Anda di halaman 1dari 20

TATALAKSANA ANESTESIA DAN REANIMASI

PADA ENDOSKOPI JALAN NAPAS

Oleh :
Amanda Sherman
dr. I Made Subagiartha, Sp.An, KAKV. SH

BAGIAN/SMF ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


FK UNUD/RSUP SANGLAH
2017

i
DAFTAR ISI

Halaman
Halaman Judul.......................................................................................................... i
Kata Pengantar ........................................................................................................ ii
Daftar Isi................................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................2
2.1. Endoskopi ...................................................................................................2
2.2. Endoskopi Jalan Napas .....................................................................................2
2.2.1. Laringoskopi ......................................................................................2
2.2.2. Trakeoskopi dan Bronkoskopi ...........................................................3
2.3 Tatalaksana Anestesia dan Reanimasi ..............................................................4
2.3.1. Evaluasi Pra-Anestesia .......................................................................4
2.3.2. Persiapan Pra-Anestesia .....................................................................5
2.3.3. Tatalaksana Anestesia dan Reanimasi ...............................................6
2.3.4. Tatalaksana Anestesia Lokal ..............................................................8
2.3.5. Tatalaksana Anestesia Umum ............................................................9
2.3.6. Komplikasi .........................................................................................9
2.3.7. Manajemen Paska Anestesia ...........................................................10
BAB III PENUTUP ...............................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Anestesiologi merupakan cabang ilmu kedokteran yang berkembang


secara pesat selama beberapa dekade terakhir ini. Fungsi anestesia, menurut
masyarakat awam, adalah prosedur yang dilakukan sebelum dan selama prosedur
pembedahan. Namun, pada kenyataannya, anestesia juga dikerjakan pada
pemeriksaan atau tindakan invasif yang tidak selalu memerlukan pembedahan,
seperti pada prosedur endoskopi.

Endoskopi sendiri merupakan sebuah prosedur yang digunakan untuk


melihat organ dalam tubuh dengan tujuan penegakan diagnosis maupun terapi
suatu penyakit. Endoskop atau kamera akan dimasukan melalui sayatan kecil
ataupun “bukaan” pada tubuh seperti mulut. Beberapa contoh endoskopi pada
jalan napas yaitu laringoskopi, trakeoskopi dan bronkoskopi.1,2

Masuknya benda asing dapat menginduksi refleks muntah atau yang


disebut gag reflex atau pharyngeal spasm apabila mengenai bagian belakang
tenggorokan Terlebih lagi, pasien dapat merasakan nyeri pada jalan napas akibat
gesekan endoskop pada dinding mukosa saluran napas. Berdasarkan hal yang
disebutkan, maka penatalaksanaan anestesia dan reanimasi yang tepat dan benar
sangat diperlukan demi kenyamanan dan keselamatan pasien.3

Penatalaksanaan anestesi dan reanimasi pada endoskopi jalan napas


meliputi evaluasi status pasien, persiapan praoperatif, premedikasi, pilihan
anestesi, pemantauan selama anestesia, terapi cairan, pemulihan anestesia serta
perawatan paska anestesia. Adapun masalah anestesia yang bisa terjadi adalah
ancaman sumbatan jalan napas serta terjadinya refleks vagal yang dapat
menimbulkan kematian.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Endoskopi

Endoskopi merupakan sebuah prosedur untuk melihat organ dalam


manusia menggunakan sebuah instrumen berupa kamera yang disebut endoskop.
Endoskop dapat dimasukkan ke dalam tubuh melalui bukaan alamiah seperti
mulut ataupun anus. Selain itu, endoskop juga dapat dimasukkan melalui insisi
pada kulit. Secara umum, endoskopi digunakan untuk membantu penegakan
diagnosis dan juga memfasilitasi beberapa jenis pembedahan tertentu.1

2.2. Endoskopi Jalan Napas

Endoskopi pada jalan napas yang dibahas dalam tinjauan pustaka ini
mencakup laringoskopi, trakeoskopi dan bronkoskopi.

2.2.1. Laringoskopi

Laringoskopi merupakan pemeriksaan pada daerah laring dan pita suara


yang biasanya digunakan untuk tujuan intubasi trakeal dan manajemen jalan napas
dalam anestesia modern dan praktek pengobatan kritis dalam kasus trauma.
Menurut akses visualisasi, laringoskopi dibagi menjadi dua yaitu laringoskopi
direk dan indirek. Dalam kurun waktu hampir satu abad, laringoskopi direk
merupakan teknik standard untuk intubasi trakeal. Dalam pendekatan ini
laringoskop yang kaku digunakan untuk mengekspos inlet laringeal untuk
memfasilitasi pemasangan pipa trakeal (tracheal tube).4

2
Gambar 2.1. Laringoskopi direk

Laringoskopi indirek merupakan alternative untuk intubasi trakea tanpa


membutuhkan visualisasi pita suara secara langsung. Penggunaan stilet optik yang
lentur maupun kaku, teknologi fiberoptik dan laringoskop video menyediakan
gambaran inlet laringeal yang lebih jelas.4

Selain digunakan dalam praktek intubasi, laringoskopi juga digunakan


sebagai pemeriksaan penunjang diagnosis. Indikasi dilakukan laringoskopi
adalah4,5:
1. Batuk kronis
2. Batuk berdarah
3. Kesulitan menelan
4. Adanya rasa tidak enak dari tenggorokan
5. Masalah pada suara lebih dari tiga minggu seperti suara serak ataupun
tidak bersuara

3
Gambar 2.2. Laringoskopi indirek

2.2. Trakeoskopi dengan Bronkoskopi

Bronkoskopi merupakan prosedur untuk melihat struktur jalan napas.


Biasanya trakeoksopi dilakukan bersamaan menggunakan bronkoskop.
Bronkoskop dibuat dari bahan fiber-optic yang fleksibel dan mempunyai
pencahayaan dan kamera pada ujungnya.6

Gambar 2.3. Bronkoskopi

Bronkoskopi digunakan untuk menegakkan diagnosis apabila terdapat


tanda dan gejala seperti berikut7:
1. Batuk yang persisten atau yang tidak jelas penyebab pastinya,
2. Darah dalam sputum,
3. Gambaran foto polos dada abnormal seperti terdapat massa, nodul atau
inflamasi pada paru, atau

4
4. Evaluasi dari infeksi paru yang mungkin terjadi

Sedangkan pada tujuan terapeutik atau pengobatan, bronkoskopi dapat


digunakan untuk hal-hal sebagai berikut7:
1. Menyingkirkan benda asing pada jalan napas,
2. Memasang stent atau selang kecil dengan tujuan membuka jalan napas
yang kolaps oleh karena massa atau tumor, atau
3. Menyingkirkan massa atau pertumbuhan daging yang menghalangi jalan
napas

Komplikasi dari tindakan bronkoskopi sendiri cenderung jarang dan


biasanya minor. Hal ini cenderung disebabkan karena respon tubuh dan anatomi
individual pasien yang bervariasi. Beberapa risiko potensial yang dapat terjadi7:
1. Epistaksis
2. Luka pada pita suara
3. Denyut jantung yang tidak teratur
4. Iskemia jaringan
5. Luka pada jantung oleh karena pengobatan atau kekurangan oksigen
6. Luka dari tempat biopsi
7. Pneumotoraks
8. Rusaknya gigi geligi oleh karena bronkoskop yang kaku

2.3. Tatalaksana Anestesi dan Reanimasi

Sesuai ruang lingkup yang dinaungi, ilmu anestesia dan reanimasi wajib
mengusahakan penanggulangan nyeri dan stres emosional agar pasien merasa
nyaman. Prosedur endoskopi tentunya akan menimbulkan rasa sakit dan tidak
nyaman pada pasien, oleh karena itu diperlukan tatalaksana anestesi dan reanimasi
yang tepat dan benar.2

2.3.1. Evaluasi Pra-Anestesia

5
Sebelum bersiap ke prosedur anestesi, status pasien dievaluasi untuk
mengetahui kelayakan dan kendala ketika prosedur anestesia dilakukan. Penilaian
dilakukan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang seperti
pemeriksaan laboratorium maupun radiologi, konsultasi dan koreksi terhadap
kelainan fungsi organ yang vital serta prognosis pasien perioperatif.2

Anamnesis meliputi identitas pasien, riwayat penyakit sekarang, riwayat


penyakit terdahulu serta riwayat penyakit keluarga dan riwayat sosial. Selain hal-
hal tersebut, riwayat pemakaian obat, riwayat operasi, makan terakhir serta alergi
obat penting untuk ditanyakan berkaitan dengan prosedur yang akan dilakukan.2

Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup tanda-tanda vital pasien,


berat badan, tinggi badan serta BMI. Pemeriksaan fisik umum meliputi
pemeriksaan sistem saraf, respirasi, hemodinamika, gastrointestinal, urogenital,
dan muskuloskeletal.2

Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan darah untuk mengetahui


kadar hemoglobin, hematokrit, eritrosit, leukosit, trombosit serta masa perdarahan
dan masa pembekuan; serta pemeriksaan analisa gas darah. Endoskopi pada jalan
napas tidak memerlukan pemeriksaan khusus seperti tes fungsi hati dan ginjal
maupun pemeriksaan radiologi karena bukan jenis operasi besar.2

Penentuan status fisik pra-anestesia disimpulkan berdasarkan evaluasi


pra-operatif yang sudah dilakukan dan diklasifikasi berdasarkan ketentuan
American Society of Anesthesiologis (ASA).7

Tabel 2.1. Klasifikasi ASA 20148


Klasifika Definisi
si ASA

ASA I Pasien yang sehat normal

ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan

ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat

ASA IV Pasien dengan gangguan sistemik berat yang

6
mengancam nyawa

ASA V Pasien yang berada dalam keadaan terminal


yang tidak diharapkan bertahan hidup tanpa operasi

ASA VI Pasien yang sudah dinyatakan mati batang


otak di mana organnya akan diambil untuk tujuan
donor

2.3.2. Persiapan Pra-Anestesia

Setelah evaluasi kondisi pasien pre-anestesia, pasien dipersiapkan secara


fisik maupun psikis agar siap dan optimal dalam menjalani prosedur anestesia
yang sudah direncanakan. Persiapan dapat dilakukan di poliklinik maupun rumah
pasien dan juga ruang perawatan, ruang persiapan operasi serta kamar operasi.2

Pasien ataupun keluarga serta pendamping pasien akan diberi penjelasan


tentang penyakit pasien, rencana anestesia dan juga tidnakan yang dilakukan, serta
risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi. Ancaman pada endoskopi jalan napas
dapat berupa ancaman sumbatan jalan napas serta refleks vagal.2

Pasien akan diwajibkan untuk menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti


merokok, mengonsumsi minuman keras maupun obat-obatan tertentu minimal dua
minggu sebelum prosedur anestesia atau dari sejak evaluasi pertama kali di
poliklinik. Selain itu, pasien akan diminta melepaskan protesis maupun asesoris
serta tidak diperbolehkan memakai kosmetik seperti lipstik maupun pewarna
kuku.2

Pasien dewasa atau anak-anak berumur di atas 3 tahun akan diminta


untuk puasa makan minimal delapan jam dan puasa cairan jernih minimal tiga jam
sebelum operasi, sedangkan untuk anak-anak berusia 6-36 bulan, puasa makan
padat dan susu dilakukan minimal sejak enam jam dan puasa cairan jernih
minimal dua jam sebelum operasi. Anak-anak di bawah umur enam bulan wajib
puasa susu minimal empat jam dan puasa cairan jernih minimal dua jam sebelum
operasi.2

7
Apabila pasien setuju dengan tindakan yang akan dilakukan, pasien wajib
menandatangani lembar informed consent sebagai bentuk persetujuan yang
dilakukan secara sukarela. Anak-anak ataupun pasien yang tidak dalam kondisi
mampu mengambil keputusan sendiri dapat diwakilkan oleh keluarga atau
pendamping. Kemudian pasien mengganti baju dengan pakaian khusus operasi.2

2.3.3. Tatalaksana Anestesia dan Reanimasi

Obat-obatan anestetika mempunyai efek sedasi, analgesia serta relaksasi


otot rangka. Secara umum, obat-obatan anestetika dibagi menjadi2:
• Obat premedikasi
• Obat anestesia intravena
• Obat anestesia inhalasi
• Obat pelumpuh otot dan penawarnya

Pilihan obat-obatan anestetika umunya disesuaikan dengan beberapa


faktor, seperti umur, status fisik pasien prabedah, rencana pembedahan, jenis
anestesia yang dipilih, kemampuan petugas anestesia dan penguasaan farmakologi
obat yang digunakan.2

Pramedikasi

Tujuan pemberian obat-obatan pramedikasi adalah menurunkan


ketegangan pasien sebelum pembedahan dimulai sehingga pasien dapat merasa
nyaman dan bebas nyeri. Selain itu, tujuan lain pramedikasi adalah untuk
mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus, mempermudah induksi,
mengurangi dosis obat anestetika yang akan dipakai serta mengurangi rasa sakit
dan kegelisahan paska bedah.2

Dalam kasus ini, obat-obatan premedikasi diberikan secara intramuskular


30-45 menit sebelum induksi dilakukan. Obat-obatan yang digunakan dapat
berupa2:
• Petidin 1-2 mg/kgBB,

8
• Midazolam 0,04-0,1 mg/kgBB, dan
• Atropin 0,01 mg/kgBB

Induksi

Anestesia yang dipakai pada pasien dewasa yang kooperatif adalah jenis
anestesia neuroleptik. Jenis anestesia ini menggunakan obat neuroleptik seperti
golongan haloperidol dan obat golongan opioid seperti fenoperidin.2,9

Tatalaksana anestesia adalah sebagai berikut:2


1. Fentanil diberikan dengan dosis 1-2 g/kgBB secara intravena diikuti
dengan pemberian dehidrobenzperidol 0,2-0,4 g/kgBB atau midazolam
2-5 mg intravena.
2. Tunggu selama 5-10 menit sambil mengobservasi tanda-tanda vital pasien.
3. Pemberian analgesia lokal berupa lidokain semprot dapat dilakukan sambil
melakukan prosedur laringoskopi. Semprot lidokain di daerah rongga
mulut, laring dan trakea.
4. Lidokain akan bekerja 5-10 menit pada mukosa.
5. Endoskopi pada daerah yang dituju dapat dilakukan.
6. Pada bronskopi yang menggunakan bronkoskop serat optik, pemberian
larutan lidokain 1-2% dapat dilakukan melalui lubang pada bronkoskop.
7. Selama tindakan berlangsung, oksigen dapat diberikan sebanyak 4-6
liter/menit melalui kanul nasal.

2.3.4 Tatalaksana Anestesia Lokal


Prosedur anestesia lokal tanpa sedasi dapat digunakan dengan atau tanpa
vasokontriktor. Tiga jenis obat anestesia lokal yang sering digunakan adalah
kokain, benzokain, dan lidokain, namun yang paling sering digunakan adalah
lidokain. Konsentrasi lidokain yang digunakan adalah 2-4% pada membran
mukus sehingga terjadi efek anestesia superfisial dalam waktu satu menit. Dosis
yang dianggap aman berkisar 3-4 mg/kgBB, walaupun ada beberapa literatur yang
merekomendasikan sampai 6 mg/kgBB.10

9
gambar 2.4. Xylocaine Spray

Keuntungan pemakaian lidokain semprot ini adalah ketersediaan yang


cukup, toksisitas yang ditimbulkan pada sistem saraf pusat dan jantung relatif
rendah, onset yang cepat (1-3 menit tergantung pada area yang diberikan) dan
anestesia dapat berlangsung sampai 10-15 menit.10, 11
Kerugian pemakaian lidokain adalah level plasma toksik akan tercapai
apabila terdapat cukup banyak pemakaian larutan lidokain berkonsentrasi tinggi.
Penggunaan pada pasien dengan gangguan fungsi hati harus diperhatikan.10
Efek samping yang dapat ditimbulkan berupa nyeri tenggorokan, suara
serak, hilangnya suara, reaksi alergi, efek toksik akut, pusing, kejang, tidak sadar,
kemungkinan terjadi henti napas dan jantung, hipotensi, depresi miokardia dan
bradikardia.11

2.3.5. Tatalaksana Anestesia Umum

Anestesia umum dapat dilakukan pada pasien anak-anak maupun yang


tidak kooperatif. Tatalaksana yang dilakukan adalah sebagai berikut2:
1. Pemberian pramedikasi
2. Induksi dengan pentothal atau obat hipnotik lainnya
3. Pemberian pelumpuh otot seperti suksinil kholin secara intravena untuk
memfasilitasi intubasi

10
4. Pemberian napas buatan melalui sungkup oksigen dengan kadar oksigen
100% yang dihubungkan ke mesin anestesia sampai fasikulasi menghilang
dan otot rahang relaksasi
5. Melakukan intubasi menggunakan pipa endotrakeal (PET) atau
orotracheal tube (OTT) dengan bantuan laringoskop
6. Fiksasi PET dan hubungkan dengan mesin anestesia
7. Pemberian kombinasi obat inhalasi
8. Pengendalian napas pasien secara manual selama efek suksinil kholin
masih ada, selanjutnya pasien akan bernapas spontan ketika efek obat
habis.
9. Observasi tanda-tanda vital
10. Selesai prosedur operatif, hentikan aliran anestesia inhalasi dan berikan
oksigen 100% 4-8 liter/ menit selama 2-5 menit.
11. Ekstubasi PET setelah jalan napas dibersihkan.

Ukuran PET yang dipakai pada anak-anak berumur lebih dari 1 tahun
ditentukan berdasarkan formula:2

keterangan:

N: Umur anak

2.3.6. Komplikasi

Setiap tindakan yang dikerjakan dapat menimbulkan komplikasi,


walaupun endoskopi jalan napas termasuk tindakan yang relatif aman.

Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi pada saat tindakan


berlangsung:5

11
1. reaksi alergi terhadap obat anestesia yang dipakai, termasuk masalah
pernapasan dan jantung
2. infeksi
3. perdarahan
4. spasme laring yang dapat menyebabkan masalah pernapasan
5. ulkus pada lumen mulut atau tenggorokan
6. luka pada lidah
7. refleks vagal

2.3.7. Manajemen Paska Anestesia

Periode ini meliputi setelah anestesia sampai pasien bebas dari pengaruh
obat anestetika. Observasi yang dilakukan meliputi kesadaran, laju pernapasan,
tekanan darah, nadi, suhu. 2

Kesadaran

Beberapa pasien masih berada dalam pengaruh hipnotik obat memerlukan


observasi tanda vital untuk mengantisipasi apabila ada penyulit yang terjadi.
Pasien dengan mudah dapat terjatuh dari tempat tidur, sehingga posisi pasien
perlu diatur dan pengaman harus dipasang.2

Respirasi

Hal-hal yang dinilai pada respirasi paska tindakan adalah suara napas par,
frekuensi napas, irama napas, volume tidal, kapasitas vital, inspirasi paksa,
tekanan oksigen serta karbondioksida pada darah.2

Saat pasien tidak sadar, kemungkinan untuk terjadi sumbatan napas


akibat jatuhnya lidah ke belakang, akumulasi sekret atau air liur, serta bekuan
darah cukup tinggi. Selain itu, depresi napas juga dapat terjadi akibat pengaruh
obat-obatan yang dipakai selama prosedur anestesia. Oleh karena itu, perlu
persiapan untuk menanggulangi terjadinya kegawatdaruratan.2

12
Sirkulasi

Hal yang perlu diperhatikan dalam sirkulasi adalah tekanan darah, nadi,
serta ada atau tidaknya perdarahan dari tempat tindakan. Hipertensi paska bedah
dapat disebabkan oleh riwayat hipertensi pasien yang sudah ada sebelumnya,
nyeri, keadaan hipoksia dan hiperkarbia, penggunaan vasporesor dan kelebihan
cairan. Sedangakan hipotensi dapat disebabkan adanya perdarahan, deficit cairan,
depresi otot jantung dan dilatasi pembuluh darah yang berlebihan.2

Denyut jantung normal umumnya berada di kisaran 55-120 x/menit.


Adapun beberapa faktor yang dapat menyebabkan gangguan irama jantung atau
aritmia seperti kondisi hipoksia, nyeri, demam, pemakaian obat simpanomimetik,
serta refleks vagal.2

Suhu

Suhu udara kamar operasi yang dinging, penggunaan desinfektan,


penggunaan halotan serta penggunaan cairan infus dapat menyebabkan
hipotermia. Pasien anak-anak dan lanjut usia rentan terhadap suhu lingkungan
sekitar sehingga dapat mempengaruhi rendahnya suhu tubuh.2

Pengunaan obat-obatan seperti atropin dan suksinil kholin dapat


meningkatkan suhu tubuh. Infeksi juga dapat meningkatkan suhu tubuh.2

Masalah Nyeri

Walaupun endoskopi merupakan tindakan yang ringan, tetap dapat


memicu terjadinya nyeri pada mukosa jalan napas. Secara klinis, pada pasien yang
nyeri akan terjadi perubahan raut wajah, psikologis, pola napas, denyut nadi,
tekanan darah serta peningkatan glukosa darah. Intensitas nyeri dapat diukur
melalui visual analogue scale (VAS).2

13
Skor aldrete dipakai untuk menilai pemulihan paska anestesia yang
meliputi aktivitas, respirasi, kesadaran, sirkulasi darah dan saturasi oksigen.
Penilaian dilakukan sebanyak dua kali yaitu saat pasien masuk ke ruang
pemulihan dan ketika keluar dari ruang pemulihan. Pencatatan hasil observasi
dilakukan setiap lima menit. Indikasi pasien meninggalkan ruang pemulihan ke
ruang rawat adalah bila pasien sudah mencapai skor 10.2,12

Tabel 2.2. Skor Aldrete


Kriteria Nilai

Oksigenasi
SpO2 > 92% pada suhu ruangan 2
SpO2 > 90% dengan oksigen 1
SpO2 < 90% dengan oksigen 0
Respirasi
Napas dalam dan batuk 2
Sesak atau napas terbatas 1
Henti napas 0
Sirkulasi
Tekanan darah ± 20 mmHg normal 2
Tekanan darah ± 20-50 mmHg normal 1
Tekanan darah lebih dari ± 50 mmHg 0
normal
Kesadaran
Sadar baik dan orientasi baik 2
Sadar setelah dipanggil 1
Tidak ada respon 0

14
Aktivitas
Mampu menggerakan semua 2
ekstremitas 1
Mampu menggerakan dua ekstremitas 0
Tidak ada gerakan

15
BAB III

PENUTUP

Endoskopi jalan napas adalah prosedur untuk melihat rongga dalam sistem
pernapasan untuk tujuan penegakan diagnosis maupun terapi dengan
menggunakan sebuah kamera yang disebut endoskop. Laringoskopi merupakan
prosedur untuk melihat bagian laring serta pita suara, sedangkan bronkoskopi
bertujuan untuk melihat bronkus manusia.

Dalam pelaksanaan endoskopi, tentunya akan menimbulkan rasa yang


tidak nyaman dan nyeri pada pasien, sehingga tatalaksana anestesia dan reanimasi
yang akan dilakukan harus dipilih dengan tepat. Pada pasien dewasa umumnya
dapat dilakukan dengan anestesia neuroleptik, di mana anestesia dilakukan dengan
menggunakan kombinasi obat neuroleptik dan opioid. Anestesia umum dapat
dilakukan pada pasien anak-anak atau orang dewasa yang kooperatif untuk
mempermudah prosedur endoskopi.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Kim S. Endoscopy. 2015. Tersedia di http://www.healthline.com


/health/endoscopy#overview1, akses tanggal 28 April 2017
2. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reanimasi. 2010. Jakarta Barat: indeks penerbit.
3. Hermanowicz N. Cranial Nerves IX (Glossopharyngeal) and X
(Vagus). Textbook of Clinical Neurology (Third Edition). 2007.
Tersedia di http://www.sciencedirect.com/topics/page/Pharyngeal_
reflex, akses tanggal 1 Mei 2017.
4. Collins SR. Direct and Indirect Laryngoscopy: Equipment and
Techniques. Respir Care 2014;59(6):850 –864. Tersedia di
http://rc.rcjournal.com/content/respcare/59/6/850.full.pdf, akses tang-
gal 1 Mei 2017.
5. Jothi S. Laryngoscopy and nasolarynoscopy. 2015. Tersedia di
https://medlineplus.gov/ency/article/007507.htm, akses tanggal 2 Mei
2017.
6. Roth E. Bronchoscopy. 2017. Tersedia di http://www.healthline.com/
health/bronchoscopy#overview1.
7. Schiffman G. 2016. Bronchoscopy. Tersedia di http://www.medic
inenet.com/bronchoscopy/page3.htm, akses tanggal 3 Mei 2017.
8. American Society of Anesthesiologist. ASA Physical Status
Classification System. 2015. Tersedia di https://www.asahq.org/res
ources/clinical-information/asa-physical-status-classification-system,
akses tanggal 4 Mei 2017.
9. Bissonnette B, et al. 1999. Neuroleptanesthesia: current status.
Canadian Journal of Anaesthesia. 46:2. Hal 154-168. Tersedia di
https://www.researchgate.net/publication/13207060_Neuroleptanesth
esia_Current_status, akses tanggal 4 Mei 2017.
10. Pani N, Rath SK. 2009. Regional & Topical Anaesthesia of Upper
Airways. Indian J Anaesth. 2009 Dec; 53(6): 641–648. Tersedia di

17
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2900072/, akses tan-
ggal 10 Mei 2017.
11. MIMS. 2017. Xylocaine Spray. Tersedia di http://www.mims.com/in-
donesia/drug/info/xylocaine%20spray#Manufacturer, akses tanggal
10 Mei 2017.
12. Dowling LP. 2015. Aldrete Discharge Scoring: Appropriate for Post
Anesthesia Phase I Discharge. Master’s Theses and Capstones. Paper
14. Tersedia di http://scholars.unh.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=
1013&context=thesis, akses tanggal 11 Mei 2017.

18

Anda mungkin juga menyukai