Anda di halaman 1dari 12

SISTEM KEPERCAYAAN KERAJAAN SRIWIJAYA

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan


Indonesia I Dosen Pengampu: Mardani, M. Hum. dan Roni E. Nukiman, M. Ag.

Oleh:

Fahmi M Lutfi 1145010040


Fitri Anisa 1145010046
Gilang Agus Budiman 1145010051
Jawad Mughofar KH 1145010071

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrohiim,
Puji syukur Kehadirat Allah Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk, rahmat,
dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan tugas ini tanpa ada halangan
apapun sesuai dengan waktu yang telah di tentukan.
Makalah ini di susun dalam rangka memenuhi tugas terstruktur pada mata
kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Penyusun menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat
penyusun harapkan.
Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi penyusun dan
umumnya bagi para pembaca. Aamiin.

Bandung, 25 Oktober 2015

Penyusun,

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .......................................................................... 1
C. Tujuan ............................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Catatan Sejarah Kerajaan Sriwiaya ................................................ 3


B. Sistem Kepercayaan Kerajaan Sriwijaya ....................................... 6

BAB III PENUTUP

A. Simpulan ........................................................................................ 8

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sriwijaya (Srivijaya; Thai: ศรี วิชยั atau "Ṣ̄rī wichạy") adalah salah satu

kemaharajaan bahari yang pernah berdiri di pulau Sumatera dan banyak memberi
pengaruh di Nusantara dengan daerah kekuasaan membentang dari Kamboja,
Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, dan pesisir Kalimantan.
Dalam bahasa Sansekerta, sri berarti “bercahaya”, dan wijaya berarti
“kemenangan” atau “kejayaan”, maka nama Sriwijaya bermakna “kemenangan
yang gilang-gemilang”.
Kerajaan Sriwijaya adalah salah satu kerajaan besar yang bukan saja dikenal
di wilayah Indonesia, tetapi dikenal di setiap bangsa atau negara yang berada jauh
di luar Indonesia. Hal ini disebabkan letak Kerajaan Sriwijaya yang sangat
strategis dan dekat dengan Selat Malaka. Telah kita ketahui, Selat Malaka pada
saat itu adalah jalur perdagangan yang sangat ramai dan dapat menghubung-kan
antara pedagang-pedagang dari Cina dengan India atau Romawi. Dari tepian
Sungai Must di Sumatra Selatan, pengaruh Kerajaan Sriwijaya terus meluas yang
mencakup Selat Malaka, Selat Sunda, Selat Bangka, Laut Jawa bagian barat,
Bangka, Jambi Hulu, dan mungkin juga Jawa Barat (Tarumanegara), Semenanjung
Malaya hingga ke Tanah Genting Kra. Luasnya wilayah laut yang dikuasai
Kerajaan Sriwijaya menjadikan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim yang besar
pada zamannya.
Dari latar belakang tersebut lebih lengkapnya akan kami bahas dalam
makalah ini yang lebih di tekankan dari aspek sistem kepercayaan pada masa
kerajaan sriwijaya dan tentunya kami tidak melupakan untuk membahas mengenai
catatan sejarah dari kerajaan sriwijaya.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat dibuat
perumusan masalah sebagai berikut:

1
2

a. Bagaimana Catatan Sejarah Kerajaan Sriwijaya?


b. Bagaimana Sistem Kepercayaan Kerajaan Sriwijaya?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan diatas, tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:
a. Mengetahui bagaimana Catatan Sejarah Kerajaan Sriwijaya
b. Mengetahui bagaimana Sistem Kepercayaan Kerajaan Sriwijaya
BAB II

PEMBAHASAN

A. Catatan Sejarah Kerajaan Sriwijaya


Kerajaan sriwijaya pernah berkembang menjadi kerajaan maritim yang
besar dan pusat perdangangan di Asia Tenggara. Dalam masa berkembangnya
kerajaan ini pernah menguasai Indonesia bagian barat, termasuk Semenanjung
Malaka.1
Bersumber dari salah satu situ ensiklopedi bebas menyatakan bahwa tidak
terdapat catatan lebih lanjut mengenai Kerajaan Sriwijaya dalam sejarah
Indonesia; masa lalunya yang terlupakan dibentuk kembali oleh sarjana asing.
Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar mengenai Sriwijaya sampai
tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George Cœdès mempublikasikan
penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia.2 Coedès
menyatakan bahwa referensi Tiongkok terhadap "San-fo-ts'i", sebelumnya
dibaca "Sribhoja", dan beberapa prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada
kekaisaran yang sama.3
Selain berita-berita diatas tersebut, telah ditemukan oleh Balai
Arkeologi Palembang sebuah perahu kuno yang diperkirakan ada sejak masa
awal atau proto Kerajaan Sriwijaya di Desa Sungai Pasir, Kecamatan
Cengal, Kabupaten Ogan Komering Ilir,Sumatera Selatan.4 Sayang, kepala
perahu kuno itu sudah hilang dan sebagian papan perahu itu digunakan justru
buatjembatan. Tercatat ada 17 keping perahu yang terdiri dari bagian lunas,
14 papan perahu yang terdiri dari bagian badan dan bagian buritan untuk
menempatkan kemudi.5 Perahu ini dibuat dengan teknik pasak kayu dan papan
ikat yang menggunakan tali ijuk. Cara ini sendiri dikenal dengan sebutan teknik

1 G Moedjanto. 1974. Sejarah Indonesia Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius. Hlm: 1


2 Jean Gelman Taylor. 2003. Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press
3 N.J Krom. 1938. "Het Hindoe-tijdperk". Di F.W. Stapel. Geschiedenis van Nederlandsch Indië. Amsterdam:
N.V. U.M. Joost van den Vondel. Jilid 1 Hlm: 149
4 http://news.detik.com/read/2012/03/24/173813/1875495/10/perahu-kuno-kerajaan-sriwijaya-ditemukan-di-
sumatera-selatan diakses pada tanggal 26 Oktober 2015 pukul 07:10
5 Ibid

3
4

tradisi Asia Tenggara. Selain bangkai perahu, ditemukan juga sejumlah artefak-
artefak lain yang berhubungan dengan temuan perahu, seperti tembikar,
keramik, dan alat kayu.6
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan
besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua
kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan
bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelum kolonialisme
Belanda.7
Sriwijaya disebut dengan berbagai macam nama. Orang Tionghoa
menyebutnya Shih-li-fo-shih atau San-fo-ts'i atau San Fo Qi. Dalam bahasa
Sanskerta dan bahasa Pali, kerajaan Sriwijaya disebut Yavadesh dan Javadeh.
Bangsa Arab menyebutnya Zabaj.8 dan Khmer menyebutnya Malayu.
Banyaknya nama merupakan alasan lain mengapa Sriwijaya sangat sulit
ditemukan. Sementara dari peta Ptolemaeus ditemukan keterangan tentang
adanya 3 pulau Sabadeibei yang kemungkinan berkaitan dengan Sriwijaya. 9
Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan
berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit
Seguntang dan Sabokingking(terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang),
tepatnya di sekitar situs Karanganyar yang kini dijadikan Taman Purbakala
Kerajaan Sriwijaya. Pendapat ini didasarkan dari foto udara tahun 1984 yang
menunjukkan bahwa situs Karanganyar menampilkan bentuk bangunan air,
yaitu jaringan kanal, parit, kolam serta pulau buatan yang disusun rapi yang
dipastikan situs ini adalah buatan manusia. Bangunan air ini terdiri atas kolam
dan dua pulau berbentuk bujur sangkar dan empat persegi panjang, serta
jaringan kanal dengan luas areal meliputi 20 hektare. Di kawasan ini ditemukan
banyak peninggalan purbakala yang menunjukkan bahwa kawasan ini pernah
menjadi pusat permukiman dan pusat aktifitas manusia. Namun

6 Ibid
7 Jean Gelman Taylor. Op Cit.
8 Suminto Sucipto, 2009. Perkembangan Masyarakat pada Masa Kerajaan Hindu Budha serta
Peningalannya Solo: Tiga Serangkai
9 Slamet Muljana. 2006. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara.
5

sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada


kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi
(di provinsi Jambi sekarang),10 dengan catatan Malayu tidak di kawasan
tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat
Moens,11 yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat
kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara
Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam
catatan I Tsing,12 serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang
pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya (Se li chu la wu
ni fu ma tian hwa atau Sri Cudamaniwarmadewa) tahun 1003 kepada kaisar
Cina yang dinamakan cheng tien wan shou (Candi Bungsu, salah satu bagian
dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa
penaklukan oleh Rajendra Chola I, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya
telah beribukota di Kadaram (sekarang Kedah)
Adapun bukti-bukti dari peninggalan kerajaan sriwijaya diantaranya adalah:
1. Prasasti Kedukan Bukit (683 M),
2. Prasasti Talang Tuo (684 M),
3. Prasasti Kota Kapur (686 M),
4. Prasasti-prasasti Siddhayatra (tidak berangka tahun),
5. Prasasti Telaga Batu (683 M), dan
6. Prasasti Karang Brahi (686 M) di Jambi
Adapula sumber-sumber asing tentang kerajaan Sriwijaya diperoleh
dari Cina, India (antara lain Prasasti Nalanda dan Cola), Sri Lanka, Arab,
dan Parsi, serta Prasasti Ligor, di Tanah Genting Kra, Malaysia. Yang
berangka tahun 775 M

10 Ibid
11 R Soekmono. 2002. Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius
12 Nugroho Notosusanto. 1992. Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, Bandung: PT Balai Pustaka
6

B. Sistem Kepercayaan Kerajaan Sriwijaya


Agama masyarakat Sriwijaya banyak dipengaruhi oleh dartangnya
pedagang India. Pertama adalah agama Hindu, lalu agama Buddha. Agama
Buddha dikenalkan di Sriwijaya pada tahun 425. Peranannya dalam agama
Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan agama Budha
di Ligor, Thailand.13 Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan Melayu melalui
perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7 hingga abad ke-9, sehingga
secara langsung turut serta mengembangkan bahasa Melayu beserta
kebudayaannya di Nusantara.
Nama Dharmapala dan Sakyakirti pun tidak asing lagi. Dharmapala adalah
seorang guru besar agama Budha dari Kerajaan Sriwijaya. Dia pernah mengajar
agama Budha di Perguruan Tinggi Nalanda (Benggala). Sedangkan Sakyakirti
adalah guru besar juga. Dia mengarang buku Hastadandasastra. Sangat
dimungkinkan bahwa Sriwijaya yang termahsyur sebagai bandar pusat
perdagangan di Asia Tenggara, tentunya menarik minat para pedagang dan
ulama muslim dari Timur Tengah. Sehingga beberapa kerajaan yang semula
adalah bagian dari Sriwijaya, lalu tumbuh menjadi cikal-bakal kerajaan-
kerajaan Islam di Sumatera kelak, disaat melemahnya pengaruh Sriwijaya.
Sriwijaya yang Sebagai pusat pengajaran Buddha memberikan banyak daya
tarik bagi para peziarah dan para sarjana dari berbagai wilayah terutama di Asia.
Salah satunya yang termasyhur adalaha pendeta dari Tiongkok I Tsing, yang
melakukan kunjungan ke Sumatera dalam perjalanan studinya di Universitas
Nalanda, India, yang dilakukannya pada tahun 671 dan 695. Dari hasil
perjalanannya beliau melaporkan bahwa Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat
pembelajran bagi agama Budha dan menjadi rumah bagi sarjana Buddha.
Dari seumber lain, dinyatakan bahwa terdapat 1000 orang pendeta yang
belajar agama Budha pada Sakyakirti, seorang pendeta terkenal di Sriwijaya.14
mengemukakan pendapat bahwa Terdapat lebih dari 1000 pandita Buddhis di

13 James T Collin. 2005. Bahasa Melayu, Bahasa Dunia - Sejarah Singkat (dalam Indonesia).Jakarta: Yayasan
Obor Indonesia
14 Nana Supratna. 2008. Sejarah untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas: Program Bahasa. Bandung:
Grasindo
7

Sriwijaya yang belajar serta mempraktikkan Dharma dengan baik. Mereka


menganalisa dan mempelajari semua topik ajaran sebagaimana yang ada di
India; vinaya dan ritual-ritual mereka tidaklah berbeda sama sekali [dengan
yang ada di India]. Apabila seseorang pandita Tiongkok akan pergi ke
Universitas Nalanda di India untuk mendengar dan mempelajari naskah-naskah
Dharma auutentik, ia sebaiknya tinggal di Sriwijaya dalam kurun waktu 1 atau
2 tahun untuk mempraktikkan vinaya dan bahasa sansekerta dengan tepat.
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan
Kerajaan sriwijaya pernah berkembang menjadi kerajaan maritim yang
besar dan pusat perdangangan di Asia Tenggara. Dalam masa berkembangnya
kerajaan ini pernah menguasai Indonesia bagian barat, termasuk Semenanjung
Malaka. Sebelumnya tidak terdapat catatan lebih lanjut mengenai kerajaan
Sriwijaya dalam sejarah Indonesia, masa lalunya yang terlupakan dibentuk
kembali oleh sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern yang mendengar
mengenai Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika sarjana Perancis George
Cœdès mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar
berbahasa Belanda dan Indonesia. Adapun bukti-bukti dari peninggalan
kerajaan sriwijaya diantaranya adalah: Prasasti Kedukan Bukit (683 M),
Prasasti Talang Tuo (684 M), Prasasti Kota Kapur (686 M), Prasasti-prasasti
Siddhayatra (tidak berangka tahun), Prasasti Telaga Batu (683 M), dan Prasasti
Karang Brahi (686 M) di Jambi dan adapula sumber-sumber asing tentang
kerajaan Sriwijaya diperoleh dari Cina, India (antara lain Prasasti Nalanda dan
Cola), Sri Lanka, Arab, dan Parsi, serta Prasasti Ligor, di Tanah Genting Kra,
Malaysia. Yang berangka tahun 775 M.
Sistem kepercayaan masyarakat Sriwijaya banyak dipengaruhi oleh
dartangnya pedagang dari India. Pertama adalah agama Hindu, lalu agama
Buddha. Agama Buddha dikenalkan di Sriwijaya pada tahun 425. Peranannya
dalam agama Budha dibuktikannya dengan membangun tempat pemujaan
agama Budha di Ligor, Thailand. Raja-raja Sriwijaya menguasai kepulauan
Melayu melalui perdagangan dan penaklukkan dari kurun abad ke-7
hingga abad ke-9, sehingga secara langsung turut serta mengembangkan bahasa
Melayu beserta kebudayaannya di Nusantara.

8
DAFTAR PUSTAKA

Collins, James T. 2005. Bahasa Melayu, Bahasa Dunia-Sejarah Singkat. Jakarta:


Yayasan Obor Indonesia

Krom, N.J. 1938. "Het Hindoe-tijdperk". Di F.W. Stapel. Geschiedenis van


Nederlandsch Indië. Amsterdam: N.V. U.M. Joost van den Vondel.

Moedjanto, G. 1974. Sejarah Indonesia Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius.

Muljana, Slamet. 2006. Sriwijaya. PT. LKiS Pelangi Aksara.

Notosusanto, Nugroho. 1992. Sejarah nasional Indonesia: Jaman kuna, Bandung:


PT Balai Pustaka

Soekmono, R. 2002. Pengantar sejarah kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta:


Kanisius

Sucipto. Suminto, 2009. Perkembangan Masyarakat pada Masa Kerajaan Hindu


Budha serta Peningalannya. Solo: Tiga Serangkai

Supratna, Nana. 2008. Sejarah untuk Kelas XI Sekolah Menengah Atas: Program
Bahasa. Bandung: Grasindo.

Taylor, Jean Gelman. 2003. Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and
London: Yale University Press

http://news.detik.com/read/2012/03/24/173813/1875495/10/perahu-kuno-
kerajaan-sriwijaya-ditemukan-di-sumatera-selatan diakses pada tanggal 26
Oktober 2015 pukul 07:10

Anda mungkin juga menyukai