Anda di halaman 1dari 9

PROGRAM STUD I PENDIDIKAN DOK TER HE WAN A

PAPER FARMAKOLOGI

EFEK SAMPING
PENISILIN SYOK
ANAFILATIK
Penyusun : Sophia Nurasna (1802101010035)

A. Pengertian Penisilin
Penisilin merupakan golongan antibiotika β-laktam yang memiliki nilai
komersial tinggi karena digunakan secara luas untuk memproduksi antibiotik
semisintetik lain (amoksilin, ampisilin) serta mempunyai kemampuan mengatasi
infeksi yang disebabkan oleh bakteri (Rachman et al., 2016). Penisilin termasuk
obat antibiotik pertama di dunia yang digunakan untuk mengobati berbagai infeksi
dan penyakit, Obat ini ditemukan oleh sosok Alexander Fleming pada 1928 dan
mengubah dunia medis sejak saat itu. Obat penisilin dihasilkan dari jamur
bernama penicillium. Dalam pembagiannya penisilin dibagi menjadi tiga
golongan, ada golongan penisilin alam yang terdiri dari Penisilin G dan Penisilin
V, selanjutnya golongan penisilin sintetik yang terdiri dari amoxicillin dan
ampicilin dan golongan penisilin semisintetik yang terdiri dari sefalosporin,
sefatin dan lainnya. Semua penisilin memiliki dasar rangka penam, yang memiliki
rumus molekul R-C9H11N2O4S, di mana R adalah rangka samping yang beragam.

Gambar 1. Contoh Obat Golongan Penisilin: Ampicillin (Kiri), Struktur


Kimia Penisilin (Kanan)

Obat golongan penisilin terdiri dari banyak jenis. Bentuk sediaan obat
golongan penisilin pun juga beragam. Antibiotik penisilin memiliki beberapa
macam bentuk, yaitu tablet, kapsul, serbuk injeksi, dan cairan infus, cara
pemberian obat golongan penisilin dapat dilakukan dengan cara injeksi dan oral.

2|Page
Mekanisme kerja dari penisilin adalah penisilin merintangi/menghambat
pembentukan/sintesa dinding sel bakteri tumbuh dengan dinding sel yang tidak
sempurna maka bertambahnya plasma atau air yang terserap dengan jalan osmosis
akan menyebabkan dinding sel pecah sehingga bakteri menjadi musnah (Tim
MGMP Pati, 2019). Namun dibalik manfaat yang diberikan oleh antibiotik
golongan penisilin terdapat efek samping yang harus diperhatikan.

B. Efek Samping Penisilin


Setiap pemakaian obat berpotensi menimbulkan efek samping. Meski belum
tentu terjadi, efek samping yang berlebihan harus segera mendapat penanganan
medis. Menurut Willy (2018), padaa umumnya reaksi pasien terhadap tiap obat
penisilin yang diberikan dapat berbeda-beda. Efek samping yang mungkin terjadi
setelah menggunakan penisilin meliputi :
1). Pusing 6). Diare
2). Mual dan muntah 7). Nyeri perut
3). Insomnia 8). Perdarahan
4). Mudah memar 9). Gatal
5). Ruam

Namun terdapat beberapa efek samping yang harus diwaspadai, dan jika efek
samping ini muncul maka harus mendapatkan perhatian serius dari dokter.
Dilansir dari artikel Pionas BPOM (2015), menyatakan bahwa efek samping dari
penisilin yang harus diwaspadai adalah reaksi yang dapat menimbulkan urtikaria
dan reaksi anafilaksis yang dapat menjadi fatal.

Gambar 2. Urtikaria

Reaksi alergi terhadap penisilin terjadi pada 1–10% individu yang terpapar;
reaksi anafilaksis terjadi pada kurang dari 0,05% pasien yang mendapat penisilin.
Pasien dengan riwayat alergi atopik (seperti asma, eksim, hay fever) memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk mengalami reaksi anafilaktik jika mendapat
penisilin. Individu dengan riwayat anafilaksis, urtikaria, atau ruam yang langsung
muncul setelah pemberian penisilin, memiliki risiko hipersensitif yang segera
langsung muncul setelah pemberian penisilin. Pasien yang demikian ini tidak
boleh diberi penisilin, sefalosporin atau antibiotik beta- laktam lainnya.

Pasien yang alergi terhadap suatu penisilin biasanya alergi terhadap semua
turunan penisilin karena hipersensitivitas berkait dengan struktur dasar penisilin.
Jika penisilin (atau antibiotik beta-laktam lain) sangat diperlukan oleh pasien
dengan reaksi hipersensitifitas yang langsung muncul segera setelah pemberian
penisilin, maka pemberian sebaiknya berdasarkan uji hipersensitivitas. Orang
yang memiliki riwayat ruam ringan (ruam yang terjadi pada bagian kecil dari
tubuh) atau ruam yang terjadi lebih dari 72 jam setelah pemberian penisilin
mungkin tidak alergi terhadap penisilin dan pada orang-orang ini, pemberian
penisilin dapat dilakukan terutama jika untuk mengatasi infeksi berat; namun,
kemungkinan terjadinya alergi juga sebaiknya tetap diwaspadai. Ensefalopati
akibat iritasi serebral merupakan efek samping yang sangat jarang, namun serius.
Hal ini dapat terjadi pada pemberian dosis yang berlebihan atau dosis normal pada
pasien gagal ginjal. Penisilin tidak boleh diberikan secara intratekal karena cara
ini dapat menimbulkan ensefalopati yang mungkin berakibat fatal. Injeksi
penisilin biasanya mengandung garam natrium atau kalium, sehingga pemberian
dosis besar atau dosis normal pada pasien gagal ginjal dapat menyebabkan
akumulasi elektrolit. Diare sering terjadi pada pemberian per oral. Hal ini paling
sering terjadi karena ampisilin dan turunannya juga dapat menyebabkan kolitis.

Gambar 2. Kolitis
Efek samping obat diartikan sebagai semua efek yang tidak dikehendaki yang
membahayakan atau merugikan pasien (adverse reactions) akibat penggunaan
obat. Efek negatif suatu obat (side effect) adalah risiko pengobatan (Sulastomo,
2007). Kondisi ini mungkin terjadi pada kebanyakan obat, baik yang memiliki
resep ataupun tidak memiliki resep. Muncul tidaknya efek samping itu bergantung
pada kondisi masing-masing personal, kondisi atau faktor yang mampu
memunculkan efek samping obat antara lain :
1). Polifarmasi atau mengkonsumsi obat dalam jumlah banyak
2). Jenis kelamin
3). Penyakit yang diidap oleh pasien
4). Kondisi usia, misalnya bayi atau
lansia 5). Ras dan genetik dan
6). Penggunaan obat yang digunakan secara bersamaan.
Efek samping penggunaan obat antibiotik dapat terjadi saat :
1). Obat yang diberikan terlalu cepat seperti pemberian obat secara suntik
2). Pada pemberian dosis pertama penggunaan obat, tapi sete;ahnya belum
tentu muncul kembali
3). Awal pengobatan namun berangsur berkurang selama masa pengobatan
karena tubuh telah menoleransi obat terebut
4). Terjadi pada selang waktu setelah penggunaan obat
5). Pemberian obat yang berkelanjutan dengan efek samping yang juga
meningkat walaupun pada awal tidak ada efek samping, dan
6). Saat setelah pemberian obat, walau sudah dihentikan (RKZ Surabaya,
2019).
C. Pengertian, Mekanisme dan Penyebab Syok Anafilaktik
Syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinik dari anafilaksis yang
ditandai dengan adanya hipotensi yang nyata dan kolaps sirkulasi darah. Istilah
syok anafilaktik menunjukkan derajat kegawtan, tetapi terlalu sempit untuk
mengambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat
dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan
gejala utamanya. Justru gejala yang terakhis ini yang sering terjadi dan bahkan
ada laporan yang menyatakan kematian karena anafilaksis dua pertiga disebabkan
oleh
obstruksi saluran napas (terutama pada usia muda) dan sisanya oleh kolaps
kardiovaskuler (usia tua). Ciri khas yang pertama dari anafilaksis adalah gejala
yang timbul beberapa detik sampai beberapa menit setelah pasien terpajan oleh
allergen atau faktor pencetus nonalergen seperti zat kimia, obat atau kegiatan
jasmani. Ciri kedua yaitu anafilaksis merupakan reaksi sistemik, sehingga
melibatkan banyak organ yang gejalanya timbul serentak atau hamper serentak
(Sutjahjo, 2015). Menurut Chandarawati, dan Suryana (2019), anafilaksis
merupakan salah satu bentuk reaksi alergi yang fatal dan memerlukan penanganan
gawat darurat. Manifestasi kardiovaskular (khususnya syok) merupakan
manifestasi anafilaksis yang berat yang dapat mengakibatkan kematian. Beberapa
faktor yang dikaitkan dengan gejala anafilaksis berat antara lain umur, jenis dan
jumlah alergen, kondisi komorbid serta kecepatan munculnya reaksi (onset
reaksi). Syok anafilaktik memerlukan tindakan cepat sebab penderita berada pada
keadaan gawat. obat-obat emergensi dan alat bantu resusitasi gawat darurat serta
dilakukan secepat mungkin. Hal ini diperlukan karena kita berpacu dengan waktu
yang singkat agar tidak terjadi kematian atau cacat organ tubuh menetap (Fitria,
2010). Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis baik melalui mekanisme IgE
maupun melalui non IgE. Tentu saja selain obat ada juga penyebab anafilaksis
yang lain seperti makanan, kegiatan jasmani, sengatan tawon, faktor fisis seperti
udara yang panas, air yang dingin pada kolam renang dan bahkan sebagian
anafilaksis penyebabnya tidak diketahui.

D. Diagnosis Syok Anafilaktik

Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adanya gejala klinik sistematik


yang timbul beberapa detik atau menit setelah pasien terpajan oleh allergen atau
faktor pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria
sampai kepada gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Kadang-
kadang gejala anafilaksis yang berat seperti syok anafilaktik atau gagal napas
dapat langsung muncul pada satu organ saja, tetapi pula muncul gejala yang sering
dijumpai adalah urtikariaatau agngioedema yang disertai gangguan pernapasan
baik karena edema laring atau spasme bronchus. Kadang-kadang didapatkan
kombinasi urtikaria dengan gangguan kardiovaskuler seperti syok yang berat
sampai terjadi penurunan kesadaran (Sutjahjo, 2015).
E. Cara Menangulangi dan Penatalaksanaan Syok Anafilaktik

Untuk menanggulangi syok anafilaksis akibat pemberian penisilin atau obat


lain, diberikan sesegera mungkin larutan adrenalin 1:1.000 secara SK sebanyak
0,3-0,4 mL. Tidak dibenarkan memberikan adrenalin sampai 1 mL, karena dengan
dosis tinggi ini dapat terjadi reaksi paradoksal yaitu dominasi efek terhadap
adrenoseptor beta pada pembuluh darah otot sehingga dapat memperburuk
keadaan dengan lebih menurunkan tekanan darah pasien. Bila dalam 5 menit
tekanan darah pasien belum mencapai 90 mmHg, perlu diberikan lagi larutan
adrenalin SK dengan dosis dan cara yang sama. Hal ini perlu diulang sampai
beberapa kali tiap 5- 10 menit apabila tekanan darah sistolik masih juga belum
mencapai 90 mmHg. Pada umumnya untuk mengatasi syok anafilaksis akibat
pemberian obat diperlukan 1 sampai 4 kali suntikan 0,3-0,4 mL adrenalin SK.
Pada syok berat dan lama dapat diberikan hidrokortison 100 mg atau
deksametason 5-10 mg secara IV atau IM sebagai tambahan, yang berefek
permisif terhadap adrenalin. Pemberian antihistamin IM tidak efektif dan tidak
dianjurkan (Wahyu, 2017).

Penatalaksanaan syok anafilaktik Menurut Haupt dan Carlson (1989) adalah:


Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan obat atau zat kimia,
baik peroral maupun parenteral, maka tindakan yang perlu dilakukan, adalah :

a). Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih
tinggi dari kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam
usaha memperbaiki curah jantung dan menaikkan tekanan darah
b). Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru, yaitu: 1). Airway
(membuka jalan napas). Jalan napas harus dijaga tetap bebas, tidak ada
sumbatan sama sekali. Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan
leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang menutupi jalan napas, yaitu
dengan melakukan ekstensi kepala, tarik mandibula ke depan, dan buka
mulut. 2). Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan
bila tidak ada tanda-tanda bernapas, baik melalui mulut ke mulut atau
mulut ke hidung. Pada syok anafilaktik yang disertai udem laring, dapat
mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas total atau parsial.
Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen.
Penderita dengan sumbatan jalan napas total, harus segera ditolong dengan
lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau trakeotomi. 3).
Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a.
karotis, atau a. femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
DAFTAR PUSTAKA

Chandarawati, L., dan Suryana, I. K. (2019). Hubungan antara onset reaksi


dengan manifestasi kardiovaskular pada pasien anafilaksis.
Jurnal MEDICINA, 50(1): 32-35.

Fitria, C. N. (2010). Syok dan Penanganannya. Jurnal Gaster, 7(2): 593-604.

Haupt M T, dan Carlson R W., (1989). Anaphylactic and Anaphylactoid


Reactions. Dalam buku: Shoemaker W C, Ayres S, Grenvik A eds,
Texbook of Critical Care. Philadelphia.

Pionas BPOM. (2015). Penisilin, http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-5-infeksi/51-


antibakteri/511-penisilin, Diakses pada tanggal 29 September 2020.

Rachman, S. D., Safari, A., Fazl, F., Kamara, D. S., Sidik, A., Udin, L. Z., dan
Ishmayana, S. (2016). Produksi penisilin oleh Penicillium chrysogenum
l112 dengan variasi kecepatan agitasi pada fermentor 1 l. Kartika: Jurnal
Ilmiah Farmasi, 4(2): 1-6.

RKZ Surabaya. (2019). Mengenal Efek Samping Obat Untuk Kesehtan Kita.
Artikel Link: https://rkzsurabaya.com/mengenal-efek-samping-obat-untuk-
kesehatan-kita/, Diakses pada tanggal 29 September 2020.

Sulastomo. (2007). Manajemen Kesehatan. Penerbit PT Grsmedia Pustaka,


Jakarta.

Sutjahjo, A. (2015). Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Dalam. Airlangga University


Press, Surabaya.

Wahyu, F. (2017). Tinjauan Farmakologi Penisilin, Program Studi Dokter


Spesialis Farmakologi Klinik Stase Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Alergi
Imunologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSUPN Dr.Cipto
Mangunkusumo, Jakarta.

Tim MGMP Pati. (2019). Farmakologi 2. Penerbit Deepublish, Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai