DASAR
TETAPAN FISIKA
Disusun oleh :
DAFTAR ISI…………………………………………………..…………... i
BAB I : PENDAHULUAN………………………………..…….….……... 1
i
3.2.4 Suhu dan Jarak lebur………………………………………... 25
3.2.5 Bobot Jenis………………………………………………….. 25
BAB V : PENUTUP……………………………………………………….. 37
5.1 Kesimpulan…………………………………………………………. 37
5.1.1 Susut Pengeringan………………………………………….. 37
5.1.2 Rotasi Optik………………………………………………… 37
5.1.3 Indeks Bias…………………………………………………. 37
5.1.4 Suhu dan Jarak Lebur………………………………………. 38
5.1.5 Bobot Jenis………………………………………………….. 38
5.2 Saran……………………………………………………………….... 38
5.2.1 Susut Pengeringan…………………………………………... 38
5.2.2 Rotasi Optik…………………………………………………. 38
5.2.3 Indeks Bias………………………………………………...… 39
5.2.4 Suhu dan Jarak Lebur……………………………………….. 39
5.2.5 Bobot Jenis…………………………………………………... 39
ii
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….… iv
LAMPIRAN………………………………………………………………… v
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Fisika adalah ilmu yang mempelajari benda-benda dan fenomena
yang terkait dengan benda-benda tersebut. Untuk mendeskripsikan
keadaan suatu benda atau suatu fenomena yang terjadi pada benda, maka
didefinisikan berbagai besaran-besaran fisika. Besaran-besaran fisika ini
selalu dapat terukur dan memiliki nilai (dapat dinyatakan dalam angka-
angka) yang merupakan hasil pengukuran. Besara-besaran fisika
didefinisikan secara khas, sebagai suatu istilah fisika yang memiliki makna
tertentu. Terkadang suatu besaran fisika hanya dapat dimengerti dengan
menggunakan bahasa matematik (menggunakan angka), walau terkadang
juga dapat diuraikan dengan bahasa sederhana.
Untuk mengetahui nilai dari suatu besaran fisika harus dilakukan
pengukuran. Mengukur adalah membandingakan antara dua hal, dengan
salah satunya menjadi pembanding atau alat ukur, yang besarnya harus
distandarkan. Standar tersebut kemudian dinyatakan memiliki nilai satu
dan dijadikan sebagai nilai acuan satuan tertentu. Nilai standar dapat
ditentukan sesuai kehendak kita masing-masing, namun hal ini tidak ada
artinya bila standar tadi tidak sama di seluruh dunia, karena itu perlu
diadakan suatu standar internasional agar setiap manusia dapat
berkomunikasi dalam bahasa satuan standar yang sama. Selain itu, sebuah
standar haruslah praktis dan dapat diproduksi ulang dimanapun di dunia
ini (atau bahkan di alam semesta) seta tidak bergantung pada keadaan
lingkungan lingkungan. Sistem standar internasional untuk ukuran saat ini
sudah ada, dan dikenal dengan Sistem Internasional (SI).
Dalam analisis bahan baku farmasi suatu senyawa obat, dapat
dilakukan dengan membandingkan besaran fisika suatu sampel dengan
standarnya, hal ini dapat dilakukan dengan beberapa metode tetapan fisika
seperti: berat jenis; rotasi jenis; indeks bias dan jarak lebur.
1
1.2 Tujuan Praktikum
Adapun tujuan pada praktikum kali ini, yaitu:
1. Menetapkan nilai susut pengeringan pada bahan baku farmasi.
2. Menetapkan nilai rotasi optik pada bahan baku farmasi.
3. Menetapkan nilai indeks bias pada bahan baku farmasi.
4. Menetapkan nilai suhu lebur pada bahan baku farmasi.
5. Menetapkan nilai bobot jenis pada bahan baku farmasi.
2
BAB II
TEORI DASAR
2.1. Teori Dasar
2.1.1 Susut Pengeringan
Susut pengeringan merupakan pengukuran zat sisa yang dilakukan
setelah pengeringan pada temperatur 105oC dengan waktu yang telah
ditetapkan atau sampai berat konstan, yang dinyatakan dengan nilai persen
(%). Tujuan dilakukan susut pengeringan adalah untuk memberikan
batasan maksimal (rentang) tentang besarnya senyawa yang hilang pada
proses pengeringan.
Perhitungan penetapan susut pengeringan dapat menggunakan
rumus sebagai berikut:
% Susut Pengeringan = (a-b)/a x 100%
a = berat zat awal
b = berat zat setelah pengeringan
Pengukuran susut pengeringan ini bertujuan untuk memberikan
rentang maksimal terhadap besarnya senyawa yang hilang pada proses
pengeringan.
3
disebut dengan polarisasi sirkuler kanan sedangkan apabila berputar
searah jarum jam disebut dengan polarisasi sirkuler kiri.
3. Polarisasi Ellips, terdiri dari 2 gelombang elektromagnetik tegak lurus
4
2. Circular Dichroism
Berhubungan langsung dengan kemampuan molekul
mengabsorpsi senyawa (molecular absorption
koefisien).Perbedaan absorpsi cahaya terpolarisasi sirkuler kanan
dan kiri pemutaran cahaya terpolarisasi bidang dengan amplitudo
5
589-589,6 nm). Apabila rotasi jenis berbeda maka senyawa tersebut bisa
berupa isomer yang berbeda atau tidak memenuhi syarat kemurnian optik.
Rotasi jenis adalah sudut rotasi optic suatu senyawa yang dibandingkan
terhadap zat dengan kadar 1 g/mL.
Hitung rotasi jenis untuk zat cair atau suatu zat padat dalam larutan,
dilakukan dengan menggunakan salah satu rumus berikut :
Untuk zat cair : [𝛼]𝑥=𝑡𝑎/𝑙𝑑
Keterangan Rumus :
a = rotasi optik terkoreksi pada suhu t dan χ x ; jika t = 25oC , x = λ 589
nm maka lakukan penetapan pada t = 25oC dan x = λ 589 nm
l = panjang tabung polarimeter (dm);
d = BJ cairan/larutan pada suhu pengamatan ;
p = kadar larutan (g/100 g larutan); dan
c = kadar larutan (g/100 ml larutan)
C. Perhitungan Kadar
Keterangan Rumus :
C = konsentrasi bahan dalam gram/100 ml larutan
α= sudut rotasi diukur pada 20oC
l = ketebalan sampel (panjang tabung) dalam desimeter (dm)
(α) = sudut rotasi spesifik
6
sesuai untuk penggunaan dalam laboratorium di industri makanan, farmasi,
dan kimia, maupun di universitas dan institusi penelitian.
Keterangan Gambar :
1. Lensa pembaca
2. Eyepiece
3. Selection wheel
4. Skala dan Vernier
5. Pengemas sampel
6. Polarizer
7. Cahaya LED
8. Polarimeter case
Zero optikal ditunjukkan pada tiga bidang cahaya/ bayangan
Keterangan Gambar :
1. Di atas atau di bawah zero optikal
2. Bidang pada zero optikal
3. Di bawah atau di atas zero optikal
7
E. Prinsip Polarimeter
8
dan kemudian di teruskan ke prisma analisator setengah nicol untuk
mendapatkan bayangan gelap dan terang. Sifat gelombang dapat
dipantulkan, dibiaskan, difokuskan, dan dipolarisasikan. Gelombang
bergerak dalam medium atau jenis bahan isotropic yang homogen (sama).
Dengan mengamati proses yang dialami gelombang yang dibiaskan kita
mendapatkan besarnya nilai kecepatan gelombang:
V=c/n
C merupakan hampa udara yaitu 3.108 m/s dan n adalah indeksi bias.
Sehingga kita dapat menentukan besar nilai kecepatan gelombang yang
dibiaskan.
9
Sudut kritis adalah sudut yang terefleksi sejajar dengan medium.
Sudut ini dapat dihitung melalui hukum snellius.
sin 𝑖1 𝑛2
=
sin 𝑖2 𝑛1
sin 𝑖1 𝑛2
=
sin 90ᵒ 𝑛1
𝑛2
sin 𝑐𝑟𝑖𝑡 =
𝑛1
Harga indeks bias suatu zat terdapat pada Farmakope Indonesia V
atau yang referensi lainnya. Namun, harga ini dinyatakan untuk garis D
cahaya natrium pada panjang gelombang double 589,0 nm dan 589,6 nm.
Besaran gelombang cahaya tersebut normal digunakan dalam alat
refraktometer abbe. Refraktometer abbe adalah alat yang normal
digunakan untuk menentukan indeks bias.
10
Gambar Penampakan Refraktometer Abbe
Kerja refraktometer Abbe didasarkan pada prinsip sudut kritis. Zat
cair diletakkan di antara measuring prism dan illuminating prism. Cahaya
dipancarkan ke arah illuminating prism lalu melewati sampel dan
diteruskan ke measuring prism dan teleskop. Kemudian mengatur bagian
gelap di bawah dan terang di atas tepat di tengah bidang diagonal seperti
pada gambar.
11
2.1.4 Suhu dan Jarak Lebur
Suhu lebur adalah suhu pada saat suatu zat tepat melebur
seluruhnya yang ditujukan pada fase padat tepat hilang. Sedangkan jarak
lebur adalah suhu awal dan suhu akhir peleburan zat. Jarak lebur juga
dapat disebut sebagai rentang suhu peleburan suatu zat. Suhu awal dicatat
pada saat zat mulai berubah bentuk atau membentuk tetesan pada pipa
kapiler, sedangkan suhu akhir dicatat pada saat hilangnya seluruh fase
padat.
Zat padat akan berubah menjadi bentuk cairnya ketika molekul dari
zat padat tersebut mendapatkan energi yang cukup untuk memecah ikatan
intermolekulernya. Suhu lebur suatu zat tergantung pada struktur
molekulnya. Sebagian besar senyawa organik yang murni memiliki kisaran
jarak lebur yang sempit, yaitu 1-2oC.
Penetapan nilai suhu lebur suatu bahan dapat digunakan untuk uji
kemurnian dan identifikasi. Suatu zat dikatakan murni apabila titik lebur
yang diperoleh dari percobaan sama dengan yang ada dalam literatur.
Apabila ada pengotor pada sampel, seringkali pengotor tersebut akan
menyebabkan penurunan titik lebur dan pelebaran jarak lebur. Untuk
mengidentifikasi dan mengkarakterisasi suatu senyawa,senyawa tersebut
harus dalam bentuk zat aktif murni dan dibandingkan dengan standar yang
memang telah terbukti kemurniannya. Apabila dua sampel memiliki suhu
lebur yang berbeda, dapat dikatakan bahwa kedua molekul sampel tersebut
berbeda baik secara struktur atau bentuk konfigurasinya. Kedua sampel
tersebut dapat diperkirakan merupakan isomer struktur. Apabila suhu lebur
antara dua sampel sama, struktur molekul kedua zat tersebut diperkirakan
sama.
12
kemurnian dari senyawa obat terutama dalam bentuk cairan, serta dapat
pula diketahui tingkat kelarutan/daya larut suatu zat.
Bobot jenis adalah rasio bobot suatu zat terhadap bobot zat baku
yang volumenya sama, pada suhu yang sama, dan dinyatakan dalam
desimal. Bobot jenis menggambarkan hubungan antara bobot suatu zat
terhadap bobot suatu zat baku. Dalam farmasi, Bobot jenis adalah faktor
yang memungkinkan pengubahan jumlah zat dalam formula farmasetik
dari bobot menjadi volume dan sebaliknya.
Penetapan bobot jenis digunakan hanya untuk cairan dan kecuali
dinyatakan lain didasarkan pada perbandingan bobot zat di udara pada
suhu yang telah ditetapkan terhadap bobot air dengan volume dan suhu
yang sama. Bila pada suhu 25°C zat berbentuk padat, tetapkan bobot jenis
pada suhu yang telah tertera pada masing-masing monografi dan mengacu
pada air pada suhu 25°C.
Bobot jenis dapat diukur dengan beberapa metode. Metode
penentuan bobot jenis dan rapat jenis untuk cairan (Voigt,1994):
● Metode Piknometer
Prinsip metode piknometer ini didasarkan atas penentuan massa
cairan dan penentuan ruang, yang ditempati oleh cairan ini. Untuk
metode ini dibutuhkan wadah untuk menimbang yang dinamakan
piknometer. Ketelitian pada metode piknometer akan bertambah
sampai mencapai keoptimuman tertentu dengan bertambahnya
volume piknometer.
● Metode Neraca Hidrostatik
Metode neraca hidrostatik bekerja dengan berdasarkan hukum
Archimedes yaitu suatu benda yang dicelupkan ke dalam cairan
akan kehilangan massa sebesar berat volume cairan yang terdesak.
● Metode Neraca Mohl - Westphal
Benda berbahan kaca dibenamkan tergantung pada balok
timbangan yang ditoreh menjadi 10 bagian sama, kemudain
disetimbangkan dengan bobot lawan. Keuntungan dari penentuan
13
kerapatan dengan neraca Mohr-Westphal yaitu penggunan waktu
yang singkat dan juga mudah untuk dilaksanakan.
● Metode areometer
Penentuan kerapatan dengan areometer berskala (timbangan
benam, sumbu) didasarkan oleh pembacaan seberapa dalamnya
tabung gelas tercelup yang sepihak diberati dan pada kedua ujung
ditutup dengan pelelehan
Pada percobaan ini dalam menentukan bobot jenis, digunakan metode
dengan piknometer. Bahan yang akan diukur menggunakan piknometer
adalah air dan larutan NaCl.
14
Jika zat uji melebur pada suhu rendah dari suhu yang ditetapkan
untuk penetapan Susut Pengeringan, biarkan botol beserta isinya selama 1
– 2 jam pada suhu 5° - 10 di bawah suhu lebur, kemudian keringkan pada
suhu yang telah ditetapkan.
Jika contoh yang diuji berupa kapsul, gunakan sejumlah campuran
senyawa isi tidak kurang dari 4 kapsul.
Jika contoh yang diuji berupa tablet, gunakan sejumlah serbuk
tablet tidak kurang dari 4 tablet yang diserbukhluskan.
Jika dalam monografi susut pengeringan ditetapkan dengan analisis
termogravimetri, gunakan timbangan analitik yang peka.
Jika dalam monografi ditetapkan pengeringan dalam hampa udara
di atas zat pengering, gunakan sebuah desikator vakum atau pistol
pengering vakum atau alat pengering vakum lain yang sesuai.
Jika pengeringan dilakukan dalam desikator, lakukan penanganan
khusus untuk menjamin zat pengering tetap efektif dengan cara
menggantinya sesering mungkin.
Jika dalam monografi ditetapkan pemanasan dalam botol
bersumbat kapiler dalam hampa udara, gunakan botol atau tabung dengan
sumbat kapiler berdiameter 225±25 dan atur bejana pemanas pada tekanan
5 mmHg atau kurang. Pada akhir pemanasan, biarkan udara kering
mengalir ke dalam bejana pemanas, angkat botol bersumbat kapiler,
biarkan dingin dalam desikator sebelum ditimbang.
15
biasanaya tom karbon dengan empat subsituen yang berbeda. Jumlah
isomer optik adalah 2n , n adalah jumlah pusat asimetri.
Polarimetri yaitu pengukuran rotasi optik dari bahan obat
merupakan satu satunya cara yang mudah untuk membedakan isomer-
isomer aktif optik, sehingga merupakan penanda yang penting untuk
identitas dan kemurnian suatu bahan obat. Acuan rotasi jenis di dalam
monografi menytakan bahwa rotasi jenis dihitung dari rotasi optik hasil
pengamatan dalam Larutan Uji. Kecuali dinyatakan laind alam monografi,
pengukuran rotasi optik dilakukan pada 589 nm pada 250C. Jika
menggunakan polatimeter fotoelektrik, maka pengukuran tunggal harus
dikoreksi terhadap larutan blangko. Pada larutan atau cairan uji, suhu harus
dipertahankan dalam rentang 0,50C dari nilai yang ditetapkan. Sudut rotasi
, acuan yang digunakan dalam monografi, kecuali dinyatakan lain, adalah
rotasi optik dari cairan yang ditetapkan menggunakan tabung 1 dm pada
589 nm dan suhu 250C, dan dikoreksi terhadap pembacaan menggunakan
tabung kosong atau kering. Rotasi jenis kloramfenikol adalah antara +17 o
dan +20o, lakukan penetapan menggunakan larutan 1,25 gram dalam 25 ml
etanol mutlak P.
2.2.3 Indeks Bias
Metode acuan yang digunakan tertera pada lampiran Farmakope
Indonesia edisi V dengan nomor indeks 1001. Dalam Farmakope tertera
sebagai berikut ; Refraktometer Abbe digunakan untuk mengukur rentang
indeks bias dari bahan-bahan yang tercantum pada Farmakope Indonesia.
Indeks bias air destilasi adalah 1,3330 pada suhu 20 C dan 1,3325 pada
suhu 25 C. Walaupun menurut Farmakope suhu pengukuran adalah 25 C,
tetapi pada banyak monografi indeks bias ditetapkan pada suhu 20 C.
16
mengandung air hidrat, keringkan di atas bahan pengering yang sesuai
selama tidak kurang dari 16 jam.
Isi pipa kapiler kaca yang salah satu ujungnya tertutup dengan
serbuk kering secukupnya hingga membentuk kolom di dasar tabung
dengan tinggi 2,5 mm hingga 3,5 mm setelah diisi semampat mungkin
dengan cara mengetukkan secukupnya pada permukaan padat.
Panaskan tangas hingga suhu lebih kurang 10o di bawah suhu lebur
yang ͒, dan naikkan suhu dengan kecepatan 1͒+-0,5͒ per menit. Masukkan
kapiler seperti Metode I, bila suhu mencapai 5͒ di bawah suhu terendah
yang diperkirakan, lanjutkan pemanasan hingga melebur sempurna.
Suhu pada saat kolom zat uji yang diamati terlepas sempurna dari
dinding kapiler didefinisikan sebagai permulaan melebur, dan suhu padaa
saat zat uji mencair seluruhnya didefinisikan sebagai akhir peleburan atau
“suhu lebur”. Kedua suhu tersebut berada dalam batas jarak lebur.
17
BAB III
METODE PERCOBAAN PRAKTIKUM
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Susut Pengeringan
a. Alat
1. Oven
2. Desikator
3. Timbangan analitik
4. Krus Tang
5. Botol timbang dangkal bertutup kaca
b. Bahan
1. Natrium Klorida
b. Bahan
1. Kloramfenikol
2. Etanol mutlak P
18
3.1.3 Indeks Bias
a. Alat
1. Refraktometer Abbe
2. Pipet Tetes
3. Beaker
4. Tissue
b. Bahan
1. Minyak permen
2. Aquades
3. Aseton
19
3.1.5 Bobot Jenis
a. Alat
1. Piknometer
2. Timbangan analitis
3. Labu ukur 25 ml
b. Bahan
1. Natrium klorida 10 mg/ml (timbang 250 mg NaCl, larutkan
dalam 25 ml air)
2. Air destilasi atau aquadest
20
8. Pada waktu alat pengering dibuka, botol segera ditutup dan biarkan
dalam desikator (selama 15 menit) atau sampai mencapai suhu
kamar.
9. Timbang bobot botol timbang dan zat uji pasca pengeringan dan
catat angka yang tertera pada timbangan analitik.
3.2.2 Rotasi Optik
A. Perhatikan hal-hal berikut:
1. Sampel cairan: Atur suhu 25 °C, ukur rotasi optik blanko (tabung
kosong), ukur rotasi optik cairan.
2. Sampel padat: Buat larutan dengan saksama, dengan konsentrasi
tertentu, dalam pelarut tertentu (ditentukan dalam monografi),
atur suhu 25 °C, ukur rotasi optik blanko (pelarut).
3. Ukur rotasi optik larutan sampel dengan polarimeter dalam waktu
tidak lebih dari 30 menit sejak zat dilarutkan, upayakan agar
waktu yang terpakai tiap kali sama bagi zat yang diketahui
mengalami rasemisasi atau mutarotasi.
4. Tabung polarimeter harus diisi sedemikian agar tidak terbentuk
atau meninggalkan gelembung udara yang mengganggu berkas
cahaya yang lewat. Pengukuran paling sedikit 5 kali (baik sampel
maupun blanko).
21
1. Masukkan colokan power ke sumber power. Tunggu 5 menit agar
temperatur stabil
2. Buka kompartemen sampel (5). Pasang tabung polarimeter yang
dipenuhi dengan air destilasi ke dalam tempat sampel
3. Lihat melalui eyepiece (2) dan putar ke kiri atau ke kanan sampai
memungkinkan untuk melihat bidang dengan jelas. Putar
selection wheel (3) sampai skala (4) membaca zero pada kedua
sisi. Satu bidang kuning-jingga yang sama-sama jelas harus
terlihat
4. Letakkan tabung polarimeter dengan cairan yang akan diukur ke
dalam kompartemen pengukuran. Pastikan tidak ada gelembung
udara dalam tabung
5. Tutup kompartemen sampel. Amati bidang melalui eyepiece dan
fokuskan
6. Putar selection wheel (3) sampai bidang penjelas yang seragam
didapat
7. Baca skala dengan dua vernier yang berlawanan
8. Untuk sebagian besar bahan pada panjang gelombang 589 nm,
sudut rotasi akan berkurang 0,3% ketika suhu meningkat 1℃.
C. Pembacaan Skala
22
3. Tanpa menyentuh selection wheel (3), baca dua vernier yang
berlawanan.
Hasil paling akurat diperoleh menurut rumus berikut:
2. Cabut tutup dalam (3), jendela kaca (5) dan gasket karet (4)
4. Isi tabung sampai meniskus (7) terbentuk oleh cairan yang berada
di atas tabung kaca
6. Pasang gasket karet (4) pada tutup dalam (3) dan tutupi dengan
tutup luar (2) di atas jendela kaca pada tabung
23
7. Gelembung udara dalam sampel harus terkumpul pada
pembesaran anular (9) tabung dengan menahan tabung pada
posisi horizontal
24
2. Isi pipa kapiler kaca yang salah satu ujungnya tertutup, dengan
serbuk kering secukupnya hingga membentuk kolam di dasar
tabung dengan tinggi 2,5 mm hingga 3,5 mm setelah diisi
semampat mungkin dengan cara mengetukkan secukupnya pada
permukaan padat.
3. Tempatkan zat uji dalam tabung kapiler yang salah satu ujungnya
tertutup.
4. Wadah pemanasan pada alat sebaiknya sudah dipanaskan sampai ±
10 °C di bawah suhu lebur yang diperkirakan.
5. Tempatkan kapiler dan termometer dalam wadah pemanasan
(lubang tertentu yang sesuai pada alat).
25
4. Menghitung bobot jenis cairan, dihitung dengan membagi bobot
cairan dengan bobot air dengan volume yang sama sesuai volume
piknometer yang digunakan.
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
27
4.1.2 Rotasi Optik
No Pengukuran Nilai
2 Pelarut 25 ml
5 Suhu pengukuran 25 ºC
Rotasi Optik
114,8º 116º
25º
100 𝑎 100 × (+1,2º)
[𝛼] 589𝑛𝑚 = =
𝑙𝑐 2 × 5,0288
= +11,931º ≈ +12º
28
4.1.3 Indeks Bias
2. Air 1,333 -
29
4.1.5 Bobot Jenis
4.2 Pembahasan
4.2.1 Susut Pengeringan
Susut pengeringan merupakan metode yang digunakan untuk
menentukan bobot sampel yang ingin diketahui dengan cara dikeringkan
supaya zat yang tidak diinginkan dapat menguap. Pada percobaan ini
digunakan dua botol timbang (duplo) dengan sampel berupa Natrium
Klorida yang dipanaskan melalui oven dengan temperatur 105oC selama
±2 jam. Pada awal penimbangan diperoleh bobot botol kosong dan
tutupnya yaitu bobot botol A = 20,0500 gram, dan bobot botol B =
12,5183 gram. Kemudian masing-masing botol timbang ditambah dengan
sampel NaCl sehingga diperoleh bobot botol A = 21,0595 gram, dan bobot
botol B = 13,5203 gram. Setelah itu masing-masing botol dikeringkan
menggunakan oven selama ±2 jam, dan dilakukan penimbangan bobot
botol kembali sehingga diperoleh bobot botol A = 21,0447 gram, dan
bobot botol B = 13,5202 gram. Bobot sampel masing-masing botol dapat
diperoleh dengan cara selisih antara bobot kosong dan tutupnya + sampel
(sebelum dikeringkan dalam oven) dengan botol kosong dan tutupnya,
untuk sampel [A], dan antara bobot kosong dan tutupnya + sampel (setelah
dikeringkan dalam oven) dengan botol kosong dan tutupnya, untuk sampel
[B]. Dengan menggunakan rumus susut pengeringan, maka diperoleh
30
persentase susut pengeringan botol A yaitu 1,48%, dan persentase susut
pengeringan botol B yaitu 0,0099%. Dengan standarisasi susut
pengeringan natrium klorida yaitu susut pengeringan yang terjadi tidak
lebih dari 0,5% maka botol A tidak memenuhi kriteria tersebut, sedangkan
botol B telah memenuhi kriteria. Hal ini terjadi pada botol A disebabkan
oleh beberapa hal yaitu :
1. Botol timbang terlalu lama dibiarkan pada ruangan
2. Botol timbang terkena tangan, sehingga dapat mengubah bobot botol
timbangan
3. Suhu temperatur dalam Laboratorium tidak sesuai dengan yang
ditetapkan literature
31
+12º. Rotasi jenis kloramfenikol murni yang tertera pada Farmakope
berada diantara +17º dan +20º (dalam etanol mutlak, suhu 25ºC, lampu
natrium, 589-589,6 nm). Perbedaan rotasi jenis kloramfenikol yang
didapat dari hasil percobaan dengan rotasi jenis kloramfenikol murni dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Keterampilan praktikan dan ketelitian dalam menggunakan alat.
Praktikan yang melakukan penetapan kloramfenikol merupakan
pemula dalam menggunakan polarimeter. Praktikan yang belum
ahli dalam menggunakan alat ini dapat melakukan kesalahan,
seperti ketelitian dalam menentukan zona terang yang benar.
2. Kloramfenikol tidak murni dan terdapat pencemar dari senyawa
optis aktif lain.
3. Pengukuran yang lama sehingga kondisi larutan senyawa uji tidak
segar lagi.
4. Pada saat praktikum suhu ruangan belum tentu 25ºC karena
sebelum praktikum temperatur tidak diukur dan hanya
memperkirakan saja dan temperatur tempat praktikum dilaksanakan
tidak dijaga kekonstanannya bbisa saja berubah-ubah.
4.2.3 Indeks Bias
Indeks bias yang kami ukur adalah indeks bias air destilasi dan
indeks bias minyak permen. Sesuai dengan acuan, yaitu Farmakope
Indonesia edisi V, nilai rentang indeks bias minyak permen adalah 1,495
dan 1,465 pada suhu 20 C. Sementara untuk air destilasi adalah 1,3330
pada suhu 20 C. Namun pada percobaan, kami mendapatkan nilai 1,333
untuk air destilasi pada suhu 23,2 C. Sementara untuk minyak permen
kami mendapatkan nilai 1,458 pada suhu 22,9 C.
Nilai yang kami dapatkan tidak sesuai dengan acuan yang ada. Hal
ini disebabkan oleh suhu yang kami gunakan tidak sesuai dengan
ketentuan monografi. Sehingga, hal tersebut berpengaruh terhadap indeks
bias yang ditunjukan oleh refraktometer abbe. Hal-hal yang mempengaruhi
indeks bias, antara lain :
32
a. Suhu
Apabila suhu semakin tinggi, maka kerapatan dan
kekentalan suatu zat akan semakin rendah. Hal ini mengakibatkan
indeks bias semakin kecil. Hal ini dibuktikan oleh indeks bias
minyak permen dan yang kami uji. Pada monografi, indeks bias
minyak permen pada suhu 20C adalah 1,495 dan 1,465. Sementara
menurut hasil percobaan pada suhu 22,9C, indeks bias minyak
permen adalah 1,489.
b. Panjang gelombang
Panjang gelombang pada refraktometer mempengaruhi
luasan atom pada medium, sehingga indeks bias yang dihasilkan
akan berbeda. Panjang gelombang yang digunakan tidak boleh
diserap oleh medium. Panjang gelombang yang biasanya
digunakan adalah gelombang sodium D 598 mm. Pada
refraktometer abbe, panjang gelombang yang digunakan adalah
gelombang sodium D. Hal ini tertera pada lampiran metode acuan
penentuan indeks bias pada Farmakope Indonesia edisi V.
33
Penentuan suhu dan jarak lebur dilakukan dengan pengamatan pada
suhu awal sampel mulai mencair dan suhu akhir sampel mencair dengan
sempurna. Suhu awal dicatat saat suhu sampel mulai mencair atau
membentuk tetesan pada dinding pipa kapiler, dan suhu akhir dicatat saat
hilangnya fase padat dengan sempurna.
Dari data yang diperoleh, kami mendapatkan hasil yang berbeda
dengan standar. Berdasarkan pengamatan kami, suhu awal kloramfenikol
adalah 146°C dan suhu akhirnya adalah 158°C. Sehingga jarak lebur
sampel kloramfenikol adalah 12°C yaitu 146°C- 158°C. Hal ini berbeda
dengan standar kloramfenikol yang memiliki jarak lebur 149°C - 153°C.
Sedangkan suhu awal paracetamol adalah 150°C dan suhu akhirnya adalah
172°C. Sehingga jarak lebur paracetamol adalah 12°C yaitu 150°C-
172°C. Hal ini bebeda dengan standar paracetamol yang memiliki jarak
lebur 168°C - 172°C. Perbedaan data yang diperoleh dapat disebabkan
adanya pengotor dalam sampel yang menyebabkan penurunan titik lebur
dan pelebaran jarak lebur.
34
menggunakan timbangan analitik. Hal ini untuk mengetahui berat dari
piknometer kosong sehingga nanti dapat mengetahui bobot dari cairan
yang dipakai. Bobot dari piknometer A dan tutupnya adalah 9,9376 gr,
sedangkan bobot dari piknometer B dan tutupnya adalah 12,4265 gr.
Setelah piknometer kosong ditimbang, kemudian piknometer tersebut
dimasukkan cairan. Piknometer A diisi oleh air hingga penuh lalu tutup
piknometer tersebut dan pastikan tidak ada gelembung di dalam tutupnya.
Sedangkan, piknometer B diisi oleh larutan NaCl hingga penuh lalu
ditutup dan pastikan tidak terdapat gelembung di tutupnya. Setelah itu,
piknometer ditimbang lagi. Hasil dari penimbangan piknometer A dan air
adalah 19,1543 gr dan hasil dari penimbangan piknometer B dan larutan
NaCl adalah 22,5142 gr.
Bobot cairan dapat diketahui dengan cara piknometer + tutup +
cairan dikurang dengan piknometer kosong + tutup atau bisa disebut juga
selisih dari piknometer yang berisi dengan piknometer yang kosong. Bobot
cairan dari air adalah 9,2167 gr, dan bobot cairan dari larutan NaCl adalah
10,0877 gr.
Setelah diketahui bobot dari kedua carian tersebut, maka bobot
jenis sudah dapat dihitung menggunakan rumus berikut:
Bobot jenis cairan sampel = ([B] / [A]) x bobot jenis air
Keterangan :
● [A] : Bobot cairan air
● [B] : Bobot cairan larutan NaCl
● Bobot jenis air
Bobot jenis air murni adalah 1 gr/ml. Tetapi di dalam perhitungan
ini kita tidak menggunakan nilai tersebut, karena kita tidak mengetahui
apakah air tersebut benar - benar murni atau tidak. Jadi sebelum
menghitung bobot jenis cairan sampel, harus menghitung terlebih dahulu
bobot jenis air. Rumus dari bobot jenis air adalah:
Bobot jenis air = Bobot cairan air / Volume
= 9,2167 gr / 10 mL
= 0,92167 gr/mL
35
Setelah bobot jenis air didapatkan, maka bobot jenis larutan NaCl sudah
bisa didapatkan dengan rumus yang diatas:
Bobot jenis cairan sampel = ([B] / [A]) x bobot jenis air
= ( 10,0877 / 9,2167 ) x 0,92167 gr/mL
= 1,00877 gr/mL
Hasil di pembahasan agak berbeda dengan yang terdapat di lampiran, hal
ini terjadi karena di lampiran bobot jenis air dibulatkan nilainya menjadi
0,9. Sedangkan, di pembahasan ini tidak dibulatkan. Jadi, bobot jenis larut
NaCl adalah 1,00877 gr/mL
36
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Susut Pengeringan
Sampel NaCl dihitung susut pengeringannya dengan melakukan
duplo ( dua kali percobaan) dengan Botol A dan Botol B. Susut
pengeringan yang dilakukan dengan memanaskannya di oven dan
didiamkan di desikator. Didapatkan persentasi sampel pada botol A adalah
1,48 % dan persentasi sampel bobot B adalah 0,0099%. Berdasarkan
standarisasi susut pengeringan natrium klorida yaitu susut pengeringan
yang terjadi tidak lebih dari 0,5% maka botol A tidak memenuhi kriteria
tersebut, sedangkan botol B telah memenuhi kriteria.
5.1.2 Rotasi Optik
Sampel (Kloramfenikol) memiliki nilai rotasi optic sebesar 116°
dan blangko (etanol) memiliki nilai rotasi optic sebesar 114,8°. Nilai rotasi
optik spesifik/rotasi jenis Kloramfenikol yang didapatkan setelah nilai
rotasi optik sampel (Kloramfenikol) yang terbaca dikoreksi dengan nilai
rotasi optik pelarut (blanko) dan didapatkan nilainya sebesar +12° dan
tidak sesuai dengan nilai rotasi jenis/rotasi optik spesifik Kloramfenikol
yakni antara + 17,0° dan + 20,0°, ketidaksesuaian nilai rotasi optic
kloramfenikol dalam hasil percobaan dengan nilai rotasi optic dalam
farmakope Indonesia, disebabkan karena perbedaan suhu saat dilakukan
percobaan.
Indeks bias sampel aquadest 1,333 pada suhu 23,2°C dan minyak
permen 1,458 pada suhu 22,9°C, indeks bias aquades dan minyak permen
yang didapat lebih rendah dibanding acuan. Menurut Farmakope Indonesia
edisi V aquades memiliki nilai indeks bias yaitu 1,3330 pada suhu 20°C
dan minyak permen 1,495 dan 1,465 pada suhu 200C. Hal ini terjadi
karena suhu saat percobaan lebih tinggi atau berbeda dengan monografi
37
yang telah ditetapkan sehingga terjadi penyimpangan pengukuran indeks
bias.
Bobot jenis sampel yaitu 1,00877 gr/mL yang dihitung dari Bobot
cairan larutan NaCl / Bobot cairan air, lalu dikali dengan bobot jenis air.
5.2 Saran
5.2.1 Susut Pengeringan
Dalam melakukan percobaan, suhu ruangan harus disesuaikan
dengan monografi yang telah ditetapkan agar hasil susut pengeringannya
sesuai dengan stndar. Saat memindahkan botol juga harus menggunakan
alat yaitu nampan dan memegangnya dengan krustang yang telah di cover
dengan aluminium, agar tidak terjadi penambahan bobot botol. Jangan
memegang langsung botol dengan tangan atau botol berada dalam ruangan
terbuka berlama-lama karena hal tersebut dapat menambah bobot botol
dari debu-debu atau kotoran yang ada di udara.
5.2.2 Rotasi Optik
Suhu saat melakukan percobaan seharusnya pada suhu 25˚C, agar
diperoleh nilai rotasi optic yang sesuai dengan nilai rotasi optic sampel
(kloramfenikol) yang tertera pada Farmakope Indonesia.
38
5.2.3 Indeks Bias
Pada saat meneteskan sampel aseton dan minyak permen pada
bidang sampel (prisma bawah) harus dilakukan dengan cepat, begitu pula
saat menutup prisma karena aseton mudah menguap. Jika pembiasaan pada
saat mengamati sampel aseton terlihat sebagian besar gelap, itu berarti
sampel yang akan diamati telah menguap dan perlu penambahan sampel
kembali. Pengaturan alat (setting) harus dilakukan dengan baik dan benar
agar skala yang terbaca akurat. Suhu pengukuran juga harus dijaga
kekonstanannya dan harus sesuai dengan monografi yang tercantum gar
pengukuran indeks bias yang sesuai monografi.
5.2.4 Suhu Lebur
Kenaikan suhu sebaiknya tidak terlalu drastis pada saat sampel
sudah diletakan pada posisinya karena terdapat beberapa sampel yang
dapat rusak. Harus menjaga kenaikan suhu 1˚C per menit nya agar jarak
lebur nya lebih jelas terlihat dan jaraknya tidak terlalu sempit atau
melebar. Sehingga nilai yang diperoleh tidak akurat. Peralatan yang
digunakan juga harus diperiksa terlebih dahulu dan disesuaikan dengan
acuan standar agar dapat dibandingkan untuk dapat memperoleh nilai yang
pasti jika terdapat gangguan atau kondisi yang tidak sesuai (agar dapat
divalidasi).
5.2.5 Bobot Jenis
Selama proses penentuan bobot jenis, piknometer harus selalu
bersih dan kering dengan melap nya dengan tisu agar tidak mempengaruhi
bobot yang dihasilkan (penambahan bobot cairan), tetapi jangan sampai
terkena ujung alat piknometernya agar cairan tidak terserap oleh tisu
sehingga dapat mengurangi. Jika ingin memegang piknometer disarankan
untuk memakai sarung tangan atau menggunakan alat lain yang bersih.
39
DAFTAR REFERENSI
Hayun dan Rukmana, T.I. (2017). Tetapan Fisika dalam Hayun, ed. Buku Penuntun
Praktikum Analisis Farmasi Dasar. Depok: Fakultas Farmasi Universitas
Indonesia.
Hana, N. 2010. Formulasi Tablet Hisap Ekstrak Etanol Gambir (Uncaria gambir
Roxb) dengan Variasi Konsentrasi Polyvinyl Pyrrolidone (PVP) Sebagai
Pengikat dan Pengaruhnya terhadap Kadar CD4 dalam Darah. Jakarta:
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
Cazes, J., Cazes, J., & Ewing, G. (2004). Analytical Instrumentation Handbook,
Third Edition. Hoboken: Taylor and Francis.
iv
LAMPIRAN
v
vi
vii
2. Lampiran Alat dan Bahan
Alat Foto
Polarimeter
Tabung polarimeter
Timbangan analitik
viii
Labu ukur 25 mL
Refractometer Abbe
Pipet tetes
ix
Desikator
Timbangan analitik
Lampu bunsen
Pipa kapiler
x
Melting point
analyzer
Bobot piknometer
xi
Bahan Gambar
Kloramfenikol
Etanol mutlak P
Air destilasi
Minyak permen
xii
Aseton
NaCl
Kloramfenikol
Paracetamol
xiii
Air
Larutan NaCl
xiv
Botol timbang + sampel setelah
dilakukan pemanasan menggunakan
oven dengan temperatur 105oC
selama ±2 jam
xv
4. Lampiran Percobaan Indeks Bias
xvi
6. Lampiran Percobaan Bobot Jenis
xvii
Bobot piknometer dan tutupnya
yang berisikan air
3.
xviii
5. Larutan NaCl yang digunakan
xix