Anda di halaman 1dari 34

Sunni

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah atau Ahlus-Sunnah wal Jama'ah (Bahasa Arab: ‫ )أهل السنة والجماعة‬atau lebih
sering disingkat Ahlul-Sunnah (bahasa Arab: ‫)أهل السنة‬, Aswaja atau Sunni adalah mereka yang senantiasa
tegak di atas Islam berdasarkan Al Qur'an dan hadits yang shahih dengan pemahaman para sahabat,
tabi'in, dan tabi'ut tabi'in. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni.[1]

Daftar isi

1 Terminologi

2 Sejarah

2.1 Perang saudara

2.1.1 Perselisihan pada masa kekhalifahan ke-1

2.1.2 Fitnah pada masa kekhalifahan ke-3

2.1.3 Fitnah pada masa kekhalifahan ke-4

2.2 Tahun Jama'ah

2.3 Sunnah Madinah

2.4 Perkembangannya kemudian

3 Mazhab/aliran fikih

3.1 Hanafi

3.2 Maliki

3.3 Syafi'i

3.4 Hambali

4 Tradisi keagamaan

5 Referensi

6 Bacaan lebih lanjut

7 Lihat pula

8 Pranala luar

Terminologi
Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang mengikuti sunnah dan berpegang teguh dengannya dalam
seluruh perkara yang Rasulullah berada di atasnya dan juga para sahabatnya. Oleh karena itu Ahlus
Sunnah yang sebenarnya adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam dan orang-orang
yang mengikuti mereka sampai hari kiamat.

Sejarah

Perang saudara

Perselisihan pada masa kekhalifahan ke-1

Ketika Rasulullah Muhammad SAW wafat, maka terjadilah kesalahpahaman antara golongan Muhajirin
dan Anshar siapa yang selanjutnya menjadi pemimpin kaum muslimin. Para sahabat melihat hal ini akan
mengakibatkan perselisihan antar kaum muslimin Muhajirin dan Anshar. Setelah masing-masing
mengajukan delegasi untuk menentukan siapa Khalifah pengganti Rasulullah. Akhirnya disepakati oleh
kaum muslimin untuk mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah.

Fitnah pada masa kekhalifahan ke-3

Pada masa kekhalifahan ke-3, Utsman bin Affan, terjadi fitnah yang cukup serius di tubuh Islam pada
saat itu, yang mengakibatkan terbunuhnya Khalifah Utsman. Pembunuhnya ialah suatu rombongan
delegasi yang didirikan oleh Abdullah bin Saba' dari Mesir yang hendak memberontak kepada Khalifah
dan hendak membunuhnya. Abdullah bin Saba' berhasil membangun pemahaman yang sesat untuk
mengadu domba umat Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Kemudian masyarakat banyak saat
itu, terutama disponsori oleh para bekas pelaku pembunuhan terhadap Utsman, berhasil membunuh dia
dengan sadis ketika dia sedang membaca Qur'an.

Fitnah pada masa kekhalifahan ke-4

Segera setelah bai'at Khalifah Ali mengalami kesulitan bertubi-tubi. Orang-orang yang terpengaruh
Abdullah bin Saba' terus menerus mengadu domba para sahabat. Usaha mereka berhasil. Para sahabat
salah paham mengenai kasus hukum pembunuhan Utsman. Yang pertama berasal dari istri Rasulullah
SAW, Aisyah, yang bersama dengan Thalhah dan yang kedua ialah bersama dengan Zubair. Mereka
berhasil diadu domba hingga terjadilah Perang Jamal atau Perang Unta. Dan kemudian oleh Muawiyah
yang diangkat oleh Utsman sebagai Gubernur di Syam, mengakibatkan terjadinya Perang Shiffin. Melihat
banyaknya korban dari kaum muslimin, maka pihak yang berselisih mengadakan ishlah atau
perdamaian. Para pemberontak tidak senang dengan adanya perdamaian di antara kaum muslimin.
Kemudian terjadi usaha pembangkangan oleh mereka yang pada awalnya berpura-pura/munafik dan
merekalah golongan yang disebut Khawarij.
Tahun Jama'ah

Kaum Khawarij ingin merebut kekhalifahan. Akan tetapi, terhalang oleh Ali dan Muawiyah, sehingga
mereka merencanakan untuk membunuh keduanya. Ibnu Muljam dari Khawarij berhasil membunuh
Khalifah Ali pada saat khalifah mengimami salat subuh di Kufah, tapi tidak terhadap Muawiyah karena
dijaga ketat. Bahkan Muawiyah berhasil mengkonsolidasikan diri dan umat Islam, berkat kecakapan
politik dan ketegaran kepemimpinannya. Karena belajar oleh berbagai pertumpahan darah, kaum
muslim secara pragmatis dan realistis mendukung kekuasaan de facto Muawiyah. Maka tahun itu, tahun
41 Hijriyah, secara khusus disebut tahun persatuan ('am al-jama'ah).

Sunnah Madinah

Kaum muslimin mendalami agama berdasarkan Al-Qur'an, dan memperhatikan serta ingin
mempertahankan sunnah Nabi di Madinah. Akhirnya ilmu hadits yang berkembang selama beberapa
abad, sampai tuntasnya masalah pembukuan hadis sebagai wujud nyata Sunnah pada sekitar akhir abad
ke-3 hijriyah. Saat itu, lengkap sudah kodifikasi hadis dan menghasilkan al-Kutub al-Sittah (Buku Yang
Enam) yakni oleh al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Ibnu Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w. 275),
al-Turmudzi (w. 279 H), dan al-Nasa'i (w. 303 H).

Perkembangannya kemudian

Ahlus-Sunnah pada masa kekuasaan Bani Umayyah masih dalam keadaan mencari bentuk, hal ini dapat
dilihat dengan perkembangan empat mazhab yang ada di tubuh Sunni. Abu Hanifah, pendiri Mazhab
Hanafi, hidup pada masa perkembangan awal kekuasaan Bani Abbasiyah.

Mazhab/aliran fikih

Terdapat empat mazhab yang paling banyak diikuti oleh Muslim Sunni. Di dalam keyakinan sunni empat
mazhab yang mereka miliki valid untuk diikuti. Perbedaan yang ada pada setiap mazhab tidak bersifat
fundamental. Perbedaan mazhab bukan pada hal Aqidah (pokok keimanan) tapi lebih pada tata cara
ibadah. Para Imam mengatakan bahwa mereka hanya ber-ijtihad dalam hal yang memang tidak ada
keterangan tegas dan jelas dalam Alquran atau untuk menentukan kapan suatu hadis bisa diamalkan
dan bagaimana hubungannya dengan hadis-hadis lain dalam tema yang sama. Mengikuti hasil ijtihad
tanpa mengetahui dasarnya adalah terlarang dalam hal akidah, tetapi dalam tata cara ibadah masih
dibolehkan, karena rujukan kita adalah Rasulullah saw. dan dia memang tidak pernah memerintahkan
untuk beribadah dengan terlebih dahulu mencari dalil-dalilnya secara langsung, karena jika hal itu wajib
bagi setiap muslim maka tidak cukup waktu sekaligus berarti agama itu tidak lagi bersifat mudah.
Hanafi

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mazhab Hanafi

Didirikan oleh Imam Abu Hanifah, Mazhab Hanafi adalah yang paling dominan di dunia Islam (sekitar
32%), penganutnya banyak terdapat di Asia Selatan Turki, Pakistan, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan
Maladewa), Mesir bagian Utara, separuh Irak, Syria, Libanon dan Palestina (campuran Syafi'i dan Hanafi).

Maliki

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mazhab Maliki

Didirikan oleh Imam Malik, diikuti oleh sekitar 20% muslim di seluruh dunia. Mazhab ini dominan di
negara-negara Afrika Barat dan Utara.[butuh rujukan] Mazhab ini memiliki keunikan dengan
menyodorkan tatacara hidup penduduk madinah sebagai sumber hukum karena Nabi Muhammad
hijrah, hidup dan meninggal di sana dan kadang-kadang kedudukannya dianggap lebih tinggi dari hadits.

Syafi'i

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mazhab Syafi'i

Dinisbatkan kepada Imam Syafi'i memiliki penganut sekitar 28% muslim di dunia. Pengikutnya tersebar
di Turki, Irak, Syria, Iran, Mesir, Somalia, Yaman, Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina, Sri Lanka dan
menjadi mazhab resmi negara Malaysia dan Brunei.[butuh rujukan]

Hambali

!Artikel utama untuk bagian ini adalah: Mazhab Hambali

Dimulai oleh para murid Imam Ahmad bin Hambal. Mazhab ini diikuti oleh sekitar 5% muslim di dunia
dan dominan di daerah semenanjung Arab. Mazhab ini merupakan mazhab yang saat ini dianut di Arab
Saudi.[butuh rujukan]

Tradisi keagamaan

Wiki letter w.svg

Bagian ini memerlukan pengembangan


Ahlus Sunnah Wal Jama'ah memiliki beberapa tradisi keagamaan yang dibenarkan menurut syariat dan
hampir dilakukan oleh semua umat Muslim di dunia, yakni:

Aqiqah, yaitu suatu sunnah yang dilakukan oleh orang tua kepada anaknya yang umurnya masih kurang
dari 10 hari, biasanya dengan menyediakan daging kambing atau sapi kepada tamu atau tetangga di
sekitar lingkungan

Khitan, yaitu ritual pembersihan kepada seorang anak laki-laki dengan di potong bagian kulit kelamin
dan hal ini dianggap baik untuk kesehatan dan perempuan juga dikhitan dengan di potong bagian sedikit
sekali kulit kelamin

Akad nikah, yaitu persidangan peresmian hubungan seorang laki-laki dan perempuan sesuai syariat
agama

Zakat dan infaq, pemberian daging hasil kurban atau sebagian harta dan pemberian harta berupa barang
dan uang kepada yang berhak

Kurban, yaitu pemotongan hewan kurban seperti unta, sapi, kambing, atau domba pada hari idul adha

Puasa, yaitu menahan hawa nafsu, makan, dan minum dari waktu fajar sampai matahari terbenam
selama satu bulan pada bulan Ramadan setiap tahun

Sedangkan tradisi keagamaan di dalam Ahlus Sunnah Wal Jama'ah yang tidak dibenarkan oleh syariat
adalah perayaan-perayaan yang bersifat:

Syirik

Bid'ah

Khurofat

Hal-hal di atas di sepakati oleh umat Muslim sebagai perayaan-perayaan yang batil menurut Agama
Islam. Inti dari perayaan tersebut adalah semua yang dilarang oleh Nabi SAW maupun larangan oleh
tuhan yang secara tegas tertulis dalam Al-Quran dan hadist shahih.

Referensi

^ "Siapakah Ahlussunah wal Jamaah". Diakses tanggal 2017/10/04.


Bacaan lebih lanjut

Branon Wheeler, Applying the Canon in Islam: The Authorization and Maintenance of Interpretive
Reasoning in Ḥanafī Scholarship, SUNY Press, 1996

Lihat pula

Pemeluk Islam pertama

Khalifah

Khulafaur Rasyidin

Salaf (Tiga generasi utama dan terbaik Islam)

Sahabat nabi

Tabi'in dan

Tabi'ut Tabi'in

Sejarah Hadits

Pranala luar

Wikisource memiliki teks artikel New International Encyclopedia 1905 Sunnites.

Islam.org.uk

International Quran

Books relating to belief of ahl as-Sunnat

Ahl as-sunnat belief

Translation and Detailed Commentary on Quran

SunniPath – Study Islam Online

(Inggris) Penerbit Buku Ahlus-Sunnah terbesar di Afrika Selatan

(Inggris) I'tiqat Ahlussunnah wal Jama'ah di Scribd.com

Ahlussunnah-Jakarta.com

Syirik

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Untuk orang yang menyekutukan Allah, lihat Musyrik.

Syirik adalah itikad ataupun perbuatan yang menyamakan sesuatu selain Allah dan disandarkan pada
Allah dalam hal rububiyyah dan uluhiyyah. Umumnya, menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah yaitu hal-
hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo'a kepada selain Allah, atau memalingkan
suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo'a dan sebagainya kepada
selainNya.

Daftar isi

1 Dampak Syirik

1.1 Perbuatan Zalim

1.2 Dosa tak diampuni

1.3 Tempatnya di Neraka

1.4 Menghapus pahala

2 Jenis Syirik

2.1 Syirik Besar

2.2 Syirik Kecil

3 Cara-Cara untuk Membentengi Diri dari Syirik

4 Buku-Buku Tentang Tauhid dan Syirik

5 Referensi

6 Pranala luar

Dampak Syirik

Perbuatan Zalim

Berbuat syirik berarti mendasarkan sesuatu yang tidak berhak kepada yang berhak, yakni Allah, dan itu
merupakan kezhaliman yang paling besar.

"Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar"


— Firman Allah, QS. Luqman: 13

Dosa tak diampuni

Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik kepadaNya, jika ia meninggal dunia dalam
kemusyrikannya.

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka
sungguh ia telah berbuat dosa yang besar"

— Firman Allah, QS. An-Nisa: 48

Tempatnya di Neraka

"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan
Surga kepadanya, dan tempatnya ialah Neraka, Tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang
penolong pun"

— Firman Allah, QS. Al-Maidah: 72

Menghapus pahala

"Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka
kerjakan"

— Firman Allah, QS. Al-An'am: 88

Jenis Syirik

Secara umum, syirik dimasukkan ke dalam dua kelompok, yaitu Syirik besar dan Syirik kecil

Syirik Besar

Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka,
jika ia meninggal dunia dan belum bertaubat kepada Allah.
Syirik besar adalah memalingkan sesuatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo'a kepada
selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain
Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaitan, atau mengharap sesuatu selain Allah, yang tidak kuasa
memberikan manfaat maupun mudharat.

Bentuk-bentuk syirik besar:

Syirik Do'a, yaitu di samping dia berdo'a kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, ia juga berdo'a kepada
selainNya.[1]

Syirik Niat, Keinginan dan Tujuan, yaitu ia menunjukkan suatu ibadah untuk selain Allah Subhanahu wa
Ta'ala.[2]

Syirik Ketaatan, yaitu mentaati kepada selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah [3]

Syirik Mahabbah (Kecintaan), yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan.[4]

Syirik Kecil

Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan
merupakan wasilah (perantara) kepada syirik besar.

Bentuk-bentuk syirik kecil:

Syirik Zhahir (Nyata), yaitu syirik kecil yang dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan
misalnya, bersumpah dengan nama selain Allah.

Rasulullah S.A.W bersabda:[5]

"Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik."

— HR. At-Tirmidzi (No.1535), Al-Hakim (I/18, IV/297), Ahmad (II/34, 69, 86) dari Abdullah bin Umar r.a

Dalam sebuah riwayat hadits:[6]


Ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi S.A.W, dan berkata: "Sesungguhnya kamu sekalian
melakukan perbuatan syirik. Kamu mengucapkan: Atas kehendak Allah dan kehendakmu dan
mengucapkan: Demi Ka'bah. Maka Nabi S.A.W memerintahkan para sahabat apabila hendak bersumpah
supaya mengucapkan, Demi Allah Pemilik Ka'bah dan mengucapkan: Atas kehendak Allah kemudian atas
kehendakmu

— HR. An-Nasa'i (VII/6) dan Amalul Yaum wal Lailah (No. 992), Al-Hafizh Ibnu Hajar r.a berkata dalam Al-
Ishaabah (IV/389), "Hadits ini shahih, dari Qutailah r.a, wanita dari Juhainah r.a

Syirik dalam bentuk ucapan, yaitu perkataan."Kalau bukan karena kehendak Allah dan kehendak fulan".
Ucapan tersebut salah, dan yang benar adalah."Kalau bukan karena kehendak Allah, kemudian karena
kehendak si fulan". Kata kemudian menunjukkan tertib berurutan, yang berarti menjadikan kehendak
hamba mengikuti kehendak Allah.[7]

Syirik Khafi (Tersembunyi), yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya' (ingin dipuji orang) dan
sum'ah (ingin didengar orang) dan lainnya.

Rasulullah S.A.W bersabda:[8]

"Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil. "Mereka (para sahabat)
bertanya: "Apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?" .Dia S.A.W menjawab: "Yaitu riya'"

— HR. Ahmad (V/428-429) dari sahabat Mahmud bin Labid r.a

Cara-Cara untuk Membentengi Diri dari Syirik

Mengikhlaskan ibadah hanya untuk Allah ‘azza wa jalla dengan senantiasa berupaya memurnikan tauhid.

Menuntut ilmu syar’i.

Mengenali dampak kesyirikan dan menyadari bahwasanya syirik itu akan menghantarkan pelakunya
kekal di dalam Jahanam dan menghapuskan amal kebaikan.

Menyadari bahwasanya syirik akbar tidak akan diampuni oleh Allah.

Tidak berteman dengan orang-orang yang bodoh yang hanyut dalam berbagai bentuk kesyirikan.

Maka berhati-hatilah saudaraku dari syirik dengan seluruh macamnya, dan ketahuilah bahwasanya syirik
itu bisa berbentuk ucapan, perbuatan dan keyakinan. Terkadang satu kata saja bisa menghancurkan
kehidupan dunia dan akhirat seseorang dalam keadaan dia tidak menyadarinya. Rasul shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Apakah kalian tahu apa yang difirmankan Rabb kalian?” Mereka (para sahabat)
mengatakan, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu”. Dia bersabda, “Pada pagi hari ini ada di antara hamba-Ku
yang beriman dan ada yang kafir kepada-Ku. Orang yang berkata, ‘Kami telah mendapatkan anugerah
hujan berkat keutamaan Allah dan rahmat-Nya maka itulah yang beriman kepada-Ku dan kafir terhadap
bintang. Adapun orang yang berkata, ‘Kami mendapatkan curahan hujan karena rasi bintang ini atau itu,
maka itulah orang yang kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang.'” (Muttafaq ‘alaih)

Buku-Buku Tentang Tauhid dan Syirik

Para pembaca yang budiman bisa mengkaji lebih dalam lagi tentang hakikat tauhid dan syirik
berdasarkan dalil-dalil Al Quran maupun Al Hadits beserta keterangan dari para ulama yang terpercaya
melalui buku-buku atau kitab-kitab berikut ini:

Kitab Umm Al Barahiin Karya Syekh Sanusi

Kitan Tijan Addaruri Karya Syekh Nawawi albantani

Kitab Tauhid Alladzi Huwa Haqqullahi ‘Alal ‘Abiid karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah

Kasyfu Syubuhaat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah

Kitab Tauhid 1, 2 dan 3 karya Syaikh Shalih Al Fauzan dan para ulama lainnya

Dalaa’ilut Tauhid (50 tanya jawab akidah) karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah

Tanbihaat Muhtasharah Syarh Al Wajibaat (Penjelasan hal-hal yang harus diketahui oleh setiap muslim
dan muslimah) karya Syaikh Ibrahim bin Syaikh Shalih Al Khuraishi

Syarah Tsalatsatul Ushul (Penjelasan Tiga Landasan Utama) karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al
‘Utsaimin rahimahullah

Hasyiyah Tsalatsatul Ushul karya Syaikh Abdurrahman bin Qasim Al Hanbali An Najdi rahimahullah

Taisirul Wushul ila Nailil Ma’muul karya Syaikh Nu’man bin Abdul Karim Al Watr

Hushulul Ma’mul bi Syarhi Tsalatsatil Ushul karya Syaikh Abdullah bin Shalih Al Fauzan

Thariqul Wushul ila Idhaahi Tsalatsatil Ushul karya Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi Al Madkhali
hafizhahullah

Syarah Kitab Tsalatsatul Ushul karya Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah

Syarah Qawa’idul Arba’ karya Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh
Fathul Majid Syarah Kitab Tauhid (Membongkar akar kesyirikan) karya Syaikh Abdurrahman bin Hasan
rahimahullah

Qaulus Sadid fi Maqashidi Tauhid (Penjabaran sistematik kitab tauhid) karya Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As Sa’di rahimahullah

Qaulul Mufid Syarah Kitab Tauhid karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah

Ibthalut Tandiid bi Ikhtishaari Syarhi Kitabit Tauhid karya Syaikh Hamad bin ‘Atiq rahimahullah

Al Mulakhkhash fi Syarhi Kitabit Tauhid karya DR. Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah

Al Jadid fi Syarhi Kitabit Tauhid (Cara mudah memahami tauhid) karya Syaikh Muhammad bin Abdul
‘Aziz Al Qar’awi

At Tamhid li Syarhi Kitabit Tauhid karya Syaikh Shalih bin Abul ‘Aziz Alusy Syaikh hafizhahullah

Syarah Kasyfu Syubuhaat karya Syaikh Shalih Al Fauzan

Syarah Kasfyu Syubuhaat karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin

Syarah Kasyfu Syubuhaat karya Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alusy Syaikh

At Taudhihaat Al Kasyifaat ‘ala Kasfi Syubuhaat karya Syaikh Muhammad bin Abdullah bin Shalih Al
Habdan

Ad Dalaa’il wal Isyaraat ‘ala Kasyfi Subuhaat karya Syaikh Shalih bin Muhammad Al Asmari

Minhaaj Al Firqah An Najiyah karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

Kitab ‘Aqidah Ath Thahawiyah karya Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah

Syarah ‘Aqidah Thahawiyah karya Imam Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi rahimahullah

‘Aqidah Thahawiyah Syarh wa Ta’liq karya Syaikh Al Albani rahimahullah

Ta’liq ‘Aqidah Thahawiyah karya Syaikh Shalih Al Fauzan

Al Minhah Al Ilahiyah fi Tahdzib Syarh Thahawiyah karya Syaikh Abdul Akhir Hammad Al Ghunaimi

Dan lain-lain

Referensi

^ QS. Al-Ankabut: 65

^ QS. Huud: 15-16

^ QS. At-Taubah: 31
^ QS. Al-Baqarah: 165

^ Al-Hakim berkata: Hadits ini shahih menurut syarah al-Bukhari dan Muslim. Dan disepakati oleh adz-
Dzahabi.

^ Lihat Fathul Majiid Syarh Kitabit Tauhid (Bab 41 dan 43). Lihat juga di Silsilah al-Ahaadits as-Shahiihah
(No. 2042).

^ QS. At-Takwir: 29

^ Berkata Imam al-Haitsami di dalam Majma'uz Zawaa'ij (I/102): "Rawi-rawinya shahih". Dan
diriwayatkan juga oleh ath-Thabrani dalam Mu'jamul Kabiir (No. 4301), dari sahabat Rafi bin Khadiij r.a.
Hadits ini dihasankan oleh Ibnu Hajar Al 'Asqalani dalam Bulughul Maram. Dishahihkan juga oleh Syaikh
Ahmad Muhammad Syakir dalam tahqiq Musnad Imam Ahmad (No. 23521 dan 23526).

Pranala luar

(Indonesia) Akidah Ahlussunnah wal Jama'ah dari Al Manhaj

(Indonesia) Syirik Dosa Terbesar dari Media Islam

Awas Syirik dari Muslim.Or.Id

Bidah

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

(Dialihkan dari Bid'ah)

Ini adalah versi yang telah diperiksa dari halaman initampilkan/sembunyikan detail

Wikifikasi

Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan
bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini. Tulisan
yang tidak dirapikan dalam jangka waktu yang ditentukan akan dihapus sewaktu-waktu oleh Pengurus.

Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampilkan] di bagian kanan.[tampilkan]

Rapikan

Artikel ini perlu dirapikan atau ditulis ulang karena artikel ini bersifat umum sedangkan isinya ditulis
dalam konteks yang terlalu spesifik/sempit.
Bid'ah (Arab:‫ )بدعة‬adalah perbuatan yang dikerjakan tidak menurut contoh yang sudah ditetapkan,
termasuk menambah atau mengurangi ketetapan.[1] Secara linguistik, istilah ini memiliki arti inovasi,
pembaruan, atau doktrin sesat.[2]

Daftar isi

1 Pengertian Bid'ah

1.1 Definisi Secara Bahasa

1.2 Definisi Secara Istilah

2 Perbuatan tercela

2.1 Dalil

2.2 Dalil dari Perkataan Sahabat

3 Dampak buruk

3.1 Amalan tertolak

3.2 Terhalang untuk bertaubat

3.3 Tidak mendapat syafaat

3.4 Berdosa jika perbuatannya tertular orang lain

4 Referensi

5 Lihat pula

Pengertian Bid'ah

Definisi Secara Bahasa

Bid’ah secara bahasa berarti membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.(Dalam Al Mu’jam Al
Wasith, 1/91, Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah-Asy Syamilah)

Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah,

ِ ْ‫ت َواأْل َر‬


‫ض‬ ِ ‫َبدِي ُع ال َّس َم َاوا‬
“Allah Pencipta langit dan bumi.” (QS. Al Baqarah [2] : 117, Al An’am [6] : 101), maksudnya adalah
mencipta (membuat) yang mana tidak ada contoh pada sebelumnya.

Juga firman-Nya,

ُ ‫قُ ْل َما ُك ْن‬


‫ت ِب ْدعًا م َِن الرُّ س ُِل‬

“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang menyampaikan hal yang baru di antara rasul-rasul’.” (QS. Al Ahqaf
[46] : 9) , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini dan menyampaikan hal Baru
(Melainkan Tauhid yang sama seperti Pendahuluku). Lisanul ‘Arob, 8/6 -Asy Syamilah

Definisi Secara Istilah

Definisi bid’ah secara istilah yang paling bagus adalah definisi yang dikemukakan oleh Al Imam Asy
Syatibi dalam Al I’tishom. Beliau mengatakan bahwa bid’ah adalah:

ِ ‫ص ُد ِبالسُّلُ ْوكِ َعلَ ْي َها ال ُم َبالَغ َُة فِي ال َّت َع ُب ِد‬


‫هلل ُسب َْحا َن ُه‬ َ ‫ضاهِي ال َّشرْ عِ َّي َة ُي ْق‬ ِ ‫ارةٌ َعنْ َط ِر ْي َق ٍة فِي ال ِّدي‬
َ ‫ْن م ُْخ َت َر َع ٍة ُت‬ َ ‫عِ َب‬

Suatu istilah untuk suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil, pen) yang menyerupai
syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika menempuhnya adalah untuk berlebih-lebihan dalam
beribadah kepada Allah Ta’ala

Perbuatan tercela

Dalil

Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah,
seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh
di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara
pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ُ ِ ‫أَمَّا َبعْ ُد َفإِنَّ َخي َْر ْال َحدِي‬
‫ضالَ َل ٌة‬ ِ ‫ث ِك َتابُ هَّللا ِ َو َخ ْي ُر ْالهُدَى ُهدَى م َُح َّم ٍد َو َشرُّ األم‬
َ ‫ُور مُحْ َد َثا ُت َها َو ُك ُّل ِب ْد َع ٍة‬

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan
(bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)

Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,

ِ ‫ضالَلَ ٍة فِى ال َّن‬


‫ار‬ َ ‫َو ُك َّل‬

“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadis ini dikatakan shohih oleh Syaikh
Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)

Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat bersama
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi
nasihat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini
bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,

‫َيا َرسُو َل هَّللا ِ َكأَنَّ َه ِذ ِه َم ْوعِ َظ ُة م َُو ِّد ٍع َف َم َاذا َتعْ َه ُد إِلَ ْي َنا‬

“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasihat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada
kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

َ ‫اخ ِتالَ ًفا َكثِيرً ا َف َعلَ ْي ُك ْم ِب ُس َّنتِى َو ُس َّن ِة ْال ُخلَ َفا ِء ْال َم ْه ِدي‬
‫ِّين‬ ْ ‫ًيا َفإِ َّن ُه َمنْ َيعِشْ ِم ْن ُك ْم َبعْ دِى َف َس َي َرى‬HIًّ ِ‫اع ِة َوإِنْ َعب ًْدا َحبَش‬ َّ ‫أُوصِ ي ُك ْم ِب َت ْق َوى هَّللا ِ َوال َّس ْمع َو‬
َ ‫الط‬ ِ
‫ضالَلَ ٌة‬
َ ‫ُور َفإِنَّ ُك َّل مُحْ َد َث ٍة ِب ْد َع ٌة َو ُك َّل ِب ْد َع ٍة‬ ‫م‬ُ ‫ت األ‬H
ِ ‫ا‬‫ث‬َ ‫د‬
َ ْ‫ُح‬
‫م‬ ‫و‬َ ‫م‬
ْ ُ
‫ك‬ ‫َّا‬
‫ي‬ ‫إ‬ ‫و‬
َ ‫ذ‬
ِ ‫ج‬ ‫ا‬ ‫و‬
َ َّ
‫ن‬ ‫ال‬‫ب‬ ‫ا‬ ‫ه‬
َ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ‫ُّوا‬
‫ض‬ ‫ع‬
َ ‫و‬ َ ‫ا‬ ‫ه‬
َ ‫ب‬ ‫وا‬ ‫ك‬ُ ‫س‬
َّ ‫م‬
َ َ
‫ت‬ ‫ِين‬
َ ‫د‬ ِ‫اش‬ َّ‫الر‬
ِ ِ ِ ِ ِ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang
memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka
dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan
sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia
dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang
diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no.
2676. Hadis ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan
Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)

Dalil dari Perkataan Sahabat

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,

ُ‫ َو َتمُوتَ ال ُّس َنن‬،ُ‫ َح َّتى َتحْ َيى ْال ِب َدع‬،‫ َوأَ َما ُتوا فِي ِه ُس َّن ًة‬،‫اس َعا ٌم إِال أَحْ دَ ُثوا فِي ِه ِب ْد َع ًة‬
ِ ‫َما أَ َتى َعلَى ال َّن‬

“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah
bid’ah dan sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al
Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

‫ضاللَ ٌة‬
َ ‫ ُك ُّل ِب ْد َع ٍة‬،‫ َوال َت ْب َت ِدعُوا َف َق ْد ُكفِي ُت ْم‬،‫ا َّت ِبعُوا‬

“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah)
itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al
Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya
adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)

Dampak buruk

Sudah sepatutnya kita menjauhi berbagai macam bid’ah mengingat dampak buruk yang ditimbulkan.
Berikut beberapa dampak buruk dari bid’ah.

Amalan tertolak

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


َ ‫َث فِى أَ ْم ِر َنا َه َذا َما لَي‬
‫ْس ِم ْن ُه َفه َُو َر ٌّد‬ َ ‫َمنْ أَحْ د‬

“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara
tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718)

Orang yang berbuat bid’ah inilah yang amalannya merugi. Allah Ta’ala berfirman,

‫ص ْنعًا‬ َ ‫ُون أَ َّن ُه ْم يُحْ سِ ُن‬


ُ ‫ون‬ َ ‫ض َّل َسعْ ُي ُه ْم فِي ْال َح َيا ِة ال ُّد ْن َيا َو ُه ْم َيحْ َسب‬
َ ‫ِين‬ َ ‫قُ ْل َه ْل ُن َن ِّب ُئ ُك ْم ِباأْل َ ْخ َس ِر‬
َ ‫ين أَعْ َمااًل الَّذ‬

“Katakanlah: Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi
perbuatannya?” Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.” (QS. Al Kahfi [18] : 103-104)

Terhalang untuk bertaubat

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ب ِب ْد َع ٍة َح َّتى َي َدعْ ِب ْد َع َت ُه‬ َ ‫ب ال َّت ْو َب َة َعنْ ُك ِّل‬


ِ ‫صا ِح‬ َ ‫هللا َح َج‬
َ ‫إِ َن‬

“Allah betul-betul akan menghalangi setiap pelaku bid’ah untuk bertaubat sampai dia meninggalkan
bid’ahnya.” (HR. Thabrani. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih At Targib wa At Tarhib
no. 54)

Tidak mendapat syafaat

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َيقُو ُل الَ َت ْد ِرى َما‬. ‫اخ ُتلِجُوا دُونِى َفأَقُو ُل أَىْ َربِّ أَصْ َح ِابى‬
ْ ‫اولَ ُه ُم‬ ُ ُ ‫ َليُرْ َف َعنَّ إلَىَّ ر َجا ٌل ِم ْن ُك ْم َح َّتى إ َذا أَهْ َوي‬، ‫ض‬ ُ ‫أَ َنا َف َر‬
ِ ‫ط ُك ْم َعلَى ْال َح ْو‬
ِ ‫ْت أل َن‬ ِ ِ ِ
ُ َ
َ ‫أحْ دَثوا َبعْ َد‬
‫ك‬
“Aku akan mendahului kalian di al haudh (telaga). Dinampakkan di hadapanku beberapa orang di antara
kalian. Ketika aku akan mengambilkan (minuman) untuk mereka dari al haudh, mereka dijauhkan dariku.
Aku lantas berkata, ‘Wahai Rabbku, ini adalah umatku.’ Lalu Allah berfirman, ‘Engkau sebenarnya tidak
mengetahui bid’ah yang mereka buat sesudahmu.’ “ (HR. Bukhari no. 7049)

Dalam riwayat lain dikatakan,

‫َك َفأَقُو ُل سُحْ ًقا سُحْ ًقا ِل َمنْ َب َّد َل َبعْ دِى‬
َ ‫ك الَ َت ْد ِرى َما َب َّدلُوا َبعْ د‬
َ ‫ َف ُي َقا ُل إِ َّن‬. ‫إِ َّن ُه ْم ِم ِّنى‬

“(Wahai Rabbku), mereka betul-betul pengikutku. Lalu Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau tidak
mengetahui bahwa mereka telah mengganti ajaranmu setelahmu.” Kemudian aku (Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam) mengatakan, “Celaka, celaka bagi orang yang telah mengganti ajaranku sesudahku.”
(HR. Bukhari no. 7051)

Inilah do’a laknat untuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
berbuat bid’ah.

Ibnu Baththol mengatakan, “Demikianlah, seluruh perkara bid’ah yang diada-adakan dalam perkara
agama tidak diridhoi oleh Allah karena hal ini telah menyelisihi jalan kaum muslimin yang berada di atas
kebenaran (al haq). Seluruh pelaku bid’ah termasuk orang-orang yang mengganti ajaran Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dan yang membuat-buat perkara baru dalam agama. Begitu pula orang yang berbuat
zholim dan yang menyelisihi kebenaran, mereka semua telah membuat sesuatu yang baru dan telah
mengganti dengan ajaran selain Islam. Oleh karena itu, mereka juga termasuk dalam hadis ini.” (Lihat
Syarh Ibnu Baththol, 19/2, Asy Syamilah) -Semoga Allah menjauhkan kita dari berbagai perkara bid’ah
dan menjadikan kita sebagai umatnya yang akan menikmati al haudh sehingga kita tidak akan
merasakan dahaga yang menyengsarakan di hari kiamat, Amin Ya Mujibad Du’a-

Berdosa jika perbuatannya tertular orang lain

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


‫اإلسْ الَ ِم ُس َّن ًة َس ِّي َئ ًة‬ ُ َ ْ َ ‫اإلسْ الَ ِم ُس َّن ًة َح َس َن ًة َف ُع ِم َل ِب َها َبعْ دَ هُ ُكت‬
ِ ‫ِب لَ ُه مِث ُل أجْ ِر َمنْ َع ِم َل ِب َها َوالَ َي ْنقُصُ مِنْ أج‬
ِ ‫ُور ِه ْم َشىْ ٌء َو َمنْ َسنَّ فِى‬ ِ ‫َمنْ َسنَّ فِى‬
َ
‫ار ِه ْم شىْ ٌء‬ َ َ ُ ْ َ ْ ْ َ ُ َ
ِ ‫ِب َعل ْي ِه مِث ُل ِوز ِر َمنْ َع ِم َل ِب َها َوال َينقصُ مِنْ أ ْوز‬
َ ‫ف ُع ِم َل ِب َها َبعْ دَ هُ كت‬

“Barangsiapa yang membuat sunnah yang baik lalu diikuti oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat
baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi
ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa melakukan suatu sunnah yang buruk lalu diikuti
oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran yg buruk seperti orang yang mengamalkan,
tanpa mengurangi dosa si pemberi misal.” (HR. Muslim no. 1017)

Referensi

^ Bidah dalam KamusBesarBahasaIndonesia.go.id

^ Wehr, Hans (1994). Arabic-English Dictionary. Spoken Language Services, Inc.. pp. 57.

https://muslim.or.id/388-mengenal-seluk-beluk-bidah-1.html

https://muslim.or.id/389-mengenal-seluk-beluk-bidah-2.html

https://muslim.or.id/391-mengenal-seluk-beluk-bidah-4.html

Salaf

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Ini adalah versi yang telah diperiksa dari halaman initampilkan/sembunyikan detail

Salaf (Arab: ‫ السلف الصلح‬Salaf aṣ-Ṣālih) adalah tiga generasi Muslim awal yaitu para sahabat, tabi'in dan
tabi'ut tabi'in. Kemudian istilah salaf ini dijadikan sebagai salah satu manhaj (metode) dalam agama
Islam, yang mengajarkan syariat Islam secara murni tanpa adanya tambahan dan pengurangan, yaitu
Salafiyah. Seseorang yang mengikuti aliran ini disebut Salafy (as-Salafy), jamaknya adalah Salafiyyun (as-
Salafiyyun).[1] Kemudian para salafy beranggapan bahwa, jika seseorang melakukan suatu perbuatan
tanpa adanya ketetapan dari Allah dan rasul-Nya, bisa dikatakan sebagai perbuatan bid'ah.

Daftar isi

1 Etimologi

1.1 Arti salaf menurut bahasa


1.2 Arti salaf menurut istilah

2 Tiga generasi utama

2.1 Generasi awal

2.2 Generasi kedua (Tabi'in)

2.3 Generasi ketiga (Tabi'ut Tabi'in)

3 Catatan kaki

4 Referensi

5 Lihat pula

6 Pranala luar

Etimologi

Arti salaf menurut bahasa

Salafa Yaslufu Salfan artinya madli (telah berlalu). Dari arti tersebut kita dapati kalimat Al Qoum As
Sallaaf yaitu orang – orang yang terdahulu. Salafur Rajuli artinya bapak moyangnya. Bentuk jamaknya
Aslaaf dan Sullaaf.

Dari sini pula kalimat As Sulfah artinya makanan yang didahulukan oleh seorang sebelum ghadza`
(makan siang). As salaf juga, yang mendahuluimu dari kalangan bapak moyangmu serta kerabatmu yang
usia dan kedudukannya di atas kamu. Bentuk tunggalnya adalah Saalif. Firman allah Ta’ala:

“ ...dan kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian. (Az
Zukhruf :56) ”

Artinya, kami jadikan mereka sebagai orang–orang yang terdahulu agar orang–orang yang datang
belakangan mengambil pelajaran dengan (keadaan) mereka. Sedangkan arti Ummamus Saalifah adalah
ummat yang telah berlalu. Berdasarkan hal ini, maka kata salaf menunjukan kepada sesuatu yang
mendahului kamu, sedangkan kamu juga berada di atas jalan yang di dahuluinya dalam keadaan
jejaknya.

Arti salaf menurut istilah


Allah telah menyediakan bagi ummat ini satu rujukan utama di mana mereka kembali dan menjadikan
pedoman.[2] Firman allah Ta’la:

“ Sesungguhnya telah ada pada (diri) rasullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) allah dan (kedatangan) hari kiamat. (Al-Ahzab: 21) ”

Allah juga menerangkan bahwa ummat ini mempunyai generasi pendahulu yang telah lebih dahulu
sampai kepada hidayah dan bimbingan. Allah berfirman :

“ Orang – orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang
muhajirin dan anshar mengikuti mereka dengan baik allah ridha kepada mereka dan mereka ridha
kepada allah. (At-Taubah 100) ”

Tiga generasi utama

Berdasarkan hadits dari nabi, bahwa generasi terbaik dari umat Islam adalah para sahabat, tabi’in dan
tabiu’t tabi’in.[3][4]

Generasi awal

Rasul Muhammad dan para sahabatnya

Generasi kedua (Tabi'in)

Abdul Rahman bin abdillah

Abu Hanifah

Abu Muslim al-Khawlani

Abu Suhail an-Nafi' bin 'Abdul Rahman

Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr

Al-Rabi bin Khuthaym

Ali Akbar

Ali bin Abu Talha

Ali bin Husayn (Zain al-'Abidin)


Alqama bin Qays al-Nakha'i

Amir bin Shurahabil ash-sha'bi

Ata bin Abi Rabah

Atiyya bin Saad

Fatimah binti Sirin

Hasan al-Bashri

Iyas bin Muawiyah al-Muzani

Masruq bin al-Ajda'

Muhammad bin al-Hanafiya

Muhammad bin Wasi' al-Azdi

Muhammad bin Sirin

Muhammad al-Baqir

Muhammad bin Muslim bin Shihab al-Zuhri

Muhammad bin Munkadir

Musa bin Nussayr

Qatadah

Rabi'ah al-Ra'iy

Raja bin Haywah

Rufay bin Mihran

Sa'id bin Jubayr

Said bin al-Musayyib

Salamah bin Dinar (Abu Hazim Al-A'raj)

Salih bin Ashyam al-Adawi

Salim bin Abdullah bin Umar bin al-Khattab

Shuraih al-Qadhi
Tawus bin Kaysan

Umar bin Abdul-Aziz

Umm Kulthum binti Abu Bakr

Urwah bin al-Zubayr

Uwais al-Qarni

Generasi ketiga (Tabi'ut Tabi'in)

Abd al-Rahman al-Ghafiqi

Imam Hanbal

Ja'far ash-Shadiq

Malik bin Anas

Imam Asy-Syafi'i

Tariq bin Ziyad

Catatan kaki

^ Imam Adz Dzahabi berkata: "As Salafi adalah sebutan bagi siapa saja yang berada di atas manhaj salaf."
Siyar A’lamin Nubala 6/21.

^ Salafy.or.id

^ “Sebaik-baik manusia adalah generasiku (para sahabat) kemudian generasi berikutnya (tabi’in)
kemudian generasi berikutnya (tabiu’t tabi’in)” (Hadits shahih Muttafaq'alaih Bukhari & Muslim)

^ “Aku adalah sebaik-baik salaf (pendahulu) bagimu.” (Hadist riwayat Muslim no. 2450 (98))

Referensi

Mengapa Harus Bermanhaj Salaf?

Audio Salaf Online

Majelis Ilmu Online

Salaf dan Salafiyah

Lihat pula

As-Sabiqun al-Awwalun
Sahabat nabi

Salafy

Sunni

Syi'ah

Pranala luar

Yufid.com Mesin pencari kustom Islami

RujukanMuslim.com Mesin pencari kustom Islami

DarusSalaf.or.id Artikel Salaf

Ahlussunnah.web.id Audio Salaf

Al-Ilmu.net Download Salaf

Asy-Syariah.com Majalah Salaf

Milis Group Yahoo Salaf

Sejarah hadits

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Sejarah hadits, sejak pembentukan hingga saat ini dapat dijelaskan menurut pembagian masa sebagai
berikut.

Daftar isi

1 Masa pembentukan al hadist

2 Masa penggalian

3 Masa penghimpunan

4 Masa pendiwanan dan penyusunan

5 Lihat pula

Masa pembentukan al hadist


Berita tentang prilaku Nabi Muhammad (sabda, perbuatan, sikap dan persetujuan) didapat dari seorang
sahabat atau lebih yang kebetulan hadir atau menyaksikan saat itu, berita itu kemudian disampaikan
kepada sahabat yang lain yang kebetulan sedang tidak hadir atau tidak menyaksikan. Kemudian berita
itu disampaikan kepada murid-muridnya yang disebut tabi'in (satu generasi dibawah sahabat). Berita itu
kemudian disampaikan lagi ke murid-murid dari generasi selanjutnya lagi yaitu para tabi'ut tabi'in dan
seterusnya hingga sampai kepada pembuku hadist (mudawwin).

Pada masa sang nabi masih hidup, Hadits belum ditulis dan berada dalam benak atau hapalan para
sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan mengingat nabi masih
mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu.

Di antara sahabat tidak semua bergaulnya dengan nabi. Ada yang sering menyertai, ada yang beberapa
kali saja bertemu nabi. Oleh sebab itu al hadits yang dimiliki sahabat itu tidak selalu sama banyaknya
ataupun macamnya. Demikian pula ketelitiannya. Namun di antara para sahabat itu sering bertukar
berita (Hadist) sehingga prilaku Nabi Muhammad banyak yang diteladani, ditaati dan diamalkan sahabat
bahkan umat Islam pada umumnya pada waktu Nabi Muhammad masih hidup.

Dengan demikian pelaksanaan al hadist dikalangan umat Islam saat itu selalu berada dalam kendali dan
pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya para
sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut. Al hadist yang telah diamalkan/ditaati oleh
umat Islam dimasa Nabi Muhammad hidup ini oleh ahli hadist disebut sebagai sunnah muttaba'ah
ma'rufah. Itulah setinggi-tinggi kekuatan kebenaran al hadist.

Meski pada masa itu al hadist berada pada ingatan para sahabat, namun ada sahabat yang
menuliskannya untuk kepentingan catatan pribadinya (bukan untuk kepentingan umum). Di antaranya
ialah:

'Abdullah bin 'Amr bin 'Ash (dalam himpunan As Shadiqah)

'Ali bin Abi Thalib (dalam shahifahnya mengenai huku-hukum diyat yaitu soal denda atau ganti rugi).

Masa penggalian

Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M) pada awalnya tidak menimbulkan masalah
mengenai al hadits karena sahabat besar masih cukup jumlahnya dan seakan-akan menggantikan peran
nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai al
hadist ataupun Al Quran, dan di antara mereka masih sering bertemu untuk berbagai keperluan.

Sejak Kekhalifahan Umar bin Khaththab (tahun 13 - 23 H atau 634 - 644 M) wilayah dakwah Islamiyah
dan daulah Islamiyah mulai meluas hingga ke Jazirah Arab, maka mulailah timbul masalah-masalah baru
khususnya pada daerah-daerah baru sehingga makin banyak jumlah dan macam masalah yang
memerlukan pemecahannya. Meski para sahabat tempat tinggalnya mulai tersebar dan jumlahnya mulai
berkurang, namun kebutuhan untuk memecahkan berbagai masalah baru tersebut terus mendorong
para sahabat makin saling bertemu bertukar al hadist.

Kemudian para sahabat kecil mulai mengambil alih tugas penggalian al hadits dari sumbernya ialah para
sahabat besar. Kehadiran seorang sahabat besar selalu menjadi pusat perhatian para sahabat kecil
terutama para tabi'in. Meski memerlukan perjalanan jauh tidak segan-segan para tabi'in ini berusaha
menemui seorang sahabat yang memiliki al hadist yang sangat diperlukannya. Maka para tabi'in mulai
banyak memiliki al hadist yang diterima atau digalinya dari sumbernya yaitu para sahabat. Meski begitu,
sekaligus sebagai catatan pada masa itu adalah al hadist belum ditulis apalagi dibukukan.

Masa penghimpunan

Musibah besar menimpa umat Islam pada masa awal Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Musibah itu berupa
permusuhan di antara sebagian umat Islam yang meminta korban jiwa dan harta yang tidak sedikit.
Pihak-pihak yang bermusuhan itu semula hanya memperebutkan kedudukan kekhalifahan kemudian
bergeser kepada bidang syari'at dan aqidah dengan membuat al hadist maudlu (palsu) yang jumlah dan
macamnya tidak tanggung-tanggung guna mengesahkan atau membenarkan dan menguatkan keinginan
/ perjuangan mereka yang saling bermusuhan itu. Untungnya mereka tidak mungkin memalsukan Al
Quran, karena selain sudah didiwankan (dibukukan) tidak sedikit yang telah hafal. Hanya saja mereka
yang bermusuhan itu memberikan tafsir-tafsir Al Quran belaka untuk memenuhi keinginan atau
pahamnya.

Keadaan menjadi semakin memprihatinkan dengan terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di
Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan terutama para tabi'in mengingat
kondisi demikian itu lantas mengambil sikap tidak mau lagi menerima al hadist baru, yaitu yang
sebelumnya tidak mereka miliki. Kalaupun menerima, para shabat kecil dan tabi'in ini sangat berhat-hati
sekali. Diteliti dengan secermat-cermatnya mengenai siapa yang menjadi sumber dan siapa yang
membawakannya. Sebab mereka ini tahu benar siapa-siapa yang melibatkan diri atau terlibat dalam
persengketaan dan permusuhan masa itu. Mereka tahu benar keadaan pribadi-pribadi
sumber/pemberita al hadist. Misal apakah seorang yang pelupa atau tidak, masih kanak-kanak atau
telah udzur, benar atau tidaknya sumber dan pemberitaan suatu Al Hadist dan sebagainya. Pengetahuan
yang demikian itu diwariskan kepada murid-muridnya ialah para tabi'ut tabi'in.

Umar bin Abdul Aziz seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 - 101 H / 717 - 720 M) termasuk
angkatan tabi'in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan Al Hadist. Para kepala daerah
diperintahkannya untuk menghimpun Al Hadist dari para tabi'in yang terkenal memiliki banyak al hadist.
Seorang tabi'in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidillah bin 'Abdullah bin
Syihab Az Zuhri (tahun 51 - 124 H / 671 - 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut.
Untuk itu dia Az Zuhri menggunakan semboyannya yang terkenal yaitu al isnaadu minad diin, lau lal
isnadu la qaala man syaa-a maa syaa-a (artinya: sanad itu bagian dari agama, sekiranya tidak ada sanad
maka berkatalah siapa saja tentang apa saja).

Az Zuhri melaksanakan perintah itu dengan kecermatan yang setinggi-tingginya, ditentukannya mana
yang maqbul dan mana yang mardud. Para ahli al hadits menyatakan bahwa Az Zuhri telah
menyelamatkan 90 al hadits yang tidak sempat diriwayatkan oleh rawi-rawi yang lain.

Di tempat lain pada masa ini muncul juga penghimpun al hadist yang antara lain:

Mekkah - Ibnu Juraid (tahun 80 - 150 H / 699 - 767 M)

Madinah - Ibnu Ishaq (wafat tahun 150 H / 767 M)

Madinah - Sa'id bin 'Arubah (wafat tahun 156 H / 773 M)

Madinah - Malik bin Anas (tahun 93 - 179 H / 712 - 798 M)

Madinah - Rabi'in bin Shabih (wafat tahun 160 H / 777 M)

Yaman - Ma'mar Al Ardi (wafat tahun 152 H / 768 M)

Syam - Abu 'Amar Al Auzai (tahun 88 - 157 H / 707 - 773 M)

Kuffah - Sufyan Ats Tsauri (wafat tahun 161 H / 778 M)

Bashrah - Hammad bin Salamah (wafat tahun 167 H / 773 M)

Khurasan - 'Abdullah bin Mubarrak (tahun 117 - 181 H / 735 - 798 M)

Wasith (Irak) - Hasyim (tahun 95 - 153 H / 713 - 770 M)

Jarir bin 'Abdullah Hamid (tahun 110 - 188 H / 728 - 804 M)

Yang perlu menjadi catatan atas keberhasilan masa penghimpunan al hadits dalam kitab-kitab pada
masa Abad II Hijriyah ini, adalah bahwa al hadits tersebut belum dipisahkan mana yang Marfu', mana
yang Mauquf dan mana yang Maqthu.
Masa pendiwanan dan penyusunan

Usaha pendiwanan (yaitu pembukuan, pelakunya ialah pembuku al hadits disebut pendiwan) dan
penyusunan al hadits dilaksanakan pada masa abad ke 3 H. Langkah utama dalam masa ini diawali
dengan pengelompokan al hadits. Pengelompokan dilakukan dengan memisahkan mana al hadits yang
marfu', mauquf dan maqtu. Al hadits marfu' ialah al hadits yang berisi perilaku Nabi Muhammad, al
hadits mauquf ialah al hadits yang berisi perilaku sahabat dan al hadits maqthu' ialah al hadits yang
berisi perilaku tabi'in. Pengelompokan tersebut di antaranya dilakukan oleh:

Ahmad bin Hambal

'Abdullan bin Musa Al 'Abasi Al Kufi

Musaddad Al Bashri

Nu'am bin Hammad Al Khuza'i

'Utsman bin Abi Syu'bah

Yang paling mendapat perhatian paling besar dari ulama-ulama sesudahnya adalah Musnadul Kabir
karya Ahmad bin Hambal (164-241 H / 780-855 M) yang berisi 40.000 al hadits, 10.000 di antaranya
berulang-ulang. Menurut ahlinya sekiranya Musnadul Kabir ini tetap sebanyak yang disusun Ahmad
sendiri maka tidak ada hadist yang mardud (tertolak). Mengingat musnad ini selanjutnya ditambah-
tambah oleh anak Ahmad sendiri yang bernama 'Abdullah dan Abu Bakr Qathi'i sehingga tidak sedikit
termuat dengan yang dla'if dan 4 hadist maudlu'.

Adapun pendiwanan al hadits dilaksanakan dengan penelitian sanad dan rawi-rawinya. Ulama terkenal
yang mempelopori usaha ini adalah:

Ishaq bin Rahawaih bin Mukhlad Al Handhali At Tamimi Al Marwazi (161-238 H / 780-855 M)

Ia adalah salah satu guru Ahmad bin Hambal, Bukhari, Muslim, At Tirmidzi, An Nasai.

Usaha Ishaq ini selain dilanjutkan juga ditingkatkan oleh Bukhari, kemudian diteruskan oleh muridnya
yaitu Muslim. Akhirnya ulama-ulama sesudahnya meneruskan usaha tersebut sehingga pendiwanan
kitab al hadits terwujud dalam kitab Al Jami'ush Shahih Bukhari, Al Jamush Shahih Muslim As Sunan Ibnu
Majah dan seterusnya sebagaimana terdapat dalam daftar kitab masa abad 3 hijriyah.
Yang perlu menjadi catatan pada masa ini (abad 3 H) ialah telah diusahakannya untuk memisahkan al
hadits yang shahih dari al hadits yang tidak shahih sehingga tersusun 3 macam al hadits, yaitu:

Kitab Shahih - (Shahih Bukhari, Shahih Muslim) - berisi al hadits yang shahih saja

Kitab Sunan - (Ibnu Majah, Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasai, Ad Damiri) - menurut sebagian ulama
selain Sunan Ibnu Majah berisi al hadits shahih dan al hadits dla'if yang tidak munkar.

Kitab Musnad - (Abu Ya'la, Al Hmaidi, Ali Madaini, Al Bazar, Baqi bin Mukhlad, Ibnu Rahawaih) - berisi
berbagai macam al hadits tanpa penelitian dan penyaringan. Oleh sebab itu hanya berguna bagi para
ahli al hadits untuk bahan perbandingan.

Apa yang telah dilakukan oleh para ahli al hadits abad 3 Hijriyah tidak banyak yang mengeluarkan atau
menggali al hadits dari sumbernya seperti halnya ahli al hadits pada adab 2 Hijriyah. Ahli al hadits abad 3
umumnya melakukan tashhih (koreksi atau verifikasi) saja atas al hadits yang telah ada disamping juga
menghafalkannya. Sedangkan pada masa abad 4 hijriyah dapat dikatakan masa penyelesaian pembinaan
al hadist. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab al hadits,
menghimpun yang terserakan dan memudahkan mempelajarinya.

Lihat pula

Hadits

Kategori: Hadis

Siapakah Ahlussunnah wal Jama'ah?


Oleh Maulana Syekh Ali Jum'ah

Ahlussunnah Wal Jamā'ah (Aswaja) membedakan antara teks wahyu (Al-Qur'an dan Sunnah), penafsiran
dan penerapannya, dalam upaya melakukan tahqīq manāth (memastikan kecocokan sebab hukum pada
kejadian) dan takhrīj manāth (memahami sebab hukum). Metodologi inilah yang melahirkan Aswaja.

Aswaja adalah mayoritas umat Islam sepanjang masa dan zaman, sehingga golongan lain menyebut
mereka dengan sebutan: "Al-'Āmmah (orang-orang umum) atau Al-Jumhūr", karena lebih dari 90 persen
umat Islam adalah Aswaja.

Mereka mentransmisikan teks wahyu dengan sangat baik, mereka menafsirkannya, menjabarkan yang
mujmal (global), kemudian memanifestasikannya dalam kehidupan dunia ini, sehingga mereka
memakmurkan bumi dan semua yang berada di atasnya.

Aswaja adalah golongan yang menjadikan hadis Jibrīl yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahīh-nya,
sebagai dalil pembagian pilar agama menjadi tiga: Iman, Islam dan Ihsān, untuk kemudian membagikan
ilmu kepada tiga ilmu utama, yaitu: akidah, fiqih dan suluk. Setiap imam dari para imam Aswaja telah
melaksanakan tugas sesuai bakat yang Allah berikan.

Mereka bukan hanya memahami teks wahyu saja, tapi mereka juga menekankan pentingnya memahami
realitas kehidupan. Al-Qarāfī dalam kitab Tamyīz Al-Ahkām menjelaskan: Kita harus memahami realitas
kehidupan kita. Karena jika kita mengambil hukum yang ada di dalam kitab-kitab dan serta-merta
menerapkannya kepada realitas apapun, tanpa kita pastikan kesesuaian antara sebab hukum dan
realitas kejadian, maka kita telah menyesatkan manusia.

Disamping memahami teks wahyu dan memahami realitas, Aswaja juga menambahkan unsur penting
ketiga, yaitu tata cara memanifestasikan atau menerapkan teks wahyu yang absolut kepada realitas
kejadian yang bersifat relatif. Semua ini ditulis dengan jelas oleh mereka, dan ini juga yang dijalankan
hingga saat ini. Segala puji hanya bagi Allah yang karena anugerah-Nya semua hal baik menjadi
sempurna.

Inilah yang tidak dimiliki oleh kelompok-kelompak radikal. Mereka tidak memahami teks wahyu. Mereka
meyakini bahwa semua yang terlintas di benak mereka adalah kebenaran yang wajib mereka ikuti
dengan patuh. Mereka tidak memahami realitas kehidupan. Mereka juga tidak memiliki metode dalam
menerapkan teks wahyu pada tataran realitas. Karena itu mereka sesat dan menyesatkan, seperti yang
imam Al-Qarāfī jelaskan.

Aswaja tidak mengafirkan siapapun, kecuali orang yang mengakui bahwa ia telah keluar dari Islam, juga
orang yang keluar dari barisan umat Islam. Aswaja tidak pernah mengafirkan orang yang salat
menghadap kiblat. Aswaja tidak pernah menggiring manusia untuk mencari kekuasaan, menumpahkan
darah, dan tidak pula mengikuti syahwat birahi (yang haram).

Aswaja menerima perbedaan dan menjelaskan dalil-dalil setiap permasalahan, serta menerima
kemajemukan dan keragaman dalam akidah, atau fiqih, atau tasawuf:

(mengutip 3 bait dari Al-Burdah):

"Para nabi semua meminta dari dirinya.

Seciduk lautan kemuliaannya dan setitik hujan ilmunya.

Para nabi sama berdiri di puncak mereka.

Mengharap setitik ilmu atau seonggok hikmahnya.

Dialah Rasul yang sempurna batin dan lahirnya.

Terpilih sebagai kekasih Allah Pencipta manusia."


Aswaja berada di jalan cahaya terang yang malamnya seterang siangnya, orang yang keluar dari jalan itu
pasti celaka.

Aswaja menyerukan pada kebajikan, dan melarang kemungkaran. Mereka juga waspada dalam
menjalankan agama, mereka tidak pernah menjadikan kekerasan sebagai jalan.

Diriwayatkan dari sahabat Abu Musa Al-Asy'arī, bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "...hingga seseorang
membunuh tetangganya, saudaranya, pamannya dan sepupunya.", Para sahabat tercengang:
"Subhānallah, apakah saat itu mereka punya akal yang waras?" Rasulullah menjawab: "Tidak. Allah telah
mencabut akal orang-orang yang hidup pada masa itu, sehingga mereka merasa benar, padahal mereka
tidaklah dalam kebenaran."

Rasulullah juga bersabda: "Barangsiapa yang keluar dari barisan umatku, menikam (membunuh) orang
saleh dan orang jahatnya, ia tidak peduli pada orang mukmin juga tidak menghormati orang yang
melakukan perjanjian damai (ahlu dzimmah), sungguh dia bukanlah bagian dari saya, dan saya bukanlah
bagian dari dia."

Aswaja memahami syariat dari awalnya. Mereka memahami "Bismillāhirrahmānirrahīm" (Dengan


menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Allah Menyebutkan dua nama-Nya,
yaitu Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah tidak mengatakan: "Dengan menyebut nama Allah
Yang Maha Membalas dan Maha Kuat". Justru Allah menyampaikan pesan keindahan dalam keindahan
(melalui Ar-Rahmān dan Ar-Rahīm). Allah tidak mengenalkan diri-Nya dengan keagungan-Nya SWT.

Kami belajar "Bismillāhirrahmānirrahīm" di Al-Azhar. Para ulama Al-Azhar saat menafsirkannya


menjelaskan dengan banyak ilmu. Mereka menjelaskan "Bismillāhirrahmānirrahīm" dari banyak
perspektif ilmu: fiqih, mantiq (logika), akidah, suluk dan balaghah. Mereka sabar duduk menjelaskannya
dengan begitu lama dan panjang, hingga kita menyangka bahwa penjelasan mereka tidak ada ujungnya.

Kemudian, setelah musibah (teror golongan radikal) ini menimpa, kita baru memahami bahwa metode
mengajar ulama Al-Azhar itu merupakan kebenaran. Mereka membangun piramida (ilmu kita) sesuai
cara yang benar: membangun pondasi piramida dari bawah, hingga sampai pada ujung lancipnya yang
berada di atas. Sementara kelompok radikal membalik cara membangun piramida (ilmu mereka,
ujungnya di bawah, dan pondasinya di atas) hingga piramida itu runtuh mengenai kepala mereka sendiri.

Aswaja tidak memungkiri peran akal, bahkan mereka mampu mensinergikan akal dan teks wahyu, serta
mampu hidup damai bersama golongan lain. Aswaja tidak pernah membuat opini umum palsu
(memprovokasi). Mereka tidak pernah bertabrakan (melakukan kekerasan) dengan siapapun di jagad
raya. Aswaja justru membuka hati dan jiwa mereka untuk semua orang, hingga mereka berbondong-
bondong masuk Islam.

Para ulama Aswaja telah melaksanakan apa yang harus mereka lakukan pada zaman mereka. Karena itu
kita juga harus melaksanakan kewajiban kita di zaman ini dengan baik. Kita wajib memahami teks
wahyu, memahami realitas dan mempelajari metode penerapan teks wahyu pada realitas.
Aswaja memperhatikan dengan cermat 4 faktor perubahan, yaitu: waktu, tempat, individu dan keadaan.
Al-Qarāfī menulis kitab luar biasa yang bernama Al-Furūq untuk membangun naluri ilmiah (malakah)
hingga kita mampu melihat perbedaan detail.

Awal yang benar akan mengantar pada akhir yang benar juga. Karena itu, barangsiapa yang mempelajari
alfabet ilmu (pondasi awal ilmu) dengan salah, maka ia akan membaca dengan salah juga, lalu
memahami dengan salah, kemudian menerapkan dengan salah, hingga ia menghalangi manusia dari
jalan Allah tanpa ia sadari. Inilah yang terjadi (dan yang membedakan) antara orang yang belajar ilmu
bermanfaat, terutama Al-Azhar sebagai pemimpin lembaga-lembaga keilmuan, dan antara orang yang
mengikuti hawa nafsunya, merusak dunia dan menjelekkan citra Islam serta kaum muslimin.

Pesan saya kepada umat Islam dan dunia luar: Ketahuilah bahwa Al-Azhar adalah pembina Aswaja.
Sungguh oknum-oknum (yang membencinya) telah menyebar kabar keji, dusta dan palsu bahwa Al-
Azhar telah mengalami penetrasi (dan lumpuh). Mereka ingin membuat umat manusia meragukan Al-
Azhar sebagai otoritas yang terpercaya, hingga mereka tidak mau kembali lagi kepada Al-Azhar sebagai
tempat rujukan dan perlindungan.

Al-Azhar tetap berdiri dengan pertolongan Allah SWT, dibawah pimpinan grand syaikhnya. Setiap hari Al-
Azhar berusaha untuk mencapai tujuan-tujuan mulianya, juga membuka mata seluruh dunia,
menyelamatkan mereka dari musibah (radikalisme) yang menimpa.

Al-Azhar tidak disusupi dan tak akan lumpuh selamanya hingga hari akhir, karena Allah Yang
membangunnya dan melindunginya. Allah juga Yang mentakdirkan orang-orang pilihan-Nya untuk
mejalankan manhaj Aswaja di Al-Azhar, meski orang fasik tidak menyukainya.

Doakanlah untuk kami, semoga Allah memberi kami tuntunan taufīq agar kami bisa melakukan hal yang
dicintai dan diridhoi-Nya.

Doakan agar kami mampu menyebar luaskan agama yang benar ini, dengan pemahaman dan praktek
yang benar juga, dan semoga kami mampu menjelaskan jalan yang penuh cahaya ini kepada umat
manusia, sesuai ajaran Rasulullah.

Doakan kami semoga Allah membimbing kita semua -di muktamar ini, dan pasca muktamar- semoga
muktamar ini bisa menjadi awal perbaikan citra Islam di kalangan korban Islamophobia, baik muslim
maupun non-muslim.

*) Tulisan ini disampaikan pada sambutan pembukaan Muktamar Ahlussunnah wal-Jama'ah di


Chechnya, 25 Agustus 2016. Dialihbahasakan ke bahasa Indonesia oleh KH Ahmad Ishomuddin, Rais
Syuriyah PBNU
Tidak Semua Aliran Islam Mengaku Ahlussunnah Wal Jamaah
Kamis, 29 Mei 2014 16:30 Daerah

Jombang, NU Online

Di hadapan 60 puluh peserta pesantren kilat di pesantren Darul 'Ulum Jombang, Ketua Aswaja NU
Center Jombang Yusuf Suharto mengingatkan mereka untuk cermat melihat pelbagai macam aliran di
dalam Islam. Pasalnya, tidak semua aliran mengaku sebagai bagian Ahlussunnah Wal Jama'ah.

Di depan peserta yang baru lulus sekolah tingkat atas ini, Yusuf menyebut sekurangnya tiga aliran yang
jelas tidak mengaku sebagai Ahlussunnah. Mereka adalah Syi'ah, Khawarij, dan Mu'tazilah.

"Ahlussunah adalah aliran yang diikuti mayoritas umat Islam dunia sejak dari dulu hingga saat ini.
sementara ada beberapa aliran yang jelas bukan bagian dari Ahlussunah di antaranya Syiah, Khawarij,
dan Mu'tazilah," demikian Yusuf, Rabu (28/5).

Syi'ah, Khawarij, dan Mu'tazilah tidak digolongkan berpaham Suni karena penyebutan mereka sendiri.
Syi’ah mengkritik para sahabat yang kemudia menyebut pihaknya sebagai Syi'ah Ali dan Ahlul Bait.
Sedangkan Khawarij menyempal dari para sahabat dan menyebut dirinya As-Syurat.
Sementara Mu'tailah menyebut pihaknya sebagai Ahlul 'Adli wat Tauhid.
Jadi, tegas Yusuf, ketiganya tidak menyebut dirinya sebagai Ahlussunnah.

Ia mengatakan, warga NU mesti yakin terhadap kebenaran aliran Ahlussunnah yang diikuti mayoritas
ulama dan umat Islam. Karena, mata rantai keilmuannya jelas, dan madzhab fikihnya terkodifikasi
dengan baik di samping cara berpikirnya moderat.

"Contohnya dalam hal takdir. Jabariyah serba pasrah. Semuanya dari Allah tanpa ikhtiar. Qadariyah juga
ekstrem. Semuanya adalah peran manusia yang menihilkan Allah. Ahlusunnah menengahi pandangan
ekstrem itu dengan adanya ikhtiar dan kasb. Karenanya manusia tidak dipaksa dalam ikhtiar itu
meskipun tidak lepas dari ilmu, iradah, dan qudrah Allah."

Pesantren kilat ini berlangsung hingga Senin 16 Juni ke depan. Materi nonakademik ini diisi dengan
materi penguatan Ahlussunah Wal Jamaah yang diberikan selama dua pekan sejak pukul 07.30 hingga
08.30 kecuali Sabtu dan Ahad.

Pematerinya berasal dari pengurus Aswaja NU Center seperti ustadz Abdul Majid, ustadz Mujiono Zaini,
ustadz Syamsul Ma'arif, dan ustadz Rahmat Hidayat. (Fajar Ardana/Alhafiz K)

Jombang, NU Online

Anda mungkin juga menyukai