Anda di halaman 1dari 59

LAPORAN PRAKTIKUM ANALISIS FARMASI

DASAR

TETAPAN FISIKA

Responser : Dr. Drs. Hayun M.Si.

Disusun oleh :

1. Elin Oktavira 1706974385


2. Ersa Desita 1706974403
3. Dimas Sukma Sajati 1706078586
4. Farah Salsabila 1706974416
5. Lola Miftahul Fidini 1706974492
6. Nurma Yunita 1706025384
7. Roesyta’s Fitria Noer 1706078472
8. R. Zulfa ‘Alawiyyah 1706974561
9. Yeyen Husuna 1706013423
10. Winning Bekti Safitri 1706974624

LABORATORIUM KIMIA FARMASI - MEDISINAL DAN BIOANALISIS


PRODI SARJANA FARMASI
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS INDONESIA
2018
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………..…………... i

BAB I : PENDAHULUAN………………………………..…….….……... 1

1.1 Latar Belakang………………………………………………..…….. 1


1.2 Tujuan Praktikum…………………….……..………….…….…….. 2

BAB II : TEORI DASAR………………………………………………… 3

2.1 Teori Dasar…………………….………….………..…………….… 3


2.1.1 Susut Pengeringan………………...……….…..………….... 3
2.1.2 Rotasi Optik……………………………………..………….. 3
2.1.3 Indeks Bias………………………………………..………... 9
2.1.4 Suhu dan Jarak Lebur………………………………..……... 12
2.1.5 Bobot Jenis………………………………………………….. 12
2.2 Metode Acuan…………………………………………………...…. 14
2.2.1 Susut Pengeringan……………………………………….…. 14
2.2.2 Rotasi Optik…………………………………………….….. 15
2.2.3 Indeks Bias…………………………………………….…… 16
2.2.4 Suhu dan Jarak Lebur…………………………………….… 16
2.2.5 Bobot Jenis……………………………………………….… 17

BAB III : METODE PERCOBAAN PRAKTIKUM…………………… 18

3.1. Alat dan Bahan……………………………………………………... 18


3.1.1 Susut Pengeringan………………………………………….. 18
3.1.2 Rotasi Optik………………………………………………… 19
3.1.3 Indeks Bias…………………………………………………. 19
3.1.4 Suhu dan Jarak Lebur………………………………………. 19
3.1.5 Bobot Jenis…………………………………………………. 20
3.2. Cara Kerja………………………………………………………….. 20
3.2.1 Susut Pengeringan………………………………….………. 20
3.2.2 Rotasi Optik……………………………………………….... 21
3.2.3 Indeks Bias…………………………………………………. 24

i
3.2.4 Suhu dan Jarak lebur………………………………………... 25
3.2.5 Bobot Jenis………………………………………………….. 25

BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………… 27

4.1 Hasil Pengamatan…………………………………………………... 27


4.1.1 Susut Pengeringan………………………………………….. 27
4.1.2 Rotasi Optik………………………………………………… 28
4.1.3 Indeks Bias………………………………………………….. 29
4.1.4 Suhu dan Jarak Lebur……………………………………….. 29
4.1.5 Bobot Jenis………………………………………………….. 30
4.2 Pembahasan…………………………………………………………. 30
4.2.1 Susut Pengeringan…………………………………………... 30
4.2.2 Rotasi Optik………………………………………………… 31
4.2.3 Indeks Bias………………………………………………….. 32
4.2.4 Suhu dan Jarak Lebur………………………………………. 33
4.2.5 Bobot Jenis………………………………………………….. 34

BAB V : PENUTUP……………………………………………………….. 37

5.1 Kesimpulan…………………………………………………………. 37
5.1.1 Susut Pengeringan………………………………………….. 37
5.1.2 Rotasi Optik………………………………………………… 37
5.1.3 Indeks Bias…………………………………………………. 37
5.1.4 Suhu dan Jarak Lebur………………………………………. 38
5.1.5 Bobot Jenis………………………………………………….. 38
5.2 Saran……………………………………………………………….... 38
5.2.1 Susut Pengeringan…………………………………………... 38
5.2.2 Rotasi Optik…………………………………………………. 38
5.2.3 Indeks Bias………………………………………………...… 39
5.2.4 Suhu dan Jarak Lebur……………………………………….. 39
5.2.5 Bobot Jenis…………………………………………………... 39

ii
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….… iv

LAMPIRAN………………………………………………………………… v

1. Lampiran Hasil Pengamatan……………………………………… v


2. Lampiran Alat dan Bahan………………………………………… vii
3. Lampiran Percobaan Susut Pengeringan...……………………... xiv
4. Lampiran Percobaan Indeks Bias………………………..………. xvi
5. Lampiran Suhu dan Jarak lebur…………………………………. xvi
6. Lampiran Bobot Jenis……………………………………………... xvii

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fisika adalah ilmu yang mempelajari benda-benda dan fenomena
yang terkait dengan benda-benda tersebut. Untuk mendeskripsikan
keadaan suatu benda atau suatu fenomena yang terjadi pada benda, maka
didefinisikan berbagai besaran-besaran fisika. Besaran-besaran fisika ini
selalu dapat terukur dan memiliki nilai (dapat dinyatakan dalam angka-
angka) yang merupakan hasil pengukuran. Besara-besaran fisika
didefinisikan secara khas, sebagai suatu istilah fisika yang memiliki makna
tertentu. Terkadang suatu besaran fisika hanya dapat dimengerti dengan
menggunakan bahasa matematik (menggunakan angka), walau terkadang
juga dapat diuraikan dengan bahasa sederhana.
Untuk mengetahui nilai dari suatu besaran fisika harus dilakukan
pengukuran. Mengukur adalah membandingakan antara dua hal, dengan
salah satunya menjadi pembanding atau alat ukur, yang besarnya harus
distandarkan. Standar tersebut kemudian dinyatakan memiliki nilai satu
dan dijadikan sebagai nilai acuan satuan tertentu. Nilai standar dapat
ditentukan sesuai kehendak kita masing-masing, namun hal ini tidak ada
artinya bila standar tadi tidak sama di seluruh dunia, karena itu perlu
diadakan suatu standar internasional agar setiap manusia dapat
berkomunikasi dalam bahasa satuan standar yang sama. Selain itu, sebuah
standar haruslah praktis dan dapat diproduksi ulang dimanapun di dunia
ini (atau bahkan di alam semesta) seta tidak bergantung pada keadaan
lingkungan lingkungan. Sistem standar internasional untuk ukuran saat ini
sudah ada, dan dikenal dengan Sistem Internasional (SI).
Dalam analisis bahan baku farmasi suatu senyawa obat, dapat
dilakukan dengan membandingkan besaran fisika suatu sampel dengan
standarnya, hal ini dapat dilakukan dengan beberapa metode tetapan fisika
seperti: berat jenis; rotasi jenis; indeks bias dan jarak lebur.

1
1.2 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan pada praktikum kali ini, yaitu:
1. Menetapkan nilai susut pengeringan pada bahan baku farmasi.
2. Menetapkan nilai rotasi optik pada bahan baku farmasi.
3. Menetapkan nilai indeks bias pada bahan baku farmasi.
4. Menetapkan nilai suhu lebur pada bahan baku farmasi.
5. Menetapkan nilai bobot jenis pada bahan baku farmasi.

2
BAB II
TEORI DASAR
2.1. Teori Dasar
2.1.1 Susut Pengeringan
Susut pengeringan merupakan pengukuran zat sisa yang dilakukan
setelah pengeringan pada temperatur 105oC dengan waktu yang telah
ditetapkan atau sampai berat konstan, yang dinyatakan dengan nilai persen
(%). Tujuan dilakukan susut pengeringan adalah untuk memberikan
batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada
proses pengeringan.
Perhitungan penetapan susut pengeringan dapat menggunakan
rumus sebagai berikut:
% Susut Pengeringan = (a-b)/a x 100%
a = berat zat awal
b = berat zat setelah pengeringan
Pengukuran susut pengeringan ini bertujuan untuk memberikan
rentang maksimal terhadap besarnya senyawa yang hilang pada proses
pengeringan.

2.1.2 Rotasi Optik


A. Pengertian Rotasi Optik
Aktivitas Optik adalah kemampuan suatu senyawa kiral memutar
bidang polarisasi dari sinar terpolarisasi linier (polarized light). Senyawa
kiral adalah senyawa yang memiliki atom C khiral dengan 4 subtituen
yang berbeda. Contohnya, R-Limonene dan S-Limonene.
Polarisasi cahaya adalah cahaya yang bidangnya berosilasi 1 arah.
Jenis-jenis polarisasi cahaya sebagai berikut :
1. Polarisasi Linear , penjumlahan vevtor sirkuler kanan dan kiri.
2. Polarisasi Sirkuler, terdiri dari 2 gelombang elektromagnetik yang
tegak lurus, memiliki amplitudo sama dan berbeda fase 900. Apabila
gelombang elektromagnetik berputar berlawanan arah jarum jam

3
disebut dengan polarisasi sirkuler kanan sedangkan apabila berputar
searah jarum jam disebut dengan polarisasi sirkuler kiri.
3. Polarisasi Ellips, terdiri dari 2 gelombang elektromagnetik tegak lurus

dengan amplitudo yang berbeda dan berbeda fase 90o. Apabila


gelombang elektromagnetik berputar berlawanan arah jarum jam
disebut dengan polarisasi ellips kanan sedangkan apabila berputar
searah jarum jam disebut dengan polarisasi ellips kiri .

Rotasi optik adalah sudut rotasi polarisasi bidang oleh suatu


senyawa dengan sumber cahaya yang dapat berupa berupa lampu natrium
(λ=589.3) pada suhu 25oC. Ada 2 jenis rotasi optik :
1. Optical Rotary Dispersion (ORD)
Perubahan indeks bias suatu senyawa sebagai fungsi
panjang gelombang. Perbedaan indeks bias dari cahaya

terpolarisasi sirkuler kanan dan kiri digabungkan


pemutaran cahaya terpolarisasi bidang

4
2. Circular Dichroism
Berhubungan langsung dengan kemampuan molekul
mengabsorpsi senyawa (molecular absorption
koefisien).Perbedaan absorpsi cahaya terpolarisasi sirkuler kanan
dan kiri pemutaran cahaya terpolarisasi bidang dengan amplitudo

yang berbeda polarisasi ellips.

Penetapan rotasi optik suatu bahan dapat digunakan untuk


tujuan mengkonfirmasi identitas senyawa isomer optik,
menentukan kemurnian optik senyawa optis aktif, atau
menentukan kadar senyawa optis aktif (bila daya rotasi kuat,
contoh : dekstrosa, antara 52,6o dan 53,2o)

Rotasi optik dinyatakan dalam derajat rotasi sudut (yang


diamati) atau derajat rotasi jenis (yang dihitung dibandingkan
terhadap kadar 1 gr zat terlarut dalam 1 ml larutan, diukur pada
kondisi yang telah ditentukan). Senyawa yang memutar bidang
cahaya sesuai arah jarum jam dilihat ke arah sumber cahaya,
bersifat memutar ke kanan dan rotasi sudutnya diberi tanda (+);
zat yang memutar bidang cahaya berlawanan dengan arah jarum
jam bersifat memutar kiri dan rotasi sudutnya diberi tanda (-).

B. Perhitungan Rotasi Jenis


Senyawa isomer optik mempunyai rotasi jenis tertentu, misal :
kloramfenikol, antara +17,0o dan +20,0o (lakukan penetapan menggunakan
larutan 1,25 gram dalam 25 ml etanol mutlak, suhu 25oC, lampu natrium,

5
589-589,6 nm). Apabila rotasi jenis berbeda maka senyawa tersebut bisa
berupa isomer yang berbeda atau tidak memenuhi syarat kemurnian optik.
Rotasi jenis adalah sudut rotasi optic suatu senyawa yang dibandingkan
terhadap zat dengan kadar 1 g/mL.
Hitung rotasi jenis untuk zat cair atau suatu zat padat dalam larutan,
dilakukan dengan menggunakan salah satu rumus berikut :
 Untuk zat cair : [𝛼]𝑥=𝑡𝑎/𝑙𝑑

 Untuk larutan : [𝛼]𝑥=𝑡100𝑎/𝑙𝑝𝑑=100𝑎/𝑙𝑐

Keterangan Rumus :
a = rotasi optik terkoreksi pada suhu t dan χ x ; jika t = 25oC , x = λ 589
nm maka lakukan penetapan pada t = 25oC dan x = λ 589 nm
l = panjang tabung polarimeter (dm);
d = BJ cairan/larutan pada suhu pengamatan ;
p = kadar larutan (g/100 g larutan); dan
c = kadar larutan (g/100 ml larutan)

C. Perhitungan Kadar

Keterangan Rumus :
C = konsentrasi bahan dalam gram/100 ml larutan
α= sudut rotasi diukur pada 20oC
l = ketebalan sampel (panjang tabung) dalam desimeter (dm)
(α) = sudut rotasi spesifik

D. Alat Ukur Rotasi Optik : Polarimeter


Polarimeter adalah instrumen untuk mengukur rotasi optik suatu
zat. Dengan mengukur optik, polarimeter dapat digunakan untuk
menganalisis konsentrasi, kandungan, dan kemurnian zat. Instrumen ini

6
sesuai untuk penggunaan dalam laboratorium di industri makanan, farmasi,
dan kimia, maupun di universitas dan institusi penelitian.

Keterangan Gambar :
1. Lensa pembaca
2. Eyepiece
3. Selection wheel
4. Skala dan Vernier
5. Pengemas sampel
6. Polarizer
7. Cahaya LED
8. Polarimeter case
Zero optikal ditunjukkan pada tiga bidang cahaya/ bayangan

Keterangan Gambar :
1. Di atas atau di bawah zero optikal
2. Bidang pada zero optikal
3. Di bawah atau di atas zero optikal

7
E. Prinsip Polarimeter

Sampel yang akan diukur ditempatkan dalam tabung polarimeter


yang tersedia secara komersial dengan panjang dari 100 sampai 200 mm (2
dm). Sorotan cahaya dari sumber cahaya lewat melalui lensa penjelas dan
filter. Sorotan cahaya dibuat sejajar dan dipolarisasi setelah melewati
polarizer. Senyawa cahaya membentuk tiga bidang bayangan pada
piringan panjang gelombang π/2. Posisi zero dapat disesuaikan dengan
menggeser posisi analyser.
Tabung pengamatan dipenuhi dengan cairan optik aktif,
ditempatkan diantara polarizer. Sorotan cahaya dapat kemudian dilihat
pada piringan panjang gelombang. Dengan memutar satu polarizer,
sorotan cahaya dikembalikan ke tingkat bayangan penuh dan sudut rotasi
ini dapat dilihat dari skala.
Pemutaran bidang diakibatkan vector sirkuler dihambat. Apabila

vektor sirkuler kiri yg dihambat : belok ke kanan clockwise


dextrorotary (+). Sedangkan apabila vektor sirkuler kanan yg dihambat:

belok ke kiri counterclockwise levorotary (-).


Prinsip kerja polarimeter adalah ketika sinar monokromatis yang
bersumber dari cahaya (lampu natrium) akan melewati lensa kolimator,
sehingga berkas cahaya yang dihasilkan akan sejajar dengan arah
rambatnya. Lalu cahaya diteruskan melewati sampel larutan zat optic aktif

8
dan kemudian di teruskan ke prisma analisator setengah nicol untuk
mendapatkan bayangan gelap dan terang. Sifat gelombang dapat
dipantulkan, dibiaskan, difokuskan, dan dipolarisasikan. Gelombang
bergerak dalam medium atau jenis bahan isotropic yang homogen (sama).
Dengan mengamati proses yang dialami gelombang yang dibiaskan kita
mendapatkan besarnya nilai kecepatan gelombang:
V=c/n
C merupakan hampa udara yaitu 3.108 m/s dan n adalah indeksi bias.
Sehingga kita dapat menentukan besar nilai kecepatan gelombang yang
dibiaskan.

2.1.3 Indeks Bias


Indeks Bias adalah salah satu sifat optik zat yang dapat mencirikan
keadaan suatu material transparan. Hal tersebut dapat dijadikan salah satu
metode untuk mengidentifikasi zat dan menentukan ketidakmurnian suatu
zat dan konsentrasi zat yang terkandung dalam sampel. Prinsip yang
digunakan adalah perbandingan antara kecepatan cahaya dalam udara
dengan kecepatan cahaya dalam zat yang diuji. Indeks bias dapat dicari
dengan rumus berikut ini.
𝑐
𝑛=
𝑣
Keterangan :
n = Indeks bias
c = kecepatan cahaya
v = kecepatan cahaya saat melewati larutan sampel

Nilai indeks bias setiap zat dapat berbeda-beda karena pengaruh


densitas atau kerapatan massa zat tersebut. Medium yang memiliki
kerapatan massa tertentu apabila dilewatkan cahaya akan memiliki
perbedaan antara sinus sinar datang dan sinus sinar bias. Perbandingan
nilai tersebut dapat menentukan nilai indeks bias medium yang dilewati
cahaya tersebut.

9
Sudut kritis adalah sudut yang terefleksi sejajar dengan medium.
Sudut ini dapat dihitung melalui hukum snellius.
sin 𝑖1 𝑛2
=
sin 𝑖2 𝑛1
sin 𝑖1 𝑛2
=
sin 90ᵒ 𝑛1
𝑛2
sin 𝑐𝑟𝑖𝑡 =
𝑛1
Harga indeks bias suatu zat terdapat pada Farmakope Indonesia V
atau yang referensi lainnya. Namun, harga ini dinyatakan untuk garis D
cahaya natrium pada panjang gelombang double 589,0 nm dan 589,6 nm.
Besaran gelombang cahaya tersebut normal digunakan dalam alat
refraktometer abbe. Refraktometer abbe adalah alat yang normal
digunakan untuk menentukan indeks bias.

10
Gambar Penampakan Refraktometer Abbe
Kerja refraktometer Abbe didasarkan pada prinsip sudut kritis. Zat
cair diletakkan di antara measuring prism dan illuminating prism. Cahaya
dipancarkan ke arah illuminating prism lalu melewati sampel dan
diteruskan ke measuring prism dan teleskop. Kemudian mengatur bagian
gelap di bawah dan terang di atas tepat di tengah bidang diagonal seperti
pada gambar.

Gambar Prinsip Kerja Refraktometer

11
2.1.4 Suhu dan Jarak Lebur
Suhu lebur adalah suhu pada saat suatu zat tepat melebur
seluruhnya yang ditujukan pada fase padat tepat hilang. Sedangkan jarak
lebur adalah suhu awal dan suhu akhir peleburan zat. Jarak lebur juga
dapat disebut sebagai rentang suhu peleburan suatu zat. Suhu awal dicatat
pada saat zat mulai berubah bentuk atau membentuk tetesan pada pipa
kapiler, sedangkan suhu akhir dicatat pada saat hilangnya seluruh fase
padat.
Zat padat akan berubah menjadi bentuk cairnya ketika molekul dari
zat padat tersebut mendapatkan energi yang cukup untuk memecah ikatan
intermolekulernya. Suhu lebur suatu zat tergantung pada struktur
molekulnya. Sebagian besar senyawa organik yang murni memiliki kisaran
jarak lebur yang sempit, yaitu 1-2oC.
Penetapan nilai suhu lebur suatu bahan dapat digunakan untuk uji
kemurnian dan identifikasi. Suatu zat dikatakan murni apabila titik lebur
yang diperoleh dari percobaan sama dengan yang ada dalam literatur.
Apabila ada pengotor pada sampel, seringkali pengotor tersebut akan
menyebabkan penurunan titik lebur dan pelebaran jarak lebur. Untuk
mengidentifikasi dan mengkarakterisasi suatu senyawa,senyawa tersebut
harus dalam bentuk zat aktif murni dan dibandingkan dengan standar yang
memang telah terbukti kemurniannya. Apabila dua sampel memiliki suhu
lebur yang berbeda, dapat dikatakan bahwa kedua molekul sampel tersebut
berbeda baik secara struktur atau bentuk konfigurasinya. Kedua sampel
tersebut dapat diperkirakan merupakan isomer struktur. Apabila suhu lebur
antara dua sampel sama, struktur molekul kedua zat tersebut diperkirakan
sama.

2.1.5 Bobot Jenis


Dalam bidang farmasi bobot jenis dan rapat jenis suatu zat atau
cairan digunakan sebagai salah satu metode analisis yang berperan dalam
menentukan senyawa cair, digunakan pula untuk uji identitas dan

12
kemurnian dari senyawa obat terutama dalam bentuk cairan, serta dapat
pula diketahui tingkat kelarutan/daya larut suatu zat.
Bobot jenis adalah rasio bobot suatu zat terhadap bobot zat baku
yang volumenya sama, pada suhu yang sama, dan dinyatakan dalam
desimal. Bobot jenis menggambarkan hubungan antara bobot suatu zat
terhadap bobot suatu zat baku. Dalam farmasi, Bobot jenis adalah faktor
yang memungkinkan pengubahan jumlah zat dalam formula farmasetik
dari bobot menjadi volume dan sebaliknya.
Penetapan bobot jenis digunakan hanya untuk cairan dan kecuali
dinyatakan lain didasarkan pada perbandingan bobot zat di udara pada
suhu yang telah ditetapkan terhadap bobot air dengan volume dan suhu
yang sama. Bila pada suhu 25°C zat berbentuk padat, tetapkan bobot jenis
pada suhu yang telah tertera pada masing-masing monografi dan mengacu
pada air pada suhu 25°C.
Bobot jenis dapat diukur dengan beberapa metode. Metode
penentuan bobot jenis dan rapat jenis untuk cairan (Voigt,1994):
● Metode Piknometer
Prinsip metode piknometer ini didasarkan atas penentuan massa
cairan dan penentuan ruang, yang ditempati oleh cairan ini. Untuk
metode ini dibutuhkan wadah untuk menimbang yang dinamakan
piknometer. Ketelitian pada metode piknometer akan bertambah
sampai mencapai keoptimuman tertentu dengan bertambahnya
volume piknometer.
● Metode Neraca Hidrostatik
Metode neraca hidrostatik bekerja dengan berdasarkan hukum
Archimedes yaitu suatu benda yang dicelupkan ke dalam cairan
akan kehilangan massa sebesar berat volume cairan yang terdesak.
● Metode Neraca Mohl - Westphal
Benda berbahan kaca dibenamkan tergantung pada balok
timbangan yang ditoreh menjadi 10 bagian sama, kemudain
disetimbangkan dengan bobot lawan. Keuntungan dari penentuan

13
kerapatan dengan neraca Mohr-Westphal yaitu penggunan waktu
yang singkat dan juga mudah untuk dilaksanakan.
● Metode areometer
Penentuan kerapatan dengan areometer berskala (timbangan
benam, sumbu) didasarkan oleh pembacaan seberapa dalamnya
tabung gelas tercelup yang sepihak diberati dan pada kedua ujung
ditutup dengan pelelehan
Pada percobaan ini dalam menentukan bobot jenis, digunakan metode
dengan piknometer. Bahan yang akan diukur menggunakan piknometer
adalah air dan larutan NaCl.

2.2. Metode Acuan


2.2.1 Susut Pengeringan
Prosedur ini digunakan untuk penetapan jumlah semua jenis bahan
yang mudah menguap dan hilang pada kondisi tertentu. Untuk zat yang
diperkirakan mengandung air sebagai satu-satunya bahan yang mudah
menguap, dapat menggunakan metode Penetapan Kadar Air.
Campur dan timbang seksama zat uji, kecuali dinyatakan lain
dalam masing-masing monografi, lakukan penetapan menggunakan 1 – 2
g. Apabila zat uji berupa hablur besar, gerus secara tepat hingga ukuran
partikel kurang lebih 2 mm. Tara botol timbang dangkal bersumbat kaca
yang telah dikeringkan selama 30 menit pada kondisi seperti yang akan
digunakan dalam penetapan. Masukkan zat uji ke dalam botol timbang
tersebut, dan timbang saksama botol beserta isinya. Ratakan zat uji dengan
menggoyang perlahan-lahan sampai setinggi kurang lebih 5 mm dan dalam
zat ruahan tidak lebih dari 10 mm. Masukkan ke dalam oven, buka sumbat
dan biarkan sumbat ini di dalam oven. Panaskan zat uji pada suhu dan
waktu tertentu seperti yang tertera pada monografi.
Suhu yang tercantum dalam monografi harus dianggap dalam
rentang ±2° dari angka yang tertulis. Pada waktu oven dibuka, botol segera
ditutup dan dibiarkan dalam desikator sampai suhunya mencapau suhu
kamar sebelum ditimbang.

14
Jika zat uji melebur pada suhu rendah dari suhu yang ditetapkan
untuk penetapan Susut Pengeringan, biarkan botol beserta isinya selama 1
– 2 jam pada suhu 5° - 10 di bawah suhu lebur, kemudian keringkan pada
suhu yang telah ditetapkan.
Jika contoh yang diuji berupa kapsul, gunakan sejumlah campuran
senyawa isi tidak kurang dari 4 kapsul.
Jika contoh yang diuji berupa tablet, gunakan sejumlah serbuk
tablet tidak kurang dari 4 tablet yang diserbukhluskan.
Jika dalam monografi susut pengeringan ditetapkan dengan analisis
termogravimetri, gunakan timbangan analitik yang peka.
Jika dalam monografi ditetapkan pengeringan dalam hampa udara
di atas zat pengering, gunakan sebuah desikator vakum atau pistol
pengering vakum atau alat pengering vakum lain yang sesuai.
Jika pengeringan dilakukan dalam desikator, lakukan penanganan
khusus untuk menjamin zat pengering tetap efektif dengan cara
menggantinya sesering mungkin.
Jika dalam monografi ditetapkan pemanasan dalam botol
bersumbat kapiler dalam hampa udara, gunakan botol atau tabung dengan
sumbat kapiler berdiameter 225±25 dan atur bejana pemanas pada tekanan
5 mmHg atau kurang. Pada akhir pemanasan, biarkan udara kering
mengalir ke dalam bejana pemanas, angkat botol bersumbat kapiler,
biarkan dingin dalam desikator sebelum ditimbang.

2.2.2 Rotasi Optik


Metode acuan yang digunakan tertera pada lampiran Farmakope
Indonesia edisi V dengan nomor indeks 1081. Dalam Farmakope tertera
bahwa, banyak bahan obat bersifat optik aktif yaitu dapat memutar bidang
cahaya terpolarisasi yang datang sehingga bidang cahaya yang ditransmisi
membentuk sudut yang terukur terhadap bidang cahaya datang. Sifat ini
khas untuk beberapa hablur dan banyak cairan atau larutan obat. Sifat ini
umumnya disebabkan oleh keberadaan satu atau lebih pusat asimetri

15
biasanaya tom karbon dengan empat subsituen yang berbeda. Jumlah
isomer optik adalah 2n , n adalah jumlah pusat asimetri.
Polarimetri yaitu pengukuran rotasi optik dari bahan obat
merupakan satu satunya cara yang mudah untuk membedakan isomer-
isomer aktif optik, sehingga merupakan penanda yang penting untuk
identitas dan kemurnian suatu bahan obat. Acuan rotasi jenis di dalam
monografi menytakan bahwa rotasi jenis dihitung dari rotasi optik hasil
pengamatan dalam Larutan Uji. Kecuali dinyatakan laind alam monografi,
pengukuran rotasi optik dilakukan pada 589 nm pada 250C. Jika
menggunakan polatimeter fotoelektrik, maka pengukuran tunggal harus
dikoreksi terhadap larutan blangko. Pada larutan atau cairan uji, suhu harus
dipertahankan dalam rentang 0,50C dari nilai yang ditetapkan. Sudut rotasi
, acuan yang digunakan dalam monografi, kecuali dinyatakan lain, adalah
rotasi optik dari cairan yang ditetapkan menggunakan tabung 1 dm pada
589 nm dan suhu 250C, dan dikoreksi terhadap pembacaan menggunakan
tabung kosong atau kering. Rotasi jenis kloramfenikol adalah antara +17 o
dan +20o, lakukan penetapan menggunakan larutan 1,25 gram dalam 25 ml
etanol mutlak P.
2.2.3 Indeks Bias
Metode acuan yang digunakan tertera pada lampiran Farmakope
Indonesia edisi V dengan nomor indeks 1001. Dalam Farmakope tertera
sebagai berikut ; Refraktometer Abbe digunakan untuk mengukur rentang
indeks bias dari bahan-bahan yang tercantum pada Farmakope Indonesia.
Indeks bias air destilasi adalah 1,3330 pada suhu 20 C dan 1,3325 pada
suhu 25 C. Walaupun menurut Farmakope suhu pengukuran adalah 25 C,
tetapi pada banyak monografi indeks bias ditetapkan pada suhu 20 C.

2.2.4 Suhu dan Jarak Lebur


Gerus senyawa uji menjadi serbuk sangat halus, dan kecuali
dinyatakan lain, jika mengandung air hidrat ubah menjadi anhidrat dengan
pengeringan pada suhu yang tertera di monografi, atau, jika senyawa tidak

16
mengandung air hidrat, keringkan di atas bahan pengering yang sesuai
selama tidak kurang dari 16 jam.
Isi pipa kapiler kaca yang salah satu ujungnya tertutup dengan
serbuk kering secukupnya hingga membentuk kolom di dasar tabung
dengan tinggi 2,5 mm hingga 3,5 mm setelah diisi semampat mungkin
dengan cara mengetukkan secukupnya pada permukaan padat.
Panaskan tangas hingga suhu lebih kurang 10o di bawah suhu lebur
yang ͒, dan naikkan suhu dengan kecepatan 1͒+-0,5͒ per menit. Masukkan
kapiler seperti Metode I, bila suhu mencapai 5͒ di bawah suhu terendah
yang diperkirakan, lanjutkan pemanasan hingga melebur sempurna.
Suhu pada saat kolom zat uji yang diamati terlepas sempurna dari
dinding kapiler didefinisikan sebagai permulaan melebur, dan suhu padaa
saat zat uji mencair seluruhnya didefinisikan sebagai akhir peleburan atau
“suhu lebur”. Kedua suhu tersebut berada dalam batas jarak lebur.

2.2.5 Bobot Jenis


Gunakan piknometer bersih, kering, dan telah dikalibrasi dengan
menetapkan bobot piknometer dan bobot air yang baru didihkan,
dinginkan hingga suhu 25°C. atur suhu zat uji hingga lebih kurang 20°C,
masukkan cairan ke dalam piknometer. Atur suhu piknometer yang telah
diisi hingga suhu 25°C, buang kelebihan zat uji dan timbang. Jika pada
monografi tetera suhu yang berbeda dari 25°C, piknometer yang telah diisi
harus diatur hingga mencapai suhu yang diinginkan sebelum ditimbang.
Kurangkan bobot piknometer kosong dari bobot piknometer yang telah
diisi.
Bobot jenis suatu zat adalah hasil yang diperoleh dengan membagi
bobot zat dengan bobot air, dalam piknometer. Kecuali dinayatakan lain
dalam monografi, keduanya ditetapkan pada suhu 25°C.

17
BAB III
METODE PERCOBAAN PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Susut Pengeringan
a. Alat
1. Oven
2. Desikator
3. Timbangan analitik
4. Krus Tang
5. Botol timbang dangkal bertutup kaca

b. Bahan
1. Natrium Klorida

3.1.2 Rotasi Optik


a. Alat
1. Polarimeter
2. Tabung
3. Timbangan
4. Corong analitik Polarimeter
5. Labu ukur 25 ml

b. Bahan
1. Kloramfenikol
2. Etanol mutlak P

18
3.1.3 Indeks Bias
a. Alat
1. Refraktometer Abbe
2. Pipet Tetes
3. Beaker
4. Tissue

b. Bahan
1. Minyak permen
2. Aquades
3. Aseton

3.1.4 Suhu dan Jarak Lebur


a. Alat
1. Pemanas
2. Termometer yang akurat
3. Kaca pembesar yang cocok
4. Pipa kapiler berukuran panjang lebih kurang 10 cm dan
diameter dalam 0,8 mm sampai 1,2 mm dengan ketebalan
dinding 0,2 mm sampai 0,3 mm.
5. Melting Point Analyzer
b. Bahan
1. Kloramfenikol (jarak lebur antara 149° - 153°)
2. Paracetamol (jarak lebur antara 168° - 172°)

19
3.1.5 Bobot Jenis
a. Alat
1. Piknometer
2. Timbangan analitis
3. Labu ukur 25 ml
b. Bahan
1. Natrium klorida 10 mg/ml (timbang 250 mg NaCl, larutkan
dalam 25 ml air)
2. Air destilasi atau aquadest

3.2 Cara Kerja


3.2.1 Susut Pengeringan
1. Siapkan botol timbang yang akan digunakan (duplo).
2. Keringkan botol timbang dengan tutup dibuka di dalam oven
dengan suhu 105° C selama 30 menit
3. Dinginkan botol timbang dalam desikator (selama 15 menit)
hingga mencapai suhu kamar.
4. Timbang botol tersebut dan catat angka yang tertera pada
timbangan analitik.
5. Masukkan zat uji ke dalam botol dan timbang bobot zat uji dalam
botol tersebut. Kecuali dinyatakan dalam masing-masing
monografi, lakukan penetapan menggunakan 1 – 2 g. Bila zat uji
berupa hablur besar, gerus secara cepat hingga ukuran ± 2 mm.
Catat bobot botol timbang dan zat uji serta hitung bobot awal zat
uji.
6. Ratakan zat uji dalam botol timbang secara perlahan sampai
setinggi ± 5 mm.
7. Keringkan zat uji yang berada pada botol timbang didalam oven
pada suhu 105° C selama 2 jam. Selama pengeringan tutup botol
timbang dibuka.

20
8. Pada waktu alat pengering dibuka, botol segera ditutup dan biarkan
dalam desikator (selama 15 menit) atau sampai mencapai suhu
kamar.
9. Timbang bobot botol timbang dan zat uji pasca pengeringan dan
catat angka yang tertera pada timbangan analitik.
3.2.2 Rotasi Optik
A. Perhatikan hal-hal berikut:
1. Sampel cairan: Atur suhu 25 °C, ukur rotasi optik blanko (tabung
kosong), ukur rotasi optik cairan.
2. Sampel padat: Buat larutan dengan saksama, dengan konsentrasi
tertentu, dalam pelarut tertentu (ditentukan dalam monografi),
atur suhu 25 °C, ukur rotasi optik blanko (pelarut).
3. Ukur rotasi optik larutan sampel dengan polarimeter dalam waktu
tidak lebih dari 30 menit sejak zat dilarutkan, upayakan agar
waktu yang terpakai tiap kali sama bagi zat yang diketahui
mengalami rasemisasi atau mutarotasi.
4. Tabung polarimeter harus diisi sedemikian agar tidak terbentuk
atau meninggalkan gelembung udara yang mengganggu berkas
cahaya yang lewat. Pengukuran paling sedikit 5 kali (baik sampel
maupun blanko).

B. Pengukuran Menggunakan Alat Polarimeter

21
1. Masukkan colokan power ke sumber power. Tunggu 5 menit agar
temperatur stabil
2. Buka kompartemen sampel (5). Pasang tabung polarimeter yang
dipenuhi dengan air destilasi ke dalam tempat sampel
3. Lihat melalui eyepiece (2) dan putar ke kiri atau ke kanan sampai
memungkinkan untuk melihat bidang dengan jelas. Putar
selection wheel (3) sampai skala (4) membaca zero pada kedua
sisi. Satu bidang kuning-jingga yang sama-sama jelas harus
terlihat
4. Letakkan tabung polarimeter dengan cairan yang akan diukur ke
dalam kompartemen pengukuran. Pastikan tidak ada gelembung
udara dalam tabung
5. Tutup kompartemen sampel. Amati bidang melalui eyepiece dan
fokuskan
6. Putar selection wheel (3) sampai bidang penjelas yang seragam
didapat
7. Baca skala dengan dua vernier yang berlawanan
8. Untuk sebagian besar bahan pada panjang gelombang 589 nm,
sudut rotasi akan berkurang 0,3% ketika suhu meningkat 1℃.

C. Pembacaan Skala

1. Skala memiliki 360o bagian dengan masing-masing bagian 1o.


Vernier memiliki 20 bagian yang setara dengan 19 bagian pada
skala.
2. Dua kaca pembesar pembacaan (1) kecil tersedia untuk
kemudahan pembacaan skala dan mounted di sisi eyepiece.

22
3. Tanpa menyentuh selection wheel (3), baca dua vernier yang
berlawanan.
Hasil paling akurat diperoleh menurut rumus berikut:

Keterangan Rumus : α1 dan α2 dibaca dari dua vernier yang


berlawanan.
Jika 1 = 2, alat berada pada posisi tengah yang secara tepat
dijustifikasi.

D. Pengisian Tabung Polarimeter

1. Buka tutup (2) tabung polarimeter

2. Cabut tutup dalam (3), jendela kaca (5) dan gasket karet (4)

3. Tempatkan tabung dalam posisi ke atas dan isi dengan sampel.


Tahan menggunakan cairan logam (6) untuk menghindari
pemanasan tabung polarimeter oleh sampel

4. Isi tabung sampai meniskus (7) terbentuk oleh cairan yang berada
di atas tabung kaca

5. Sisipkan kaca gelas ke atas tabung mendorong pergi cairan yang


membentuk meniskus

6. Pasang gasket karet (4) pada tutup dalam (3) dan tutupi dengan
tutup luar (2) di atas jendela kaca pada tabung

23
7. Gelembung udara dalam sampel harus terkumpul pada
pembesaran anular (9) tabung dengan menahan tabung pada
posisi horizontal

3.2.3 Indeks Bias

1. Gerakkan tuas yang terletak di sebelah kiri alat untuk menyalakan


lampu.
2. Catat temperatur yang terbaca pada termometer yang terletak di
sebelah kanan alat.
3. Buka prisma dengan mengangkat bagian atasnya.
4. Sebelum meletakkan cairan, bersihkan dulu kedua permukaan
prisma perlahan-lahan dengan bahan halus yang dibasahi aseton,
lalu tunggu hingga kering.
5. Letakkan 1 tetes cairan dengan pipet pada prisma bagian bawah.
6. Kemudian tutup lagi dengan cara menurunkan prisma bagian atas.
7. Sambil melihat alat, putar penyesuaian prisma (di bagian kanan
bawah), sambil terlihat antara gelap dan terang. Bila perlu
sesuaikan posisi lampu untuk mendapatkan pencahayaan terbaik
sehingga batas terang gelap berada tepat di persilangan diagonal.
8. Tekan tombol yang di sebelah kiri sehingga skala tersinari dan
baca harga indeks bias yang tertera.
9. Buka prisma, gosok perlahan dengan kain bersih yang dibasahi
aseton, setelah kering ditutup prisma dan matikan lampu.

3.2.4 Suhu dan Jarak Lebur


Menggunakan alat Melting Point Analyzer
1. Gerus senyawa yang diuji menjadi serbuk sangat halus, dan kecuali
dinyatakan lain:
a. Jika mengandung air hidrat ubah menjadi anhidrat dengan
pengeringan pada suhu yang tertera pada monografi.
b. Jika tidak mengandung air hidrat, keringkan di atas bahan
pengering yang sesuai selama tidak kurang dari 16 jam.

24
2. Isi pipa kapiler kaca yang salah satu ujungnya tertutup, dengan
serbuk kering secukupnya hingga membentuk kolam di dasar
tabung dengan tinggi 2,5 mm hingga 3,5 mm setelah diisi
semampat mungkin dengan cara mengetukkan secukupnya pada
permukaan padat.
3. Tempatkan zat uji dalam tabung kapiler yang salah satu ujungnya
tertutup.
4. Wadah pemanasan pada alat sebaiknya sudah dipanaskan sampai ±
10 °C di bawah suhu lebur yang diperkirakan.
5. Tempatkan kapiler dan termometer dalam wadah pemanasan
(lubang tertentu yang sesuai pada alat).

6. Naikkan suhu dengan kecepatan ± 1 °C/menit.


7. Amati zat dalam kapiler dan catat suhu pada saat zat mulai melebur
dan saat zat melebur sempurna, setelah digunakan, bersihkan.

3.2.5 Bobot Jenis


1. Menimbang bobot piknometer yang bersih, kering, dan kosong.
Penimbangan dilakukan pada suhu 25 °C.
2. Mengisi piknometer perlahan-lahan dengan cairan dengan suhu 20
°C.
3. Mengkondisikan piknometer beserta isinya dengan dianginkan atau
ditempatkan dalam wadah pendingin sampai suhu 25 °C.
Kemudian timbang bobot piknometer dan isinya sesudah
dikeringkan bagian luarnya. Membuang cairan boleh dengan
mengibaskan atau menggunakan kertas saring.

25
4. Menghitung bobot jenis cairan, dihitung dengan membagi bobot
cairan dengan bobot air dengan volume yang sama sesuai volume
piknometer yang digunakan.

26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengamatan


4.1.1 Susut Pengeringan

No Penimbangan Bobot (gram) Bobot sampel


(gram)

1. Botol kosong dan A : 20,0500


tutupnya B : 12,5183

2. Bobot kosong dan A : 21,0595 A : 1,0095


tutupnya + sampel B : 13,5203 B : 1,0020
(sebelum dikeringkan [A]
dalam oven)

3. Bobot kosong dan A : 21,0447 A : 0,9947


tutupnya + sampel B : 13,5202 B : 1,0019
(setelah dikeringkan [B]
dalam oven)

Susut Pengeringan = ([A] - [B]) / ([A]) x 100%


Botol A : (1,0095 - 0,9947) / 1,0095 x 100% = 1,48 %
Botol B : (1,0020 - 1,0019) / 1,0020 x 100% = 0,0099%

27
4.1.2 Rotasi Optik

No Pengukuran Nilai

1 Sampel yang ditimbang 1,2572 g

2 Pelarut 25 ml

3 Konsentrasi sampel (c) 5,0288 g/100 ml

4 Panjang tabung polarimeter (l) 2 dm

5 Suhu pengukuran 25 ºC

6 Panjang gelombang pengukuran (nm) 589 nm

7 Rotasi optik (a) +1,2º *

8 Rotasi jenis/rotasi optik spesifik [𝞪] +12º **

* Hasil Pengamatan dan Penghitungan Rotasi Optik

Rotasi Optik

Pelarut (Etanol) Larutan Kloramfenikol (Etanol + Kloramfenikol)

114,8º 116º

Rotasi optik kloramfenikol = rotasi optik larutan kloramfenikol - rotasi optik


pelarut
= +116º - (+114,8º)
= +1,2º

** Hasil Penghitungan Rotasi Jenis

25º
100 𝑎 100 × (+1,2º)
[𝛼] 589𝑛𝑚 = =
𝑙𝑐 2 × 5,0288
= +11,931º ≈ +12º

28
4.1.3 Indeks Bias

No. Zat yang diuji Indeks Bias Gambar

1. Minyak permen 1,458

2. Air 1,333 -

4.1.4 Suhu dan Jarak Lebur

No. Pengukuran Nilai

1. Awal melebur (°C) ● Kloramfenikol 146°C


● Paracetamol 150°C

2. Akhir melebur/melebur ● Kloramfenikol 158°C


sempurna (°C) ● Paracetamol 172°C

3. Jarak lebur/suhu lebur (°C) ● Kloramfenikol 12°C (146°C – 158°C)


● Paracetamol 12°C (150°C – 172°C)

29
4.1.5 Bobot Jenis

No. Pengukuran Bobot (g) Bobot Cairan (g)

1. Piknometer kosong dan 9,9376 (untuk air) -


tutupnya 12,4265 (untuk sampel)

2. Piknometer kososng dan 19,1543 9,2167


tutupnya + air

3. Piknometer kosong dan 22,5142 10,0877


tutupnya + sampel

4.2 Pembahasan
4.2.1 Susut Pengeringan
Susut pengeringan merupakan metode yang digunakan untuk
menentukan bobot sampel yang ingin diketahui dengan cara dikeringkan
supaya zat yang tidak diinginkan dapat menguap. Pada percobaan ini
digunakan dua botol timbang (duplo) dengan sampel berupa Natrium
Klorida yang dipanaskan melalui oven dengan temperatur 105oC selama
±2 jam. Pada awal penimbangan diperoleh bobot botol kosong dan
tutupnya yaitu bobot botol A = 20,0500 gram, dan bobot botol B =
12,5183 gram. Kemudian masing-masing botol timbang ditambah dengan
sampel NaCl sehingga diperoleh bobot botol A = 21,0595 gram, dan bobot
botol B = 13,5203 gram. Setelah itu masing-masing botol dikeringkan
menggunakan oven selama ±2 jam, dan dilakukan penimbangan bobot
botol kembali sehingga diperoleh bobot botol A = 21,0447 gram, dan
bobot botol B = 13,5202 gram. Bobot sampel masing-masing botol dapat
diperoleh dengan cara selisih antara bobot kosong dan tutupnya + sampel
(sebelum dikeringkan dalam oven) dengan botol kosong dan tutupnya,
untuk sampel [A], dan antara bobot kosong dan tutupnya + sampel (setelah
dikeringkan dalam oven) dengan botol kosong dan tutupnya, untuk sampel
[B]. Dengan menggunakan rumus susut pengeringan, maka diperoleh

30
persentase susut pengeringan botol A yaitu 1,48%, dan persentase susut
pengeringan botol B yaitu 0,0099%. Dengan standarisasi susut
pengeringan natrium klorida yaitu susut pengeringan yang terjadi tidak
lebih dari 0,5% maka botol A tidak memenuhi kriteria tersebut, sedangkan
botol B telah memenuhi kriteria. Hal ini terjadi pada botol A disebabkan
oleh beberapa hal yaitu :
1. Botol timbang terlalu lama dibiarkan pada ruangan
2. Botol timbang terkena tangan, sehingga dapat mengubah bobot botol
timbangan
3. Suhu temperatur dalam Laboratorium tidak sesuai dengan yang
ditetapkan literature

4.2.2 Rotasi Optik


Rotasi optik dapat digunakan untuk mengidentifikasi senyawa optis
aktif. Dengan melakukan pengukuran terhadap rotasi optik suatu bahan,
kita dapat mengkonfirmasi identitas senyawa isomer optik, menentukan
kemurnian senyawa optis aktif, atau menentukan kadar senyawa optis
aktif. Rotasi optik suatu senyawa dapat diukur menggunakan polarimeter.
Polarimeter mengukur rotasi optik suatu senyawa dalam bentuk larutan.
Rotasi optik senyawa yang diuji didapatkan dari selisih rotasi optik larutan
senyawa uji dengan rotasi optik larutan yang digunakan untuk melarutkan
senyawa yang diuji.
Pada pengujian kloramfenikol sebagai sampel, digunakan etanol
untuk melarutkan kloramfenikol. Dengan menggunakan polarimeter,
diperoleh rotasi optik etanol (pelarut) sebesar +114,8º dan rotasi optik
larutan senyawa (kloramfenikol dan etanol) sebesar +116º. Rotasi optik
kloramfenikol diperoleh dari selisih kedua data tersebut, yaitu +1,2º.
Rotasi sudut yang bernilai positif menandakan bahwa senyawa yang diuji
memutar bidang cahaya searah jarum jam dilihat dari arah sumber cahaya
(bersifat memutar ke kanan). Rotasi jenis didapatkan dengan memasukkan
nilai rotasi optik (a), panjang tabung polarimeter (l), dan kadar larutan (c)
𝑡 100 𝑎
pada rumus [𝛼] 𝑥 = 𝑙𝑐
sehingga didapatkan rotas jenis kloramfenikol

31
+12º. Rotasi jenis kloramfenikol murni yang tertera pada Farmakope
berada diantara +17º dan +20º (dalam etanol mutlak, suhu 25ºC, lampu
natrium, 589-589,6 nm). Perbedaan rotasi jenis kloramfenikol yang
didapat dari hasil percobaan dengan rotasi jenis kloramfenikol murni dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Keterampilan praktikan dan ketelitian dalam menggunakan alat.
Praktikan yang melakukan penetapan kloramfenikol merupakan
pemula dalam menggunakan polarimeter. Praktikan yang belum
ahli dalam menggunakan alat ini dapat melakukan kesalahan,
seperti ketelitian dalam menentukan zona terang yang benar.
2. Kloramfenikol tidak murni dan terdapat pencemar dari senyawa
optis aktif lain.
3. Pengukuran yang lama sehingga kondisi larutan senyawa uji tidak
segar lagi.
4. Pada saat praktikum suhu ruangan belum tentu 25ºC karena
sebelum praktikum temperatur tidak diukur dan hanya
memperkirakan saja dan temperatur tempat praktikum dilaksanakan
tidak dijaga kekonstanannya bbisa saja berubah-ubah.
4.2.3 Indeks Bias
Indeks bias yang kami ukur adalah indeks bias air destilasi dan
indeks bias minyak permen. Sesuai dengan acuan, yaitu Farmakope
Indonesia edisi V, nilai rentang indeks bias minyak permen adalah 1,495
dan 1,465 pada suhu 20 C. Sementara untuk air destilasi adalah 1,3330
pada suhu 20 C. Namun pada percobaan, kami mendapatkan nilai 1,333
untuk air destilasi pada suhu 23,2 C. Sementara untuk minyak permen
kami mendapatkan nilai 1,458 pada suhu 22,9 C.
Nilai yang kami dapatkan tidak sesuai dengan acuan yang ada. Hal
ini disebabkan oleh suhu yang kami gunakan tidak sesuai dengan
ketentuan monografi. Sehingga, hal tersebut berpengaruh terhadap indeks
bias yang ditunjukan oleh refraktometer abbe. Hal-hal yang mempengaruhi
indeks bias, antara lain :

32
a. Suhu
Apabila suhu semakin tinggi, maka kerapatan dan
kekentalan suatu zat akan semakin rendah. Hal ini mengakibatkan
indeks bias semakin kecil. Hal ini dibuktikan oleh indeks bias
minyak permen dan yang kami uji. Pada monografi, indeks bias
minyak permen pada suhu 20C adalah 1,495 dan 1,465. Sementara
menurut hasil percobaan pada suhu 22,9C, indeks bias minyak
permen adalah 1,489.

b. Panjang gelombang
Panjang gelombang pada refraktometer mempengaruhi
luasan atom pada medium, sehingga indeks bias yang dihasilkan
akan berbeda. Panjang gelombang yang digunakan tidak boleh
diserap oleh medium. Panjang gelombang yang biasanya
digunakan adalah gelombang sodium D 598 mm. Pada
refraktometer abbe, panjang gelombang yang digunakan adalah
gelombang sodium D. Hal ini tertera pada lampiran metode acuan
penentuan indeks bias pada Farmakope Indonesia edisi V.

4.2.4 Suhu dan Jarak Lebur


Penentuan suhu dan jarak lebur pada praktikum ini menggunakan
alat yaitu Melting Point Analyzer. Metode yang digunakan adalah Metode
III karena kloramfenikol dan paracetamol memiliki suhu lebur yang tinggi
(> 105°C) dan berbentuk padat pada suhu kamar sehingga salah satu ujung
pipa kapiler harus tertutup. Pada praktikum ini, pipa kapiler yang
digunakan adalah pipa kapiler dengan kedua ujungnya terbuka. Oleh
karena itu, salah satu ujung pipa kapiler dipanaskan di atas bunsen sampai
ujungnya tertutup dengan sempurna. Sedangkan pada pipa kapiler yang
salah satu ujungnya terbuka dimasukkan sampel (kloramfenikol dan
paracetamol) ke dalamnya. Kemudian diketuk-ketuk secara perlahan agar
sampel turun. Setelah itu masukkan pipa kapiler ke dalam melting point
analyzer.

33
Penentuan suhu dan jarak lebur dilakukan dengan pengamatan pada
suhu awal sampel mulai mencair dan suhu akhir sampel mencair dengan
sempurna. Suhu awal dicatat saat suhu sampel mulai mencair atau
membentuk tetesan pada dinding pipa kapiler, dan suhu akhir dicatat saat
hilangnya fase padat dengan sempurna.
Dari data yang diperoleh, kami mendapatkan hasil yang berbeda
dengan standar. Berdasarkan pengamatan kami, suhu awal kloramfenikol
adalah 146°C dan suhu akhirnya adalah 158°C. Sehingga jarak lebur
sampel kloramfenikol adalah 12°C yaitu 146°C- 158°C. Hal ini berbeda
dengan standar kloramfenikol yang memiliki jarak lebur 149°C - 153°C.
Sedangkan suhu awal paracetamol adalah 150°C dan suhu akhirnya adalah
172°C. Sehingga jarak lebur paracetamol adalah 12°C yaitu 150°C-
172°C. Hal ini bebeda dengan standar paracetamol yang memiliki jarak
lebur 168°C - 172°C. Perbedaan data yang diperoleh dapat disebabkan
adanya pengotor dalam sampel yang menyebabkan penurunan titik lebur
dan pelebaran jarak lebur.

4.2.5 Bobot Jenis


Bobot jenis adalah rasio bobot suatu zat terhadap bobot zat baku
yang volumenya sama dan pada suhu yang sama. Penentuan bobot jenis
dalam percobaan kali ini adalah dengan cara menggunakan metode
piknometer. Piknometer merupakan alat yang berfungsi untuk mengukur
nilai suatu bobot jenis atau densitas dari fluida. Prinsip dari metode
piknometer ini adalah membandingkan bobot cairan sampel dengan bobot
cairan baku dengan volume yang sama. Piknometer terdiri dari beberapa
ukuran/volume, dan terbuat dari kaca serta berwarna bening.
Pada percobaan kali ini piknometer yang digunakan sebanyak 2
buah, piknometer A digunakan untuk air, dan piknometer B digunakan
untuk larutan sampel. Ukuran piknometer yang digunakan adalah yang 10
mL. Larutan sampel yang digunakan adalah larutan NaCl dengan bobot
1,0071 dan dengan volume 100 mL. Sebelum piknometer dimasukkan
cairan, piknometer beserta tutupnya harus ditimbang terlebih dahulu

34
menggunakan timbangan analitik. Hal ini untuk mengetahui berat dari
piknometer kosong sehingga nanti dapat mengetahui bobot dari cairan
yang dipakai. Bobot dari piknometer A dan tutupnya adalah 9,9376 gr,
sedangkan bobot dari piknometer B dan tutupnya adalah 12,4265 gr.
Setelah piknometer kosong ditimbang, kemudian piknometer tersebut
dimasukkan cairan. Piknometer A diisi oleh air hingga penuh lalu tutup
piknometer tersebut dan pastikan tidak ada gelembung di dalam tutupnya.
Sedangkan, piknometer B diisi oleh larutan NaCl hingga penuh lalu
ditutup dan pastikan tidak terdapat gelembung di tutupnya. Setelah itu,
piknometer ditimbang lagi. Hasil dari penimbangan piknometer A dan air
adalah 19,1543 gr dan hasil dari penimbangan piknometer B dan larutan
NaCl adalah 22,5142 gr.
Bobot cairan dapat diketahui dengan cara piknometer + tutup +
cairan dikurang dengan piknometer kosong + tutup atau bisa disebut juga
selisih dari piknometer yang berisi dengan piknometer yang kosong. Bobot
cairan dari air adalah 9,2167 gr, dan bobot cairan dari larutan NaCl adalah
10,0877 gr.
Setelah diketahui bobot dari kedua carian tersebut, maka bobot
jenis sudah dapat dihitung menggunakan rumus berikut:
Bobot jenis cairan sampel = ([B] / [A]) x bobot jenis air
Keterangan :
● [A] : Bobot cairan air
● [B] : Bobot cairan larutan NaCl
● Bobot jenis air
Bobot jenis air murni adalah 1 gr/ml. Tetapi di dalam perhitungan
ini kita tidak menggunakan nilai tersebut, karena kita tidak mengetahui
apakah air tersebut benar - benar murni atau tidak. Jadi sebelum
menghitung bobot jenis cairan sampel, harus menghitung terlebih dahulu
bobot jenis air. Rumus dari bobot jenis air adalah:
Bobot jenis air = Bobot cairan air / Volume
= 9,2167 gr / 10 mL
= 0,92167 gr/mL

35
Setelah bobot jenis air didapatkan, maka bobot jenis larutan NaCl sudah
bisa didapatkan dengan rumus yang diatas:
Bobot jenis cairan sampel = ([B] / [A]) x bobot jenis air
= ( 10,0877 / 9,2167 ) x 0,92167 gr/mL
= 1,00877 gr/mL
Hasil di pembahasan agak berbeda dengan yang terdapat di lampiran, hal
ini terjadi karena di lampiran bobot jenis air dibulatkan nilainya menjadi
0,9. Sedangkan, di pembahasan ini tidak dibulatkan. Jadi, bobot jenis larut
NaCl adalah 1,00877 gr/mL

36
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Susut Pengeringan
Sampel NaCl dihitung susut pengeringannya dengan melakukan
duplo ( dua kali percobaan) dengan Botol A dan Botol B. Susut
pengeringan yang dilakukan dengan memanaskannya di oven dan
didiamkan di desikator. Didapatkan persentasi sampel pada botol A adalah
1,48 % dan persentasi sampel bobot B adalah 0,0099%. Berdasarkan
standarisasi susut pengeringan natrium klorida yaitu susut pengeringan
yang terjadi tidak lebih dari 0,5% maka botol A tidak memenuhi kriteria
tersebut, sedangkan botol B telah memenuhi kriteria.
5.1.2 Rotasi Optik
Sampel (Kloramfenikol) memiliki nilai rotasi optic sebesar 116°
dan blangko (etanol) memiliki nilai rotasi optic sebesar 114,8°. Nilai rotasi
optik spesifik/rotasi jenis Kloramfenikol yang didapatkan setelah nilai
rotasi optik sampel (Kloramfenikol) yang terbaca dikoreksi dengan nilai
rotasi optik pelarut (blanko) dan didapatkan nilainya sebesar +12° dan
tidak sesuai dengan nilai rotasi jenis/rotasi optik spesifik Kloramfenikol
yakni antara + 17,0° dan + 20,0°, ketidaksesuaian nilai rotasi optic
kloramfenikol dalam hasil percobaan dengan nilai rotasi optic dalam
farmakope Indonesia, disebabkan karena perbedaan suhu saat dilakukan
percobaan.

5.1.3 Indeks Bias

Indeks bias sampel aquadest 1,333 pada suhu 23,2°C dan minyak
permen 1,458 pada suhu 22,9°C, indeks bias aquades dan minyak permen
yang didapat lebih rendah dibanding acuan. Menurut Farmakope Indonesia
edisi V aquades memiliki nilai indeks bias yaitu 1,3330 pada suhu 20°C
dan minyak permen 1,495 dan 1,465 pada suhu 200C. Hal ini terjadi
karena suhu saat percobaan lebih tinggi atau berbeda dengan monografi

37
yang telah ditetapkan sehingga terjadi penyimpangan pengukuran indeks
bias.

5.1.4 Suhu dan Jarak Lebur


Sampel Kloramfenikol, suhu lebur 146-158˚C sehingga jarak
leburnya adalah 120C dan Paracetamol, suhu lebur 150-172˚C sehingga
jarak lebur paracetamol adalah 120C, dapat disimpulkan bahwa kedua
sampel ini mempunyai suhu dan jarak lebur yang lebih tinggi dari acuan.
Menurut Farmakope Indonesia edisi V Kloramfenikol memiliki suhu lebur
149-153 ˚C dan Paracetamol memiliki suhu lebur 168-172˚C. Sehingga
kedua sampel tersebut telah mengalami penurunan kemurnian atau tidak
murni 100% hal ini karena di dalam sampel terdapat zat pengotor yang
mengkontaminasinya.

5.1.5 Bobot Jenis

Bobot jenis sampel yaitu 1,00877 gr/mL yang dihitung dari Bobot
cairan larutan NaCl / Bobot cairan air, lalu dikali dengan bobot jenis air.

5.2 Saran
5.2.1 Susut Pengeringan
Dalam melakukan percobaan, suhu ruangan harus disesuaikan
dengan monografi yang telah ditetapkan agar hasil susut pengeringannya
sesuai dengan stndar. Saat memindahkan botol juga harus menggunakan
alat yaitu nampan dan memegangnya dengan krustang yang telah di cover
dengan aluminium, agar tidak terjadi penambahan bobot botol. Jangan
memegang langsung botol dengan tangan atau botol berada dalam ruangan
terbuka berlama-lama karena hal tersebut dapat menambah bobot botol
dari debu-debu atau kotoran yang ada di udara.
5.2.2 Rotasi Optik
Suhu saat melakukan percobaan seharusnya pada suhu 25˚C, agar
diperoleh nilai rotasi optic yang sesuai dengan nilai rotasi optic sampel
(kloramfenikol) yang tertera pada Farmakope Indonesia.

38
5.2.3 Indeks Bias
Pada saat meneteskan sampel aseton dan minyak permen pada
bidang sampel (prisma bawah) harus dilakukan dengan cepat, begitu pula
saat menutup prisma karena aseton mudah menguap. Jika pembiasaan pada
saat mengamati sampel aseton terlihat sebagian besar gelap, itu berarti
sampel yang akan diamati telah menguap dan perlu penambahan sampel
kembali. Pengaturan alat (setting) harus dilakukan dengan baik dan benar
agar skala yang terbaca akurat. Suhu pengukuran juga harus dijaga
kekonstanannya dan harus sesuai dengan monografi yang tercantum gar
pengukuran indeks bias yang sesuai monografi.
5.2.4 Suhu Lebur
Kenaikan suhu sebaiknya tidak terlalu drastis pada saat sampel
sudah diletakan pada posisinya karena terdapat beberapa sampel yang
dapat rusak. Harus menjaga kenaikan suhu 1˚C per menit nya agar jarak
lebur nya lebih jelas terlihat dan jaraknya tidak terlalu sempit atau
melebar. Sehingga nilai yang diperoleh tidak akurat. Peralatan yang
digunakan juga harus diperiksa terlebih dahulu dan disesuaikan dengan
acuan standar agar dapat dibandingkan untuk dapat memperoleh nilai yang
pasti jika terdapat gangguan atau kondisi yang tidak sesuai (agar dapat
divalidasi).
5.2.5 Bobot Jenis
Selama proses penentuan bobot jenis, piknometer harus selalu
bersih dan kering dengan melap nya dengan tisu agar tidak mempengaruhi
bobot yang dihasilkan (penambahan bobot cairan), tetapi jangan sampai
terkena ujung alat piknometernya agar cairan tidak terserap oleh tisu
sehingga dapat mengurangi. Jika ingin memegang piknometer disarankan
untuk memakai sarung tangan atau menggunakan alat lain yang bersih.

39
DAFTAR REFERENSI

Dirjen POM. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: Depkes RI.

Hayun dan Rukmana, T.I. (2017). Tetapan Fisika dalam Hayun, ed. Buku Penuntun
Praktikum Analisis Farmasi Dasar. Depok: Fakultas Farmasi Universitas
Indonesia.

Hana, N. 2010. Formulasi Tablet Hisap Ekstrak Etanol Gambir (Uncaria gambir
Roxb) dengan Variasi Konsentrasi Polyvinyl Pyrrolidone (PVP) Sebagai
Pengikat dan Pengaruhnya terhadap Kadar CD4 dalam Darah. Jakarta:
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.

Manual Book Polarimeter

Pertiwi, Puji Kumala et.al. 2015. Polarimeter. Jurusan Fisika,Fakultas Matematika


dan Ilmu Pengetahuan Alam,Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS).
Retrived from : https://www.academia.edu/16868589/POLARIMETER on
8th December 2018

Retrieved December 8, 2018 from


https://www.academia.edu/31611070/PENENTUAN_TITIK_LELEH_MEL
TING_POINT

Rizqa, O. D. 2010. Standardisasi Simplisia Daun Justicia gendarussa Burm f. Dari


Berbagai Tempat Tumbuh. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas
Airlangga.

Bobot jenis.docx. (2013). Retrieved from


https://www.scribd.com/doc/178661645/bobot-jenis-docx

Ansel, H., & Prince, S. (2003). Handbook of pharmaceutical calculations.


Philadelphia, Pa.: Lippincott Williams & Wilkins.

Cazes, J., Cazes, J., & Ewing, G. (2004). Analytical Instrumentation Handbook,
Third Edition. Hoboken: Taylor and Francis.

Boyes, W. (2003). Instrumentation reference book. Boston: Butterworth-


Heinemann.

iv
LAMPIRAN

1. Lampiran Tabel Hasil Pengamatan

v
vi
vii
2. Lampiran Alat dan Bahan

Alat Foto

Polarimeter

Tabung polarimeter

Timbangan analitik

viii
Labu ukur 25 mL

Refractometer Abbe

Pipet tetes

Botol timbang dan


Oven

ix
Desikator

Timbangan analitik

Lampu bunsen

Pipa kapiler

x
Melting point
analyzer

Bobot piknometer

xi
Bahan Gambar

Kloramfenikol

Etanol mutlak P

Air destilasi

Minyak permen

xii
Aseton

NaCl

Kloramfenikol

Paracetamol

xiii
Air

Larutan NaCl

3. Lampiran Percobaan Susut Pengeringan

Botol timbang saat dilakukan Botol timbang saat berada


pemanasan menggunakan oven dalam desikator dengan suhu
dengan temperatur 105oC kamar selama 15 menit
selama 30 menit

xiv
Botol timbang + sampel setelah
dilakukan pemanasan menggunakan
oven dengan temperatur 105oC
selama ±2 jam

Botol timbang saat dilakukan


penimbangan menggunakan
timbangan analitik

Sampel Natrium Klorida yang


digunakan pada metode susut
pengeringan

xv
4. Lampiran Percobaan Indeks Bias

Hasil minyak permen di


Refraktometer Abbe

5. Lampiran Suhu dan Jarak Lebur

xvi
6. Lampiran Percobaan Bobot Jenis

No. Gambar Keterangan

Bobot piknometer kosong +


1.
tutup untuk mengukur bobot air

Bobot piknometer kosong +


2. tutup untuk mengukur bobot
cairan sampe (NaCl)

xvii
Bobot piknometer dan tutupnya
yang berisikan air
3.

Bobot piknometer dan tutupnya


4.
yang berisikan larutan NaCl

xviii
5. Larutan NaCl yang digunakan

Air yang digunakan dalam


6.
pengukuran

xix

Anda mungkin juga menyukai