Anda di halaman 1dari 5

DEGRADASI MORAL GURU

Pendidikan adalah salah satu pilar utama untuk melihat kemajuan suatu bangsa serta
menjadi kunci dalam membangun peradaban yang manusiawi, akan tetapi ini semua tidak lepas
adri peran manusia selaku lokomotif sebagai penggerak gerbong pendidikan. Hubungan antara
manusia dan pendidikan merupakn dua rangkaian mata rantai yang mempunyai peran yang
sangat signifikan dalam menggerakkan roda kemajuan peradaban suatu bangsa. Namun pada
aspek lain ternyata permasalahan di dunia pendidikan sangatlah komplek, dilematis, pendidikan
telah menjadi kecaman dari masyarakat jika manusia-manusia yang dilahirkannya selalu
membawa bencana bagi masyarakat.
Guru adalah seorang pendidik, Seorang pendidik tidak hanya berperan sebagai
penyampai informasi tapi lebih dari itu seorang pendidik adalah seorang pemelihara, pembenar,
pemberi contoh dan suri tauladan (transfer of value). Seorang pendidik harus terlebih dahulu
mempunyai kompetensi untuk dapat memberi atau mentransfer nilai-nilai akhlak dan ilmu
pengetahuan kepada anak didiknya. Kompetensi harus benar-benar dimiliki oleh setiap guru.

Thomas Lickona menyatakan bahwa ada 10 aspek degradasi moral yang melanda suatu
negara yang merupakan tanda-tanda kehancuran suatu bangsa. Kesepuluh tanda tersebut adalah:
1. meningkatnya kekerasan pada remaja
2. penggunaan kata-kata yang memburuk
3. pengaruh peer group (rekan kelompok) yang kuat dalam tindak kekerasan
4. meningkatnya penggunaan narkoba, alkohol dan seks bebas
5. kaburnya batasan moral baik-buruk,
6. menurunnya etos kerja
7. rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
8. rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara
9. membudayanya ketidakjujuran
10. adanya saling curiga dan kebencian di antara sesama.
Meski dengan intensitas yang berbeda-beda, masing-masing dari  kesepuluh tanda tersebut
tampaknya sedang menghinggapi negeri ini. Dari kesepuluh tanda-tanda tersebut, saya melihat
aspek yang kesembilan yakni membudayanya ketidakjujuran tampaknya  menjadi persoalan
serius di negeri ini. Kejujuran seolah-olah telah manjadi barang langka.
Atas dasar  itulah maka  pendidikan karakter menjadi amat penting. Pendidikan karakter
menjadi tumpuan harapan bagi terselamatkanya bangsa dan negeri ini dari jurang kehancuran
yang lebih dalam.
Meski hingga saat ini belum ada rumusan tunggal tentang pendidikan karakter yang
efektif, tetapi barangkali tidak ada salahnya jika kita mengikuti nasihat  dari Character
Education Partnership bahwa untuk dapat mengimplementasikan program pendidikan karakter
yang efektif, seyogyanya memenuhi beberapa prinsip berikut ini:
1. Komunitas sekolah mengembangkan dan meningkatkan nilai-nilai inti etika dan
kinerja sebagai landasan karakter yang baik.
2. Sekolah berusaha mendefinisikan “karakter” secara komprehensif,  di dalamnya
mencakup berpikir (thinking), merasa (feeling), dan melakukan (doing).
3. Sekolah menggunakan pendekatan yang komprehensif, intensif, dan proaktif dalam
pengembangan karakter.
4. Sekolah menciptakan sebuah komunitas yang memiliki kepedulian tinggi.(caring)
5. Sekolah menyediakan kesempatan yang luas bagi para siswanya untuk melakukan
berbagai tindakan moral (moral action).
6. Sekolah menyediakan kurikulum akademik yang bermakna dan menantang, dapat
menghargai dan menghormati seluruh  peserta didik, mengembangkan karakter mereka, dan
berusaha membantu mereka untuk meraih berbagai kesuksesan.
7. Sekolah mendorong siswa untuk memiliki motivasi diri  yang kuat
8. Staf sekolah ( kepala sekolah, guru dan TU) adalah sebuah komunitas belajar etis
yang senantiasa  berbagi tanggung jawab dan mematuhi nilai-nilai inti yang telah disepakati.
Mereka menjadi  sosok teladan bagi para siswa.
9. Sekolah mendorong kepemimpinan bersama yang memberikan dukungan penuh
terhadap gagasan  pendidikan karakter dalam jangka panjang.
10. Sekolah melibatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya
pembangunan karakter
11. Secara teratur, sekolah melakukan asesmen  terhadap budaya dan iklim sekolah,
keberfungsian para staf sebagai pendidik karakter di sekolah, dan sejauh mana siswa  dapat
mewujudkan karakter yang baik dalam kehidupan sehari-hari.
Berkaitan dengan pengembangan dan peningkatan nilai-nilai inti etika di sekolah, tentu saya
gembira jika sekolah-sekolah kita dapat menempatkan kejujuran sebagai prioritas utama dalam
pengembangan program pendidikan karakter di sekolah. Gordon Allport menyebutkan bahwa
‘”kejujuran adalah mahkota tertinggi dari sistem kepribadian individu”. Jadi. sehebat apapun
kepribadian seseorang jika di dalamnya tidak ada kejujuran, maka tetap saja  dia hidup tanpa
mahkota, bahkan mungkin justru dia  bisa menjadi manusia yang berbahaya dan membahayakan.
Penelitian menunjukan bahwa kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa
empati dan kemampuan berkomunikasi berpengaruh 80% pada keberhasilan seseorang di masyarakat atau lebih besar di
banding dengan kecerdasan otak yang hanya menyumbang 20% untuk keberhasilan seseorang.
Moral merupakan persoalan yang sangat esensial dalam kehidupanmanusia. Eksistensi Islam sebagai sebuah
ideologi adalah untuk membimbing manusia dan memberikan solusi terhadap berbagai persoalan kemanusiaan. Di antara
persoalan kemanusiaan yang melanda bangsa Indonesia saat ini adalah persoalan akhlak atau etika. Etika dan moralitas
adalah puncak nilai keberagamaan seorang muslim dan sebagai indikator kesempurnaan iman seseorang. Hal ini sealur
dengan apa yang dititahkan Rasul Muhammad SAW dalam sabdanya: Muslim yang paling sempurna imanya adalah
mereka yang paling baik akhlaqnya” bahkan tujuan Nabi Muhammad SAW diutus adalah untuk memperbaiki akhlak
manusia, “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” .
Miqdad Yaljin sebagaimana yang dikemukakan oleh Muhammad AR mengatakan bahwa moral adalah setiap
tingkah laku yang mulia, yang dilakukan oleh manusia dengan kemauan yang mulia dan untuk tujuan yang mulia pula. Lebih
lanjut Miqdad mengatakan seseorang yang memiliki moral adalah manusia yang memiliki kemuliaan dalam hidupnya, lahir
dan bathin. Terkait persolan tersebut, Ahmad bin Muhammad Sholeh mengatakan bahwa akhlak bukan saja suatu tindakan
yang lahir (nyata), akan tetapi meliputi perasaan, pemikiran, dan niat baik secara individu maupun berkelompok.
 M. Athiyah al Abrasyi sebagaimana yang dikemukakan Zuhairini, mengatakan bahwa untuk membantu
pembentukan akhlak yang mulia, Islam menetapkan bahwa pendidikan akhlak adalah jiwa pendidikan Islam dan mencapai
akhlak yang sempurna merupakan tujuan pendidikan yang sebenarnya. Dan bukanlah tujuan pendidikan dan pengajaran
dalam rangka mengisi otak pelajar dengan informasi-informasi kering dan mengajar mereka dengan pelajaran yang belum
diketahui.
Sejalan dengan narasi tersebut, maka pendidikan Islam sesungguhnya mengemban misi yang tidak hanya terbatas
pada transformasi ilmu pengetahuan yang menjurus pada peningkatan kemampuan intelektual semata, tetapi juga
internalisasi nilai-nilai spiritual religious dan moral etika, yang justru harus mendapat prioritas dan ditempatkan pada posisi
tertinggi. Terkait persoalan ini, presiden menggulirkan Inpres No. 1 Tahun 2010 dengan menjadikan isu karakter bangsa
sebagai skala prioritas pembangunan. Dalam inpres tersebut, presiden melalui program penguatan metodologi dan
kurikulum menargetkan terimplikasinya uji coba kurikulum dan metode pembelajaran aktif berdasarkan nilai-nilai budaya
bangsa untuk membentuk daya saing dan karakter bangsa.
Perbedaan yang kontras antar pendidikan masa lalu dengan masa kini adalah dimana pada masa lalu pendidikan
banyak diarahkan kepada pembangunan karakter, sementara pendidikan masa kini lebih menekankan pada ketrampilan
dan keahlian. Banyak ahli mencatat bahwa pendidikan selama ini hanya menonjolkan pembentukan kecerdasan berfikir dan
cendrung mengabaikan kecerdasan rasa, budi dan batin. Konsep Taksonomi Bloom yang menjadi pijakan setiap guru
selama ini, belum sepenuhnya teraplikasi sebab teknik evaluasi pada hasil belajar siswa seringkali diukur pada hasilnya
tanpa melihat proses, sehingga yang diukur cenderung pada kemampuan kognitif saja. Dengan demikian, maka penekanan
hasil belajar menjadi timpang. Banyak anak pintar akademisnya, tetapi memiliki perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai
yang diharapkan masyarakat.
Menganalisa perubahan nilai dalam konteks guru dan siswa, maka implikasinya  dalam pembelajaran adalah
otoritas guru digugat. Otoritas mengarah pada sebuah pemahaman bahwa guru menjadi satu-satunya pemeran utama di
kelas. Guru dengan otoritasnya berhak memaksa para siswa taat dan mengikuti idenya. Guru memiliki kekuasaan karena
statusnya. Tetapi jika guru serta merta memaksakan sebuah nilai, hasilnya justru akan kontra produktif dalam rangka
penanaman nilai. Nilai yang diyakini guru bisa saja mendapatkan tantangan. Dengan demikian maka  guru harus terbuka
terhadap nilai-nilai yang baru. Harus terjadi dialog nilai antar guru dan siswa. Kemudian guru harus bisa mengambil posisi,
bukan mengajarkan nilai yang sudah jadi, tetapi menjadi kawan agar siswa bisa mendapatkan nilai tertentu berdasarkan
kemerdekaan pribadi siswa tersebut. Seiring kematangan siswa dalam mentransfer serta menginternalisasikan nilai.
Dengan demikian ketaatan siswa terhadap guru dalam proses internalisasi nilaipun semakin longgar. Sehingga dari sini
kemudian akan terlihat jelas implikasi pembelajaran rekognitif - yang menekankan pola relasi subyektivitas, di mana guru
harus memposisikan siswa sebagai subyek dalam pembelajaran, bukan sebagai obyek - terhadap pembumian nilai-nilai
akhlaq kepada peserta didik.
Persoalan tersebut di atas sekali lagi tidak lepas dari paradigma pembelajaran yang diterapkan selama ini, di mana
relasi yang dibangun guru-siswa dalam interaksi belajar mengajar tidak efektif dalam membumikan nilai-nilai moral (akhlaq),
sehingga terjadi irelevansi kognitif dengan prilaku siswa. Dengan demikian, perlu arah baru dalam proses pembelajaran di
mana pola relasi antara guru-siswa  direkonstruksi dengan menempatkan guru-siswa pada posisi yang sejajar (relasi
subyektifitas), sehingga dengan pola komunikasi ini akan memunculkan sikap yang saling berterima antar
subyek. Wallahua’lam.

Anda mungkin juga menyukai