory Rural was 0,464 with the value of T-statistic of 10,975
Appraisal and Self Efficay on health cadres, so that the first where value T-statistic is greater than 1.96. Thus
hypothesis proven. The individual characteristics influence it can be concluded that the Participatory Rural Appraisal
of the toward Participatory Rural Appraisal and and Self Efficay influential significantly against the
Self Efficay on health cadres is positive, it means productivity of health cadres, until the fourth
that when the variables individual characteristics hypothesis proven. The influence of Participatory Rural
getting better then the Participatory Rural Appraisal and Self Efficay against on productivity
Appraisal and Self Efficay on health cadres will is positive health cadres, means when the
also be the better. Participatory Rural Appraisal and Self Efficay on
the better health cadres and productivity health
Hypothesis 2: The participatory rural appraisal
cadres will also be the better.
affect the productivity of health cadres in the
behavior of a clean and healthy active in Tuban Hypothesis 5: The productivity of health cadres
Regency. Investment significantly influence on the health
From the table known to the influence of of the behavior of clean and healthy active in
the variables participatory rural appraisal of Tuban Regency.
productivity is 0,256 health cadres with the value From the table known influence
of T-statistic of 3,461 with the value of T-statistic productivity variable health cadres of health
is greater than 1.96. Thus it can be concluded that investment is USD 0,291 with the value of T-
the participatory rural appraisal influence statistic of 4,645, where the value of the T-
significant impact on productivity health cadres, statistic is greater than 1.96. Thus it can be
so that the second hypothesis was proven. concluded that the productivity of health cadres
significant effect of health investment so that the
Hypothesis 3: Self efficacy affect the
fifth hypothesis was proven. The influence of the
productivity of health cadres in the behavior of a
productivity of health cadres of health investment
clean and healthy active in Tuban Regency.
is positive, it means that when the productivity of

288
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 288-292

health cadres are higher then the health The influence participatory rural appraisal against the
Investment will also be the better. productivity of health cadres in the behavior of a clean
and healthy active
Hypothesis 6: Health cadres productivity
The test result causation using methods of
significantly influence the behavior of clean and
SHEM-PLS with the help of software Smart PLS
healthy active in Tuban District.
prove that participatory rural appraisal significant
From the table of known influence
effect against the productivity of health cadres in
productivity variable health cadres against the
a clean and healthy life is active in the area of
behavior of clean and healthy active was 0,194
Tuban.
with the value of T-statistic of 2,642, where the
Descriptive results show that participatory
value of the T-statistic is greater than 1.96. Thus
rural appraisal belonging to a very high standard
it can be concluded that the productivity of health
of 155. The results of confirmatory factor
cadres significant effect against the behavior of
analysis (CFA) indicates that the participatory
clean and healthy active, so that the sixth
rural appraisal more determined by indicators
hypothesis proven. The influence of the
that have the largest loading factor, namely
productivity of health cadres of health investment
Academy. Loading factor that is produced from
is positive, it means that when the productivity of
the CFA also indicates that the participatory rural
health cadres are higher then clean and healthy
appraisal variable is determined by the relevance.
active will also increasingly good.
From the descriptive statistics and the value of
Hypothesis 7: Health cadres productivity through the factor loading can be explained that the
participatory rural appraisal approach and self efficacy participatory rural appraisal of the behavior of
affect health Investment, clean and healthy active in clean and healthy active in the area of Tuban can
Tuban District. be enhanced with how to improve the
This hypothesis will prove the influence does not participatory rural appraisal that better.
directly from the productivity of health cadres against The participatory rural appraisal test
the behavior of clean and healthy active through results showed that the participatory rural
investment health. Proof of this hypothesis appraisal variables affect the significant impact
depending on the results of the two tests the path on the productivity of health cadres with t-
coefficient (1) from the productivity of health statistic = 3,461≥ 1.96. The greatness of the
cadres of health investment and (2) from health influence of participatory rural appraisal against
Investment against the behavior of clean and the productivity of health cadres was 0,256, this
healthy active. From the table there are known shows that the change in the participatory rural
significant influence productivity variable health appraisal will cause changes in the productivity
cadres of health Investment with a 0,291 of health cadres that his nature clockwise
coefficient with the value of T-statistic of 4,645 (positive), which means when the participatory
(T-statistic > 1.96). Obtained a significant rural appraisal the better then productivity health
influence health Investment variable against the cadres active standby village in the area of Tuban
behavior of clean and healthy active with a 0,243 will also be the better. With these results and
coefficient with the value of T-statistic of 3,749 research hypothesis which stated that the participatory rural
(T-statistic > 1.96). Thus it can be concluded that appraisal influence significant impact on
the productivity of health cadres influential not productivity health cadres in a clean and healthy
directly against the behavior of clean and healthy life is active in the area of Tuban then can be
active through investment health, until the accepted.
seventh hypothesis proven. The higher the Participatory rural appraisal approach is an
productivity of health cadres will raise the approach to facilitate the understanding of the
behavior of clean and healthy active after first problem among the rural and recognition
successful in improving health Investment. associated with the priority of some research
studies become more sensitive to local conditions
DISCUSSIONS that sometimes have the sense that some

289
Model Pemberdayaan Masyarakat (Miftahul Munir, dkk)

approaches have been beyond the view of luck the change Self efficacy will cause changes in the
for the appropriate techniques (Alam A 2012). productivity of health cadres that his nature
The participatory rural appraisal is a clockwise (positive), which means when the Self
research method used to identify problems faced efficacy the better the quality of the productivity
by the community as well as to formulate a way of health cadres active standby village in the area
of bringing together the community itself (Uddin of Tuban will also be the better. With these
MN 2013). Besides, participatory rural appraisal results and research hypothesis which stated that
describes the growth of the family with the the self-efficacy affect the significant impact on
approach and methods to make the sharing, add, the productivity of health cadres in a clean and
and analyze their knowledge of life and healthy life is active in the area of Tuban then
conditions to plan and act. In addition the can be accepted.
principles of participatory rural appraisal more
The influence participatory rural appraisal and Self
emphasize on the behavior and attitudes and
efficacy against the productivity of health cadres in
awareness critical thinking (Chambers 1994). So
the behavior of a clean and healthy active
it can be concluded that the cadres productivity
The test result participatory rural appraisal and
can be improved by performing activities share,
Self efficacy using the method of SHEM-PLS
add and analyze their knowledge and more
with the help of software Smart PLS prove that
stressed against the attitudes and behavior of
the participatory rural appraisal and Self efficacy affect
critical thinking so that the cadres are able to
the significant impact on the productivity of
develop their ability related to the development
health cadres in a clean and healthy life is active
of himself.
in the area of Tuban.
The influence Self efficacy against the Descriptive results showed that the
productivity of health cadres in the behavior participatory rural appraisal and Self efficacy are
of a clean and healthy active classified as on a very high rank (mean 3.98).
The test result Self efficacy using the The results of confirmatory factor analysis (CFA)
method of SHEM-PLS with the help of software indicates that the participatory rural appraisal and
Smart PLS prove that Self efficacy affect the Self efficacy more determined by indicators that
significant impact on the productivity of health have the largest loading factor, namely
cadres in a clean and healthy life is active in the usefullness. Loading factor that is produced from
area of Tuban. the CFA also shows that the variables participatory rural
Descriptive results show that Self efficacy appraisal and Self efficacy is determined by the
is classified on a very high rank (mean 2.50). The relevance. From the descriptive statistics and the
results of confirmatory factor analysis (CFA) value of the factor loading can be explained that the
shows that Self efficacy is determined by participatory rural appraisal and Self efficacy of the
indicators that have the largest loading factor, behavior of clean and healthy active in the area of
namely the orientation of the destination. Tuban can be enhanced with how to improve the
Loading factor that is produced from the CFA participatory rural appraisal and Self efficacy
also shows that the variables Self efficacy is better. The test result participatory rural appraisal
determined by the relevance. From the and Self efficacy , indicates that the participatory
descriptive statistics and the value of the factor rural appraisal variables affect the significant
loading can be explained that the Self efficacy of impact on the productivity of health cadres with
the behavior of clean and healthy active in the t-statistic = 3,461 consecutive patients 1.96. The
area of Tuban can be enhanced with how to greatness of the influence of the influence of
increase Self efficacy better. participatory rural appraisal against the
The test result Self efficacy shows that the productivity of health cadre was 0,256, The
variables self efficacy affect the significant impact on influence Self Efficay variable against the
the productivity of health cadres with t-statistic = productivity of 0,464 health cadres is with the
10,975≥ 1.96. The greatness of the influence of value of T-statistic of 10,975 where value T-
Self efficacy against is by 0,464, this shows that statistic is greater than 1.96. Thus it can be
290
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 288-292

concluded that the Participatory Rural Appraisal and Investment on a clean and healthy life is active in
Self Efficay influential significantly against the the area of Tuban then can be accepted.
productivity of health cadres, until the fourth
The influence productivity health cadres
hypothesis proven. With these results and
against the behavior of clean and healthy
research hypothesis which stated that the
active
participatory rural appraisal and Self efficacy
The results of the test the productivity of
affect the significant impact on the productivity
health cadres using methods of SHEM-PLS with
of health cadres in a clean and healthy life is
the help of software Smart PLS prove that the
active in the area of Tuban then can be accepted.
productivity of health cadres significant effect
The influence productivity health cadres of against the behavior of a clean and healthy life is
health investment in the behavior of a clean active in the area of Tuban.
and healthy active Descriptive results show that the
The results of the test the productivity of productivity of health cadres belonging to a very
health cadres using methods of SHEM-PLS with high rank (mean 3.98). The results of
the help of software Smart PLS prove that the confirmatory factor analysis (CFA) shows that
productivity of health cadres significant effect of the productivity of health cadres more
Health Investment on a clean and healthy life is determined by indicators that have the largest
active in the area of Tuban. loading factor, namely usefullness. Loading
Descriptive results show that the factor that is produced from the CFA also shows
productivity of health cadres belonging to a very that the productivity variable health cadres more
high rank (mean 3.98). The results of determined by the relevance. From the
confirmatory factor analysis (CFA) shows that descriptive statistics and the value of the factor
the productivity of health cadres more loading can be explained that the productivity of
determined by indicators that have the largest health cadres of the behavior of clean and healthy
loading factor, namely usefullness. Loading active in the area of Tuban can be enhanced with
factor that is produced from the CFA also shows how to improve the productivity of better health
that the productivity variable health cadres more cadres.
determined by the relevance. From the The test results showed that health cadres
descriptive statistics and the value of the factor productivity productivity variable health cadres
loading can be explained that the investment of significant effect against the behavior of clean
health behavior of clean and healthy active in the and healthy active with t-statistic= 2.642
area of Tuban can be enhanced with how to consecutive patients 1.96. The greatness of the
improve the productivity of better health cadres. influence of the productivity of health cadres was
The test results showed that health cadres 0,194, this shows that the change in the
productivity productivity variables affect productivity of health cadres will cause changes
significant health cadres of Health Investment to the behavior of clean and healthy active that
with t-statistic = 4,645 consecutive patients 1.96. his nature clockwise (positive), which means
The greatness of the influence of the productivity when the productivity of health cadre the better
of health cadres was 0,291, this shows that the the quality of a clean and healthy life is active in
change in the productivity of health cadres will the area of Tuban will also be the better. With
cause the Health Investment changes his nature these results and the research hypothesis that
clockwise (positive), which means when the states that the productivity of health cadres
productivity of the better health cadres and the significant effect against the behavior of clean
quality of health Investment behavior of clean and healthy active on a clean and healthy life is
and healthy active in the area of Tuban will also active in the area of Tuban then can be accepted.
be the better. With these results and the research
hypothesis that states that the productivity of
health cadres significant effect of Health

291
Model Pemberdayaan Masyarakat (Miftahul Munir, dkk)

Productivity health cadres through characteristics health cadres, participatory rural


participatory rural appraisal approach and appraisal, self-efficasy, productivity health
self efficacy affect Health Investment behavior cadres, investment health and behavior of clean
of clean and healthy active in Tuban Regency. and healthy active. A review of the concepts are
The results of the test the productivity of expected to enrich and fortifying the theory of the
health cadres through participatory rural appraisal field of human resources and the behavior of the
approach and self efficacy using the method of organization. It has been done by the study
SHEM-PLS with the help of software Smart PLS related to the commitment and productivity of
prove that the productivity of health cadres health cadres, but to the object of research about
significant effect against the Health Investment health cadre especially in the village has not been
behavior of clean and healthy active in the area of done. Expected from the results of this research
Tuban. can be an important aspect to manage the ability
Descriptive results show that the of human resources that need to be prepared to
productivity of health cadres belonging to a very health cadres who independently. This research
high rank (mean 3.98). The results of shows that there is the influence of the individual
confirmatory factor analysis (CFA) shows that characteristics, self-efficacy, and team work
the productivity of health cadres more against the commitment and productivity of
determined by indicators that have the largest cadres. Some of the variables had an effect on the
loading factor, namely usefullness. Loading commitment and productivity of cadres, the
factor that is produced from the CFA also shows results of the study showed that the competencies
that the productivity variable health cadres more cadres have the most influence on the
determined by the relevance. From the productivity of cadres.
descriptive statistics and the value of the factor
Recommendation
loading can be explained that the productivity of
health cadres of the behavior of clean and Health workers have an important role in
healthy active in the area of Tuban can be improving public health. So this research could
enhanced with how to improve the productivity be used by local governments tuban in an effort
of better health cadres. to improve public health, with preventive and
The results of the test the productivity of promotive through the implementation of
health cadre shows that there is a significant productivity improvement programs cadres.
influence productivity variable health cadres of
Health Investment with a 0,291 coefficient with REFERENCES
the value of T-statistic of 4,645 ( T-statistic > Alam A, 2012. Role of Participatory Rural
1.96). Obtained a significant influence Health Appraisal in Community Develompment (A
Investment variable against the behavior of clean Case Study of Barani Develompment Area
and healthy active with a 0,243 coefficient with Project in Agricultural, Live Stock ad
the value of T-statistic of 3,749 ( T-statistic > Forestry Develompment in Kohat),
1.96). Thus it can be concluded that the International Journal of Academic Research
productivity of health cadres influential not in business and Social Sciences, 2(8). 25-38.
directly against the behavior of clean and healthy Chambers R, 1994. The Origins and practice
active through investment Health, until the of Participatory Rural Appraisal. World
seventh hypothesis proved or can be accepted. Development, 22(7): 953-969.
doi:10.1016/0305-750X(94)90141-4
CONCLUSIONS AND Chambers R, 1994. Participatory Rural Appraisal
RECOMMENDATIONS (PRA): Challenges, Potentials and Paradigm.
Conclusion World Development, 22(10): 1437-1454. DOI:
10.1016/0305-750X(94)90030-2
This study provides support for the results
Chambers R, 1994. Participatory Rural Apparaisal (PRA):
of research that has been done previously
Analysis of Experience. World Development,
involving research variable individual
292
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 288-292

22(9):1253-1268. doi:10.1016/0305- Group Discussion in Climate Change


750X(94)90003-5 Adaptation and Mitigation Strategies, Int J
Cornwall A, & Pratt G, 2011. The Use and Abuse Of Agril Res Innov & Tech, 3(2):72-78.
Participatory Rural Apparaisal: Refleksions from DOI: http://dx.doi.org/10.3329/ijarit.v3i2.17
Practice, Agriculture Hum Values, 28(2):263–272. 848
doi:10.1007/s10460-010-9262-1 Kozier B, Erb G, & Blais K, 1997. Professional
Foster S.T, 2004. Managing Quality An Nursing Practice Concept and Prespective,
Integrative Approach, New Jersey: Pearson California: Addison Wesley Logman.
Prentice Hall. Nursalam, 2002. Nursing management Applications in
Indonesian Departement Health, 2006. The Professional Nursing Practice. Jakarta: Salemba
National Guide Hospital Patient Safety, Dermatology
Jakarta: Bhakti Husada. Suhartono, Sulistiawati, & Yunitasari E. 2016. Performance
Ministry of the Republic of Indonesia, 2004. The Model of Nurse Community Approach to
Health System National Indonesia, Jakarta: Organizational Culture in Indonesia. International
Bhakti Husada. Journal of Public Health Science. 5(3). 62-72.
Munir M, Triyoga, R. S, & Nursalam, 2016. Village DOI: http://dx.doi.org/10.11591/.v5i3.4791
health post (Ponkesdes) development into Tomey AM, & Alligoog MR, 2006. Nursing Theorist and
community nursing center-based Health Promotion Their Work. 6rd. rev. ed. Louis: Mosby.
Model, nursing center, and behavioral Wijono D. 1999. Management of the Quality of
performance, Int J Med Sci Public Health, 5 Health Services (Theory, Strategies and
(2), 292-297.doi:10.5455/ijmsph.2016.07092015119 Applications), 2rd. rev. ed. Surabaya:
Uddin M.N, & Anjuman N, 2013. Participatory Airlangga University Press
Rural Appraisal Approaches: An Overview
and An Exemplary Application of Focus

293
Model Pemberdayaan Masyarakat (Miftahul Munir, dkk)

294
MENINGKATKAN RESPON PSIKOLOGIS TENAGA KERJA INDONESIA YANG
TERINFEKSI HIV MELALUI DUKUNGAN KELUARGA
DAN PEER GROUP SUPPORT
(Improving Psychological Response on Indonesian’s Migrant Worker (TKI) Infected by
HIV Through Family and Peer Group Support)

*Tintin Sukartini, *Nursalam, *Eka Mishbahatul M.Has, *Candra Panji Asmoro,


**Misutarno
*Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga Kampus C Mulyorejo Surabaya
**RSUD Dr. Soetomo Surabaya
Email: dopaminsirup@gmail.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sebuah retrovirus yang menginfeksi sel-sel sistem imun,
menghancurkan atau merusak fungsi dari sel-sel sistem imun. Isu yang beredar telah banyak penderita HIV baru yang
terdeteksi sumber penularannya berasal dari mantan TKI yang bekerja di luar negeri. Tantangannya adalah bagaimana
memperbaiki respon psikologis ODHA agar mampu percaya diri bersosialisasi dan tidak khawatir dengan stigma. Tujuan dari
penelitian ini adalah melaksanakan model dukungan keluarga Tenaga Kerja Indonesia yang terinfeksi HIV dan Peer Group
Support melalui modul yang dilaksanakan oleh keluarga dan kelompok sebaya. Metode: Penelitian ini menggunakan desain
pre-experiment. Populasinya adalah ODHA yang tertular semasa kerja di luar negeri sebagai TKI di wilayah Jawa Timur.
Sampel dipilih dengan menggunakan teknik simple random sampling. Variabel independennya adalah peer group support
dan keluarga, variabel dependennya adalah respon psikologis responden. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner
yang telah diuji validitas dan reliabilitas didukung dengan pelaksanaan focus group discussion responden sebagai penguat
hasil secara kualitatif. Hasil kuantitatif diuji menggunakan Wilcoxon Signed Rank Test dengan α ≤ 0,05. Hasil: Hasil
menunjukkan bahwa metode ini dapat meningkatkan respon psikologis klien yang terinfeksi HIV semasa kerja sebagai TKI
di luar negeri dengan nilai signifikansi p=0,040. Hasil kualitatif menyatakan bahwa sebagian besar responden menemukan
makna hidup yakni berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Diskusi: Dukungan keluarga dan peer group support dapat
digunakan untuk meningkatkan respon psikologis penderita HIV yang terinfeksi semasa kerja di luar negeri menjadi TKI.
Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan sampel yang lebih besar sehingga mempunyai kelompok kontrol.

Kata kunci: dukungan keluarga, peer group support, respon psikologis, TKI (Tenaga Kerja Indonesia), Human
Immunodeficiency Virus (HIV)

ABSTRACT
Introduction: Human Immunodeficiency Virus (HIV) is a retrovirus that infects cells of the immune system, destroying or
damaging the function of cells of the immune system. A lot of new detected HIV transmission source comes from former
workers who work abroad. The challenge is how to improve the psychological response of people living with HIV (PLWHA)
to be able to socialize confident and not worry about the stigma. The purpose of this study is to implement the model of
family support Indonesian Workers who are infected with HIV and Peer Support Group through modules implemented by
families and peer groups. Methods: This study was used a quasy-experimental. Population in this study were the PLWHA
who contracted during work abroad as migrant workers in East Java. Samples were selected using simple random sampling
technique. The independent variable were the family and peer group support, the dependent variable was the psychological
response of respondents. Data were collected using a questionnaire that has been tested for validity and reliability and results
were tested using the Wilcoxon Signed Rank Test with alpha ≤0.05 and supported by the implementation of the focus group
respondents as a reinforcement of the qualitative results. Results: The results showed that this method can improve
psychological response of the PLWHA during labor as migrant workers abroad with a significance value of p=0.040.
Qualitative results stated that the majority of respondents found the meaning of life that is surrendered to God Almighty.
Discussion: Family and peer group support can be used to increase the psychological response of the PLWHA during work
abroad as migrant workers. Future studies are expected to use a larger sample so as to have a control group.

Keywords: family support, peer group support, psychological response, TKI (Indonesian Labor), Human
Immunodeficiency Virus (HIV)

PENDAHULUAN fungsi dari sel-sel sistem imun. Sebagai


progress dari infeksi, sistem imun menjadi
Human Immunodeficiency Virus (HIV)
lemah, dan manusia menjadi lebih rentan
adalah sebuah retrovirus yang menginfeksi sel-
terkena infeksi. Stadium yang paling lanjut
sel sistem imun, menghancurkan atau merusak
dari infeksi HIV adalah Acquired Immune

251
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 251-255

Deficiency Syndrome (AIDS) (WHO 2013). Virus sebanyak 1700-an, dengan 10% diantaranya
tersebut merusak kekebalan tubuh manusia dan adalah mantan Tenaga Kerja Indonesia (News
mengakibatkan turun dan hilangnya daya tahan 2011)
tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi Individu dengan HIV&AIDS yang
lainnya (Nursalam, & Kurniawati 2007) Penurunan mendapat perawatan di rumah sakit akan
imunitas dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor mengalami kecemasan dan stres pada semua
yang perlu diperhatikan oleh tenaga kesehatan adalah tingkat usia. Penyebab kecemasan yang
stresor psikososial. Lingkup terkecil dari lingkungan dialami pasien tersebut salah satu faktor yang
sosial pasien adalah keluarga. mempengaruhi selain dari petugas kesehatan
Dukungan sosial terutama dari keluarga adalah keluarga. Keluarga juga sering merasa
adalah penting, dan sangat menentukan cemas dengan perkembangan keadaan pasien,
perkembangan penyakit yang dapat pengobatan, dan biaya perawatan. Meskipun
menurunkan kondisi kesehatan pasien, dampak tersebut tidak secara langsung kepada
mempercepat progresivitas penyakit hingga pasien, tetapi secara psikologis pasien akan
timbul kematian. Pada penelitian lainnya oleh merasakan perubahan perilaku dari keluarga
tim diperoleh hasil bahwa pengembangan model yang menungguinya selama perawatan (Marks,
dukungan keluarga dan dukungan sebaya 1998). Pasien menjadi semakin stres dan
mampu meningkatkan kemandirian keluarga berpengaruh terhadap proses penyembuhannnya
dalam tindakan perawatan anggota keluarga karena penurunan respon imun. Robert Ader
yang terinfeksi HIV ketika bekerja sebagai (1885) telah membuktikan bahwa individu
TKI di luar negeri. Berdasarkan hasil tersebut yang mengalami kegoncangan jiwa akan
peneliti merasa perlu mengimplementasikan mudah terserang penyakit, karena pada kondisi
suatu modul hasil penelitian sebelumnya untuk stres akan terjadi penekanan sistem imun
melihat pengaruhnya terhadap respon (Subowo 1992).
psikologis responden. Respon psikologis ini Penelitian ini merupakan lanjutan dari
yang perlu diketahui terlebih dahulu karena penelitian sebelumnya yang mencari
merupakan manifestasi awal dari keyakinan pengembangan model dari kerangka konsep
responden sebelum muncul adanya interaksi yang dibuat terhadap dampaknya bagi
sosial dengan yang lain dan juga kekhawatiran dari kemandirian perawatan anggota keluarga
adanya stigma oleh masyarakat. ODHA terhadap ODHA. Penelitian tahun
Pada tahun 2013 ini, Ditjen PP & PL berikutnya ini mengambil fenomena yang
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia ditemukan selama penelitian tahun sebelumnya, yakni
merilis data tentang penemuan kasus baru HIV melihat pengaruh intervensi yang dikembangkan
pada tahun 2012 mencapai 21.511. Data ini terhadap respon psikologis responden. Ada
meningkat daripada tahun sebelumnya pada keterkaitan antara lingkungan sosial (keluarga
2011 sejumlah 21.031. Jumlah penderita HIV dan teman sebaya) pasien HIV&AIDS dengan
khusus Propinsi Jawa Timur, seperti yang progresifitas penyakit tersebut, membuat
disampaikan oleh Dinas Kesehatan Propinsi penulis ingin mengetahui bagaimana gambaran
Jawa Timur pada tahun 2011 tercatat sebanyak reaksi psikologis (respon stres) pada Tenaga
2646 jiwa, terjadi peningkatan dari tahun Kerja Indonesia (TKI) yang terinfeksi virus
sebelumnya sejumlah 2233 jiwa. Data hingga HIV. Dukungan dari lingkungan sosial
Juni 2012 menunjukkan bahwa Kabupaten (keluarga) sangat dibutuhkan pasien
Kediri dan Kabupaten Tulungagung termasuk HIV&AIDS sehubungan dengan rasa putus asa
dalam zona merah distribusi kasus AIDS di yang dialami pasien sejak pasien tersebut
Propinsi Jawa Timur. Data secara nasional dinyatakan terinfeksi virus HIV. Harapannya,
mengenai TKI yang positif terinfeksi dengan adanya respons emosi yang positif dari
HIV&AIDS belum terdokumentasi dengan keluarga dapat mengurangi stres yang dialami
baik. Namun, terdapat sumber menyatakan pasien.
bahwa terjadi kewaspadaan oleh pihak Dinas
Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Kependudukan BAHAN DAN METODE
(Disnakertransduk) Jawa Timur mengenai
Penelitian ini merupakan jenis penelitian pre-
penyebaran kasus HIV&AIDS di Propinsi
experiment dengan pre-post test design.
Jawa Timur adalah dari mantan tenaga kerja-
Populasi terjangkau adalah TKI yang terinfeksi HIV
tenaga kerja Indonesia. Data jumlah pekerja di
Jawa timur yang terjangkit HIV&AIDS di Kabupaten Tulungagung. Pengambilan sampel

252
Meningkatkan Respon Psikologis TKI yang Terinfeksi HIV (Nursalam, dkk)

dilakukan dengan teknik simple random Data di atas menunjukkan bahwa


sampling dan diperoleh sampel sebanyak 11 sebagian besar responden penderita HIV
responden. sebelum intervensi respon psikologisnya
Penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu berada dalam tahap bargaining. Sebagian kecil
variabel independen dukungan keluarga dan peer responden sebelum intervensi respon
group support, serta variabel dependen berupa psikologisnya berada dalam tahap depresi.
respon psikologis responden yang terinfeksi Respon psikologis dalam tahap menerima
HIV dari semasa kerja sebagai TKI di luar dialami oleh sebagian kecil responden. Setelah
negeri. Instrumen yang digunakan adalah mulai dilakukan intervensi, sebagian kecil saja
instrumen respon psikologis yang evaluasinya responden yang respon psikologisnya berada
diperkuat dengan focus group discussion dalam tahap bargaining dan tingkat psikologis
(FGD) dengan pertanyaan terstruktur pada depresi. Respon psikologis acceptance dialami
pasien yang terinfeksi HIV dari semasa kerja oleh sebagian besar responden.
sebagai TKI di luar negeri. Kuesioner telah Pengaruh intervensi dapat dilihat dari
diuji validitas dan reliabilitasnya. signifikansi perubahan respon psikologis
sebelum dan sesudah intervensi. Hasil analisis
HASIL PENELITIAN statistik menunjukkan terdapat pengaruh
intervensi dukungan keluarga dan teman
Penelitian sampai jurnal ini diterbitkan telah
sebaya terhadap respon psikologis ODHA.
menyelesaikan intervensi dan pengambilan data post-test
di Tulungagung. Jumlah responden selama penelitian
PEMBAHASAN
berlangsung sebanyak 11 responden. Responden
lainnya gugur karena keluarga tidak mengikuti Respon adaptasi psikologis terhadap
koordinasi bentuk intervensi. Tingkat respon stresor menurut Kubler Ross (1974)
psikologis responden yang terinfeksi HIV dari menguraikan lima tahap reaksi emosi
semasa kerja menjadi TKI di luar negeri seseorang terhadap stresor yakni 1)
ditunjukkan dalam tabel di bawah. pengingkaran; 2) marah; 3) tawar menawar; 4)
depresi; dan 5) menerima. Tidak ada cara yang
Respon psikologis TKI penderita HIV paling tepat dan cepat untuk menjalani proses
sebelum intervensi Juni -September 2016 di berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah
Kabupaten Tulungagung lebih dari separoh alat yang hanya dapat digunakan untuk
memiliki respon psikologis mengantisipasi kebutuhan emosional klien dan
bargaining sebesar 62,5%. juga rencana intervensi untuk membantu
mereka memahami kesedihan mereka dan
Tabel 1 Tabel respon psikologis penderita mengatasinya.
HIV tertular saat TKI setelah Dukungan keluarga merupakan sebuah
intervensi Juni -September 2016 di proses yang terjadi sepanjang masa kehidupan,
Kabupaten Tulungagung sifat dan jenis dukungan berbeda dalam setiap
Respon Psikologis
Tot
tahap siklus kehidupan. Dukungan keluarga
Res Den Ang Barg Depr Acc dapat berfungsi dengan kepandaian akal.
% % % % % % Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan
TKI - - 12,5 25 62,5 100 kesehatan dan adaptasi keluarga. Keberadaan
dukungan keluarga yang adekuat terbukti
Tabel 2 Tingkat respon psikologis berhubungan dengan menurunnya angka
responden sebelum dan setelah mortalitas (Friedman, 2010).
intervensi di Kabupaten Satu penelitian tentang dukungan
Tulungagung pada bulan Juni- kelompok sebaya yang dilakukan untuk
September 2016 mengetahui bagaimana perubahan kepatuhan
Tingkat Respon Pre Post pengelolaan/perawatan pada pasien dengan
Psikologis % % diabetes mellitus didapatkan hasil bahwa dengan peer
Kurang 62,5 12,5 group support mampu meningkatkan kepatuhan
Cukup 12,5 25 responden dalam menjalankan latihan fisik dan
Baik 25 62,5
konsumsi obat pada penderita diabetes
Total 100 100
mellitus, namun tidak mampu meningkatkan
Wilcoxon Signed
Rank Test
p=0,040 kepatuhan akan diit penderita. Saran yang

253
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 251-255

diberikan yakni membuat sebuah peer group masing-masing mulai merasa malas untuk
support antar penderita dan keluarga sebagai datang dengan berbagai alasan. Tim peneliti
wadah interaksi dan saling memberi dukungan memberi arahan dalam intervensi peer group
baik berupa pengetahuan maupun emosional support yakni merubah strategi menjadi jemput
(Diantiningsih , Y, Kusnanto, & Bakar 2012) bola dan tidak perlu menunggu adanya
Pemberian materi berupa dukungan kegiatan formal. Kelompok sebaya juga diberi
keluarga selain aspek intensitas dalam materi tentang peran mereka dalam
pemberiannya, namun juga perlu diperhatikan memperbaiki respon psikologis responden oleh
aspek kedalaman dalam penanaman Tim Peneliti menggunakan modul. Pertemuan-
pentingnya peran keluarga secara bersama- pertemuan informal seperti misal saat keluarga
sama. Peneliti dalam memberikan materi penderita maupun penderita bertemu di rumah
pentingnya dukungan keluarga memperhatikan sakit untuk mengambil obat ARV seringkali
tingkat pendidikan dan pengetahuan yang menjadi ajang bertukar informasi dan
dimiliki oleh keluarga yang merawat. memberikan dukungan, serta memberikan
Penerimaan keluarga akan sakit yang diderita pengetahuan terkini mengenai HIV oleh Tim
anggota keluarga yang terinfeksi HIV juga Peneliti. Peneliti melihat fungsi dari dilakukan
diperhatikan. Hal ini menjadi perhatian peneliti peer group support pada responden sudah
karena dibutuhkan komitmen sebelum terlaksana setelah diberikan materi dan strategi
membentuk intensi yang kuat dari anggota pendampingan melalui observasi. Dukungan
keluarga untuk mau dan mampu merawat keluarga dan dukungan kelompok sebaya yang
anggota keluarga yang terinfeksi HIV, dimana terus menerus tentu menjadi tantangan bagi
penyakit ini akan selamanya diidap oleh Tim Peneliti untuk menjaga konsistensi
anggota keluarga yang terifeksi HIV tersebut. intervensinya terhadap responden. Oleh karena
Aspek kemampuan keluarga dalam memenuhi itu, tim peneliti lebih sering memantau dengan
peran sebagai perawat dilakukan pengidentifikasian berkomunikasi melalui telepon. Kunjungan
terlebih dahulu oleh peneliti. Sebagian besar langsung kepada keluarga dan kelompok
responden tahu apa yang harus diperbuat atau sebaya dilakukan untuk pemberian materi
perannya selama anggota keluarga yang kepada mereka. Antusias responden juga
terinfeksi HIV sedang sehat maupun ketika menjadi bahan evaluasi kami. Melalui
sakit. Hal ini menjadi potensi yang perlu wawancara, dukungan antar kelompok sebaya
ditingkatkan oleh peneliti dengan menggunakan diakui oleh beberapa responden mampu
modul yang dibuat oleh Tim Peneliti. Peneliti memberikan solusi dari setiap permasalahan
memberikan materi berupa manfaat-manfaat psikologis yang muncul. Kekhawatiran-
yang bisa diperoleh penderita HIV jika dirawat kekhawatiran dalam kegiatan bersosialisasi di
dengan kasih sayang oleh keluarga. Adanya masyarakat baik pada saat di rumah maupun di
dukungan seperti hal tersebut dengan tidak tempat kerja mereka mampu ditemukan solusi
disadari oleh keluarga maupun penderita yang mana solusi tersebut muncul dari
memberi stimulus yang positif bagi penderita keluarga responden lain yang pernah
sehingga penderita tidak stres. Tim peneliti mengalami dan anggota keluarga penderita lain
mempunyai pendapat bahwa materi yang telah menguatkan solusi tersebut sehingga timbul
diberikan kepada anggota keluarga ODHA dukungan antar kelompok sebaya untuk
mampu diterapkan dengan baik oleh keluarga, kemudian dipraktikkan kepada responden
sehingga tingkat respons psikologis responden yakni ODHA TKI.
juga meningkat dibuktikan dengan signifikasi
analisis data yang telah dikerjakan. SIMPULAN DAN SARAN
Kombinasi intervensi dukungan keluarga oleh
Simpulan
keluarga mereka sendiri bersama dengan peer
group support membawa tim peneliti beropini Dukungan keluarga dan peer group
bahwa intervensi tersebut juga berperan besar support mampu meningkatkan tingkat respon
dalam hasil respon psikologis responden yang psikologis TKI yang terinfeksi HIV dari
didapat. Kegiatan pertemuan rutin yang semasa kerja di luar negeri di wilayah
diadakan pihak terkait yang menangani ODHA Kabupaten Tulungagung. Dukungan keluarga
di wilayah tempat penelitian sering kali dan peer group support dalam hal ini
diadakan, namun peserta pertemuan yang mencakup peran keluarga dan teman sebaya
merupakan penderita maupun keluarganya dalam perawatan secara biologis (ketika

254
Meningkatkan Respon Psikologis TKI yang Terinfeksi HIV (Nursalam, dkk)

penderita mengalami atau tidak penyakit WHO, 2013. HIV/AIDS. diakses tanggal 19
penyerta HIV), psikososial, dan spiritual. Desember 2013 pukul 18.00.
<http://www.who.int/topics/hiv_aids/en/
Saran >
Dinkes Provinsi Jawa Timur. 2012. Program
Peningkatan respon psikologis hanya
pengendalian penyakit menular di Jawa
mencakup pada pada ODHA yang menjadi
Timur. Diakses tanggal 22 Desember
kriteria penetapan responden penelitian.
2013 pukul 17.33
Penambahan cakupan jumlah responden
<http://dinkes.jatimprov.go.id/userimage
dengan penentuan kriteria diharapkan dapat
/P2.pdf>
menambah jumlah responden dan diharapkan
Depkes. 2013. Profil kesehatan Indonesia
desain penelitian yang diambil adalah quasy-
2012. diakses tanggal 19 Desember 2013
experiment. Pihak terkait juga melakukan kunjungan
pukul 18.16.
rumah penderita tanpa menggunakan identitas dari
<http://www.depkes.go.id/downloads/Pr
instansi mana untuk melakukan pengawasan atau
ofil%20Kesehatan_2012%20%284%20S
pengkajian bagaimana respon psikologis
ept%202013%29.pdf>
berubah setiap saat karena manusia sangat
Depkes, 2003. Pedoman nasional perawatan,
unik.
dukungan dan pengobatan bagi ODHA:
buku pedoman untuk petugas kesehatan
dan petugas lainnya. Jakarta: Ditjen
KEPUSTAKAAN
PPM dan PL Depkes
Diantiningsih , Y, Kusnanto, & Bakar, A., Nursalam, Yusuf, Ah, Widyawati Y I, &
2012. Peer group support terhadap Asmoro , C P, 2015. Pengembangan
perubahan kepatuhan pengelolaan Model Pemberdayaan Keluarga Tenaga
penyakit diabetes mellitus tipe 2. Kerja Indonesia (TKI) yang Terinfeksi
News, A., 2011. JATIM tertinggi kasus HIV dan Peer Group Support dalam
HIV/AIDS. Available at: Kemandirian Perawatan Tenaga Kerja
<http://www.antarajatim.com/lihat/berita/ Indonesia (TKI) yang Terinfeksi HIV.
77591/jatim-tertinggi-kasus-hivaids >. Jurnal Ners, Vol. 2 2015
Nursalam, & Kurniawati, N., 2007. Asuhan Stewart, G., 1997. Managing HIV. Sydney:
Keperawatan pada Pasien terinfeksi HIV, MJA Publisher
Jakarta: Salemba Medika.
Subowo, 1992. Histologi umum, Jakarta: Bumi
aksara.

255
PERAN AYAH DALAM KEBERHASILAN PROGRAM INISIASI MENYUSUI DINI
(IMD) PADA BAYI YANG LAHIR SECARA SECTIO CESARIA
(The Role of Father in Successfulness of Early Breastfeeding
Initiation Program to the Newborn with Sectio Cesarea)

Sestu Retno D.A*, Nursalam**, Budi Santoso***, Rachmat H****


*Stikes Pemkab Jombang, Jl. dr. Soetomo No. 75-77 Jombang Jawa Timur 61411 Indonesia
**Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga
***Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
****Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga
Email: sestu.retno@yahoo.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Persalinan secara Sectio Cesaria(SC)merupakan salah satu kendala untuk melakukanInisiasi Menyusui
Dini(IMD). Kesiapan ibu yang baru melahirkan untuk memberikan ASInya pada bayi yang baru dilahirkan memerlukan
adanya persiapan karena ibu mengalami perubahan peran.Pencapaian peran ibu bisa berhasil bila ibu menjadi dekat dengan
bayinya dan mendapatkan dukungan dari ayah.Peran ayah dalam pelaksanaan IMD adalah sangat penting.Keterlibatan ayahi
dalam pelaksanaan IMD ini meliputi pemberian dukungan dan interaksi. Ayah merupakan orang terdekat bagi ibu menyusui
yang diharapkan selalu ada di sisi ibu dan selalu siap memberi bantuan. Jika ibu mendapatkan kepercayaan diri dan mendapat
dukungan penuh dari ayah, motivasi ibu untuk menyusui akan meningkat.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran
ayah dalam pelaksanaan IMD.Metode: Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksplanatif observasional dengan
rancangan cross sectional, bertujuan menggumpulkan data responden untuk menjawab issu strategis yang sedang terjadi,
yang menyebabkan ibu postSC tidak melaksanakan IMD. Responden sejumlah 282 ibu post SC yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Tempat penelitian ini dilakukan di ruang operasi (OK) kebidanan rumah sakit Tipe B, yaitu RSUD
Jombang dan RSUD Sogaten Madiun. Hasil: Hasil pengujian secara bersama terdapat pengaruh dari variabel dukungan ayah
dan interaksi ayah terhadap pelaksanaan IMD.Hasil pengujian secara individu terhadap variabel dukungan ayah terdapat
pengaruh terhadap pelaksanaan IMD, sedangkan pada variabel interaksi ayah tidak terdapat pengaruh terhadap pelaksanaan
IMD.Pelaksanaan IMD dipengaruhi oleh dukungan ayah sebesar 3,7%. Diskusi: Ibu yang didukung ayahi lebih termotivasi
untuk melaksanakan IMD kepada bayinya.
Kata kunci: persalinan sectio cesaria, Inisiasi Menyusui Dini (IMD)

ABSTRACT
Introduction: Delivery through Sectio Caesaria (SC) is one of the obstacles to doing Initiation of Breast Feeding. The
readiness of new mothers to give her milk to the newborns in need of psychological preparation, because the mother has a
role change. The achievement of the role of the mother can be successful if the mother close to the baby and get the support
from the spouse (husband). Husband's role in the implementation of IMD is very important. Husband's involvement in the
implementation of IMD include the provision of support and interaction. The husband is the closest person for breastfeeding
mothers who are expected to always be on the maternal side, and are always ready to provide assistance. If mothers gain
confidence and full support of her husband, the motivation for breastfeeding mothers will increase.The objective of this study
was to know the role of husband in accompanied the mother with section caesarean in implementing of IMD.Methods: This
study used observational eksplanatif, with cross-sectional design, the aims were collecting the respondent data to answer the
strategic issues which were going on, which caused the post SC women do not implemented the IMD. Respondent: as many
282 post SC mothers who covered the inclusion and exclusion criteria. The study was conducted in the operating room (OK)
Type B obstetrics hospitals, namely RSUD Jombang and RSUD Sogaten Madiun.Result: The test results Together showed
there was an effect from Spouse support variable and spouse’s interaction to the implementation of IMD. Individual test
result of spouse support to the effect of implementation of IMD, however variable of spouse’s interaction, there was no effect
to the implementation of IMD. The implementation of IMD was effected by spouse support as many as 3,7%.Discussion:The
mother that had the support from spouse had a higher motivation in implementation of IMD to the baby
Key words: caesarian delivery, initiation of breast feeding

PENDAHULUAN rasa nyeri akibat luka operasi, pengaruh


anastesi, ketidaknyamanan ibu, dan belum
Pelaksaanaan Inisiasi Menyusu Dini (IMD)
keluarnya ASI setelah operasi (Prior, E.,
sangat dipengaruhi oleh metode
Santhakumaran, S., Gale, C., Philipps, L. H.,
persalinan.Persalinan secara sectio caesaria
Modi, N., & Hyde 2012). Meskipun telah
(SC)merupakan salah satu kendala untuk
dilakukan pemberian anestesi tetapi rasa nyeri
melakukan IMD. Hal ini berhubungan dengan
masih dirasakan oleh ibu. Seperti yang
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 224 - 229

dikemukakan oleh (Padmavathi, P., diarahkan untuk mendapatkan kembali dan


Jayadeepa, T., &Babu 2014),dalam mempertahankan homeostasis (Kolcaba, K.,
penelitiannya menunjukkan bahwa alasan &DiMarco 2005;Wong, J. Y., & Earl 2009)
ibu tidak melaksanakan IMD adalah akibat Kebutuhan kenyamanan psikospiritual
nyeri luka operasi (92%), ketidaknyamanan termasuk kebutuhan untuk kepercayaan diri,
(78%), efek anestesi (74%). Nyeri postSC motivasi dan kepercayaan agar klien lebih
apabila tidak segera diatasi dapat menurunkan tenang ketika menjalani prosedur invasif yang
kemampuan ibu dalam melaksanakan IMD menyakitkan atau trauma yang tidak dapat
(Storm, 2007). segera sembuh.Kebutuhan ini sering dipenuhi
Penelitian sebelumnya menunjukkan dengan tindakan keperawatan yang menenangkan
bahwa SC merupakan salah satu kendala untuk bagi jiwa klien serta ditargetkan untuk
melakukan IMD. Hasil penelitian Prior, E., trasedensi seperti relaksasi dan distraksi,
Santhakumaran, S., Gale, C., Philipps, L. H., Modi, sentuhan dan kepedulian.Fasilitasi diri untuk
N., & Hyde (2012)menunjukkan adanya strategi menghibur dan kata-kata motivasi.
hubungan yang negatif antara persalianan Tindakan ini termasuk intervensi khusus
secara SC dengan pelaksanaan IMD. Hal ini karena perawat sering sulit meluangkan waktu
berhubungan dengan rasa nyeri akibat luka untuk melaksanakannya tetapi apabila perawat
operasi, pengaruh anastesi, ketidaknyamanan menyempatkan diri maka tindakannya akan
ibu, dan belum keluarnya ASI setelah operasi. sangat bermakna. Tindakan ini dapat
Seperti yang dikemukakan oleh Padmavathi, P., memfasilitasi klien dan keluarga
Jayadeepa, T., &Babu (2014) dalam penelitiannya mencapai transendence(Kolcaba, K.,
menunjukkan bahwa alasan ibu tidak &DiMarco 2005;Wong, J. Y., & Earl 2009)
melaksanakan IMD adalah akibat nyeri luka Kebutuhan kenyamanan sosiokultural
operasi (92%), ketidaknyamanan (78%), dan adalah kebutuhan untuk jaminan budaya,
efek anestesi (74%). dukungan, bahasa tubuh yang positif, dan
Ibu yang baru melahirkan perlu caring.Kebutuhan ini terpenuhi melalui
mempersiapkan diri untuk memberikan pembinaan yang mencakup sikap optimisme,
ASInya pada bayi yang baru dilahirkan, pesan-pesan kesehatan dan dorongan semangat,
persiapan secara psikologis diperlukan karena penghargaan terhadap pencapaian klien,
ibu mengalami perubahan peran. Berdasarkan persahabatan perawat selama bertugas,
teori keperawatan Maternal Role attainment- perkembangan informasi yang tepat tentang
becoming a Mather yang dikembangkan oleh setiap aspek yang berhubungan dengan
Ramona T. Mecer, yang mengemukakan prosedur, dan pemulihan kesadaran setelah
bahwa focus utamadari teori ini adalah anastesi. Kebutuhan sosial ini juga termasuk
gambaran proses pencapaian peran ibu dan kebutuhan keluarga untuk menghormati tradisi
proses menjadi seorang ibu. Pencapaian peran budaya (Kolcaba, K., &DiMarco 2005;Wong,
ibu bisa berhasil bila ibu menjadi dekat dengan J. Y., & Earl 2009)
bayinya dan mendapatkan dukungan dari Kebutuhan kenyamanan lingkungan
pasangan (suami) termasuk mengekspresikan meliputi ketertiban, ketenangan, perabotan
kepuasan dan penghargaan peran selanjutnya yang nyaman, bau yang minimal, dan
setelah melahirkan (Alligood 2002). Peran keamanan.Ketika perawat tidak mampu untuk
suami dalam pelaksanaan IMD adalah sangat menyediakan lingkungan benar-benar tenang,
penting, karena suami akan turut menentukan perawat dapat membantu klien dan keluarga
kelancaran refleks pengeluaran ASI yang untuk mampu menerima kekurangan dari
sangat dipengaruhi oleh keadaan emosi atau pengaturan yang ideal. Namun perawat harus
perasaan ibu. Suami dapat berperan aktif mampu untuk melakukan upaya mengurangi
dalam membantu ibu dalam memberikan ASI kebisingan, cahaya lampu, dan pengaturan
dengan memberikan dukungan emosional dan suhu ruangan dalam rangka memfasilitasi
bantuan-bantuan praktis lainnya (Roesli 2001). lingkungan yang meningkatkan kesehatan
Kebutuhan kenyamanan fisik termasuk klien (Kolcaba, K., &DiMarco 2005;Wong, J.
defisit dalam mekanisme fisiologis yang Y., & Earl 2009)
terganggu atau beresiko karena sakit atau Secara psikologis, seorang ibu yang
prosedur invasif.Kebutuhan fisik yang terlihat didukung suami atau keluarga akan lebih
seperti nyeri mudah tangani dengan maupun termotivasi untuk memberikan ASI kepada
tanpa obat. Standar kenyamanan intervensi bayinya (Sari, 2011). Februhartanty (2008)

225
Peran Ayah dalam IMD (Sestu Retno, dkk)

mengemukakan bahwa untuk memenuhi ASI kepercayaan diri dan mendapat dukungan
diperlukan adanya keharmonisan hubungan penuh dari suami, motivasi ibu untuk
pola menyusui tripartit, yaitu antara ayah, ibu, menyusui akan meningkat (Sari, 2011).
dan bayi.
Keberhasilan menyusui sangat BAHAN DAN METODE
ditentukan oleh peran ayah karena ayah
Penelitian ini menggunakan jenis
akanturut menentukan kelancaran refleks
penelitian eksplanatif observasional. Jenis
pengeluaran ASI yang sangat dipengaruhi oleh
penelitian eksplanatif observasional bertujuan
keadaan emosi atau perasaan ibu. Ayah dapat
mengumpulkan data responden untuk menjawab
berperan aktif dalam membantu ibu dalam
isu strategis yang sedang terjadi, yang
memberikan ASI dengan memberikan
menyebabkan ibu postSC tidak melaksanakan
dukungan-dukungan emosional dan bantuan-
IMD.Rancangan yang digunakan adalah cross
bantuan praktis lainnya. Pengertian tentang
sectional, dimana variabel sebab dan akibat
perannya yang penting ini merupakan langkah
diukur dalam waktu yang
pertama bagi seorang ayah untuk dapat
bersamaan(Supriyanto dan Djohan
mendukung ibu agar berhasil menyusui dini
2011).Respondent: 282 ibu post SC yang
(Roesli 2001).
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Seorang ayah punya peran penting
Sampel dalam penelitian ini ibu post SC yang
dalam keberhasilan ibu menyusui.Perasaan
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
dan semangat ibu untuk menyusui dan untuk
Kriteria inklusi usia kehamilan > 37 minggu,
terus memberikan yang terbaik bagi anaknya
Ibu dengan anastesi SAB, Ibu bersedia
sangat bergantung pada peran ayah untuk terus
menjadi responden, Puting susu menonjol,
menjaga suasana kondusif. Proses menyusui
IndikasiSC bukan karenaPEB/Eklamsi,
menjadi terhambat bila kondisi ayah dan ibu
kelainan jantung dan asma. Kriteria eksklusi
tidak harmonis, ibu tidak mendapat dukungan
dalam penelitian ini adalah bayi dengan
dari suami, tidak bisa berkomunikasi dengan
kelainan kongenital, Bayi lahir dengan
baik, dan perasaan ibu yang tidak aman dan
keadaan tidak bugar, Ibu dengan komplikasi
nyaman (Sari, 2011).Dukungan suami yang
SC. Penelitian ini dilakukan di ruang operasi
merupakan faktor pendukung dalam
(OK) kebidanan rumah sakit Tipe B, yaitu
keberhasilan ASI Eksklusif merupakan suatu
RSUD Jombang dan RSUD Sogaten Madiun.
kegiatan yang bersifat emosional maupun
psikologis yang diberikan kepada ibu
RESULTS
menyusui dalam memberikan ASI. Hal ini
Peran ayah dalam keberhasilan program
berkaitan dengan pikiran, perasaan, dan
IMD pada bayi yang lahir secara SC terdiri
sensasi yang dapat memperlancar produksi
dari 2 indikator, yaitu dukungan ayah dan
ASI (Roesli 2001).Suami merupakan orang
interaksi ayah.Hampir semua ayah mendukung
terdekat bagi ibu menyusui yang diharapkan
ibu dalam melaksanakan IMD meskipun
selalu ada di sisi ibu dan selalu siap memberi
persalinannya secara SC. Tetapi pelaksanaan
bantuan.Keberhasilan ibu dalam menyusui
IMD masih tetap rendah.
tidak terlepas dari dukungan yang terus-
menerus dari suami. Jika ibu mendapatkan

Tabel 1. Tabel distribusi frekuensi dukungan ayah pada ibu SC dalam melaksanakan IMD.
No Indikator IMD Tidak IMD Total
Dukungan ayah: (f) (%) (f) (%) (f) (%)
1. Kurang 0 0 3 100 3 100
2. Cukup 10 3,6 268 96,4 278 100
3. Baik 1 100 0 0 1 100
Tabel 2: Tabel distribusi frekuensi interaksi ayah pada ibu SC dalam melaksanakan IMD
No Indikator IMD Tidak IMD Total
(f) (%) (f) (%) (f) (%)
Interaksi ayah:
1. Kurang 0 0 0 0 0 0
2. Cukup 0 0 1 100 1 100
3. Baik 11 4 270 96 281 100

226
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 224 - 229

Seluruh ibu yang kurang mendapatkan Konstantan sebesar 0,809 menyatakan


dukungan ayah dalam melaksanakan IMD, bahwa jika tidak ada dukungan ayah ( jika X1
tidak melaksanakan IMD.Ibu yang bernilai nol), maka pelaksanaan IMD memiliki
mendapatkan dukungan ayah dalam pelaksanaan nilai sebesar 0,809. Koefisien regresi X1
IMD, melaksanakan IMD.Hampir semua ibu sebesar 0,346 menyatakan bahwa setiap
memiliki interaksi yang baik dengan ayah, peningkatan dukungan ayah sebesar satu
tetapi mayoritas ibu tidak melaksanakan IMD, satuan, maka akan meningkatkan pelaksanaan
yakni sebesar 96%. IMD sebesar 0,346 satu satuan.
Metode analisa statistik yang digunakan Berdasarkan hasil pengolahan didapatkan
adalah analisa regresi linier berganda. Analisa nilai R-square sebesar 0,037. Hal ini berarti
regresi linier berganda adalah analisa statistik sekitar 3,7% pelaksanaan IMD (Y) dapat dijelaskan
yang digunakan untuk menguji pengaruh oleh dukungan ayah (X1). Sedang sisanya 96,3%
variabel independen terhadap variabel dijelaskan oleh variabel-variabel lainnya.
dependen, dimana jumlah variabel independen
lebih dari satu, dan variabel dependen PEMBAHASAN
berjumlah satu. Berdasarkan deskripsi variabel Faktor ayah dijelaskan oleh dua
diatas, maka diketahui variabel dukungan indikator yaitu dukungan ayah dan interaksi
suami (X1) dan interaksi suami (X2) merupakan ayah-ibu. Hasil penelitian menunjukan
variabel mempengaruhi (independent variable), mayoritas ayah memberikan dukungan cukup
sedangkan pelaksanaan IMD (Y) yang merupakan terhadap ibu yang melahirkan secara SC.
variabel dipengaruhi (dependent variable). Hampir semua ayah-ibu memiliki interaksi
Hasil pengujian uji-t terhadap variabel yang baik. Faktor dukungan ayah membuktikan mampu
dukungan suami (X1) didapatkan t-hitung meningkatkan pelaksanaan IMD pada ibu
3,270 dimana nilai Sig. 0,001 dengan tingkat bersalin secara SC.
signifikansi (α)= 5%. Berdasarkan kriteria Suami atau pasangan intim (father or intimate
pengujian jika nilai Sig. < α maka disimpulkan partnert), berdasarkan teori keperawatan Mercer
terdapat pengaruh signifikan variabel berkontribusi pada proses pencapaian peran ibu yang
dukungan suami terhadap pelaksanaan IMD. pada pelaksanaannya tidak bisa digantikan oleh
Hasil pengujian uji-t terhadap variabel orang lain. Interaksi ayah membantu mengurangi
interaksi suami (X2) didapatkan t-hitung - tekanan dan memfasilitasi pencapaian peran ibu
1,465 dimana nilai Sig. 0,144 dengan tingkat (Nursalam 2013).
signifikansi (α)= 5%. Berdasarkan kriteria Mercer, R. T., & Ferkehch (1990)
pengujian jika nilai Sig. > α maka disimpulkan mengidentifikasi bahwa dukungan emosional
tidak terdapat pengaruh signifikan variabel dan penghargaan yang dimaksud adalah
interaksi suami (X2) terhadap pelaksanaan perasaan mencintai, penuh perhatian, percaya
IMD (Y). Hasil pengujian uji-t terhadap dan mengerti, tentang peran pelaksanaan, dan
konstanta didapatkan t-hitung 2,901 dimana bagaimana ia menampilkan perannya. Dukungan
nilai Sig. 0,004 dengan tingkat signifikansi (α) instrumental sebagai pertolongan yang langsung seperti
= 5%. Berdasarkan kriteria pengujian jika nilai membantu merawat bayi serta dukungan informasional
Sig.< α maka disimpulkan terdapat pengaruh untuk membantu individu menolong dirinya sendiri
signifikan konstanta terhadap pelaksanaan dengan memberikan informasi yang berguna dan
IMD (Y). berhubungan dengan masalah dan atau situasi.
Berdasarkan hasil pengujian individu Secara psikologis, seorang ibu yang
terhadap masing-masing variabel dukungan didukung ayah atau keluarga akan lebih
ayah (X1), interaksi ayah (X2), dan termotivasi untuk memberikan ASI kepada
konstantan, maka disimpulkan hanya interaksi bayinya (Sari, 2011). Februhartanty (2008)
ayah (X2) yang tidak signifikan berpengaruh mengemukakan bahwa untuk memenuhi ASI
terhadap pelaksanaan IMD (Y). Variabel yang diperlukan adanya keharmonisan hubungan
signifikan berpengaruh yakni konstanta dan pola menyusui tripartit, yaitu antara ayah, ibu,
dukungan ayah (X1) yang memiliki nilai dan bayi. Keberhasilan menyusui sangat
koefisien yakni sebesar 0,809 yang merupakan ditentukan oleh peran ayah karena ayah akan
koefisien konstanta regresi, dan nilai 0,346 turut menentukan kelancaran refleks
yang merupakan koefisien variabel dukungan pengeluaran ASI yang sangat dipengaruhi
suami (X1). Sehingga selanjutnya didapatkan olehkeadaan emosi atau perasaan ibu. Ayah
persamaan regresi Y = 0,809 + 0,346 X1 dapat berperan aktif dalam membantu ibu

227
Peran Ayah dalam IMD (Sestu Retno, dkk)

dalam memberikan ASI dengan memberikan ayah tidak maksimal. Padahal dukungan ayah
dukungan-dukungan emosional dan bantuan- selama di kamar operasi diperlukan untuk
bantuan praktis lainnya. Pengertian tentang meningkatkan percaya diri ibu dalam
perannya yang penting ini merupakan langkah melaksanakan IMD. Sehingga dapat disimpulkan
pertama bagi seorang ayah untuk dapat bahwa meskipun ibu mendapatkan dukungan
mendukung ibu agar berhasil menyusui dini ayah, tetapi ayah tidak berada disisi ibu saat
(Roesli 2001). operasi menyebabkan ibu tidak mampu
Seorang ayah punya peran penting melaksanakan IMD.
dalam keberhasilan ibu menyusui. Perasaan
dan semangat ibu untuk menyusui dan untuk SIMPULAN DAN SARAN
terus memberikan yang terbaik bagi anaknya Simpulan
sangat bergantung pada peran ayah untuk terus
Variabel dukungan ayah berpengaruh
menjaga suasana kondusif. Proses menyusui
signifikan terhadap pelaksanaan IMD.
menjadi terhambat bila kondisi ayah dan ibu
Semakin baik dukungan ayah tentang
tidak harmonis, ibu tidak mendapat dukungan
pelaksanaan IMD pada ibu, semakin
dari ayah, tidak bisa berkomunikasi dengan
meningkatkan pelaksanaan IMD, sedangkan
baik, dan perasaan ibu yang tidak aman dan
variabel interaksi ayah tidak berpengaruh
nyaman (Sari, 2011).
signifikan terhadap pelaksanaan IMD.Interaksi
Dukungan ayah yang merupakan faktor
ayah dan ibu tidak mempengaruhi pelaksanaan
pendukung dalam keberhasilan ASI Eksklusif
IMD.
merupakan suatu kegiatan yang bersifat
emosional maupun psikologis yang diberikan Saran
kepada ibu menyusui dalam memberikan
Dukungan ayah saat ibu SC sangat
ASI.Hal ini berkaitan dengan pikiran, perasaan,
diperlukan untuk meningkatkan pelaksanaan
dan sensasi yang dapat memperlancar produksi ASI
IMD. Perlu dilakukan penelitian lagi untuk
(Roesli 2001).Ayah merupakan orang terdekat
mengetahui faktor lain yang mampu
bagi ibu menyusui yang diharapkan selalu ada
meningkatkan pelaksanaan IMD.
di sisi ibu dan selalu siap memberi
bantuan.Keberhasilan ibu dalam menyusui
KEPUSTAKAAN
tidak terlepas dari dukungan yang terus-
menerus dari suami. Jika ibu mendapatkan Alligood, M.R., 2002. A Theory of the art of
kepercayaan diri dan mendapat dukungan nursing discovered in Rogers’ Science of
penuh dari suami, motivasi ibu untuk Unitary Human Beings. International
menyusui akan meningkat (Sari, 2011). Journal for Human Caring, 6, pp.55–60.
Keterlibatan seorang ayah dalam Kolcaba, K., &DiMarco, M.A., 2005. Comfort
pelaksanaan IMD akan memberi motivasi ibu Theory and its application to pediatric
dan menentukan kestabilan emosi ibu. Kondisi nursing. Pediatric nursing, 31(3),
emosi yang stabil menentukan sikap positif pp.187–194.
ibu. Kestabilan tersebut bisa diraih bila sang Mercer, R. T., &Ferkehch, S.L., 1990.
ayah atau keluarga memberikan dukungan atau Predictors of parental attachment during
motivasinya secara maksimal. Dukungan early parenthood. Journal of Advanced
memberikan suatu kesan bahwa ia dicintai dan Nursing, 15(3), pp.268–280.
diperhatikan, memiliki harga diri dan dihargai Nursalam, 2013. Metodologi Penelitian Ilmu
sehingga dengan sendirinya akan berpengaruh Keperawatan: Pendekatan Praktis 3rd
terhadap emosional ibu dimana ia lebih ed., Jakarta: Salemba Medika.
tenang, nyaman (Lumula, et. al, 2012). Selain Padmavathi, P., Jayadeepa, T., &Babu, A.A.,
itu, ayah didukung untuk mengenali perilaku 2014. Initiation of Breast Feeding After
bayi sebelum menyusu.Hal ini dapat Caesarian Deliver. Asian Journal of
berlangsung beberapa menit atau satu jam. Nursing Education and Research, 4(1),
Dukungan ayah akan meningkatkan rasa p.114.
percaya diri ibu (Roesli 2001). Prior, E., Santhakumaran, S., Gale, C.,
Pada kenyataannya, hal ini sesuai karena Philipps, L. H., Modi, N., & Hyde, M.J.,
aya tidak diperbolehkan mendampingi istrinya 2012. Breastfeeding after cesarean
di kamar operasi terutama saat di ruang delivery: a systematic review and meta-
operasi, sehingga dukungan yang diberikan analysis of world literature. American

228
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 224 - 229

Journal of Clinical Nutrition, 95(5),


pp.1113–1135.
Roesli, 2001. Bayi Sehat Berkat ASI Eksklusif,
Jakarta: PT ElexKomputindo.
Sari, Reni, (2011). Hubungan
Karakteristik, Sikap, dan Dukungan
Ayah terhadap pemberian ASI
Eksklusif di Puskesmas Takang
Kabupaten Solok Tahun 2014.
Supriyanto dan Djohan, 2011. Metodologi
Riset Bisnis dan Kesehatan, Kalimantan:
PT Grafika Wangi.
Wong, J. Y., & Earl, J.K., 2009. Towards an
integrated model of individual,
psychosocial, and organizational
predictors of retirement adjustment.
Journal of Vocational Behavior, 75(1),
pp.1–13.

229
Efek Zat Aktif Ekstrak Daun Jambu Biji Merah (Ervi Husni, dkk)

EFEK ZAT AKTIF EKSTRAK DAUN JAMBU BIJI MERAH (PSIDIUM


GUAJAVA.L) TERHADAP SPERMATOGENESIS PADA TIKUS PUTIH JANTAN
(RATTUS NORVEGICUS)
(Effects of Red Guajava Leaf Extract (Psidium Guajava. L) Active Substance on FSH Level and
Spermatogenesis in Male White Rats (Rattus Norvegicus))

Ervi Husni, Sukesi


Poltekkes Kemenkes Surabaya, Jl. Pucang Jajar Tengah no. 56 Surabaya, 60282
Email: ervie.dh@gmail.com

ABSTRAK
Pendahuluan: Jumlah penduduk Indonesia sensus tahun 2010 sebanyak 237,6 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk
1,49 % per tahun. Target RPJPMN 2010-2014 sebesar1,14 %, laju pertumbuhan penduduk saat ini 0,53 % masih lebih
tinggi. Pengendalian penduduk diperlukan antara lain dengan pemakaian kontrasepsi pada wanita maupun pria. Keterlibatan
pria dalam KB masih rendah hanya 6,26 %. Tujuan penelitian untuk membuktikan zat aktif daun jambu biji merah dapat
menurunkan kadar FSH dan spermatogenesis pada tikus putih jantan (Rattus norvegikus). Metode: Penelitian ini merupakan
penelitian eksperimen dengan rancangan Post test only control group design. Besar sampel menggunakan rumus Federer
dengan jumlah sampel 30 ekor tikus putih, terbagi tiga kelompok yaitu Kelompok 1 (K1) kelompok kontrol diberikan larutan
CMC 0,5 % 1 ml/ hari, Kelompok Perlakuan 1 (P1) diberikan ekstrak daun jambu biji merah dosis 40 mg/ml/hari dan
kelompok Perlakuan 2 (P2) diberikan ekstrak daun jambu biji merah dosis 80 mg/ml/hari dan diberikan selama 30 hari.
Variabel penelitian jumlah sel spermatogenik ( Spermatogonium, Spermatosit primer dan Spermatid). Data dianalisis
menggunakan uji ANOVA. Hasil: Hasil analisis data dengan uji ANOVA jumlah sel spermatogonium nilai p 0,801 (p <
0,05): tidak ada perbedaan signifikan diantara ketiga kelompok, uji LSD tidak dilakukan. Hasil uji ANOVA untuk jumlah sel
spermatosit primer didapatkan nilai p 0,102 ( p < 0,05 ), berarti tidak ada perbedaan signifikan diantara ketiga kelompok, uji
LSD tidak dilakukan. Hasil uji ANOVA untuk jumlah sel spermatid nilai p 0,001 (p < 0,05) berarti terdapat perbedaan
signifikan diantara ketiga kelompok. Hasil uji LSD kontrol dengan P1 (p 0,036 ): berbeda, Kontrol dengan P2 (p <0,000):
berbeda, P1 dengan P2 (p <0,033) : berbeda. Diskusi: Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian ekstrak daun jambu biji
merah tidak menurunkan jumlah sel spermatogonium dan sel spermatosit primer tetapi menurunkan jumlah spermatid pada
tikus putih jantan.
Kata kunci: Ekstrak daun jambu biji merah (Psidium guajava.L, sel spermatogenik (spermatogoniun, spermatosit primer
dan spermatid).

ABSTRACT
Introduction: The census in 2010 showed that the population of Indonesia was as many as 237.6 million with a population
growth rate of 1.49% per year. RPJPMN target in 2010-2014 was 1.14%, so the current population growth rate, which is
0.53%, is still high. It is necessary to control population growth. One method to control population is the use of
contraception by using contraceptive both in males and females. Male involvement in family planning remains low, only
6.26%. The purpose of this study was to proved that the active substance of red guava leaves can reduce spermatogenesis in
male rats (Rattus norvegicus). Methods: This was an experimental study using post-test only control group design. Sample
size from Federer's formula obtained 30 white rats. Samples were divided into three groups: Group 1 (K1), the control
group, was given with 0.5% CMC Na solution of 1 ml/day. Treatment group 1 (P1) was given red guajava leaf extract in a
dose of 40 mg/ml/day, and the treatment group 2 (P2) was given with red guajava leaf extract in a dose of 80 mg/ml/day for
30 days. The variables in this study were spermatogenic cell count. Data were analyzed using ANOVA test. Result: Results
of ANOVA data analysis, number of spermatogonial cells had p value 0.801 (p <0.05), it means there was no significant
difference among the three groups, LSD test was not conducted. ANOVA test results for a number of primary spermatocytes
cells showed p value 0.102 (p< 0.05), there were no significant differences among the three groups, LSD test was not
conducted. ANOVA test results for a number of spermatid cells p value of 0.001 (p <0.05) means that there were significant
differences among the three groups. LSD test results with P1 control (p 0.036): different, with P2 controls (p <0.000):
different, P1 to P2 (p <0.033): different. Discussion: The conclusion of this study was that the administration of guajava
leaf extract does not reduce spermatogonium and spermatosit primer but reduce spermatid count in male rats.
Key words: red guava (Psidium guajava. L) leaf extract, spermatogenic cells

PENDAHULUAN prinsipnya mencegah terjadinya peleburan


antara sel sperma pria dengan sel telur wanita.
Pengendalian jumlah penduduk yang
Saat ini lebih banyak ditujukan pada kaum wanita, pada
telah dilaksanakan oleh pemerintah antara lain
pria masih terbatas, sehingga perkembangan
melalui pengendalian angka kelahiran berupa
kontrasepsi pria jauh tertinggal (Prajogo. B
program Keluarga Berencana (Moeloek 1994).
2003). Sensus penduduk tahun 2000, penduduk
Usaha yang telah dilaksanakan dalam program KB
Indonesia 205,8 juta jiwa. Laju pertumbuhan
adalah penyediaan sarana kontrasepsi. Kontrasepsi

269
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 269- 276

penduduk periode 2000-2010 sekitar 1,45 % keuntungan antara lain toksisitasnya rendah, mudah
per tahun. Penduduk indonesia hasil sensus diperoleh, murah harganya dan kurang menimbulkan
tahun 2010 menjadi 237,6 juta jiwa dengan efek samping (Arsyad, 1986). Tanaman yang
laju pertumbuhan penduduk 1,49 % per tahun. diharapkan dapat menjadi antifertilitas adalah daun
Dibandingkan Rencana Pembangunan Jangka jambu biji merah (Psidium guajava L). Daun jambu
Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 biji merah mengandung zat aktif seperti alkaloid,
sebesar 1,14 %, maka laju pertumbuhan flavonoid, tanin, minyak atsiri, avicullarin, oleanolic
penduduk saat ini 0,53 % masih lebih tinggi acid dan beta-sitosterol yang diduga bersifat
(BKKBN, 2014). Jumlah penduduk yang antifertilitas. Alkaloid dapat mempengaruhi sekresi
tinggi tidak diikuti peningkatan kualitas hormon reproduksi yang diperlukan untuk
hidup, terlihat dari belum terpenuhinya hak berlangsungnya proses spermatogenesis, minyak
warga negara seperti kecukupan pangan, atsiri bekerja tidak pada proses spermatogenesis
kualitas pendidikan yang bermutu, lingkungan, tetapi pada transportasi sperma, tanin dapat
dan gaya hidup sehat, serta keamanan fisik menggumpalkan sperma sehingga menurunkan
dan sosial. Diperlukan pengendalian jumlah motilitas dan daya hidup sperma (Wien dan
penduduk. (Shihab, 2005). Laporan hasil Dian, 2007). Alkaloid yang bekerja menekan sekresi
pelayanan kontrasepsi Oktober 2013 jumlah FSH dan LH sehingga akan mengganggu proses
peserta baru menurut jenis kontrasepsi yaitu : spermatogenesis dan akibatnya juga akan
peserta IUD 7,78 %, MOW 1,54 %, Implan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas
9,29 %, Suntik 48,78 %, Pil 26,34 % dan spermatozoa (Toelihere dalam Hartini 2011).
MOP 0,26 %, Kondom 6,00 % . Keikutsertaan Menurut Indriani (2006) ekstrak etanol daun
pria dalam program KB masih sangat rendah jambu biji mengandung senyawa tanin dan
yaitu hanya sebesar 6,26 % (BKKBN, 2014). steroid yang tinggi serta sedikit senyawa
Proses spermatogenesis dikendalikan hidrokuinon, flavonoid dan saponin. Variabel
oleh poros hipotalamus hipofisis dan testis. yang di ukur adalah kadar FSH dan jumlah sel
Gonadotropin realeasing hormon (GnRH) spermatogenik (spermatogonium, spermatosit primer
dilepaskan oleh hipotalamus sampai pada dan spermatid)
sasaran hipofise anterior. GnRH merangsang
kelenjar hipofisa mengeluarkan homon BAHAN DAN METODE
gonadotropin FSH dan LH yang akan
Penelitian ini merupakan penelitian
mempengaruhi testis untuk berfungsi. FSH
eksperimen, dengan rancangan penelitian Post
menstimulasi pertumbuhan sel-sel germinatif dari tubulus
test only control group design. Subjek
seminiferus dan mendorong terjadinya proses
penelitian terdiri dari tiga kelompok yang
spematogenesis secara sempurna. LH menstimulasi
dipilih secara acak dan telah diadaptasikan.
aktivitas dan pertumbuhan sel Leydig dalam
Masing-masing kelompok sebanyak 10 ekor
jaringan interstitial untuk menghasilkan hormon
dan dibagi dalam tiga kelompok. Satu kelompok
testosteron. Spermatogenesis dikendalikan oleh
sebagai kontrol hanya mendapatkan CMC Na
interaksi hormon FSH, LH dan testosteron,
0,5 % saja per oral. Sedangkan dua kelompok
gangguan interaksi ini dapat menyebabkan
lainnya mendapat perlakuan 1 dan perlakuan 2
proses spematogenesis terganggu (Speroff L
diberikan suspensi ekstrak daun jambu biji
& Fritz 2005; Ganong. WF 2003). Hilangnya
merah dengan dosis 40 mg/ml/hari dan 80 mg/ml/hari
hormon gonadotropin akan mempunyai
selama 30 hari. Penelitian ini menggunakan tikus putih
dampak pada berhentinya proses spermatogenesis,
jantan (Rattus norvegicus) strain wistar di fakultas
atropi testis dan tenunan testis menjadi lunak
kedokteran hewan Unair, karena secara etik tidak
(Harjopranjoto. S 1995).
memberikan perlakuan secara langsung
Penggunaan kontrasepsi asal tanaman
kepada manusia. Uji kelaikan etik (Ethical
perlu diperhatikan sifat merusak atau pengaruhnya
clearance) dilaksanakan sebelum penelitian
terhadap sistim reproduksi baik pada pria maupun
eksperimental laboratoris yang sesungguhnya
wanita. Sebaiknya digunakan tanaman yang
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas
sifatnya sementara (reversibel), bila tidak
Airlangga.
digunakan lagi sistem reproduksi kembali
Bahan yang digunakan untuk penelitian
normal sehingga tidak terjadi kemandulan
ini adalah tumbuhan daun jambu biji merah
dan diharapkan dapat menurunkan fertilitas
diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Obat
100 % (Winarno, dalam Susetyarini. Rr. E 2009).
dan Herbal Departemen Pertanian jalan Tentara
Bahan obat-obatan dari tanaman mempunyai

270
Efek Zat Aktif Ekstrak Daun Jambu Biji Merah (Ervi Husni, dkk)

Pelajar no 3 Bogor Jawa Barat. Kemudian daun halus menjadi serbuk. Tiap 2 kg daun
jambu biji merah dibuat simplisia (serbuk) lalu di jambu biji (basah) dapat menghasilkan
ekstraksi. Dari 2 kg daun jambu biji merah 500 g serbuk. Serbuk daun jambu biji
didapatkan 1300 g serbuk kering daun jambu sebanyak 500 gram dimaserasi dalam
biji. Minuman yang diberikan adalah air pelarut etanol sebanyak 1 liter sehari
PDAM ad libitum dan makanan yang semalam (diulang 3 kali). Filtrat diuapkan
diberikan adalah makanan tikus putih pada dalam rotary evaporator pada suhu 400 C
umumnya. sampai terbentuk ekstrak etanol. Evaporasi
Alat untuk perlakuan yaitu botol kecil, dihentikan jika sudah terbentuk uap lagi.
sonde, gelas ukur, corong gelas kecil. Alat Maserasi diulang hingga filtrat jernih
untuk pengambilan preparat histologi testis seperti etanol. Ekstrak cair yang diperoleh
yaitu alat bedah, cawan petri. Alat untuk lalu dipekatkan dengan rotavapor. Kemudian
menghitung sel spermatogonium, spermatosit dilakukan skrining fitokimia yang bertujuan
primer dan spermatid yaitu mikroskop cahaya, untuk mengetahui golongan senyawa yang
counter pipet, gelas objek cekung dan stop terkandung dalam suatu bahan tanaman..
wacth . Alat untuk ekstraksi yaitu shaker, Suspensi ekstrak daun jambu biji merah
tabung Erlenmeyer, rotary evaporator, dibuat untuk kebutuhan 1 minggu dan
penghitungan menggunakan hemositometer pembuatan dilebihkan untuk mengantisipasi
bila ada suspensi yang tumpah saat
Tahap Persiapan meliputi:
pengambilan. Cara pembuatan suspensi
1. Tikus putih jantan dewasa yang
dosis 40 mg / ml/ hari yaitu : 40 mg × 7
memenuhi kriteria baik umur maupun
hari × 15 = 4200 mg ( 4,2 g ), kemudian di
berat badan disiapkan sebanyak 30 ekor.
campurkan dengan 105 ml CMC Na 0,5 %.
2. Melakukan adaptasi lingkungan selama 1
Cara penghitungan yang sama juga
minggu untuk penyesuaian terhadap
dilakukan untuk pembuatan suspensi dosis
lingkungan dengan memberi makan dan
80 mg/ ml/hari.
minum tikus seperti biasa.
3. Pengelompokan tikus yaitu satu kelompok Tahap Pelaksanaan:
kontrol dan 2 dua kelompok perlakuan 1. Memberikan perlakuan dengan cara memberikan
yang masing- masing kelompok sebanyak larutan CMC 0,5 % 1 ml/hari pada kelompok
10 ekor. kontrol dan memberikan ekstrak daun jambu biji
4. Tikus ditempatkan dalam kandang yang merah dosis 40 mg/ml/hari pada kelompok
terbuat dari bahan plastik tertutup kawat perlakuan 1 serta 80 mg/ml/hari pada
sebanyak 10 buah dilengkapi tempat kelompok perlakuan 2 setiap hari pada jan
makan dan botol minuman. Kandang 12.00 wib setiap hari selama 30 hari.
berukuran 40 x 50 cm, sekam sebagai alas 2. Setelah hari ke 30 tikus disiapkan untuk
kandang di bersihkan setiap dua hari. pengambilan sampel jumlah sel spermatogenik.
Lingkungan kandang tikus putih dengan Dilakukan setelah perlakuan terhadap hewan
suhu kandang dibiarkan dalam kisaran coba berakhir. Tikus dikorbankan dengan
alamiah (27 – 27,5oC). Cahaya ruangan 12 menggunakan eter, setelah mati kemudian
jam terang dan 12 jam gelap. Timbangan Testisnya di ambil untuk pembuatan histologi
sartorius untuk menimbang berat badan testis. Epididimis yang diambil adalah bagian
tikus putih. Makan adalah makanan tikus kauda.dan diletakkan di cawan petri yang
biasa (pelet) dan air minun PDAM disuplai berisi larutan saline/PBS 1 ml, kemudian
setiap hari. dipotong-potong halus hingga terbentuk
5. Pembuatan suspensi CMC Na 0,5 %. suspensi.
Ditimbang 0,5 gram serbuk CMC Na 0,5 3. Untuk pemeriksaan sel spermatogeniknya
%, air panas sebanyak 40 ml ditaburkan di organ testis dimasukkan kedalam larutan
mortal, dibiarkan terendam dan mengembang buoin, kemudian dibuat sediaan histologi
beberapa menit. Kemudian ditambahkan dengan pewarnaan hematoksilin eoisin.
air mineral sampai volume 100 ml dan Pengamatan dilakukan dilakukan dengan
dikocok kemudian dipindahkan ke gelas. mikroskop cahaya dengan pembesaran 400
6. Membuat suspensi ekstrak daun jambu biji kali, sampel diambil sebanyak lima
merah. Daun jambu biji diiris-iris lalu lapangan pandang dan diambil rata-rata
dikeringkan, setelah kering lalu ditumbuk jumlah sel permatogenik.

271
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 269- 276

Data yang diperoleh adalah nilai rerata 0,05), berarti tidak ada perbedaan yang
dari jumlah sel spermatogenik meliputi signifikan diantara ketiga kelompok. Nilai
spermatogonium, spermatosit primer dan significant of level nya ˃ 0,05, maka disimpulkan
spermatid tiap kelompok. Data hasil penelitian tidak ada perbedaan yang bermakna pada ketiga
disajikan dalam bentuk tabel. Distribusi data kelompok, untuk itu uji LSD (least square
normal atau tidak dilakukan uji Kolmogorov- difference) tidak bisa dilakukan. Jumlah
Smirnov Z dan untuk mengetahui varian homogen atau spermatogonium tikus putih jantan pada ketiga
tidak dilakukan uji homogenitas varian. Hasil uji perlakuan secara statistik dianggap tidak
homogenitas varian apabila varian homogen berbeda signifikan (Tabel 1).
dilanjutkan dengan uji Anova satu arah pada
Jumlah spermatosit primer
taraf signifikansi p< 0,05 dan untuk mengetahui
Jumlah spermatosit primer adalah
bermakna atau tidaknya beda antar pasangan
jumlah yang dihitung dengan menggunakan
perlakuan dilakukan uji LSD (Least
mikroskop Nikon Eclipse Ci dengan pembesaran
Significantly Difference) (BNT = Beda Nyata
400 kali pada preparat histologi testis dari sayatan
Terkecil) (Steel dan Torrie, 1991).
tubulus seminiferus dengan pewarnaan Hematoksilin
Eosin yang dilakukan pada lima lapang
HASIL PENELITIAN
pandang dan dinyatakan dalam bentuk jumlah
Jumlah Sel Spermatogenik sel (sel per lapang pandang).
Hasil perhitungan jumlah rerata spermatosit
Jumlah spermatogonium
primer pada tikus putih jantan didapatkan
Jumlah spermatogonium adalah jumlah
penurunan antara kontrol dengan kelompok P
yang dihitung dengan menggunakan mikroskop
1 dan kelompok P2. Hasil Uji normalitas
Nikon Eclipse Ci dengan pembesaran 400 kali
Kolmogorov-Smirnov pada kelompok kontrol
pada preparat histologi testis dari sayatan
menunjukkan nilai p 0,124, kelompok perlakuan
tubulus seminiferus dengan pewarnaan Hematoksilin
1 nilai p 0,799 dan pada kelompok Perlakuan
Eosin yang dilakukan pada lima lapang
2 nilai p 0,937 (p > 0,05) yang berarti bahwa
pandang dan dinyatakan dalam bentuk jumlah
ketiga data tersebut berdistribusi normal. Kemudian
sel (sel per lapang pandang).
dilanjutkan dengan uji statistik dengan menggunakan
Hasil perhitungan jumlah rerata
uji Anova satu arah, didapatkan nilai p 0,102
spermatogonium pada tikus putih jantan tidak
( p < 0,05). Tidak ada perbedaan yang signifikan
terdapat perbedaan yang bermakna antara
diantara ketiga kelompok. Nilai significant of level nya
kelompok kontrol dengan kelompok P 1 dan
˃ 0,05 maka disimpulkan tidak ada perbedaan pada
kelompok P2. Hasil Uji normalitas Kolmogorov-
ketiga kelompok perlakuan, uji LSD ( least square
Smirnov pada kelompok kontrol menunjukkan
difference ) tidak bisa dilakukan. Jumlah spermatosit
nilai p 0,710, kelompok P 1 nilai p 0,989
primer tikus putih jantan pada ketiga perlakuan
dan pada kelompok P 2 nilai p 0,859 ( p >
secara statistik terbukti tidak berbeda
0,05 ), berarti ketiga data berdistribusi normal.
signifikan (Tabel 2).
Dilanjutkan uji statistik dengan menggunakan uji
Anova satu arah, didapatkan nilai p 0,801 (p <
Tabel 1 Rata-rata ( ̅ ) dan simpangan baku (SD) jumlah spermatogonium pada tikus putih jantan
Kelompok Replikasi ᾱ ± SD
K (kontrol) 10 57,780 ± 5,46 a
P1 (40 mg/ml/hari) 10 58,400 ± 11,64 a
P2 (80 mg/ml/hari) 10 55,580 ± 6,69 a

p: 0.801
Keterangan : superskrip huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
Tabel 2 Rata-rata ( ̅ ) dan simpangan baku (SD) jumlah spermatosit primer pada tikus putih jantan
Kelompok Replikasi ᾱ ± SD

K (kontrol) 10 81,570 ± 8,86 a


P1 (40 mg/ml/hari) 10 70,710 ± 10,63 a
P2 (80 mg/ml/hari) 10 56,850 ± 10,60 a
ρ : 0.102
Keterangan : superskrip huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

272
Efek Zat Aktif Ekstrak Daun Jambu Biji Merah (Ervi Husni, dkk)

Tabel 3 Rata-rata ( ̅ ) dan simpangan baku (SD) jumlah spermatid pada tikus putih jantan
Kelompok Replikasi ᾱ ± SD
a
K (kontrol) 10 149,540 ± 31,46
b
P1 (40 mg/ml/hari) 10 120,830 ± 17,39
c
P2 (80 mg/ml/hari) 10 91,600 ± 35,12

ρ : 0.001
Keterangan : superskrip huruf yang berbeda menunjukkan berbeda nyata.

Jumlah spermatid PEMBAHASAN


Jumlah spermatid adalah sel yang
Jumlah Sel Spermatogenik
dihitung dengan menggunakan mikroskop
Hasil perhitungan jumlah rerata
Nikon Eclipse Ci dengan pembesaran 400 kali
spermatogonium pada tikus putih jantan tidak
pada preparat histologi testis dari sayatan
terdapat perbedaan yang bermakna antara
tubulus seminiferus dengan pewarnaan Hematoksilin
kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan 1
Eosin yang dilakukan pada lima lapang
dan perlakuan 2. Dari hasil uji Anova satu
pandang dan dinyatakan dalam bentuk jumlah
arah, didapatkan nilai p = 0,140 ( p < 0,05).
sel (sel per lapang pandang).
Berarti tidak ada perbedaan yang signifikan
Hasil perhitungan jumlah rerata
diantara ketiga kelompok.
spermatid pada tikus putih jantan didapatkan
Tabel 2 menunjukkan hasil perhitungan
penurunan antara kontrol dengan kelompok
jumlah rerata spermatosit primer pada tikus
perlakuan 1 dan perlakuan 2. Hasil Uji normalitas
putih jantan didapatkan penurunan antara
Kolmogorov-Smirnov pada kelompok kontrol
kontrol dengan kelompok perlakuan 1 dan
menunjukkan nilai p 0,888 kelompok perlakuan 1nilai
perlakuan 2. Dari hasil uji Anova satu arah,
p 0,890 dan pada kelompok Perlakuan 2 nilai p 0,620 (
didapatkan nilai p 0,102 ( p < 0,05). Berarti
p > 0,05 ) yang berarti bahwa ketiga data tersebut
tidak ada perbedaan yang signifikan diantara
berdistribusi normal. Kemudian dilanjutkan
ketiga kelompok.
dengan uji statistik dengan menggunakan uji
Jumlah spermatogonium dan spermatosit primer
Anova satu arah, didapatkan nilai p 0,001 ( p
tikus putih jantan pada ketiga perlakuan secara statistik
< 0,05). Ada perbedaan yang signifikan diantara
dianggap tidak berbeda signifikan. Artinya ekstrak daun
ketiga kelompok. Untuk mengetahui kelompok mana
jambu biji merah dengan dosis 40 mg/ml/hari
yang berbeda maka dilanjutkan dengan uji Least
dan 80 mg/ml/hari selama 30 hari belum
Significant Difference (LSD).
memberikan efek terhadap penurunan jumlah
spermatogonium dan spermatosit primer pada
tikus putih jantan.
Pada tabel 3 menunjukkan hasil perhitungan
jumlah rerata spermatid pada tikus putih
jantan didapatkan penurunan pada kelompok
perlakuan 1 dan perlakuan 2 dibanding kelompok
Kelompok kontrol: Terlihat Kelompok perlakuan 1 : kontrol. Hasil uji Anova satu arah,
gambaran sel spermatogenik Terlihat gambaran sel
masih padat dan tersusun rapat
dari tepi ke tengah .
spermatogenik mulai renggang didapatkan nilai p 0,001 (p< 0,05). Berarti
dari tepi ke tengah.
ada perbedaan yang signifikan diantara ketiga
kelompok. Hasil uji LSD menunjukkan bahwa
ada perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol
dengan kelompok P 1 dengan nilai p 0,036 sedangkan
kelompok kontrol dengan P 2 juga terdapat perbedaan
yang bermakna dengan nilai p 0,000. Untuk kelompok
P1 dengan P2 juga terdapat perbedaan yang bermakna
dengan nilai p 0,033.
Kelompok perlakuan 2 : terlihat Hasil gambaran histologi testis pada kelompok
gambaran sel spermatogenik
bertambah renggang mulai dari
tepi sampai ke tengah.
kontrol (gambar 1) terlihat potongan tubulus seminiferus
testis terlihat sel-sel spermatogenik yang tersusun
secara lengkap dan berurutan ke arah lumen
Gambar 1 Histologi testis sampel menurut tingkat perkembanganya, sedangkan

273
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 269- 276

pada kelompok perlakuan 1 dan perlakuan 2 sementara jumlah lapisan sel spermatid berkurang.
terlihat susunan sel longgar tidak beraturan Penurunnya jumlah spermatid dalam penelitian ini di
dan kerapatannya berkurang. duga dipengaruhi oleh kadar hormon
Sel spermatogenik tersusun secara testosteron yang masih rendah padahal
lengkap dengan sel yang berasosiasi secara hormon testosteron sangat diperlukan untuk
berurutan kearah lumen menurut tingkat pendewasaan spermatid. Berkurangnya jumlah
perkembangannya yaitu spermatogonium selapis, lapisan sel spermatozoa pada lumen terjadi
spermatosit primer, spermatid beberapa lapis dan karena jumlah spermatid berkurang dan
lumen berisi spermatozoa (Astuti NY dan ditambah dengan adanya gangguan spermatogenesis
Soeradi O 2002). Sel spermatozoa yang sehingga spermatid terhambat untuk berdiferensiasi
dihasilkan di tubulus seminiferus testis oleh menjadi spermatozoa. Kerusakan di duga karena
sel-sel yang berasal dari germinal epitelium adanya vakuolisasi dan eksfoliasi sehingga metabolisme
disebut spermatogonium yang bersifat sel juga terganggu. Kelainan tersebut merupakan
spermatogenik. indikator adanya gangguan spermatogenesis. Dari satu
Pembentukan sel spermatogonium dalam spermatogonium setelah mengalami fase mitosis dan
tubulus seminiferus berturut-turut dari tepi meiosis akan tebentuk dua spermatosit primer
ke arah lumen adalah yang dimulai dari kemudian menhasilkan empat spermatid dan
spermatogonium yang sudah terbentuk empat spermatozoa (Poernomo BS, Widjiati,
semenjak sebelum pubertas. Spermatogonium akan Mafruchati, M Lugman 2011).
berubah menjadi spermatosit primer, spermatosit Penurunan jumlah spermatosit dan
sekunder dan kemudian berkembang menjadi spermatid. spermatid juga didukung oleh pernyataan
Spermatid akan melewati proses maturasi untuk Everrit and Johnson.M (1990) bahwa sel
berkembang menjadi sel spermatozoa (Poernomo, spermatogenik sangat peka terhadap pengaruh
2011). luar dan cenderung mengalami kerusakan
Menurut Fritz (1978) perkembangan setelah profase meiosis pertama yaitu pada
dan jumlah sel spermatogonia serta sel sertoli saat terjadinya pindah silang antara kromosom yang
lebih dipengaruhi oleh regulasi hormonal. homolog. Pada tahap ini, inti serta sitoplasma
FSH berperan sejak terjadinya proliferasi tumbuh menjadi sel terbesar diantara lapisan
spermatogonia sehingga terbentuknya spermatosit sel spermatogenik, namun jika adanya bahan
primer dan terhadap perkembangan tahap akhir oksidan dalam proses spermatogenesis maka
spermatid menjadi spermatozoa. FSH dan akan berpengaruh terhadap jumlah sel
androgen (testosteron) mempertahankan fungsi spermatogenik.
gametogenik testis. FSH bekerja pada sel Flavonoid yang dihasilkan oleh hampir
sertoli untuk memperlanjar stadium akhir sebagian besar dunia tumbuhan dapat
pematangan (Ganong. WF 2003). Sel menghambat banyak reaksi oksidasi, baik
endotelial dari epididimis membutuhkan enzim maupun non enzim (Robinson, dalam
andogen dalam level tinggi untuk berfungsi Nurliani A, Rusmiati 2005). Kellis dan
secara normal. Meski banyak testosteron yang Vickery (1984) berpendapat bahwa Flavonoid
disekresikan ke dalan tabung tubulus yang disintesis hampir seluruh dunia tumbuhan dapat
seminiferus diubah kedalam bentuk DHT oleh menghambat enzim aromatase. Dengan dihambatnya
enzim 5a-steroidereduktase, beberapa testosteron enzim tersebut yang berfungsi mengkatalis konversi
diubah ke estrogen oleh enzim aromatase. androgen menjadi estrogen, maka jumlah testosteron
Jumlah tertosteron yang cukup banyak (Androgen) akan meningkat (Hartini 2011). Selain itu
dibutuhkan untuk pendewasaan spermatid flavonoid diduga sebagai inhibitor dalam penurunan
(Hafez. 2000). laju reaksi. Ikatan inhibitor dapat merubah
Sel spermatogenik sangat peka terhadap daya katalisator nya, karena adanya perubahan
senyawa toksik pada saat mitosis I, Meiosis I struktur enzim ketika suatu inhibitor maupun
dan spermatogenesis (Arsyad dalam Astuti katalisator berinteraksi dengan enzim tersebut
NY dan Soeradi O 2002). Pada penelitian ini (Boyer dalam Basha H.S , Lalithamma A,
di duga bertambahnya jumlah lapisan Lakshman J 2013). Hal ini dikarenakan
spermatosit primer pada perlakuan mungkin beberapa senyawa bioaktif asal tumbuhan
disebabkan oleh adanya gangguan pada ketika ditambahkan ke dalam sistem reaksi
pembelahan meiosis. Zat aktif daun jambu biji enzimatik dapat berperan sebagai aktifator dan
merah diduga menghambat perubahan spermatosit beberapa justru sebagai inhibitor. Dengan
primer menjadi spermatid sehingga terlihat lebih banyak bertambahnya jumlah reaksi enzimatik di

274
Efek Zat Aktif Ekstrak Daun Jambu Biji Merah (Ervi Husni, dkk)

dalam tubuh seperti enzim primer SOD KEPUSTAKAAN


(Superoksida Dismutase), maka akan
Astuti NY dan Soeradi O, 2002. Toksisitas
menghambat sejumlah proses perkembangan
akut dan efek pemberian ekstrak etanol
sel didalam tubuh termasuk spermatogenesis.
kayu secang (Caesalpinia sappan L)
Gaytan dan Aguilar (1987) menyatakan bahwa
terhadap struktur anatomi tubulus
jumlah sel sertoli dalam testis tikus lebih dikontrol oleh
Seminiferus testis tikus putih. Jurnal
hormon FSH sedangkan menurut Fritz (1978)
Bahan Alam Indonesia, 1(1).
perkembangan dan jumlah sel spermatogonia
serta sel sertoli lebih dipengaruhi oleh regulasi Basha H.S , Lalithamma A, Lakshman J, C.C.,
hormonal. Apabila kadar hormon (FSH dan 2013. Antifertility effect of carica
LH) mencukupi kebutuhan sel dan jaringan papaya linn.seed extract on hormones in
pada organ reproduksi maka testis juga akan male albino rats. International Journal
berfungsi dengan baik. Namun untuk of Biological & Pharmaceutical
mengetahui mekanisme kerja secara jelas dari Research, 4(12), pp.859–861.
efek sitotoksik dan sitostatik tersebut masih
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Everrit and Johnson.M, 1990. Essensial
Reproduction 3 nd Editi., London:
SIMPULAN DAN SARAN Blackwell Sci.Pub.

Simpulan Fritz, I.B., 1978. Site of actions of androgen


and follicle stimulating hormone on cell
Pemberian ekstrak daun jambu biji of the seminiferous tubule, New York:
merah dosis 40 mg/ ml/hari dan 80 mg/ Litwack (Ed) Academic Press.
ml/hari tidak menurunkan jumlah sel
spermatogonium pada tikus putih jantan. Ganong. WF, 2003. Buku ajar fisiologi
kedokteran Ed. 20., Jakarta: EGC.
Pemberian ekstrak daun jambu biji merah 40
mg/ml/hari dan 80 mg/ml/hari tidak Harjopranjoto. S, 1995. Ilmu kemajiran pada
menurunkan jumlah spermatosit primer pada ternak. surabaya, Surabaya: Airlangga
model tikus putih jantan. Pemberian ekstrak University Press.
daun jambu biji merah 40 mg/ml/hari dan 80
Hartini, 2011. Pengaruh dekok daun jambu
mg/ml/hari menurunkan jumlah spermatid biji merah (Psidium guajava. L)
pada model tikus putih jantan. terhadap jumlah , kecepatan dan
morfologi spermatozoa tikus putih
Saran. jantan (Rattus norvegicus). universitas
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut andalas.
apakah ekstrak daun jambu biji merah
Moeloek. N, 1994. Sistem reproduksi
berpengaruh terhadap jumlah sel sertoli dan
jantan/pria. reproduksi dan embriologi :
kadar inhibin pada tikus putih jantan, Perlu
dari satu sel menjadi organisme, Jakarta:
dilakukan penelitian lebih lanjut apakah
FKUI.
ekstrak daun jambu biji merah berpengaruh
terhadap testis ( ukuran dan berat testis), Perlu Nurliani A, Rusmiati, S.H.., 2005.
dilakukan penelitian lebih lanjut apakah Perkembangan sel spermatogenik mencit
ekstrak daun jambu biji merah berpengaruh (Mus musculus L) setelah pemberian
terhadap kadar hormon FSH, LH dan ekstrak kulit kayu durian (Durio
Testosteron pada tikus putih jantan, Perlu ziberthinus murr.). Jurnal Berk. Penel.
penelitian lebih lanjut efek toksik ekstrak Hayati, 11, pp.77–79.
daun jambu biji merah terhadap organ
reproduksi, Perlu dilakukan penelitian lebih Poernomo BS, Widjiati, Mafruchati, M
lanjut dengan dosis yang lebih tinggi, waktu Lugman, E., 2011. Buku ajar
pemberian yang lebih lama dan sampel yang embriologi, Surabaya: Pusat Penerbitan
lebih banyak. dan Percetakan Universitas Airlangga.

Prajogo. B, 2003. Dikembangkan kontrasepsi

275
Jurnal Ners Vol. 11 No. 2 Oktober 2016: 269- 276

hormonal pria. Available at: Susetyarini. Rr. E, 2009. Efek senyawa aktif
http://www.kontrasepsihormonalpria.co daun beluntas terhadap kadar testosteron
m/kes. tikuspPutih (Rattus norvegikus) jantan.
Jurnal GAMMA, V(1), pp.21–27.
Speroff L & Fritz, M., 2005. Clinical
gynecology endocrinology and
infertility, Philadelphia: Lippincot
William & Wilkins.

276

Anda mungkin juga menyukai