Anda di halaman 1dari 27

Telaah Kritis Kelebihan dan kelemahan terhadap Pelaksanaan,

Pengadministrasian, dan Pelaporan Evaluasi Pembelajaran di Sekolah

MAKALAH

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Yang Dibina Oleh Prof.
Dr. A. Mukhadis

Oleh :

Bayu Kinayungan (170513624008)

Moh. Nanang Rifai (190513731705)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN TEKNIK MESIN

PRODI S1 PENDIDIKAN TEKNIK OTOMOTIF

April 2020
KATA PENGANTAR

Telaah Kritis Kelebihan dan kelemahan terhadap Pelaksanaan,


Pengadministrasian, dan Pelaporan Evaluasi Pembelajaran di Sekolahini merupakan
tugas ke dua dari mata kuliah Evaluasi Pembelajaran. Alhamdulillahirobbil‘alamin,
penulis panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat-
Nya, sehingga makalah ini dapat terselasaikan tepat pada waktunya.Kami telah
berusaha keras untuk menyelesaikan tugas makalah ini, mengingat waktu yang tidak
banyak sehingga masih banyak kekurangan. Kami mengharap kritikan yang
membangun dari pengampu mata kuliah ini yakni Prof. Dr. A. Mukhadis. Baik itu
dari segi penulisan maupun isi dari makalah ini.

Malang, 21 April 2020.

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sebelum evaluasi program dilaksanakan seorang evaluator harus
melakukan persiapan secara cermat. Persiapan tersebut antara lain berupa
penyusunan evaluasi, penyusunan intrumen evakuasi, validitas instrumen
evaluasi, menentukan jumlah sampel yang diperlukan dalam kegiatan evaluasi,
dan penyamaan persepsi antar evaluator sebelum pengambialan data.

Evaluasi proses pembelajaran menekankan pada evaluasi pengelolaan


pembelajaran yang dilaksanakan oleh pembelajar meliputi keefektifan strategi
pembelajaran yang dilaksanakan, keefektifan media pembelajaran, cara mengajar
yang dilaksanakan dan minat, sikap, serta cara belajar peserta didik. Eveluasi
pembelajaran atau evaluasi hasil belajar antara lain menggunakan instrument-
instrument evaluasi dapat berupa tes dan nontes untuk melakukan pengukuran
hasil belajar sebagai prestasi belajar, dalam hal ini penguasaan kompetensi oleh
setiap peserta didik.

Evaluasi hasil belajar ini sangatlah penting dimana seorang guru harus
benar-benar obyektif dan profesional dalam melaksanakannya, karena disini
seorang guru akan memutuskan berhasil tidaknya seorang murid.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumsan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kelebihan dan kelemahan pelaksanaan evaluasi ?
2. Bagaimana kelebihan dan kelemahan pengad-ministrasian evaluasi ?
3. Bagaimana kelebihan dan kelemahan pelaporan evaluasi pembelajaran di
sekolah ?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun manfaat pada penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Mahasiswa dapat memahami kelebihan dan kelemahan pelaksanaan evaluasi.
2. Mahasiswa dapat mengetahui kelebihan dan kelemahan pengadministrasian
evaluasi.
3. Mahasiswa dapat mengetahui kelebihan dan kelemahan pelaporan evaluasi
pembelajaran di sekolah.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Problematika dalam evaluasi pembelajaran


Melalui penelaahan pencapaian tujuan pengajaran, guru dapat mengetahui
apakah proses belajar yang dilakukan cukup efektif memberikan hasil yang baik
dan memuaskan atau sebaliknya. Jadi jelaslah bahwa guru hendaknya mampu dan
terampil melaksanakan penilaian, karena dengan penilaian guru dapat mengetahui
prestasi yang dicapai oleh siswa setelah ia melaksanakan proses belajar.
Profesionalisme menjadi tuntutan guru dalam pekerjaannya. Apalagi profesi guru
yang sehari-hari menangani benda hidup yang berupa anak-anak atau siswa
dengan karakteristik yang masing-masing tidak sama.
Pekerjaan guru menjadi lebih berat tatkala menyangkut peningkatan
kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan dirinya mengalami stagnansi.
Dan yang terlihat dalam pendidikan saat ini adalah permasalahan guru adalah
kegagalan guru dalam melakukan evaluasi. Guru dalam fungsinya sebagai penilai
hasil belajar siswa, guru hendaknya terus menerus mengikuti hasil belajar yang
telah dicapai oleh siswa dari waktu ke waktu. Informasi yang diperoleh melalui
evaluasi ini merupakan umpan balik (feed back) terhadap proses belajar mengajar.
Umpan balik ini akan dijadikan titik tolak untuk memperbaiki dan meningkatkan
proses belajar mengajar selanjutnya. Dengan demikian proses belajar mengajar
akan terus dapat ditingkatkan untuk memperoleh hasil yang optimal. Khusus
untuk mata pelajaran matematika hampir semua guru telah melaksanakan evaluasi
di akhir proses belajar mengajar di dalam kelas. Namun hasil yang diperoleh
kadang-kadang kurang memuaskan. Kadang-kadang hasil yang dicapai di bawah
standar atau di bawah rata-rata. Mata pelajaran yang lainnya kadang dilaksanakan
pada akhir pelajaran, dan ada juga pada saat proses belajar mengajar berlangsung.
Kapan waktu pelaksanaan evaluasi tersebut tidak menjadi masalah bagi guru yang
terpenting dalam satu kali pertemuan ia telah melaksanakan penilaian terhadap
siswa di kelas. Tetapi ada juga guru yang enggan melaksanakan evaluasi di akhir
pelajaran, karena keterbatasan waktu, menurut mereka lebih baik menjelaskan
semua materi pelajaran sampai tuntas untuk satu kali pertemuan, dan pada
pertemuan berikutnya di awal pelajaran siswa diberi tugas atau soal-soal yang
berhubungan dengan materi tersebut. Ada juga guru yang berpendapat, bahwa
penilaian di akhir pelajaran tidak mutlak dengan tes tertulis. Bisa juga dengan
tes lisan atau tanya jawab. Kegiatan dirasakan lebih praktis bagi guru, karena guru
tidak perlu bersusah payah mengoreksi hasil evaluasi anak. Tetapi kegiatan ini
mempunyai kelemahan yaitu anak yang suka gugup walaupun ia mengetahui
jawaban dari soal tersebut, ia tidak bisa menjawab dengan tepat karena rasa
gugupnya itu. Dan kelemahan lain tes lisan terlalu banyak memakan waktu dan
guru harus punya banyak persediaan soal. Tetapi ada juga guru yang mewakilkan
beberapa orang anak yang pandai, anak yang kurang dan beberapa orang anak
yang sedang kemampuannya utnuk menjawab beberapa pertanyaan atau soal yang
berhubungan dengan materi pelajaran itu. Setiap guru dalam melaksanakan
evaluasi harus paham dengan tujuan dan manfaat dari evaluasi atau penilaian
tersebut. Tetapi ada juga guru yang tidak menghiraukan tentang kegiatan ini, yang
penting ia masuk kelas, mengajar, mau ia laksanakan evaluasi di akhir pelajaran
atau tidak itu urusannya. Yang jelas pada akhir semester ia telah mencapai target
kurikulum. Ini yang menjadi permasalahan dalam dunia pendidikan saat ini. Hal
ini terjadi karena beberapa sebab, yaitu:
1. Guru kurang menguasai materi pelajaran, sehingga dalam menyampaikan
materi
pelajaran kepada anak kalimatnya sering terputus-putus ataupun berbelit-belit
yang menyebabkan anak menjadi bingung dan sukar mencerna apa yang
disampaikan oleh guru tersebut. Tentu saja di akhir pelajaran mereka kewalahan
menjawab pertanyaan atau tidak mampu mengerjakan tugas yang diberikan. Dan
akhirnya nilai yang diperoleh jauh dari apa yang diharapkan.
2. Guru kurang menguasai kelas. Guru yang kurang mampu menguasai kelas
mendapat hambatan dalam menyampaikan materi pelajaran, hal ini dikarenakan
suasana kelas yang tidak menunjang membuat anak yang betul-betul ingin belajar
menjadi terganggu.
3. Guru enggan mempergunakan alat peraga dalam mengajar. Kebiasaan guru
yang tidak mempergunakan alat peraga memaksa anak untuk berpikir verbal
sehingga membuat anak sulit dalam memahami pelajaran dan otomatis dalam
evaluasi di akhir pelajaran nilai anak menjadi jatuh.
4. Guru kurang mampu memotivasi anak dalam belajar, sehingga dalam
menyampaikan materi pelajaran, anak kurang menaruh perhatian terhadap materi
yang disampaikan oleh guru, sehingga ilmu yang terkandung di dalam materi
yang disampaikan itu berlalu begitu saja tanpa ada perhatian khusus dari anak
didik.
5. Guru menyamaratakan kemampuan anak di dalam menyerap pelajaran. Setiap
anak didik mempunyai kemampuan yang berbeda dalam menyerap materi
pelajaran. Guru yang kurang tanggap tidak mengetahui bahwa ada anak didiknya
yang daya serapnya di bawah rata-rata mengalami kesulitan dalam belajar.
6. Guru kurang disiplin dalam mengatur waktu. Waktu yang tertulis dalam jadwal
pelajaran, tidak sesuai dengan praktik pelaksanaannya. Waktu untuk memulai
pelajaran selalu telat, tetapi waktu istirahat dan jam pulang selalu tepat atau tidak
pernah telat.
7. Guru enggan membuat persiapan mengajar atau setidaknya menyusun langkah-
langkah dalam mengajar, yang disertai dengan ketentuan-ketentuan waktu untuk
mengawali pelajaran, waktu untuk kegiatan proses dan ketentuan waktu untuk
akhir pelajaran.
8. Guru tidak mempunyai kemajuan untuk menambah atau menimba ilmu,
misalnya membaca buku atau bertukar pikiran dengan rekan guru yang lebih
senior dan profesional guna menambah wawasannya.
9. Guru dalam tes lisan di akhir pelajaran kurang terampil mengajukan pertanyaan
kepada murid, sehingga murid kurang memahami tentang apa yang dimaksud
oleh
guru.
10. Guru selalu mengutamakan pencapaian target kurikulum. Guru jarang
memperhatikan atau menganalisis berapa persen daya serap anak terhadap materi
pelajaran tersebut
2.2 Pelaksanaan Evaluasi
2.2.1 Model – model evaluasi
Ada banyak model evaluasi, tetapi dalam makalah ini hanya akan dibahas
beberapa model yang terpopuler dan banyak dipakai sebagai strategi atau
pedoman kerja pelaksanaan evaluasi program. Berikut beberapa model –
model evaluasi :
2.2.1.1 Model evaluasi CICP
Model CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada
pandangan bahwa keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti : karakteristik peserta didik dan lingkungan, tujuan program
dan peralatan yang digunakan, prosedur dan mekanisme pelaksanaan program
itu sendiri.
Evaluasi model ini bermaksud membandingkan kinerja (performance) dari
berbagai dimensi program dengan sejumlah kriteria tertentu, untuk akhirnya
sampai pada deskripsi dan judgment mengenai kekuatan dan kelemahan
program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh Stufflebeam (1972)
menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu : Context,
Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program
tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan
dikembangkan.
Model evaluasi CIPP yang dikemukakan oleh Stufflebeam & Shinkfield
(1985) adalah sebuah pendekatan evaluasi yang berorientasi pada pengambil
keputusan (a decision oriented evaluation approach structured) untuk
memberikan bantuan kepada administrator atau leader pengambil keputusan.
Stufflebeam mengemukakan bahwa hasil evaluasi akan memberikan alternatif
pemecahan masalah bagi para pengambil keputusan.
Model evaluasi CIPP ini terdiri dari 4 huruf yang diuraikan sebagai berikut:
a. Contect evaluation to serve planning decision. Seorang evaluator harus
cermat dan tajam memahami konteks evaluasi yang berkaitan dengan
merencanakan keputusan, mengidentifikasi kebutuhan, dan merumuskan
tujuan program.
b. Input Evaluation structuring decision. Segala sesuatu yang berpengaruh
terhadap proses pelaksanaan evaluasi harus disiapkan dengan benar. Input
evaluasi ini akan memberikan bantuan agar dapat menata keputusan,
menentukan sumber-sumber yang dibutuhkan, mencari berbagai alternatif
yang akan dilakukan, menentukan rencana yang matang, membuat strategi
yang akan dilakukan dan memperhatikan prosedur kerja dalam mencapainya.
c. Process evaluation to serve implementing decision. Pada evaluasi proses
ini berkaitan dengan implementasi suatu program. Ada sejumlah pertanyaan
yang harus dijawab dalam proses pelaksanaan evaluasi ini. Misalnya, apakah
rencana yang telah dibuat sesuai dengan pelaksanaan di lapangan? Dalam
proses pelaksanaan program adakah yang harus diperbaiki? Dengan demikian
proses pelaksanaan program dapat dimonitor, diawasi, atau bahkan diperbaiki.
d. Product evaluation to serve recycling decision. Evaluasi hasil digunakan
untuk menentukan keputusan apa yang akan dikerjakan berikutnya. Apa
manfaat yang dirasakan oleh masyarakat berkaitan dengan program yang
digulirkan? Apakah memiliki pengaruh dan dampak dengan adanya program
tersebut? Evaluasi hasil berkaitan dengan manfaat dan dampak suatu program
setelah dilakukan evaluasi secara seksama. Manfaat model ini untuk
pengambilan keputusan (decision making) dan bukti pertanggung jawaban
(accountability) suatu program kepada masyarakat. Tahapan evaluasi dalam
model ini yakni penggambaran (delineating), perolehan atau temuan
(obtaining), dan penyediakan (providing) bagi para pembuat keputusan.
Berikut kelebihan dan kekurangan model evaluasi CIPP :
a. Kelebihan model CIPP
·Cipp memiliki pendekatan yang holistik dalam evaluasi, bertujuan
memberikan gambaran yangsangat detail dan luas terhadap suatu proyek,
mulai dari konteksnya hingga saat prosesimplementasi.
·Cipp memiliki potensi untuk bergerak di wilayah evaluasi formative dan
summative. Sehinggasama baiknya dalam membantu melakukan perbaikan
selama program berjalan, maupun memberikan informasi final.
b. Kelemahan model cipp
· Terlalu mementingkan bagaimana proses seharusnya daripada kenyataan di
lapangan.
· Kesannya terlalu top down dengan sifat manajerial dalam pendekatannya
·Cenderung fokus pada rational management ketimbang mengakui
kompleksitas realitas empiris.
2.2.1.2 Evaluasi model UCLA
Menurut Alkin (1969) evaluasi adalah suatu proses meyakinkan keputusan,
memilih informasi yang tepat, mengumpulkan, dan menganalisa informasi
sehingga dapat melaporkan ringkasan data yang berguna bagi pembuat
keputusan dalam memilih beberapa alternatif.
Ia mengemukakan lima macam evaluasi yakni :
a. Sistem assessment, yaitu memberikan informasi tentang keadaan atau posisi
sistem.
b. Program planning, membantu pemilihan program tertentu yang mungkin
akan berhasil memenuhi kebutuhan progam.
c. Program implementation, yang menyiapkan informasi apakah rogram sudah
diperkenalkan kepada kelompok tertentu ng tepat seperti yang direncanakan?
d. Program improvement, yang memberikan informasi tentang bagaimana
program berfungsi, bagaimana program bekerja, atau berjalan? Apakah
menuju pencapaian tujuan, adakah hal-hal atau masalah-masalah baru yang
muncul takterduga?
e. Program certification, yang memberi informasi tentang nilai atau guna
program.
Berikut kelebihan dan kekurangan model evaluasi UCLA :
a. Kelebihan model UCLA
· Merupakan pendekatan proses dimana dalam mengembangkan kriteria
evaluasi atas dasar tradisi naturalistic inquiry à kualitatif.
· Menekankan evaluasi yang komprehensif dengan langkah-langkah evaluasi
yang sistematis.
· Menyediakan feedbak dalam pengembangan program.
b. Kelemahan model UCLA
· Guru sebagai tolok ukur, keberhasilan diukur menurut guru bukan menurut
kurikulumnya.
· Merupakan pendekatan yang paling riil di lapangan tapi paling labil.
· Tugas evaluator lebih berat, harus sensitif & banyak berdialog
· Evaluator menjadi instrumen hidup sebelum kriteria dan alat evaluasi
dikembangkan.
· Tidak bisa secara tegas menunjukkan apakah program sukses atau efektif.
2.2.1.3 Evaluasi model Brinkerhoff
Brinkerhoff & Cs. (1983) mengemukakan tiga golongan evaluasi yang
disusun berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang sama, seperti
evaluator-evaluator lain, namun dalam komposisi dan versi mereka sendiri
sebagai berikut :
a. Fixed vs Emergent Evaluation Design. Dapatkah masalah evaluasi dan
kriteria akhirnya dipertemukan? Apabila demikian, apakah itu suatu
keharusan? Belum lengkap penjelasannya
b. Formative vs Summative Evaluation. Apakah evaluasi akan dipakai
untuk perbaikan atau untuk melaporkan kegunaan atau manfaat suatu
program? Atau keduanya?
c. Experimental and Quasi Experimental Design vs Natural/ Unobtrusive
Inquiry. Apakah evaluasi akan melibatkan intervensi ke dalam kegiatan
program/mencoba memanipulasi kondisi, orang diperlakukan, variabe1
dipengaruhi dan sebagainya, atau hanya diamati, atau keduanya?
Berikut kelebihan dan kekurangan model evaluasi Brinkerhoff :
a. Kelebihan model evaluasi Brinkerhoff
· Evaluasi formatif digunakan untuk memperbaiki program selama
program tersebut sedang berjalan. Caranya dengan menyediakan balikan
tentang seberapa bagus program tersebut telah berlangsung. Melalui evaluasi
formatif ini dapat dideteksi adanya ketidakefisienan sehingga segera
dilakukan revisi.
· Evaluasi sumatif bertujuan meng-ukur efektifitas keseluruhan program
yang bertujuan untuk membuat keputu-san tentang keberlangsungan program
tersebut, yaitu dihentikan atau dilanjutkan.
b. Kelemahan model evaluasi Brinkerhoff
· Tidak terdapat langkah-langkah sistematis yang harus dilakukan dalam
evaluasi, hanya menekankan pada obyek sasaran saja.
2.2.1.4 Model stake atau Model countenance
Menurut Stake (1967), analisis proses evaluasi yang dikemukakannya
membawa dampak yang cukup besar dalam bidang ini dan meletakan dasar
yang sederhana namun merupakan konsep yang cukup kuat untuk untuk
perkembangan yang lebih jauh dalam bidang evaluasi. Stake menekankan ada
dua dasar kegiatan dalam evaluasi ialah Desciptions dan Judgement dan
membedakannya ada tiga tahap program pendidikan, yaitu: Anteredents
(context), Transaction (process) dan Outcomes (Output).
Oleh karena itu, Hasan (2008; 201) mengatakan bahwa model Countenance
stake bersifat arbitraty dan tidak perlu dianggap sebagai suatu yang mutlak.
Stake’s mempunyai keyakinan bahwa suatu evaluasi haruslah memberikan
deskripsi dan pertimbangan sepenuhnya mengenai evaluan. Dalam model ini
stake sangat menekankan peran evaluator dalam mengembangkan tujuan
kurikulum menjadi tujuan khusus yang terukur, sebagaimana berlaku dalam
tradisi pengukuran behavioristik dan kuantitatif.
Model Countenance Stake terdiri atas dua matriks. Matriks pertama
dinamakan matriks deskripsi dan yang kedua dinamakan matriks judgement,
yaitu :
a. Matriks Deskripsi
Kategori pertama adalah sesuatu yang direncanakan pengembang kurikulum
atau program. Dalam konteks KTSP, kurikulum tersebut adalah kurikulum
yang dikembangkan atau digunakan oleh satu satuan pendidikan. Sedangkan
program adalah silabus dan Rencana Program Pengajaran (RPP) yang
dikembangkan guru. Guru sebagai pengembang program merencanakan
keadaan/persyaratan yang diinginkannya untuk suatu kegiatan kelas tertentu.
Misalnya yang berhubungan dengan minat, kemampuan, pengalaman,dan lain
sebagainya dari peserta didik.
Kategori kedua dinamakan observasi, berhubungan dengan apa yang
sesungguhnya sebagai implementasi yang diinginkan pada kategori yang
pertama. Kategori ini juga sebagaimana yang pertama terdiri atas
antecendents, transaksi, dan hasil. Evaluator harus melakukan observasi
(pengumpulan data) mengenai antecendents, transaksi, dan hasil yang ada di
suatu satuan pendidikan.
b. Matriks Pertimbangan (judgement)
Terdiri atas kategori standard dan pertimbangan, dan fokus antecendents,
transaksi, dan outcomes (hasil yang diperoleh). Standar adalah kriteria yang
harus dipenuhi oleh suatu kurikulum atau program yang dijadikan evaluan.
Standar dapat dikembangkan dari karakteristik yang dimiliki kurikulum, tetapi
dapat juga dari yang lain (pre-ordinate, mutually adaptive, proses). Kategori
kedua adalah kategori pertimbangan. Kategori ini menghendaki evaluator
melakukan pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori yang
pertama dan kedua matriks Deskripsi sampai kategori pertama matriks
Pertimbangan. Suatu evaluasi harus sampai kepada pemberian pertimbangan.
Matriks judgement baru dapat dikerjakan oleh evaluator setelah matriks
deskripsi diselesaikan.
Stake mengatakan bahwa apabila kita menilai suatu program pendidikan kita,
melakukan perbandingan yang relative antara satu program dengan yang lain,
atau perbandingan yang absolute (satu program dengan standard).
Penekanan yang umum atau hal yang penting dalam model ini adalah bahwa
evaluator yang membuat penilaian tentang program yang dievaluasi. Stake
mengatakan bahwa description disatu pihak berbeda dengan judgement
(pertimbangan). Dalam model ini, Antecedents (masukan), transactione
(proses), dan outcome (hasil) data dibandingkan tidak hanya untuk
menentukan apakah ada perbedaan tujuan dengan keadaan sebenarnya, tetapi
juga dibandingkan dengan standard yang absolute, untuk menilai manfaat
program. Stake mengatakan bahwa tak ada penelitian dapat diandalkan
apabila tidak dinilai.
Matriks Desktripsi terdiri atas kategori rencana (intent) dan observasi. Matriks
Judgement terdiri atas kategori standard dan judgement. Pada setiap kategori
terdapat tiga fokus yaitu:
a. Antecedents (masukan) yaitu sebuah kondisi yang ada sebelum instruksi
yang mungkin berhubungan dengan hasil, contohnya: latar belakang guru,
Kurikulum yang sesuai, Ketersediaan sumber daya.
b. Transaction (proses) yaitu pertemuan dinamis yang merupakan proses
instruksi (kegiatan, proses, dll), contohnya: interaksi guru dan siswa,
Komponen partisipasiOutcomes (hasil) yaitu efek dari pengalaman
pembelajaran (pengamatan dan hasil tenaga kerja), contohnya performance
guru, Peningkatan kinerja.
c. Outcomes (hasil) yaitu efek dari pengalaman pembelajaran (pengamatan
dan hasil tenaga kerja), contohnya performance guru, Peningkatan kinerja.
Menurut Howard, E (2008), kelebihan dan kelemahan evaluasi model
Countenance Stake’s adalah:
a. Kelebihannya adalah:
· Dalam penilaiannya melihat kebutuhan program yang dilayani oleh
evaluator.
· Upaya untuk mendeskripsikan kompleksitas program sebagai realita
yang mungkin terjadi.
· Memiliki potensi besar untuk memperoleh wawaasan baru dan teori-
teori tentang lapangan dan program yang akan di evaluasi.
b. Kelemahannya adalah:
· Pendekatan yang dilakukan terlalu subjektif.
· Terjadinya kemungkinan dalam meminimalkan pentingnya instrument
pengumpulan data dan evaluasi kuantitatif.
· Kemungkinan biaya yang terlalu besar dan padat karya.
Selain hal tersebut menurut Kemble (2010), mengatakan bahwa kelebihan
evaluasi model Countenance Stake antara lain adalah:
· Dalam evaluasi memasukkan data tentang latar belakang program,
proses dan hasil yang merupakan perluasan ruang lingkup evaluasi pada tahun
1970-an.
· Evaluator memegang kendali dalam evaluasi dan juga memutuskan cara
yang paling tepat untuk hadir dan menggambarkan hasil.
· Fokus pada kekhawatiran stakeholder dan isu-isu meningkatkan
komunikasi antara evaluator dan stakeholder.
Sedangkan Menurut Robinson (2006) kelebihan model Countenance Stake
yaitu bahwa model tersebut memiliki kehatian-hatian dalam memberikan
judgment mengenai nilai aspek yang bervariasi. Model ini juga dapat
memfasilitasi sebuah pemahaman yang mendalam mengenai semua aspek
program pembelajaran, Yang tidak hanya memungkinkan evaluator untuk
menentukan out come pembelajaran, tetapi juga menunjukkan alasan dan
konsekuensi dampaknya. Model ini memberikan dasar yang kuat untuk
memberikan rekomendasi dan judgment yang menarik atas nilai sebuah
pembelajaran.
Depwell, F & Glynis. (2008) kekuatan model Contenance Stake adalah di
akomodasi dan penataan berbagai tingkat data. Dalam evaluasi yang
dilakukan data yang dikumpulkan adalah campuran data kualitatif dan
kuantitatif, formal dan informal, primer dan sekunder. Dalam model
countenance stake semua data diolah sesuai dengan kategori melayani dalam
matriks. Woods (1988) mengatakan bahwa kekuatan model countenance stake
adalah cara dan tindakannya pasti dan dapat diamati secara bersamaan antara
standard dan judgement.
Berikut kelebihan dan kekurangan model Stake atau Model Countenance:
a. Kelebihan model evaluasi Stake atau Model Countenance:
· Diperluas dari konsep sasaran meliputi sasaran untuk pendidik (dan
agen-agen lain) dan untuk faktor kontekstual dalam penambahan sasaran
tingkah laku untuk para siswa.
· Menyediakan dasar, meski tidak sempurna, untuk evaluasi sasaran
(melalui perbandingan yang rasional).
· Yang pertama fokus pada penilaian sebagai suatu aspek evaluasi;
gambaran tindakan penuh termasuk deskripsi dan penilaian.
· Menyajikan penurunan standard, keduanya mutlak dan relatif.
· Menyediakan dasar empiris untuk menyelesaikan rekomendasi Tyler.
· Bahwa hipotesis dikembangkan dan diuji meliput pengamatan pola atas
kelemahan dan kekuatan. Catatan juga atas informasi yang menghubungkan
antecedent dan transaksional faktor dalam evaluasi formatifis.
b. Kelemahan model evaluasi Stake atau Model Countenance:
· Adanya keharusan evaluator untuk membandingkan kondisi hasil
evaluasi program tertentu dengan yang terjadi di program lain, dengan obyek
yang sama.
· Meninggalkan rata-rata untuk menurunkan standard besar yang tidak
spesifik;
· Disediakan sedikit bimbingan operasional untuk evaluator.
· Tidak mencoba memecahkan pertanyaan-pertanyaan bagaimana cara
mengatur nilai bersaing (meski dalam menentukan tujuan atau menurunkan
standar). Yang dilanjutkan asumsi implisit awal tentang nilai kemasyarakatan.
nilai plurralisme diabaikan.
· Gagal untuk menyediakan bimbingan di bagaimana cara berhubungan
dengan non-intended effect meski menyuruh evaluator untuk menghitungnya.
· Dilanjutkan dengan satu penekanan pada evaluasi formal yang didasari
paradigma ilmiah dan pengukuran prosedur selanjutnya.
· Disain rumit dan barangkali" terlalu bagus"; praktisi evaluator
menemukan kesulitan untuk memahami dan menerapkannya.
2.2.2 Perbedaan dari masing-masing Model
Evaluasi merupakan komponen yang sangat penting dalam menjalankan atau
melaksanakan suatu program terkhususnya dalam ruang lingkup
pembelajaran.dengan adanya evaluasi kita akan dapat lebih mudah untuk
mengetahui apakah program yang telah dilakukan atau dilaksanakan tersebut
sudah berjalan dengan baik atau sebaliknya.Setiap model-model evaluasi
tentunya memiliki pengertian dan tujuan yang berbeda-beda dalam setiap
penerapannya,perbedaan tersebut dapat kita lihat dari elemen-elemen yang
terdapat didalamnya misalnya :
a. Model evaluasi CIPP terdiri dari
1. Contect evaluation to serve planning decision
2. Input evaluation,structuring decision
3. process evaluation,to serve implementing decision
4. product evaluation, to serve recycling decision
b. Model evaluasi UCLA terdiri dari
1. sistem assessment
2. program planning
3. program implementation
4. program improvement
5. program certification
c. Model evaluasi Brinkerhoff yang terdiri dari
1. Fixed vs emergent evaluation design
2. Formative vs summative evaluation
3. Experimental and Quasi experimental design vs natural/unobtrusive
inquiry
d. Model Stake atau model countenance yang terdiri dari
1. Antecedents(Context)
2. Transaction(Process)
3. Outcomes(Output)
2.3 Pengadministrasian Evaluasi
Hasil akhir dari suatu kegiatan pengembangan program belumlah dikatakan
lengkap, apabila belum dilakukan evaluasi terhadap alokasi penggunaan beaya.
Atau, oleh Posavac dan Carrey (1985) aktivitas evaluasi terhandal hal ini disebut
sebagai tahapan melakukan analisis beaya (cost analysis) yang diperlukan untuk
pelaksanaan suatu program yang dirancang dan dikembangkan. Ranah atau
lingkup dalam evaluasi terhadap beaya suatu pengembangan program ini meliputi
besaran beaya yang dibutuhkan dalam perencanaan,besaran beaya yang
dibutuhkan dalam pelaksanaan, besaran beaya yang dibutuhkan dalam melakukan
evaluasi,dan besaran beaya yang kemungkinan diperoleh dari hasil pelaksanaan
suatu program yang dikembangkan. Mengapa ranah atau lingkup besaran alokasi
beaya pengembangan yang diperlukan ini perlu dilakukan evaluasi dalam
kegiatan pengembangan suatu program? Jawaban atas pertanyaan ini adalah lebih
mengarah pada upaya yang secara sistematik untuk melakukan
pengumpulan,pengolahan,dan menganalisis sarta membuat interpretasi yang
mengacu pada standart tertentu yang telah ditetapkan. Wujud konkret interpretasi
dari hasil evaluasi alokasi beaya dalam pengembangan suatu program adalah
berupa simpulan yang terkait dengan pengambilan keputusan apakah suatu
program yang dikembangkan termasuk dalam kategori beaya yang terlalu
mahal,mahal,cukup mahal,murah, dan sangat murah. Dengan kata lain,evaluasi
yang terkait dengan alokasi beaya dalam upaya pengembangan suatu program ini
lebih mengarah pada upaya pengambilan keputusan yang terkait dengan prediksi
dimensi perbandingan pengeluaran beaya yang dibutuhkan dalam pencapaian
tujuan atau tingkat efisiensi dari suatu program yang dikembangkan dalam upaya
mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

2.4 Pelaporan Hasil Evaluasi

Semua hasil evaluasi harus dilaporkan kepada berbagai pihak yang


berkepentingan, seperti orang tua/wali, atasan, pemerintah, dan peserta didik itu
sendiri sebagai akuntabilitas publik. Hal ini dimaksudkan agar proses dan hasil
yang dicapai peserta didik termasuk perkembangannya dapat diketahui oleh
berbagai pihak, sehingga orang tua/wali (misalnya) dapat menentukan sikap yang
objektif dan mengambil langkah-langkah yang pasti sebagai tindak lanjut dari
laporan tersebut. Sebaliknya, jika hasil evaluasi itu tidak dilaporkan, orang tua
peserta didik tidak dapat mengetahui kemajuan belajar yang dicapai anaknya,
karena itu pula mungkin orang tua peserta didik tidak mempunyai sikap dan
rencana yang pasti terhadap anaknya, baik dalam rangka pemilihan minat dan
bakat, bimbingan maupun untuk melanjutkan studi yang lebih tinggi. Hasil
evaluasi juga perlu dilaporkan kepada pemerintah, dalam hal ini Kementerian
Agama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Tujuannya adalah untuk melihat
kemajuan-kemajuan peserta didik, baik secara kelompok maupun individual, yang
pada gilirannya akan memberikan penilaian tersendiri pada madrasah yang
bersangkutan. Misalnya, dalam satu laporan dikatakan bahwa peserta didik kelas
VI di madrasah “X” lulus 99%, maka sekolah tersebut dianggap masyarakat baik
atau sekolah favorit. Sebaliknya, jika peserta didik madrasah tersebut lulus 70%,
maka dianggap madrasah tersebut tidak bermutu. Semakin tinggi persentase
kelulusan, maka makin tinggi pula penilaian yang diberikan oleh masyarakat
terhadap madrasah tersebut, sekalipun persentase kelulusan tidak menjamin
berkualitasnya suatu madrasah. Laporan juga penting bagi peserta didik itu sendiri
agar mereka mengetahui tingkat kemampuan yang dimilikinya dan dapat
menentukan sikap serta tindakan yang harus dilakukan selanjutnya. Laporan
kemajuan belajar peserta didik merupakan sarana komunikasi antara sekolah,
peserta didik, dan orang tua dalam upaya mengembangkan dan menjaga hubungan
kerja sama yang baik diantara mereka. Untuk itu, Anda harus memperhatikan
beberapa hal sebagai berikut :

1) Konsisten dengan pelaksanaan penilaian di sekolah.


2) Memuat rincian hasil belajar peserta didik berdasarkan kriteria yang telah
ditentukan dan dikaitkan dengan penilaian yang bermanfaat bagi
pengembangan peserta didik.
3) Menjamin orang tua akan informasi permasalahan peserta didik dalam belajar.
4) Mengandung berbagai cara dan strategi komunikasi.
5) Memberikan informasi yang benar, jelas, komprehensif, dan akurat.

Laporan kemajuan belajar peserta didik yang selama ini dilakukan oleh
pihak sekolah cenderung hanya bersifat kuantitatif, sehingga kurang dapat
dipahami maknanya. Misalnya, seorang peserta didik mendapat nilai 5 dalam
buku rapot pada mata pelajaran Quran-Hadits. Jika hanya angka yang disajikan,
maka peserta didik maupun orang tua akan sulit menafsirkan nilai tersebut,
apakah nilai “kurang” tersebut berkaitan dengan bidang pengetahuan dan
pemahaman, praktik, sikap atau semuanya. Oleh karena itu, bentuk laporan
Prosedur Pengembangan Evaluasi Pembelajaran kemajuan peserta didik harus
disajikan secara sederhana, mudah dibaca dan dipahami, komunikatif, dan
menampilkan profil atau tingkat kemajuan peserta didik, sehingga peran serta
masyarakat, orang tua, dan stakeholder dalam dunia pendidikan semakin
meningkat. Paling tidak, pihak-pihak terkait dapat dengan mudah
mengidentifikasi kompetensi-kompetensi yang sudah dan belum dikuasai peserta
didik serta kompetensi mana yang harus ditingkatkan. Bagi peserta didik sendiri
dapat mengetahui keunggulan dan kelemahan dirinya serta pada aspek mana ia
harus belajar lebih banyak. Untuk sekedar gambaran, isi laporan hendaknya
memuat hal-hal seperti : profil belajar peserta didik di sekolah (akademik, fisik,
sosial dan emosional), peran serta peserta didik dalam kegiatan di sekolah (aktif,
cukup, kurang atau tidak aktif), kemajuan hasil belajar peserta didik selama kurun
waktu belajar tertentu (meningkat, biasa-biasa saja atau menurun), himbauan
terhadap orang tua. Isi laporan tersebut hendaknya mudah dipahami orang tua.
Untuk itu, Anda harus menggunakan bahasa yang komunikatif, menitikberatkan
pada proses dan hasil yang telah dicapai peserta didik, memberikan perhatian
terhadap pengembangan dan pembelajaran peserta didik, dan memberikan hasil
penilaian yang tepat dan akurat. Dalam dokumen kurikulum berbasis kompetensi,
Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas (2002 : 35) menjelaskan “laporan
kemajuan siswa dapat dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu laporan prestasi
dalam mata pelajaran dan laporan pencapaian”.

1) Laporan Prestasi Mata Pelajaran

Laporan prestasi mata pelajaran berisi informasi tentang pencapaian


kompetensi dasar yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Pada masa lalu,
prestasi belajar peserta didik dalam setiap mata pelajaran dilaporkan dala
bentuk angka. Bagi peserta didik dan orang tua, angka ini kurang memberi
informasi tentang kompetensi dasar dan pengetahuan apa yang telah dimiliki
peserta didik, sehingga sulit menentukan jenis bantuan apa yang harus
diberikan kepada peserta didik agar mereka menguasai kompetensi dasar yang
telah ditetapkan. Laporan prestasi belajar hendaknya menyajikan prestasi
belajar peserta didik dalam menguasai kompetensi mata pelajaran tertentu dan
tingkat penguasaannya. Sebaliknya, orang tua dapat membaca catatan guru
tentang pencapaian kompetensi tertentu sebagai masukan kepadapeserta didik
dan orang tua untuk membantu meningkatkan kinerjanya.

No Kemampuan Nilai Deskripsi


dasar pencapaian
A B C D E
Catatan kompetensi (contoh) :
1. Pserta didik menunjukan kemahiran dalam pelajaran tepai memerlukan
bentuan dalam hal pelajaran
2. Secara umum peserta didik telah berhasil mengusai perlajaran dari
standar kompetensi

Dengan demikian, isi laporan prestasi belajar sebaiknya disajikan


secara kualitatif atau menggabungkan antara angka (kuantitatif) dengan
deskripsi (kualitatif).

2) Laporan Pencapaian

Laporan pencapaian merupakan laporan yang menggambarkan


kualitas pribadi peserta didik sebagai internalisasi dan kristalisasi setelah
peserta didik belajar melalui berbagai kegiatan, baik intra, ekstra maupun ko
kurikuler pada kurun waktu tertentu. Dalam kurikulum berbasis kompetensi,
hasil belajar peserta didik dibandingkan antara kemampuan sebelum dan
sesudah kegiatan pembelajaran berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan
dalam kurikulum. Tingkat pencapaian hasil belajar yang ditetapkan dalam
kurikulum dibagi menjadi delapan tingkatan (level) yang dirinci ke dalam
rumusan kemampuan dari yang paling dasar secara bertahap gradasinya
mencapai tingkat yang paling tinggi. Delapan tingkatan hasil belajar tidak
sama dengan tingkat kelas dalam satuan pendidikan. Tingkat pencapaian hasil
belajar peserta didik tidak selalu sama dengan peserta didik yang lain untuk
setiap mata pelajaran.

2.5 Interpretasi Hasil Pembelajaran Di Sekolah

Dengan representasi interpretasi ini, maka digunakan acuan dalam membuat


suatu keputusan atas hasil program yang dijadikan objek evaluasi. Kemudian
interpretasi ini dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan digunakan sebagai dasar
untuk pengambilan keputusan dalam pengembangan sesuatu program lebih lanjut.
Keputusan ini dapat berupa rekomendasi untuk memtuskan tindak lanjut atas suatu
program yang dijadikan objek evaluasi. Bentuk rekomendasi atas program yang
dijadikan objek evaluasi dapat berupa program yang dapat dilanjutkan dengan tanpa
modifikasi, program dapat dilanjutkan dengan dilakukan modifikasi pada beberapa
komponen tertentu, atau program direkomendasikan untuk diberhentikan sementara
atau diberhentikan untuk selamanya. (Mukhadis : 69) 

Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan penilaian hasil
belajar, yaitu Penilaian yang mengacu kepada norma (Penilaian Acuan Norma atau
norm-referenced assessment) dan penilaian yang mengacu kepada kriteria (Penilaian
Acuan Kriteria atau criterion referenced assessment).

2.5.1.1.1 Penilaian acuan norma berasumsi bahwa kemampuan orang berbeda


dan dapat digambarkan menurut distribusi normal. Perbedaan itu harus
ditunjukkan oleh hasil pengukuran, misalnya setelah mengikuti pembelajaran
selama satu semester, peserta didik dites. Hasil tes seorang peserta didik
dibandingkan dengan kelompoknya, sehingga dapat diketahui posisi peserta
didik tersebut di kelas itu.
2.5.1.1.2 Penilaian acuan kriteria berasumsi bahwa hampir semua orang dapat
belajar apa saja, meskipun dengan waktu yang berbeda. Dalam acuan kriteria,
penafsiran skor hasil tes selalu dibandingkan dengan kriteria yang telah
ditetapkan. Bagi peserta didik yang telah mencapai kriteria yang telah
ditetapkan (standar) diberi pelajaran tambahan yang biasa disebut pengayaan,
sedangkan bagi peserta didik yang belum mencapai standar diberi remedi.

Perbedaan kedua pendekatan tersebut terletak pada acuan yang dipakai. Pada
penilaian yang mengacu kepada norma, interpretasi hasil penilaian peserta didik
dikaitkan dengan hasil penilaian seluruh peserta didik yang dinilai dengan alat
penilaian yang sama. Jadi hasil seluruh peserta didik digunakan sebagai acuan.
Sedangkan, penilaian yang mengacu kepada kriteria atau patokan, interpretasi
hasil penilaian bergantung pada apakah atau sejauh mana seorang peserta didik
mencapai atau menguasai kriteria atau patokan yang telah ditentukan.

Penilaian kelas menghasilkan informasi pencapaian kompetensi peserta didik yang


dapat digunakan antara lain: (1) Perbaikan (remedial) bagi peserta didik yang
belum mencapai criteria ketuntasan, (2) Pengayaan bagi peserta didik yang belum
mencapai kriteria ketuntasan lebih cepat dari waktu yang disediakan, (3) manfaat
penilaian bagi guru dan pembelajaran, (4) manfaat penilaian bagi sekolah.
(Suwono, 2012)

1. Layanan Remedial

Guru harus percaya bahwa setiap peserta didik dalam kelasnya mampu mencapai
kriteria ketuntasan setiap kompetensi, bila peserta didik mendapat bantuan yang
tepat. Misalnya, memberikan bantuan yang sesuai dengan gaya belajar peserta
didik pada waktu yang tepat sehingga kesulitan dan kegagalan tidak menumpuk.

Remedial dilakukan oleh guru mata pelajaran, guru kelas, atau oleh guru lain yang
memiliki kemampuan memberikan bantuan dan mengetahui kekurangan peserta
didik. Remedial diberikan kepada peserta didik yang belum mencapai kriteria
ketuntasan belajar. Kegiatan dapat berupa tatap muka dengan guru atau diberi
kesempatan untuk belajar mandiri, kemudian dilakukan penilaian dengan cara
menjawab pertanyaan, membuat rangkuman pelajaran, atau mengerjakan tugas,
dan mengumpulkan data. Waktu remedial diatur berdasarkan kesepakatan antara
peserta didik dengan guru, dapat dilaksanakan pada atau di luar jam. Remedial
hanya diberikan untuk indikator yang belum tuntas.

Siswa yang mendapat remedial diberikan kesempatan untuk mengikuti tes atau
bentuk penilaian lainnya seperti siswa lain yang sudah tuntas. Skor berapapun
yang diperoleh oleh siswa yang mendapat layanan remedial (tetapi harus sama
atau di atas KKM) adalah sebesar KKM. Karena siswa yang mendapat layanan
remedial membutuhkan waktu belajar yang lebih lama dari siswa lain yang sudah
tuntas tanpa melalui remedial. Misalnya di suatu kelas siswa A mendapat nilai 75
dan siswa B mendapat nilai 60. Dengan KKM 75 berarti siswa A sudah tuntas dan
siswa B belum tuntas. Siswa B mendapatkan layanan remedial sedangkan siswa A
tidak. Dalam penilaian remedial siswa B mendapatkan skor 85. Bagaimana skor
akhir siswa tersebut? Siswa A akan tetap mendapat skor 75 apabila ia tidak
memperbaiki nilai tersebut. Siswa B tentu saja tidak dapat dikatakan mendapat
nilai 85, nilai siswa B tidak bias di atas nilai siswa A karena waktu belajar siswa
B lebih lama daripada siswa A. jadi nilai siswa A dan nilai siswa B adalah 75.

2. Layanan Pengayaan
Pengayaan dilakukan bagi peserta didik yang memiliki penguasaan lebih cepat
dibandingkan peserta didik lainnya atau peserta didik yang mencapai ketuntasan
belajar ketika sebagian besar peserta didik yang lain belum. Peserta didik yang
berprestasi baik perlu mendapat pengayaan, agar dapat mengembangkan potensial
secara optimal.
Bentuk kegiatan pengayaan yaitu memberikan materi tambahan, latihan
tambahan atau tugas individual yang bertujuan untuk memperkaya kompetensi yang
telah dicapainya. Hasil penilaian kegiatan pengayaan dapat menambah nilai peserta
didik pada mata pelajaran bersangkutan. Pengayaan dapat dilaksanakan pada jam
efektif ataupun di luar jam efektif. Bagi peserta didik yang secara konsisten selalu
mencapai kompetensi lebih cepat, dapat diberikan program akselerasi.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Evaluasi merupakan salah satu kegiatan utama yang harus dilakukan oleh
seorang guru dalam kegiatan pembelajaran. Sedangkan evaluasi dalam kegiatan
pembelajaran adalah usaha pengambilan sejumlah keputusan yang berkaitan dengan
pembelajaran guna melihat sejauh mana keberhasilan pendidikan yang telah
disampaikan kepada siswa sebagai tujuan dari pembelajaran itu sendiri.

      Tujuan evaluasi hasil belajar dalam proses belajar mengajar adalah  untuk
mengetahui atau mengumpulkan informasi taraf perkembangan dan kemajuan yang
diperoleh siswa, dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetepkan dalam
kurikulum. fungsi evaluasi pembelajaran itu sendiri adalah Sebagai salah satu
komponen penting dalam pelaksanaan belajar mengajar.

Dan Pelaksanaan evaluasi adalah  bagaimana cara melaksanakan suatu evaluasi


sesuai dengan perencanaan evaluasi, baik menggunakan tes (tes tertulis, tes lisan dan
tes perbuatan) maupun non-tes. Dalam pelaksanaan tes maupun non-tes tersebut akan
berbeda satu dengan lainnya, Dalam praktek, pelaksaan tes hasil belajar dapat
diselenggarakan secara tertulis, lisan maupun perbuatan.

Dalam menyusun makalah ini penulis berusaha dengan keras dan penulis yakin masih
banyak kekurangan dalam penyusunan tugas akhir ini. Penulis berharap pada
pembaca agar mau memberikan kritik dan saran demi sempurnanya laporan tugas
akhir ini. Atas kritik dan sarannya, penulis mengucapkan banyak terima kasih.

Proses administrasi kurikulum berupa perencanaan, pelaksanaan, pengawasan,


dan evaluasi. Dan beberapa administrasi pendidikan yaitu seperti Administrasi
Kurikulum, Administrasi Kesiswaan, Administrasi Kesiswaan, dan Administrasi
personal.
Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi, (1988), Penilaian Program Pendidikan, Jakarta: Bina Aksara.

Arikunto, Suharsimi, (1999), Dasar – dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta : Bumi


aksara.

Arikunto, Suharsimi,(2009), Evaluasi Program Pendidikan : Pedoman teoritis praktis


bagi mahasiswa dan praktisi pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara.

Arifin, Zaenal, (2014), Evaluasi Pembelajaran, Bandung :Rosda.

Mukhadis, A. 2017. Evaluasi Program Pembelajaran Bidang Teknologi. Malang:


Penerbit Media Nusa Creative.

Anda mungkin juga menyukai