Anda di halaman 1dari 24

KODE ETIK IKATAN PENATA ANESTESI INDONESIA

PEMBUKAAN

Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik yang membebankan kewajiban dan sekaligus
memberikan perlindungan hokum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya.

Penata Anestesi sebagai profesi yang telah diakui keberadaannya di Indonesia yang dalam menjalankan
profesinya berada dibawah perlindungan hokum, undang-undan dan Kode Etik, memiliki kebebasan
yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Penata Anestesi yang berpegang teguh kepada
Kemandirian (Otonomy), Berbuat Baik (Beneficience), Keadilan (Justice), Prinsip Tidak Merugikan (non-
maleficence), Kejujuran (Veracity), Menepati Janji (Fidelity), Kerahasiaan (Confidentiality), dan
Akuntabilitas ( Accountability).

Bahwa profesi Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) adalah merupakan salah satu dari jenis tenaga
kesehatan yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pelayanan kesehatan berupa asuhan
kepenataan anestesi yang sejajar dengan tenaga kesehatan lainnya. Oleh karena itu, satu sama lainnya
harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para pemberi pelayanan kesehatan
khususnya pemberi pelayanan keanestesian.

Tanggung jawab utama Penata Anestesi adalah memberikan dan berpartisipasi dalam penyediaan jasa
pelayanan anestesi. Penata Anestesi dalam menjalankan praktik keprofesiannya berwenang untuk
melakukan pelayanan asuhan kepenataan anestesi pada; Praanestesi, Intraanestesi dan Pascaanestesi.
Selain wewenang tersebut Penata Anestesi juga dapat melaksanakan pelayanan anestesi berupa; di
bawah pengawasan atas pelimpahan wewenang secara mandate dari dokter spesialis anestesiologi atau
dokter lain dan berdasarkan penugasan pemerintah sesuai kebutuhan.

Oleh karena itu, juga setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) harus menjaga citra dan
martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang
pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Majelis sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus
diakui setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) yang pada saat mengucapkan Sumpah
Profesinya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia
(IPAI) yang berlaku.

Tujuan kode etik adalah untuk mengetahui kesepakatan profesi tentang tanggungjawab dan
kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat dan memahami kebutuhan bangsa Indoensia dalam kode
etik ini.

Dengan demikian, Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) adalah sebagai hokum tertinggi
dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi, tetapi membebankan kewajiban kepada
setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) untuk jujur dan bertanggung jawab dalam
menjalankan profesinya baik kepada Klien, Tempat Kerja, Negara atau masyarakat dan terutama kepada
dirinya sendiri.
BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Yang dimaksud dengan:

1.Penata Anestesi adalah setiap orang yang telah lulus pendidikan bidang keperawatan anestesi atau
Penata Anestesi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2.Fasilitas Pelayanan Kesehatan adalah alat dan/atau tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
upaya pelayanan kesehatan baik promotif, preventif, kuratif, maupun rehabilitative yang dilakukan oleh
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyartakat.

3.Klien adalah orang, badan hokum atau lembaga lain yang menerima jasa dan/atau pelayanan
kepenataan anestesi dari Penata Anestesi.

4.Teman sejawat adalah orang atau mereka yang menjalankan praktik Pelayanan Asuhan Kepenataan
Anesetesi sebagai Penata Anestesi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

5.Teman sejawat asing adalah Penata Anestesi yang bukan berkewarganegaraan Indonesia yang
menjalankan praktik Pelayanan Asuhan Kepenataan Anestesi di Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.

6.Majelis Kode Etik adalah lembaga atau badan yang dibentuk oleh organisasi profesi Ikatan Penata
Anestesi Indonesia (IPAI) yang berfungsi dan ber-kewenangan mengawasi pelaksanaan Kode Etik Ikatan
Penata Anestesi Indonesia (IPAI) sebagaimana semestinya oleh Penata Anestesi dan behak menerima
dan memeriksa pengaduan terhadap seseorang Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) yang
dianggap melanggar Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI).
7.

Honorarium adalah pembayaran kepada Penata Anesetesi sebagai imbalan jasa Penata Anestesi
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

KEPRIBADIAN PENATA ANESTESI

Pasal 2

(1)Setiap Penata Anestesi harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Ikatan
Penata Anestesi Indonesia (IPAI).

(2)Seorang Penata Anestesi harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar
profesi yang tinggi.

(3)Dalam melakukan Asuhan Kepenataan Anestesi, Penata Anestesi tidak boleh dipengaruhi oleh
sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.

(4)Seorang Penata Anestesi harus menghindarkan diri dari perbuatan yang memuji diri sendiri.

(5)

Seorang Penata Anestesi harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan klien dan sejawat, dan
berupaya mengingatkan sejawatnya yang diketahui memiliki kekurangan dalam karakter atau
kompetensi.

(6)Seorang Penata Anestesi harus menghormati hak-hak klien, hak-hak sejawatnya, dan hak tenaga
kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan klien.

(7)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) dalam bekerja sama dengan cara profesional
dibidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat hendaknya memelihara saling menghormati.
(8) Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan makhluk insani, psikis maupun
fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan klien.

(9)Seorang Penata Anestesi hendaknya hanya memberikan keterangan atau pendapat yang dapat
dibuktikan kebenarannya.

(10)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) hendaknya senantiasa mengikuti
perkembangan Iptek Pelayanan Asuhan Kepenataan Anestesi dan meningkatkan ketrampilannya serta
tetap setia kepada cita-cita yang luhur.

BAB III

HUBUNGAN DENGAN PASIEN

Pasal 3

(1)Setiap Penata Anestesi dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada tugas dan
tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan pasien.

(2)Setiap Penata Anestesi dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan kepentingan pasien
dengan identitas yang sama dengan kebutuhannya berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.

(3)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) dalam memberi pelayanan asuhan
kepenataan anestesi kepada pasien wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan
oleh pasien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan
antara Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) dengan pasien.

(4)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) harus menolak memberikan pelayanan asuhan
kepenataan anestesi kepada pasien yang menurut keyakinannya tidak didasarkan pada standar
pelayanan, kode etik dan peraturan perundang-undangan.
(5)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) tidak dibenarkan membebani pasien dengan
biaya-biaya yang tidak perlu diluar yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

(6)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib menghormati hak asasi pasien.

BAB IV

HUBUNGAN DENGAN PRAKTIK

Pasal 4

(1)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib memberikan pelayanan paripurna
kepada pasien sesuai dengan kemampuan profesi yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan pasien.

(2)

Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib memelihara mutu pelayanan asuhan
kepenataan anestesi yang tinggi disertai kejujuran professional dalam menerapkan pengetahuan serta
ketrampilan sesuai kebutuhan pasien.

BAB V

HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT DAN

TENAGA KESEHATAN LAINNYA

Pasal 5

(1)Hubungan antara teman sejawat dan tenaga kesehatan lainnya dengan Penata Anestesi harus
dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling mempercayai.
(2)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) jika membicarakan teman sejawat dan tenaga
kesehatan lainnya hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan maupun
tertulis.

(3)Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode
Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) harus diajukan kepada Majelis Kode Etik untuk diperiksa dan
tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media social atau cara lain.

(4)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib memperlakukan teman sejawatnya dan
tenaga kesehatan lainnya sebagaimana ia sendiri ingin diberlakukan.

(5)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib menjalin hubungan yang baik dengan
teman sejawatnya dan tenaga kesehatan lainnya untuk mencapai suasana kerja yang serasi.

BAB VI

HUBUNGAN DENGAN PROFESINYA

Pasal 6

(1)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib menjaga nama baik dan menjunjung
tinggi cita-cita profesinya dengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan memberikan pelayanan
yang bermutu dan paripurna kepada pasien.

(2)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib mengembangkan diri dan meningkatkan
kemamouan profesinya sesuai dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
(3)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) senantiasi berperan serta dalam kegiatan
penelitian dan kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya.

BAB VII

HUBUNGAN DENGAN DIRI SENDIRI

Pasal 7

(1)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib memelihara kesehatannya agar dapat
melaksanakan tugas profesinya dengan baik.

(2)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) seyogyanya berusah untuk meningkatkan
pengetahuan dan ketrampilannya sesuai dengan perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

BAB VIII

HUBUNGAN DENGAN PEMERINTAH, NUSA BANGSA DAN TANAH AIR

Pasal 8

(1)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) dalam menjalankan tugasnya senantiasa
melaksanakan ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya dalam Pelayanan Asuhan
Kepenataan Anestesi.

(2)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) melalui profesinya berfartisipasi dan
menyumbangkan pemikirannya kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu Pelayanan Asuhan
Kepenataan Anestesi.
BAB IX

PELAKSANAAN KODE ETIK

Pasal 9

(1)Setiap Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik Ikatan
Penata Anestesi Indonesia (IPAI) ini.

(2)Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI) ini dilakukan oleh
Majelis Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI).

BAB X

MAJELIS KODE ETIK IKATAN PENATA ANESTESI INDONESIA (IPAI)

Bagian Pertama

Ketentuan Umum

Pasal 10

(1)

Majelis Kode Etik berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik yang dilakukan
oleh Anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI).

(2)
Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui 2 (dua) tingkat, yaitu:

a.tingkat Majelis Kode Etik Daerah;dan

b.tingkat Majelis Kode Etik Pusat.

(3)Majelis Kode Etik Daerah memeriksa pengaduan pada tingkat pertama dan Majelis Kode Etik Pusat
pada tingkat terakhir.

(4)Segala biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada:

a.Majelis Kode Etik Daerah dimana teradu sebagai anggota pada tingkat Majelis Kode Etik Daerah;

b.Majelis Kode Etik Pusat pada tingkat Majelis Kode Etik Pusat organisasi dimana teradu sebagai
anggota;dan

c.pengadu/teradu.

Bagian Kedua

Pengaduan

Pasal 11

(1)Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan, yaitu:
a.Pasien;

b.Teman sejawat IPAI;

c.Pejabat pemerintah;

d.Anggota masyarakat;dan

e.Dewan Pengurus Pusat/Daerah dan organisasi profesi dimana Teradu menjadi anggota.

(2)Selain untuk kepentingan organisasi, Dewan Pengurus Pusat atau Dewan Pengurus Daerah dapat juga
bertindak sebagai pengadu dalam hal yang menyangkut kepentingan hukum, kepentingan Organisasi
dan kepentingan umum dan yang dipersamakan untuk itu.

(3)Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai pelanggaran terhadap Kode Etik Ikatan
Penata Anestesi Indonesia (IPAI).

Bagian Ketiga

Tata Cara Pengaduan

Pasal 12

(1)Pengaduan terhadap Anggota Ikatan Penata Anestesi (IPAI) sebagai teradu yang dianggap melanggar
Kode Etik Ikatan Penata Anestesi (IPAI) harus disampaikan secara tertulis desertai dengan alasan-
alasannya kepada Majelis Kode Etik Daerah atau Dewan Pengurus Daerah (DPD) atau Dewan Pengurus
Pusat (DPP) dimana teradu menjadi anggota.
(2)Bilamana di suatu tempat tidak ada Dewan Pengurus Daerah (DPD) Organisasi, pengaduan
disampaikan kepada Majelis Kode Etik Daerah terdekat atau Majelis Kode Etik Pusat.

(3)Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pengurus Daerah (DPD), maka Dewan Pengurus
Daerah (DPD) meneruskannya kepada Majelis Kode Etik Daerah yang berwenang untuk memeriksa
pengaduan itu atau .

(4)Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pengurus Pusat atau Majelis Kode Etik Pusat, maka
Dewan Pengurus Pusat atau Majelis Kode Etik Pusat meneruskannya kepada Majelis Kode Etik Daerah
yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu baik langsung atau melalui Dewan Pengurus Daerah
(DPD).

Bagian Keempat

Pemeriksaan Tingkat Pertama Oleh Majelis Kode Etik Daerah

Pasal 13

(1)Majelis Kode Etik Daerah setelah menerima pengaduan tertulis yang disertai surat-surat bukti yang
dianggap perlu, menyampaikan surat pemberitahuan selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat
belas) hari kalender dengan surat kilat khusus/tercatat kepada teradu tentang adanya pengaduan
dengan menyampaikan salinan/copy surat pengaduan tersebut.

(2)Selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender pihak teradu harus memberikan
jawabannya secara tertulis kepada Majelis Kode Etik Daerah yang bersangkutan, disertai surat-surat
bukti yang dianggap perlu.

(3)Jika dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender tersebut teradu tidak memberikan jawaban secara
tertulis, Majelis Kode Etik Daerah menyampaikan pemberitahuan kedua dengan peringatan bahwa
apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak tanggal surat peringatan tersebut ia tetap
tidak memberikan jawaban tertulis, maka ia dianggap telah melepaskan hak jawabnya.
(4)

Dalam hal teradu tidak menyampaikan jawaban sebagaimana diatur di atas dan dianggap telah
melepaskan hak jawabnya, Majelis Kode Etik Daerah dapat segera menjatuhkan putusan tanpa
kehadiran pihak-pihak yang bersangkutan.

(5)Dalam hal jawaban yang diadukan telah diterima, maka Majelis Kode Etik Daerah dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender menetapkan hari sidang dan menyampaikan
panggilan secara patut kepada pengadu dan kepada teradu untuk hadir dipersidangan yang sudah
ditetapkan tersebut.

(6)Panggilan-panggilan tersebut harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling lambat 3 (tiga) hari
kalender sebelum hari sidang yang ditentukan.

(7)

Pengadu dan yang teradu:

a.harus hadir secara pribadi dan tidak dapat mengausakan kepada orang lain, yang jika dikehendaki
masing-masing dapat didampingi oleh penasehat;dan

b.berhak untuk mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti.

(8)Pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak:

a.Majelis Kode Etik Daerah akan menjelaskan tata cara pemeriksaan yang berlaku;

b.perdamaian hanya dimungkinkan bagi pengaduan yang bersifat perdata atau hanya untuk
kepentingan pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan organisasi
atau umum, dimana pengadu akan mencabut kembali pengaduannya atau dibuatkan akta perdamaian
yang dijadikan dasar keputusan oleh Majelis Kode Etik Daerah yang langsung mempunyai kekuatan
hukum yang pasti;dan

c.kedua belah pihak diminta mengemukakan alasan-alasan pengaduannya atau pembelaannya secara
bergiliran, sedangkan suarat-surat bukti akan diperika dan saksi-saksi akan didengar oleh Majelis Kode
Etik Daerah.

(9)Apabila pada sidang yang pertama kalinya salah satu pihak tidak hadir:

a.Sidang ditunda sampai dengan sidang berikutnya paling lambat 14 (empat belas) hari kalender dengan
memanggil pihak yang tidak hadir secara patut;

b.

apabila pengadu yang telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak hadir tanpa alasan yang sah, pengaduan
dinyatakan gugur dan ia tidak dapat mengajukan pengaduan lagi atas dasar yang sama kecuali Majelis
Kode Etik Daerah berpendapat bahwa materi pengaduan berkaitan dengan kepentingan umum atau
kepentingan organisasi;

c.

apabila teradu telah dipanggil sampai 2 (dua) kali tidak datang tanpa alasan yang sah, pemeriksaan
diteruskan tanpa hadirnya teradu;dan

d.

Majelis Kode Etik Daerah berwenang untuk memberikan keputusan di luar hadirnya yang teradu, yang
mempunyai kekuatan yang sama seperti keputusan biasa.
Bagian Kelima

Sidang Majelis Kode Etik Daerah

Pasal 14

(1)

Majelis Kode Etik Daerah bersidang dengan Majelis yang terdiri sekurang-kurangnya atas 3 (tiga) orang
anggota yang salah satunya merangkap sebagai Ketua Majelis, tetapi harus selalu berjumlah ganjil.

(2)

Majelis dapat terdiri Majelis Kode Etik Daerah atau ditambah dengan Anggota Majelis Kode Etik Daerah
Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hokum serta mempunyai pengetahuan dan
menjiwai Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia.

(3)

Majelis dipilih dalam rapat Majelis Kode Etik Daerah yang khusus dilakukan untuk itu yang dipimpin oleh
Ketua Majelis Kode Etik Daerah atau jika berhalangan oleh anggota Majelis Kode Etik Daerah lainnya
yang tertua.

(4)

Setiap dilakukan persidangan, Majelis Kode Etik Daerah diwajibkan membuat atau menyuruh membuat
berita acara persidangan yang disahkan dan ditandatangani oleh Ketua Majelis Kode Etik Daerah yang
menyidangkan perkara tersebut.

(5)

Sidang-sidang dilakukan secara tertutup, sedangkan keputusannya diucapkan dalam sidang terbuka.
Bagian Keenam

Cara Pengambilan Keputusan

Pasal 15

(1)

Setelah memeriksa dan mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, surat-surat bukti dan keterangan
saksi-saksi, maka Majelis Kode Etik Daerah mengambil Keputusan yang dapat berupa:

a.

menyatakan pengaduan dari pengadu tidak dapat diterima;

b.

menerima pengaduan dari pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksi-sanksi kepada teradu;dan

c.

menolak pengaduan dari pengadu.

(2)

Keputusan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasarnya dan menunjuk pada
pasal-pasal Kode Etik yang dilanggar.

(3)

Majelis Kode Etik Daerah mengambil keputusan dengan suara terbanyak dan mengucapkannya dalam
sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, setelah sebelumnya
memberitahukan hari, tanggal dan waktu persidangan tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
(4)

Anggota Majelis yang kalah dalam pengambilan suara berhak membuat catatan keberatan yang
dilampirkan didalam berkas perkara.

(5)

Keputusan ditandatangani oleh Ketua dan semua Anggota Majelis, yang apabila berhalangan untuk
menandatangani keputusan, hal mana disebut dalam Keputusan yang bersangkutan.

Bagain Ketujuh

Sanksi-Sanksi

Pasal 16

(1)

Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:

a.

peringatan biasa;

b.

peringatan keras;

c.

pemberhentian sementara untuk waktu tertentu;dan


d.

pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.

(2)

Dengan mempertimbangkan atas berat atau ringannya sifaf pelanggarannya dapat dikenakan sanksi:

a.

peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat;;

b.

peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi kembali perbuatan yang
melanggar ketentuan peraturan yang berlaku atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang pernah
diberikan;

c.

pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak
mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan peraturan organisasi atau bilamana setelah mendapat
sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi melakukan pelanggaran;

d.

pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan pelanggaran peraturan organisasi
dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan profesi IPAI yang wajib dijunjung
tinggi sebagai profesi yang otonom dan mandiri.

(3)

Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus diikuti larangan untuk
menjalankan profesi IPAI dimanapun.

(4)
Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dan/atau
pemecatan dari keanggotaan organisasi IPAI disampaikan kepada Kementerian Kesehatan untuk
diketahui.

Bagian Keelapan

Penyampaian Salinan Keputusan

Pasal 17

Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender setelah keputusan diucapkan, salinan
keputusan Majelis Kode Etik Daerah harus disampaikan kepada:

1.

Anggota yang diadukan/teradu;

2.

Pengadu;

3.

Dewan Pengurus Daerah;

4.

Dewan Pengurus Pusat;

5.

Majelis Kode Etik Pusat;dan

6.

Instansi-Instansi yang dianggap perlu apabila keputusan telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Bagian Kesembilan

Pemeriksaan Tingkat Banding Majelis Kode Etik Pusat

Pasal 18
(1)

Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan Majelis Kode Etik Daerah, ia berhak
mengajukan permohonan banding atas keputusan tersebut Kepada Majelis Kode Etik Pusat.

(2)

Pengajuan permohonan banding beserta Memori Banding yang sifatnya wajib, harus disampaikan
melalui Majelis Kode Etik Daerah dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kalender sejak tanggal yang
bersangkutan menerima salinan keputusan.

(3)

Majelis Kode Etik Daerah setelah menerima Memori Banding yang bersangkutan selaku pembanding
selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas0 hari kalender sejak penerimaannya, mengirimkan
salinannya melalaui surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya selaku terbanding.

(4)

Pihak terbanding dapat mengajukan Kontra Memori Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua
puluh satu) hari kalender sejak penerimaan Memori Banding.

(5)

Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding tidak menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap
telah melepaskan haknya untuk itu.

(6)

Selambat-lambatnya dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kalender sejak berkas perkara dilengkapi
dengan bahan-bahan yang diperlukan, berkas perkara tersebut diteruskan oleh Majelis Kode Etik Daerah
kepada Majelis Kode Etik Pusat.

(7)
Pengajuan permohonan banding menyebabkan ditundanya pelaksanaan keputusan Majelis Kode Etik
Daerah.

(8)

Majelis Kode Etik Pusat memutuskan dengan susunan Majelis yang terdiri dari sekurang-kurangnya 3
(tiga) orang anggota atau lebih, tetapi harus berjumlah ganjil yang salah satu merangkap Ketua Majelis.

(9)

Majelis dapat terdiri Majelis Kode Etik Pusat atau ditambah dengan Anggota Majelis Kode Etik Ad Hoc
yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hokum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai
Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia.

(10)

Majelis dipilih dalam rapat Majelis Kode Etik Pusat yang khusus dilakukan untuk itu yang dipimpin oleh
Ketua Majelis Kode Etik Pusat atau jika berhalangan oleh anggota Majelis Kode Etik Pusat lainnya yang
tertua.

(11)

Majelis Kode Etik Pusat memutuskan berdasarkan bahan-bahan yang ada dalam berkas perkara, tetapi
jika dianggap perlu dapat meminta bahan tambahan dari pihak-pihak yang bersangkutan atau
memanggil mereka langsung atas biaya sendiri.

(12)

Majelis Kode Etik Pusat secara prerogratif dapat menerima permohonan pemeriksaan langsung dari
suatu perkara yang diteruskan oleh Majelis Kode Etik Daerah asal saja permohonan seperti itu dilampiri
surat persetujuan dari kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung oleh Majelis Kode Etik
Pusat.
(13)

Semua ketentuan yang berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat pertama oleh Majelis Kode Etik Daerah,
secara otomatis berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat banding oleh Majelis Kode Etik Pusat.

Bagian Kesepuluh

Keputusan Majelis Kode Etik Pusat

Pasal 19

(1)

Majelis Kode Etik Pusat dapat menguatkan, mengubah atau membatalkan keputusan Majelis Kode Etik
Daerah dengan memutus sendri.

(2)

Keputusan Majelis Kode Etik Pusat mempunyai kekuatan tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka
dengan atau tanpa dihadiri para pihak dimana hari, tanggal dan waktunya telah diberitahukan
sebelumnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

(3)

Keputusan Majelis Kode Etik Pusat adalah final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam
forum manapun, termasuk dalam MUNAS, MUNASLUB dan MUKERNAS.

(4)

Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kalender setelah keputusan diucapkan, salinan
keputusan Majelis Kode Etik Pusat harus disampaikan kepada:

a.
anggota yang diadukan/teradu baik sebagai pembanding ataupun terbanding;

b.

pengadu baik selaku pembanding ataupun terbanding;

c.

Dewan Pengurus Daerah;

d.

Dewan Pengurus Pusat;

e.

Majelis Kode Etik Daerah;dan

f.

Instansi-Instansi yang dianggap perlu apabila keputusan telah mempunyai kekuatan okum yang pasti.

(5)

Apabila seseorang telah dipecat, maka Majelis Kode Etik Pusat atau Majelis Kode Etik Daerah meminta
kepada Dewan Pengurus Pusat untuk memecat orang yang bersangkutan dari keanggotaan organisasi
profesi IPAI.

Bagain Kesebelas

Ketentuan Lain Tentang Majelis Kode Etik


Pasal 20

Majelis Kode Etik berwenang menyempurnakan hal-hal yang telah diatur tentang Majelis Kode Etik
dalam Kode Etik ini dan/atau menentukan hal-hal yang belum diatur didalamnya dengan kewajiban
melaporkannya kepada Dewan Pengurus Pusat (DPP) IPAI agar diumumkan dan diketahui oleh setiap
anggota Ikatan Penata Anestesi Indonesia (IPAI).

BAB XI

KODE ETIK & MAJELIS KODE ETIK

Pasal 21

Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan Tentang Majelis Kode Etik bagi mereka
yang menjalankan profesi Penata Anestesi, sebagai satu-satunya Peraturan Kode Etik yang diberlakukan
dan berlaku di seluruh Indonesia.

BAB XII

PENUTUP

Pasal 22

Kode Etik Ikatan Penata Anestesi Indonesia ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan
:

Pada Musyawarah Nasional Luar Biasa (MUNASLUB)

di

Denpasar

tanggal

8 Oktober 2016

Ketua Umum DPP IPAI

(Dra. Dorce Tandung, M. Si.)

Anda mungkin juga menyukai