Anda di halaman 1dari 33

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

*Pendidikan Profesi Dokter/G1A216067/November 2017

**Pembimbing: dr. Sri Yusfinah MH, Sp.KK

Dermatitis Atopik : Pandangan Pada Patogenesis, Evaluasi Dan Manajemen

Oleh :

Ririn Azhari, S. Ked*

G1A216067

Pembimbing:

dr. Sri Yusfinah MH, Sp.KK**

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2017
LEMBAR PENGESAHAN

CLINICAL SCIENCE SESSION (CSS)

Dermatitis Atopik : Pandangan Pada Patogenesis, Evaluasi Dan Manajemen

Disusun Oleh:

Ririn Azhari, S. Ked

G1A216067

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

BAGIAN ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH RADEN MATTAHER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS JAMBI

2017

Laporan ini telah diterima dan dipresentasikan

Pada: Jambi, November 2017

Pembimbing

dr. Sri Yusfinah MH, Sp.KK


KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Clinical Science Session yang berjudul “Dermatitis Atopik : Pandangan Pada
Patogenesis, Evaluasi Dan Manajemen” sebagai kelengkapan persyaratan dalam
mengikuti Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin di
Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Provinsi Jambi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada dr. Sri Yusfinah MH, Sp.KK,
yang telah meluangkan waktu dan pikirannya sebagai pembimbing sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan ini.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat
diharapkan. Selanjutnya, penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat
dan menambah ilmu bagi para pembaca.

Jambi, November 2017

Penulis

Dermatitis Atopik: Pandangan pada Patogenesis,


Evaluasi dan Manajemen

Abstrak
Latar belakang: Dermatitis Atopik (AD) merupakan penyakit kulit inflamasi
kronis yang sangat gatal yang biasanya terjadi selama masa awal kanak-kanak.
Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa penyakit ini merupakan hal yang
biasa terjadi di dunia barat dengan prevalensi seumur hidup pada anak adalah 10%
hingga 20%.

Sumber data: Kami membuat rekomendasi berdasarkan evaluasi dan manajemen


AD pada anak berdasarkan pencarian literatur sistematis menggunakan bukti
terbaik dari PubMed, Medline, Google Scholar, NICE, American Academy of
Dermatology dan World Allergy Organization.

Hasil: AD memiliki basis imunologis. Baik respon imun bawaan dan adaptif
terganggu pada pasien AD. Pruritus yang intens merupakan penanda penyakit
yang dapat mengakibatkan menggaruk yang berlebihan sehingga merusak barrier
kulit. Pengobatan AD dapat topikal atau sistemik. Kortikosteroid topikal dan
inhibitor calcineurin digunakan sebagai agen anti-inflamasi topikal. Pasien harus
diinstruksikan secara hati-hati mengenai penggunaan glukokortikoid topikal untuk
menghindari efek samping.

Kesimpulan: Pengobatan eksim atopik harus berdasarkan pada “stepped-care


plan” dimana pengobatan ditingkatkan atau diturunkan berdasarkan penilaian
keadaan kulit anak oleh dokter. Dokter yang mengobati anak dengan AD ringan
hingga sedang harus memberitahu anak dan walinya bahwa AD merupakan
penyakit seumur hidup.

Kata kunci: Dermatitis atopik; Eksim; Evaluasi; Manajemen; Anak

Pendahuluan

Dermatitis atopik (AD) merupakan penyakit kulit inflamasi kronis yang sangat
gatal yang biasanya ditemukan selama masa awal kanak-kanak [1] dan sering
disamakan dengan eksim. Pada beberapa kasus dermatitis atopik merupakan
manifestasi pertama dari atopi dan sering berhubungan dengan riwayat alergi
pernapasan personal dan keluarga dan memiliki efek yang sangat besar pada
kehidupan pasien, karir, pilihan hidup dan interaksi sosial [2]. Berdasarkan
rekomendasi dari World Allergy Organization pada 2004, istilah umum untuk
inflamasi lokal kulit adalah “dermatitis”, sedangkan penggunaan istilah “eksim”
digunakan untuk menggantikan istilah “sindrom eksim/dermatitis” [3]. Mereka
juga merekomendasikan untuk membatasi penggunaan istilah “eksim atopik”
ketika ditemukan adanya mediasi IgE pada patofisiologi penyakit tersebut, dan
istilah “eksim non-atopik” jika tidak ditemukan hal tersebut [4].

Epidemiologi

Beberapa penelitian mengindikasikan bahwa penyakit ini sangat sering terjadi di


dunia Barat dengan prevalensi seumur hidup pada anak adalah sebanyak 10%
hingga 20% [5,6]. Terdapat puncak peningkatan prevalensi AD dua hingga tiga
kali lipat sejak 1970.

Genetik

Risiko bahwa penyakit ini dapat diturunkan secara genetik akan meningkat jika
ibu yang terkena. Telah dipertimbangkan adanya peran potensial dari kromosom
5q 31-33 karena mengandung kelompok family gen sitokin yaitu IL-3, IL-4, IL-5,
IL-13 dan GM-SCF, yang diekspresikan oleh sel Th2 [7]. Perbandingan kasus
kontrol telah menunjukkan adanya hubungan genotip antara polimorfisme dari
allel T -590C/T dari region gen promoter dan AD. Fakta bahwa allel ini
berhubungan dengan peningkatan aktivitas promoter gen IL-4 menunjukkan
bahwa dapat meningkatkan respon alergi pada AD. Dengan cara serupa, juga
dilaporkan adanya varian region koding IL-13, polimorfisme peningkatan fungsi
pada subunit reseptor IL-4 (terletak di kromosom 16q12), dan mutase fungsional
pada region promoter dari RANTES (terletak di kromosom 17q11) pada AD.
Terdapat beberapa hubungan temuan yang kontroversial antara AD dan marker
pada kromosom 11q13, termasuk enkoding gen untuk rantai β pada reseptor
dengan afinitas IgE yang tinggi (FcεRIβ). Sebagian besar penelitian tersebut
meliputi pasien dengan peningkatan kadar IgE. Gen kandidat tersebut memiliki
pendekatan, bahwa AD memiliki basis genetik yang sama dengan penyakit atopik
lainnya [8].

Hubungan antara polimorfisme spesifik pada gen chymase sel mast dan AD tidak
memiliki hubungan dengan asma atau rhinitis alergi yang telah diketahui
sebelumnya [7,9]. Temuan ini menunjukkan bahwa varian genetik dari chymase
sel mast, yaitu serine protease yang disekresikan oleh sel mast kulit, dapat
memiliki efek pada organ spesifik dan berkontribusi pada kerentanan genetik
untuk AD. AD juga berhubungan dengan genotipe sitokin penghasil faktor
transformasi pertumbuhan beta yang rendah [10]. Karena faktor transformasi
pertumbuhan beta merupakan gen regulator penting yang menurunkan regulasi
aktivasi sel T, genotipe produksi yang rendah dapat berkontribusi terhadap
meningkatnya inflamasi kulit.

Sebuah penelitian oleh Turner et al. melaporkan hubungan untuk AD pada family
kromosom 3q21 pada anak Jerman dan Skandinavia [11]. Region ini
mengodingkan molekul kostimulasi CD80 dan CD86 sehingga kemudian
memodulasi respon sel T. Penelitian skrining lainnya oleh Cookson et al. [12,13]
melaporkan hubungan AD dengan lokus pada kromosom 1q21, 17q25 dan 20p.
Menariknya, region tersebut diketahui mengandung gen kerentanan terhadap
psoriasis, yang menujukkan gen kandidat umum yang terlibat dalam mengontrol
inflamasi kulit. Ini menunjukkan bahwa AD dipengaruhi oleh gen yang
memodulasi respon kulit melalui mekanisme alergi.

Patogenesis

Interaksi antar gen yang dicurigai, lingkungan host dan faktor imunologis
berkontribusi dalam patogenesis AD. Meskipun sebagian besar penelitian genetik
terfokus pada mekanisme imunologis, namun juga telah dilakukan antisipasi pada
defek barrier epitel primer. Fillagrin merupakan protein kunci yang memfasilitasi
diferensiasi terminal dari epidermis dan pembentukan barrier kulit. Telah
ditemukan bahwa hilangnya fungsi dua varian genetik independen (R510X dan
2282de14) dalam gen pengode fillagrin merupakan faktor predisposisi yang
sangat kuat untuk terjadinya dermatitis atopik [14]. Fillagrin merupakan sumber
utama dari beberapa komponen mayor faktor pelembab alami dari stratum
korneum meliputi asam pyrrolidone karbosiklik dan asam urokanik. Menurunnya
kadar asam pyrrolidone karbosiklik dan asam urokanik pada pasien dengan
defisiensi fillagrin merupakan temuan yang diharapkan [15]. Dugaan bahwa AD
memiliki basis imunologi juga didukung oleh temuan bahwa gangguan
imunodefisiensi sel T primer sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE
serum dan lesi eksim.

Respon Imun Sistemik

Pada pasien AD kedua respon imun baik bawaan maupun adaptif mengalami
gangguan. Pruritus yang intens merupakan tanda khas AD yang akan
mengakibatkan menggaruk berlebihan sehingga merusak barrier kulit. Telah jelas
bahwa barrier kulit (stratum korneum) yang intak dan fungsional diperlukan untuk
respon imun bawaan kutaneus yang efektif. Reseptor rekognisi pola terdiri dari
mannan-binding lectin protein surfaktan yang mengenali gula unik yang ada pada
bakteri gram positif dan gram negatif, jamur dan virus. Mereka dapat bertindak
langsung sebagai opsonin dengan cara menyelubungi patogen dan membuatnya
dapat difagositosis atau mereka dapat secara langsung mengaktivasi jalur
komplemen. Defisiensi mannan-binding lectin tampak mempredisposisikan
individu terhadap infeksi bakteri dan virus, termasuk HSV dan S. aureus . Telah
dilaporkan bahwa mutase pada gen R753Q Toll-like receptor 2 frekuensinya
meningkat pada pasien dengan AD dan berhubungan dengan fenotipe yang lebih
berat, kadar IgE serum total yang lebih tinggi, dan kerentanan terhadap kolonisasi
S. aureus yang lebih besar [16].

Jalur reseptor IL-1 terlibat untuk respon pertahanan imun host terhadap S. aureus
kemungkinan diakibatkan oleh gangguan kemotaksis neutrofil dalam respon
terhadap S. aureus. Karena diketahui bahwa penyakit kulit inflamasi dieksaserbasi
oleh stress, maka dapat dihipotesiskan bahwa pelepasan hormon kortikotropin
yang diinduksi oleh stress dan penurunan kadar IL-18 dan IL-1β juga dapat
memainkan peran dalam kerentanan terjadinya infeksi kutaneus pada pasien
dengan AD [17].

Anak dengan AD menunjukkan adanya penurunan kadar CD14 terlarut


dibandingkan dengan anak non-atopik. Kadar CD14 terlarut yang lebih rendah
pada anak dengan AD dapat disebabkan oleh menurunnya kapasitas respon
terhadap sinyal mikrobial [18].

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa keringat dari subyek dengan AD


kekurangan peptida antimicrobial dibandingkan keringat dari subyek yang sehat.
Sifat antimicrobial dari peptida berasal dari kemampuannya untuk mengintegrasi
dan mengganggu membran selular dari organisme pengganggu [19].

Penelitian telah menunjukkan berbagai defek polimorfonuklear pada subyek


dengan AD. Hal tersebut meliputi gangguan fungsi fagositik dan penurunan
kapasitas untuk menghasilkan spesies oksigen reaktif. Sebagai tambahan, pasien
dengan AD memiliki aktivitas kemotaksis polimorfonuklear yang tidak sempurna
yang berhubungan dengan keparahan penyakit dan adanya infeksi kulit [20].

Pada darah perifer pasien dengan AD ditemukan peningkatan simpanan sel T yang
menghasilkan interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13 dan interferon (INF)-γ.
Perubahan imunologis tersebut penting karena IL-4 dan IL-13 adalah satu-satunya
sitokin yang menginduksi garis transkripsi kuman pada ekson Cε, sehingga
meningkatkan perubahan isotipe menjadi IgE. IL-4 dan IL-13 juga menginduksi
ekspresi molekul adhesi vaskular-1 yang terlibat dalam infiltrasi eosinofil dan
menurunkan regulasi aktivitas sitokin tipe Th1. IL-5 memainkan peran kunci
dalam perkembangan, aktivasi, dan kelangsungan hidup eosinofil. Sebaliknya
IFN-γ menghambat sintesis IgE maupun proliferasi sel Th2 dan ekspresi reseptor
IL-4 pada sel T [8]. Penurunan produksi IFN-γ oleh sel T pada pasien AD dapat
merupakan akibat dari berkurangnya produksi IL-18 [21].
Respon imun Th2 pada AD didukung oleh sejumlah faktor. Faktor tersebut
meliputi lingkungan sitokin yaitu dimana terjadi perkembangan sel T, faktor
farmakologis, penggunaan sinyal kostimulator selama aktivasi sel T, dan Antigen
Presenting Cell (APC).

Sel mononuklear dari pasien dengan AD mengalami peningkatan aktivitas enzim


siklik adenosine monofosfat (cAMP) fosfodiesterase (PDE) [22]. Abnormalitas
selular ini berkontribusi terhadap peningkatan sintesis IgE oleh sel B dan produksi
IL-4 oleh sel T pada AD serta penurunan produksi IgE dan IL-4 secara in vitro
oleh inhibitor PDE.

Sinyal kostimulator, contohnya, interaksi antara CD80 atau CD86 pada APC dan
CD28 pada reseptor sel T dengan MCH ditambah kompleks peptida pada APC
yang bertujuan untuk mengaktivasi sisa sel T. Ekspresi dari molekul kostimulator,
CD86, pada sel B di pasien AD tampak lebih tinggi secara signifikan
dibandingkan pada pasien normal. Yang terpenting, IgE serum total pada pasien
AD dan subyek normal sangat berhubungan dengan ekspresi CD86 pada sel B.
CD86 anti-human secara signifikan menurunkan produksi IgE oleh sel
mononuklear darah perifer yang distimulasi dengan IL-4 dan anti-CD40mAb.
Data tersebut mendukung konsep bahwa ekspresi CD86 pada AD meningkatkan
sintesis IgE. IL-4 dan IL-3 juga tampak menginduksi ekspresi CD86 pada sel B,
sehingga memberikan putaran amplifikasi untuk sintesis IgE pada AD [23,24].

Imunopatologi Kulit

Ekspresi sitokin
Lesi akut dikarakteristikkan dengan infiltrat limfosit yang secara dominan terdiri
dari sel T memori teraktivasi dan memiliki banyak sel yang menghasilkan IL-4,
IL-5 dan IL-13 namun hanya sedikit sel yang mengekspresikan IFN-γ atau IL-12
mRNA.

Lesi kulit AD kronik memiliki jumlah sel pengekskresi IL-4 dan IL-13 mRNA
yang lebih sedikit, namun memiliki IL-5, sel pengekskresi faktor penstimulasi
koloni makrofag-granulosit (GM-CSF) IL-12 dan INF-γ mRNA yang lebih
banyak dibandingkan AD akut. IL-5 dan GM-CSF kemungkinan berkontribusi
terhadap peningkatan jumlah eosinofil dan makrofag. Peningkatan ekspresi IL-2
pada lesi kulit AD kronik adalah karena sitokin memainkan peran penting dalam
produksi IFN-γ. Ekspresinya pada eosinofil dan/atau makrofag dapat menginisiasi
pertukaran perkembangan sel Th1 atau Th10 pada AD kronik [25].

Sel T eraktivasi yang menginfiltrasi kulit pasien AD juga ditemukan menginduksi


apoptosis keratinosit yang berkontribusi terhadap proses spongiosis di lesi AD
[26].

Antigen-presenting cells

Kulit AD mengalami peningkatan jumlah IgE-bearing LC, yang tampak


memainkan peran penting dalam tampilan presentasi alergen kutaneus terhadap
sel Th2. IgE-bearing LC yang menangkap alergen akan mengaktivasi memori sel
T di kulit yang atopik namun juga berpindah ke nodus limfe untuk menstimulasi
sel T naïve untuk meningkatkan kelompok sel Th2 sistemik [27]. Individu normal
dan pasien dengan alergi respirasi memiliki kadar ekspresi FcεRI permukaan yang
rendah pada LC nya, sedangkan FcεRI diekspresikan dalam jumlah yang besar
pada lingkungan inflamasi di AD. Ekspresi FcεRI dalam jumlah besar tidak hanya
meningkatkan ikatan dan ambilan terhadap alergen namun juga aktivasi LC
melalui ligase reseptor. LC di kulit lesi pada AD umumnya mengekspresikan
CD86 dibandingkan CD80 [28,29]. Data tersebut menunjukkan bahwa ekspresi
CD86 pada LC memainkan peran penting sebagai molekul kostimulator untuk
aktivasi sel T dan dapat dihitung sebagai peningkatan respon Th2 yang terjadi
setelah pengenalan antigen yang berulang oleh LC.
Infiltrasi sel inflamasi

Pada lesi kulit AD akut, IL-6, kemoreaktan untuk sel T CD4+, mengalami
peningkatan [30,31]. Chemokine C, RANTES, protein kemotaksis monosit-4, dan
eotaksin juga didapatkan meningkat pada lesi kulit AD dan kemungkinan
berkontribusi terhadap kemotaksis eosinofil dan limfosit Th2 ke kulit [32,33].
Beberapa penelitian menunjukkan peran untuk cutaneous T cell-attracting
chemokine (CTACK/CCL27) dalam potensi atraksi sel T CLA+ ke kulit [34].
Reseptor chemokin CCR3, yang ditemukan di eosinofil dan limfosit Th2 dan
dapat memediasi aksi eotaksin, RANTES, dan MCP-4, dilaporkan meningkat
pada kulit non-lesi maupun lesi pada pasien dengan AD [35].

Inflamasi kulit akut dan kronis

Patogenesis AD masih belum jelas. Respon imun pada kulit AD dapat


ditimbulkan oleh berbagai pencetus, seperti aeroalergen dan alergen makanan.
APC yang menangkap alergen akan mengaktivasi sel Th2 yang kemudian
mensekresi sejumlah sitokin, seperti IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13. Aktivasi
limfosit B oleh IL-4 dan IL-13 menginduksi sintesis IgE. IL-5 secara umum
bertanggung jawab untuk aktivasi dan kelangsungan hidup eosinofil.

Dahulu AD dianggap sebagai penyakit yang diinduksi oleh limfosit Th2.


Sekarang telah ditemukan bahwa terjadi respon bifasik pada kulit AD. Setelah
respon Th2 awal, pergantian respon dari Th2 menjadi Th1 dapat terjadi dalam
beberapa hari.

Lesi AD kronik berhubungan dengan pemanjangan kelangsungan hidup eosinofil


dan monosit-makrofag di kulit atopik. Ekspresi IL-5 selama AD kronik
memainkan peran dalam pemanjangan kelangsungan hidup eosinofil dan
meningkatkan fungsinya. Pada AD kronik, peningkatan ekspresi GM-CSF
memainkan peran penting dalam mengatur kelangsungan hidup dan fungsi
monosit, LC dan eosinofil [36]. Keratinosit epidermal dari pasien AD memiliki
kadar ekspresi RANTES yang lebih tinggi secara signifikan setelah stimulasi
dengan faktor nekrosis tumor (TNF)-α dan IFN-γ dibandingkan keratinosit pada
pasien psoriasis. Hal ini dapat dijadikan sebagai satu mekanisme dimana produksi
TNF-γ dan IFN-γ selama AD kronik meningkatkan kronisitas dan keparahan
eksim. Trauma mekanis juga dapat menginduksi pelepasan TNF-α dan banyak
sitokin proinflamasi lainnya dari keratinosit epidermal. Dengan demikian,
menggaruk yang kronik dapat memainkan peran dalam memperlama kejadian dan
memancing inflamasi kulit pada AD [37].

Diagnosis dan diagnosis diferensial

The American Academy of Dermatology mengusulkan kriteria diagnostik


universal berikut untuk dermatitis atopik [38].

A. Tampilan esensial yang harus ditemukan, dan jika memenuhi, cukup


untuk diagnosis:
1. Pruritus
2. Perubahan eksimatosa yang akut, subakut, atau kronik
a. Pola tipikal dan spesifik pada usia tertentu:
i. Keterlibatan wajah, leher dan ekstensor pada bayi dan
anak
ii. Sedang mengalami atau lesi fleksura awal pada
dewasa/usia manapun
iii. Menyisakan region pangkal paha dan aksila
b. Rangkaian kronik atau relaps
B. Tampilan penting yang ditemukan pada sebagian besar kasus,
mendukung diagnosis:
1. Onset usia dini
2. Atopi (reaktivitas IgE)
3. Xerosis

C. Tampilan yang berhubungan: Hubungan klinis; membantu dalam


mengusulkan diagnosis AD namun tidak terlalu spesifik untuk
digunakan dalam menetapkan atau mendeteksi AD dalam penelitian
dan penelitian epidemiologi:
1. Keratosis pilaris/Iktiosis/Palmar hiperlinearitas
2. Respon vaskular atipikal
3. Aksentuasi perifolikular/Likenifikasi/Prurigo
4. Perubahan okular/periorbital
5. Lesi perioral/periaurikular

Eksklusi: diagnosis pasti AD bergantung pada kondisi eksklusi seperti skabies,


dermatitis kontak alergi, dermatitis seboroik, limfoma kutaneus, iktiosis, psoriasis,
dan keadaan penyakit primer lainnya.

Tabel 1 terdiri dari sejumlah penyakit inflamasi kulit, imunodefisiensi, malignansi


kulit, gangguan genetik, penyakit infeksius, dan infestasi yang menyerupai gejala
dan tanda AD. Harus disingkirkan terlebih dahulu sebelum mendiagnosis AD
[39].

Pencetus Imunologis

Bakteri, virus, jamur


Pasien dengan AD memiliki peningkatan kecenderungan untuk mengalami infeksi
kulit bakterial, viral dan fungal. S. aureus ditemukan pada 90% lesi kulit AD. Satu
strategi dimana S. aureus mengeksaserbasi atau mengatur inflamasi kulit pada AD
adalah dengan mensekresikan sekelompok toksin yang diketahui bertindak
sebagai superantigen, yang menstimulasi aktivasi sel T dan makrofag. Sebagian
besar pasien AD menghasilkan antibody IgE langsung melawan superantigen
stafilokokal yang ditemukan di kulit mereka [40].

Virus dengan DNA rantai ganda, meliputi Herpes Simplex Virus (HSV), virus
moluskum kontagiosum, dan virus vaccinia juga mampu menimbulkan infeksi
yang lebih berat dan menyeluruh pada pasien dengan AD [41].

Eksim herpetikum merupakan bentuk diseminasi dari HSV dan sering dianggap
sebagai kegawatan medis yang memerlukan terapi antiviral sistemik segera. Data
tersebut menunjukkan bahwa pasien dengan AD dengan Th2 yang lebih besar
memiliki risiko lebih besar untuk terjadinya infeksi kutaneus yang memerlukan
respon Th1 yang kuat.

Terdapat bukti bahwa subyek dengan AD memiliki kecenderungan yang tidak


biasa untuk kolonisasi dari patogen tertentu misalnya yeast berupa Malassezia dan
Candida. Penelitian multisentra Swedia yang terdiri dari 132 subyek dengan AD
menunjukkan bahwa 60% memiliki respon tes kulit yang positif terhadap spesies
Malassezia dibandingkan dengan tidak adanya respon tes positif pada subyek non-
atopik [42].

Sebagai tambahan, spesies Candida lebih sering diisolasi dari kulit subyek AD
dibandingkan pada subyek psoriasis dan kontrol yang sehat [43].

Peran alergi makanan dalam terjadinya AD

Alergi makanan dihubungkan erat dengan terjadinya serta persistensi AD,


terutama selama masa bayi dan kanak-kanak awal. Eigenmann et al. menilai
prevalensi alergi makanan diantara anak dengan AD sedang hingga berat. Setelah
evaluasi meliputi tes makanan oral, 37% pasien tersebut di diagnosa dengan alergi
makanan. Penelitian berikutnya mengkonfirmasi bahwa sejumlah makanan
tertentu dapat menyebabkan gejala klinis pada pasien AD yang berusia lebih
muda. Susu, telur dan kacang secara umum menyebabkan lebih dari 75% reaksi
yang dimediasi oleh IgE. Jika kedelai, gandum, ikan dan tree nut ditambahkan
dalam daftar ini, lebih dari 98% makanan dapat menyebabkan gejala klinis yang
dapat diidentifikasi.

Riwayat medis membantu dalam menetapkan diagnosis pada kasus reaksi


hipersensitivitas tipe langsung dengan onset gejala yang cepat setelah makanan
tertentu selesai dicerna. Masalah diagnosis dapat terjadi dalam reaksi
hipersensitivitas tipe lambat dengan kejadian efek samping dari makanan yang
tidak mudah diidentifikasi dan ketika lingkungan juga mencetuskannya, seperti
alergen, iritan, infeksi yang menimbulkan eksaserbasi penyakit, sehingga
menutupi gejala ketika mengonsumsi makanan tertentu. Sebagai tambahan,
paparan berulang dari alergen makanan menurunkan respon hipersensitivitas tipe
cepat, dengan demikian membuat hubungan sebab-akibat menjadi lebih sulit
untuk diidentifikasi. Untuk bayi yang masih menyusu, riwayat diet maternal dapat
membantu karena pasase protein makanan ke ASI [44].

Pendekatan diagnostik umum terbaik adalah menskrining anak dengan AD sedang


hingga berat untuk sensitivitasnya terhadap telur, susu, kacang, kedelai, gandum,
ikan dan tree nuts (kenari, mende, kemiri) dengan menggunakan tes tusuk kulit
atau RAST dengan tes tambahan untuk makanan yang dicurigai yang diperoleh
dari riwayat atau diberitahukan oleh pasien [44,45]. Antibodi IgE spesifik, tes
tusuk, dan riwayat terkadang tidak berhubungan dengan temuan klinis. Oleh
karena itu, diperlukan tes makanan untuk menunjukkan relevansi klinis terhadap
temuan. Kulit harus dinilai dengan menetapkan skor eksim sebelum tes makanan,
24 jam setelah dan seterusnya karena jika tidak dilakukan maka perburukan eksim
akan luput [46].

Indeks SCORAD (Scoring Atopic Dermatitis Index) merupakan alat klinis yang
paling sering digunakan untuk menilai perluasan dan keparahan eksim (Tabel 2)
(Gambar 1 dan 2) [47]. Skor SCORAD objektif dapat digunakan untuk
menetapkan tingkat keparahan dermatitis atopik menjadi 3 kategori: ringan
(SCORAD objektif <15), sedang (SCORAD objektif: 15-40) dan berat (SCORAD
objektif >40).
Manajemen

Algoritma klinis untuk manajemen AD ringan-sedang dan berat ditampilkan pada


Gambar 3 dan 4 [48].
Pengobatan Topikal

Hidrasi kutaneus

Pasien dengan AD mengalami penurunan fungsi barrier kulit yang nyata


berhubungan dengan menurunnya kadar ceramide dan meningkatnya kehilangan
air transepidermal. Hal ini mengakibatkan timbulnya kulit kering (xerosis) yang
berkontribusi terhadap morbiditas penyakit dengan terjadinya mikrofisura dan
retakan, yang dapat menjadi portal masuknya patogen kulit, iritan dan alergen.
Lukewarm soathing bath selama setidaknya 20 menit, diikuti dengan aplikasi
salep oklusif untuk menjaga kelembapan dapat memberikan pasien perbaikan
gejala yang sangat baik. Penggunaan salep efektif dikombinasikan dengan terapi
hidrasi akan membantu menjaga dan mengembalikan barrier stratum korneum
[49,50].
Steroid topikal

Kortikosteroid dan inhibitor calcineurin topikal digunakan sebagai agen


antiinflamasi. Potensi steroid dapat berbeda tidak hanya berdasarkan bahan aktif
obat namun juga zat pembawanya yang diformulasikan. Konsentrasi steroid
topikal dianggap lebih poten dalam bentuk salep dibandingkan krim. Klasifikasi
kortikosteroid topikal berdasarkan potensi ditampilkan dalam Tabel 3 [51,52].

Glukokortikoid merupakan pilihan pertama dari pengobatan antiinflamasi selama


lebih dari 50 tahun. Karena potensi efek samping, sebagian besar dokter
menggunakan glukokortikoid topikal untuk mengontrol eksaserbasi akut AD.
Namun, penelitian menunjukkan bahwa sekali kontrol AD diperoleh dengan
regimen glukokortikoid topikal harian, kontrol jangka panjang dapat diperoleh
dengan aplikasi fluticasone topikal dua kali seminggu pada area yang sudah
sembuh namun rentan terjadi eksim [53].

Pasien harus diinstruksikan secara hati-hati dalam penggunaan glukokortikoid


topikal untuk menghindari efek samping. Glukokortikoid topikal harus dioleskan
pada lesi kulit dan pelembab harus digunakan pada kulit yang tidak terkena.
Karena potensi efek sampingnya, glokokortikoid dengan potensi sangat tinggi
hanya boleh digunakan dalam periode singkat dan pada area yang mengalami
likenifikasi, namun tidak pada area wajah dan intertriginosa. Tujuan dari
penggunaan pelembab adalah untuk meningkatkan hidrasi kulit dan terapi
maintenis glukokortikoid potensi rendah.
Efek samping dari glukokortikoid topikal dapat dibagi menjadi lokal dan sistemik.
Efek samping local meliputi timbulnya striae dan atrofi kulit, sedangkan efek
samping sistemik berasal dari supresi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal [48].

Inhibitor calcineurin topikal

Inhibitor calcineurin (tacrolimus dan pimecrolimus) secara sukses digunakan


dalam pengobatan AD. Pimecrolimus menghambat produksi sitokin Th1 dan Th2,
menurunkan kapasitas antigen-presenting dari DC, sel mast dan basofil. Krim
pimecrolimus telah disetujui oleh FDA untuk penggunaan jangka pendek dan
penggunaan jangka panjang intermiten pada AD ringan-sedang berusia 2 tahun
dan lebih [54].

Tacrolimus yang diaplikasikan secara topikal, inhibitor calcineurin yang bertindak


dengan mengikat FK binding protein, menghambat aktivasi sejumlah sel kunci
yang terlibat dalam AD, meliputi sel T, LC, sel mast dan keratinosit. Salep
tacrolimus telah disetujui oelh FDA untuk penggunaan jangka pendek dan
penggunaan jangka panjang intermiten pada AD sedang-berat untuk anak berusia
2-15 tahun dan dewasa. Tidak seperti glukokortikoid topikal, salep tacrolimus
tidak menyebabkan atrofi kutan dan dapat digunakan secara aman untuk eksim di
wajah dan kelopak mata. Sensasi terbakar yang lokal merupakan kejadian efek
samping yang sering ditemukan [55].

Pengobatan eksim atopik harus berdasarkan “stepped-care plan” dimana


pengobatan ditingkatkan atau diturunkan berdasarkan penilaian keadaan kulit
anak oleh dokter (Tabel 4) [56]. Pasien yang diresepkan steroid atau inhibitor
calcineurin diajarkan untuk menggunakan Fingertip Units (FTU) untuk mengukur
jumlah obat yang diperlukan untuk dioles di bagian tubuh yang berbeda.
Fingertip unit ditetapkan sebagai jumlah salep, krim atau bentuk dosis semi-solid
yang dikeluarkan dari tabung dengan diameter 5 mm, diaplikasikan dari ujung
distal lipatan kulit hingga ke ujung jari tengah pada dewasa. FTU khususnya
berguna untuk konseling pasien mengenai jumlah agen antiinflamasi topikal yang
harus diberikan untuk meminimalisir efek samping yang berhubungan dengan
penggunaannya. Jumlah agen antiinflamasi topikal dalam FTU yang harus
diaplikasikan berdasarkan umur anak ditampilkan pada Gambar 5 [56].

Terapi Sistemik

Glukokortikoid sistemik

Penggunaan glukokortikoid sistemik, seperti prednisone oral, jarang diindikasikan


untuk pengobatan AD kronik. Perbaikan klinis yang dramatis yang dapat terjadi
dengan glukokortikoid sistemik seringkali berhubungan dengan kambuhan AD
ulang yang berat akibat penghentian glukokortikoid sistemik. Rangkaian pendek
dari glukokortikoid oral cukup untuk eksaserbasi akut dari AD sedangkan
pengukuran pengobatan lainnya masih diteliti. Jika diberikan serangkaian pendek
glukokortikoid oral, penting untuk menurunkan dosis secara bertahap dan
memulai perawatan kulit yang intens, terutama dengan glukokortikoid topikal dan
sering mandi diikuti dengan aplikasi salep yang bertujuan untuk mencegah
kekambuhan AD [48].

Imunoglobulin intravena

Imunoglobulin intravena dilaporkan dapat menurunkan inflamasi kulit pada


pasien dengan AD refrakter, namun bersifat singkat, yaitu efeknya hilang dalam 3
minggu. Oleh karena itu, penting untuk menggiatkan perawatan kulit lokal
sebagai kombinasi terapi alternatif tersebut [57].

Interferon-γ

Interferon-γ diketahui menekan respon IgE dan menurunkan regulasi proliferasi


dan fungsi sel Th2. Penurunan keparahan klinis AD berhubungan dengan
kemampuan INF-γ untuk menurunkan jumlah eosinofil total yang bersirkulasi
[48].

Siklosporin

Siklosporin merupakan obat imunosupresif poten yang beraksi secara primer di


sel T dengan menekan transkripsi sitokin. Beberapa penelitian telah menunjukkan
bahwa pasien dengan AD berat, refrakter dengan pengobatan konvensional, dapat
membaik dengan pengobatan siklosporin jangka pendek. Namun, penghentian
pengobatan secara umum mengakibatkan relaps yang cepat dari penyakit kulit.
Peningkatan kreatinin serum atau gangguan ginjal yang lebih signifikan dan
hipertensi merupakan efek samping spesifik ketika siklosporin digunakan.

Meskipun infestasi viral dan jamur memiliki peningkatan kecenderungan untuk


terjadi pada lesi kulit AD, penyebab tersering dari eksaserbasi adalah kolonisasi
lesi kulit AD oleh S. aureus. Kombinasi antibiotik topikal atau sistemik dan
kortikosteroid topikal menimbulkan penurunan keparahan penyakit kulit
dibandingkan jika hanya kortikosteroid topikal saja [48].

Aspek umum dari manajemen AD

Pengukuran umum meliputi menghindari sabun basa yang harus diganti dengan
yang bersifat normal atau asam, serta menghindari faktor pencetus, seperti iritan
(misal deterjen), alergen, mikroorganisme patogenik dan stress.

Pada kasus eksim sedang atau berat, penggunaan pembersih antimikrobial dua kali
seminggu akan mengurangi peningkatan kolonisasi mikrobial dan berkontribusi
penting dalam mengontrol eksaserbasi [56].

Pelembab

Ketika telah ditegakkan diagnosis pasti, maka harus diresepkan dalam jumlah
yang besar. Pada bayi dapat diganti dengan sabun atau shampoo.

Steroid topikal

Pasien harus diajari untuk menggunakan steroid potensi ringan untuk wajah dan
leher. Namun, terdapat pengecualian pada keadaan kekambuhan yang berat yang
dapat diberikan steroid potensi sedang dalam jangka pendek (3-5 hari). Steroid
dengan potensi sedang atau kortikosteroid poten hanya diindikasikan dalam
periode yang pendek (7-14 hari) untuk kekambuhan pada daerah yang rentan
seperti aksila dan pangkal paha. Jika steroid topikal ringan atau sedang tidak dapat
mengontrol eksim dalam 7-14 hari, maka harus dipertimbangkan adanya infeksi
bakteri atau viral sekunder. Jika steroid poten gagal untuk memberikan efek dalam
waktu dekat maka anak harus dirujuk ke spesialis kulit [56].

Antihistamin

Antihistamin non-sedasi dapat digunakan selama sebulan pada anak dengan eksim
berat atau pada anak dengan eksim ringan/sedang yang mengeluh akibat rasa gatal
yang berat atau urtikaria. Jika percobaan berhasil maka harus dilanjutkan. Dapat
digunakan rangkaian antihistamin dengan sedasi selama 1-2 minggu untuk
kekambuhan akut dermatitis, dimana terjadi gangguan tidur anak [56].

Infeksi

Orangtua harus diberi informasi mengenai bagaimana mengenali kekambuhan dan


memulai pengobatan untuk kekambuhan; Tanda atau gejala seperti menangis,
iritabilitas, gelembung pada kulit, atau perburukan ruam yang terjadi mendadak
dapat mengindikasikan terjadinya eksaserbasi AD.

Kultur kulit harus diperoleh jika ada kecurigaan infeksi kulit selain S. aureus yang
mungkin resisten terhadap antibiotik. Infeksi yang terlokalisir dapat diterapi
dengan menggunakan antibiotik topikal sebagai monoterapi atau kombinasi
dengan steroid topikal, sedangkan infeksi kulit yang luas dapat diterapi dengan
menggunakan regimen antibiotik sistemik.

Pada seluruh kasus eksaserbasi eksim berat, dapat dipertimbangkan infeksi akibat
herpes simpleks yaitu eksim herpeticum. Jika ya, maka harus dipertimbangkan
rujukan segera untuk pendapat dermatologis segera dan harus segera diresepkan
asiklovir sistemik. Jika ruam melibatkan kulit disekitar mata, profilaksis asiklovir
okular juga harus diresepkan dan dipertimbangkan untuk rujuk segera ke spesialis
mata [56].

Rujukan ke spesialis kulit

Rujukan segera ke spesialis kulit harus dilakukan ketika dicurigai eksim


herpeticum. Rujukan segera ke dermatologis dalam 2 minggu juga diperlukan bila
eksim berat dan gagal untuk berespon terhadap terapi topikal atau pengobatan
infeksi bakteri telah gagal.

Rujukan rutin harus dilakukan jika diagnosa masih belum pasti, pengobatan
standar tidak dapat mengontrol eksim, dicurigai dermatitis kontak, infeksi rekuren
dari eksim dan jika eksim anak menyebabkan masalah sosial dan psikologis yang
signifikan. Gambar 4 menunjukkan algortima klinis untuk diagnosis dan
manajemen AD [56].

Terapi Alternatif

Fototerapi

Ultraviolet B berkas luas, ultraviolet A berkas luas, ultraviolet B berkas sempit


(311 nm), UVA-1 (340-400 nm) dan kombinasi fototerapi UVAB dapat menjadi
terpai tambahan untuk AD. Melalui fototerapi, sel epidermal IgE binding, seperti
mastosit, sel dendritic dan sel Langerhan mengalami penurunan yang signifikan.

Efek samping jangka pendek dari fototerapi dapat meliputi eritema, nyeri kulit,
pruritus dan pigmentasi; efek samping jangka panjang meliputi penuaan kulit
prematur dan malignansi kutaneus. Fototerapi dapat dipertimbangkan ketika
intervensi terapeutik lainnya gagal atau tidak layak atau jika kualitas hidup pasien
menurun secara signifikan [48,58].

Bakteri probiotik dan serat prebiotic

Beberapa penelitian telah menyelidiki efek probiotik dan prebiotic terhadap


pencegahan dan pengobatan AD. Beberapa penelitian terkontrol double blind
placebo telah menyelidiki efek probiotik dan prebiotik secara sendiri maupun
kombinasi untuk pengobatan AD. Beberapa penelitian menunjukkan penurunan
skor SCORAD yang signifikan pada kelompok intervensi, sedangkan yang lain
tidak menemukan adanya efek positif yang signifikan pada skor SCORAD [59].
Penelitian lainnya meneliti efek prebiotik terhadap terjadinya AD menunjukkan
bahwa insidensi AD selama periode penelitian secara signifikan lebih rendah pada
kelompok intervensi dibandingkan kelompok placebo, serta insidensi kumulatif
dari bersin rekuren dan urtikaria alergi [60].

Tinjauan pada tahun 2011 mengenai efek imunomodulator probiotik dan prebiotik
untuk mencegah AD melaporkan bahwa penggunaan suplemen probiotik dan
prebiotik formula whey hydrolysate tidak mengurangi penyakit atopik, seperti
AD, pada anak dan memerlukan penelitian lebih lanjut yang bertujuan untuk
menentukan kelanjutan intervensi untuk pencegahan alergi [61]. Tinjauan terbaru
melaporkan bahwa literatur mengenai penggunaan pro- dan prebiotik untuk
mencegah AD dihambat oleh heterogenitas yang signifikan pada metodologi
penelitian khususnya pada penggunaan strain yang berbeda, kombinasi, dosis
organisme dan marker respon, yang membuat sangat sulit untuk membandingkan
penelitian dan metaanalisis secara langsung [62]. Sebagai hasilnya, World Allergy
Organization dalam naskah terbaru, dengan hati-hati mengusulkan bahwa masih
diperlukan penelitian lebih lanjut, sebelum pre- dan/atau probiotik dapat
direkomendasikan secara rutin serta dianggap efektif untuk mencegah AD [63].

Imunoterapi omalizumab

Penelitian yang menyelidiki efikasi omalizumab untuk AD sedang-berat pada


pada populasi target yang terdiri dari 20 orang dewasa mengidentifikasikan bahwa
hanya sekelompok pasien yang mendapatkan manfaat dari pengobatan
omalizumab. Semua responder adalah karier mutasi non-fillagrin
mengindikasikan bahwa pasien dengan defisiensi barrier kulit primer kurang
dapat mendapatkan manfaat dari terapi imunomodulator dengan anti-IgE. Namun
diperlukan penelitian terkontrol yang lebih luas untuk memvalidasi asumsi
tersebut [64].

Imunoterapi spesifik alergen untuk AD

Imunoterapi spesifik-alergen (alergen-SIT) merupakan satu-satunya pengobatan


yang langsung kepada penyebab penyakit IgE-mediated. Efek SIT untuk pasien
dengan dermatitis atopik telah diteliti dengan Penelitian Acak Terkontrol (RCT)
dari tinjauan sistematis dan metaanalisis. Total 219 pasien diikutsertakan dalam
kelompok SIT dan 166 pasien pada kelompok kontrol. Hasil menunjukkan bahwa
SIT memiliki efek positif yang signifikan untuk AD pada semua 8 RCT yang
dianalisis. Meskipun temuan sebelumnya berdasarkan pada analisis sejumlah kecil
RCT, dengan mempertimbangkan heterogenitas antar penelitian, tinjauan tersebut
membantu dokter dengan bukti yang diperlukan untuk mempertimbangkan
alergen-SIT untuk pasien dengan AD, khususnya pada pasien dengan penyakit
tidak terkontrol yang berat [65].

Prognosis

Penelitian kohort yang besar dengan prospektif longitudinal dari lebih 7000 anak
dengan AD ringan hingga sedang, dengan follow up selama 5 tahun, dilaporkan
sedikitnya angka resolusi. Remisi terjadi pada hampir 15% populasi. Adalah hal
yang mungkin bahwa AD tidak benar-benar sembuh pada sebagian besar anak
dengan AD ringan hingga sedang. Dokter yang menangani anak dengan AD
ringan hingga sedang harus memberitahu anak dan walinya bahwa AD merupakan
penyakit seumur hidup [66,67].
DAFTAR PUSTAKA

1. Leung DY, Bieber T (2003) Atopic dermatitis. Lancet 361: 151-160.


2. Finlay AY (2001) Quality of life in atopic dermatitis. J Am Acad
Dermatol 45:S64-66.
3. Johansson SG, Bieber T, Dahl R, Friedmann PS, Lanier BQ, et al. (2004)
Revised nomenclature for allergy for global use: Report of the
Nomenclature Review Committee of the World Allergy Organization,
October 2003. J Allergy Clin Immunol 113: 832-836.
4. Sánchez J, Páez B, Macías a Olmos C, de Falco a (2014) Atopic dermatitis
guideline. Position paper from the Latin American Society of Allergy,
Asthma and Immunology. Revista Alergia Mexico (Tecamachalco,
Puebla, Mexico: 1993), 613: 178-211.
5. Schultz Larsen F, Hanifin JM (2002) Epidemiology of atopic dermatitis.
Immunol Allergy Clin North Am 22: 1-24
6. Flohr C, Mann J (2014) New insights into the epidemiology of childhood
atopic dermatitis. Allergy 69: 3-16.
7. Forrest S, Dunn K, Elliott K, Fitzpatrick E, Fullerton J, et al. (1999)
Identifying genes predisposing to atopic eczema. J Allergy Clin Immunol
104: 1066-1070.
8. Leung DY, Boguniewicz M, Howell MD, Nomura I, Hamid QA (2004)
New insights into atopic dermatitis. J Clin Invest 113: 651-657.
9. Mao XQ, Shirakawa T, Yoshikawa T, Yoshikawa K, Kawai M, et al.
(1996) Association between genetic variants of mast-cell chymase and
eczema. Lancet 348: 581-583.
10. Arkwright PD, Chase JM, Babbage S, Pravica V, David TJ, et al. (2001)
Atopic dermatitis is associated with a low-producer transforming growth
factor beta(1) cytokine genotype. J Allergy Clin Immunol 108: 281-284.
11. Turner JD, Schwartz RA (2006) Atopic dermatitis. A clinical challenge.
Acta Dermatovenerol Alp Pannonica Adriat 15: 59-68.
12. Cookson WO, Ubhi B, Lawrence R, Abecasis GR, Walley AJ, et al.
(2001) Genetic linkage of childhood atopic dermatitis to psoriasis
susceptibility loci. Nat Genet 27: 372-373.
13. Cookson WO, Moffatt MF (2002) The genetics of atopic dermatitis. Curr
Opin Allergy Clin Immunol 2: 383-387.
14. Palmer CN, Irvine AD, Terron-Kwiatkowski A, Zhao Y, Liao H, et al.
(2006) Common loss-of-function variants of the epidermal barrier protein
filaggrin are a major predisposing factor for atopic dermatitis. Nat Genet
38: 441-446.
15. Wollenberg A, Feichtner K (2013) Atopic dermatitis and skin allergies –
update and outlook. Allergy 68: 1509-1519.
16. Ahmad-Nejad P, Mrabet-Dahbi S, Breuer K, Klotz M, Werfel T, et al.
(2004) The toll-like receptor 2 R753Q polymorphism defines a subgroup
of patients with atopic dermatitis having severe phenotype. J Allergy Clin
Immunol 113: 565-567.
17. Miller LS, O'Connell RM, Gutierrez MA, Pietras EM, Shahangian A, et al.
(2006) MyD88 mediates neutrophil recruitment initiated by IL-1R but not
TLR2 activation in immunity against Staphylococcus aureus. Immunity
24: 79-91.
18. Rothenbacher D, Weyermann M, Beermann C, Brenner H (2005)
Breastfeeding, soluble CD14 concentration in breast milk and risk of
atopic dermatitis and asthma in early childhood: birth cohort study. Clin
Exp Allergy 35: 1014-1021.
19. Rieg S, Steffen H, Seeber S, Humeny A, Kalbacher H (2005) Deficiency
of dermcidin-derived antimicrobial peptides in sweat of patients with
atopic dermatitis correlates with an impaired innate defense of human skin
in vivo. J Immunol 174: 8003-8010.
20. Mrowietz U, Konter U, Traut R, Schröder JM, Christophers E (1988)
Atopic dermatitis: influence of bacterial infections on human monocyte
and neutrophil granulocyte functional activities. J Allergy Clin Immunol
82: 1027-1036.
21. Higashi N, Gesser B, Kawana S, Thestrup-Pedersen K (2001) Expression
of IL- 18 mRNA and secretion of IL-18 are reduced in monocytes from
patients with atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 108: 607-614.
22. Hanifin JM, Chan SC, Cheng JB, Tofte SJ, Henderson WR Jr, et al. (1996)
Type 4 phosphodiesterase inhibitors have clinical and in vitro anti-
inflammatory effects in atopic dermatitis. J Invest Dermatol 107: 51-56.
23. Jirapongsananuruk O, Hofer MF, Trumble AE, Norris DA, Leung DY
(1998) Enhanced expression of B7.2 (CD86) in patients with atopic
dermatitis: a potential role in the modulation of IgE synthesis. J Immunol
160: 4622-4627.
24. Boguniewicz M, Leung DY (2006) 10. Atopic dermatitis. J Allergy Clin
Immunol 117: S475-480.
25. Hamid Q, Naseer T, Minshall EM, Song YL, Boguniewicz M, et al. (1996)
In vivo expression of IL-12 and IL-13 in atopic dermatitis. J Allergy Clin
Immunol 98: 225-231.
26. Trautmann A, Akdis M, Schmid-Grendelmeier P, Disch R, Bröcker EB, et
al. (2001) Targeting keratinocyte apoptosis in the treatment of atopic
dermatitis and allergic contact dermatitis. J Allergy Clin Immunol 108:
839-846.
27. von Bubnoff D, Geiger E, Bieber T (2001) Antigen-presenting cells in
allergy. J Allergy Clin Immunol 108: 329-339.
28. Ohki O, Yokozeki H, Katayama I, Umeda T, Azuma M, et al. (1997)
Functional CD86 (B7-2/B70) is predominantly expressed on Langerhans
cells in atopic dermatitis. Br J Dermatol 136: 838-845.
29. Schuller E, Teichmann B, Haberstok J, Moderer M, Bieber T, et al. (2001)
In situ expression of the costimulatory molecules CD80 and CD86 on
langerhans cells and inflammatory dendritic epidermal cells (IDEC) in
atopic dermatitis. Arch Dermatol Res 293: 448-454.
30. Laberge S, Ghaffar O, Boguniewicz M, Center DM, Leung DY, et al.
(1998) Association of increased CD4+ T-cell infiltration with increased
IL-16 gene expression in atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 102:
645-650.
31. Reich K, Hugo S, Middel P, Blaschke V, Heine A, et al. (2002) Evidence
for a role of Langerhans cell-derived IL-16 in atopic dermatitis. J Allergy
Clin Immunol 109: 681-687.
32. Taha RA, Minshall EM, Leung DY, Boguniewicz M, Luster A, et al.
(2000) Evidence for increased expression of eotaxin and monocyte
chemotactic protein-4 in atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 105:
1002-1007.
33. Morita E, Kameyoshi Y, Hiragun T, Mihara S, Yamamoto S (2001) The
C-C chemokines, RANTES and eotaxin, in atopic dermatitis. Allergy 56:
194-195.
34. Morales J, Homey B, Vicari AP, Hudak S, Oldham E, et al. (1999)
CTACK, a skin-associated chemokine that preferentially attracts skin-
homing memory T cells. Proc Natl Acad Sci U S A 96: 14470-14475.
35. Yawalkar N, Uguccioni M, Schärer J, Braunwalder J, Karlen S, et al.
(1999) Enhanced expression of eotaxin and CCR3 in atopic dermatitis. J
Invest Dermatol 113: 43-48.
36. Bratton DL, Hamid Q, Boguniewicz M, Doherty DE, Kailey JM, et al.
(1995) Granulocyte macrophage colony-stimulating factor contributes to
enhanced Mmonocyte survival in chronic atopic dermatitis. J Clin Invest
95: 211-218.
37. Giustizieri ML, Mascia F, Frezzolini A, De Pità O, Chinni LM, et al.
(2001) Keratinocytes from patients with atopic dermatitis and psoriasis
show a distinct chemokine production profile in response to T cell-derived
cytokines. J Allergy Clin Immunol 107: 871-877.
38. Eichenfield LF, Tom WL, Chamlin SL, Feldman SR, Hanifin JM, et al.
(2014) Guidelines of care for the management of atopic dermatitis: section
1. Diagnosis and assessment of atopic dermatitis. J Am Acad Dermatol 70:
338-351.
39. Leung D (2003) Atopic Dermatitis in Pediatric Allergy: Principles and
Practice. Mosby. St. Louis pp: 561-573
40. Breuer K, Wittmann M, Bösche B, Kapp A, Werfel T (2000) Severe atopic
dermatitis is associated with sensitization to staphylococcal enterotoxin B
(SEB). Allergy 55: 551-555.
41. Wollenberg A, Wetzel S, Burgdorf WH, Haas J (2003) Viral infections in
atopic dermatitis: pathogenic aspects and clinical management. J Allergy
Clin Immunol 112: 667-674.
42. Johansson C, Sandström MH, Bartosik J, Särnhult T, Christiansen J, et al.
(2003) Atopy patch test reactions to Malassezia allergens differentiate
subgroups of atopic dermatitis patients. Br J Dermatol 148: 479-488.
43. Arzumanyan VG, Magarshak OO, Semenov BF (2000) Yeast fungi in
patients with allergic diseases: species variety and sensitivity to antifungal
drugs. Bull Exp Biol Med 129: 601-604.
44. Jones SM, Wesley Burks (2003) Atopic Dermatitis and Food
Hypersensitivity in Pediatric Allergy: Principles and Practice Mosby, St.
Louis, Inc pp 538-545
45. Krakowski AC, Eichenfield LF, Dohil MA (2008) Management of atopic
dermatitis in the pediatric population. Pediatrics 122: 812-824.
46. Werfel T, Ballmer-Weber B, Eigenmann PA, Niggemann B, Rancé F, et
al. (2007) Eczematous reactions to food in atopic eczema: position paper
of the EAACI and GA2LEN. Allergy 62: 723-728.
47. The European Task Force on Atopic Dermatitis (1993). Severity scoring
of atopic dermatitis: the SCORAD index. Consensus Report of the
European Task Force on Atopic Dermatitis. Dermatology 186: 23-31.
48. Boguniewicz M, Leung D (2010) Management of atopic dermatitis in
Pediatric Allergy: Principles and Practice 2nd edition. Elsevier Saunders,
Philadelphia pp: 564-574.
49. Elias PM (2008) Barrier repair trumps immunology in the pathogenesis
and therapy of atopic dermatitis. Drug Discov Today Dis Mech 5: e33-
33e38.
50. Vickery BP (2007) Skin barrier function in atopic dermatitis. Curr Opin
Pediatr 19: 89-93.
51. Simon C (2008) Childhood atopic eczema. InnovAiT 1: 423-429.
52. Wolter S, Price HN (2014) Atopic dermatitis. Pediatr Clin North Am 61:
241- 260.
53. Van Der Meer JB, Glazenburg EJ, Mulder PG, Eggink HF, Coenraads PJ
(1999) The management of moderate to severe atopic dermatitis in adults
with topical fluticasone propionate. The Netherlands Adult Atopic
DermatitisStudy Group. Br J Dermatol 140: 1114-1121.
54. Zuberbier T, Chong SU, Grunow K, Guhl S, Welker P (2001) The
ascomycin macrolactam pimecrolimus (Elidel, SDZ ASM 981) is a potent
inhibitor of mediator release from human dermal mast cells and peripheral
blood basophils, Allergy Clin Immunol 108: 275-280.
55. Reitamo S (2001) Tacrolimus: a new topical immunomodulatory therapy
for atopic dermatitis. J Allergy Clin Immunol 107: 445-448.
56. National Institute for Clinical Excellence (2007) Atopic eczema in
children: management of atopic eczema in children from birth up to age of
12 years. NICE Clinical Guidelines.
57. Jolles S (2002) A review of high-dose intravenous immunoglobulin
treatment for atopic dermatitis. Clin Exp Dermatol 27: 3-7.
58. Darné S, Leech SN, Taylor AE (2014) Narrowband ultraviolet B
phototherapy in children with moderate-to-severe eczema: a comparative
cohort study. Br J Dermatol 170: 150-156.
59. van der Aa LB, Heymans HS, van Aalderen WM, Sprikkelman AB (2010)
Probiotics and prebiotics in atopic dermatitis: review of the theoretical
background and clinical evidence. Pediatr Allergy Immunol 21: e355-367.
60. Arslanoglu S, Moro GE, Schmitt J, Tandoi L, Rizzardi S, et al. (2008)
Early dietary intervention with a mixture of prebiotic oligosaccharides
reduces the incidence of allergic manifestations and infections during the
first two years of life. J Nutr 138: 1091-1095.
61. Mavroudi A, Xinias I (2011) Dietary interventions for primary allergy
prevention in infants. Hippokratia 15: 216-222.
62. Flohr C, Mann J (2014) New approaches to the prevention of childhood
atopic dermatitis. Allergy 69: 56-61.
63. Fiocchi A, Burks W, Bahna SL, Bielory L, Boyle RJ, et al. (2012)
Clinical Use of Probiotics in Pediatric Allergy (CUPPA): A World Allergy
Organization Position Paper. World Allergy Organ J 5: 148-167.
64. Hotze M, Baurecht H, Rodríguez E, Chapman-Rothe N, Ollert M, et al.
(2014) Increased efficacy of omalizumab in atopic dermatitis patients with
wild-type filaggrin status and higher serum levels of phosphatidylcholines.
Allergy 69: 132-135.
65. Bae JM, Choi YY, Park CO, Chung KY, Lee KH (2013) Efficacy of
allergenspecific immunotherapy for atopic dermatitis: a systematic review
and metaanalysis of randomized controlled trials. J Allergy Clin Immunol
132: 110-117.
66. Margolis JS, Abuabara K, Bilker W, Hoffstad O, Margolis DJ (2014)
Persistence of Mild to Moderate Atopic Dermatitis. JAMA Dermatology
1-8.
67. Michael Lee (1998) The role of corticosteroids in dermatology. Aust
Prescr 21: 9-11.

Anda mungkin juga menyukai