Anda di halaman 1dari 12

SYARAT-SYARAT DAN ADAB MUFASIR

UNTUK MENAFSIRKAN AL QUR’AN

I. PENDAHULUAN
Al Qur’an tidak hanya sebuah sumber ilmu, petunjuk dan inspirasi kebenaran
yang tidak pernah kering dan habis, tetapi di saat yang sama, Al Qur’an adalah
sumber segala kebahagiaan sejati. Hanya saja ada sebuah persoalan rumit yang selalu
menjadi sebab kita tidak pernah mendapatkan itu semua: keengganan kita untuk
mengkaji untaian isinya yang diturunkan Allah kepada kita semua. Kita tidak pernah
berhasil benar dalam meraih puncak ilmu, petunjuk dan kebahagiaan, karena kita
lebih sering terasing dari kitab yang mulia ini. Kita tidak pernah benar-benar seperti
yang dikatakan oleh seorang sahabat nabi, “Bacalah Al Qur’an seolah ia baru
diturunkan saat ini untukmu”. Maka tidak mengherankan jika kita pun seperti yang
dikatakan Utsman RA. “Jika saja hati kalian itu suci, maka ia tidak akan pernah
kenyang dan puas dengan Kalamullah”. Kita harus senantiasa dekat dekat dengan al
Qur’an karena al Qur’an akan memberikan petunjuk dan kebahagiaan.1
Al-Quran merupakan kitab suci umat Islam yang menjadi sumber hukum dan
pandangan hidup (way of life) bagi mereka. Kitab ini dijunjung tinggi dan dihormati
oleh setiap muslim di seluruh penjuru dunia selama berabad-abad. Allah Subhânahu
wa Ta‘âla memberikan jaminan untuk memelihara Al-Quran dari segala
penyimpangan hingga hari kiamat.
Allah berfirman,

َ‫إِنَّا نَحْ ُن نَ َّز ْلنَا ال ِّذ ْك َر َوإِنَّا لَهُ لَ َحافِظُون‬


“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya.” (QS Al-Hijr: 9)
Oleh karena itu, Al-Quran yang ada di tangan kita pada hari ini tetap otentik dan
sama dengan Al-Quran yang diturunkan kepada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa
sallam 15 abad yang lampau. Al-Quran yang tetap otentik ini memberikan pengaruh
kekuatan luar biasa kepada umat Islam selama mereka mau berpegang teguh
dengannya. Kenyataan ini sangat dipahami dan disadari oleh musuh-musuh Islam.
William Gladstone, mantan Perdana Menteri Inggris, pada 1882 menyampaikan

1
Pengantar buku berjudul “Pengantar Studi Ilmu Al Qur’an”, Syeikh Manna Al Qattan, Penerjemah:
H. Aunur Rafiq El Mazni, LC,MA. Pustaka Al Kautsar, Jakarta 2004.

1
pidatonya di hadapan parlemen, "Percuma memerangi ummat Islam. Kita tidak akan
mampu menguasainya selama di dada pemuda-pemuda Islam masih bertengger Al-
Quran. Tugas kita adalah mencabut Al-Quran di hati mereka. Dan kita akan menang
menguasai mereka,"
Serangan terhadap Al-Quran pun beramai-ramai dilakukan oleh para
orientalis Barat. Mereka berusaha untuk mengkritisi serta meragukan otentisitas dan
kesakralan Al-Quran. Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristen asal Irak dan guru
besar di Universitas Birmingham Inggris, pada 1927 mengumumkan, “Sudah tiba
saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Quran sebagaimana yang
telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan
kitab-kitab Kristen yang berbahasa Yunani.”2
Kita tentu tidak akan heran jika orang yang melakukan penyerangan terhadap
Al-Quran tersebut berasal dari kalangan Yahudi dan Kristen. Akan tetapi, menjadi
sangat tragis dan ironis jika penyerangan itu juga dilakukan oleh kalangan yang
menyatakan dirinya sebagai muslim.
Ajakan untuk melakukan penafsiran ulang (reinterpretasi) terhadap Al-Quran
semakin sering terdengar. Penafsiran ulang tersebut terutama dilakukan terhadap
ayat-ayat yang dipandang tidak lagi relevan dengan konteks zaman ini atau dapat
menimbulkan problem dengan penganut agama lain. Hal itu sebagaimana dinyatakan
oleh Endar Riyadi mengenai keharusan melakukan interpretasi terhadap teks-teks
keagamaan yang selama ini dipandang dan melahirkan cara pandang yang
membenci, intoleran dan tidak ramah terhadap orang lain agama sebagai salah satu
diantara tiga agenda pokok dalam rangka menampilkan kembali wajah agama
(Islam) yang ramah, toleran, dan inklusif.3
Akan tetapi, yaitu tafsir dan apa itu mufassir? apakah setiap orang memiliki
otoritas untuk menafsirkan Al-Quran? Lantas, siapakah yang memiliki otoritas untuk
menafsirkan Al-Quran dan apa saja yang harus dipenuhi olehnya? Tulisan ini
mencoba untuk menjelaskannya.

2
Arif, Syamsuddin. “Al-Quran, Orientalisme, dan Luxenberg” dalam Jurnal Kajian Islam Al-Insan
Vol. I No. 1 Januari 2005 hal.10. Dinukil dari artikel yang ditulis oleh Mingana dalam Bulletin of
the John Rylands Library (Manchester, 1927) XI: 77.
3
Riyadi, Endar. 2007. Melampaui Pluralisme; Etika Al-Quran tentang Keragaman Agama. Jakarta:
RMBooks. Hal. 14.

2
II. TAFSIR DAN MUFASSIR
1. Tafsir
Secara etimologi tafsir bisa berarti Penjelasan, Pengungkapan, dan
Menjabarkan kata yang samar.
Menurut istilah, tafsir : ilmu yang membahas tentang cara mengungkapkan
lafadh-lafadh Al-Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya,
baik ketika berdiri sendiri atau tersusun, serta makna-makna yang dimungkinkannya
ketika dalam keadaan tersusun.
Menurut Mannâ’ Khalil al-Qattân Mabâhits Fî ‘Ulûm al-Qur`ân, tafsir adalah
ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafal-lafal al-Qur`an, petunjuk-
petunjuknya, hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri maupun ketika tersusun
serta hal-hal yang lain yang melengkapinya.
Menurut Zarqasyi tafsir bermaksud ilmu untuk memahami kitab Allah s.w.t.
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad s.a.w. serta menjelaskan maknanya dan
mengeluarkan hukum-hakam dan pengajaran.4
2. Mufassir
Mufassir adalah orang yang melakukan penafsiran terhadap Al Qur’an.

III. SYARAT-SYARAT MUFASSIR


Menafsirkan Al-Quran merupakan amanah yang sangat berat. Oleh karena
itu, tidak setiap orang memiliki otoritas untuk mengemban amanah tersebut. Siapa
saja yang ingin menafsirkan Al-Quran harus memenuhi syarat-syarat tertentu.
Adanya persyaratan ini merupakan suatu hal yang wajar dalam semua bidang ilmu.
Dalam bidang kedokteran misalnya, seseorang tidak diperkenankan menangani
pasien jika tidak menguasai ilmu kedokteran dengan baik. Bahkan jika ia nekad
membuka praktek dan ternyata pasien malah bertambah sakit, ia akan dituduh
melakukan malpraktek sehingga bisa dituntut ke pengadilan. Demikian juga halnya
dengan tafsir Al-Quran, syarat yang ketat mutlak diperlukan agar tidak terjadi
kesalahan atau kerancuan dalam penafsiran.
Orang selalu menegaskan bahwa “untuk menafsirkan Al-Quran itu harus
memenuhi beberapa syarat. Dan jikalau seseorang itu belum memenuhi syarat-syarat

4
,
http://nayie.blogspot.com/2010/04/pengertian-tafsir.html Saturday, April 3, 2010

3
tersebut, maka ia belum dibenarkan untuk menafsirkan Al-Quran”. Pernyataan
tersebut pada prinsipnya dipandang bukan “sesuatu keputusan yang menjadi syarat
mutlak, tetapi merupakan keputusan yang bersifat pengawasan semata untuk
menjaga sikap yang brutal dari manusia dalam menafsirkan Al-Quran”. Dikatakan
bukan keputusan yang mutlak, karena syarat tersebut bukanlah ketentuan dari Allah
dan Rasul-Nya, melainkan syarat-syarat ketetapan yang dibikin oleh manusia itu
sendiri.
Menurut Ahmad Bazawy Adh-Dhawy, syarat mufassir secara umum terbagi menjadi
dua: aspek pengetahuan dan aspek kepribadian.5
a. Syarat Pertama: Aspek Pengetahuan
Aspek pengetahuan adalah syarat yang berkaitan dengan seperangkat ilmu
yang membantu dan memiliki urgensitas untuk menyingkap suatu hakikat. Tanpa
seperangkat ilmu tersebut, seseorang tidak akan memiliki kapabilitas untuk
menafsirkan Al-Quran karena tidak terpenuhi faktor-faktor yang menjamin dirinya
dapat menyingkap suatu hakikat yang harus dijelaskan. Para ulama memberikan
istilah untuk aspek pengetahuan ini dengan syarat-syarat seorang alim.
b. Syarat Kedua: Aspek Kepribadian
Adapun syarat kedua yang harus terpenuhi pada diri seorang mufassir adalah
syarat yang berkaitan dengan aspek kepribadian. Yang dimaksud dengan aspek
kepribadian adalah akhlak dan nilai-nilai ruhiyah yang harus dimiliki oleh seorang
mufassir agar layak untuk mengemban amanah dalam menyingkap dan menjelaskan
suatu hakikat kepada orang yang tidak mengetahuinya. Para ulama salaf shalih
mengartikulasikan aspek ini sebagai adab-adab seorang alim.
Menurut Muh. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam “Ilmu-ilmu Al-Quran”, penerbit Bulan
Bintang, Jakarta, ed. 1972, hlm. 229 mencatatkan, bahwa “ilmu-ilmu yang wajib
dimiliki dengan sempurna oleh seorang mufassir”, ialah :
1. Bahasa Arab, Nahwu, Sharaf dan ilmu-ilmu balaghah.
2. Ilmu Ushul Fiqh.
3. Ilmu Tauhid.
4. Ilmu Asbabu An-Nuzul dan Qiyas.
5. Ilmu Nasikh wa Mansukh.
6. Hadits-hadits yang menerangkan maksud lafal-lafal mujmal dan mubham.

5
Adh-Dhawy, Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu Diakses pada 30 Agustus 2007.

4
7. Ilmu Al-Mauhibah (ilmu yang diwariskan Allah kepada seseorang mengamalkan
ilmunya dan bersih hatinya dari takabbur dan hubbun duniawi).
Kemudian menurut Manna’ Khalil al Qattan dalam kitab Mabahis fi Ulumil Qur’an
yang diterjemahkan oleh Muzakir AS, menyebutkan syarat-syarat yang harus
dimiliki setiap mufassir adalah:
1. Akidah yang benar, sebab akidah sangat berpengaruh terhadap jiwa pemiliknya
dan seringkali mendorongnya untuk mengubah nas-nas dan berkhianat dalam
penyampaian berita.
2. Bersih dari hawa nafsu, sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk
membela kepentingan mazhabnya sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata
halus dan keterangan menarik seperti yang dilakukan golongan qadariah, syi’ah,
rafidah, mu’tazilah dah mazhab sejenis.
3. Menafsirkan, lebih dahulu, qur’an dengan qur’an karena sesuatu yang masih
global pada satu tempat telah diperinci di tempat lain dan sesuatu yang
dikemukakan secara ringkas di suatu tempat telah diuraikan di tempat lain.
4. Mencari penafsiran dari sunah, karena sunnah berfungsi sebagai pensyarah
qur’an dan penjelasnya. Al Qur’an telah menyebutkan bahwa semua hokum
(ketetapan) Rasulullah berasal dari Allah.
5. Apabila tidak didapatkan penafsiran dalam sunah, hendaklah meninjau pendapat
para sahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsir Qur’an, mengingat
merekalah yang menyaksikan qorinah, dan kondisi ketika Qur’an diturunkan
disamping mereka mempunyai pemahaman (penalaran) sempurna, ilmu yang
sahih dan amal yang saleh.
6. Apabila tidak ditemukan juga penafsiran dalam Qur’an, sunah maupun pendapat
sahabat, maka sebagian besar ulama’ dalam hal ini, memeriksa pendapat tabi’in
(generasi setelah sahabat) seperti Mujahid ibn Jabr, Said bin Jubair, Ikrimah
maula Ibn Abbas, Ata’ bin Abi Rabah, Hasan al Basri, Masruq bin Ajda’, Sa’id
bin Musayyab, ar Rabi’ bin Anas, Qatadah, Dahhak bin Muzahim, dan tabi’in
lainnya.
7. Pengetahuan bahasa Arab dengan segala cabangnya, (mufradat=kosa kata,
i’rab=fungsi kata dalam kalimat, nahwu=gramatika, tasrif=bentuk kata, masdar=
kata dasar, musytaq= turunan, dan balagah)

5
8. Pengetahuan tentang pokok-pokok ilmu yang berkaitan dengan Qur’an seperti
ilmu qiro’at, ilmu usul, asbabun nuzul, nasikh-mansukh dan lain sebagainya.
9. Pemahaman yang cermat sehingga mufasir dapat mengukuhkan sesuatu makna
atas yang lain atau menyimpulkan makna sejalan dengan nas-nas syar’i. 6

IV. ADAB MUFASSIR DALAM MENAFSIRKAN AL QUR’AN


Imam Abu Thalib Ath-Thabary mengatakan di bagian awal tafsirnya mengenai
adab-adab seorang mufassir, “Ketahuilah bahwa di antara syarat mufassir yang
pertama kali adalah benar akidahnya dan komitmen terhadap sunnah agama. Sebab,
orang yang tertuduh dalam agamanya tidak dapat dipercaya dalam urusan duniawi,
maka bagaimana dalam urusan agama? Kemudian ia tidak dipercaya dalam agama
untuk memberitahukan dari seorang alim, maka bagaimana ia dipercaya untuk
memberitahukan rahasia-rahasia Allah ta‘ala? Sebab seseorang tidak dipercaya
apabila tertuduh sebagai atheis adalah ia akan mencari-cari kekacauan serta menipu
manusia dengan kelicikan dan tipu dayanya seperti kebiasaan sekte Bathiniyah dan
sekte Rafidhah ekstrim. Apabila seseorang tertuduh sebagai pengikut hawa nafsu, ia
tetap tidak dapat dipercaya karena akan menafsirkan Al-Quran berdasarkan hawa
nafsunya agar sesuai dengan bid‘ahnya seperti kebiasaan sekte Qadariyah. Salah
seorang di antara mereka menyusun kitab dalam tafsir dengan maksud sebagai
penjelasan paham mereka dan untuk menghalangi umat dari mengikuti salaf dan
komitmen terhadap jalan petunjuk.”7
Sementara itu, Imam As-Suyuthy mengatakan, “Ketahuilah bahwa seseorang
tidak dapat memahami makna wahyu dan tidak akan terlihat olehnya rahasia-
rahasianya sementara di dalam hatinya terdapat bid‘ah, kesombongan, hawa
nafsu, atau cinta dunia, atau gemar melakukan dosa, atau lemah iman, atau bersandar
pada pendapat seorang mufassir yang tidak memiliki ilmu, atau merujuk kepada
akalnya. Semua ini merupakan penutup dan penghalang yang sebagiannya lebih kuat
daripada sebagian lainnya. Inilah makna firman Allah ta‘ala,
        
“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi
tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku.” (QS Al-A‘raf: 146)
6
Manna’ Khalil al Qattan dalam kitab Mabahis fi Ulumil Qur’an yang diterjemahkan oleh Muzakir
AS Cet.14-Pebruari 2011 Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa Hal: 462-466
7
Al-‘Ik, Khalid Abdurrahman. 1986. Ushûl At-Tafsîr wa Qawâ‘iduhu. Beirut: Dâr An-Nafâis. Hal.
189.

6
Sufyan bin ‘Uyainah mengatakan, ‘Para ulama mengatakan bahwa maksud
ayat di atas adalah dicabut dari mereka pemahaman mengenai Al-Quran.’
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.”8
Berdasarkan perkataan Imam As-Suyuthy di atas, Ahmad Bazawy Adh-
Dhawy meringkaskan sejumlah adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir,
yaitu:
1. Akidah yang lurus
2. Terbebas dari hawa nafsu
3. Niat yang baik
4. Akhlak yang baik
5. Tawadhu‘ dan lemah lembut
6. Bersikap zuhud terhadap dunia hingga perbuatannya ikhlas semata-mata karena
Allah ta‘ala
7. Memperlihatkan taubat dan ketaatan terhadap perkara-perkara syar‘i serta sikap
menghindar dari perkara-perkara yang dilarang
8. Tidak bersandar pada ahli bid‘ah dan kesesatan dalam menafsirkan
9. Bisa dipastikan bahwa ia tidak tunduk kepada akalnya dan menjadikan
Kitâbullâh sebagai pemimpin yang diikuti.9
Selain sembilan point di atas, Syaikh Manna‘ Khalil Al-Qaththan
menambahkan beberapa adab yang harus dimiliki oleh seorang mufassir, yaitu:
1. Berniat yang baik dan bertujuan yang benar
2. Berakhlak baik
3. Taat dan beramal
4. Jujur dan teliti dalam penukilan
5. Tawadhu’ dan lemah lembut
6. Berjiwa mulia
7. Vokal dalam menyampaikan kebenaran
8. Berpenampilan baik
9. Bersikap tenang dan mantap
10. Mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya

8
As-Suyuthy, Jalaluddin. Al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qurân. E-book. Diakses dari Mauqi‘ Umm Al-Kitâb li Al-
Abhâts wa Ad-Dirâsât Al-Ilikturûniyah: pada 6 September 2007.
9
Adh-Dhawy, Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam Diakses pada 30 Agustus
2007.

7
11. Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiransecara baik10

V. ILMU-ILMU YANG DIPERLUKAN UNTUK MENAFSIRKAN AL


QUR’AN
Syarat yang berkaitan dengan aspek pengetahuan yang harus dikuasai oleh
seorang mufassir ini dibagi kepada dua, yaitu: syarat pengetahuan murni dan syarat
manhajiyah (berkaitan dengan metode).
Imam Jalaluddin As-Suyuthy dalam Al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran menyebut ada lima
belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang mufassir. Lima belas ilmu tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Bahasa Arab kerana dengannya seorang mufassir mengetahui penjelasan kosa
kata suatu lafaz dan maksudnya sesuai dengan objek. Oleh karena demikian
pentingnya penguasaan terhadap bahasa Arab dalam menafsirkan al qur’an,
mujahid mengatakan:

‫رب‬77‫ات الع‬77‫ا بلغ‬77‫اب هللا إذا لم يكن عال ًم‬77‫ر أن يتكلم في كت‬77‫ال يحل ألحد يؤمن باهلل واليوم اآلخ‬

“Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir berbicara
mengenai sesuatu yang terdapat dalam Kitabullah apabila ia tidak mengetahui
bahasa Arab.”
2. Nahwu kerena suatu makna boleh saja akan berubah-ubah dan berlainan sesuai
dengan perbedaan i’rabnya.
3. Tashrif (sharaf) kerana dengannya dapat diketahui bina’ (struktur) dan shighah
suatu kata.
4. Isytiqaq kerana suatu nama apabila isytiqaqnya berasal dari dua subjek yang
berbeda, maka artinya pun juga pasti berbeda. Misalnya (‫)المسيح‬, apakah berasal
dari (‫ )السياحة‬atau (‫)المسح‬.
5. Al-Ma‘ani karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkîb (komposisi) suatu
kalimat dari segi manfaat suatu makna.
6. Al-Bayan karena dengannya dapat diketahui kekhususan tarkib (karangan) suatu
kalimat dari segi perbedaannya sesuai dengan jelas atau tidaknya suatu makna.
10
Al-Qaththan, Manna‘.Hal. 465-466.

8
7. Al-Badi‘ kerana dengannya dapat diketahui pengkhususan tarkib (karangan) suatu
kalimat dari segi keindahan suatu kalimat.
Ketiga ilmu di atas disebut ilmu balaghah yang merupakan ilmu yang harus
dikuasai dan diperhatikan oleh seorang mufassir agar memiliki sensitiviti terhadap
keindahan bahasa (i‘jaz) Al-Quran.
8. Ilmu qira’ah kerana dengannya dapat diketahui cara mengucapkan Al-Quran
model bacaan yang disampaikan antara satu qari’ dengan qari’ lainnya.
9. Usuluddin (prinsip-prinsip agama) yang terdapat di dalam Al-Quran berupa ayat
yang secara teksl menunjukkan sesuatu yang tidak boleh ada pada Allah ta‘ala.
Seorang ahli usul berperanan untuk mentakwilkan hal itu dan mengemukakan
dalil terhadap sesuatu yang boleh, wajib, dan tidak boleh.
10. Usul fiqh kerana dengannya dapat diketahui wajh al-istidlal (penunjukan dalil)
terhadap hukum dan istinbath.
11. Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya ayat) kerana dengannya dapat diketahui
maksud ayat sesuai dengan peristiwa diturunkannya.
12. An-Nasikh wa al-Mansukh agar diketahui mana ayat yang muhkam (ditetapkan
hukumnya) dari ayat selainnya.
13. Fiqh.
14. Hadis-hadis untuk mentafsirkan yang mujmal (umum) dan mubham (tidak
diketahui).
15. Ilmu muhibah, yaitu ilmu yang Allah ta‘ala anugerahkan kepada orang yang
mengamalkan ilmunya.
Dalam sebuah hadits disebutkan:

‫َمنْ َع َم َل بِ َما َعلَ َم َو َرثَهُ هللا َعلِ َم َما لَ ْم يَ ْعلَم‬


“Siapa yang mengamalkan ilmunya, maka Allah akan menganugerahkannya ilmu
yang belum ia ketahui.”
Ibnu Abid Dunya mengatakan, “Ilmu Al-Quran dan istinbath darinya merupakan
lautan yang tidak bertepi.” Ilmu-ilmu di atas merupakan alat bagi seorang mufassir.
Seseorang tidak memiliki autoriti untuk menjadi mufassir kecuali dengan menguasai
ilmu-ilmu ini. Siapa saja yang mentafsirkan Al-Quran tanpa menguasai ilmu-ilmu
tersebut, berarti ia mentafsirkan dengan ra’y (akal) yang dilarang. Namun apabila
mentafsirkan dengan menguasai ilmu-ilmu tersebut, maka ia tidak mentafsirkan
dengan ra’y (akal) yang dilarang.
9
Adapun bagi seorang mufassir kontemporer, menurut Ahmad Bazawy Adh-
Dhawy11, maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima
belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah:
1. Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu
memberikan penafsiran terhadap Al-Quran yang turut membangun peradaban
yang benar agar terwujud universalitas Islam.
2. Mengetahui pemikiran filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang
mendominasi dunia agar mufassir mampu mengcounter setiap syubhat yang
ditujukan kepada Islam serta memunculkan hakikat dan sikap Al-Quran Al-Karim
terhadap setiap problematika kontemporer. Dengan demikian, ia telah
berpartisipasi dalam menyadarkan umat terhadap hakikat Islam beserta
keistimewaan pemikiran dan peradabannya.
3. Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini
sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap
problem tersebut.

Selain itu dalam upaya menafsirkan dan memahami ayat-ayat Al-Qur’an secara
baik, diperlukan syarat-syarat khusus bagi seorang mufassir, seperti yang telah
diuraikan diatas baik yang menyangkut kepribadian, kemampuan akademis maupun
kemampuan teknis operasional penafsiran.

1. Seorang mufassir harus memiliki kepribadian yang mulia, memiliki dasar- dasar
keimanan yang mantap dan jiwa yang bersih, Al-Qur’an hanya dapat dipahami
oleh orang-orang yang mengkonsentrasikan mata, wajah dan hatinya dalam
membaca baik di dalam maupun di luar salat, selain itu harus disertai pula
ketaqwaan kepada Allah SWT. karena Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang-
orang yang bertaqwa.

2. Seorang mufassir harus mengetahui dan menguasai bahasa Arab, dan cabang-
cabangnya, Ali Hasan Al-Aridl lebih terperinci lagi dalam menyikapi kebutuhan
seorang mufassir dalam berbahasa Arab diantaranya ilmu Nahwu, ilmu Sharaf,
ilmu Ma’ani, ilmu Badi’ dan ilmu Qiraat.

11
Silakan lihat: Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu

10
3. Seorang mufassir harus pula mengetahui pokok-pokok ulum Al-Qur’an, seperti
asbabun nuzul, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabihat, ilmu makki dan
madani.

4. Seorang mufassir juga perlu menguasai ilmu kalam ( teologi ),ushul Fiqih dan
sebagainya. Melalui ilmu-ilmu itu seorang mufassir dapat menjelaskan arti dan
maksud ayat-ayat Al-Qur’an secara maksimal.

5. Tidak kalah pentingnya pula seoorang mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat Al-
Qur’an hendaknya mengambil rujukan atau referensi dari tafsir-tafsir yang
mu’tabar, untuk dianalisis secara kritis dan dikomparasikan dengan tafsir-tafsir
lainnya. Dengan langkah terakhir ini diharapkan dalam penafsiran Al-Qur’an
penuh ketelitian yang mendalam untuk menghasilkan tafsir yang komprehensif.

VI. PENUTUP

Al Qur’an merupakan kitab suci bagi umat islam. Kesucian itu harus dijaga
oleh umat islam itu sendiri. Kesucian Al Qur’an termasuk di dalamnya adalah
mensucikan makna dari ayat itu sendiri agar terjaga dari penyimpangan yang
disebabkan oleh penafsiran yang salah. Penafsiran yang salah bisa terjadi karena
dalam menafsirkan suatu ayat hanya bertujuan untuk menguatkan pendapat atau
paham dan hawa nafsunya.
Tidak setiap orang mempunyai kemampuan untuk menafsirkan ayat Al
qur’an, akan tetapi orang yang alim dan yang punya adab kepribadian alim yang
diperbolehkan.
Selain syarat di atas untuk menjadi seorang mufassir harus memiliki ilmu
yang berkaitan dengan menafsirkan Al Qur’an diantaranya bahasa arab, nahwu,
sharaf, balaghoh dan sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

11
Al. -‘Ik, Khalid Abdurrahman. 1986. Ushûl At-Tafsîr wa Qawâ‘iduhu. Beirut: Dâr
An-Nafâis.

Al-Qaththan, Manna‘. 1973. Mabâhits fî ‘Ulûm Al-Qurân. Beirut: Mansyûrât


Al-‘Ashr Al-Hadîts. Hal. 332. Silakan lihat juga terjemahannya: Al-Qaththan,
Manna‘. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Quran. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Al-Qaththan, Manna‘. 1973. Studi Ilmu-Ilmu Al Qur’an. diterjemahkan: Mudzakir


MS Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa. 2011

Arif, Syamsuddin. “Al-Quran, Orientalisme, dan Luxenberg” dalam Jurnal Kajian


Islam Al-Insan Vol. I No. 1 Januari 2005 hal.10. Dinukil dari artikel yang ditulis oleh
Mingana dalam Bulletin of the John Rylands Library (Manchester, 1927) XI: 77.

Ash-Shaibunie, Moh. Ali, Pengantar Ilmu-ilmu Al Qur’an, Al Ikhlas, Surabaya,1983

Adh-Dhawy, Ahmad Bazawy. Syurûth Al-Mufassir wa Âdâbuhu dalam Diakses pada


30 Agustus 2007.

Riyadi, Endar. 2007. Melampaui Pluralisme; Etika Al-Quran tentang Keragaman


Agama. Jakarta: RMBooks.

Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, CV.Pustaka Assalam, 2010


Zarkasy, http://nayie.blogspot.com/2010/04/pengertian-tafsir.html, Saturday,
April 3, 2010

12

Anda mungkin juga menyukai