Oleh :
G1A216067
Pembimbing:
UNIVERSITAS JAMBI
2017
LEMBAR PENGESAHAN
Disusun Oleh:
G1A216067
UNIVERSITAS JAMBI
2017
Pembimbing
Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Science Session yang berjudul “Dermatitis Atopik : Pandangan Pada
Patogenesis, Evaluasi Dan Manajemen” sebagai kelengkapan persyaratan dalam
mengikuti Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Sri Yusfinah MH, Sp.KK,
yang telah meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan. Selanjutnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat
dan menambah ilmu bagi para pembaca.
Penulis
Abstrak
Latar belakang: Dermatitis Atopik (AD) merupakan penyakit kulit inflamasi
kronis yang sangat gatal yang biasanya terjadi selama masa awal kanak-kanak.
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa penyakit ini merupakan hal yang
biasa terjadi di dunia barat dengan prevalensi seumur hidup pada anak adalah 10%
hingga 20%.
Hasil: AD memiliki basis imunologis. Baik respon imun bawaan dan adaptif
terganggu pada pasien AD. Pruritus yang intens merupakan penanda penyakit
yang dapat mengakibatkan menggaruk yang berlebihan sehingga merusak barrier
kulit. Pengobatan AD dapat topikal atau sistemik. Kortikosteroid topikal dan
inhibitor calcineurin digunakan sebagai agen anti-inflamasi topikal. Pasien harus
diinstruksikan secara hati-hati mengenai penggunaan glukokortikoid topikal untuk
menghindari efek samping.
Pendahuluan
Dermatitis atopik (AD) merupakan penyakit kulit inflamasi kronis yang sangat
gatal yang biasanya ditemukan selama masa awal kanak-kanak [1] dan sering
disamakan dengan eksim. Pada beberapa kasus dermatitis atopik merupakan
manifestasi pertama dari atopi dan sering berhubungan dengan riwayat alergi
pernapasan personal dan keluarga dan memiliki efek yang sangat besar pada
kehidupan pasien, karir, pilihan hidup dan interaksi sosial [2]. Berdasarkan
rekomendasi dari World Allergy Organization pada 2004, istilah umum untuk
inflamasi lokal kulit adalah “dermatitis”, sedangkan penggunaan istilah “eksim”
digunakan untuk menggantikan istilah “sindrom eksim/dermatitis” [3]. Mereka
juga merekomendasikan untuk membatasi penggunaan istilah “eksim atopik”
ketika ditemukan adanya mediasi IgE pada patofisiologi penyakit tersebut, dan
istilah “eksim non-atopik” jika tidak ditemukan hal tersebut [4].
Epidemiologi
Genetik
Risiko bahwa penyakit ini dapat diturunkan secara genetik akan meningkat jika
ibu yang terkena. Telah dipertimbangkan adanya peran potensial dari kromosom
5q 31-33 karena mengandung kelompok family gen sitokin yaitu IL-3, IL-4, IL-5,
IL-13 dan GM-SCF, yang diekspresikan oleh sel Th2 [7]. Perbandingan kasus
kontrol telah menunjukkan adanya hubungan genotip antara polimorfisme dari
allel T -590C/T dari region gen promoter dan AD. Fakta bahwa allel ini
berhubungan dengan peningkatan aktivitas promoter gen IL-4 menunjukkan
bahwa dapat meningkatkan respon alergi pada AD. Dengan cara serupa, juga
dilaporkan adanya varian region koding IL-13, polimorfisme peningkatan fungsi
pada subunit reseptor IL-4 (terletak di kromosom 16q12), dan mutase fungsional
pada region promoter dari RANTES (terletak di kromosom 17q11) pada AD.
Terdapat beberapa hubungan temuan yang kontroversial antara AD dan marker
pada kromosom 11q13, termasuk enkoding gen untuk rantai β pada reseptor
dengan afinitas IgE yang tinggi (FcεRIβ). Sebagian besar penelitian tersebut
meliputi pasien dengan peningkatan kadar IgE. Gen kandidat tersebut memiliki
pendekatan, bahwa AD memiliki basis genetik yang sama dengan penyakit atopik
lainnya [8].
Hubungan antara polimorfisme spesifik pada gen chymase sel mast dan AD tidak
memiliki hubungan dengan asma atau rhinitis alergi yang telah diketahui
sebelumnya [7,9]. Temuan ini menunjukkan bahwa varian genetik dari chymase
sel mast, yaitu serine protease yang disekresikan oleh sel mast kulit, dapat
memiliki efek pada organ spesifik dan berkontribusi pada kerentanan genetik
untuk AD. AD juga berhubungan dengan genotipe sitokin penghasil faktor
transformasi pertumbuhan beta yang rendah [10]. Karena faktor transformasi
pertumbuhan beta merupakan gen regulator penting yang menurunkan regulasi
aktivasi sel T, genotipe produksi yang rendah dapat berkontribusi terhadap
meningkatnya inflamasi kulit.
Sebuah penelitian oleh Turner et al. melaporkan hubungan untuk AD pada family
kromosom 3q21 pada anak Jerman dan Skandinavia [11]. Region ini
mengodingkan molekul kostimulasi CD80 dan CD86 sehingga kemudian
memodulasi respon sel T. Penelitian skrining lainnya oleh Cookson et al. [12,13]
melaporkan hubungan AD dengan lokus pada kromosom 1q21, 17q25 dan 20p.
Menariknya, region tersebut diketahui mengandung gen kerentanan terhadap
psoriasis, yang menujukkan gen kandidat umum yang terlibat dalam mengontrol
inflamasi kulit. Ini menunjukkan bahwa AD dipengaruhi oleh gen yang
memodulasi respon kulit melalui mekanisme alergi.
Patogenesis
Interaksi antar gen yang dicurigai, lingkungan host dan faktor imunologis
berkontribusi dalam patogenesis AD. Meskipun sebagian besar penelitian genetik
terfokus pada mekanisme imunologis, namun juga telah dilakukan antisipasi pada
defek barrier epitel primer. Fillagrin merupakan protein kunci yang memfasilitasi
diferensiasi terminal dari epidermis dan pembentukan barrier kulit. Telah
ditemukan bahwa hilangnya fungsi dua varian genetik independen (R510X dan
2282de14) dalam gen pengode fillagrin merupakan faktor predisposisi yang
sangat kuat untuk terjadinya dermatitis atopik [14]. Fillagrin merupakan sumber
utama dari beberapa komponen mayor faktor pelembab alami dari stratum
korneum meliputi asam pyrrolidone karbosiklik dan asam urokanik. Menurunnya
kadar asam pyrrolidone karbosiklik dan asam urokanik pada pasien dengan
defisiensi fillagrin merupakan temuan yang diharapkan [15]. Dugaan bahwa AD
memiliki basis imunologi juga didukung oleh temuan bahwa gangguan
imunodefisiensi sel T primer sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE
serum dan lesi eksim.
Pada pasien AD kedua respon imun baik bawaan maupun adaptif mengalami
gangguan. Pruritus yang intens merupakan tanda khas AD yang akan
mengakibatkan menggaruk berlebihan sehingga merusak barrier kulit. Telah jelas
bahwa barrier kulit (stratum korneum) yang intak dan fungsional diperlukan untuk
respon imun bawaan kutaneus yang efektif. Reseptor rekognisi pola terdiri dari
mannan-binding lectin protein surfaktan yang mengenali gula unik yang ada pada
bakteri gram positif dan gram negatif, jamur dan virus. Mereka dapat bertindak
langsung sebagai opsonin dengan cara menyelubungi patogen dan membuatnya
dapat difagositosis atau mereka dapat secara langsung mengaktivasi jalur
komplemen. Defisiensi mannan-binding lectin tampak mempredisposisikan
individu terhadap infeksi bakteri dan virus, termasuk HSV dan S. aureus . Telah
dilaporkan bahwa mutase pada gen R753Q Toll-like receptor 2 frekuensinya
meningkat pada pasien dengan AD dan berhubungan dengan fenotipe yang lebih
berat, kadar IgE serum total yang lebih tinggi, dan kerentanan terhadap kolonisasi
S. aureus yang lebih besar [16].
Jalur reseptor IL-1 terlibat untuk respon pertahanan imun host terhadap S. aureus
kemungkinan diakibatkan oleh gangguan kemotaksis neutrofil dalam respon
terhadap S. aureus. Karena diketahui bahwa penyakit kulit inflamasi dieksaserbasi
oleh stress, maka dapat dihipotesiskan bahwa pelepasan hormon kortikotropin
yang diinduksi oleh stress dan penurunan kadar IL-18 dan IL-1β juga dapat
memainkan peran dalam kerentanan terjadinya infeksi kutaneus pada pasien
dengan AD [17].
Pada darah perifer pasien dengan AD ditemukan peningkatan simpanan sel T yang
menghasilkan interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13 dan interferon (INF)-γ.
Perubahan imunologis tersebut penting karena IL-4 dan IL-13 adalah satu-satunya
sitokin yang menginduksi garis transkripsi kuman pada ekson Cε, sehingga
meningkatkan perubahan isotipe menjadi IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi
ekspresi molekul adhesi vaskular-1 yang terlibat dalam infiltrasi eosinofil dan
menurunkan regulasi aktivitas sitokin tipe Th1. IL-5 memainkan peran kunci
dalam perkembangan, aktivasi, dan kelangsungan hidup eosinofil. Sebaliknya
IFN-γ menghambat sintesis IgE maupun proliferasi sel Th2 dan ekspresi reseptor
IL-4 pada sel T [8]. Penurunan produksi IFN-γ oleh sel T pada pasien AD dapat
merupakan akibat dari berkurangnya produksi IL-18 [21].
Respon imun Th2 pada AD didukung oleh sejumlah faktor. Faktor tersebut
meliputi lingkungan sitokin yaitu dimana terjadi perkembangan sel T, faktor
farmakologis, penggunaan sinyal kostimulator selama aktivasi sel T, dan Antigen
Presenting Cell (APC).
Sinyal kostimulator, contohnya, interaksi antara CD80 atau CD86 pada APC dan
CD28 pada reseptor sel T dengan MCH ditambah kompleks peptida pada APC
yang bertujuan untuk mengaktivasi sisa sel T. Ekspresi dari molekul kostimulator,
CD86, pada sel B di pasien AD tampak lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan pada pasien normal. Yang terpenting, IgE serum total pada pasien
AD dan subyek normal sangat berhubungan dengan ekspresi CD86 pada sel B.
CD86 anti-human secara signifikan menurunkan produksi IgE oleh sel
mononuklear darah perifer yang distimulasi dengan IL-4 dan anti-CD40mAb.
Data tersebut mendukung konsep bahwa ekspresi CD86 pada AD meningkatkan
sintesis IgE. IL-4 dan IL-3 juga tampak menginduksi ekspresi CD86 pada sel B,
sehingga memberikan putaran amplifikasi untuk sintesis IgE pada AD [23,24].
Imunopatologi Kulit
Ekspresi sitokin
Lesi akut dikarakteristikkan dengan infiltrat limfosit yang secara dominan terdiri
dari sel T memori teraktivasi dan memiliki banyak sel yang menghasilkan IL-4,
IL-5 dan IL-13 namun hanya sedikit sel yang mengekspresikan IFN-γ atau IL-12
mRNA.
Lesi kulit AD kronik memiliki jumlah sel pengekskresi IL-4 dan IL-13 mRNA
yang lebih sedikit, namun memiliki IL-5, sel pengekskresi faktor penstimulasi
koloni makrofag-granulosit (GM-CSF) IL-12 dan INF-γ mRNA yang lebih
banyak dibandingkan AD akut. IL-5 dan GM-CSF kemungkinan berkontribusi
terhadap peningkatan jumlah eosinofil dan makrofag. Peningkatan ekspresi IL-2
pada lesi kulit AD kronik adalah karena sitokin memainkan peran penting dalam
produksi IFN-γ. Ekspresinya pada eosinofil dan/atau makrofag dapat menginisiasi
pertukaran perkembangan sel Th1 atau Th10 pada AD kronik [25].
Antigen-presenting cells
Pada lesi kulit AD akut, IL-6, kemoreaktan untuk sel T CD4+, mengalami
peningkatan [30,31]. Chemokine C, RANTES, protein kemotaksis monosit-4, dan
eotaksin juga didapatkan meningkat pada lesi kulit AD dan kemungkinan
berkontribusi terhadap kemotaksis eosinofil dan limfosit Th2 ke kulit [32,33].
Beberapa penelitian menunjukkan peran untuk cutaneous T cell-attracting
chemokine (CTACK/CCL27) dalam potensi atraksi sel T CLA+ ke kulit [34].
Reseptor chemokin CCR3, yang ditemukan di eosinofil dan limfosit Th2 dan
dapat memediasi aksi eotaksin, RANTES, dan MCP-4, dilaporkan meningkat
pada kulit non-lesi maupun lesi pada pasien dengan AD [35].
Pencetus Imunologis
Virus dengan DNA rantai ganda, meliputi Herpes Simplex Virus (HSV), virus
moluskum kontagiosum, dan virus vaccinia juga mampu menimbulkan infeksi
yang lebih berat dan menyeluruh pada pasien dengan AD [41].
Eksim herpetikum merupakan bentuk diseminasi dari HSV dan sering dianggap
sebagai kegawatan medis yang memerlukan terapi antiviral sistemik segera. Data
tersebut menunjukkan bahwa pasien dengan AD dengan Th2 yang lebih besar
memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya infeksi kutaneus yang memerlukan
respon Th1 yang kuat.
Sebagai tambahan, spesies Candida lebih sering diisolasi dari kulit subyek AD
dibandingkan pada subyek psoriasis dan kontrol yang sehat [43].
Indeks SCORAD (Scoring Atopic Dermatitis Index) merupakan alat klinis yang
paling sering digunakan untuk menilai perluasan dan keparahan eksim (Tabel 2)
(Gambar 1 dan 2) [47]. Skor SCORAD objektif dapat digunakan untuk
menetapkan tingkat keparahan dermatitis atopik menjadi 3 kategori: ringan
(SCORAD objektif <15), sedang (SCORAD objektif: 15-40) dan berat (SCORAD
objektif >40).
Manajemen
Hidrasi kutaneus
Terapi Sistemik
Glukokortikoid sistemik
Imunoglobulin intravena
Interferon-γ
Siklosporin
Pengukuran umum meliputi menghindari sabun basa yang harus diganti dengan
yang bersifat normal atau asam, serta menghindari faktor pencetus, seperti iritan
(misal deterjen), alergen, mikroorganisme patogenik dan stress.
Pada kasus eksim sedang atau berat, penggunaan pembersih antimikrobial dua kali
seminggu akan mengurangi peningkatan kolonisasi mikrobial dan berkontribusi
penting dalam mengontrol eksaserbasi [56].
Pelembab
Ketika telah ditegakkan diagnosis pasti, maka harus diresepkan dalam jumlah
yang besar. Pada bayi dapat diganti dengan sabun atau shampoo.
Steroid topikal
Pasien harus diajari untuk menggunakan steroid potensi ringan untuk wajah dan
leher. Namun, terdapat pengecualian pada keadaan kekambuhan yang berat yang
dapat diberikan steroid potensi sedang dalam jangka pendek (3-5 hari). Steroid
dengan potensi sedang atau kortikosteroid poten hanya diindikasikan dalam
periode yang pendek (7-14 hari) untuk kekambuhan pada daerah yang rentan
seperti aksila dan pangkal paha. Jika steroid topikal ringan atau sedang tidak dapat
mengontrol eksim dalam 7-14 hari, maka harus dipertimbangkan adanya infeksi
bakteri atau viral sekunder. Jika steroid poten gagal untuk memberikan efek dalam
waktu dekat maka anak harus dirujuk ke spesialis kulit [56].
Antihistamin
Antihistamin non-sedasi dapat digunakan selama sebulan pada anak dengan eksim
berat atau pada anak dengan eksim ringan/sedang yang mengeluh akibat rasa gatal
yang berat atau urtikaria. Jika percobaan berhasil maka harus dilanjutkan. Dapat
digunakan rangkaian antihistamin dengan sedasi selama 1-2 minggu untuk
kekambuhan akut dermatitis, dimana terjadi gangguan tidur anak [56].
Infeksi
Kultur kulit harus diperoleh jika ada kecurigaan infeksi kulit selain S. aureus yang
mungkin resisten terhadap antibiotik. Infeksi yang terlokalisir dapat diterapi
dengan menggunakan antibiotik topikal sebagai monoterapi atau kombinasi
dengan steroid topikal, sedangkan infeksi kulit yang luas dapat diterapi dengan
menggunakan regimen antibiotik sistemik.
Pada seluruh kasus eksaserbasi eksim berat, dapat dipertimbangkan infeksi akibat
herpes simpleks yaitu eksim herpeticum. Jika ya, maka harus dipertimbangkan
rujukan segera untuk pendapat dermatologis segera dan harus segera diresepkan
asiklovir sistemik. Jika ruam melibatkan kulit disekitar mata, profilaksis asiklovir
okular juga harus diresepkan dan dipertimbangkan untuk rujuk segera ke spesialis
mata [56].
Rujukan rutin harus dilakukan jika diagnosa masih belum pasti, pengobatan
standar tidak dapat mengontrol eksim, dicurigai dermatitis kontak, infeksi rekuren
dari eksim dan jika eksim anak menyebabkan masalah sosial dan psikologis yang
signifikan. Gambar 4 menunjukkan algortima klinis untuk diagnosis dan
manajemen AD [56].
Terapi Alternatif
Fototerapi
Efek samping jangka pendek dari fototerapi dapat meliputi eritema, nyeri kulit,
pruritus dan pigmentasi; efek samping jangka panjang meliputi penuaan kulit
prematur dan malignansi kutaneus. Fototerapi dapat dipertimbangkan ketika
intervensi terapeutik lainnya gagal atau tidak layak atau jika kualitas hidup pasien
menurun secara signifikan [48,58].
Tinjauan pada tahun 2011 mengenai efek imunomodulator probiotik dan prebiotik
untuk mencegah AD melaporkan bahwa penggunaan suplemen probiotik dan
prebiotik formula whey hydrolysate tidak mengurangi penyakit atopik, seperti
AD, pada anak dan memerlukan penelitian lebih lanjut yang bertujuan untuk
menentukan kelanjutan intervensi untuk pencegahan alergi [61]. Tinjauan terbaru
melaporkan bahwa literatur mengenai penggunaan pro- dan prebiotik untuk
mencegah AD dihambat oleh heterogenitas yang signifikan pada metodologi
penelitian khususnya pada penggunaan strain yang berbeda, kombinasi, dosis
organisme dan marker respon, yang membuat sangat sulit untuk membandingkan
penelitian dan metaanalisis secara langsung [62]. Sebagai hasilnya, World Allergy
Organization dalam naskah terbaru, dengan hati-hati mengusulkan bahwa masih
diperlukan penelitian lebih lanjut, sebelum pre- dan/atau probiotik dapat
direkomendasikan secara rutin serta dianggap efektif untuk mencegah AD [63].
Imunoterapi omalizumab
Prognosis
Penelitian kohort yang besar dengan prospektif longitudinal dari lebih 7000 anak
dengan AD ringan hingga sedang, dengan follow up selama 5 tahun, dilaporkan
sedikitnya angka resolusi. Remisi terjadi pada hampir 15% populasi. Adalah hal
yang mungkin bahwa AD tidak benar-benar sembuh pada sebagian besar anak
dengan AD ringan hingga sedang. Dokter yang menangani anak dengan AD
ringan hingga sedang harus memberitahu anak dan walinya bahwa AD merupakan
penyakit seumur hidup [66,67].
DAFTAR PUSTAKA