Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN MAKALAH KELOMPOK 2

“HELMINTHOLOGY”

NAMA KELOMPOK:

NISA AULIA FITRI 18031001


NOVITA TRIYULIANDARI 18031003
SARI FITRI WAHYUNI 18031014
SRI YULIANA 18031025
NINDIA TRYSIA ROZA 18031028
MARANATHA YOHANA 18031033
FADLI ANGGARA 18031034
INDRIA SYAHFITRI 18031035

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES HANG TUAH PEKANBARU
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini. Makalah ini kami buat untuk memenuhi
tugas dari dosen. Semoga dengan makalah yang kami susun ini kita sebagai mahasiswa dapat
menambah dan memperluas pengetahuan.

Kami mengetahui makalah yang kami susun ini masih sangat jauh dari sempurna, maka
dari itu kami masih mengharapkan kritik dan saran dari ibu selaku dosen pembimbing kami serta
temen-temen sekalian, karena kritik dan saran itu dapat membangun kami dari yang salah
menjadi benar.
Semoga makalah yang kami susun ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita, akhir kata
kami mengucapkan terima kasih.

Pekanbaru, 21 Agustus 2020

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Tujuan Penulisan 1
1.3 Manfaat Penulisan 1

BAB II LANDASAN TEORI


2.1 Cacing Perut 2
2.1.1 Definisi Cacing Perut 2
2.1.2 Morfologi cacing perut 2
2.1.3 Masalah Kesehatan yang Dialami 2
2.1.4 Pencegahan 3
2.2 Cacing Cambuk 3
2.2.1 Definisi Cacing Cambuk 3
2.2.2 Morfologi Cacing Cambuk 3
2.2.3 Masalah kesehatan yang Dialami 4
2.2.4 Pencegahan 4
2.3 Cacing Tambang 4
2.3.1 Infeksi Cacing Tambang 5
2.3.2 Taksonomi 5
2.3.3 Morfologi 5
2.3.4 Patogenesis 5
2.3.5 Gejala Klinis 6
2.3.6 Epidemiologi 7
2.3.7 Pencegahan 7
2.4 Cacing Kremi 7
2.4.1 Definisi Cacing kremi 7
2.5 Cacing pita 9
2.5.1 Definisi cacing Pita 9
2.5.2 Penyebaran Cacing Pita 9
2.5.3 Patologi 10
2.5.4 Pencegahan 10
2.6 Cacing Filaria 10
2.6.1 Definisi Cacing Filaria 10
2.6.2 Morfologi Cacing Filaria 10
2.6.3 Masalah Kesehatan yang Timbul 11
2.6.4 Pencegahan 13
2.7 Clonorchis Sinensis 13
2.7.1 Definisi Clonorchis Sinensis 13
2.7.2 Morfologi 13
2.7.3 Masalah Kesehatan yang Timbul 14
2.7.4 Pengobatan 14
2.8 Fasciola Hepatica 14
2.8.1 Definisi Faciola Hepatica 14
ii
2.8.2 Morfologi 15
2.8.3 Gejala Klinis 16
2.8.4 cara mengatasi 16

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan 18

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cabang ilmu Helmintologi mempelajari tentang cacing parasit. Infeksi cacing merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat terbesar di dunia, terutama di negara berkembang
dengan status ekonomi menengah ke bawah. Sebagian besar cacing bersifat parasit sejati karena
tidak dapat hidup di luar tubuh manusia. Manifestasi infeksi cacing pada manusia bergantung
pada lokasi infeksi, tahap perkembangan pada siklus hidup cacing, serta ukuran cacing.
Penyakit kecacingan utama yang sering ditemukan di Indonesia termasuk ke dalam kelompok
soil-transmitted helminths (STH), antara lain infeksi yang disebabkan oleh spesies Ascaris
lumbricoides, cacing tambang (hookworm), dan Trichuris trichiura. Selain itu, di beberapa
daerah endemis juga dapat ditemukan infeksi akibat nematoda filaria, trematoda, dan cestoda.
Seluruh penyakit kecacingan tersebut dapat mengakibatkan morbiditas kronis pada manusia.
(Rizqiani : 2019)
Helmins (cacing) termasuk golongan hewan yang memiliki banyak sel (multiseluler) dan
mempunyai tubuh yang bentuknya simetrik laberal. Terdapat 2 golongan (filum) cacing yang
penting bagi kesehatan manusia, yaitu filum Platyhelminthes dan dan filem nemathelmintes. Di
dalam filum platythelmintes terdapat 2 kelas yang penting, yaitu kelas cestoda dan kelas
trematoda. Sedangkan didalam filum nemathelmithes dari kelas nematoda banyak spesies cacing
yang dapat menimbulkan masalah kesehatan bagi manusia maupun hewan. (Soedarto : 2011)

1.2 Tujuan Penulisan


 Untuk mengetahui konsep helminthology pada cacing perut, cacing tambang, cacing
kremi, cacing pita, cacing cambuk, cacing filaria, clonorchis sinensis, dan fasciola
hepatica

1.3 Manfaat Penulisan


 Untuk memahami konsep helminthology pada cacing perut, cacing tambang, cacing
kremi, cacing pita, cacing cambuk, cacing filaria, clonorchis sinensis, dan fasciola
hepatica

1
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Cacing Perut (Ascaris lumbrioides / cacing gelang)


2.1.1 Definisi Cacing Perut
Cacing dewasa hidup di dalam rongga usus halus manusia. Panjang yang betina 20-40 cm
dan cacing jantan 15-31 cm. Cacing dewasa berwarna agak kemerahan atau putih kekuningan,
bentuknya silindris memanjang, ujung anterior tumpul memipih dan ujung posteriornya agak
meruncing. Bagian kepala dilengkapi dengan 3 buah bibir yaitu 1 di bagian mediodorsal dan 2
lagi berpasangan di bagian latero ventral.Untuk membedakan cacing betina dan jantan dapat
dilihat pada ekornya (ujung posterior), dimana jantan ujung ekornya melengkung kearah ventral
(Irianto, 2009).
Telur Ascaris lumbricoides (cacing gelang) mempunyai ciri-ciri: Bentuk bulat atau oval,
ukuran 60 x 45 mikron, warna kecoklatan, dinding telur yang kuat terdiri dari bagian luar
(dibentuk dari lapisan selaput albumin dengan permukaan berupa tonjolan-tonjolan atau
bergerigi yang berwarna kecoklatan karena pigmen empedu) dan bagian dalam dinding telur
terdiri dari lapisan vitelin yang liat, sehingga telur dapat tetap tahan lama sampai 1 tahun
(Irianto, 2009 : 29).

2.1.2 Morfologi Cacing Perut / gelang


Cacing A. lumbricoides berukuran besar, berwarna putih kecoklatan atau kuning pucat.
Cacing jantan mempunyai ukuran 10-31 cm, ekor melingkar, dan memiliki 2 spikula dengan
diameter 2-4 mm. Sedangkan cacing betina mempunyai ukuran 22-35 cm terkadang sampai 39
cm dengan diameter 3-6 mm, ekor lurus pada bagian 1/3 anterior, dan memiliki cincin kopulasi.
Baik cacing jantan, maupun betina memiliki mulut terdiri atas tiga buah bibir yaitu satu bibir di
bagian dorsal dan dua bibir lainnya terletak subventral. Selain ukurannya lebih kecil dari betina,
cacing jantan mempunyai ujung posterior yang runcing dengan ekor melengkung ke arah ventral.
Bentuk tubuh cacing betina membulat (conical) dengan ukuran badan yang lebih besar dan lebih
panjang daripada cacing jantan dan bagian ekor yang lurus, tidak melengkung. Cacing A.
lumbricoides memiliki 4 macam telur yang dapat dijumpai di feses, yaitu telur fertilized
egg(telur yang dibuahi), telur unfertilized(telur yang tidak dibuahi), decorticated (telur yang
sudah dibuahi tetapi tidak ada lapisan albuminnya) dan telur infektif (telur yang mengandung
larva). Fertilized egg berbentuk lonjong berukuran 45-70 mikron x 35-50 mikron dengan kulit
telur tak berwarna. Unfertilized egg dapat ditemukan jika dalam usus penderita jika dalam usus
penderita hanya terdapat cacing betina saja. Bentuk telur ini lebih lonjong dan lebih panjang
dibanding ukuran fertilized egg dengan ukuran sekitar 80-55 mikron. Telur ini tidak mempunyai
rongga di kedua kutubnya.

2.1.3 Masalah Kesehatan yang di alami


Infeksi A. lumbricoides sering ditemukan di daerah iklim hangat dan lembab yang
memiliki sanitasi hygiene buruk. Cacing A. lumbricoides hidup di usus dan telurnya akan keluar
bersama tinja hospes. Jika hospes defekasi di tanah (taman,lapangan) atau jika tinja mengandung

2
telur yang fertil maka telur tersebut akan tersimpan dalam tanah. Telur mejadi infeksius jika telur
matang. Secara klinis infeksi A. lumbricoidesakan berbeda, pada saat A. lumbricoides berada
dalam perut dan menuju daerah ileum akan terjadi gejala yang serius. Pada infeksi akut dan sub
akut, gejala infeksiakan kelihatan saat migrasi larva dan cacing dewasa ke usus dengan gejala
seperti sakit perut yang parah, diare, demam, dehidrasi dan muntah. (Adi, 2013)

2.1.4 Pencegahan
Untuk pencegahan terutama dengan menjaga hygiene dan sanitasi, tidak membuang air
besar di sembarang tempat, melindungi makanan dari pencemaran kotoran, mencuci bersih
tangan sebelum makan, dan tidak memakai tinja munusia sebagai pupuk tanaman (Safar,
2009:158).

2.2 Cacing Cambuk


2.2.1 Definisi Cacing Cambuk (Trichuris trichiura)
Cacing T. trichiura dinamakan cacing cambuk karena secara menyeluruh cacing ini
berbentuk seperti cambuk. T. trichiura merupakan nematoda usus penyebab penyakit trikuriasis.
Trikuriasis adalah salah satu penyakit cacing yang banyak terdapat pada manusia. Diperkirakan
sekitar 900 juta orang pernah terinfeksi dengan cacing ini. Cacing T. trichiura dinamakan cacing
cambuk karena secara menyeluruh cacing ini berbentuk seperti cambuk. Hospes cacing T.
trichiura ini adalah manusia. Cacing dewasa hidup di dalam usus besar manusia, terutama di
daerah sekum dan kolon. Cacing ini bersifat kosmopolit, terutama ditemukan di daerah panas
dan lembab, seperti di Indonesia.
Panjang cacing dewasa T. trichiura lebih kurang 4 cm, sedangkan cacing betina
panjangnya sekitar 5 cm. Bagian anteriornya pun halus seperti cambuk, tetapi bagian ekor lurus
berujung tumpul. Tiga perlima bagian anterior tubuh cacing berukuran kecil seperti cambuk. Dua
perlima bagian posterior tubuh cacing melebar, bagian ini berisi usus dan alat reproduksi. Bagian
posterior cacing betina membulat tumpul. Vulva terletak di perbatasan antara tubuh bagian
anterior dengan tubuh bagian posterior. Bagian posterior cacing jantan melingkar dan terdapat
satu spikulum dengan selubung yang retraktil.

2.2.2 Morfologi Cacing Cambuk


Morfologi cacing T. trichiura terdiri dari 3/5 bagian anterior tubuh halus seperti benang,
pada ujungnya terdapat kepala, esophagus sempit berdinding tipis terdiri dari satu sel, tidak
memiliki bulbus esophagus. Bagian anterior yang halus akan menancapkan diri pada mukosa
usus. 2/5 bagian posterior lebih tebal, berisi usus, dan perangkat alat kelamin. Cacing jantan
memiliki ukuran lebih pendek (3- 4 cm) dari pada betina dengan ujung posterior yang
melengkung ke ventral. Cacing betina memiliki ukuran 4-5 cm dengan ujung posterior yang
membulat. Telur berukuran 30–54 x 23 mikron dengan bentukan yang khas lonjong seperti tong
(barrel shape) dengan dua mucoid plug pada kedua ujung yang berwarna transparan.
(Natadisastra, 2009).

3
Telur yang keluar bersama tinja merupakan telur dalam keadaan belum matang (belum
membelah) dan tidak infektif. Telur ini perlu pematangan di tanah selama 3-5 minggu sampai
terbentuk telur infektif yang berisi embrio di dalamnya. Manusia mendapat infeksi jika telur
yang infektif ini tertelan. Selanjutnya di bagian proksimal usus halus, telur menetas, keluar larva,
menetap selama 3-10 hari. Setelah dewasa, cacing akan turun ke usus besar dan menetap dalam
beberapa tahun. Jelas sekali bahwa larva tidak mengalami migrasi dalam sirkulasi darah ke paru-
paru. (Rusmartini, 2009).
Telur cacing T. trichiura berbentuk seperti guci atau tempayan berukuran 50x25 mikron, kulit
luar berwarna kuning, kulit dalam transparan dan kedua kutubnya terdapat operculum, yaitu
semacam penutup yang jernih dan menonjol yang dindingnya terdiri atas dua lapis disebut
dengan mukoid plug

2.2.3 Masalah Kesehatan yang dialami


Infeksi ringan oleh T.trichiuira umumnya tidak ditemukan gejala atau disebut
asimtomatik. Gejala gastrointestinal yang nonspesifik dapat dikeluhkan seperti mual, muntah,
nyeri abdomen, diare dan konstipasi, yaitu pada infeksi yang lebih berat. Pasien yang mengalami
infeksi kronis T. trichiura menunjukan gejala klinis seperti anemia, tinja yang bercampur darah,
sakit perut, kekurangan berat badan dan prolaps rectal yang berisi cacing pada mukosa rectum.
(Irianto, 2009).
Cacing dewasa di dalam kolon dan rektum memasukan kepalanya ke dalam mukosa usus
sehingga menimbulkan iritasi dan luka. Cacing dewasa menghisap darah dan karena
menyebabkan luka pada mukosa usus lama-kelamaan terjadi anemia. (Tantular & prasetyo,
2011).

2.2.4 Pencegahan
Pencegahan utama adalah kebersihan, sedangkan infeksi di daerah yang sangat endemik
dapat dengan menggunakan (Irianto, 2009 : 67)
1. Membuang tinja pada tempatnya sehinggaa tidak membuat pencemaran oleh telur cacing.
2. Mencuci tangan sebelum makan menggunakan sabun.
3. Pendidikan terhadap masyarakat terutama anak-anak tentang sanitasi dan hygiene.
4. Mencuci bersih sayur-sayuran atau memasaknya sebelum dimakan.

2.3 Cacing Tambang


2.3.1 Infeksi Cacing Tambang

Infeksi cacing tambang pada manusia terutama disebabkan oleh Ancylostoma duodenale
dan Necator americanus. Kedua spesies ini termasuk dalam famili Strongyloidae dari filum
Nematoda. Ankilostimiasis, juga dikenal dengan beberapa nama lain, yaitu penyakit yang
disebabkan oleh cacing tambang (A. Duidenale). Cacing ini bisa menyebabkan anemia defisiensi
besi karena cacing tersebut menghisap darah dari dinding usus manusia. (Tjokroprawiro, 2015)
Diperkirakan terdapat 1 miliar orang di seluruh dunia yang menderita infeksi cacing tambang
dengan populasi penderita terbanyak di daerah tropis dan subtropis, terutama di Asia dan
subsahara Afrika. Infeksi N. americanus lebih luas penyebarannya dibandingkan A. duodenale,
4
dan spesies ini juga merupakan penyebab utama infeksi cacing tambang di Indonesia (Rawina
dkk, 2012).

Infeksi A. duodenale dan N. americanus merupakan penyebab terpenting anemia


defisiensi besi. Selain itu infeksi cacing tambang juga merupakan penyebab hipoproteinemia
yang terjadi akibat kehilangan albumin, karena perdarahan kronik pada saluran cerna. Anemia
defisiensi besi dan hipoproteinemia sangat merugikan proses tumbuh kembang anak dan
berperan besar dalam mengganggu kecerdasan anak usia sekolah (Tjokroprawiro, 2015).

2.3.2 Taksonomi

Cacing tambang merupakan salah satu cacing usus yang termasuk dalam kelompok
cacing yang siklus hidupnya melalui tanah (soil transmitted helminth) bersama dengan Ascaris
lumbricoides dan Trichuris trichiura. Cacing ini termasuk dalam kelas nematoda dari filum
nemathelminthes. Famili Strongyloidae dari kelas nematoda terdiri atas dua genus, yaitu genus
Ancylostoma dan genus Necator.

2.3.3 Morfologi

Cacing dewasa Necator americanus berbentuk silinder dengan ujung anterior melengkung
tajam kearah dorsal (seperti huruf “S”). Panjang cacing jantan 7-9 mm dengan diameter 0,3 mm,
sedangkan cacing betina panjangnya 9-11 mm dengan diameter 0,4 mm. Pada rongga mulut
terdapat bentukan semilunar cutting plates (yang membedakannya dengan Ancylostoma
duodenale). Pada ujung posterior cacing jantan terdapat bursa copulatrix dengan sepasang
spiculae. Ujung posterior cacing betina runcing dan terdapat vulva.Cacing dewasa Ancylostoma
duodenale berbentuk silindris dan relatif gemuk, lengkung tubuh seperti huruf “C”. Panjang
cacing jantan 8-11 mm dengan diameter 0,4-0,5 mm, sedangkan cacing betina panjangnya 10-13
mm dengan diameter 0,6 mm. Dalam rongga mulut terdapat 2 pasang gigi ventral, gigi sebelah
luar berukuran lebih besar. Ujung posterior cacing betina tumpul dan yang jantan mempunyai
bursa copulatrix. Telur Necator americanus dan Ancylostoma duodenale sukar dibedakan. Telur
ini berukuran 50-60 x 40-45 mikron. Bentuknya bulat lonjong, berdinding tipis. Antara massa
telur dan dinding telur terdapat ruangan yang jernih. Pada tinja segar, telur berisi massa yang
terdiri dari 1-4 sel (Rawina, dkk., 2012)

2.3.4 Patogenesis Cacing tambang

Cacing tambang memiliki alat pengait seperti gunting yang membantu melekatkan
dirinya pada mukosa dan submukosa jaringan intestinal. Setelah terjadi pelekatan, otot esofagus
cacing menyebabkan tekanan negatif yang menyedot gumpalan jaringan intestinal ke dalam
kapsul bukal cacing. Akibat kaitan ini terjadi ruptur kapiler dan arteriol yang menyebabkan
perdarahan. Pelepasan enzim hidrolitik oleh cacing tambang akan memperberat kerusakan

5
pembuluh darah. Hal itu ditambah lagi dengan sekresi berbagai antikoagulan termasuk
diantaranya inhibitor faktor VIIa (tissue inhibitory factor). Cacing tambang kemudian mencerna
sebagian darah yang dihisapnya dengan bantuan enzim hemoglobinase, sedangkan sebagian lagi
dari darah tersebut akan keluar melalui saluran cerna (Tjokroprawiro, 2015).

Masa inkubasi mulai dari bentuk dewasa pada usus sampai dengan timbulnya gejala
klinis seperti nyeri perut, berkisar antara 1-3 bulan. Untuk meyebabkan anemia diperlukan
kurang lebih 500 cacing dewasa. Infeksi yang berat dapat terjadi kehilangan darah sampai 200
ml/hari, meskipun pada umumnya didapatkan perdarahan intestinal kronik yang terjadi perlahan-
lahan

Gejala klinis nekatoriasis dan ankilostomosis ditimbulkan oleh adanya larva maupun
cacing dewasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah banyak, akan menimbulkan rasa
gatal-gatal dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder. Gejala klinik yang disebabkan oleh cacing
tambang dewasa dapat berupa nekrosis jaringan usus, gangguan gizi dan gangguan darah
(Pusarawati, dkk., 2014)

2.3.5 Gejala Klinis

Anemia defisiensi besi akibat infeksi cacing tambang menyebabkan hambatan


pertumbuhan fisik dan kecerdasan anak. Pada wanita yang mengandung, anemia defisiensi besi
menyebabkan peningkatan mortalitas maternal, gangguan laktasi dan prematuritas. Infeksi
cacing tambang pada wanita hamil dapat menyebabkan bayi dengan berat badan lahir rendah.
Diduga dapat terjadi transmisi vertikal larva filariform A. duodenale melalui air susu ibu
(Pusarawati, dkk., 2014).

Anemia defisiensi besi yang terjadi akibat infeksi cacing tambang selain memiliki gejala
dan tanda umum anemia, juga memiliki manifestasi khas seperti atrofi papil lidah, telapak tangan
berwarna jerami, serta kuku sendok. Juga terjadi pengurangan kapasitas kerja, bahkan dapat
terjadi gagal jantung akibat penyakit jantung anemia. Saat larva tertelan dapat terjadi gatal
kerongkongan, suara serak, mual, dan muntah. Pada fase selanjutnya, saat cacing dewasa
berkembang biak dalam saluran cerna, timbul rasa nyeri perut yang sering tidak khas (abdominal
discomfort). Karena cacing tambang menghisap darah dan menyebabkan perdarahan kronik,
maka dapat terjadi hipoproteinemia yang bermanifestasi sebagai edema pada wajah, ekstremitas
atau perut (Rosdiana, 2010)

Gejala klinis nekatoriasis dan ankilostomiasis ditimbulkan oleh adanya larva maupun
cacing dewasa. Gejala permulaan yang timbul setelah larva menembus kulit adalah timbulnya
rasa gatal-gatal biasa. Apabila larva menembus kulit dalam jumlah banyak, rasa gatal-gatal
semakin hebat dan kemungkinan terjadi infeksi sekunder. Apabila lesi berubah menjadi vesikuler
akan terbuka karena garukan. Gejala ruam papuloentematosa yang berkembang akan menjadi
6
vesikel. Ini diakibatkan oleh banyaknya larva filariform yang menembus kulit. Kejadian ini
disebut ground itch. Apabila larva mengadakan migrasi ke paru maka dapat menyebabkan
pneumonia yang tingkat gejalanya tergantung pada jumlah larva tersebut (Pusarawati, dkk.,
2014).

2.3.6 Epidemiologi

Cacing tambang terdapat di daerah tropika dan subtropika diantara 450 Lintang Utara dan
300 Lintang Selatan, kecuali Ancylostoma duodenale terdapat di daerah pertambangan Eropa
Utara. Necator americanus tersebar diseparuh belahan bumi sebelah barat, Afrika Tengah dan
Selatan, Asia selatan, Indonesia, Australia dan di Kepulauan Pasifik.

Penyebarannya disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, pembuangan kotoran orang-orang


yang terinfeksi di tempat-tempat yang dilewati orang lain, tanah tempat pembuangan kotoran
yang merupakan medium yang baik, suhu panas dan lembap, serta populasi yang miskin dengan
orang-orang tanpa sepatu. Penyebaran di Cina terjadi karena pemakaian pupuk dari kotoran
manusia. Ankilostomiasis di Indonesia banyak terdapat pada karyawan perkebunan karet
(Tjokroprawiro, 2015).

2.3.7 Pencegahan

Pencegahan dapat dilakukan dengan tidak membuang tinja disembarang tempat,


membiasakan memakai alas kaki bila keluar rumah, dan tidak memupuk sayuran dengan tinja
manusia (Rosdiana, 2010)

2.4 Cacing Kremi

2.4.1 Definisi cacing Kremi

Enterobius vermicularis adalah cacing yang dapat masuk ke tubuh melalui makanan,
pakaian, bantal, sprai serta inhalasi debu yang mengandung telur yang kemudian akan bersarang
di usus dan akan dihancurkan oleh enzim usus, telur yang lolos akan berkembang menjadi larva
dewasa. Penyakit ini dapat menulari siapapun, namun yang seringkali terinfeksi adalah anak
kecil. Hal ini bisa disebabkan karena mereka belum bisa menjaga pola hidup bersih dan sehat
dan tubuhnya masih rentan terhadap penyakit. (Andrianto, dkk, 2019)

Cacing betina berukuran panjang 8 – 13 mm, lebar 0,3 – 0,5 mm dan mempunyai ekor
yang meruncing. Bentuk jantan lebih kecil dan berukuran panjang 2 -5 mm, lebar 0,1 – 0,2 mm
dan mempunyai ujung kaudal yang melengkung. Manusia terinfeksi bila menelan telur infektif,
telur akan menetas di dalam usus, dan kemudian akan berkembang menjadi dewasa. Cacing

7
betina mungkin memerlukan waktu kira-kira satu bulan untuk menjadi matang dan mulai untuk
produksi telurnya. setelah membuahi cacing betina, cacing jantan biasanya mati dan mungkin
akan keluar bersama tinja. Didalam cacing betina yang gravid, hampir seluruh tubuhnya dipenuhi
oleh telur. Pada saat ini bentuk betina akan turun ke bagian bawah kolon dan keluar melalui
anus, telur-telur akan diletakkan diperianal di kulit perineum. Kadang-kadang cacing betina
dapat bemigrasi ke vagina. Diperkirakan juga bahaya setelah meletakkan telur-telurnya, cacing
betina kembali masuk ke dalam usus; tetapi hal ini belum terbukti. Kadang-kadang apabila bolus
tinja keluar dari anus, cacing dewasa dapat melekat pada tinja dan dapat ditemukan
dipermukaannya. Untuk diagnosis infeksi ini, cacing dewasa dapat di ambil dengan pita perekat.
Meskipun telur biasanya tidak diletakkan di dalam usus, beberapa telur dapat ditemukan di
dalam tinja. Telur tersebut menjadi matang dan infektif dalam waktu beberapa jam.

Gejala klinis yang menonjol disebabkan karena iritasi di sekitar anus perineum dan
vagina oleh cacing etina gravid yang bermigrasi ke daerah anus dan vagina sehingga
menyebabkan pruritus lokal. Karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan pruritus
ani, maka penderita menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk di sekitar anus.
Keadaan ini sering terjadi pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan
menjadi kemah. Cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke
lambung esofagus dan hidung sehingga menyebabkan gangguan daerah tersebut. Cacing betina
garavia mengembara dan dapat bersarang di vagina dan tuba fallopi sehingga menyebabkan
radang di saluran telur. Cacing sering ditemukan di apendiks tetapi jarang menyebabkan
apendisitis. Gejala lain yang akan dialami oleh penderita selain rasa gatal di sekitar anus adalah :

1. Anak menjadi rewel (karena rasa gatal dan tidur malamnya terganggu).

2. Kurang tidur (di karenakan rasa gatal yang timbul)

3. Nafsu makan berkurang, berat badan menurun

4. Rasa gatal atau iritasi vagina (pada anak perempuan, jika cacing dewasa masuk kedalam
vagina)

5. Kulit di sekitar anus menjadi lecet atau infeksi (akibat penggarukan)

Karena infeksi ini sangat umum terjadi dan penularannya sangat mudah (kontaminasi dari
anus ke mulut, pakaian tidur yang kotor, telur-telur yang berada di udara, mainan anak-anak, dan
benda-benda lainnya). Peningkatan kesehatan perorangan dan kelompok digabung dengan terapi
kelompok dapat membantu pencegahan. juga dianjurkan pada anak-anak untuk tidur dengan
pakaia tertutup, dan menjaga kuku tetap pendek dan bersih. Jangan memakan sesuatu yang telah
jatuh tanpa mencucinya sampai bersih terlebih dahulu agar infeksi melalui mulut dapat dihindari.
(Andrianto,dkk, 2019)

8
2.5 Cacing Pita

2.5.1 Definisi Cacing Pita


Cacing pita adalah cacing yang hidup sebagai parasit yang termasuk kelas cestoda,
phylum plathyhelminthes. Cacing dewasa hidup di dalam tractur digestivus vertebrata dan
larvanya hidup di dalam jaringan vertebrata dan invertebrata. Bentuk badan cacing dewasa
memanjang menyerupai pita, biasanya pipih dorsoventral, tidak mempunyai alat pencernaan
atau saluran vaskular dan biasanya terbagi dalam segmen-segmen yang disebu proglotid yang
bila dewasa berisi alat reproduktif jantan dan betina. Ujung bagian anterior berubah menjadi
sebuah alat pelekat, disebut skoleks, yang dilengkapi dengan alat isap dan kait-kait. Spesies
penting yang dapat menimbulkan kelainan pada manusia umumnya adalah : Diphyllobothrium
latum, Hymenolepis nana, Echinococcus granulosus, Echinococcus multilocularis, Taenia
saginata, dan Taenia solium. Manusia merupakan hospes cestoda ini dalam bentuk: Cacing
dewasa, untuk spesies Diphyllobothrium latum, Taenia saginata, Taenia solium, Hymenolepis
nana, Hymenolepis diminuta, Dipylidium caninum. Larva, untuk spesies Diphyllobothrium sp,
Taenia solium, Hymenolepis nana, Echinococcus granulosus, Multiceps. (Gandahusada,
Srisasi,dkk, 2004)
Klasifikasi, Kingdom(Animalia), Phylum(Platyhelminthes), Class(Cestoda),
Ordo(Pseudophyllidea), Family(Diphyllobothriidae), Genus(Diphyllobothrium),
Species(Diphyllobotrium latum) . Cacing dewasa yang keluar dari usus manusia berwarna
gading atau kuning keabuan merupakan cacing pita yang terpanjang pada manusia. Ukuran
panjangnya 3 sampai 10 m dan terdiri dari 3000-4000 buah proglotid dengan tiap proglotid
mempunyai alat kelamin jantan dan betina yang lengkap. Alat kelamin jantan berakhir di cirrus
yang berotot pada lubang kelamin tunggal. Alat kelammin betina terdiri dari ovarium yang
simetris, berlobus dua, sebuah vagina yang berjalan dari lubang kelamin tunggal dan sebuah
uterus yang bermuara di lubang uterus di garis tengah ventral pada jarak pendek di belakang
lubang kelamin tunggal. Uterus yang hitam berkelok-kelok dan menyerupai roset di tengah-
tengah proglotid matang, adalah tanda yang khas yang digunakan untuk diagnosis. Dari uterus
yang melebar di proglotid gravid tiap hari dikeluarkan 1 juta telur yang berwarna kuning tengguli
ke dalam rongga usus. Proglotid ini akan mengalami disintegrasi bila sudah selesai
mengeluarkan telur-telurnya.( Gandahusada, Srisasi,dkk, 2004)

2.5.2 Penyebaran
Cacing pita ini tidak memerlukan hospes perantara. Survey yang dilakukan di negara-
negara menunjukkan frekuensi dari 0,2- 3,7% walaupun di daerah-daerah tertentu 10% dari
anak-anak menderita infeksi ini. Di Amerika Serikat bagian selatan frekuensinya 0,3-2,9%.
Infeksi ini kebanyakan terbatas pada anak-anak dibawah umur 15 tahun. Infeksi kebanyakan
terjadi secara langsung dari tangan ke mulut.Frekuensinya agak lebih tinggi pada anak laki-laki
daripada anak perempuan dan presentase infeksi pada orang negro kira-kira setengahnya dari
bangsa kulit putih.Penularan tergantung pada kontak langsung, karena telurnya yang resistennya
lemah, yang tidak tahan terhadap panas dan pengeringan, tidak dapat hidup lama diluar hospes.
Infeksi ditularkan langsung dari tangan ke mulut dan lebih jarang karena kontaminasi makanan
atau air. Kebiasaan yang kurang bersih pada anak-anak menguntungkan adanya parasit ini pada
9
golongan umur rendah. Hal ini sering terjadi pada anak-anak umur 15 tahun ke bawah.
Kontaminasi terhadap tinja tikus perlu mendapat perhatian. Infeksi pada manusia selalu
disebabkan oleh telur yang tertelan dari benda-benda yang terkena tanah, dari tempat buang air
atau langgsung dari anus ke mulut. Kebersihan perorangan terutama pada keluarga besar dan di
perumahan panti asuhan harus diutamakan.( Gandahusada, Srisasi,dkk, 2004)

2.5.3 Patologi
Parasit ini biasanya tidak menyebabkan gejala. Jumlah yang besar dari cacing yang
menempel pada dinding usus halus menimbulkan iritasi mukosa usus. Kelainan yang sering
timbul adalah toksemia umum karena penyerapan sisa metabolit dari parasit masuk kedalam
sistem peredaran darah penderita. Pada anak kecil dengan infeksi berat, cacing ini kadang-
kadang menyebabkan keluhan neurologi yang gawat, mengalami sakit perut dengan atau tanpa
diare, kejang-kejang, sukar tidur dan pusing. Eosinifilia sebesar 8-16%. Sakit perut, obstipasi dan
anoreksia merupakan gejala ringan.( Gandahusada, Srisasi,dkk, 2004)

2.5.4 Pencegahan
Pencegahannya sukar, karena penularan terjadi langsung dan hanya satu hospes yang
terlibat dalam liingkaran hidupnya. Pemberantasannya terutama tergantung pada perbaikan
kebiasaan kebersihan pada anak. Pengobatan orang yang mengandung cacing ini, sanitasi
lingkungan, menghindarkan makanan dari kontaminasi dan pemberantasan binatang mengerat
juga dapat dilakukan. Obat yang efektif adalah atabrine, bitional, prazikuantel dan niklosamid,
tetapi saat ini obat-obat tersebut sulit didapat di Indonesia. Obat yang efektif dan ada di pasaran
Indonesia adalah amodiakun. Hiperinfeksi sulit diobati, tidak semua cacing dapat dikeluarkan
dan sistiserkoid masih ada di mukosa usus.( Gandahusada, Srisasi,dkk, 2004)

2.6 Cacing Filaria


2.6.1 Definisi Cacing Filaria
Wuchereria bancrofti atau disebut juga Cacing Filaria adalah kelas dari anggota hewan
tak bertulang belakang yang termasuk dalam filum Nemathelminthes. Bentuk cacing ini gilig
memanjang, seperti benang maka disebut filarial. Cacing filaria penyebab penyakit kaki gajah
berasal dari genus wuchereria dan brugia. Di Indonesia cacing yang dikenal sebagai penyebab
penyakit tersebut adalah wuchereria bancrofti, brugia malayi, dan brugia timori.

2.6.2 Morfologi Cacing Filaria (Filariasis)


Filariasis atau yang biasa dikenal juga sebagai limfatik filariasis, merupakan penyakit
menular yang disebabkan oleh cacing familia Filariidae dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia
sp., Culex sp., Anopheles sp., yang dapat menyerang kelenjar dan saluran getah bening. Penyakit
ini dapat merusak limfe, pembengkakan pada tangan, kaki, glandula mammae dan skrotum,
menyebabkan kecacatan dan stigma negatif bagi penderitanya (Anindita & Mutiara, 2016).
Cacing dari famili Filariidae yang dapat menyebabkan penyakit ini di antaranya yaitu
Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori dimana hampir 100 juta orang terinfeksi
penyakit ini di seluruh dunia. Dari total tersebut, 90% kasus disebabkan oleh Wuchereria

10
bancrofti dan 10% kasus disebabkan oleh Brugia malayi. Adapun morfologi Wuchereria
bancrofti adalah sebagai berikut,

Wuchereria bancrofti memiliki panjang tubuh 230-300 µm dan lebar 7,5-10 µm. Cacing
ini mempunyai sheath (sarung) dengan ujung anterior tumpul membulat dan posterior
meruncing. Cacing ini berwarna putih kekuningan dengan bentuk seperti benang dan mempunyai
lapisan kutikula yang halus. Ukuran cacing betina lebih panjang dibandingkan ukuran cacing
jantan.

2.6.3 Masalah Kesehatan Yang Ditimbulkan

11
Mikrofilaria masuk ke dalam saluran limfa dan menjadi dewasa. Cacing betina dan
cacing jatan melakukan kopulasi kemudian cacing gravid mengeluarkan larva mikrofilaria. Larva
tersebut hidup di pembuluh darah dan di pembuluh limfa. Saat nyamuk menghisap darah
manusia, mikrofilaria masuk ke tubuh nyamuk dan berkembang sampai larva stadium 3. Larva
tersebut kemudian siap ditularkan ke manusia lain.
Gejala klinis filariasis terdiri dari gejala klinis akut dan kronis. Gejala akut berupa
limfadenitis, limfangitis, adenolimfangitis yang dapat disertai demam, sakit kepala, rasa lemah
serta dapat pula menjadi abses. Abses dapat pecah yang selanjutnya dapat menimbulkan parut,
terutama di daerah ketiak dan lipat paha. Gejala kronik berupa limfedema, lymph scrotum,
kiluria, dan hidrokel. Limfedema adalah pembengkakan yang disebabkan oleh gangguan
pengaliran getah bening kembali ke dalam darah. Lymph scrotum adalah pelebaran saluran limfe
superfisial pada kulit scrotum. Ditemukan juga vesikel dengan ukuran bervariasi pada kulit,
yang dapat pecah dan membasahi pakaian. Kiluria adalah kebocoran yang terjadi akibat
pecahnya saluran limfe dan pembuluh darah di ginjal (pelvis renalis).

12
2.6.4 Pencegahan
Pencegahan penyakit filariasis dapat dilakukan dengan menaburkan bubuk larvasida pada
tempat penampungan air, menggunakan obat nyamuk dan memelihara ikan pemangsa jentik
nyamuk. Pada rumah, diatur cahaya dan ventilasi, serta menghindari kebiasaan menggantung
pakaian yang bisa menjadi tempat istirahat nyamuk. Strategi utama pada pemberantasan
transmisi limfatik filariasis adalah dengan melakukan MDA (Mass Drug Administration)
tahunan menggunakan obat DEC (Diethylcarbamazine citrate) atau Albendazole. Obat tersebut
mengatasi filariasis dengan membunuh mikrofilaria dan cacing dewasa. Efek samping obat
tersebut adalah pusing, mual, demam, nyeri pada otot dan sendi, serta sakit kepala. Tetapi obat-
obat tersebut tidak boleh digunakan pada wanita hamil, anak-anak dibawah umur 2 tahun, dan
yang memiliki penyakit serius.

2.7 Clonorchis Sinensis


2.7.1 Definisi clonorchis Sinensis
Clonorchis sinensis adalah salah satu termatoda hati yang bersifat hermafodit yang dapat
menimbulkan penyakit clonorchiasis . Parasit ini tinggal di hati manusia dan ditemukan terutama
disaluran empedu dan kantong empedu. Cacing ini pertama ditemukan di kalkuta India pada
seorang tukang kayu bernama MC Conell suku Cina pada tahun 1874. Infeksi lain ditemukan di
Hongkong dan Jepang. (Natadisastra D, 2009)

2.7.2 Morfologi clonorchis Sinensis


Cacing dewasa berbentuk pipih memanjang, transparan dan bagian posterior membulat.
Memiliki ukuran 10-25 mmX 3-5mm dengan integument tidak berduri, batil isal kepala sedikit
lebih besar dibandingkan batil isal perut dan terletak pada 1/3 anterior tubuh. Gambaran khas
13
pada besar dan dalamnya lekuk lobus atau cabang testis, dengan cabang ke lateral. Letak testis
berurutan sebelah posterior dari ovarium yang lebih kecil dan juga berlobus. Ovarium ini terletak
digaris tengah pada pertemuan 1/3 posterior dan 1/3 tengah tubuh, uterus tampak berkelok-kelok,
bermuara pada pirus genitalis berdampingan dengan mutiara alat kelamin jantan.
Telur berbentuk oval dengan ukuran (28-35)X(12-15)m, bentuknya seperti bola lampu
pijar dan berisi mirasidium , ditemukan dalam saluran empedu. Larva dalam siklus hidupnya
setelah keluar dari telur cacing Clonorchis Sinensis berkembang berturut-turut menjadi beberapa
bentuk larva mirasidium (berenang di dalam air), sporokista redia, serkaria (dalam tubuh
berkicot), metaserkaria (dalam tubuh ikan dan hospes definitive).
Mirasidium berbentuk oval dan memiliki silia (rambut getar). Sporokista berbentuk
kantong dan mengandung sel-sel germinal. Redia berbentuk kantong memiliki faring yang nyata
dan usus Rudi meter, mengandung sel germinal yang akan berkembang menjadi redia generasi
kedua. Sekaria berwarna cokelat berekor, memiliki dorsal dan ventral sirip untuk bergerak, bintik
mata yang berfungsi sebagai alat semsori dan kutikula dengan duri-duri kecil. Metaserkaria
merupakan stadium larva berbentuk kista berkembang . Kista memiliki dinding yang sangat tebal
organ larva seperti bintik mata ekordan stiletnya telah hilang.

2.7.3 Masalah kesehatan yang ditimbulkan


Cacing ini menyebabkan iritasi pada saluran empedu dan penebalan dinding saluran dan
perubahan jaringan hati yang serupa radang sel hati, Gejala dibagi 3 stadium :
1. Stadium ringan tidak ada gejala
2. Stadium progresif ditandai dengan menurunnya nafsu makan, diare , edema dan
pembesaran hati.
3. Stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal terdiri dari pembesaran hati, edema,
dan kadang-kadang menimbulkan keganasan dalam hati, dapat menyebabkan kematian.

2.7.4 Pengobatan
Pengobatan untuk parasit ini adalah sama dengan termatoda lainnya, terutama melalui
penggunaan praziquantel sebagai obat pilihan pertama. Obat diberikan pada 5 mg/kg stat, atau
mingguan. Obat yang digunakan untuk mengobati infestasi mencakup triclabendazole,
praziquantel, bithonol, albendazole dan mebendazole.

2.8 Fasciola Hepatica

2.8.1 Definisi Fasciola Hepatica

Fasciola hepatica adalah salah satu trematoda hati yang bersifat hermaprodit yang dapat
menimbulkan penyakit fascioliasis. Parasit ini disebut juga dengan Sheep Liver Fluke.

Hospes definitif : manusia, binatang ternak (domba, kambing, sapi, kelinci) dan rusa
Hospes intermedier 1 : keong air
Hospes intermedier 2 : tumbuhan air (Ideham & Suhintam, 2016)

14
2.8.2 Morfologi
Menurut Ideham B & Suhintam (2016)

Morfologi cacing dewasa fasciola hepatica


Ciri-ciri cacing dewasa fasciola hepatica:
a. Berbentuk pipih seperti daun dengan bentuk bahu yang khas, karena adanya
cephalic cone (tonjolan konis), sedangkan bagian posterior lebih besar
b. Ukuran : panjang 20 – 30 mm dan lebar 8 – 13 mm
c. Mempunyai 2 buah batil isap (sucker) yaitu oral sucker dan ventral sucker yang
sama besarnya (diameter ± 1 – 1,5 mm)
d. Tractus digestivus mulai pharynx dajnoesophagus yang pendek dan khas,
intestinal pecah menjadi dua coecum yang berbentuk seperti huruf Y yang terbalik
dan masing-masing coecum bercabang sampai ujung posterior
e. Testis sebanyak 2 buah dan bercabang-cabang kecil sehingga disebut Dendritic
f. Ovarium bercabang-cabang terletak dekat testis
g. Kelenjar vitelaria bercabang-cabang secara merata dibagian lateral dan posterior
h. Uterus relatif pendek dan berkelok-kelok

15
Telur fasciola hepatica pada perbesaran

Ciri-ciri telur fasciola hepatica:


a. Telur besar, berbentuk ocal dan beropeculum
b. Ukuran : panjang 130 -150 μm dan lebar 60 – 90 μm
c. Dinding satu lapis tipis
d. Berwarna kuning kecoklatan

2.8.3 Gejala Klinis Fasciola Hepatica


Menurut Ideham B & Suhintam (2016)
a. Selama migrasi akan menimbulkan kerusakan parenkim hepar hingga terjadi nekrosis
serta obstruksi / penyumbatan empedu
b. Akibat tekanan, hasil metabolik cacing yang toksik dan migrasi cacing menimbulkan
peradangan adenomateus dan fibrotik di saluran-saluran empedu sehingga terjadi
ikterus
c. Di daerah timur tengah didapatkan semacam laryngopharyngitis yang dikenal dengan
“halzoun” yaitu pharyngeal fascioliasis yang disebabkan cacing dewasa yang ikut
termakan bersama hati hewan ternak yang tidak dimasak.

2.8.4 Cara Mengatasi


Menurut Ideham B & Suhintam (2016)
a. Pencegahan
- Memasak sayuran dengan baik dan masak sebelum dimakan
- Melakukan pengobatan pada penderita (manusia dan hewan)
- Tidak buang air besar sembarangan terutama di lokasi perairan yang ditumbuhi
tumbuhan air
b. Pengobatan
Fascioliasis dapat diobati dengan obat triclabendazole yang diberikan secara per oral
dalam 1 atau 2 dosis. Dua dosis terapi triclabendazole diberikan kepada pasien yang
memiliki infeksi berat atau yang tidak merespon terapi dosis tunggal. Terapi
triclabendazole dua dosis diberikan dengan cara pasien meminum obat 2 dosis
masing-masing 10 mg/kg, dipisahkan dalam waktu dengan 12 sampai 24 jam.

16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Infeksi cacing merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat terbesar di dunia,
terutama di negara berkembang dengan status ekonomi menengah ke bawah. Sebagian besar
cacing bersifat parasit sejati karena tidak dapat hidup di luar tubuh manusia. Manifestasi infeksi
cacing pada manusia bergantung pada lokasi infeksi, tahap perkembangan pada siklus hidup
cacing, serta ukuran cacing.
Penyakit kecacingan utama yang sering ditemukan di Indonesia termasuk ke dalam kelompok
soil-transmitted helminths (STH), antara lain infeksi yang disebabkan oleh spesies Ascaris
lumbricoides, cacing tambang (hookworm), dan Trichuris trichiura. Selain itu, di beberapa
daerah endemis juga dapat ditemukan infeksi akibat nematoda filaria, trematoda, dan cestoda.
Seluruh penyakit kecacingan tersebut dapat mengakibatkan morbiditas kronis pada manusia.

17
DAFTAR PUSTAKA

Natadisastra D, Agoes R, (2009) . Parasitologi Kedokteran : Ditinjau dari Organ Tubuh yang
Diserang . Buku kedokteran EGC: Jakarta
Anindita & Mutiara, H., 2016. Filariasis: Pencegahan Terkait Faktor Risiko. JK UNILA, Volume
1
Rizqiani .K. (2019). Helmintologi. Yogyakarta : Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran,
Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada
Soedarto. (2011). Buku Ajar Helmintologi Kedokteran. Surabaya : Pusat penerbitan dan
percetakan unair
Irianto. K.(2009). Parastologi: Berbagai Penyakit Yang Mempengaruhi Kesehatan Masyarakat,.
Hlm: 29-67. Bandung : Yrama Widya
Adi dkk,. (2013). Gambaran Parasit Soil Transmitted Helminths Dan Tingkat Pengetahuan,
Sikap Serta Tindakan Petani Sayur Di Desa Waiheru Kecamatan Baguala Kota Ambon.
Kesehatan Lingkungan : Universitas Hasanuddin
Safar. R. (2009) Parasitologi Kedokteran:Prozologi, Entomologi, dan Helmintologi, 2009. Hlm:
158. Jakarta. : Cv.Yrama Widya
18
Natadisastra. (2009). Parasitologi kedoteran ditinjau dari organ tubuh yang diserang Jakarta :
EGC
Rusmartini. (2009). Pentakit oleh nematode usus. Jakarta : EGC
Irianto. (2009). Panduan praktikum parasitology dasar untuk paramedic dan non paramedic .
Bandung : Yrama Widya.
Tantular, I. S & H. Prasetyo. (2011). Trukuriasis. Dalam dasar parasitology klini. Jakarta : FKUI
Sumiati. B. & Adelina. S.(2018). Infeksi kecacingan pada anak usia 8-14 tahun di rw 007 tanjung
lengkong kelurahan bidaracina, jatinegara, jakarta timur. Jurnal ilmiah kesehatan. Vol.10. No.1.
Jakarta Timur : Universitas MH Thamrin
Safar, Rosdiana. 2010. Parasitologi Kedokteran: Protozoologi, Entomologi dan Helmintologi.
Cetakan I. Bandung: Yrama Widya

Rawina., Mulyati.,Astuty., Hendri. 2012. Upaya Pemberantasan Kecacingan di Sekolah Dasar.


Makara, Kesehatan, Vol . 16, No. 2, 65-71
Ideham, B., Pusarawati, S. 2014. Helmintologi Kedokteran. Airlangga University Press.
Tjokroprawiro, A. (2015). Buku ajar ilmu penyakit dalam: Fakultas kedokteran universitas
airlangga rumah sakit pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Surabaya: Airlangga University Press
(AUP)
Andrianto, Hebert dan Minarni Wartiningsih. (2019). Monograf: Cacing kremi Enterobius
Vermicularis. Gresik: CV. Jendral sastra Indonesia press.
Gandahusada, Srisasi,dkk, 2004, Parasitologi Kedokteran Edisi III , Balai Penerbit FKUI,
Jakarta
Ideham. B., & Suhintam. (2016). Helmintologi kedokteran. Surabaya: Airlangga University
Press.

19

Anda mungkin juga menyukai