Anda di halaman 1dari 5

Nama : Desi Fitriyani

NIM : B011181419

Gerakan Aceh Merdeka merupakan belligerent karena memenuhi syarat-syarat


sehingga disebut beliigerent.

1. terorganisasi secara jelas dan teratur di bawah kepemimpinan yang jelas.

Gerakan Aceh Merdeka adalah sebuah organisasi separatis yang


memiliki tujuan supaya Aceh lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bentuknya telah terorganisasi yang dipimpin oleh DR. Teungku Hasan
Muhammmad di Tiro. L.L.D., Ph.D. tidak hanya memiliki pemimpin, tetapi
juga memiliki perdana menteri seperti Dr. Muchtar Hasbi (pPerdana MEnteri
Pertama GAM), Teungku Ilyas Leube (Perdana Menteri Gam 1980-1982),
dan Malik Mahmud (Perdana MEnteri terakhir)

2. Harus menggunakan tanda pengenal yang jelas yang menujukan


identoitas.

Identitas secara harfiah adalah Identitas (identity) secara harfiah


berarti ciri-ciri, tanda tanda atau jatidiri yang melekat pada seseorang atau
sesuatu yang membedakannya dengan yang lain.1 Bendera salah satu yang
dapat menunjukan suatu identitas entitas suatu kelompok atau negara. GAM
memiliki bendera sebagai tanda pengenalnya.

(Gambar Bendera GAM)

(sumberhttps://www.google.com/search?
q=bendera+gam&safe=strict&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwjcjtuTivrkAhVKX30KHdzPDaMQ_A
UIESgB&biw=1920&bih=937#imgrc=d8UmCacClLhjdM:, diakses pada tanggal 1 Oktober 2019, pukul 11.08)

3. Harus sudah menguasai secara efektif sebagian wilayah sehingga wilayah


tersebut benar-benar di bawah kekuasaanya.
1
Dwi Sulisworo, Wahyuningsih, dan Baehaqi Arif. “ Identitas NAsional “, 2012, hlm 4.
Hal ini dapat di buktikan dengan adanya Panglima Wilayah di wilayah
yang dikuasai

GAM yaitu :

1. Ishak Daud : Panglima GAM wilayah Peureulak


2. Fauzan Azima : Panglima GAM wilayah Linge
3. Mauzakir Manaf : Panglima GAM wilayah Pasee
4. Darwis Jeunib : Panglima GAM wilayahg BAtee il;like
5. Tgk ZAmzani Abdulrani S.sos : Panglima GAM wilayah Meuyreuhom
DSaya
6. Teungku Abdul Muthalib :Panglima GAM wilayah MEureuhom Daya
7. Sarjani Abdullah : PAnglima GAM wilayah Pidie
8. Kamaruddin Abubakar : Komandan Operasi Negara
9. Roni Ahmad : Panglima Muda Wilatyah Pidie
10. Teungku Jauhari : Panglima GAM Wilayah Meulaboh
11. Teungku Samsul Bahri : Panglima Wilayah Meul;aboh
12. Tgk. Dahlan : KOmanan Operasi GAM Wilayah Meulaboh
13. Husaini : Panglima Wilayah Batee Iliek

4. Harus mendapat dukungan dari rakyat di wilayah yang didudukinya

Setelah bergulirnya dan tumbangnya pemerintahan orde baru, pemerintah


Gusdur dan Megawati mengakui gerakan peralawanan bersenjata di Aceh sebagai
instrugent (pihak pemberontak ayang dulunya disebut GPK dengan mengakuinya
sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pengakuan GAM sebagai
Instrugentmerupakan penghormatan dan jaminan pemerintah Indonesia terhadap
berlakunya perlindungan pihak pemberontak melalui konvensi Janewa 1949, dalam
konflik bersenjata non internasional. Dengan demikian GAM diakui sebagai
kelompok bersenjata yang boleh melakukan penyerangan dan boleh dijadkan sasaran
serangan dalam konflik bersenjata non internasional, (siebut kombatandalam konflik
bersenjata internasional).

1. Pada masa pemerintahan Gus Dur dan Megawati, mengakui Gerakan


Aceh MErdeka sebagai instugent (pihak pemberontak)
2. Tindak lanjut dari hal tersebut maka, pemerintahan Indonesia
membuat perjanjian “Jeda Kemanusiaan” yang ditandatangai di
Janewa, anatara pihak GAM dan PEmerintah.
3. Jeda Kemanusiaan tidak dapat dikatakan adanya pengakuan dari
pemerintah secara de jure sehingga GAM dikatakan sebagai
belligerent. Hal tersebut didasarkan pada Pasal 3 ayat (2) alinea II
yang berbunyi sebagai berikut :
“…Pelaksanaan ketentuan tersebut diatas, tidak akan mempengaruhi
kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian”
4. Selanjutnya pada masa pemerintahan Megawati, pemerintah Indonesia
menandatangani “kesepakatan damai” (perjanjian damai) dengan
GAM. Tujuannya adalah agar konflik antara Aceh dapat diselesaikan
dan memberikan otonomi khusus bagi aceh untuk menjalankan
syrariat islam dalam di Nanggroe Aceh Darussalam.
5. Dalam konteks hukum internasional, dengan menandatangani
penjanjian damai anatara GAM dengan pemerintah dapat
menimbulkan anggapan bahwa GAM tidak lagi disebut sebagai
Instrugent melainkan mendapatkan pengakuan sebagai Belligerent.
Sehingga dapat dikonstruksikan bahwa kedudukan GAM sejajar
dengan Pemerintah Indonesia.
6. Hal tersebut diperkuat dengan adanya kesepakatan antara pihak
pemerintah dengan GAM karena menetapkan zona yang di
demiliterasi.
7. Karena merupakan bagian dari bangsa Indonesia, maka GAM tidak
dapat menentukan nasibnya sendiri karena berada dalam lingkup
negara yang telah merdeka.
8. Dengan adanya kesepakatan mengenai zona yang di demiliterasi, maka
pemerintah mengakui secara de factowilayah Aceh berada di
kekuasaan GAM, yang merupakan syarat adanya situasi konflik
bersenjata non internasional.
9. Maka kedudukan GAM belum dapat dikatakan sebagai belligerent,
karena perjanjian damai dan kesepakatan zina yang di demiliterasi
yang merupakan syarat yuridis adanya konflik bersenjata
internasional.
10. Untuk menentukan bahwa peralihan Instrugent menjadi belligerent
adalah dengan melihat adanya pengakuan secara de facto dari pihak
III.
11. Pengakuan tersebut diberikan dengan dasar bahwa pihak pemebrontak
ini telah menguasai sebagian wialayah dari suatu negara.

Organisasi Papua Merdeka


Pemberontak merupakan kelompok yang melakukan perlawanan tetapi
dengan mudah dapat diatasi oleh aparat keamanan dari pemerintahan yang sah. Jika
perlawanan yang dilakukan itu meluas secara intensif dan berkepenjangan maka
kelompok tersebut dapat diklasifikasikan sebagai insurgency atau mungkin
belligerency. Namun untuk dapat diakui sebagai insurgency, kelompok tersebut
seharusnya telah:

1. Menguasai bagian wilayah yang cukup banyak;


2. Memperoleh dukungan yang luas dari mayoritas rakyat di wilayah
itu sendiri; dan
3. Harus mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan
kewajiban internasional.
Jika melihat syarat-syarat yang disebutkan di atas, maka sesungguhnya OPM
bisa dikatakan sebagai insurgency, karena merupakan kelompok orang-orang yang
melakukan perlawanan senjata untuk tujuan-tujuan politik (memisahkna diri)
terhadap pemerintahan yang sah. Indonesia sendiri menganggap bahwa OPM
merupakan gangguan internal yang dianggap sebagai masalah dalam negeri Indonesia
yang harus diselesaikan tanpa campur tangan dari negara dan organisasi manapun.
Apabila insurgency itu benar-benar sudah terorganisir dengan baik dan dalam
melakukan perlawanannya itu sudah sesuai dengan hukum perang dan telah
mempunyai suatu wilayah tertentu yang dikuasainya maka kelompok tersebut bisa
dianggap sebagai belligerents tanpa menghiraukan apakah negara induknya mengakui
atau tidak status tersebut. Di dalam hukum internasional tidak ada aturan yang
melarang negara lain untuk membantu sesuatu negara dalam memberantas
pemberontakan terhadap pemerintahnya. Namun jika bantuan itu diberikan terhadap
pemberontak, maka tindakan itu dianggap sebagai suatu intervensi yang tidak sah
(illegitimate intervention).
Jika melihat ketentuan-ketentuan di atas maka OPM sesungguhnya bukan
sekedar pemberontak tetapi juga belum bisa diklasifikasikan sebagai insurgency
apalagi sebagai belligerency. Baik istilah rebel, insurgency maupun belligerency
memang tidak diatur di dalam Konvensi Jenewa 1949 dalam kaitannya dengan
konflik bersenjata yang bukan bersifat internasional (non-international armed
conflict), kecuali disebutkan sebagai “pihak dalam Jika dilihat lebih seksama,
pemberontakan yang dilakukan oleh OPM dan upaya untuk meredam yang dilakukan
oleh TNI sesungguhnya telah merembet dan mengarah kepada peperangan antara dua
pihak yang harus segera diselesaikan. OPM yang awalnya bertujuan untuk
melepaskan diri dari NKRI dengan melakukan pemberontakan-pemberontakan sedikit
melenceng dari tujuan awalnya. Mereka mulai melakukan gerakan-gerakan
terselubung dan melakukan penyusupan untuk melemahkan kekuatan TNI.Perang
yang terjadi antara OPM dan TNI ini sudah seyogyanya harus memperhatikan aturan-
aturan hukum perang, karena kegiatan-kegiatan OPM telah mencapai titik
keberhasilan saat mereka dapat menduduki secara efektif dan membentuk otoritas de
facto di wilayah Papua yang sebelumnya dikuasai penuh oleh pemerintah Indonesia.
Hal ini karena dalam pespektif hukum internasional, OPM dapat diakui sebagai kaum
belligerent (pemberontak) sehingga mampu menjadi subjek dari hukum internasional.

Sumber :
Ikbal, “KEDUDUKAN ORGANISASI PAPUA MERDEKA (OPM) DALAM
PERSPEKTIF HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL”, hlm 208.
Dadang Siswanto, “ Konsep Dasar Perubahan Status Insurgent Menjadi Belligerent
Berkaitan Dengan Perjanjian Damai Antara GAM Dengan Pemerintahan Indonesia”,
Makalah disampaikan dalam diskusi jurusan Hukum Internasional pada tanggal 26
Februari 2003. 2003, hlm 8.

Anda mungkin juga menyukai