“HELMINTHOLOGY”
NAMA KELOMPOK:
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini. Makalah ini kami buat untuk memenuhi
tugas dari dosen. Semoga dengan makalah yang kami susun ini kita sebagai mahasiswa dapat
menambah dan memperluas pengetahuan.
Kami mengetahui makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari sempurna, maka
dari itu kami masih mengharapkan kritik dan saran dari ibu selaku dosen pembimbing kami serta
temen-temen sekalian, karena kritik dan saran itu dapat membangun kami dari yang salah
menjadi benar.
Semoga makalah yang kami susun ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita, akhir kata
kami mengucapkan terima kasih.
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 1
1.3 Manfaat Penulisan 1
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cabang ilmu Helmintologi mempelajari tentang cacing parasit. Infeksi cacing merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat terbesar di dunia, terutama di negara berkembang
dengan status ekonomi menengah ke bawah. Sebagian besar cacing bersifat parasit sejati karena
tidak dapat hidup di luar tubuh manusia. Manifestasi infeksi cacing pada manusia bergantung
pada lokasi infeksi, tahap perkembangan pada siklus hidup cacing, serta ukuran cacing.
Penyakit kecacingan utama yang sering ditemukan di Indonesia termasuk ke dalam kelompok
soil-transmitted helminths (STH), antara lain infeksi yang disebabkan oleh spesies Ascaris
lumbricoides, cacing tambang (hookworm), dan Trichuris trichiura. Selain itu, di beberapa
daerah endemis juga dapat ditemukan infeksi akibat nematoda filaria, trematoda, dan cestoda.
Seluruh penyakit kecacingan tersebut dapat mengakibatkan morbiditas kronis pada manusia.
(Rizqiani : 2019)
Helmins (cacing) termasuk golongan hewan yang memiliki banyak sel (multiseluler) dan
mempunyai tubuh yang bentuknya simetrik laberal. Terdapat 2 golongan (filum) cacing yang
penting bagi kesehatan manusia, yaitu filum Platyhelminthes dan dan filem nemathelmintes. Di
dalam filum platythelmintes terdapat 2 kelas yang penting, yaitu kelas cestoda dan kelas
trematoda. Sedangkan didalam filum nemathelmithes dari kelas nematoda banyak spesies cacing
yang dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia maupun hewan. (Soedarto : 2011)
1
BAB II
LANDASAN TEORI
2
telur yang fertil maka telur tersebut akan tersimpan dalam tanah. Telur mejadi infeksius jika telur
matang. Secara klinis infeksi A. lumbricoidesakan berbeda, pada saat A. lumbricoides berada
dalam perut dan menuju daerah ileum akan terjadi gejala yang serius. Pada infeksi akut dan sub
akut, gejala infeksiakan kelihatan saat migrasi larva dan cacing dewasa ke usus dengan gejala
seperti sakit perut yang parah, diare, demam, dehidrasi dan muntah. (Adi, 2013)
2.1.4 Pencegahan
Untuk pencegahan terutama dengan menjaga hygiene dan sanitasi, tidak membuang air
besar di sembarang tempat, melindungi makanan dari pencemaran kotoran, mencuci bersih
tangan sebelum makan, dan tidak memakai tinja munusia sebagai pupuk tanaman (Safar,
2009:158).
3
Telur yang keluar bersama tinja merupakan telur dalam keadaan belum matang (belum
membelah) dan tidak infektif. Telur ini perlu pematangan di tanah selama 3-5 minggu sampai
terbentuk telur infektif yang berisi embrio di dalamnya. Manusia mendapat infeksi jika telur
yang infektif ini tertelan. Selanjutnya di bagian proksimal usus halus, telur menetas, keluar larva,
menetap selama 3-10 hari. Setelah dewasa, cacing akan turun ke usus besar dan menetap dalam
beberapa tahun. Jelas sekali bahwa larva tidak mengalami migrasi dalam sirkulasi darah ke paru-
paru. (Rusmartini, 2009).
Telur cacing T. trichiura berbentuk seperti guci atau tempayan berukuran 50x25 mikron, kulit
luar berwarna kuning, kulit dalam transparan dan kedua kutubnya terdapat operculum, yaitu
semacam penutup yang jernih dan menonjol yang dindingnya terdiri atas dua lapis disebut
dengan mukoid plug
2.2.4 Pencegahan
Pencegahan utama adalah kebersihan, sedangkan infeksi di daerah yang sangat endemik
dapat dengan menggunakan (Irianto, 2009 : 67)
1. Membuang tinja pada tempatnya sehinggaa tidak membuat pencemaran oleh telur cacing.
2. Mencuci tangan sebelum makan menggunakan sabun.
3. Pendidikan terhadap masyarakat terutama anak-anak tentang sanitasi dan hygiene.
4. Mencuci bersih sayur-sayuran atau memasaknya sebelum dimakan.
Infeksi cacing tambang pada manusia terutama disebabkan oleh Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus. Kedua spesies ini termasuk dalam famili Strongyloidae dari filum
Nematoda. Ankilostimiasis, juga dikenal dengan beberapa nama lain, yaitu penyakit yang
disebabkan oleh cacing tambang (A. Duidenale). Cacing ini bisa menyebabkan anemia defisiensi
besi karena cacing tersebut menghisap darah dari dinding usus manusia. (Tjokroprawiro, 2015)
Diperkirakan terdapat 1 miliar orang di seluruh dunia yang menderita infeksi cacing tambang
dengan populasi penderita terbanyak di daerah tropis dan subtropis, terutama di Asia dan
subsahara Afrika. Infeksi N. americanus lebih luas penyebarannya dibandingkan A. duodenale,
4
dan spesies ini juga merupakan penyebab utama infeksi cacing tambang di Indonesia (Rawina
dkk, 2012).
2.3.2 Taksonomi
Cacing tambang merupakan salah satu cacing usus yang termasuk dalam kelompok
cacing yang siklus hidupnya melalui tanah (soil transmitted helminth) bersama dengan Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura. Cacing ini termasuk dalam kelas nematoda dari filum
nemathelminthes. Famili Strongyloidae dari kelas nematoda terdiri atas dua genus, yaitu genus
Ancylostoma dan genus Necator.
2.3.3 Morfologi
Cacing dewasa Necator americanus berbentuk silinder dengan ujung anterior melengkung
tajam kearah dorsal (seperti huruf “S”). Panjang cacing jantan 7-9 mm dengan diameter 0,3 mm,
sedangkan cacing betina panjangnya 9-11 mm dengan diameter 0,4 mm. Pada rongga mulut
terdapat bentukan semilunar cutting plates (yang membedakannya dengan Ancylostoma
duodenale). Pada ujung posterior cacing jantan terdapat bursa copulatrix dengan sepasang
spiculae. Ujung posterior cacing betina runcing dan terdapat vulva.Cacing dewasa Ancylostoma
duodenale berbentuk silindris dan relatif gemuk, lengkung tubuh seperti huruf “C”. Panjang
cacing jantan 8-11 mm dengan diameter 0,4-0,5 mm, sedangkan cacing betina panjangnya 10-13
mm dengan diameter 0,6 mm. Dalam rongga mulut terdapat 2 pasang gigi ventral, gigi sebelah
luar berukuran lebih besar. Ujung posterior cacing betina tumpul dan yang jantan mempunyai
bursa copulatrix. Telur Necator americanus dan Ancylostoma duodenale sukar dibedakan. Telur
ini berukuran 50-60 x 40-45 mikron. Bentuknya bulat lonjong, berdinding tipis. Antara massa
telur dan dinding telur terdapat ruangan yang jernih. Pada tinja segar, telur berisi massa yang
terdiri dari 1-4 sel (Rawina, dkk., 2012)
Cacing tambang memiliki alat pengait seperti gunting yang membantu melekatkan
dirinya pada mukosa dan submukosa jaringan intestinal. Setelah terjadi pelekatan, otot esofagus
cacing menyebabkan tekanan negatif yang menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam
kapsul bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan arteriol yang menyebabkan
perdarahan. Pelepasan enzim hidrolitik oleh cacing tambang akan memperberat kerusakan
5
pembuluh darah. Hal itu ditambah lagi dengan sekresi berbagai antikoagulan termasuk
diantaranya inhibitor faktor VIIa (tissue inhibitory factor). Cacing tambang kemudian mencerna
sebagian darah yang dihisapnya dengan bantuan enzim hemoglobinase, sedangkan sebagian lagi
dari darah tersebut akan keluar melalui saluran cerna (Tjokroprawiro, 2015).
Masa inkubasi mulai dari bentuk dewasa pada usus sampai dengan timbulnya gejala
klinis seperti nyeri perut, berkisar antara 1-3 bulan. Untuk meyebabkan anemia diperlukan
kurang lebih 500 cacing dewasa. Infeksi yang berat dapat terjadi kehilangan darah sampai 200
ml/hari, meskipun pada umumnya didapatkan perdarahan intestinal kronik yang terjadi perlahan-
lahan
Gejala klinis nekatoriasis dan ankilostomosis ditimbulkan oleh adanya larva maupun
cacing dewasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah banyak, akan menimbulkan rasa
gatal-gatal dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder. Gejala klinik yang disebabkan oleh cacing
tambang dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, gangguan gizi dan gangguan darah
(Pusarawati, dkk., 2014)
Anemia defisiensi besi yang terjadi akibat infeksi cacing tambang selain memiliki gejala
dan tanda umum anemia, juga memiliki manifestasi khas seperti atrofi papil lidah, telapak tangan
berwarna jerami, serta kuku sendok. Juga terjadi pengurangan kapasitas kerja, bahkan dapat
terjadi gagal jantung akibat penyakit jantung anemia. Saat larva tertelan dapat terjadi gatal
kerongkongan, suara serak, mual, dan muntah. Pada fase selanjutnya, saat cacing dewasa
berkembang biak dalam saluran cerna, timbul rasa nyeri perut yang sering tidak khas (abdominal
discomfort). Karena cacing tambang menghisap darah dan menyebabkan perdarahan kronik,
maka dapat terjadi hipoproteinemia yang bermanifestasi sebagai edema pada wajah, ekstremitas
atau perut (Rosdiana, 2010)
Gejala klinis nekatoriasis dan ankilostomiasis ditimbulkan oleh adanya larva maupun
cacing dewasa. Gejala permulaan yang timbul setelah larva menembus kulit adalah timbulnya
rasa gatal-gatal biasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah banyak, rasa gatal-gatal
semakin hebat dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder. Apabila lesi berubah menjadi vesikuler
akan terbuka karena garukan. Gejala ruam papuloentematosa yang berkembang akan menjadi
6
vesikel. Ini diakibatkan oleh banyaknya larva filariform yang menembus kulit. Kejadian ini
disebut ground itch. Apabila larva mengadakan migrasi ke paru maka dapat menyebabkan
pneumonia yang tingkat gejalanya tergantung pada jumlah larva tersebut (Pusarawati, dkk.,
2014).
2.3.6 Epidemiologi
Cacing tambang terdapat di daerah tropika dan subtropika diantara 450 Lintang Utara dan
300 Lintang Selatan, kecuali Ancylostoma duodenale terdapat di daerah pertambangan Eropa
Utara. Necator americanus tersebar diseparuh belahan bumi sebelah barat, Afrika Tengah dan
Selatan, Asia selatan, Indonesia, Australia dan di Kepulauan Pasifik.
2.3.7 Pencegahan
Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk ke tubuh melalui makanan,
pakaian, bantal, sprai serta inhalasi debu yang mengandung telur yang kemudian akan bersarang
di usus dan akan dihancurkan oleh enzim usus, telur yang lolos akan berkembang menjadi larva
dewasa. Penyakit ini dapat menulari siapapun, namun yang seringkali terinfeksi adalah anak
kecil. Hal ini bisa disebabkan karena mereka belum bisa menjaga pola hidup bersih dan sehat
dan tubuhnya masih rentan terhadap penyakit. (Andrianto, dkk, 2019)
Cacing betina berukuran panjang 8 – 13 mm, lebar 0,3 – 0,5 mm dan mempunyai ekor
yang meruncing. Bentuk jantan lebih kecil dan berukuran panjang 2 -5 mm, lebar 0,1 – 0,2 mm
dan mempunyai ujung kaudal yang melengkung. Manusia terinfeksi bila menelan telur infektif,
telur akan menetas di dalam usus, dan kemudian akan berkembang menjadi dewasa. Cacing
7
betina mungkin memerlukan waktu kira-kira satu bulan untuk menjadi matang dan mulai untuk
produksi telurnya. setelah membuahi cacing betina, cacing jantan biasanya mati dan mungkin
akan keluar bersama tinja. Didalam cacing betina yang gravid, hampir seluruh tubuhnya dipenuhi
oleh telur. Pada saat ini bentuk betina akan turun ke bagian bawah kolon dan keluar melalui
anus, telur-telur akan diletakkan diperianal di kulit perineum. Kadang-kadang cacing betina
dapat bemigrasi ke vagina. Diperkirakan juga bahaya setelah meletakkan telur-telurnya, cacing
betina kembali masuk ke dalam usus; tetapi hal ini belum terbukti. Kadang-kadang apabila bolus
tinja keluar dari anus, cacing dewasa dapat melekat pada tinja dan dapat ditemukan
dipermukaannya. Untuk diagnosis infeksi ini, cacing dewasa dapat di ambil dengan pita perekat.
Meskipun telur biasanya tidak diletakkan di dalam usus, beberapa telur dapat ditemukan di
dalam tinja. Telur tersebut menjadi matang dan infektif dalam waktu beberapa jam.
Gejala klinis yang menonjol disebabkan karena iritasi di sekitar anus perineum dan
vagina oleh cacing etina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga
menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan pruritus
ani, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk di sekitar anus.
Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan
menjadi kemah. Cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke
lambung esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan daerah tersebut. Cacing betina
garavia mengembara dan dapat bersarang di vagina dan tuba fallopi sehingga menyebabkan
radang di saluran telur. Cacing sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabkan
apendisitis. Gejala lain yang akan dialami oleh penderita selain rasa gatal di sekitar anus adalah :
1. Anak menjadi rewel (karena rasa gatal dan tidur malamnya terganggu).
4. Rasa gatal atau iritasi vagina (pada anak perempuan, jika cacing dewasa masuk kedalam
vagina)
Karena infeksi ini sangat umum terjadi dan penularannya sangat mudah (kontaminasi dari
anus ke mulut, pakaian tidur yang kotor, telur-telur yang berada di udara, mainan anak-anak, dan
benda-benda lainnya). Peningkatan kesehatan perorangan dan kelompok digabung dengan terapi
kelompok dapat membantu pencegahan. juga dianjurkan pada anak-anak untuk tidur dengan
pakaia tertutup, dan menjaga kuku tetap pendek dan bersih. Jangan memakan sesuatu yang telah
jatuh tanpa mencucinya sampai bersih terlebih dahulu agar infeksi melalui mulut dapat dihindari.
(Andrianto,dkk, 2019)
8
2.5 Cacing Pita
2.5.2 Penyebaran
Cacing pita ini tidak memerlukan hospes perantara. Survey yang dilakukan di negara-
negara menunjukkan frekuensi dari 0,2- 3,7% walaupun di daerah-daerah tertentu 10% dari
anak-anak menderita infeksi ini. Di Amerika Serikat bagian selatan frekuensinya 0,3-2,9%.
Infeksi ini kebanyakan terbatas pada anak-anak dibawah umur 15 tahun. Infeksi kebanyakan
terjadi secara langsung dari tangan ke mulut.Frekuensinya agak lebih tinggi pada anak laki-laki
daripada anak perempuan dan presentase infeksi pada orang negro kira-kira setengahnya dari
bangsa kulit putih.Penularan tergantung pada kontak langsung, karena telurnya yang resistennya
lemah, yang tidak tahan terhadap panas dan pengeringan, tidak dapat hidup lama diluar hospes.
Infeksi ditularkan langsung dari tangan ke mulut dan lebih jarang karena kontaminasi makanan
atau air. Kebiasaan yang kurang bersih pada anak-anak menguntungkan adanya parasit ini pada
9
golongan umur rendah. Hal ini sering terjadi pada anak-anak umur 15 tahun ke bawah.
Kontaminasi terhadap tinja tikus perlu mendapat perhatian. Infeksi pada manusia selalu
disebabkan oleh telur yang tertelan dari benda-benda yang terkena tanah, dari tempat buang air
atau langgsung dari anus ke mulut. Kebersihan perorangan terutama pada keluarga besar dan di
perumahan panti asuhan harus diutamakan.( Gandahusada, Srisasi,dkk, 2004)
2.5.3 Patologi
Parasit ini biasanya tidak menyebabkan gejala. Jumlah yang besar dari cacing yang
menempel pada dinding usus halus menimbulkan iritasi mukosa usus. Kelainan yang sering
timbul adalah toksemia umum karena penyerapan sisa metabolit dari parasit masuk kedalam
sistem peredaran darah penderita. Pada anak kecil dengan infeksi berat, cacing ini kadang-
kadang menyebabkan keluhan neurologi yang gawat, mengalami sakit perut dengan atau tanpa
diare, kejang-kejang, sukar tidur dan pusing. Eosinifilia sebesar 8-16%. Sakit perut, obstipasi dan
anoreksia merupakan gejala ringan.( Gandahusada, Srisasi,dkk, 2004)
2.5.4 Pencegahan
Pencegahannya sukar, karena penularan terjadi langsung dan hanya satu hospes yang
terlibat dalam liingkaran hidupnya. Pemberantasannya terutama tergantung pada perbaikan
kebiasaan kebersihan pada anak. Pengobatan orang yang mengandung cacing ini, sanitasi
lingkungan, menghindarkan makanan dari kontaminasi dan pemberantasan binatang mengerat
juga dapat dilakukan. Obat yang efektif adalah atabrine, bitional, prazikuantel dan niklosamid,
tetapi saat ini obat-obat tersebut sulit didapat di Indonesia. Obat yang efektif dan ada di pasaran
Indonesia adalah amodiakun. Hiperinfeksi sulit diobati, tidak semua cacing dapat dikeluarkan
dan sistiserkoid masih ada di mukosa usus.( Gandahusada, Srisasi,dkk, 2004)
10
bancrofti dan 10% kasus disebabkan oleh Brugia malayi. Adapun morfologi Wuchereria
bancrofti adalah sebagai berikut,
Wuchereria bancrofti memiliki panjang tubuh 230-300 µm dan lebar 7,5-10 µm. Cacing
ini mempunyai sheath (sarung) dengan ujung anterior tumpul membulat dan posterior
meruncing. Cacing ini berwarna putih kekuningan dengan bentuk seperti benang dan mempunyai
lapisan kutikula yang halus. Ukuran cacing betina lebih panjang dibandingkan ukuran cacing
jantan.
11
Mikrofilaria masuk ke dalam saluran limfa dan menjadi dewasa. Cacing betina dan
cacing jatan melakukan kopulasi kemudian cacing gravid mengeluarkan larva mikrofilaria. Larva
tersebut hidup di pembuluh darah dan di pembuluh limfa. Saat nyamuk menghisap darah
manusia, mikrofilaria masuk ke tubuh nyamuk dan berkembang sampai larva stadium 3. Larva
tersebut kemudian siap ditularkan ke manusia lain.
Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Gejala akut berupa
limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang dapat disertai demam, sakit kepala, rasa lemah
serta dapat pula menjadi abses. Abses dapat pecah yang selanjutnya dapat menimbulkan parut,
terutama di daerah ketiak dan lipat paha. Gejala kronik berupa limfedema, lymph scrotum,
kiluria, dan hidrokel. Limfedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh gangguan
pengaliran getah bening kembali ke dalam darah. Lymph scrotum adalah pelebaran saluran limfe
superfisial pada kulit scrotum. Ditemukan juga vesikel dengan ukuran bervariasi pada kulit,
yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Kiluria adalah kebocoran yang terjadi akibat
pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renalis).
12
2.6.4 Pencegahan
Pencegahan penyakit filariasis dapat dilakukan dengan menaburkan bubuk larvasida pada
tempat penampungan air, menggunakan obat nyamuk dan memelihara ikan pemangsa jentik
nyamuk. Pada rumah, diatur cahaya dan ventilasi, serta menghindari kebiasaan menggantung
pakaian yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk. Strategi utama pada pemberantasan
transmisi limfatik filariasis adalah dengan melakukan MDA (Mass Drug Administration)
tahunan menggunakan obat DEC (Diethylcarbamazine citrate) atau Albendazole. Obat tersebut
mengatasi filariasis dengan membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa. Efek samping obat
tersebut adalah pusing, mual, demam, nyeri pada otot dan sendi, serta sakit kepala. Tetapi obat-
obat tersebut tidak boleh digunakan pada wanita hamil, anak-anak dibawah umur 2 tahun, dan
yang memiliki penyakit serius.
2.7.4 Pengobatan
Pengobatan untuk parasit ini adalah sama dengan termatoda lainnya, terutama melalui
penggunaan praziquantel sebagai obat pilihan pertama. Obat diberikan pada 5 mg/kg stat, atau
mingguan. Obat yang digunakan untuk mengobati infestasi mencakup triclabendazole,
praziquantel, bithonol, albendazole dan mebendazole.
Fasciola hepatica adalah salah satu trematoda hati yang bersifat hermaprodit yang dapat
menimbulkan penyakit fascioliasis. Parasit ini disebut juga dengan Sheep Liver Fluke.
Hospes definitif : manusia, binatang ternak (domba, kambing, sapi, kelinci) dan rusa
Hospes intermedier 1 : keong air
Hospes intermedier 2 : tumbuhan air (Ideham & Suhintam, 2016)
14
2.8.2 Morfologi
Menurut Ideham B & Suhintam (2016)
15
Telur fasciola hepatica pada perbesaran
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Infeksi cacing merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat terbesar di dunia,
terutama di negara berkembang dengan status ekonomi menengah ke bawah. Sebagian besar
cacing bersifat parasit sejati karena tidak dapat hidup di luar tubuh manusia. Manifestasi infeksi
cacing pada manusia bergantung pada lokasi infeksi, tahap perkembangan pada siklus hidup
cacing, serta ukuran cacing.
Penyakit kecacingan utama yang sering ditemukan di Indonesia termasuk ke dalam kelompok
soil-transmitted helminths (STH), antara lain infeksi yang disebabkan oleh spesies Ascaris
lumbricoides, cacing tambang (hookworm), dan Trichuris trichiura. Selain itu, di beberapa
daerah endemis juga dapat ditemukan infeksi akibat nematoda filaria, trematoda, dan cestoda.
Seluruh penyakit kecacingan tersebut dapat mengakibatkan morbiditas kronis pada manusia.
17
DAFTAR PUSTAKA
Natadisastra D, Agoes R, (2009) . Parasitologi Kedokteran : Ditinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang . Buku kedokteran EGC: Jakarta
Anindita & Mutiara, H., 2016. Filariasis: Pencegahan Terkait Faktor Risiko. JK UNILA, Volume
1
Rizqiani .K. (2019). Helmintologi. Yogyakarta : Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran,
Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada
Soedarto. (2011). Buku Ajar Helmintologi Kedokteran. Surabaya : Pusat penerbitan dan
percetakan unair
Irianto. K.(2009). Parastologi: Berbagai Penyakit Yang Mempengaruhi Kesehatan Masyarakat,.
Hlm: 29-67. Bandung : Yrama Widya
Adi dkk,. (2013). Gambaran Parasit Soil Transmitted Helminths Dan Tingkat Pengetahuan,
Sikap Serta Tindakan Petani Sayur Di Desa Waiheru Kecamatan Baguala Kota Ambon.
Kesehatan Lingkungan : Universitas Hasanuddin
Safar. R. (2009) Parasitologi Kedokteran:Prozologi, Entomologi, dan Helmintologi, 2009. Hlm:
158. Jakarta. : Cv.Yrama Widya
18
Natadisastra. (2009). Parasitologi kedoteran ditinjau dari organ tubuh yang diserang Jakarta :
EGC
Rusmartini. (2009). Pentakit oleh nematode usus. Jakarta : EGC
Irianto. (2009). Panduan praktikum parasitology dasar untuk paramedic dan non paramedic .
Bandung : Yrama Widya.
Tantular, I. S & H. Prasetyo. (2011). Trukuriasis. Dalam dasar parasitology klini. Jakarta : FKUI
Sumiati. B. & Adelina. S.(2018). Infeksi kecacingan pada anak usia 8-14 tahun di rw 007 tanjung
lengkong kelurahan bidaracina, jatinegara, jakarta timur. Jurnal ilmiah kesehatan. Vol.10. No.1.
Jakarta Timur : Universitas MH Thamrin
Safar, Rosdiana. 2010. Parasitologi Kedokteran: Protozoologi, Entomologi dan Helmintologi.
Cetakan I. Bandung: Yrama Widya
19