Anda di halaman 1dari 71

PROPOSAL

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN


INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
(AUTISME) DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

(PENELITIAN KORELASIONAL)

OLEH :
WINDA APRILIA
NIM : 2017. C. 09a. 0915

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI SARJANA
KEPERAWATAN
TAHUN 2020
PROPOSAL

HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN


INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
(AUTISME) DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA

(PENELITIAN KORELASIONAL)

Dibuat Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan Pada


Program Studi Sarjana Keperawatan Di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Eka Harap Palangka Raya

OLEH :
WINDA APRILIA
NIM : 2017. C. 09a. 0915

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI SARJANA
KEPERAWATAN
TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyusun proposal berjudul
“HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEMAMPUAN
INTERAKSI SOSIAL PADA ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS
(AUTISME) DI WILAYAH KOTA PALANGKA RAYA” ini tanpa suatu
halangan apapun.
Proposal ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Metodeologi
Penelitian. saya berharap agar proposal ini dapat bermanfaat khususnya bagi
kami selaku penulis dan umumnya bagi para pembaca agar dapat mengetahui
dengan lebih jelas.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan proposal ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, saya harapkan
kritik dan saran dari pembaca sehingga dalam pembuatan proposal lainnya
menjadi lebih baik lagi. Semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palangkaraya, 03 Juni 2020

Winda Aprilia

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR............................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................ 3
1.3 Tujuan...........................................................................................................3
1.3.1 Tujuan Umum..................................................................................... 3
1.3.2 Tujuan Khusus.....................................................................................3
1.4 Manfaat........................................................................................................ 3
1.4.1 Manfaat Teoritis....................................................................................3
1.4.2 Manfaat Praktis.....................................................................................4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar............................................................................................... 5
2.2 Kerangka Konsep........................................................................................49
2.3 Hipotesis......................................................................................................50
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian.........................................................................................51
3.2 Kerangka Kerja...........................................................................................52
3.3 Definisi Operasional....................................................................................54
3.4 Populasi, Sampel, Sampling........................................................................57
3.5 Pengumpulan Data......................................................................................59
3.6 Etika Penelitian...........................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Menurut Astuti Puji (2017: 45), anak berkebutuhan khusus (ABK) memiliki
berbagai hambatan gangguan kelainan yang diakibatkan dari berbagai faktor
penyebab, diantaranya adalah dikarenakan adanya kerusakan bentuk/ kondisi
organ mata, telinga, fisik/ tubuh yang berpengaruh pada gerak, mental emosional
dan sosial sehingga mempengaruhi dalam aktifitas kehidupan sehari-hari.
Beberapa bentuk kelainan yang dimaksud dapat dilihat dan dilklasifikasikan
dalam berat ringannya hambatan diantaranya: tunanetra, tunarungu, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, tunaganda, dan salah satunya autistik. Menurut Yuwono
Joko (2017: 24), autistik (autis) merupakan gangguan perkembangan
neurobiologis yang sangat komplek/ berat dalam kehidupan yang panjang, yang
meliputi gangguan aspek interaksi sosial, komunikasi dan bahasa dan perilaku
serta gangguan emosi dan persepsi sensori bahkan pada aspek motoriknya. Gejala
autistik muncul pada usia sebelum 3 tahun. Interaksi sosial merupakan salah satu
kesulitan yang nyata bagi anak autisik untuk melakukan transaksi sosial dengan
lingkungannya. Dukungan keluarga adalah sikap, tindakan dan penerimaan
keluarga terhadap penderita yang sakit.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2019 sebanyak 15 %
dari penduduk dunia atau 785 juta orang mengalami gangguan mental dan fisik.
Jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia pada tahun 2019 sebanyak
1.344.184 anak. Di Kalimantan Tengah data anak berkebutuhan khusus yang
menempuh pendidikan di jenjang SD dan SMP berjumlah 413 orang (Dinkes
Propinsi Kalimantan Tengah 2019). Pada tahun 2015 semua siswa SLBN 1
Palangka Raya berjumlah 210 orang dan di Yayasan Pendidikan Melati Ceria
berjumlah 20 orang (Autime) yang terdiri dari tingkat TK, SD, SMP dan SMA.
Pada jenjang Sekolah dasar berjumlah 130 siswa dan anak yang retardasi mental
berjumlah 77 siswa sampai bulan maret 2015 yang terbagi dari retardasi mental
ringan dan sedang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Berdasarkan hasil survei
pendahuluan tanggal 16 Maret 2016 melalui wawancara pada 5 orangtua yang

1
2

mempunyai dan menjemput anak autis sepulang sekolah. Terdapat 2 (dua)


orangtua mengatakan bahwa sebagian besar anaknya masih belum bisa melakukan
kegiatan sosial secara mandiri seperti kurang bergaul atau berbaur dengan anak-
anak lain, mereka lebih memilih aktivitasnya sendiri, susah untuk berkomunikasi,
belum bisa membantu dirinya sendiri dan belum bisa melakukan perawatan pada
diri sendiri. Sedangkan 3 (tiga) dari orang tua tersebut mengatakan bahwa anak
masih bisa melakukan kegiatan sosial seperti bisa berkomunikasi dengan keluarga
atau teman sebaya dan mandiri dalam mengurus dirinya. Dari kelima orang tua
yang telah di wawancara diantaranya mengatakan telah berusaha membantu dan
melatih anak mereka untuk bisa melakukan interaksi sosial dengan orang lain dan
memenuhi kebutuhan mereka secara mandiri.
Anak-anak autistik sering kali ditandai dengan perilaku yang suka
mengasingkan diri/ menyendiri, meskipun dalam ruangan yang penuh dengan
teman sebayanya ataupun anggota keluarganya. Sebagian besar laporan dari orang
tua yang memilki anak autistik mengatakan bahwa anak lebih memilh aktivitasnya
sendiri. Ketika orang tua mengajak anak untuk melakukan permainan selayaknya
anak-anak pada umumnya misalnya main bola, mobil-mobilan atau bernyanyi
sambil bertepuk tangan, anak autistik kesulitan untuk bergabung dan terlibat
didalamnya. Anak-anak yang tidak dapat telibat dalam bermain sosial maka
mereka tidak akan memilki hubungan pertemanan dengan teman seusianya.
Ketidakmampuan anak dalam bermain dengan teman sebayanya merupakan
isyarat yang muncul bagi orang tua melihat sesuatu yang salah pada anaknya.
Kesulitan untuk menjalin hubungan dengan teman sebayanya merupakan hal yang
mencolok sebagai ciri anak autistik dimana ketika anak autistik digabungkan
dengan seusianya, maka ada beberapa kemungkinan perilaku sosial yang salah
atau ganjil. Anak autistik tidak akan bergabung dalam aktivitas sosial dan memilih
terpisah dari kelompok temannya atau tetap berada dalam kelompok tetapi
keberadaannya tidak terlibat dalam atmosfer kelompok. Kenyataan ini tentu
sangat berhubungan dengan perkembangan komunikasi dan bahasa anak. Adanya
hubungan antara perkembangan perilaku, interaksi sosial, komunikasi dan bahasa
anak tentunya hal ini akan menghambat anak untuk memperoleh pengetahuan
melalui pengalaman sosialnya.
3

Keterlibatan orang tua dan keluarga dapat termanifestasikan dalam proses


penanganan, pemberian pembelajaran/ terapi, pemberi informasi, pembuatan
program anak, menentukan kapan harus terapi, memilihkan dokter, psikolog, dan
para terapis yang sesuai dan dibutuhkan oleh anak. Keluarga merupakan manager
utama bagi anak khususnya membantu dalam kemampuan interaksi sosial anak.
Dalam hal ini, keluarga memberikan dukungan berupa informasi, instrumental,
emosional, penilaian dan sosial. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang dukungan keluarga dengan kemampuan
interaksi sosial pada anak berkebutuhan khusus (Autisme) di Wilayah Kota
Palangka Raya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dirumuskan sebagai
berikut. “Apakah ada Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kemampuan
Interaksi Sosial Pada Anak Berkebutuhan Khusus (Autisme) Di Wilayah Kota
Palangka Raya?.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan ada tidaknya “Hubungan Dukungan Keluarga Dengan
Kemampuan Interaksi Sosial Pada Anak Berkebutuhan Khusus (Autisme)
Di Wilayah Kota Palangka Raya”.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi Dukungan Keluarga Terhadap Anak Berkebutuhan
Khusus (Autisme) Di Wilayah Kota Palangka Raya.
1.3.2.2 Mengidentifikasi Kemampuan Interaksi Sosial Anak Berkebutuhan
Khusus (Autisme) Di Wilayah Kota Palangka Raya.
1.3.2.3 Menganalisa Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kemampuan
Interaksi Sosial Pada Anak Berkebutuhan Khusus (Autisme) Di Wilayah
Kota Palangka Raya.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumber informasi
data dasar ilmiah yang dapat memperkuat teori dan sebagai bahan referensi
4

tambahan untuk kemajuan ilmu dan pengetahuan khususnya dalam bidang


keperawatan anak berkebutuhan khusus.
1.4.2 Praktis
1.4.2.1 Iptek
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dalam bidang
ilmu dan pengetahuan bagi perkembangan informasi agar selalu update dalam
memperoleh informasi sehingga perawat dapat menunjukkan sikap professional
dalam melakukan penelitian.
1.4.2.2 Bagi Mahasiswa
Sebagai bahan acuan dan sumber informasi dalam mata kuliah keperawatan
anak, khususnya anak dengan kebutuhan khusus (Autisme).
1.4.2.3 Bagi Tempat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan dukungan keluarga,
serta menambah pengetahuan guru dan masyarakat tentang pentingnya dukungan
terhadap interaksi sosial pada anak berkebutuhan khusus (Autisme) di SLB
Wilayah Kota Palangka Raya.
1.4.2.4 Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan data untuk melakukan
penelitian selanjutnya mengenai pengaruh peran keluarga dan masyarakat.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Keluarga


2.1.1 Definisi Keluarga
Menurut Marilyn M, Fridman (1998) dalam Efendy (2015: 179) keluarga
adalah dua atau lebih individu yang terikat karena hubungan darah, hubungan
perkawinan atau adopsi dan mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi
satu sama lainnya, dan didalamnya terdapat peranan dari masing-masing anggota,
menciptakan dan mempertahankan kebudayaan yang telah ada.
Menurut Baylon dan Maglaya (1978) dalam Achjar (2010: 2) keluarga
adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena hubungan perkawinan,
darah atau adopsi dan hidup dalam satu rumah yang saling berinteraksi satu sama
lain dalam perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan
suatu kebudayaan.
Sedangkan menurut Stanhope dan Lancaster (1996) dalam Susanto (2012:
10) keluarga merupakan salah satu elemen terkecil dari masyarakat. Keberadaan
keluarga dimasyarakat akan menentukan perkembangan masyarakat.
2.1.2 Ciri-ciri Keluarga
Robert Maclver dan Charles Morton Page dalam Ali Zaidin (2009: 5),
menjelaskan ciri-ciri keluarga sebagai berikut:
2.1.2.1 Keluarga merupakan hubungan perkawinan
2.1.2.2 Keluarga berbentuk suatu kelembagaan yang berkaitan dengan hubungan
perkawinan yang sengaja dibentuk atau dipelihara
2.1.2.3 Keluarga mempunyai suatu sistem tata nama (nomenclatur), termasuk
perhitungan garis keturunan
2.1.2.4 Keluarga mempunyai fungsi ekonomi yang dibentuk oleh anggota-
anggotanya berkaitan dengan kemampuan untuk mempunyai keturunan
dan membesarkan anak
2.1.2.5 Keluarga mempunyai tempat tinggal bersama, rumah, atau rumah tangga.

5
6

2.1.3 Tipe Keluarga


Berbagai bentuk dan tipe keluarga, berdasarkan berbagai sumber, dibedakan
berdasarkan keluarga tradisional dan non tradisional seperti :
2.1.3.1 Menurut Maclin (1998) dalam Achjar (2010: 3), pembagian tipe keluarga:
1) Menurut Tradisional
(1) Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-
anak yang hidup dalam rumah tangga yang sama.
(2) Keluarga dengan orang tua tunggal yaitu keluarga hanya dengan satu
orang yang mengepalai akibat dari perceraian, pisah atau ditinggalkan
(3) Pasangan inti, hanya terdiri dari suami dan istri saja, tanpa anak atau
tidak ada anak yang tinggal bersama mereka.
(4) Bujang dewasa yang tinggal sendirian
(5) Pasangan usia pertengahan atau lansia, suami sebagi pencari nafkah,
istri tinggal dirumah dengan anak sudah kawin atau bekerja
(6) Jaring keluarga besar terdiri dari dua keluarga inti atau lebih atau
anggota keluarga yang tidak menikah hidup berdekatan dalam daerah
geografis.
2) Keluarga Non Tradisional
(1) Keluarga dengan orang tua yang mempunyai anak tetapi tidak menikah
(biasanya terdiri dari ibu dan anak saja)
(2) Pasangan suami istri yang tidak menikah dan telah mempunyai anak
(3) Keluarga gay/ lesbian adalah pasangan yang berjenis kelamin sama
hidup bersama sebagai pasangan yang menikah.
(4) Keluarga komuni adalah rumah tangga yang terdiri dari lebih satu
pasangan monogami dengan anak-anak, secara bersama menggunakan
fasilitas, sumber dan memilki pengalaman yang sama.
2.1.4 Fungsi Keluarga
Menurut Achjar (2010: 5), fungsi keluarga merupakan hasil atau
konsekuensi dari struktur keluarga atau sesuatu tentang apa yang dilakukan oleh
keluarga. Terdapat beberapa fungsi keluarga yaitu:
7

2.1.4.1 Fungsi Afektif


Fungsi afektif merupakan fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan
pemeliharaan kepribadian dari anggota keluarga. Merupakan respon dari anggota
keluarga terhadap kondisi dan situasi yang dialami tiap anggota keluarga baik
senang maupun sedih, dengan melihat bagaimana cara keluarga mengekspresikan
kasih sayang.
2.1.4.2 Fungsi Sosialisasi
Fungsi sosialisasi tercermin dalam melakukan pembinaan sosialisasi pada
anak, membentuk nilai dan norma yang diyakini anak, memberikan batasan
perilaku yang boleh dan tidak boleh pada anak, meneruskan nilai-nilai budaya
keluarga. Bagaimana keluarga produktif terhadap sosial dan bagaimana keluarga
memperkenalkan anak dengan dunia luar dengan belajar berdisipsin, mengenal
budaya dan norma melalui hubungan interaksi dalam keluarga sehingga mampu
berperan dalam masyarakat.
2.1.4.3 Fungsi Perawatan Kesehatan
Fungsi perawatan kesehatan keluarga merupakan fungsi keluarga dalam
melindungi keamanan dan kesehatan seluruh anggota keluarga serta menjamin
pemenuhan kebutuhan perkembangan fisik, mental dan spritual, dengan cara
memelihara dan merawat anggota keluarga serta mengenali kondisi sakit tiap
anggota keluarga.
2.1.4.4 Fungsi Ekonomi
Fungsi ekonomi, untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang,
pangan, papan dan kebutuhan lainnya melalui keefektifan sumber dana keluarga.
Mencari sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan keluarga, pengaturan
penghasilan keluarga, menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
2.1.4.5 Fungsi Biologis
Fungsi biologis, bukan hanya ditujukan untuk meneruskan keturanan tetapi
untuk memelihara dan membesarkan anak untuk kelanjutan generasi selanjutnya.
2.1.4.6 Fungsi Psikologis
Fungsi Psikologis, terlihat bagaimana keluarga memberikan kasih sayang
dan rasa aman, memberikan perhatian diantara anggota keluarga, membina
pendewasaan kepebribadian anggota keluarga dan memberikan identitas keluarga.
8

2.1.4.7 Fungsi Pendidikan


Fungsi pendidikan diberikan keluarga dalam rangka memberikan
pengetahuan, ketrampilan, membentuk perilaku anak, mempersiapkan anak untuk
kehidupan dewasa, mendidik anak sesuai dengan tingkatan perkembangannya.
2.1.5 Struktur Dan Fungsi Keluarga
Struktur dan fungsi keluarga merupakan hubungan yang dekat dan adanya
interaksi yang terus menerus antara satu dengan yang lainnya. Struktur didasari
oleh organisasi keanggotaan dan pola hubungan yang terus menerus. Hubungan
dapat banyak dan komplek seperti seorang wanita bisa sebagai istri, sebagai ibu,
sebagai menantu dan lain-lain yang semua itu mempunyai kebutuhan, peran dan
harapan yang berbeda. Struktur keluarga dapat diperluas dan dipersempit
tergantung dari kemampuan keluarga tersebut untuk merespon stressor yang ada
dalam keluarga. Struktur dalam keluarga yang sangat kaku dan fleksibel akan
dapat meneruskan fungsi didalam keluarga.
Menurut Friedman, Bowden dan Jones (2003) dalam Susanto (2012: 17),
fungsi keluarga merupakan apa yang dikerjakan dalam keluarga, sedangkan
struktur keluarga meliputi proses yang digunakan dalam keluarga untuk mencapai
tujuan yang diharapkan. Proses ini meliputi komunikasi antar anggota keluarga,
tujuan, pemecahan konflik, pemeliharaan, dan penggunaan sumber internal dan
eksternal. Tujuan reproduksi, seksual, ekonomi, dan pendidikan dalam keluarga
memerlukan dukungan secara psikologis antar anggota keluarga, apabila
dukungan tersebut tidak didapatkan maka akan menimbulkan konsekuensi
emosional seperti marah, depresi, dan perilaku yang menyimpang. Tujuan yang
ada didalam keluarga akan lebih mudah dicapai apabila terjadi komunikasi yang
jelas dan secara langsung. Komunikasi tersebut akan mempermudah
menyelesaikan konflik dan pemecahan masalah. Struktur keluarga didasari oleh
organisasi meliputi keanggotaan dan pola keluarga yang terus menerus. Friedman,
Bowden dan Jones (2007) dalam Susanto (2012: 18) membagi struktur keluarga
menjadi empat elemen, yaitu:
9

2.1.5.1 Pola komunikasi keluarga


Komunikasi dalam keluarga ada yang berfungsi dan ada yang tidak, hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor yang ada dalam komponen komunikasi seperti
sender, chanel-media, massage, environment, dan receiver. Komunikasi dalam
keluarga dapat berupa komunikasi secara emosional, komunikasi verbal dan non
verbal, komunikasi sirkular. Komunikasi emosional memungkinkan setiap
individu dalam keluarga dapat mengekpresikan perasaan seperti bahagia, sedih
atau marah diantara para anggota keluarga. Pola komunikasi verbal individu
dalam keluargadapat mengungkapkan sesuatu yang di ingikan melalui kata-kata
yang dapat diringi dengan adanya komunikasi non verbal yang dapat berupa
gerakan tubuh dalam penekanan sesuatu hal yang diucapkan keluarga.
Komunikasi sirkular mencakup sesuatu yang melingkar dua arah dalam keluarga,
misalnya apabila istri marah pada suami, maka suami akan melakukan klasifikasi
kepada istri tentang sesuatu yang membuat istri marah kepada suami.
2.1.5.2 Pola Peran Keluarga
Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan sesuai dengan posisi
sosial yang diberikan sehingga pada struktur peran bisa bersifat formal atau
informal. Posisi atau status dalam keluarga adalah posisi individu dalam keluarga
yang dapat dipandang oleh masyarakat sebagai istri, suami atau anak. Peran
formal dalam keluarga merupakan kesepakatan bersama yang dibentuk dalam
suatu norma keluarga. Peran dalam keluarga menunjukkan pola tingkah laku dari
semua anggota didalam keluarga. Peran dalam keluarga merupakan pola tingkah
laku yang konsisten terhadap suatu situasi didalam keluarga yang terjadi akibat
interaksi diantara anggota keluarga, seperti menyapu membersihkan rumah. Peran
didalam keluarga sekarang ini terjadi perubahan. Peran didalam keluarga dapat
juga terjadi peran ganda sehingga anggota keluarga dapat menyesuaikan peran
tersebut. Peran didalam keluarga dapat fleksibel sehingga anggota keluarga dapat
beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi.
2.1.5.3 Pola Norma dan Nilai Keluarga
Nilai merupakan persepsi seseorang tentang sesuatu hal apakah baik atau
bermanfaat bagi dirinya. Norma adalah peran-peran yang dilakukan manusia,
berasal dari nilaibudaya terkait. Norma mengarah sesuai dengan nilai yang dianut
10

oleh masyarakat, dimana norma-norma dipejari sejak kecil. Persepsi seseorang


tentang nilai dipengaruhi nilai. Nilai mengarahkan respon seseorang terhadap nilai
orang lain. Nilai merefleksikan identitas seseorang sebagai bentuk dasar evaluasi
diri. Nilai memberikan dasar untuk posisi seseorang pada isu personal,
profesional, sosial, politik. Nilai yang merupakan perilaku motivasi diekspresikan
melalui perasaan, tindakan dan pengetahuan. Nilai-nilai merupakan tujuan dari
kepribadian individu. Nilai memberikan makna kehidupan dan meningkatkan
harga diri. Nilai merupakan suatu sistem, sikap dan kepercayaan yang secara sadar
atau tidak, mempersatukan anggota keluarga dalam satu budaya. Nilai keluarga
juga merupakan suatu pedoman perilaku dan pedoman bagi perkembangan norma
dan peraturan. Norma adalah pola perilaku yang baik, menurut masyarakat
berdasarkan sistem nilai dalam keluarga.
2.1.5.4 Pola Kekuatan Keluarga
Kekuatan keluarga merupakan kemampuan (potensial atau aktual) dari
individu untuk mengendalikan atau memengaruhi untuk merubah perilaku orang
lain ke arah positif. Tipe struktur kekuatan-kekuatan dalam keluarga antara lain:
legitimate power/authority (hak untuk mengotrol) seperti orang tua terhadap anak,
referent power (pendapat, ahli dan lain-lain), reward power (pengaruh kekuatan
karena adanya harapan yang akan diterima), coercive power (pengaruh yang
dipaksakan sesuai keinginannya), informational power (pengaruh yang dilalui
melalui persuasi), affective power (pengaruh yang diberikan melalui manipulasi
dengan cinta kasih misalnya hubungan seksual). Hasil dari kekuatan tersebut akan
mendasari suatu proses dalam pengambilan keputusan dalam keluarga seperti
konsesus, tawar-menawar atau akomodasi, kompromi atau de facto dan paksa.
2.1.6 Proposisi Tentang Peran Keluarga
Klein dan White (1996) dalam Friedman, Marilyn (2010: 300) merangkum
pertimbangan yang sangat bermanfaat guna memahami peran keluarga:
2.1.6.1 Kualitas pengukuhan peran seseorang dalam sebuah hubungan secara
positif memengaruhi kepuasannya dengan hubungan tersebut. Ini berarti
individu lebih puas saat mereka merasa seperti melakukan yang baik dalam
sebuah peran tertentu. Seorang ayah akan lebih puas dalam perannya sebagi
11

ayah jika ia merasa bahwa ia melakukan pekerjaan sebagai seorang ayah


dengan baik.
2.1.6.2 Semakin besar kejelasan yang dirasakan terhadap pengharapan peran,
semakin tinggi kualitas pengukuhan peran tersebut. Sebuah peran
didefinisikan sebagai harapan normatif yang melekat pada peran tertentu
dalam sebuah struktur sosial dan semakin jelas harapan ditegaskan maka
akan semakin mudah untuk mengukuhkan peran tersebut. Sebagai contoh,
peran ibu ditetapkan oleh norma sosial mengenai apa yang diharapkan
dalam peran ibu. Ibu diharapkan untuk mengasuh dan melindungi anak
mereka, tetapi bagaimana ini dicapai dapat berubah sepanjang waktu.
2.1.6.3 Semakin banyak individu merasakan konsensus dalam pengharapan
tentang sebuah peran yang mereka sandang, semakin kecil ketegangan peran
mereka. Rossi dan Berk (1985) menyatakan bahwa satu aspek penting dari
peran adalah bahwa harapan dimilki bersama atau konsensus.
2.1.6.4 Semakin besar keragaman seseorang, semakin sedikit konsesus yang akan
dirasakan dalam harapan mengenai peran tersebut. Anggota keluarga sering
kali menjalani peran ganda secara simultan (misalnya ibu, istri, pekerja,
saudara perempuan dan teman), dan terdapat harapan ganda untuk peran
ganda. Jika individu tidak dapat memenuhi harapan peran atau terdapat
sedikit konsensus mengenai peran tersebut ketegangan peran akan terjadi.
2.1.6.5 Semakin besar ketegangan peran yang dirasakan yang diakibatkan oleh
pelaksanaan peran, semakin sedikit kemudahan membuat transisi ke dalam
peran dan semakin besar kemudahan dalam membuat transisi keluar dari
peran tersebut. Semakin besar ketegangan peran, semakin sulit penyesuaian
transisi ke suatu peran baru.
2.1.7 Peran Keluarga
Menurut Zaidin (2009: 10) peranan keluarga menggambarkan
seperangkat perilaku interpersonal, sifat, kegiatan yang berhubungan
dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Peran individu dalam
keluarga didasari oleh harapan dan pola perilaku dari keluarga, kelompok
dan masyarakat. Berbagai peranan yang terdapat didalam keluarga adalah
sebagai berikut:
12

2.1.7.1 Peranan Ayah


Ayah sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai pencari
nafkah, pelindung keluarga, pemberi rasa aman bagi setiap anggota keluarga dan
juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu.
2.1.7.2 Peranan Ibu
Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak-anak,
pelindung keluarga dan pencari nafkah tambahan keluarga dan juga sebagai
anggota masyarakat sosial tertentu.
2.1.7.3 Peran Anak
Anak-anak melaksanakan peranan psikososial sesuai tingkat
perkembangan baik fisik, mental, sosial dan spritual.
Menurut Friedman, Marilyn M (2010: 301), peran keluarga dapat
diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu peran formal atau terbuka dan peran
informal atau tertutup.
1) Peran Formal Keluarga
Peran formal adalah peran eksplisit yang terkandung dalam struktur peran
keluarga (ayah, suami, dll). Terdapat keterbatasan jumlah posisi yang ditentukan
sebagai posisi normatif dalam keluarga inti klasik dengan dua orang tua. Posisi ini
disebut sebagai posisi formal dan berpasangan, serta terdiri dari ayah-suami, istri-
ibu, anak laki-laki saudara laki-laki, dan anak perempuan saudara perempuan. Jika
seorang anggota meninggalkan rumah atau menjadi tidak mampu memenuhi
sebuah peran, orang lain akan memenuhi peran tersebut guna mempertahankan
berfungsinya keluarga.
2) Peran Informal Keluarga
Kievit (1968) dalam Friedman, Marilyn (2010: 305) menjelaskan bahwa:
peran informal memiliki kebutuhan yang berbeda, sedikit cenderung berdasarkan
usia atau jenis kelamin dan lebih banyak cenderung berdasarkan atribut
kepribadian dari anggota keluarga.
2.1.8 Dukungan Keluarga
Menurut Friedman (1998) dalam Akhmadi (2009: 60) Dukungan keluarga
adalah sikap, tindakan dan penerimaan orang tua terhadap anggota keluarga lain.
Anggota kelurga dalam menghadapi keadaan yang berada diluar harapan yang
13

menjadi stressor bagi keluarga melalui proses tertentu akan memungkinkan


keluarga itu untuk bertahan dan beradaptasi dengan baik hingga menjadi sebuah
keluarga yang relisien.
Menurut Friedman (1998) dalam Yuzri Sidik (2014: 7) dukungan keluarga
adalah sikap, tindakan dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang sakit.
Anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap
memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Jenis dukungan keluarga
terdapat 5 (lima) komponen yaitu: dukungan instrumental, dukungan
informasional, dukungan penilaian, dukungan emosional dan dukungan sosial.
2.1.8.1 Jenis Dukungan Keluarga
1) Dukungan Informasional
Dukungan ini mencakup pemberian nasehat, petunjuk saran dan
mengajarkan keterampilan yang bisa menyedikan pemecahan. Manfaat dalam
dukungan ini adalah adanya informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi
sugesti yang khusus pada individu.
2) Dukungan Penilaian
Keluarga bertindak sebagai sebuah umpan balik, membimbing dan
menengahi pemecahan masalah, sebagai sumber dan validator identitas anggota
keluarga diantaranya memberikan support, penghargaan dan perhatian.
3) Dukungan Instrumental
Keluarga merupakan sumber pertolongan praktis dan konkrit, diantaranya:
kesehatan penderita dalam hal kebutuhan makan dan minum, istirahat,
terhindarnya penderita dari kelelahan.
4) Dukungan Emosional
Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian
terhadap individu-individu lain. Dengan begitu individu merasa dicintai dan
merasa aman.
5) Dukungan Sosial
Dukungan sosial adalah yang memerlukan bantuan orang lain. Oleh karena
itu, individu merupakan bagian dari keluarga, teman sekolah atau kerja, kegiatan
agama atau bagian dari kelompok lain.
2.1.8.2 Sumber Dukungan Keluarga
14

Menurut Friedman (1998) dalam Akhmadi (2009: 67), dukungan keluarga


mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh keluarga sebagai sesuatu
yang dapat diakses/ diadakan untuk keluarga (dukungan sosial bisa atau tidak
digunakan, tetapi anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat
mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan).
Dukungan sosial keluarga dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti
dukungan dari suami/ istri atau dukungan dari saudara kandung atau dukungan
sosial keluarga eksternal.
2.1.8.3 Manfaat Dukungan Keluarga
Dukungan sosial keluarga adalah sebuah proses yang terjadi sepanjang masa
kehidupan, sifat dan jenis dukungan sosial berbeda-beda dalam berbagai tahap-
tahap siklus kehidupan. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan,
dukungan sosial keluarga membuat keluarga mampu berfungsi dengan berbagai
kepandaian dan akal. Sebagai akibatnya, hal ini meningkatkan kesehatan dan
adaptasi keluarga.
Wills (1985) dalam Akhmadi (2009: 90), menyimpulkan bahwa baik efek-
efek penyangga (dukungan sosial menahan efek-efek negatif dan stress terhadap
kesehatan) dan efek-efek utama (dukungan sosial secara langsung mempengaruhi
akibat-akibat dari kesehatan) pun ditemukan. Sesungguh efek-efek penyangga dan
utama dari dukungan sosial terhadap kesehatan dan kesejahteraan boleh jadi
berfungsi bersamaan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan sosial yang
adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah
sembuh dari sakit dan dikalangan kaum tua, fungsi kognitif, fisik dan kesehatan
emosi.
2.1.8.4 Faktor yang Mempengaruhi Dukungan Keluarga
Ada bukti kuat dari hasil peneltian yang menyatakan bahwa keluarga besar
dan keluarga kecil secara kualitatif menggambarkan pengalaman-pengalaman
perkembangan. Anak-anak yang berasal dari keluarga kecil menerima lebih
banyak perhatian daripada anak-anak dari keluarga yang besar. Selain itu,
dukungan yang diberikan orangtua (khususnya ibu) juga dipengaruhi oleh usia.
Ibu yang masih muda cenderung untuk lebih tidak bisa merasakan atau
menggali kebutuhan anaknya dan juga lebih egosentris dibandingkan ibu-ibu yang
15

lebih tua. Faktor-faktor yang mempengaruhi dukungan keluarga lainnya adalah


kelas sosial ekonomi orangtua. Kelas sosial ekonomi disini meliputi tingkat
pendapatan atau pekerjaan orang tua dan tingkat pendidikan. Dalam keluarga
kelas menengah, suatu hubungan yang lebih demokratis dan adil mungkin ada,
sementara dalam keluarga kelas bawah, hubungan yang lebih otoritas atau
otokrasi. Selain orang tua dengan kelas sosial menengah mempunyai tingkat
dukungan, afeksi dan keterlibatan yang lebih tinggi daripada orang tua yang kelas
sosial bawah.
2.1.9 Peran Keluarga di Bidang Kesehatan
Menurut Setiadi (2008: 19), Keluarga juga berperan atau berfungsi untuk
melaksanaka pratek asuahan kesehatan, yaitu mencegah terjadinya gangguan
kesehatan atau merawat anggota keluarga yang sakit. Kemampuan keluarga dalam
memberikan asuhan keperawatan memengaruhi status kesehatan keluarga.
Kesanggupan kelurga melaksanakan pemeliharaan kesehatan dapat dilihat dari
tugas kesehatan keluarga yang dilaksanakan. Keluarga yang dapat melaksanakan
tugas kesehatan berarti sanggup menyelesaikan masalah kesehatan.
Tugas kesehatan keluarga adalah sebagai berikut:
2.1.9.1 Mengenal masalah kesehatan
2.1.9.2 Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat
2.1.9.3 Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit.
2.1.9.4 Mempertahankan atau menciptkan suasana rumah yang sehat
2.1.9.5 Mempertahankan hubungan dengan (menggunakan) fasilitas kesehatan
masyarakat.
2.2 Konsep Dasar Interaksi Sosial
2.2.1 Definisi Interkasi Sosial
Menurut Mubarak (2009: 73) interaksi sosial adalah hubungan antar
manusia yang menghasilkan suatu proses pengaruh mempengaruhi yang
menghasilkan hubungan tetap dan pada akhirnya memungkinkan pembentukan
struktur sosial.
Menurut Walgiti, B (2001) dalam Nasir (2009: 91), interaksi sosial adalah
hubungan antar individu satu dengan individu lain, individu satu dapat
16

mempengaruhi yang lainnya atau sebaliknya, jadi pendapat hubungan yang saling
timbal balik.
Sedangkan menurut Fitriayah dan Jauhar (2014: 231), interaksi sosial dapat
diartikan sebagai hubungan –hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial
berupa hubungan antar individu yang satu dengan individu lainnya, antara
kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan
individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, di mana simbol diartikan sebagai
sesuatu yang nilai atau maknanya di berikan kepadanya oleh mereka yang
menggunakannya.
Berdasarkan beberapa definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
interaksi sosial adalah proses dimana orang-orang menjalin kontak dan
berkomunikasi dan saling pengaruh mempengaruhi dalam pikiran maupun
tindakan.
2.2.2 Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial
Menurut Fitriyah dan Jauhar (2014: 233), bentuk-bentuk interaksi yang
mendorong terjadinya lembaga, kelompok dan organisasi sosial adalah sebagai
berikut:
2.2.2.1 Bentuk Interaksi Sosial Menurut Jumlah Pelakunya
1) Interaksi antara individu dan individu
Individu yang satu memberikan pengaruh, rangsangan/ stimulus kepada
individu lainnya. Wujud interaksi bisa dalam bentuk berjabat tangan, saling
menegur, bercakap-cakap, dan mungkin bertengkar.
2) Interaksi Antar Individu dan Kelompok
Bentuk interaksi antara individu dengan kelompok, misalnya seorang ustadz
sedang berpidato di depan orang banyak. Bentuk semacam ini menunjukkan
bahwa kepentingan individu berhadapan dengan kepentingan kelompok.
3) Interaksi Antara Kelompok dan Kelompok
Bentuk interaksi seperti ini berhubungan dengan kepentingan kepentingan
individu dalam kelompok lain. Contohnya, satu kesebelasan sepak bola
bertanding melawan kesebelasan lain.
2.2.2.2 Bentuk Interaksi Sosial Menurut Proses Terjadinya.
17

1) Imitasi
Imitasi adalah pembentukan nilai melalui dengan meniru cara-cara orang
lain. Contohnya, seorang anak sering kali meniru kebiasaan-kebiasaan orang
tuanya.
2) Identifikasi
Identifikasi adalah menirukan dirinya menjadi sama denga orang yang
ditirunya. Contohnya, seorang anak laki-laki yang begitu dekat dan akrab
dengan ayahnya suka mengidentifikasikan dirinya sama dengan ayahnya.
3) Sugesti
Sugesti dapat diberikan dari individu kepada kelompok. Kelompok kepada
kelompok dan kepada seorang individu. Contohnya, seorang remaja putus
sekolah akan dengan mudah ikut-ikutan terlibat “kenalan remaja” tanpa
memikirnya akibatnya kelak.
4) Motivasi
Motivasi juga diberikan dari seorang individu kepada kelompok.
Contohnya, pemberian tugas dari seorang guru kepada muridnya merupakan
salah satu bentuk motivasi supaya mereka mau belajar dengan rajin dan
penuh rasa tanggung jawab.
5) Simpati
Perasaan simpati itu juga disampaikan kepada seseorang/ kelompok orang
atau suatu lembaga format pada saat-saat khusus. Contohnya, apabila
perasaan simpati itu timbul dari seorang perjaka terhadap seorang gadis atau
sebaliknya, maka kelak akan timbul perasaan cinta kasih/ kasih sayang.
6) Empati
Empati itu dibarengi perasaan organisme tubuh yang sangat dalam.
Contohnya, jika kita melihat seseorang celaka sampai luka berat dan orang
itu kerabat kita, maka perasaan empati akan menempatkan kita seolah-oleh
ikut celaka.
Menurut Nasir (2009: 93), ada empat bentuk interaksi sosial yaitu:
1) Kerja Sama (Coorperation)
Suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk
mencapai suatu atau beberapa tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut
18

berkembang apabila orang dapat digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama
dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di kemudian hari mempunyai
manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam pembagian
kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya,
keahlian-keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya
rencana kerja samanya dapat terlaksana dengan baik. Kerja sama timbul karena
orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya (yaitu in-group-nya) dan
kelompok lainya (yang merupakan out-group-nya). Kerja sama akan bertambah
kuat jika ada hal-hal yang menyinggung anggota/ perorangan lainnya.
Dalam teori-teori sosiologi dapat dijumpai beberapa bentuk
kerjasama yang biasa diberi nama kerja sama (cooperation). Kerjasama
tersebut lebih lanjut dibedakan lagi dengan:
(1) Kerjasama Spontan (Spontaneous Cooperation) : Kerjasama yang
sertamerta
(2) Kerjasama Langsung (Directed Cooperation) : Kerjasama yang merupakan
hasil perintah atasan atau penguasa
(3) Kerjasama Kontrak (Contractual Cooperation) : Kerjasama atas dasar
tertentu
(4) Kerjasama Tradisional (Traditional Cooperation) : Kerjasama sebagai
bagian atau unsur dari sistem sosial.
Menurut Nasir Abdul dan kawan-kawan (2009: 95), ada lima bentuk
kerja sama ditinjau dari pelaksanaan kerja sama yaitu:
(1) Kerukunan (gotong royong dan tolong menolong)
Kerukunan yang ada di masyarakat tidak pernah diukur dengan biaya atau
tenaga yang telah dikeluarkan, melainkan dilihat dari keikutsertaan anggota
masyarakat akan kegiatan yang dilakukan serta jaminan kebersamaan yang
dibangun.
(2) Bargaining
Bargaining merupakan suatu pelaksana perjanjian mengenai pertukaran
barang-barang dan jasa-jasa antara dua organisasi atau lebih.
19

(3) Kooptasi (cooptation)


Kooptasi merupakan suatu proses penerimaan unsur-unsur baru dalam
kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai
salah satu cara untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas
organisasi yang bersangkutan.
(4) Koalisi (coalition)
Koalisi merupakan kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang
mempunyai tujuan-tujuan yang sama. Koalisi dapat menghasilkan keadaan
yang tidak stabil untuk sementara waktu karena dua organisasi atau lebih
tersebut kemungkinan mempunyai struktur yang tidak sama antara satu
dengan lainnya. Akan tetapi, karena maksud utama adalah untuk mencapat
satu atau beberapa tujuan bersama, maka sifatnnya adalah kooperatif.
(5) Join-venture
Kerjasama dalam pengusahaan proyek-proyek tertentu, misalnya
pengeboran minyak, pertambangan batu bara, perfilman, perhotelan, dst.
2) Persaingan (compettion)
Persaingan atau competition dapat diartikan sebagai suatu proses sosial
dimana individu atau kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan
melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat
perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara
menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada
tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan.
Tipe persaingan terbagi menjadi dua yaitu:
(1) Persaingan Pribadi (rivalry)
Persaingan pribadi yaitu persaingan yang dilatarbelakangi untuk
memuaskan kebutuhan pribadi. Upaya persaingan ini dilandasi untuk
memenuhi kepentingan pribadi tanpa memikirkan orang lain,
implikasinya adalah timbul persaingan sehat dan persaingan tidak sehat.
(2) Persaingan tidak pribadi (nonrivalry)
Persaingan yang tidak pribadi adalah persaingan yang ditunjukkan
dengan meningkatkan kualitas organisasi kelompok melalui
peningkatan kualitas hubungan organisasi kelompok tertentu.
20

Peningkatan kualitas hubungan biasanya dilakukan organisasi


kelompok dengan meningkatkan tali persaudaraan dan rasa persekutuan
diantara kelompok dengan harapan organisasi kelompok tersebut
sehingga mampu bertahan dan eksis di tengah persaingan global.
Bentuk persaingan ini antara lain persaingan ekonomi, kedudukan dan
peranan, serta persaingan ras.
3) Pertentangan atau Pertikaian (confict)
Pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok
berusaha untuk memnuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang
disertai dengan ancaman dan atau kekerasan. Biasanya terdapat unsur pemaksaan
kehendak pada individu atau kelompok. Individu atau kelompok hanya berpikir
sangat primitif tanpa memikirkan dampak yang lebih luas. Tipe pertentangan atau
pertikaian antara lain mengelompok dengan area yang lebih sempit (tipe vertikal)
dan melembaga dengan area yang lebih luas (tipe horizontal). Bentuk-bentuk
pertentangan antara lain pertentangan pribadi, pertentangan rasial, pertentangan
antar kelas sosial, pertentangan politik dan pertentangan yang bersifat
internasional. Akibat pertentangan yang terjadi adalah:
(1) Tambahnya solidaritas
(2) Goyah dan retaknya persatuan klompok
(3) Perubahan kepribadian individu
(4) Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia
(5) Akomodasi, dominasi, dan takluknya salah satu pihak.
4) Akomodasi atau Penyesuain Diri (accomodation)
Beberapa definisi dari akomodasi adalah sebagai berikut:
(1) Menunjuk pada suatu keadaan bahwa akomodasi berarti adanya suatu
keseimbangan (equilibrium) dalam interaksi antar-orang perorangan
atau kelompok manusia dalam kaitannya dengan norma sosial yang
berlaku dalam masyarakat.
(2) Akomodasi sebagai proses yang menunjuk pada usaha-usaha manusia
untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu usaha-usaha untuk mencapai
suatu kestabilan.
21

(3) Secara umum, akomodasi adalah suatu cara untuk menyelesaikan


pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga pihak lawan
tidak kehilangan kepribadiannya.
Dengan demikian akomodasi merupakan upaya penyeimbangan
suatu perbedaan dalam rangka menciptakan stabilitas internal melalui
kesepakatan dan negosiasi dengan jalan musyawarah untuk mufakat tanpa
kehilangan kepribadian sesama dengan anggota kelompok. Akomodasi
merupakan pencarian solusi yang tepat ketika suatu pertentangan atau
perbedaan sulit disatukan demi menjaga keutuhan kelompok.
Menurut Sunaryo (2006) dalam bukunya tentang Psikologi
Keperawatan, bentuk-bentuk akomodasi dapat dibagi menjadi beberapa
jenis yaitu:
1) Coercion
Bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena ada paksaan.
2) Compromise
Bentuk akomodasi di mana pihak yang terlibat saling mengurangi
tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan
3) Arbitration
Suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak-pihak yang
berhadapan tidak sanggup mencapainya sendiri. Dalam hal ini proses
negosiasi biasanya sudah buntu dan memerlukan pihak ketiga untuk
mengatasinya sampai pihak yang bernegosiasi mau bersikap adil dan
proporsional melalui jalan win-win solution.
4) Conciliation
Yaitu suatu usaha untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-
pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama.
5) Tolerantion
Disebut juga tolerant-perticipation yaitu bentuk akomodasi tanpa
persetujuan yang formal bentuknya.
6) Stalemate
22

Yaitu akomodasi di mana pihak-pihak yang bertentangan karena


mempunyai kekuatan yang seimbang berhenti pada suatu titik tertentu
dalam melakukan pertentangannya.
7) Adjudication
Yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.
2.2.3 Jenis Interaksi Sosial
Ada empat jenis interaksi sosial dengan lingkungannya, yaitu:
2.2.3.1 Individu dapat bertentangan dengan lingkungannya.
2.2.3.2 Individu dapat memanfaatkan lingkungannya.
2.2.3.3 Individu dapat berinteraksi dengan lingkungannya.
2.2.3.4 Individu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya
Lingkungan disini bisa berupa lingkungan fisik (alam benda-benda yang
konkret), lingkungan psikis (jiwa, badan, orang-orang dalam lingkungan) serta
lingkungan rohaniah (keyakinan-keyakinan, ide-ide dan filsafat-filsafat yang
terdapat di lingkungan individu).
2.2.4 Proses Interaksi Sosial
Proses interaksi sosial menurut Herbert Blumer dalam Fitriyah dan Jauhar
(2014: 235) adalah tindakan manusia terhadap sesuatu atas dasar makna yang
dimiliki oleh sesuatu. Makna yang dimiliki oleh sesuatu itu berasal dari interaksi
antara seseorang dengan sesamanya. Makna tidak bersifat tetap namun dapat
berubah. Perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang
dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan
interpretative process.
Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu atau kelompok terdapat
kontak sosial dan komunikasi. Kontak sosial merupakan tahap pertama dari
terjadinya hubungan sosial. Komunikasi merupakan penyampaian suatu informasi
dan pemberian penafsiran dan reaksi terhadap informasi yang disampaikan.
Karp dan Yoels menunjukkan beberapa hal yang dapat menjadi sumber informasi
bagi mulainya komunikasi atau interaksi sosial.
Sumber informasi tersebut dapat dibagi dua, yaitu: ciri fisik dan
penampilan. Ciri fisik adalah segala sesuatu yang dimiliki seorang individu sejak
23

lahir yang meliputi jenis kelamin, usia dan ras. Penampilan disini dapat meliputi
daya tarik fisik, bentuk tubuh, penampilan busana dan wacana.
Interaksi sosial memiliki aturan dan aturan itu dapat dilihat melalui dimensi
ruang dan waktu. Robert Hall membagi ruangan dalam interaksi sosial menjadi 4
batasan jarak, yaitu: jarak intim, jarak pribadi, jarak sosial, dan jarak publik.
Selain aturan, Hall juga menjelaskan mengenai aturan waktu. Pada dimensi waktu
ini, terlihat adanya batasan toleransi waktu yang dapat mempengaruhi bentuk
interaksi. Aturan yang terakhir adalah dimensi situasi yang dikemukan oleh WiI
Thomas. Definisi situasi merupakan penafsiran seseorang sebelum memberikan
reaksi. Definisi situasi ini dibuat oleh individu dan masyarakat.
Terdapat beberapa faktor yang mendorong terjadinya interaksi sosial, yakni:
2.2.4.1 Tindakan sosial
Tidak semua tindakan manusia dinyatakan sebagai tindakan sosial.
Menurut Max Weber, tindakan sosial adalah tindakan seorang individu yang dapat
mempengaruhi individu-individu lainnya dalam masyarakat. Tindakan sosial
dapat dibedakan menjadi 4 macam yaitu:
1) Tindakan rasional instrumental: tindakan yang dilakukan dengan
memperhitungkan kesesuaian antara cara dan tujuan.
2) Tindakan rasional berorientasi nilai: tindakan-tindakan yang berkaitan
dengan nilai-nilai dasar dalam masyarakat.
3) Tindakan tradisional: tindakan yang tidak mempertimbangkan rasional
4) Tidakan objektif: tindakan-tindakan yang dilakukan oleh seorang/
kelompok berdasarkan perasaan/ emosi.
2.2.4.2 Kontak Sosial
Dalam kehidupan sehari-hari kontak sosial dapat dilakukan dengan cara:
1) Kontak sosial yang dilakukan menurut cara pihak-pihak berkomunikasi.
Cara kontak sosial itu ada 2 macam yaitu:
(1) Kontak langsung: pihak komunikator menyampaikan pesannya secara
langsung kepada pihak komunikan.
(2) Kontak tidak langsung: pihak komunikator menyampaikan pesannya
kepada pihak komunikan melalui perantara pihak ketiga.
2) Kontak antar individu, antar kelompok serta individu dan kelompok.
24

(1) Kontak antar individu: bercakap-cakap dengan salah seorang teman.


(2) Kontak antar kelompok
(3) Kontak individu dengan kelompok.
3) Kontak sosial positif dan kontak sosial negatif: Kontak sosial positif
mengarah pada suatu kerja sama, sedangkan kontak sosial negatif mengarah
pada suatu pertentangan atau konflik.
4) Kontak sosial yang dilakukan menurut terjadinya proses komunikasi. Ada 3
macam kontak sosial, yakni:
(1) Kontak primer: terjadi apabila individu mengadakan hubungan
langsung bertemu dan bertatap muka, misalnya berjabat tangan dan
saling melempar senyum.
(2) Kontak sekunder: kontak yang memerlukan perantara atau media,
misalnya bertelponan, menyurati dan menelegram.
(3) Komunikasi sosial
Komunikasi artinya berhubungan atau bergaul dengan orang lain.
Orang yang menyampaikan komunikasi disebut komunikator,
sedangkan orang yang menerima komunikasi disebut komunikan. Tidak
selamanya sosial akan menghasilkan interaksi sosial yang baik apabila
proses komunikasinya tidak berlangsungnya secara komunikatif.
Contohnya, pesan yang disampaikan tidak jelas, berbelit-belit, bahkan
mungkin sama sekali tidak dapat dipahami.
2.3 Konsep Dasar Anak Berkebutuhan Khusus
Kemendiknas (2011: 6), anak berkebutuhan khusus (special needs child)
atau ABK adalah anak yang mengalami keterlambatan lebih dari dua aspek
gangguan perkembangan atau anak yang mengalami penyimpangan yang terdiri
dari yaitu : tunanetra, tunarungu, tunadaksa, tunalaras, tunagrahita, autisme, dan
learning disability.
Menurut Astuti (2014: 45), anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah
seorang anak yang memilki hambatan dalam aspek penglihatan,
pendengaran, motorik, fisik, mental, emosional, dan sosial. Berbagai
hambatan gangguan kelainan tersebut dapat diakibatkan dari berbagai
faktor penyebab, diantaranya adalah dikarenakan adanya kerusakan
25

bentuk/kondisi organ mata, telinga, fisik/tubuh yang berpengaruh pada


gerak, mental emosional dan sosial sehingga memperngaruhi dalam
aktifitas kehidupan sehari-hari. Beberapa bentuk kelainan yang dimaksud
dapat dilihat dan diklasifikasi berat dan ringannya hambatan diantaranya :
2.3.1 Tunanetra
Tunanetra adalah anak atau seseorang yang mengalami kerusakan
mata/kebutaan/tunanetra.
2.3.2 Tunarungu
Tunarungu adalah anak atau seseorang yang mengalami kerusakan
organ/syaraf telinga berakibat pada ketunarunguan/ketunawicaraan.
2.3.3 Tunagrahita
Tunagrahita adalah anak atau seseorang yang mengalami kerusakan
pada gangguan organ/syaraf otak berakibat pada ketunagrahitaan/ pikir.
2.3.4 Tunadaksa
Tunadaksa adalah anak atau seseorang yang mengami kerusakan
pada organ tubuh dapat berupa kekauan organ gerak, kelayuhan, gangguan
koordinasi gerak, kontraktur sendi.
2.3.5 Tunalaras
Tunalaras adalah anak atau seseorang yang mengalami gangguan
emosi dan sosial.
2.3.6 Tunaganda
Tunaganda adalah apabila apabila seseorang anak mengalami
gangguan/ kelainan lebih dari satu macam misalnya tunanetra dan
tunarungu.

2.3.7 Autis
Autistik adalah anak atau seseorang yang mengalami gangguan pada
perkembangan koordinasi otak.
Dengan berbagai macam gangguan tersebut, maka akan sangat
mempengaruhi kehidupan seseorang dalam melakukan aktivitas sehari-
hari.
26

2.4 Konsep dasar Anak dengan Autisme


2.4.1 Definisi Anak Autis
Menurut Sunu Christopher (2012: 7), autisme berasal dari kata “auto” yang
artinya sendiri. Istilah ini dipakai karena mereka yang mengidap gejala autisme
seringkali memang terlihat seperti seorang yang hidup sendiri. Mereka seolah-
oleh hidup di dunianya sendiri dan terlepas kontak sosial yang ada di sekitarnya.
Autisme merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh kembang, berupa
sekumpulan gejala akibat adanya kelainan syaraf-syaraf tertentu yang
menyebabkan fungsi otak tidak bekerja secara norrmal sehinggan mempengaruhi
seseorang. Gejala-gejala autisme terlihat dari adanya penyimpangan dari ciri-ciri
tumbuh kembang anak secara normal.
Autis merupakan gangguan perkembangan yang mempengaruhi beberapa
aspek bagaimana anak melihat dunia dan bagaimana belajar melalui
pengalamannya. Anak-anak dengan gangguan autis biasanya kurang dapat
merasakan kontak sosial. Mereka cenderung menyendiri dan menghindari kontak
dengan orang lain. Orang di anggap sebagai suatu objek (benda) bukan sebagai
objek yang dapat berinteraksi dan berkomnukasi. Monks, dkk (1988) menuliskan
bahwa autistik berasal dari kata “Autos” yang berarti “Aku”. Dalam pengertian
non ilmiah dapat diinterpretasikan bahwa semua anak yangg mengarah kepada
dirinya sendiri disebut autistik.
Gangguan pada anak autistik terdapat kelompok ciri-ciri yang tersedia
sebagai kriterria untuk mendiagnosis autisik. Hal ini terkenal dengan istilah
“Wing’s Triad Of Impairment” yang dicetuskan Lorna Wing dan Judy Gould.
(Jordan, 2001; Jordan & Powell, 1995; Wall, 2004 ; Yuwono, 2006). Tiga
gangguan yang ditulis oleh Wing dijabarkan secara berbeda dalam tulisan Jordan
(2001) dan wall (2004) meskipun secara diskriptif memilki kesamaan. Jordan
menuliskan tiga gangguan tersebut terdiri dari interaksi sosial, bahasa dan
komunikasi, pikiran dan perilaku. Sedangkan Wall menuliskan interaksi sosial,
komunikasi dan imajinasi. Perbedaan hanya pada istilah pikiran dan perilaku
dengan imajinasi. Tetapi keduanya menjabarkan dalam manifestasi yang tidak
jauh berbeda.
27

Berdasarkan paparan definisi di atas, penulis menarik kesimpulan bahwa


autistik adalah gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat komplek/berat
dalam kehidupan yang panjang, yang meliputi gangguan pada aspek perilaku,
interaksi sosial, komunikasi dan bahasa, serta gangguan emosi dan persepsi
sensori bahkan pada aspek motoriknya. Gejala autistik muncul pada usia sebelum
3 tahun.
2.4.2 Penyebab Autistik
2.4.2.1 Kelainan Anatomis Otak
Kelainan pada bagian-bagian tertentu yang meliputi cerebellum (otak
kecil), lobus parientalis, dan sistim ini mencerminkan bentuk-bentuk perilaku
berbeda yang muncul pada anak-abak autis.
1) Cerebellum otak kecil merupakan bagian otak yang mengatur kemampuan
berbahasa, perhatian, kemampuan berpikir, daya ingat, dan proses sensoris.
Kelainan ini menyebabkan terganggunya fungsi-fungsi yang berkaitan
dengan kemampuan diatas.
2) Kelainan pada lobus parientalis ini menyebabkan munculnya perilaku tidak
peduli pada lingkungan yang disekitarnya.
3) Sistem limbik yang terdiri dari hypocampus dan amygdala adalah bagian
otak yang bertanggungjawab terhadap pengaturan emosi. Munculnya
perilaku agresivitas atau emosi ‘naik turun’ dan kesulitan untuk
mengendalikan disebabkan adanya kelainan bagian ini. Amygdala juga
bertanggung jawab terhadap pengelolaan rasa takut, dan berbagai
rangsangan sensoris seperti penciuman, rasa, perabaan, dan penglihatan.
Sedangkan hypocampus membantu kita dalam proses belajar dan daya ingat
dalam menyimpan informasi baru. Salah satu ciri yang menandai autisme
antara lain adalah perilaku yang impulsif untuk mengulang-ulang gerakan
tertentu, ini juga disebabkan adanya kelainan pada hypocampus.
2.4.2.2 Faktor Pemicu tertentu saat Kehamilan
Beberapa faktor yang memicu munculnya autisme pada masa kehamilan
terjadi pada masa kehamilan 0-4 bulan, bisa diakibatkan karena :
1) Polutan logam berat (Pb, Hg, Cd, Al).
2) Infeksi (toksoplasma, rubella, candida, dan sebagainya)
28

3) Zat aditif (pengawet, pewarna, MSG)


4) Hiperemesis (muntah-muntah berat)
5) Perdarahan berat
6) Alergi berat
2.4.2.3 Zat-Zat aditif yang mencemari otak anak
Beberapa faktor yang berpotensi menjadi penyebab autisme pada anak
autistik, antara lain:
1) Asupan MSG (monosodiumglutamat)
2) Protein tepung terigu (gluten), protein susu sapi (kasein)
3) Zat pewarna
4) Bahan pengawet
5) Bahkan beberapa ahli juga berpendapat bahwa jenis imunisasi seperti
MRR dan Hepatitis B pada bayi dapat menjadi pemicu munculnya
autisme (meskipun hal ini masih menjadi perdebatan)
6) Polutan garam berat. Dari hasil tes darah dan beberapa rambut anak
autis ditemukan kandungan logam berat dan beracun seperti arsenik,
antimoni, kadmium (Cd), air raksa (Hg) atau timbal (Pb). Diduga
kemampuan tubuh anak autis tidak mampu melakukan seksresi terhadap
logam berat akibat masalah yang sifatnya genetis.
29
2.4.2.4 Gangguan Pencernaan
Gangguan sistem pencernaan, seperti kurangnya enzim sekretin diketahui
berhubungan dengan munculnya gejala autisme. Kasus semacam ini ditemukan
pada seorang penderita autis bersama Parker Back pada tahun 1997. Selain itu,
dari hasil pemeriksaan usus anak-anak yang mengalami autistime ditemukan
adanya gangguan berupa peradangan diususya. Dari hasil penelitian, peradangan
ini diketahui disebabkan oleh virus campak, hal ini menjadi penyebab banyak
orang tua yang akhirnya menolak memberikan vaksinasi MMR (measies, mumps,
rubella) pada anak-anaknya karena dicurigai memiliki kontribusi menjadi
penyebab autisme pada anak. Beberapa bentuk gangguan pencernaan juga
membuat anak tidak mampu memecah rantai protein dari makanan yang
dimakannya dengan sempurna (biasanya kasein yang merupakan protein dari
gandum-ganduman), sehingga akibatnya rantai protein yang tidak terpecah dengan
sempurna tersisa menjadi rantai-rantai pendek yang disebut peptida. Di otak,
peptida ini disergap oleh reseptor penerima opioid. Opioid yang berlebihan diotak
anak bekerja seperti morfin yang mengacaukan otak anak.
2.4.2.5 Kekacauan Interpretasi dari Sensori
Yang menyebabkan stimulus dipersepsi secara berlebihan oleh anak
sehingga menimbulkan kebingungan juga menjadi salah satu penyebab autisme.
2.4.2.6 Jamur yang Muncul di Usus Anak
Akibat pemakaian antibiotik yang berlebihan juga dapat menyebabkan
gangguan pada otak, karena jamur ini dapat menyebabkan ‘kebocoran usus’ dan
tidak tercernanya kasein dan gluten dengan baik sehingga protein yang ada tidak
terpecag dengan sempurna dalam aliran darah ke otak.
2.4.3 Ciri-Ciri anak Autis
Gangguan pada anak autis terdapat ciri-ciri yang disediakan sebagai kriteria
untuk mendiagnosis autistik. Hal ini terkeanl dengan istilah “Wing’s Triad of
Impairment” yang dicetuskan oleh Lorna Wing dan Judy Gould. Meskipun ada
perbedaan dalam pemilihan kata dari ketiga gangguan anak autistik, penulis
membagi dalam tiga gangguan yakni perilaku, interaksi sosial, dan komunikasi
dan bahasa. Tiga gangguan ini memilki saling keterkaitan.
Jika perilaku bermasalah maka dua aspek interaksi sosial dan komunikasi
dan bahasa akan mengalami kesulitan dalam berkembang. Sebaliknya bila
kemampuan komunikasi dan bahasa anak tidak berkembang, maka anak akan
kesulitan dalam mengembangkan perilaku dan interaksi sosial yang bermakna.
Demikian pula jika anak memiliki sesulitan dan berinteraksi sosial. Implikasi
terhadap penanganannya atas pemahaman ini adalah penanganan yang bersifat
integrated (keterpaduan) karena sifat masalah anak autistik yang tidak dikotomis.
Ciri-ciri anak autistik yang dapat diamati sebagai berikut:
1) Perilaku
(1) Cuek terhadap lingkungan
(2) Perilaku tak terarah, mondar-mandir, lari-lari, manjat-manjat, berputar-
putar, lompat-lompat dan sebagainya.
(3) Kelekatan terhadap benda tertentu
(4) Perilaku tak terarah
30

(5) Rigid routine


(6) Tantrum
(7) Obsessive-compulsive behavior
(8) Terpaku terhadap benda yang berputar atau benda yang bergerak
2) Inteaksi sosial
(1) Tidak mau menatap mata
(2) Dipanggil tidak menoleh
(3) Tidak mau bermain dengan teman sebayanya
(4) Asyik/ bermain dengan dirinya sendiri
(5) Tidak ada empati dalam lingkungan sosial
3) Komunikasi dan Bahasa
(1) Terlambat berbicara
(2) Tidak ada usaha untuk berkomunikasi secara non verbal dengan bahasa
tubuh
(3) Meracau dengan bahasa yang tidak dipahami
(4) Membeo (echolalia)
(5) Tak memahami pembicaraan orang lain
Hal-hal lain yang berkaitan dengan ciri-ciri anak autistik yang
menyertainya seperti gangguan emosional seperti tertawa dan menangis
tanpa sebab yang jelas, tidak dapat berempati, rasa takut yang berlebihan
dan sebagainya. Hal lain adalah koordinasi motorik persepsi sensori
misalnya kesulitan dalam menangkap dan melempar bola, melompat,
menutup telinga bila mendengar suara tertentu, car call, klakson mobil,
suara tangisan bayi dan sirine, menjilat-jilat benda, mencium benda, tidak
dapat merasakan sakit memahami bahaya dan sebagainya serta gangguan
perkembangan kognitif anak.
2.4.4 Klasifikasi Anak Autistik
Wing dan Gould dalam Hadis (2006: 48), mengklasifikasikan anak autistik
menurut tipe interaksi sosial menjadi tiga kelompok yaitu:
2.4.4.1 Grup aloof
Grup aloof merupakan ciri yang klasik dan banyak diketahui orang dan ini
sangat sesuai dengan deskripsi autisme infantil klasik oleh Leo Kanner pada tahun
31

1943. Anak autistik kelompok ini sangat menutup diri untuk berinteraksi dengan
orang lain. Bila anak autistik berdekatan dengan orang lain, anak autistik tersebut
merasa tidak nyaman dan marah. Anak autistik juga menghindari kontak fisik dan
sosial, walaupun kadang-kadang masih mau bermain secara fisik. Kadang anak
autistik masih dapat mendekati orang lain untuk keperluan makan, atau duduk
dipangkuan orang lain sejenak, kemudian berdiri tanpa memperlihatkan mimik
apapun. Keengganan berinteraksi lebih nyata terhadap anak yang sebaya
dibandingkan interaksi terhadap orang tuanya.
2.4.4.2 Grup pasif
Grup atau kelompok anak jenis ini tidak berinteraksi secara spontan, tetapi
tidak menolak usaha interaksi dari pihak lain, bahkan kadang-kadang
menunjukkan rasa senang. Kelompok anak autistik jenis ini dapat diajak bermain
bersama, tetapi tetap pasif. Anak ini dapat meniru bermain, tetapi tanpa imajinasi,
berulang dan terbatas.
2.4.4.3 Grup Aktif Tetapi Aneh
Pada kelompok ini, anak autistik dapat mendekati orang lain, mencoba
berkata dan bertanya tetapi bukan untuk kesenangan atau tujuan interaksi sosial
secara timbal balik. Kemampuan anak ini untuk mendekati orang lain kadang
berbentuk fisik, sangat melekat terhadap orang lain, walaupun orang lain tersebut
tidak menyukainya. Kemampuan bicaranya seringkali lebih baik jika
dibandingkan dengan grup lainnya, tetapi tetap ditandai dengan keterlambatan
bicara, dan ciri aneh lainnya. Bicaranya anak ini aneh, karena mereka
mengucapkan kata-kata atau kalimat yang sudah didengar sebelumnya, tanpa
memandang situasi dan tanpa pengertian. Intonasinya menoton, kontrol napas dan
kekerasan suaranya abnormal (berkelainan). Komunikasi non verbal juga
mengalami gangguan. Mimik anak ini terbatas dan kontak mata dengan orang lain
tidak sesuai, kadang bahkan terlalu lama.
2.4.5 Perilaku Anak Autis
Semua yang kita lakukan dapat diisebut sebagai perilaku. Senyum, makan,
minum, berjalan, menangis dan berbicara merupakan perilaku (behavior). Dalam
tahap awal perkembangan, semua perilaku tersebut diharapkan dan didorong akan
muncul pada tahap perkembangan dan pertumbuhan. Sebagian dari perilaku
32

menunjukkan perilaku yang baik, dapat diterima dan tepat. Tetapi kadang
sebagian orang memiliki masalah dalam perilakunya.
Menurut Yuwono (2012: 43) ada beberapa bentuk perilaku anak autistik
menunjukkan keberadaan yang mencolok dibanding dengan anak-anak pada
umumnya. Perbedaan perilaku anak autistik nyata berbeda berkaitan dengan
perkembangan perilaku anak-anak seusianya. Beberapa perilaku yang dapat
ditunjukkan dalam situasi-situasi sebagai berikut:
1) Anak tidak melakukan dengan tepat sesuai dengan lingkungan sekitar.
2) Perilaku anak-anak tidak sesu
3) ai dengan apa yang diharapkan dari teman-teman sebayanya.
4) Anak-anak tidak melakukan apa yang kita ingin mereka lakukan atau ketika
kita ingin mereka untuk melakukan sesuatu atau bagaimana kita ingin hal itu
dilakukan.
2.4.5.1 Aggressive
Meskipun tidak semua anak autistik menunjukkan perilaku aggresive, tapi
ini merupakan gejala yang sangat umum. Perilaku yang menunjukkan kemarahan
yang meledak-ledak dan seketika pada anak autistik merupakan hal yang umum.
Bentuk perilaku anak-anak autistik ini seperti menendang, memukul atau
melempar dengan merusak benda yang ada disekitarnya. Perilaku ini bukan
merupakan bentuk dari kemanjan atau kenakalan. Perilaku agresif merupakan
symptom dari gangguan, bukan sebagai akibat dari keterampilan yang bersifat
parenting yang buruk. Yang membedakan perilaku agresif pada anak autistik
dengan anak-anak pada umumnya adalah bahwa perilaku agresif pada anak-anak
autistik menunjukkan agresifitas yang berlebihan dan penyebabnya terkadang
terkesan sangat sederhana (bagi kita) dan terjadi secara tiba-tiba seperti tidak
nyata penyebab kejadiannya.
Bentuk dari perilaku agresif anak-anak autistik dimanifestasikan dalam
berbagai bentuk menyerang orang lain seperti memukul, mencambak,
menendang-nendang, memberantakan benda atau menggigit orang lain. Alasan
munculnya perilaku ini pada umumnya karena kebutuhan/ keinginan anak tidak
terpenuhi meskipun masalahnya sangat sepele (bagi kita) misalnya mainan
33

kesukaan diambil, posisi benda yang ditata secara berdereh berubah, dilarang
main air dan sebagainya.
2.4.5.2 Self Injury
Self injury merupakan bentuk perilaku anak-anak autistik yang
dimanifestasikan dalam bentuk menyakiti diri sendiri. Perilaku ini muncul dan
meningkat dikarenakan beberapa masalah seperti rasa jemu, stimulus yang kurang
atau kebalikannya yakni adanya stimulus yang berlebihan. Ada juga yang
mungkin disebabkan secara langsung yang berkaitan biologis.
Beberapa kasus perilaku yang menyakiti diri sendiri seperti menjambak
rambut, menggigit dan membenturkan kepalanya sendiri kedinding atau di atas
lantai. Perilaku ini muncul secara spontan dan dilakukannya tanpa ragu-ragu,
“sungguh-sungguh”. Beberapa anak autistik yang memiliki perilaku ini tidak
menunjukkan rasa sakit nmeskipun kenyataan akibat dari perilakunya
menunjukkan adanya bekas benjol atau atas benturan kepala dengan lantai atau
dinding, berdarah atau membiru pada bagian tubuh tertentu sebagai bekas
gigitannya sendiri. Rasa sakit yang ditimbulkan respom secara “singkat”. Hal ini
menunjukkan adanya indikasi beberapa kasus anak autistik yang memiliki
masalah dengan fungsi sensorinya dimana seperti sama sekali tidak merasakan
rasa sakit yang sedang dialaminya.
2.4.5.3 Rigid Routines
Rigid routines diartikan sebagai perilaku anak autistik yang cenderung
mengikuti pola dan urutan tertentu dan ketika pola atau urutan itu berubah anak
autistik menunjukkan ketidaksiapan atas perubahan tersebut. Beberapa kasus yang
sederhana seperti urutan jalan ketika pergi ke sekolah, jenis pakaian yang
dikenakan, perubahan ruang belajar atau terapi hingga perubahan jadwal terapi
dengan guru yang berbeda.
Beberapa anak-anak autistik akan toleran terhadap perubahan yang terjadi
di lingkungan sekitar, tetapi menjadi sangat cemas dan bingung/ terganggu
dengan perubahan sekecil apapun di lingkungannya. Aktivitas atau peristiwa yang
mereka harapkan tetap sama. Anak-anak autistik mengembangkan perilaku
rutinitas, dimana hal tersebut jarang atau sulit dihilangkan dan perilaku ini dapat
menjadi tidak terkontrol dan terlalu mengganggu dalam proses belajar. Contoh
34

yang sering dijumpai adalah anak autistik yang cenderung belajar dengan guru
tertentu, jam tertentu dan belajar dengan materi serta alat peraga tertentu. Ketika
guru memiliki hambatan untuk hadir dan digantikan dengan guru lain, beberapa
kasus anak-anak autistik kebingungan dan menolak. Beberapa kasus anak autistik
sangat rigid dengan pola duduk saat terapi berlangsung dan respon terhadap
materi yang diberikan oleh guru. Anak-anak autistik cenderung memperlihatkan
perubahan yang terjadi sekecil apapun di lingkungannya. Mereka sangat peka
terhadap perubahan yang terjadi didalam kehidupan sehari-hari. Perilaku ini
bukan hanya menunjukkan kelemahan, tetapi perilaku ini merupakan satu bagian
untuk tetap menjalin hubungan dengan orang lain. Karena tidak memiliki
pemahaman komunikasi verbal maupun non verbal yang memadai, maka mereka
tergantung dengan keadaan rutinitas yang mudah diketahui dan melakukan
kegiatan fisik agar dapat berhubungan dengan dunia luar yang tidak diketahui.
2.4.5.4 Self Stimulation
Leaf dan McEachin (1999) menuliskan bahwa perilku self stimulation
merupakan salah satu ciri utama yang terdapat dalam mendiagnosis anak autistik.
Perilaku ini adalah berulang-ulang stereotype yang tidak untuk menyediakan
beberapa fungsi lain diluar sensori grafitasi. Ketika anak autistik terlibat dalam
self stimulation, maka perhatiannya biasanya tertuju penuh pada perilaku tersebut
dan anak dipastikan tidak dapat memproses informasi penting. Hal ini sangat
berkaitan dengan belajar. Perilaku ini semakin menguatkan individu autistik dan
sering kesulitan mendorongnya untuk mengurangi perilaku tersebut.
Selanjutnya, Leaf dan McEachin (1999) dalam Yuwono (2012: 50),
membagi beberapa perilaku self stimulation ini. Kategori pertama adalah gerak
tubuh. Hal ini termasuk berayun-ayun, hand flapping, dan memutar-mutar badan
sendiri. Tatapan merupakan bentuk visual self stimulation seperti memperhatikan
sesuatu garis visual yang melintang bergerak seperti melihat melalui rusuk-rusuk
pagar. Kategori yang kedua, self stimulation menggunakan objek bertujuan untuk
mencari input sensori contohnya flapping menggunakan kertas, daun, melilitkan
tali pada jari, memutar objek, memutar roda mobil, mengayak pasir, memercikan
air dan menjumput-jumput kain. Seringkali anak autistik berinteraksi dengan
benda-benda melalui bermain. Kategori ketiga, ritual dan obsessions. Perilaku ini
35

termasuk menyusun objek dalam satu deret, memegang/ kelekatan terhadap


benda, memakai pakaian yang sama, menuntut sesuatu yang tidak berpindah
(furniture), berbicara terus-menerus dengan topik tertentu (verbal perseveration),
menutup pintu dan masalah dengan perpindahan benda. Hal ini seringkali
melibatkan aturan yang anak kembangkan dan menuntut orang lain untuk
mengikuti aturan.sebagaimana perilaku obsesi, aturan tersebut sungguh-sungguh
terlibat dalam kehidupan sehari-hari. Saking kuatnya dan menjadi sangat melekat
sehingga anak menjadi menolak untuk mengubah obsesinya.
Self stimulation pada anak autistik terjadi pada waktu anak merasa bosan
atau tertekan/ tidak nyaman. Ketika perilaku ini muncul dengan keasyikan yang
tinngi, anak tidak akan dapat belajar. Tetapi sebenarnya fungsi dari perilaku ini
adalah untuk mengurangi frustasi, tekanan (stress) dan fungsi adaptasi dan
perspektif anak atas stimulus yang hadir.
2.4.5.5 Perilaku Sosial anal Autistik
Perilaku sosial menyebabkan seseorang dapat berhubungan dengan
lingkungan dan berinteraksi dengan orang lain dalam lingkungan sosialnya. Jika
anak mengabaikan kehadiran orang lain disekitarnya maka anak tersebut memiliki
masalah dalam perilaku sosial.
Beberapa gangguan anak autistik dalam memahami komunikasi
menyebabkan masalah dalam mengembangkan perilaku sosial ini. Beberapa anak-
anak autistik memiliki perilaku yang cenderung bergerak kesana-kemari, bersuara
sendiri, menggigit, menggaruk-garuk, mengotak-atik sesuatu ditangannya ataupun
“flapping” (mengepak-kepakan tangannya). Perilaku sosial ini dikatakan tidak
komunikatif, tetapi sebenarnya perilaku tersebut sebagai upaya untuk
berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan sosialnya dalam berbagai
situasi. Hal ini membuktikan bagaimana keterkaitan anatara perilaku sosial yang
dipengaruhi oleh pemahaman komunikasi. Perilaku sosial anak autistik yang
muncul terlihat tidak singkron dengan nilai-nilai sosial di lingkungannya. Hal ini
dikarenakan anak-anak autistik tidak memahami sebagian besar nilai-nilai sosial
yang berlaku sehingga orang kebanyakan yang tidak memahami kondisi anak
autistik maka yang terjadi adalah marah dan kemungkinan “apa orang tuanya
tidak bisa mendidik?. Perilaku sosial ini sebaiknya diajarkan dan diterapkan
36

secara rutin dan konsisten. Tata laksana perilaku yang rutin, konsisten dan
pembiasaan yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan anak merupakan bagian
yang penting. Tetap ajarkan dan latih dalam kehidupan sehari-hari sesuai
kontekstual dari lingkungan sosial anak. Memulai dalam lingkungan yang sangat
kecil misalnya keluarga, teman bermain, di palygroup atau taman kanak-kanak
merupakan bagian yang pentng.
2.4.5.6 Fixations
Setiap anak autistik memiliki minat dan kesenangan dengan objek atau
aktivitas tertentu. Sebuah benda atau aktivitas yang menjadi favorit bagi anak
autistik misalnya perilaku yang menyukai angka-angka dan alfabetik, membaca
buku, minat terhadap peristiwa penting (sebut sejarah), nama-nama tempat
bersejarah, jenis-jenis mobil, menyanyi atau menggambar.
Beberapa literatur menunjukkan bahwa anak autistik dapat mengarahkan
“fixation” masa kecilnya menjadi karir. Dalam buku yang berjudul “Teaching
Children with Autism” (noname) memberikan beberapa kasus fixation masa pada
minat anak autistik pada masa kecil menjadi sesuatu yang luar biasa di masa
dewasanya. Bemporad (1979) melaporkan kasus dimana fixation masa kanak-
kanak terhadap matematika dapat membentuk dasar karir dalam bidang pelaporan
finansial fiskal. Kenner (1943) juga melaporkan adanya 11 kasus autistik dan
ternyata 6 orang gagal, 2 tak diketahui, sebagian sembuh dan 2 berhasil. Yang
paling berhasil yaitu yang pada masa kecilnya mengalami fixation dalam
berhitung dan sekarang bekerja sebagai kasir bank. Tujuan dari kegiatan ini
adalah mencapai perkembangan anak yang maksimal sesuai minat yang
diharapkan. Dengan demikian pada saat nanti anak akan besar diharapkan
memiliki keterampilan hidup pada bidang bahasa ataupun geografi.
2.4.6 Komunikasi dan Bahasa Pada Anak Autistik
Komunikasi merupakan proses di mana individu bertukar informasi dan
menyampaikan pikiran serta perasaan, dimana ada pengirim pesan yang
mengkodekan/memformulasikan pesan dan penerima menkodekan
pesan/memahami pesan. Bahasa sebagai alat berkomunikasi yakni untuk
mempermudah pesan disampaikan dan dipahami. Proses komunikasi terjadi
melalui bahasa. Bentuk bahasa dapat berupa isyarat, gesture, tulisan, gambar dan
37

wicara. Anak-anak autistik memilki kesulitan untuk berkomunikasi dalam bahasa,


sekalipun dalam bahasa isyarat ataupun gesture. Mereka kesulitan untuk
menyampaikan pesan dan menerima pesan.
2.4.6.1 Komunikasi Non Verbal Anak Autistik
Keterlambatan komunikasi dan bahasa merupakan ciri yang menonjol dan
selalu dimilki oleh anak autitik. Perkembangan komunikasi dan bahasanya sangat
berbeda dengan perkembangan anak pada umumnya. Sebagian dari mereka cara
berkomunikasi dengan non-verbal communication, karena sebagian besar dari
mereka belum dapat berbicara. Menurut Yuwono (2012: 67) mengutip tulisan
Harlock (1978) perkembangan anak-anak pada umumnya, sejak usia diri, bayi
mulai muncul kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa non
verbal yang disebut dengan pre speech yakni berupa gerak isya;at/ gesture ,
tangisan, mimik dan sebagainya. Tahap ini bersifat sementara sebelum anak dapat
menguasai keterampilan berbahasa yang memadai untuk menggunakan kata-kata
yang berarti dan dapat dipahami baik dipahami oleh dirinya sendiri dan orang
lain. Fungsi bahasa isyarat dalam perkembangan anak adalah sebagai pengganti
atau pelengkap bicara. Sebagai pengganti bicara, isyarat menggantikan kata yaitu
gagasan yang ingin disampaikan kepada orang lain melalui gerakan tertentu.
Anak-anak autistik kesulitan dalam menggunakan bahasa isyrata sebagai
alat komunikasi non verbal, meskipun kemampuan menunjukan benda yang
diinginkan, mengangguk atau menggelengkan kepala sebagai tanda setuju atau
tidak setuju. Berdasarkan penulis, anak-anak autistik pada usia dini 2-3 tahun
sebagian besar, jarang ditemukan memiliki kemampuan komunikasi ini. Anak-
anak autistik, sebagian besar menunjukkan kemampuan pre speech dalam bentuk
menarik tangan bila anak menginginkan sesuatu. Anak-anak autistik menunjukkan
kesulitan dalam memberi informasi tentang keinginannya untuk kencing ataupun
buang air besar. Mereka cenderung kencing dan buang air besar dicelana. Anak
autistik membutuhkan rancangan dan strategi serta pendekatan pembelajaran
untuk meningkatkan kemampuan komunikasi non verbal ini secara tepat.
2.4.6.2 Receptive Dan Expresive Language
1) Receftive Language
38

Secara sederhana, Maurice (1996) dalam Yuwon (2012: 63) mendefinisikan


kemampuan bicara reseptif adalah kemampuan anak dalam mendengar dan
memahami bahasa. Definisi yang cukup lengkap tentang Receptive language
dituliskan oleh Tilton (2004) yakni kemampuan pikiran manusia untuk
mendengarkan bahasa bicara dari orang lain dan menguraikan hal tersebut dalam
gambaran mental yang bermakna atau pola pikiran, dimana dipahami dan
digunakan oleh penerima. Sebagai contoh sederhana dalam kesulitan bahasa
reseptif pada anak-anak autistik adalah ketika mereka diberikan instruksi untuk
mengambil sesuatu “ambil bola!”, anak autistik tidak dapat merespon dengan baik
dan benar. Hal ini dikarenakan anak tersebut kesulitan dalam memahami apa
maksud dari kata ambil dan bola itu sendiri.
2) Expresive Language
Expresive Language adalah penggunaan kata-kata dan bahasa secara verbal
untuk mengkomunikasikan konsep atau pikiran. Jika anak autistik sudah memiliki
kemampuan ini, maka mereka memiliki beberapa tingkat kemampuan reseptif.
Anak-anak autistik belajar mengekspresikan bahasa dengan imitasi melalui orang
tua mereka. Mereka belajar bahwa bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi. Kata
pertama ketika anak mulai berkata-kata sebenarnya tanda bahwa bahasa reseptif
itu telah bekerja secara efektif. Bahasa ekspresif diartikan sebagai kemampuan
anak dalam menggunakan bahasa bak secara verbal, tulisan, symbol, isyarat
ataupun gesture. Anak-anak pada umumnya, mereka dapat melalui perkembangan
bahasa ekspresifnya mulai dari menggunka isyarat, bahasa lisan, simbol, hingga
tulisan dengan baik ketika mereka sudah menginjak di bangku sekolah dasar.
2.4.6.3 Echolalia
Echolalia merupakan bentuk pengulangan kata atau prase orang lain. Pada
usia tertentu, sebelum usia 2 tahunan, anak mengalami proses echolalia
(membeo). Demikian pula dengan anak-anak autistik, tetapi yang membedakan
adalah derajat echolalianya dan lama/waktu dalam tahap perkembangan ini. Anak-
anak umumnya pada masa ini cukup singkat dan derajat echolalia yang cepat
berubah menjadi fungsional dan bermakna sosial yang lebih baik. Sedangkan pada
anak-anak autistik cenderung ditemukan echolalia yang derajatnya tinggi dan
kurang bermakna. Berdasarkan pengalaman penulis, ada beberapa kasus anak
39

autistik yang masa echolalianya cukup lama, 2-3 tahun lebih. Hal ini ditunjukkan
oleh anak autistik yang mengulangi pertanyaan yang sederhana “ini siapa?”, anak
menjawab :”siapa”, meskipun anak sudah mengenali dirinya sendiri, namun tetap
kesulitan untuk menjawabnya.
2.4.6.4 Perkembangan Komunikasi Anak Autistik
Menurut Susman (1999) dalam Yunowo (2012: 71) perkembangan
komunikasi anak autistik dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kemampuan
berinteraksi, cara anak berkomunikasi, alasan dibalik komunikasi yang dilakukan
anak dan tingkat pemahaman anak. Selanjutnya ia menuliskan bahwa
perkembangan berkomunikasi anak autistik berkembang melalui empat tahapan :
Pertama, The Own Agenda Stage. Pada tahap ini anak cenderung bermain sendiri
dan tampak tidak tertarik pada orang-orang disekitar. Anak belum memahami
bahwa dengan komunikasi dapat mempengaruhi orang lain. Untuk mengetahui
keinginannya kita dapat memperhatikan gerak tubuh dan ekspresi wajahnya. Anak
dapat berinteraksi cukup lama dengan orang yang sudah dikenalnya, namun ia
akan kesulitan dan menolak berinteraksi dengan orang baru dikenalnya. Ia akan
menangis atau berteriak bila merasa terganggua aktifitasnya atau menolak
terhadap aktiftas bermainnya. Kedua, The Requester Stage. Pada tahap ini anak
autistik sudah menyadari bahwa perilakunya dapat mempengaruhi orang lain. Bila
menginginkan sesuatu ia akan menarik tangan dan mengarah ke benda yang
diinginkannya. Aktivitas yang di sukainya masih bersifat fisik seperti : bergular,
ciluk ba, lari, lompat, digiliklitik dan sebagainya. Anak dapat mengenal perintah
sederhana, tetapi responnya belum konsisten. Ia juga sudah dapat melakukan
kegiatan yang bersifat rutinitas. Ketiga, The Eary Communication Stage. Pada
tahap ini, kemampuan komunikasi anak autistik lebih baik karena melibatkan
gestur, suara dan gambar. Ia dapat berinteraksi cukup lama dan menggunakan satu
bentuk komunkasi meski dalam situasi khusus. Inisiatif anak untuk berkomunikasi
masih terbatas seperti : mau makan, minum atau benda-benda/kegiatan yang
disukai saja. Pada tahap ini anak telah mengulang hal-hal yang didengar, mulai
memahami isyarat visual/ gambar dan memahami kalimat-kalimat sederhana yang
diucapkan. Keempat, The Partner Stage. Pada tahap ini merupakan fase yang
paling efektif. Bila kemampuan bicaranya baik, maka ia berkemungkinan dapat
40

melakukan percakapan sederhana. Anak telah dapat menceritakan kejadian yang


telah lau, meminta keinginan yang belum terpenuhi dan mengekspresikan
perasaannya. Namun demikian, anak masih cenderung menghafal kalimat dan
sulit menemukan topik baru dalam percakapan.
2.4.7 Dimensi Interaksi Sosial Anak Autistik
Interaksi sosial merupakan kesulitan yang nyata bagi anak autistik untuk
melakukan transaksi sosial dengan lingkungannya. Anak autistik kurang dapat
mempertahankan kontak, “dingin” terhadap ekspresi, sulit untuk terlibat dalam
ekspresi emosional, “membaca” ekspresi muka ibunya dan menafsirkannya nilai
hubungan emosional. Dimensi perkembangan sosial memiliki signifikansi yang
luar biasa dalam dunia autistik. Dalam dimensi ini jelas sekali bagaimana level
perkembangan sosial anak autistik mempengaruhi aspek dalam belajar dan
perilaku. Hal ini bukanlah merupakan sesuatu kekurangan sederhana yang
menghalangi bagi mereka untuk menjadi sociable, tetapi pada keadaan ini pada
umumnya mereka semakin terhalangi dalam proses transaksi sosial, dimana
merupakan kerangka untuk memandang dunia yang ada.
2.4.7.1 Tanda-tanda Awal Keterasingan Sosial
Anak-anak autistik sering kali ditandai dengan perilaku yang suka
mengasingkan diri/ menyendiri, meskipun dalam ruangan yang penuh dengan
teman sebayanya ataupun anggota keluarganya. Sebagian besar laporan dari
orangtua yang memilki anak autistik mengatakan bahwa anak mereka lebih
memilih aktifitasnya sendiri.
2.4.7.2 Tidak Mampu Berteman Dengan Teman Sebaya
Kesulitan untuk menjalin hubungan dengan teman sebayanya merupakan
hal yang paling mencolok sebagai ciri anak autistik dimana ketika anak autistik
digabungkan dengan teman seusianya, maka ada beberapa kemungkinan perilaku
sosial yang salah atau ganjil. Anak autistiik tidak akan bergabung dalam aktifitas
sosial dan memilih terpisah dari kelompok temannya atau ia tetap berada dalam
kelompok tetapi keberadaannya tidak terlibat atmosfer kelompok.
2.4.7.3 Theory Of Mind (TOM)
Theory Of Mind (TOM) diperkenalkan pertama kali oleh Premack dan
Woodruff tahun 1978. Mereka mengatakan bahwa TOM merupakan pemahaman
41

teoritik yang mengacu pada gambaran tentang beliefs (ide dan pemikiran) dan
desires (harapan) orang-orang dewasa atau anak-anak terhadap orang lain, yang
akhirnya dapat menjelaskan perilaku orang lain. TOM dapat dikatakan sebagai
hubungan antara “berpikir tentang pikiran” (Van Tiel, 2008). Secara luas TOM
berkaitan dengan sosial kognitif pada anak autistikk didefinisikan oleh beberapa
ahli sebagai kesulitan memulai, mempertahankan dan mengakhiri interaksi sosial
dengan tepat; memahami pikiran dan perasaan orang lain dan merasakan dampak
dari perilaku orang lain.
2.4.7.4 Proses Sosial Spesifik Anak Autistik
Anak autistik memilki minat yang sangat terbatas pada lingkungan sosial
dimana mereka lebih tertarik dengan benda-benda mati di lingkungannya. Mereka
mungkin tidak mengenal orang tuanya, tetapi mereka lebih menyukai
memperhatikan barang-barang disusun diruangan. Kenner menyatakan bahwa
disfungsi sosial dan respon yang tak bisa menjadi dua ciri esensial dari sindrom
ini. Anak autistik mungkin sangat tertarik untuk berinteraksi sosial, tetapi gaya
sosial interaksinya aneh dan eksentrik dan memiliki kapasitas untuk memahami
interaksi sosial atau mengatisipasi pernyataan emosional kepada orang lain secara
terbatas, tujuan dan motivasi untuk membuat hal yang sangat sulit untuk
bernegosiasi dalam suasana interaksi sosial. Anak-anak autistik menunjukkan
ketidakmampuan dalam memproses aspek sosial yang komplek.
1) Gaze
Ekspresi wajah dan kontak mata merupakan bentuk komunikasi bayi dengan
ibunya. Hal ini merupakan bentuk “dialog” antara bayi dan orangtua secara
nonverbal dan sebagai bukti bahwa pada masa bayi telah menjadi interaksi sosial
awal dan tersedianya kesempatan penting sebagai pembejaran. Pada kasus anak
autistik, mereka gagal menciptakan interaksi sosial pada masa kanak-kanak awal.
Penyimpangan gaze ini nampak pada anak autistik dan tidak terlihat terlibat pada
masa anak-anak yang terlambat perkembangan atau yang didiagnosis sebagai
mental retardation. Sebagian anak autistik dapat berkontak mata dengan baik,
durasi dan arahnya, tetapi ternyata anak autistik tersebut tidak dapat menggunakan
kontak matanya untuk mengirim pesan. Artinya kontak mata memilki makna
komunikasi interaktif.
42

2) Joint Attention
Hilangnya perilaku kontak mata dan bentuk pertukaran nonverbal pada
masa awal pada anak-anak autistik mengarah pada munculnya intersubjectivity,
membangun berbagi secara emosional yang bermakna antara orang tua dan
caregiver. Tony Charman dan Wendy Stone (2006) mendefinisikan joint attention
(JA) dalam dua jenis yakni responding to joint Attention (RJA) dan Initiating
Joint Attention (IJA). Dua jenis perilaku ini mengindikasikan secara aktif antara
partner dan objek termasuk dalam fokus perhatian anak. RJA didefinisikan
sebagai kemampuan anak untuk mengikuti perhatian anak remaja secara langsung
dan IJA mengarah pada masa kanak-kanak menggunakan kontak mata, sikap,
isyarat, suara atau simbol komunikasi secara spontan untuk berbagai pengaruh
secara positif atau tertarik sesuatu yang mengarah.
3) Imitation
Imitation dalam konteks ini diartikan sebagai kemampuan anak untuk
meniru sesuatu gerakan atau tindakan. Perkembangan meniru pada anak autistik
ini terbagi menjadi tiga tingkatan yang semakin meningkatkan kesulitannya.
Pertama, spontaneous object use, tugas melengkapi model secara spontan
menggunakan objek, contoh memasukkan benda yang berbentuk segi empat
sesuai dengan lubang yang berbentuk segi empat. Kedua, motor object imitation,
maksudnya adalah anak harus melihat bagaimana objek dimanipulasi dan
kemudian menirukannya. Contohnya meniru lipatan kertas menjadi dua bagian.
Ketiga, body imitasi, artinya meniru dengan melibatkan menggunakan gerakan
tubuh daripada dengan objek benda.
4) Play
Bermain dalam bagian ini diartikan sebagai kegiatan memanipulasi objek
dengan bertujuan dimana eksplorasi dan praktiknya mempengaruhi munculnya
tujuan anak. Bermain merupakan kekuatan yang berarti dimana keterampilan ini
penting bagi perkembangan dan tetap eksis dalam lingkungannya. Piaget (1962)
dalam Yunowo Joko (2012), mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh bahwa
bermain mengarah pada aktifitas yang didorong secara dalam, dimana aktifitas
bermain memunculkan keasyikan. Piaget membedakan dalam dua kategori yakni
sensorimotor play dan symbolic atau pretend play. Sensori motor play melibatkan
43

manipulasi objek sebagaimana makna praktis dan penguasaan skema tindakan.


Sedangkan symbolic play merupakan perkembangan anak dalam mengembangkan
representasi mental dan memberikan makna dalam praktik dan memahami
peristiwa sosial.
2.4.8 Problem Orangtua dan Keluarga yang Memiliki Anak Autistik
Jordan (2001) dalam Yuwono (2012: 115), menuliskan beberapa probelem
yang dihadapi oleh orang tua yaitu :
2.4.8.1 Ketidakahlian Orang tua (parent’s lack of expert)
Orangtua memiliki keahlian dalam membantu anak autistik. Kesulitan awal
yang nyata adalah orang tua (khususnya ibu) sulit untuk memahami anak autistik
dan tidak memahami apa yang seharusnya mereka lakukan kepada anaknya.
2.4.8.2 Harga Diri Orang Tua (parent’s self esteem)
Orang tua merasa bersalah dan hal ini akan menjadi kesulitan yang nyata
bagi ibu khususnya dan anak autistik itu sendiri. Jika ibu memiliki self esteem
yang rendah, hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan dalam membuat kontak
dengan anaknya yang mungkin menjadi pembenaran terhadap rasa bersalah
tersebut dan rasa takut. Perhatian yang penting bagi profesional adalah bagaimana
memberikan bimbingan pada orang tua untuk memahami anak autistik dan
bagaimana orang tua dapat bermain dalam perkembangan sosial dan intelektual
anak mereka.
2.4.8.3 Kondisi Kehidupan yang Panjang (life-long condition)
Salah satu faktor yang menghambat perkembangan anak autistik adalah
keyakinan orang tua terhadap masa depan anak. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa dengan intervensi dini yang efektif dapat membuat
perbedaan yang luar biasa bagi perkembangan anak autistik.
2.4.8.4 Akibat yang Lebih Komplek (multiple effects)
Ada perhatian yang nyata bagi ibu dengan anak autistik merupakan problem
tambahan yang menyertai pada anak autistik seperti gangguan sensori, gangguan
bahasa yang spesifik, gangguan koordinasi motorik, emosional, perilaku dan
sebagainya. Gangguan perkembangan yang komplek ini tidak hanya
mempengaruhi orang tua, tetapi juga mempengaruhi bagaimana ibu harus
berinteraksi dengan anak autistik. Oleh karena itu ibu selayaknya memperboleh
44

bimbingan dan bantuan bagaimana mereka seharusnya berinteraksi dan


berkomunikasi secara tepat dengan anak autistik.
2.4.8.5 Akibat Emosi Sosial (social emotional effects)
Kesulitan dalam berinteraksi dengan orang lain merupakan inti dari
kondisi dan kegagalam anak-anak autistik pada umumnya. Apalagi anak yang
autistik yang disertai dengan kesulitan belajar khusus. Ketika suatu waktu anak
didiagnosis sebagai anak autistik, ibu membutuhkan keterangan tentang hal ini.
Pada tahap awal ibu selalu mencoba membantu berinteraksi dengan anaknya tanpa
bimbingan bagaimana seharusnya ibu memberikan rangsangan yang tepat bagi
anaknya. Kegagalan dalam menanggapi perilaku anaknya dan kesulitan dalam
menegakkan hubungan/rasa antara satu dengan lainnya sehingga ibu menjadi
frustasi.
2.4.8.6 Dukungan Informasi dan Sosial (Explanation and social support)
Kesulitan yang seringkali dihadapi oleh ibu adalah ketika ibu harus
mengatakan tentang masalah anaknya. Hal ini sangat sulit dan membutuhkan
dukungan informasi bagi dianosis sesegera mungkin untuk membantu masalah ibu
tersebut. Apabila masalah anak tidak dikenali sejak dini, semua masalah akan
muncul menjadi lebih rumit. Masalah tersebut muncul ketika menghadapi anak
autistik dengan berbagai gangguan perkembangannya seperti masalah perilaku,
ekspresi emosional yang salah, tidak dapat bermain dengan teman sebaya dan
tidak dapat berbicara. Ibu yang memilki anak autistik membutuhkan dukungan
yang ekstra baik secara praktis maupun emosional. Penting sekali bagi ibu
mendapatkan dukungan dari teman, tetangga, saudara, kakek, nenek, dan tentu
lingkungan sekolah serta masyarakat.
45

2.5 Penelitian Terkait

1) Desyani Nani, Wahyu Ekowati, Ryan Hara Pernama (2010)


Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Kemampuan Sosialisasi Anak Berkebutuhan Khusus

Tabel 2.1 Penelitian terkait tentang Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap Kemampuan Sosialisasi Anak Berkebutuhan Khusus di
SLB Yakut Purwokerto dan SDN 04 Grendeng Purwokerto

Populasi Penelitian Tindakan Yang Diberikan Hasil Penelitian Uji Statistik


Populasi dalam penelitian ini Hasil penelitian menunjukkan Analisa data dalam penelitian
adalah anak Memberikan kuesioner bahwa dukungan sosial ini dengan analisa
berkebutuhan khusus yang diperoleh anak kuantitatif yaitu Hasil
(tunadaksa) yang berkebutuhan pengambilan data
memenuhi kriteria khusus menunjukkan bahwa diolah menggunakan
penelitian di SLB orang tua telah komputer sistem
Yakut Purwokerto memberikan dukungan dengan analisis chi
berjumlah 16 orang dengan 4 jenis square.
anak dan (emosional, penilaian,
11 anak usia sekolah di SD informasi dan
Grendeng. instrumental).
Hasil yang diperoleh yaitu :
terdapat dukungan
emosional orang tua
terhadap anak sebanyak
8 (50%), penilaian
sebanyak 4 orang
(25%), informasi
sebanyak 2 orang
46

(12,5%), dan
instrumental sebanyak
2 orang (12,5).

2) Diana Anggorowati, Okky Eka Mugianingrum, Rita Dwi Hartanti


Hubungan Peran Orang tua Dengan Kemampuan Sosialisasi Anak Retardasi Mental Di SDLB Negeri Kota Pekalongan

Tabel 2.2 Penelitian terkait tentang Hubungan Peran Orang tua Dengan Kemampuan Sosialisasi Anak Reatrdasi Mental Di 47 SDLB
Negeri Kota Pekalongan
Populasi Penelitian Tindakan Yang Diberikan Hasil Penelitian Uji Statistik
Populasi dalam penelitian ini Alat pengumpulan data Hasil penelitian pada peran Penelitian ini menggunakan
adalah orangtua anak retardasi menggunakan orang tua yang desain Korelasional
mental di SDLB kuesioner terkait memiliki anak retardasi dengan pendekatan
Negeri Kota dengan peran orangtua mental di SDLB Negeri cross sectional Teknik
Pekalongan sebanyak dan kemampuan Kota Pekalongan pengambilan sampel
71 siswa sosialisasi. Tahun 2015 diketahui menggunakan sampel
bahwa jenuh. Jumlah
59,2% responden menyatakan responden sebanyak 49
peran orangtua baik orangtua yang memiliki
dan sebanyak 40,8% anak retardasi mental
responden menyatakan sesuai dengan kriteria
peran orangtua kurang inklusi dan eksklusi.
baik. Hasil ini dapat
diartikan bahwa sebagian besar
orangtua yang memiliki anak
48

retardasi mental mempunyai


peran yang baik.

Hasil penelitian pada


Kemampuan Sosialisasi
Anak Retardasi Mental
di SDLB Negeri Kota
PekalonganTahun 2015
bahwa hasil penelitian
diketahui bahwa 51,0 %
responden menyatakan
bahwa
kemampuan sosialisasi pada
anak retardasi mental
baik dan 49,0 %
responden menyatakan
bahwa kemampuan
sosialisasi anak
retardasi mental buruk
di SDLB Negeri Kota
Pekalongan.
49

2.6 Kerangka Konsep


Menurut Nursalam (2014: 49) Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu
realitas agar dapat dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan
keterikatan antar variabel, baik variabel yang diteliti maupun tidak diteliti.

Dukungan Keluarga Kemampuan interaksi


1. Dukungan informasi sosial (anak
Hipotesis
2. Dukungan instrumental
3. Dukungan emosional berkebutuhan
4. Dukungan penilaian Khusus)
5. Dukungan Sosial Autisme

Interaksi sosial :
1) Kontak sosial
(1) Kontak langsung dan tidak
langsung
(2) Kontak antar individu,
kelompok, serta individu dan
kelompok.
(3) Kontak positif dan negatif
(4) Kontak primer dan sekunder
2) Komunikasi

Keterangan :

: Diteliti

: Tidak Diteliti
: Berpengaruh

: Berhubungan

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Hubungan Dukungan Keluarga Dengan


Kemampuan Interaksi Sosial pada Anak Berkebutuhan Khusus
Autisme di wilayah Kota Palangka Raya.
50

2.7 Hipotesis
Nursalam (2011: 56), hipotesis adalah jawaban sementara terhadap
masalah penelitian, yang kebenarannya harus diuji secara empiris antara
dua variabel. Variabel tersebut adalah variabel bebas, yakni variabel
penyebab, serta variabel terikat yakni variabel akibat.
Hipotesis alternatif (H1) adalah hipotesis penelitian. Hipotesis ini
menyatakan adanya suatu hubungan, pengaruh dan perbedaan antara dua
atau lebih variabel. Sedangkan hipotesis nol (H0) adalah hipotesis yang
digunakan untuk pengukuran statistik dan interpretasi hasil statistik.
Hipotesis pada penelitian ini adalah:
H1 : Ada Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kemampuan Interaksi Sosial
Pada Anak Berkebutuhan Khusus (Autisme) Di Wilayah Kota Palangka
Raya”.
H0 : Tidak ada Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kemampuan Interaksi
Sosial Pada Anak Berkebutuhan Khusus (Autisme) Di Wilayah Kota
Palangka Raya
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian


Menurut Nursalam (2009: 80), desain penelitian adalah suatu yang
sangat penting dalam penelitian, memungkinkan pengontrolan maksimal
beberapa faktor yang dapat memengaruhi akurasi suatu hasil. Desain
penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Desain
Korelasional yang bertujuan untuk menentukan faktor apakah yang terjadi
sebelum atau bersama-sama tanpa adanya suatu intervensi dari peneliti dan
rancangan yang digunakan cross sectional yaitu jenis penelitian yang
menekankan waktu pengukuran/ observasi data variabel independen dan
dependen hanya satu kali pada suatu saat, pada jenis ini, variabel
independen dan dependen dinilai secara simultan pada suatu saat, jadi
tidak ada tindak lanjut.
3.2 Kerangka Kerja
Merupakan bagan kerja terhadap rancangan kegiatan penelitian yang akan
dilakukan meliputi siapa yang akan diteliti (subjek penelitian), variabel yang akan
diteliti, dan variabel yang mempengaruhi dalam penelitian.
Hidayat (2010: 187), kerangka kerja merupakan langkah-langkah yang akan
dilakukan dalam penelitian yang berbentuk kerangka atau alur penelitian.
Penulisan dalam kerangka kerja disajikan dalam bentuk alur penelitian mulai dari
desain hingga analisis datanya. Kerangka kerja dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:

51
52

Populasi
Semua keluarga siswa yang mempunyai anak berkebutuhan khusus (Autisme)
di Yayasan Pendidikan Melati Ceria Palangka Raya
Sampel:
Semua keluarga siswa di Yayasan Pendidikan Melati Ceria Palangka Raya
yang memiliki anak berkebutuhan khusus (Autisme)

Teknik Sampling:
Teknik sampling dalam penelitian ini adalah Nonprobability Sampling
(Purposive Sampling)

Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah desain penelitian
Cross Sectional

Informed Concent

Variabel Independen Variabel Dependen


Dukungan Keluarga Kemampuan Interaksi
Sosial

Pengumpulan data menggunakan kuisioner

Pengolahan data:
editing, coding
scoring, dan
tabulasi data
Uji Statistik
Spearman Rank

Hasil dan kesimpulan

Penyajian Hasil

3.1 Kerangka Kerja Penelitian Kerangka Konsep Hubungan Dukungan Keluarga


Terhadap Kemampuan Interaksi Sosial pada Anak Berkebutuhan Khusus
(Autisme) Di Wilayah Kota Palangka Raya.
53

3.3 Identifikasi Variabel


Menurut Nursalam (2014; 178), variabel adalah perilaku atau karakteristik
yang memberikan nilai beda terhadap sesuatu (benda, manusia dan lain-lain).
Variabel independen merupakan variabel yang nilainya menentukan variabel lain.
Variabel dependen adalah variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain.
3.3.1 Variabel Independent
Variabel independent (variabel bebas) adalah variabel yang memengaruhi
atau nilainya menentukan variabel lain. Variabel independent dalam penelitian ini
yaitu Dukungan Keluarga Dengan Kemampuan Interaksi Sosial pada Anak
Berkebutuhan Khusus (Autisme) di Wilayah Kota Palangka Raya.
3.3.2 Variabel Dependent
Variabel dependent adalah variabel yang dipengaruhi nilainya ditentukan
variabel lain. Variabel dependent dalam penelitian ini yaitu kemampuan interaksi
sosial pada anak berkebutuhan khusus (Autisme) di Wilayah Kota
Palangka Raya.
3.4 Definisi Operasional
Hidayat (2010: 187) Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel
secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga
memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara
cermat terhadap suatu objek atau fenomena. Definisi operasional pada penelitian
ini adalah sebagai berikut:
54

Tabel 3.1 Definisi Operasional Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kemampuan Interaksi Sosial Pada Anak Berkebutuhan
Khusus (Autisme) Di Wilayah Kota Palangka Raya

Variabel Definisi Parameter Alat Ukur Skala Skor


Operasional
Variabel Suatu bentuk bantuan yang Dukungan Keluarga Kuesioner Ordinal Keterangan nilai
diberikan oleh 1. Dukungan Informasional Pertanya
independen
keluarga berupa 2. Dukungan emosional an:
Dukungan Keluarga informasi, emosional, 3. Dukungan instrumental Nilai Positif
instrumental, dan 4. Dukungan penilaian 4 : Selalu
penilaian kepada anak 5. Dukungan sosial 3: Sering
berkebutuhan khusus 2: Kadang- kadang
(autisme) 1: Tidak pernah
Nilai negatif
1 : Selalu
2: Sering
3: Kadang- kadang
4: Tidak pernah
N= Sp x 100%
Sm
N: nilai
dukungan
keluarga
Sp: jumlah nilai
yang diperoleh
Sm: jumlah nilai
maksimal
55

Kategori:
1. baik, jika
nilai 76-100%
2. Cukup, jika
nilai 56-75%
3. Kurang, jika
nilai≤ 55%

Variabel Dependen Proses dimana orang-orang Interaksi Sosial Kuesioner O A. Jawaban


menjalin kontak dan 1) Kontak sosial Untuk Pertanyaan
Kemampuan r
berkomunikasi dan saling (1) Kontak langsung dan positif:
Interaksi Sosial
pengaruh mempengaruhi tidak langsung d 1. Ya: 1
dalam pikiran maupun (2) Kontak antar individu, 2. Tidak: 0
i
tindakan. kelompok, serta Untuk Pertanyaan
individu dan n negatif:
kelompok. 1. Ya: 0
a
(3) Kontak positif dan 2. Tidak: 1
negatif l
(4) Kontak primer dan B. Penilaian
sekunder Rumus:
2) Komunikasi
56

Sp
N= x 100 %
Sm
Keterangan :
N : Nilai Interaksi
Sosial
Sp: Jumlah nilai
yang diperoleh
Sm: Total
Maksimun
C. Kategori
(1) Interaksi
Baik
: Nilai 76%-
100%
(2) Interaksi
Cukup baik
: Nilai 56%-
75%
(3) Interaksi
Kurang baik
:Nilai ≤ 55%

58
57

3.5 Populasi, Sampel dan Sampling


3.5.1 Populasi
Nursalam (2011: 89), Populasi adalah seluruh objek atau subjek dengan
karakteristik tertentu yang akan diteliti. Bukan hanya obyek atau subyek yang
dipelajari saja tetapi seluruh karakteristik atau sifat yang dimiliki subyek atau
obyek tertentu. Populasi dalam penenlitian ini adalah seluruh subyek (misalnya
manusia, klien) yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan. Populasi terbagi
menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut:
3.5.1.1 Populasi Target
Nursalam (2011: 89), Populasi target adalah populasi yang memenuhi
kriteria sampling dan menjadi sasaran akhir penelitian, serta populasi target
bersifat umumnya dan biasanya pada penelitian klinis dibatasi oleh karakteristik
demografis (meliputi jenis kelamin atau usia). Populasi target dalam penelitian ini
adalah semua keluarga anak berkebutuhan khusus (Autisme) yang ada di Yayasan
Pendidikan Melati Ceria Palangka-Raya.
3.5.1.2 Populasi Terjangkau (Accessible population)
Nursalam (2011: 89), populasi Terjangkau (Accessible population) adalah
populasi yang memenuhi kriteria penelitian yang biasanya dapat dijangkau oleh
peneliti dari kelompoknya dan dibatasi oleh tempat dan waktu. Berdasarkan hasil
survey pendahuluan populasi terjangkau dalam penelitian ini adalah semua
keluarga anak berkebutuhan khusus (Autisme) yang ada di Yayasan Pendidikan
Melati Ceria Palangka-Raya.
3.5.2 Sampel
Menurut Nursalam (2014: 171), sampel terdiri dari bagian populasi
terjangkau yang dapat dipergunakan sebagai subyek penelitian melalui sampling.
Berdasarkan survey sampel dalam penelitian ini adalah semua keluarga anak
berkebutuhan khusus (Autisme) yang ada di Yayasan Pendidikan Melati Ceria
Palangka-Raya.
Menurut Nursalam (2014: 172) Kriteria sampel dapat dibedakan menjadi
dua bagian yaitu: inklusi dan ekslusi.
58

3.5.2.1 Kriteria Inklusi


Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau dan akan diteliti.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah:
1) Semua keluarga anak berkebutuhan khusus (Autisme) diYayasan
Pendidikan Melati Ceria.
2) Semua keluarga anak berkebutuhan khusus (Autisme) di Yayasan
Pendidikan Melati Ceria yang bersedia menjadi responden.
3.5.2.2 Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subjek
yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab, antara
lain seperti terdapat keadaan atau penyakit yang mengganggu pengukuran
maupun interpretasi hasil, terdapat keadaan yang mengganggu kemampuan
pelaksanaan, hambatan etis, subjek menolak berpartisipasi.
Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah:
1) Tidak bersedia menjadi responden
2) Keluarga anak berkebutuhan khusus (autisme) yang tidak kooperetif
3.5.3 Sampling
Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat
mewakili populasi. Teknik sampling merupakan cara-cara yang ditempuh dalam
pengambilan sampel, agar memperoleh sampel yang benar-benar sesuai dengan
keseluruhan subjek penelitian. Menurut Nursalam (2011: 94) cara pengambilan
sampel digolongkan menjadi dua yaitu: probability sampling dan nonprobability
sampling. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pengambilan sampel menggunakan Nonprobability sampling yaitu
Purposive Sampling yang disebut juga dengan judgement sampling adalah suatu
teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai
dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/ masalah dalam penelitian), sehingga
sampel tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal
sebelumnya.
59

3.6 Tempat dan Waktu Penelitian


3.6.1 Tempat Penelitian
Tempat penelitian adalah tempat yang digunakan untuk pengambilan data
selama penelitian berlangsung. Penelitian ini akan dilakukan di Yayasan
Pendidikan Melati Ceria Kota Palangka Raya.
3.6.2 Waktu Penelitian
Waktu penelitian adalah jangka waktu yang dibutuhkan peneliti untuk
memperoleh data penelitian yang dilaksanakan.
3.7 Pengumpulan Data dan Analisa Data
3.7.1 Pengumpulan Data
Nursalam (2011: 111), pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan
kepada subjek dan proses pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan
dalam suatu penelitian. Cara pengumpulan data bergantung pada teknik instrumen
yang digunakan. Selama proses pengumpulan data, peneliti memfokuskan pada
penyediaan subjek, melatih tenaga pengumpul data, serta menyelesaikan masalah-
masalah yang terjadi agar data dapat terkumpul sesuai dengan rencana yang telah
ditetapkan.
Proses pengumpulan data pada penelitian ini adalah pertama, peneliti
mengumpulkan data menyangkut tentang populasi yang akan diteliti kemudian
dari populasi tersebut ditentukan sampel untuk penelitian, teknik pengambilan
sampel yaitu dengan menggunakan Nonprobability sampling yaitu Purposive
Sampling yang disebut juga dengan judgement sampling adalah suatu teknik
penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi sesuai dengan
yang dikehendaki peneliti (tujuan/ masalah dalam penelitian), sehingga sampel
tersebut dapat mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya.
Setelah semua data terkumpul maka data akan dilakukan dianalisa secara
univariat dan bivariat. Setelah data dianalisa maka akan dapat diketahui, apakah
ada hubungan antara dukungan keluarga dengan kemampuan interaksi sosial anak
berkebutuhan khusus (autisme) di Yayasan Pendidikan Melati Ceria Palangka
Raya.
Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data sekunder (Data jumlah
siswa dan profil sekolah SLBN 1 Palangka Raya dan Yayasan Pendidikan Melati
60

Ceria) dan data primer dengan menggunakan kuisioner untuk melakukan


penelitian di Yayasan Pendidikan Melati Ceria Palangka Raya.
3.7.1.1 Kuisioner
Menurut Hidayat (2010: 98) angket/ questionaire merupakan alat ukur yang
berupa angket atau kuisioner dengan beberapa pertanyaan. Alat ukur ini
digunakan bila responden jumlahnya besar dan dapat membaca dengan baik yang
dapat mengungkapkan hal-hal yang bersifat rahasia. Pembuatan kuisioner ini
dengan mengacu pada parameter yang sudah dibuat oleh peneliti terhadap
penelitian yang akan dilakukan. Angket terdiri dari tiga jenis, yaitu:
1) Angket terbuka atau tidak berstruktur yang memberikan kebebasan Responden
untuk mengungkapkan permasalahnnya.
2) Angket tertutup atau berstruktur dimana angket tersebut dibuat sedemikian
rupa sehingga Responden hanya tinggal memilih atau menjawab pada jawaban
yang sudah ada.
3) Checklist atau daftar cek yang merupakan daftar yang berisi pertanyaan atau
pernyataan yang akan diamati dan Responden memberikan jawaban dengan
memberikan cheklist (√) sesuai dengan hasil yang diinginkan atau peneliti
memberikan tanda (√) sesuai dengan hasil pengamatan.

Kuisioner dalam penelitian ini dibuat dalam tiga bagian yang terdiri
atas data demografi responden, kuisioner Dukungan keluarga, dan
interaksi sosial. Sebelum kuesioner digunakan untuk mengumpulkan data
penelitian yang sebenarnya, terlebih dahulu kuesioner dilakukan uji coba
kepada responden lain yang memiliki karakter sama dengan karakter
populasi penelitian.
3.7.1.2 Uji Validitas dan Reabilitas
1) Prinsip Validitas (kesahihan)
Nursalam (2009: 104), Prinsip validitas adalah pengukuran atau pengamatan
yang berarti prinsip keandalan instrumen dalam mengumpulkan data.
Instrumen harus dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Ada dua hal
penting yang harus dipenuhi dalam menentukan validitas pengukuran, yaitu:
61

(1) Relevan isi instrumen


Isi instrumen harus disesuaikan dengan tujuan penelitian (tujuan
khusus) agar dapat mengukur apa yang seharusnya diukur. Isi tersebut
biasanya dapat dijabarkan dalam definisi operasional.
(2) Relevan sasaran subjek dan cara pengukuran
Instrumen yang disusun harus dapat memberikan gambaran terhadap
perbedaan subjek penelitian.
2) Reabilitas (Keandalan)
Notoatmodjo (2012: 168), Reabilitas ialah indeks yang menunjukkan sejauh
mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapt diandalkan. Hal ini
berarti menunjukkan sejauh mana hasil pengukuran itu tetap konsisten atau
tetap asas (ajeg) bila dilakukan pengukuran dua kali atau lebih terhadap
gejala yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama.
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan dengan menggunakan
program SPSS melalui tahap-tahap sebagai berikut (Susilo, 2014: 155).
(1) Input data dalam format SPSS.
(2) Klik analisa dan pilih scale kemudian klik → di reliability analysis.
(3) Pindahkan seluruh item pernyataan pada → kotak item. Blok seluruh item
pernyataan pada kotak sebelah kiri dan pindahkan ke kotak di kanannya.
Kotak model ALPHA tetap saja.
(4) Pada kotak Descriptives for → pilih kotak kecil scale if item deleted
kemudian → continue dan OK.
(5) Out-put validitas dan reliabilitas
(6) Pada kolom corrected item-total correction bandingkan dengan tabel r.
Apabila lebih besar dari nilai tabel r, maka item dinyatakan valid. Apabila
nilai corrected item-total correction ada yang lebih kecil dari nilai r tabel
maka item tidak valid dan sebaiknya dikeluarkan dari instrumen penelitian.
Pada nilai yang bersifat marginal dapat dilakukan perbaikan pernyataan
pada item kuisioner.
Langkah-langkah mencari nilai r table dan t table dengan
mempergunakan SPSS (Susilo, 2014 : 159).
62

(1)Nilai t table dicari dengan langkah: menentukan df (derajat bebas) = N (jumlah


item instrumen penelitian riset) – 2.
(2)Buka SPSS → klik data view isikan nilai df dengan N – 2 lalu → transform
selanjutnya pilih compute variable.
(3)Isikan pada kolom target variable t_0.05 pada level signifikansi 95%.
Kemudian pada kotak Numeric expression, ketik rumus IDF.T (0,95,df) →
OK.
(4)Maka didapat nilai t tabel.
(5)Selanjutnya untuk mencari r table, ulangi lagi dengan transform dan compute
variabel. Pada kotak target variable → ketik r_0.05 sedangkan pada kotak
numeric expression ketik rumus t_0,05/SQRT(df+t_0.05*2)
(6)Luaran nilai r yang dipergunakan sebagai cut of point uji validitas pada
kuisioner.
Pertanyaan yang sudah valid dilakukan uji reliabilitas dengan cara
membandingkan r tabel dengan r hasil. Jika nilai r hasil adalah alpha yang terletak
di awal output dengan tingkat kemaknaan 5% (0,05) maka setiap pertanyaan
dikatakan valid, jika r alpha lebih besar dari konstanta maka pertanyaan tersebut
reliabel (Budiman, 2013 : 22). Nilai reliabilitas dapat dilihat pada tabel luaran
reliability statistics pada nilai Alpha Cronbach’s (Susilo, 2014 : 167).
Menurut Budi (2006), tingkat reliabilitas dengan metode Alpha Cronbach
diukur berdasarkan skala Alpha 0 sampai 1. Apabila skala alpha tersebut
dikelompokkan ke dalam 5 kelas dengan range yang sama, maka ukuran
kemantapan alpha dapat dipresentasikan ke dalam tabel berikut.
Tabel 3.2 Tingkat Reliabilitas berdasarkan Nilai Cronbach atau α
Alpha Tingkat Reliabilitas
0,00 – 0,20 Kurang reliable
> 0,20 – 0,40 Agak reliabel
> 0,40 – 0,60 Cukup reliabel
> 0,60 – 0,80 Reliabel
> 0,80 – 1,00 Sangat reliable

63

3.7.2 Analisa Data


Penelitian ini merupakan penelitian korelasional, yaitu untuk mengetahui
hubungan antara dukungan keluarga dengan kemampuan interaksi sosial pada
anak berkebutuhan khusus (autisme) di Wilayah Palangka Raya, kegiatan dalam
analisa data yaitu:
3.7.2.1 Editing
Menurut Notoatmodjo (2012: 176), hasil wawancara, angket, atau
pengamatan dari lapangan harus dilakukan penyuntingan (editing) terlebih dahulu.
Secara umum editing adalah merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan
isian formulir atau kuisioner tersebut:
1) Apakah lengkap, dalam arti semua pertanyaan sudah terisi.
2) Apakah jawaban atau tulisan masing-masing pertanyaan cukup jelas atau
terbaca.
3) Apakah jawabannya relevan dengan pertanyaannya.
4) Apakah jawaban-jawaban pertanyaan konsisten dengan jawaban pertanyaan
yang lainnya.
3.7.2.2 Coding (Pengkodean)
Hidayat (2010: 121), Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik
(angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori. Pemberian kode ini
sangat penting bila pengolahan dan analisis data menggunakan komputer. Kode
yang digunakan berupa angka yang selanjutnya akan diproses dengan komputer.
1) Responden
Kode : R1, R2, R3, ...... dan seterusnya.
2) Berdasarkan Usia
Kode: 1 = Usia 17-25 tahun
2 = Usia 26-35 tahun
3 = Usia 36-45 tahun
3) Jenis Kelamin
Kode 1=laki-laki
2= perempuan

64

4) Pendidikan terakhir
Kode: 1 = SD sederajat
2 = SMP sederajat
3 = SMA sederajat
4 = Perguruan Tinggi
5) Pekerjaan
Kode 1= PNS
2=Swasta
3=Pelajar
4=Ibu Rumah Tangga
3.7.2.3 Scoring
Scoring adalah menentukan skor atau nilai untuk setiap item pertanyaan,
tentukan nilai terendah dan tertinggi, tetapkan jumlah kuesioner dan bobot
masing-masing kuesioner.
1) Dukungan Keluarga
baik, jika nilai 76-100%
Cukup, jika nilai 56-75%
Kurang, jika nilai ≤55%
2) Interaksi Sosial
Interaksi Baik : Nilai 76%-100%
Interaksi Cukup baik : Nilai 56%-75%
Interaksi Kurang baik : Nilai < 55%
3.7.2.4 Tabulating
Menurut Wasis (2008: 52), Tabulating adalah usaha untuk menyajikan data,
terutama pengolahan data yang akan menjurus ke analisis kuantitatif. Biasanya
pengolahan data seperti ini akan menggunakan tabel, baik tabel distribusi
frekuensi maupun tabel silang.
1) Analisa Univariat
Notoatmodjo (2012: 182), Analisa univariat adalah analisis yang bertujuan
untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian.
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan
karakteristik setiap variabel penelitian. Bentuk analisis univariat tergantung dari
65

jenis datanya, untuk data numerik digunakan nilai mean atau rata-rata, median dan
standar deviasi.
2) Analisa Bivariat
Analisa bivariat merupakan analisis untuk melihat hubungan dua variabel.
Untuk analisa bivariat, maka terlebih dahulu dirumuskam hipotesis. Jenis uji
statistik yang akan digunakan sangat tergantung pada jenis data dari masing-
masing variabel.
3) Analisa Multivariat
Uji statistik yang digunakan adalah uji regresi linier berganda. Uji
regresi linier berganda adalah analisis untuk mengukur besarnya pengaruh
antara dua atau lebih variabel independen terhadap satu variabel dependen.
4) Uji Statistik
Uji statistik digunakan untuk mengukur tingkat atau eratnya hubungan
antara dua variabel yang berskala ordinal dan ordinal, uji statistik yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Spearman Rank.
Analisis dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak komputer,
dilakukan uji statistik dengan metode Spearman Rank (Rho) dengan
menngunakan tingkat kemaknaan 5% atau nilai alpha 0,05 (5%) dimana kriteria
pengujian adalah sebagai berikut:
(1) Bila p value ≤ alpha (0,05%) maka hubungan tersebut secara statistik ada
hubungan yang bermakna.
(2) Bila p value > alpha (0,05%) maka hubungan tersebut secara statistik tidak
mempunyai hubungan yang bermakna.
3.8 Keterbatasan
Keterbatasan dalam penelitian ini adalah kurangnya literatur yang memadai
dalam pembahasan teori dukungan keluarga dan interaksi sosial.
3.9 Etika Penulisan
Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat
penting dalam penelitian, mengingat penelitian berhubungan langsung dengan
manusia. Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain adalah sebagai
berikut.
66

3.8.1 Informed Consent (Lembar Persetujuan Menjadi Responden)


Hidayat (2010: 93), Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara
peneliti dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.
Informed consent terebut diberikan sebelum penelitian dilakukan dengan
memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden. Tujuan informed
consent ini bertujuan agar subjek mengerti maksud dan tujuan peneliti dan
mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, maka mereka harus
menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak bersedia, maka peneliti
harus menghormati dan menghargai hak responden.
3.8.2 Anonimity (Tanpa Nama)
Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh
peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil riset.
3.8.3 Confidentiality (Kerahasiaan)
Hidayat (2010: 95), masalah ini merupakan masalah etika dengan
memberikan jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah
masalah-masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin
kerahasiaan oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan dilaporkan
pada hasil riset.
DAFRAR PUSTAKA

Achjar, Henny Ayu Komang. 2018. Aplikasi Praktik Asuhan Keperawatan


Keluarga Bagi Mahasiswa Keperawatan dan Praktisi Perawat Puskesmas.
Jakarta : Cv Sagung Seto.
Akhmadi.A. 2017. Psikologi Sosial (edisi revisi). Jakarta: Rineka Cipta.
Ali, Mohammad, Asrori Mohammad. 2016. Psikologi Remaja: Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta : PT Bumi Aksara.
Astuti, Puji. 2016. Mengenal Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus Menuju
Layanan Belajar Sebagai Pengetahuan Dasar Bagi Orangtua, Masyarakat,
Pemerhati dan Guru Pada Sekolah Penyelenggara Inklusif. Jakarta :
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar.
Desiani Nani ,Wahyu Ekowati, Ryan Hara Pernama. 2017. Pengaruh Dukungan
Sosial Terhadap Kemampuan Sosialisasi Anak Berkebutuhan
Khusus.Skripsi: Jurusan Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu-ilmu
Kesehatan.
Diana Anggorowati, Okky Eka Mugianingrum, Rita Dwi Hartati. 2018.
Hubungan Peran Orangtua Dengan Kemampuan Sosialisasi Anak
Retardasi Mental Di SLB Negeri Kota Pekalongan.Skripsi: Mahasiswa
Program Studi Ners STIKES Muhammadiyah Pekajangan.
Dinas Provinsi Kalimantan Tengah. 2017. Data Individu dan Data Siswa Sekolah
Luas Biasa Tingkat Pendidikan Dasar SD dan SMP. http;//www.tkplb.net.
Diakses, tanggal 12 April 2017
Effendi, Ferry, Makhfudli. 2019. Keperawatan Komunitas Teori dan Praktik
dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Fitriyah, Lailatul dan Jauhar, Mohammad. 2016. Pengantar Psikologi Umum.
Jakarta: Prestasi Pustakarya.
Friedman, Marilyn M. 2018. Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset, Teori dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Hadis, Abdul. 2017. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Autistik. Bandung:
Alfabeta.

Anda mungkin juga menyukai